KIMIA ANORGANIK
PERCOBAAN II
KUAT MEDAN ANTARA LIGAN AIR-AMIN
NAMA
NIM
KELOMPOK/REGU
HARI/ TANGGAL PERCOBAAN
ASISTEN
:
:
:
:
:
RACHMA SURYA M
H311 12 267
3 (TIGA)/7 (TUJUH)
RABU/9 OKTOBER 2013
AYU ANDRIANA LESTARI
BAB I
PENDAHULUAN
kisi difraksi dan detektor vakum fototube atau tabung foton hampa.
Berdasarkan hal-hal di atas maka dilakukanlah percobaan kali ini, yakni
untuk mengetahui pengaruh kekuatan ligan dalam suatu senyawa kompleks.
1.2 Maksud dan Tujuan Percobaan
1.2.1 Maksud Percobaan
Maksud dari percobaan ini adalah untuk mengetahui pengaruh kuat medan
ligan amin-air berdasarkan panjang gelombang maksimumnya.
1.2.2
Tujuan Percobaan
Tujuan dari percobaan ini adalah :
1. Menentukan panjang gelombang maksimum dari larutan Cu 2+ 0,02 M dalam
pelarut air, larutan Cu2+ 0,02 M dalam campuran 1:1 antara air dan NH 4OH 1 M
dan larutan Cu2+ 0,02 M dalam campuran 3:1 campuran antara air dan NH4OH 1
M dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis.
2. Menbandingkan kuat medan ligan antara ligan amin dan air dari campuran
larutan yang telah dibuat dengan melihat panjang gelombang maksimumnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Senyawa kompleks merupakan senyawa yang terbentuk dari ion logam yang
berikatan dengan ligan secara kovalen koordinasi. Ikatan koordinasi merupakan
ikatan kovalen dimana ligan memberikan sepasang elektronnya pada ion logam
untuk berikatan. Pemberi pasangan elektron adalah ligan, karena itu ligan adalah zat
yang memiliki satu atau lebih pasangan elektron bebas. Senyawa kompleks yang bisa
dijadikan sebagai katalis harus memiliki sifat stabil. Salah satu senyawa kompleks
yang sangat stabil adalah senyawa kompleks yang berbentuk khelat (Nurvika dkk,
2013).
Dalam menjelaskan proses pembentukan dan susunan koordinasi senyawasenyawa kompleks, Warner telah merumuskan tiga dalil, yaitu (Rivai, 1995):
1. Beberapa ion logam mempunyai dua jenis valensi, yaitu valensi utama dan valensi
tambahan atau valensi koordinasi. Valensi utama berkaitan dengan keadaan
oksidasi ion logam, sedangkan valensi tambahan berkaitan dengan bilangan
oksidassi ion logam.
2. Ion-ion logam itu cenderung jenuh baik valensi utamanya maupun valensi
tambahannya.
3. Valensi koordinasi mengarah ke dalam ruangan mengelilingi ion logam pusat.
Molekul atom yang mengelilingi logam dalam ion kompleks dinamakan
ligan. Interaksi antara atom logam dan ligan-ligan dapat dibayangkan bagaikan reaksi
asam-basa Lewis. Basa Lewis adalah zat yang mampu memberikan satu atau lebih
pasangan elektron. Setiap ligan memiliki setidaknya satu pasang elektron valensi
bebas. Jadi, ligan berperan sebagai basa Lewis. Sebaliknya atom logam transisi
(baik dalam keadaan netral maupun bermuatan positif) bertindak sebagai asam
Lewis, yaitu menerima dan berbagi pasangan elektron dari basa Lewis. (Chang,
2005).
Kemampuan kompleks relatif logam mudah dijelaskan dari segi klasifikasi
Schwarzenbach. Klasifikasi Schwarzenbach mendefinisikan tiga kategori ion logam
akseptor (Jeffery dkk, 1989):
1. Kation dengan konfigurasi gas mulia. Logam alkali, alkali tanah dan aluminium
termasuk dalam kelompok kation ini yang memperlihatkan sifat akseptor kelas
A. Gaya elektrostatik mendominasi dalam pembentukan kompleks, sehingga
interaksi antara ion kecil muatan tinggi sangat kuat dan menyebabkan kompleks
stabil.
