Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

TES SEROLOGI SIFILIS

Oleh:
Qamara Kalehismaningrat H1A009046
Ni kadek Putri Dwi Jayanti H1A009049

Pembimbing
dr. Yunita Hapsari, Sp.KK

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN /SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2015

REFERAT
TES SEROLOGI SIFILIS
Qamara Kalehismaningrat, Ni Kadek Putri Dwi Jayanti
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
FK UNRAM/RSUP NTB

ABSTRAK
Sifilis adalah penyakit menular seksual yang sangat infeksius, disebabkan oleh bakteri
berbentuk spiral, Treponema pallidum subspesies pallidum. Penyebaran sifilis di dunia telah
menjadi masalah kesehatan yang besar dengan jumlah kasus 12 juta pertahun. Infeksi sifilis
dibagi menjadi sifilis stadium dini dan lanjut. Sifilis stadium dini terbagi menjadi sifilis
primer, sekunder, dan laten dini. Sifilis stadium lanjut termasuk sifilis tersier (gumatous,
sifilis kardiovaskular dan neurosifilis) serta sifilis laten lanjut. Sifilis primer didiagnosis
berdasarkan gejala klinis ditemukannya satu atau lebih chancre (ulser). Sifilis sekunder
ditandai dengan ditemukannya lesi mukokutaneus yang terlokalisir atau difus dengan
limfadenopati. Sifilis laten tanpa gejala klinis sifilis dengan pemeriksaan nontreponemal dan
treponemal reaktif, riwayat terapi sifilis dengan titer uji nontreponemal yang meningkat
dibandingkan dengan hasil titer nontreponemal sebelumnya. Sifilis tersier ditemukan guma
dengan pemeriksaan treponemal reaktif, sekitar 30% dengan uji nontreponemal yang tidak
reaktif
Kata kunci: sifilis, Treponema pallidum, serologi
Abstract
Syphilis is a sexually transmitted disease that is highly infectious, caused by a spiral -shaped
bacterium, Treponema pallidum subspecies pallidum. The spread of syphilis in the world has
become a major health problem and the common, the number of 12 million cases per year.
Infectious syphilis is divided into early and late-stage syphilis. Early-stage syphilis is divided
into primary, secondary, and early latent. Advanced stage of syphilis include tertiary syphilis
(gumatous, cardiovascular syphilis, and neurosyphilis) and late latent syphilis. Primary
syphilis is diagnosed by clinical symptoms of the discovery of one or more chancre (ulcer).
Secondary syphilis is characterized by the finding of localized mucocutaneous lesions or with
diffuse lymphadenopathy. Latent syphilis without clinical symptoms of syphilis with a

nontreponemal and treponemal reactive examination, history of syphilis therapy in


nontreponemal test titer increased compared with the results of previous nontreponemal
titers. Tertiary syphilis is found guma with reactive treponemal examination, approximately
30% of the non- reactive nontreponemal test
Keywords: syphilis, Treponema pallidum, serologi
PENDAHULUAN
Sifilis adalah penyakit menular seksual yang sangat infeksius, disebabkan oleh bakteri
berbentuk spiral, Treponema pallidum subspesies pallidum. Meskipun insiden sifilis kian
menurun penyakit ini tidak dapat diabaikan, karena merupakan penyakit berat. Hampir semua
alat tubuh dapat diserang termasuk sistem kardiovaskular dan saraf. Selain itu wanita hamil
juga dapat menularkan penyakitnya ke janin sehingga menyebabkan penyakit sifilis
kongenital yang dapat menyebabkan kelainan bawaan dan kematian 1.
Penularan sifilis biasanya melalui kontak seksual dengan pasangan yang terinfeksi,
kontak langsung dengan lesi/luka yang terinfeksi atau dari ibu yang menderita sifilis ke
janinnya melalui plasenta pada stadium akhir kehamilan.6
Sifilis dapat disembuhkan pada tahap awal infeksi, tetapi apabila dibiarkan penyakit
ini dapat menjadi infeksi yang sistemik dan kronik. Infeksi sifilis dibagi menjadi sifilis
stadium dini dan lanjut. Sifilis stadium dini terbagi menjadi sifilis primer, sekunder, dan laten
dini. Sifilis stadium lanjut termasuk sifilis tersier (gumatous, sifilis kardiovaskular dan
neurosifilis) serta sifilis laten lanjut.7,8
Metode definitif untuk mendiagnosis sifilis dilakukan dengan pemeriksaan mikroskop
lapangan gelap terhadap eksudat dari chancre pada sifilis primer dan lesi mukokutis pada
sifilis sekunder serta uji antibodi fluoresens langsung. Uji serologi lebih mudah, ekonomis,
dan lebih sering dilakukan. Terdapat dua jenis uji serologi yaitu: 1)uji nontreponema,
termasuk uji Venereal Disease Research Laboratory (VDRL) dan Rapid Plasma Reagin
(RPR), 2)uji treponema, termasuk Fluorescent Treponemal Antibody Absorption (FTA-ABS)
dan Treponema pallidum Particle Agglutination(TP-PA).6