2. Kation dengan subkulit-d yang terisi penuh. Umum dari kelompok ini adalah
tembaga (I), perak (I) dan emas (I) yang menunjukkan sifat akseptor kelas B.
Ion-ion ini memiliki kekuatan polarisasi tinggi dan ikatan yang dibentuk
kompleks kelompok ini memiliki karakter kovalen yang cukup.
3. Logam transisi dengan subkulit-d terisi sebagian. Dalam kelompok ini
kecenderungan kelas A dan kelas B dapat dibedakan. Unsur-unsur dengan
karakteristik kelas B membentuk kelompok segitiga dalam tabel periodik,
dengan puncaknya pada tembaga dan dasar membentang dari renium ke bismut.
Di sebelah kiri kelompok ini, unsur-unsur dengan bilangan oksidasi tinggi
cenderung menunjukkan sifat kelas A, sementara di sebelah kanan kelompokini,
unsure yang memiliki bilangan oksidasi tinggi oksidasi memiliki karakter kelas
B lebih besar.
Kebanyakan ligan adalah anion atau molekul netral yang merupakan donor
elektron. Beberapa yang umum adalah F-, Cl-,, Br-, CN-, NH3, H2O, CH3OH dan OH-.
Ligan seperti ini, bila menyumbangkan sepasang elektronnya kepada sebuah atom
logam, disebut ligan monodentat (atau, ligan bergigi satu). Ligan yang mengandung
dua atau lebih atom, yang masing-masing secara serempak membentuk ikatan dua
donor-elektron kepada ion logam yang sama, disebut ligan polidentat. Ligan ini juga
disebut ligan kelat. Karena ligan ini tampaknya mencengkeram kation diantara dua
atau lebih atom donor (Cotton dan Wilkinson, 1989).
Ligan merupakan zat beratom satu atau beratom banyak. Ligan yang beratom
satu bermuatan negatif, sedangkan ligan yang beratom banyak bisa pula tak
bermuatan tetapi merupakan zarah yang berkutub. Misalnya halida (F -, Cl-,, Br-, dan
I-) merupakan ligan beratom satu dan bermuatan negative, yang membentuk senyawa
kompleks dengan beberapa ion logam. Contoh ligan beratom banyak yang tak
bermuatan adalah SCN -, CN-, dan OH-. Sedangkan ligan yang tak bermuatan selalu
berupa ligan molekul, misalnya NH3, H2O dan amina alifatik. Sifat umum semua
ligan ditentukan oleh adanya pasangan elektron bebas (Rivai, 1995).
Di antara karakteristik ligan yang umumnya diakui mempengaruhi kestabilan
kompleks di mana ligan tersebut terlibat adalah kekuatan dasar ligan, sifat pengkhelat
(jika ada), dan efek sterik. Dari sudut pandang aplikasi analisis kompleks, efek khelat
adalah sangat penting dan karena itu membutuhkan perhatian khusus. Efek jangka
khelat mengacu pada fakta bahwa kompleks khelat, yaitu yang dibentuk oleh bidentat
atau ligan multidentat, lebih stabil daripada kompleks dengan ligan monodentat,
semakin besar jumlah titik lampiran ligan pada ion logam, semakin besar stabilitas
kompleks (Jeffery dkk, 1989).
Teori ikatan valensi pada ion kompleks memiliki beberapa kelemahan,
misalnya tidak dapat menjelaskan asal-usul warna khas ion kompleks. Juga tidak
dapat menerangkan mengapa [Co(NH3)6]3+ merupakan kompleks orbital dalam dan
[CoF6]3- kompleks orbital luar. Kedua kelemahan ini dapat dijelaskan dengan teori
medan kristal. Pada model medan kristal, ikatan dalam ion kompleks dianggap
sebagai tarikan elektrostatik antara muatan positif inti dan ion logam pusat terhadap
elektron pada ligan. Sedangkan antara elektron ligan dengan elektron ion pusat
terjadi tolak-menolak. Teori berikut bertitik berat pada teori tolakan, karena
pengaruhnya terhadap elektron d dari ion logam pusat. Modifikasi teori medan kristal
sederhana yang berdasarkan pada faktor tertentu seperti kovalen parsial ikatan
logam-ligan disebut teori medan logam. Kadang-kadang istilah tunggal teori medan
ligan digunakan untuk mengacu teori medan kristal elektrostatik yang murni dan
modifikasinya (Petrucci, 1995).