EPIDEMIOLOGI
Secara Global Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa pada Tahun
1999 Jumlah kasus baru sifilis di dunia adalah sebesar 12 juta kasus. Di Amerika Latin dan
Karibia pertambahan jumlah kasus baru diperkirakan 3 juta jiwa. Pada beberapa studi, kasus
Sifilis saat ini mulai banyak ditemukan pada kelompok Transgender. Studi pada kelompok
Transgender muda di Chicago menyebutkan terjadi peningkatan 1,3% (2005-2008) menjadi
10,1% pada Tahun 2009 3. Kejadian penyakit sifilis di Amerika Serikat terdapat lebih dari
36.000 kasus sifilis pada tahun 2010, termasuk 9.756 kasus sifilis primer dan sekunder.
Sebagian besar kasus tersebut terjadi pada pasien berusia 20 sampai 39 tahun. Insiden sifilis
pada wanita tertinggi pada usia 20 sampai 24 tahun dan pada laki-laki 35 sampai 39 tahun.
Sementara kasus sifilis kongenital pada bayi baru lahir meningkat dari 2009 sampai 2010,
dari 339 kasus baru yang dilaporkan pada tahun 2009 menjadi 349 kasus pada tahun 2010.
Pada tahun 2010 tercatat 64% dari kasus sifilis dilaporkan terjadi pada pria yang
berhubungan seks dengan pria. 3
Menurut Kementrian Kesehatan RI (2012) melalui Surveilans Terpadu Biologis dan
Perilaku (STBP) bahwa pada tahun 2011 mendapatkan angka kejadian sifilis di Indonesia
diderita oleh waria sebesar 25%, pekerja seks langsung sebesar 10%, pria yang berhubungan
seks sesama pria sebesar 10%, pekerja seks tidak langsung sebesar 3% dan narapidana
sebesar 3% 4.
ETIOLOGI
Penyebab sifilis yaitu Treponema pallidum yang termasuk dalam ordo Spirochaeteles,
familia Spirochaetaceae dan genus Treponema. Bentuknya spiral tidak teratur, panjang antara
6-15m, lebar 0,15m , terdiri atas delapan sampai duapuluh empat lekukan.Gerakannya
berupa rotasi sepanjang aksis dan maju seperti gerakan pembuka botol. Membiak secara
pembelahan melintang, pada stadium aktif terjadi setiap tiga puluh jam.1
Pembiakan umumnya tidak dapat dilakukan diluar badan karena cepat mati, namun
apabila berada di dalam darah untuk tranfusi dapat hidup tujuh puluh dua jam.1
KLASIFIKASI
Sifilis dibagi menjadi sifilis kongenital dan sifilis akuisita. Sifilis kongenital dibagi
menjadi dini (sebelum dua tahun ), lanjut (sesudah dua tahun), dan stigmata. Sifilis akuisita
dapat dibagimenurut dua cara, secara klinis dan epidemiologik. Menurut cara pertama sifilis

dibagi menjadi tiga stadium: StadiumI (SI) , stadiu II (SII), dan stadium III(SIII). Secara
epidemiologi menurutWHO dibagi menjadi :
1. Stadium dini menular (dalam satu tahun sejak infeksi), terdiri atas SI,SII, stadium
rekuren, dan stadium laten.
2. Stadium lanjut tidak menular (setelah satu tahun sejak infeksi), terdiri atas stadium
laten lanjut dan SIII.
Bentuk lain adalah sifilis kardiovaskular dan neurosifilis. Ada yang memasukkan
kedalam SIII dan S IV.1

PATOGENESIS
Stadium dini
Pada stadiu yang didapat,T.palidum masuk ke dalamkulit melalui mikrolesi atau
selaput lendir, biasanya melalui senggama. Kuman tersebut membiak, jaringan bereaksi
dengan membentuk infiltrat yangterdiri atas sel-sel limfosit dan sel-sel plasma, terutama
perivaskular, pembuluh darah kecil berproliferasi dikelilingi oleh T.Pallidum dan sel radang.
Treponema

tersebut

terletak

diantara

endotelium

kapiler

dan

perivaskular

di

sekitarnya.Enarteritis pembuluh darah kecil menyebabkan perubahan hipertrofik endotelium


yang menimbulkan obliterasi lumen (enarteritis obliterans).Kehilangan perdarahan akan
menyebabkan erosi, pada pemeriksaan klinis tampak sebagai SI.
Sebelum SI terlihat,kuman telah mencapai kelenjar getah bening regional secara
limfogen dan membiak.Pada saat itu terjadi pula penjalaran hematogen dan menyebar
kesemua jarian badan, tetapi manifestasinya akan tampak kemudian. Mulplikasi ini diikuti
oleh reaksi jaringan sebagai SII, yang terjadi 6-8 minggu sesudah SI. SI akan sembuh
perlahan karena kumanditempat tersebut jumlahnya berkurang, kemudian terbentuk
fibroblas-fibroblas dan akhirnya sembuh berupa sikatrik. SII juga mengalami regresi perlahan
dan lalu menghilang.
Tibalah stadium laten yang tidak disertai dengan gejala. Meskipun infeksi yang aktif
masih terdapat.Sebagai contoh pada stadiu ini seorag ibu melahirkan bayi dengan sifilis
kongenital.
Kadang-kadang proses imunitas gagal mengontrol infeksi tersebut sehingga
T.pallidum membiak pada tempat SI danmenimbulkan lesi rekurenatau kuman tersebut

menyebar melalui jaringan menyebabkan reaksi serupa dengan lesi rekuren. SII

yang

terakhir ini lebih sering terjadi daripada yang terdahulu. Lesi menular tersebut dapat timbul
berulang, namun ada umumnya tidak terjadi melebihi dua tahun. 1
Stadium Lanjut
Stadium laten dapat berlangsung bertahun-tahun, rupanya treponema dalamkeadaan
dorman. Meskipun demikian, antibodi tetap ada dalam serum penderita. Keseimbangan
antara Treponema dan jaringan dapat berubah dengan sebab yang tidak jelas, mungkin trauma
merupakan faktor presipitasi. Pada saat itu muncullah SIII dalam bentuk guma. Meskipun
pada guma tersebut tidak ditemukan T.Pallidum, reaksinya hebat karena bersifat destruksi dan
berlangsung bertahun-tahun. Setelah mengalami masa laten yang bervariasi guma tersebut
akan muncul dibeberapa tempat.1,2
Treponema mencapai sistem kardiovaskular dan sistem saraf pada waktu dini, tetapi
kerusakan terjadi perlahan sehingga memerlukan waktu yang bertahun-tahununtuk
menimbukkan gejala klinis.Penderita dengan guma biasanya tidak mendapatkan gangguan
saraf dan kardiovaskular, demikian juga sebaliknya. Kira-kira dua pertiga kasus dengan
stadium laten tidak memberi gejala. 1,2
MANIFESTASI KLINIS
Sifilis Akuisita
A. Sifilis Dini
I. Sifilis primer (SI)
Sifilis primer biasanya ditandai oleh tukak tunggal (disebut chancre), tetapi bisa juga
terdapat tukak lebih dari satu 2. Tukak dapat terjadi dimana saja di daerah genitalia eksterna,
3 minggu setelah kontak. Lesi awal biasanya berupa papul yang mengalami erosi, teraba
keras karena terdapat indurasi. Permukaan dapat tertutup krusta dan terjadi ulserasi.
Ukurannya bervariasi dari beberapa mm sampai dengan 1-2 cm. Bagian yang mengelilingi
lesi meninggi dan keras. Bila tidak disertai infeksi bakteri lain, maka akan berbentuk khas
dan hampir tidak ada rasa nyeri. Kelainan tersebut dinamakan afek primer. Pada pria tempat
yang sering dikenai ialah sulkus koronarius, sedangkan pada wanita di labia minor dan
mayor. Selain itu juga dapat di ekstragenital, misalnya di lidah, tonsil, dan anus 1. Pada pria
selalu disertai pembesaran kelenjar limfe inguinal medial unilateral/bilateral 2.
Seminggu setelah afek primer, biasanya terdapat pembesaran kelenjar getah bening
regional di inguinalis medialis. Keseluruhannya disebut kompleks primer. Kelenjar tersebut

solitar, indolen, tidak lunak, besamya biasanya lentikular, tidak supuratif, dan tidak terdapat
periadenitis. Kulit di atasnya tidak menunjukkan tanda-tanda radang akut 1.