Sifat yang paling menonjol dari kompleks logam transisi ialah warnanya.
Warna-warna tersebut timbul karena kompleks koordinasi sering mengabsorpsi
cahaya di daerah spektrum tampak. Warna yang dilihat dari sampel ialah warna
komplementer dengan yang paling kuat diabsorpsi. Bila cahaya putih memasuki
larutan berair yang mengandung [Co(NH3)5Cl]2+, ion mengabsorpsi paling kuat
didekat panjang gelombang 530 nm, yaitu daerah spektrm kuning-hijau. Hanya
komponen biru dan merah (dari cahaya putih) yang ditranmisikan oleh larutan,
menghasilkan warna ungu. Materi yang mengabsorbsi semua panjang gelombang
tampak akan kelihatan kelabu atau hitam, dan mengabsorpsi dengan lemah atau tidak
sama sekali, di daerah tampak, tidak berwarna (Oxtoby dkk., 2001).
Warna beberapa senyawa logam transisi oktahedral muncul akibat eksitasi
elektron dari tingkat t2g-terhuni ketingkat eg-kosong. Frekuarsi cahaya v yang dapat
menginduksi transisi seperti ini terkait dengan selisih energi antara kedua tingkat 0,
sebesar hv=0. Semakin besar pembelahan medan kristal, semakin tinggi frekuensi
cahaya yang diabsorpsi paling kuat dan semakin pendek panjang gelombangnya.
Dalam [Co(NH3)6]3+, senyawa jingga yang mengabsorpsi paling kuat dalam daerah
spectrum violet 0 pembelahan medan kristal lebih besar dari dalam [Co(NH 3)5Cl]2+,
yaitu senyawa violet yang mengabsorpsi paling kuat pada frekuaensi lebih rendah
(panjang gelombang lebih panjang) dalam daerah spectrum kuning-hijau (Oxtoby
dkk., 2001).
Istilah teori medan ligan mengacu kepada keseluruhan aspek teoritis yang
digunakan untuk memahami ikatan dan sifat elektronik yang terasosiasi dari
kompleks, dan senyawaan lain yang terbentuk oleh unsur transisi. Tidak terdapat
perbedaan secara mendasar mengenai ikatan dalam senyawa logam transisi
dibandingkan dengan ikatan dalam senyawaan unsur golongan utama. Sekalian
bentuk biasa dari teori valensi yang dapat diterapkan kepada unsur golongan utama,
dapat diterapkan dengan baik kepada unsur transisi. Umumnya, metode orbital
molekul yang diterapkan kepada senyawaan logam transisi memberikan hasil yang
berlaku dan berguna, seperti halnya dalam semua kasus lainnya, hal ini semakin
nyata bila taraf pendekatannya ditingkatkan (Cotton dan Wilkinson, 1989).
Namun terdapat dua hal yang memisahkan studi mengenai struktur
elektron senyawaan-senyawaan logam transisi, dari teori valensi lainnya yang tersisa,
yang pertama yaitu kulit-kulit d dan f yang terisi sebagian. Hal ini menuju kepada
tidak mungkinnya pengamatan eksperimen dalam kebanyakan kasus lain:
keparamagnetan, spektra serapan tampak, dan tampaknya ada keragaman tidak
teratur dalam sifat-sifat termodinamika serta struktur. Kedua ialah adanya pendekatan
kasar namun efektif yang disebut teori medan kristal, yang menyediakan metode
pemahaman yang ampuh namun sederhana, dan mengaitkan sekalian sifat yang
timbul, terutama dari kehadiran kulit-kulit yang terisi sebagian (Cotton dan
Wilkinson, 1989).