Gambar 1. Lesi sifilis primer

Afek primer tersebut sembuh sendiri antara tiga sampai sepuluh minggu. Istilah
syphilis d'emblee dipakai, jika tidak terdapat afek primer. Kuman masuk ke jaringan yang
lebih dalam, misalnya pada transfuse darah atau suntikan 1.
II.Sifilis sekunder (SII)
Biasanya S II timbul setelah enam sampai delapan minggu sejak S I dan sejumlah
sepertiga kasus masih disertai S I. Lama S II dapat sampai sembilan bulan. Berbeda dengan S
I yang tanpa disertai gejala konstitusi, pada S II dapat disertai gejala tersebut yang terjadi
sebelum atau selama S II. Gejalanya umumnya tidak berat, berupa anoreksia, turunnya berat
badan, malese, nyeri kepala, demam yang tidak tinggi, dan artralgia 1.
Manifestasi klinis sifilis sekunder dapat berupa berbagai ruam pada kulit, selaput
lendir, dan organ tubuh. Dapat disertai demam, malaise. Juga adanya kelainan kulit dan
selaput lendir dapat diduga sifilis sekunder, bila ternyata pemeriksaan serologis reaktif. Lesi
kulit biasanya simetris, dapat berupa makula, papul, folikulitis, papulaskuomosa, dan pustul.
Jarang dijumpai keluhan gatal. Lesi vesikobulosa dapat ditemukan pada sifilis congenital 2.
Kelainan kulit dapat menyerupai berbagai penyakit kulit sehingga disebut the .great
imitator. Selain memberi kelainan pada kulit, SII dapat juga memberi kelainan pada mukosa,
kelenjar getah bening, mata, hepar, tulang, dan saraf 1. Gejala lainnya adalah merasa tidak
enak badan (malaise), kehilangan nafsu makan, mual, lelah, demam dan anemia 1.

Gambar 2. Sifilis sekunder di daerah sekitar mulut dan genital

Pada S II yang masih dini sering terjadi kerontokan rambut, umumnya bersifat difus
dan tidak khas, disebut alopecia difusa. Pada S II yang lanjut dapat terjadi kerontokan
setempatsetempat, tampak sebagai bercak yang ditumbuhi oleh rambut yang tipis, jadi tidak
botak seluruhnya, seolah-olah seperti digigit ngengat dan disebut alopesia areolaris 1
Gejala dan tanda sifilis sekunder dapat hilang tanpa pengobatan, tetapi bila tidak
diobati, infeksi akan berkembang menjadi sifilis laten atau sifilis stadium lanjut 1.
III. Sifilis laten
Sifilis laten merupakan stadium sifilis tanpa gejala klinis, akan tetapi pemeriksaan
serologis reaktif. Dalam perjalanan penyakit sifilis selalu melalui tingkat laten, selama
bertahun-tahun atau seumur hidup. Akan tetapi bukan berarti penyakit akan berhenti pada
tingkat ini, sebab dapat berjalan menjadi sifilis lanjut, berbentuk gumma, kelainan susunan
syaraf pusat dan kardiovaskuler 2. Tes serologik darah positif, sedangkan tes likuor
serebrospinalis negatif. Tes yang dianjurkan ialah VDRL dan TPHA 1.
Fase ini bisa berlangsung bertahun-tahun atau berpuluh-puluh tahun atau bahkan
sepanjang hidup penderita. Pada awal fase laten kadang luka yang infeksius kembali muncul
1

.
IV. Sifilis Laten Dini
Laten berarti tidak ada gejala klinis dan kelainan, termasuk alat-alat dalam, tetapi

infeksi masih ada dan aktif. Tes serologik darah positif, sedangkan tes likuorserebrospinal
negatif. Tes yang dianjurkan ialah VDRL dan TPHA. Sifilis laten merupakan stadium sifilis
tanpa gejala klinis, akan tetapi pemeriksaan serologis reaktif. Dalam perjalanan penyakit
sifilis selalu melalui tingkat laten, selama bertahun-tahun atau seumur hidup. Akan tetapi
bukan berarti penyakit akan berhenti pada tingkat ini, sebab dapat berjalan menjadi sifilis
lanjut, berbentuk gumma, kelainan susunan syaraf pusat dan kardiovaskuler. Fase ini bisa
berlangsung bertahun-tahun atau berpuluh-puluh tahun atau bahkan sepanjang hidup
penderita. Pada awal fase laten kadang luka yang infeksius kembali muncul 1.
V. Stadium Rekuren
Relaps dapat terjadi baik secara klinis berupa kelainan kulit mirip SII, maupun
serologik yang telah negatif menjadi positif terutama pada sifilis yang tidak diobati atau yang
mendapat pengobatan tidak cukup. Umumnya bentuk relaps ialah SII, kadang-kadang SI.
Kadang-kadang relaps terjadi pada tempat afek primer dan disebut monorecidive 1.

B. Sifilis Lanjut
I. Sifilis laten lanjut
Biasanya tidak menular, diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan tes serologik.
Lama masa laten beberapa tahun hingga bertahun-tahun, bahkan dapat seumur hidup. Likuor
serebrospinalis hendaknya diperiksa untuk menyingkirkan neurosifilis asimtomatik.
Demikian pula sinar-X aorta untuk melihat, apakah ada aorititis 1.
II. Sifilis tersier (S III)
Lesi pertama umumnya terlihat antara tiga sampai sepuluh tahun setelah S I. Kelainan
yang khas ialah guma, yakni infiltrat sirkumskrip, kronis, biasanya melunak, dan destruktif 2.
Besar guma bervariasi dari lentikular sampai sebesar telur ayam. Kulit di atasnya mula-mula
tidak menunjukkan tanda-tanda radang akut dan dapat digerakkan. setelah beberapa bulan
mulai melunak, biasanya mulai dari tengah, tanda-tanda radang mulai tampak, kulit menjadi
eritematosa dan livid serta melekat terhadap guma tersebut. Kemudian terjadi perforasi dan
keluarlah cairan seropurulen, kadang-kadang sanguinolen; pada beberapa kasus disertai
jaringan nekrotik 1.
Tempat perforasi akan meluas menjadi ulkus, bentuknya lonjong/bulat, dindingnya
curam, seolah-olah kulit tersebut terdorong ke luar. Beberapa ulkus berkonfluensi sehingga
membentuk pinggiryang polisiklik. Jikatelah menjadi ulkus, maka infiltrat yang terdapat di
bawahnya yang semula sebagai benjolan menjadi datar. Tanpa pengobatan guma tersebut
akan bertahan beberapa bulan hingga beberapa tahun. Biasanya guma solitar, tetapi dapat
pula multipel, umumnya asimetrik. Gejala umum biasanya tidak terdapat, tetapi jika guma
multipel dan perlunakannya cepat, dapat disertai demam 1.
Selain guma, kelainan yang lain pada S III ialah nodus. Mula- mula di kutan
kemudian ke epidermis, pertumbuhannya lambat yakni beberapa minggu/bulan dan umumnya
meninggalkan sikatriks yang hipotrofi. Nodus tersebut dalam perkembangannya mirip guma,
mengalami nekrosis di tengah dan membentuk ulkus. Dapat pula tanpa nekrosis dan menjadi
sklerotik. Perbedaannya dengan guma, nodus lebih superfisial dan lebih kecil (miliar hingga
lentikular), lebih banyak, mempunyai kecenderungan untuk bergerombol atau berkonfluensi;
selain itu tersebar (diseminata). Warnanya merah kecoklatan 1.
Nodus-nodus yang berkonfluensi dapat tumbuh terns secara serpiginosa. Bagian yang
belum sembuh dapat tertutup skuama seperti lilin dan disebut psoriasiformis. Kelenjar getah

bening regional tidak membesar. Kelainan yang jarang ialah yang disebut nodositas juxta
articularis berupa nodus-nodus subkutan yang fibrotik, tidak melunak, indolen, biasanya
pada sendi besar 1.