BAB III
METODE PERCOBAAN
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Tabel
Absorbansi ion Cu2+ dalam pelarut
No
, nm
Air
Air : NH4OH 1 : 1
Air : NH4OH 3: 1
570
1,060
0,508
580
1,100
0,516
590
1,130
0,520
600
1,140
0,522
610
1,120
0,520
620
1,100
0,516
630
1,070
0,510
770
0,316
780
0,329
10
790
0,335
11
800
0,352
12
810
0,341
13
820
0,337
14
830
0,310
4.2 Reaksi
CuSO4 + 4 H2O
NH4OH
NH3 + H2O
4.2 Grafik
4.2.1 Larutan Cu2+ 0,02 M dalam air
0.36
0.35
0.35
0.34
0.33
Absorban 0.32
0.31
0.3
0.29
0.28
770
780
790
800
810
Panjang Gelombang ()
820
830
1.16
1.14
1.14
1.12
1.1
Absorban
1.08
1.06
1.04
1.02
570
580
590
600
610
620
630
620
630
Panjang Gelombang ()
0.52
0.52
0.52
Absorban
0.51
0.51
0.5
570
580
590
600
610
Panjang Ge lombang ()
4.3. Perhitungan
4.3.1. Pembuatan larutan CuSO4. 5 H2O 0,1 M sebanyak 100 mL
M=
mol
L
g
Mr
M=
L
g = M L Mr
g = 0,1 M 0,1 L 249,5
g = 2,4950 g
4.3.2. Pembuatan larutan Cu2+ 0,02 M sebanyak 50 mL
C1 V1 = C2 V2
0,1 M V1 = 0,02 M 50 mL
V 1=
0,02 M 50 mL
0,1 M
V1 = 10 mL
4.3.3. Pembuatan larutan NH4OH 1 M sebanyak 250 mL
M=
bj 1000
Mr
25
g
0,91
1000
100
mL
M=
g
35
mol
M = 6,5000 M
C1 V1 = C2 V2
6,5000 M V1 = 1 M 250 mL
V 1=
0,1 M 250 mL
6,5000 M
V1 = 3,8 mL
4.4 Pembahasan
diencerkan dengan air hingga tanda garis. Pada saat penambahan ammonia maka
warna larutan Cu2+ yang biru akan semakin pekat namun warna biru yang dihasilkan
tidak sepekat penambahan ammonia sebanyak 25 mL. Hal ini disebabkan karena
jumlah ligan NH3 pada larutan Cu2+ 0,02 M 1:1 air-amin, lebih banyak disbanding
jumlah ligan NH3 pada larutan Cu2+ 0,02 M 3:1 air-amin.
Setelah semua larutan Cu2+ dalam 3 pelarut yang berbeda siap, maka ketiga
larutan
Cu2+
tersebut
diukur
absorbansinya
dengan
menggunakan
alat
spektrofotometer uv-vis pada panjang gelombang 510-700 nm. Prinsip kerja dari
spektrofotometer ialah berdasarkan hukum Lambert-Beer yaitu bila seberkas
cahaya monokromatis melalui suatu media (larutan) yang transparan maka bertambah
turunnya intensitas cahaya yang dipancarkan sebanding dengan tebal dan kepekatan
media. Dari pengukuran absorbansi larutan tersebut dapat diketahui panjang
gelombang maksimum dari larutan Cu2+. Panjang gelombang maksimum adalah
panjang gelombang dimana absorbansi larutan adalah maksimum atau tertinggi.
Dari data yang diperoleh, diketahui bahwa panjang gelombang maksimum
yang diserap oleh larutan Cu2+ dalam pelarut air adalah 800 nm. Sedangkan jumlah
panjang gelombang maksimum yang dapat diserap oleh larutan Cu 2+ dalam campuran
1 : 1 antara air dan NH4OH 1 M dan larutan Cu2+ dalam campuran 3 : 1 antara air dan
NH4OH 1 M adalah 600 nm. Perbedaan ini terjadi akibat warna komplementer yang
dihasilkan pada ketiga larutan. Ketika warna yang dihasilkan semakin pekat maka
kemampuan larutan untuk menyerap panjang gelombang yang datang akan semakin
berkurang.