Guma pada S III


S III pada mukosa
Guma jugs ditemukan di selaput lendir, dapat setempat atau menyebar. Yang setempat
biasanya pada mulut dan tenggorok atau septum nasi. Seperti biasanya akan melunak dan
membentuk ulkus, bersifat destruktif jadi dapat merusak tulang rawan septum nasi atau
palatum mole hingga terjadi perforasi. Pada lidah yang tersering ialah guma yang nyeri
dengan fisur-fisur tidak teratur serta leukoplakia 1.
S III pada tulang
Paling sering menyerang tibia, tengkorak, bahu, femur, fibula, dan humerus. Gejala
nyeri, biasanya pada malam had. Terdapat dua bentuk, yakni periostitis gumatosa dan osteitis
gumatosa, kedua-duanya dapat didiagnosis dengan sinar-X 1.
S III pada alat dalam
Hepar merupakan organ intra abdominal yang paling sering diserang. Guma bersifat
multipel, jika sembuh terjadi fibrosis, hingga hepar mengalami retraksi, membentuk lobuslobus tidak teratur yang disebut hepar lobatum 1.
Esofagus dan lambung dapat pula dikenai, meskipun jarang. Guma dapat
menyebabkan fibrosis. Pada paru juga jarang, guma solitar dapat terjadi di dalam atau di luar
bronkus; jika sembuh terjadi fibrosis dan menyebabkan bronkiektasi. Guma dapat menyerang
ginjal, vesika urinaria, dan prostat, meskipun jarang. S III pada ovarium jarang, pada testis

kadang-kadang berupa guma atau fibrosis interstisial, tidak nyeri, permukaannya rata dan
unilateral. Kadangkadang memecah ke bagian anterior skrotum 1.
Sifilis kardiovaskuler
Sifilis kardiovaskular bermanifestasi pada S III, dengan masa laten 15-30 tahun.
Umumnya mengenai usia 40-50 tahun. Insidens pada pria lebih banyak tiga kali daripada
wanita 1.
Biasanya disebabkan karena nekrosis aorta yang berlanjut ke arch katup. Tanda-tanda
sifilis kardiovaskuler adalah insufisiensi aorta atau aneurisms, berbentuk kantong pada aorta
torakal. Bila komplikasi ini telah lanjut, akan sangat mudah dikenal. Secara teliti harus
diperiksa kemungkinan adanya hipertensi, arteriosklerosis, penyakit jantung rematik
sebelumnya. Aneurisms aorta torakales merupakan tanda sifilis kardiovaskuler. Bila ada
insufisiensi aorta tanpa kelainan katup pada seseorang yang setengah umur disertai
pemeriksaan serologis darah reaktif, pada tahap pertama hares diduga sifilis kardiovaskuler,
sampai dapat dibuktikan lebih lanjut. Pemeriksaan serologis umumnya menunjukkan reaktif
2

Neurosifilis
Pada perjalanan penyakit neurosifilis dapat asimtomatik dan sangat jarang terjadi
dalam bentuk murni

1,2

. Pada semua jenis neurosifilis terjadi perubahan berupa endarteritis

obliterans pada ujung pembuluh darah disertai degenerasi parenkimatosa yang mungkin
sudah atau belum menunjukkan gejala pada saat pemeriksaan 2.
Neurosifilis dibagi menjadi empat macam:1,2
Neurosifilis asimtomatik.
Sifilis meningovaskular (sifilis serebrospinalis), misalnya meningitis, meningomielitis,
endarteritis sifilitika.
Sifilis parenkim: tabes dorsalis dan demensia paralitika.
Guma.
1. Neurosifilis asimtomatik
Diagnosis berdasarkan kelainan pada likuor serebrospinalis. Kelainan tersebut
belum cukup memberi gejala klinis 1.

2. Sifilis meningovaskular
Terjadi inflamasi vaskular dan perivaskular. Pembuluh darah di otak dan
medula spinalis mengalami endarteritis proliferatif dan infiltrasi perivaskular
berupa limfosit, sel plasma, dan fibroblast 1.
Pembentukan jaringan fibrotik menyebabkan terjadinya fibrosis sehingga
perdarahannya berkurang akibat mengecilnya lumen. Selain itu jugs dapat
terjadi trombosis akibat nekrosis jaringan karena terbentuknya gums kecil
multiple 1.
Bentuk ini terjadi beberapa bulan hingga lima tahun sejak S I. Gejalanya
bermacam-macam bergantung pada letak lesi. Gejala yang sering terdapat
ialah: nyeri kepala, konvulsi fokal atau umum, papil nervus optikus
sembab,

gangguan

mental,

gejala-gejala

meningitis

basalis

dengan

kelumpuhan saraf-saraf otak, atrofi nervus optikus, gangguan hipotalamus,


gangguan piramidal, gangguan miksi dan defekasi, stupor, atau koma.
Bentuk

yang

sering

dijumpai

ialah

endarteritis sifilitika dengan

hemiparesis karena penyumbatan arteri otak 1.


3. Sifilis parenkim
Termasuk golongan ini ialah tabes dorsalis dan demensia paralitika 1,2
Tabes dorsalis
Timbulnya antara delapan sampai dua betas tahun setelah infeksi
pertama. Kira-kira seperempat kasus neurosifilis berupa tabes dorsalis.
Kerusakan terutama pada radiks posterior dan funikulus dorsalis daerah
torako-lumbalis. Selain itu beberapa saraf otak dapat terkena, misalnya nervus
optikus, nervus trigeminus, dan nervus oktavus. Gejala klinis di antaranya ialah
gangguan sensibilitas berupa ataksia, arefleksia, gangguan virus, gangguan
rasa nyeri pada kulit, dan jaringan dalam. Gejala lain ialah retensi dan
inkontinensia urin. Gejala tersebut terjadi berangsur-angsur terutama akibat
demielinisasi dan degenerasi funikulus dorsalis 1.
Demensia paralitika
Penyakit ini biasanya timbul delapan sampai sepuluh tahun sejak
infeksi primer, umumnya pada umur antara tiga puluh sampai lima puluh
tahun. Sejumlah 10-15% dari seluruh kasus neurosifilis berupa demensia

paralitika.
Prosesnya ialah meningoensefalitis yang terutama mengenai otak,
ganglia basal, dan daerah sekitarventrikel ketiga. Lambat laun terjadi atrofi
pada korteks dan substansi albs sehingga korteks menipis dan terjadi
hidrosefalus 1.
Gejala klinis yang utama ialah demensia yang terjadi berangsurangsur dan progresif. Mula-mula terjadi kemunduran intelektual, kemudian
kehilangan dekorum, bersikap apatis, euforia, waham megaloman, dan
dapat terjadi depresif atau maniacal 1.
Gejala lain di antaranya ialah disartria, kejang-kejang umum atau
fokal, muka topeng, dan tremor terutama otot-otot muka. Lambat laun terjadi
kelemahan, ataksia, gejala-gejala piramidal, inkontinensia urin, dan akhirnya
meninggal 1.
4. Guma
Umumnya terdapat pada meninges, rupanya terjadi akibat perluasan pada
tulang tengkorak. Jika membesar akan menyerang dan menekan parenkim otak.
Guma dapat solitar atau multipel pada verteks atau dasar otak 1.
Keluhannya nyeri kepala, mual, muntah, dan dapat terjadi konvulsi dan
gangguan visus. Gejalanya berupa udema papil akibat peninggian tekanan
intrakranial, paralisis nervus kranial, atau hemiplegia 1.
Sifilis kongenital
Sifilis kongenital pada bayi terjadi, jika ibunya terkena sifilis, terutama sifilis dini
sebab banyak T. pallidum beredar dalam darah. treponema masuk secara hematogen ke janin
melalui plasenta yang sudah dapat terjadi pada saat mass kehamilan 10 minggu 1.
Sifilis yang mengenai wanita hamil gejalanya ringan. Pada tahun I setelah infeksi
yang tidak diobati terdapat kemungkinan penularan sampai 90%. Jika ibu menderita sifilis
laten dini, kemungkinan bayi sakit 80%, bila sifilis lanjut 30 % 1.
Pada kehamilan yang berulang, infeksi janin pada kehamilan yang kemudian menjadi
berkurang. Misalnya pada hamil pertama akan terjadi abortus pada bulan kelima, berikutnya
lahir mati pada bulan kedelapan, berikutnya janin dengan sifilis kongenital yang akan
meninggal dalam beberapa minggu, diikuti oleh dua sampai tiga bayi yang hidup dengan

sifilis kongenital. Akhirnya akan lahir seorang atau lebih bayi yang sehat. Keadaan ini disebut
hukum Kossowitz 1.
Pemeriksaan dengan mikroskop elektron tidak terlihat adanya atrofi lengkap. Hal
yang demikian saat ini tidak dianut lagi sebab ternyata infeksi bayi dalam kandungan dapat
terjadi pada saat 10 minggu masa kehamilan. Setiap infeksi sebelum 20 minggu kehamilan
tidak akan merangsang mekanisme imunitas, sebab sistem imun bayi yang dikandung belum
berkembang dan tidak tampak kelainan histologi reaksi bayi terhadap infeksi 2.
Gambaran klinis dapat dibagi menjadi sifilis kongenital dini (prekoks), sifilis
kongenital lanjut (tarda), dan stigmata