Berdasarkan teori, semakin kecil panjang gelombang suatu larutan maka akan
semakin besar energi suatu ligan, dapat dilihat pada larutan Cu2+ yang hanya
mengandung air memiliki panjang gelombang yang lebih besar dibandingkan dengan
larutan Cu2+
terkecil, sehingga dengan kata lain larutan Cu2+ yang mengandung amoniak memiliki
energi yang paling besar daripada larutan Cu 2+ yang hanya mengandung air saja. Jadi
dapat disimpulkan bahwa kekuatan medan ligan pada air lebih lemah daripada
kekuatan medan ligan pada amoniak.
Namun pada percobaan ini terjadi sedikit penyimpangan, yaitu jumlah
panjang gelombang maksimum yang diserap oleh dua larutan Cu2+ dalam campuran
perbandingan antara air dan NH4OH adalah sama. Hal ini mungkin disebabkan
karena pada proses preparasi larutan terdapat sedikit kekeliruan seperti penambahan
volume amoniak kedalam larutan Cu2+ yang kurang tepat.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan percobaan kuat medan antara ligan air-amin yang telah
dilakukan dapat disimpulkan bahwa :
1. Panjang gelombang maksimum yang dapat diserap oleh larutan Cu 2+ dalam air
ialah 800 nm dengan absorbansi larutan sebesar 0,352. Sedangkan Panjang
gelombang maksimum yang dapat diserap oleh larutan Cu 2+ 1 : 1 air dan NH4OH
1 M dan larutan Cu2+ 3 : 1 air dan NH4OH 1 M adalah 600 nm dengan absorbansi
larutan sebesar 1,140 dan 0,522.
2. Kekuatan medan ligan pada air lebih lemah daripada kekuatan medan ligan pada
amoniak.
5.2 Saran Untuk Laboratorium
DAFTAR PUSTAKA
Chang, R.,2005, Kimia Dasar Konsep-Konsep Inti Edisi Ketiga, Erlangga, Jakarta.
Cotton, F.A. dan Wilkinson, G., 1989, Kimia Anorganik Dasar, UI-Press, Jakarta.
Jeffery, G.H., Bassett, J., Mendham, J., dan Denney, R. C., 1989, Quantitative
Chemical Analysis, John Willey and Sons, New York.
Nurvika, D., Suhartana, dan Pardoyo, 2013, Sintesis Dan Karakter Senyawa
Kompleks Cu(II)-EDTA Dan Cu(II)-C6H8N2O2S2, Chem Info, 1(1),
(Online), (https://www.ejournal-s1.undip.ac.id, diakses pada tanggal 12
Oktober 2013 pukul 19.45 WITA), 70-75.
Oxtoby, D.W., Gills, H.P., dan Nachtrieb, N. H., 2003, Prinsip-Prinsip Kimia
Modern, Erlangga, Jakarta.
Petrucci, R.H., 1999, Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern Edisi Keempat,
Erlangga, Jakarta.
Rivai, H., 1995, Asas Pemerisaan Kimia, UI-Press, Jakarta.
LEMBAR PENGESAHAN
Praktikan,
(RACHMA SURYA M)
Dipipet 10 mL
Dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL
Diencerkan sampai tanda batas
Diukur absorbannya dengan menggunakan
spektronik 20 D+
Adsorbansinya diamati dengan interval 20
nm dan panjang gelombang 710-850 nm
Hasil
Larutan Cu2+ 0,02 M dalam campuran 1:1 antara air dan NH4OH 1 M
Cu2+ 0,1 M
-
Dipipet 10 mL
Dipindahkan ke dalam labu ukur 50 mL
Ditambahkan 25 mL NH4OH 1 M
Diencerkan dengan air sampai tanda batas
Diukur absorbannya dengan menggunakan
spektronik 20 D+
Adsorbansinya diamati dengan interval 20
Hasil
Larutan Cu2+ 0,02 M dalam campuran 3:1 antara air dan NH4OH 1 M
Cu2+ 0,1 M
-
Dipipet 10 mL
Dipindahkan ke dalam labu ukur 50 mL
Ditambahkan 12,5 mL NH4OH 1 M
Diencerkan dengan air sampai tanda batas
Diukur absorbannya dengan menggunakan
spektronik 20 D+
Adsorbansinya diamati dengan interval 20 nm
Lampiran 1 Gambar
Hasil