1,2

. Batas antara dini dan lanjut ialah dua tahun. Yang

dini bersifat menular, jadi menyerupai S 11, sedangkan yang lanjut berbentuk gums dan tidak
menular. Stigmata berarti jaringan parut atau deformitas akibat penyembuhan kedua stadium
tersebut 1.
Sifilis kongenital dini
Kelainan kulit yang pertama kali terlihat pada waktu lahir ialah bula
bergerombol, simetris pada telapak tangan dan kaki, kadang-kadang pada tempat
lain di badan. Cairan bula mengandung banyak T. pallidum. Bayi tampak sakit.
Bentuk ini adakalanya disebut pemfigus sifilitika 1.
Kelainan lain biasanya timbul pada waktu bayi berumur beberapa minggu dan
mirip erupsi pada S II, pada umumnya berbentuk papul atau papulo-skuamosa yang
simetris dan generalisata. Dapat tersusun teratur, misalnya anular. Pada tempat
yang lembab papul dapat mengalami erosi seperti kondilomata lata. Ragades
merupakan kelainan umum yang terdapat pada sudut mulut, lubang hidung, dan
anus; bentuknya memancar (radiating) 1.
Wajah bayi berubah seperti orang tua akibat turunnya berat badan sehingga
kulit berkeriput. Alopesia dapat terjadi pula, terutama pada sisi dan belakang kepala.
Kuku dapat terlepas akibat papul di bawahnya; disebut onikia sifilitika. Jika
tumbuh kuku yang bare akan kabur dan bentuknya berubah 1.
Pada selaput lendir mulut dan tenggorok dapat terlihat plaques muqueuses
seperti pada S II. Kelainan semacam itu sering terdapat pada daerah
mukoperiosteum dalam kavum nasi yang menyebabkan timbulnya rinitis dan disebut
syphilitic snuffles. Kelainan tersebut disertai sekret yang mukopurulen atau
seropurulen yang sangat menular dan menyebabkan sumbatan. Pernapasan dengan

hidung sukar. Jika plaques muqueuses terdapat pada laring suara menjadi parau.
Kelenjar getah bening dapat membesar, generalisata, tetapi tidak sejelas pada S 11.
Hepar dan lien membesar akibat invavasi T. pallidum sehingga terjadi fibrosis
yang difus. Dapat terjadi udema dan sedikit ikterik (fungsi hepar terganggu).
Ginjal dapat diserang, pada urin dapat terbentuk albumin, hialin, dan granular
cast. Pada umumnya kelainan ginjal ringan. Pada paru kadang-kadang terdapat
infiltrasi yang disebut "pneumonia putih" 1.
Tulang sering diserang pada waktu bayi berumur beberapa minggu.
Osteokondritis pada tulang panjang umumnyaterjadi sebelum berumur enam bulan
dan memberi gambaran khas pada waktu pemeriksaan dengan sinar-X. Ujung tulang
terasa nyeri dan bengkak sehingga tidak dapat digerakkan; seolah-olah terjadi
paralisis dan disebut pseudo paralisis Parrot. Kadang-kadang terjadi komplikasi
berupa terlepasnya epifisis, fraktur patologik, dan artritis supurativa. Pada
pemeriksaan dengan sinar-X terjadi gambaran yang khas. Tanda osteokondritis
menghilang setelah dua belas bulan, tetapi periostitis menetap. Koroiditis dan uveitis
jarang. Umumnya terdapat anemia berat sehingga rentan terhadap infeksi 1.

Gambar 3. Sifilis kongenital pada telapak kaki bayi

Neurosifilis aktif terdapat kira-kira 10%. Akibat invasi T. pallidum pada


otak waktu intrauterin menyebabkan perkembangan otak terhenti. Bentuk
neurosifilis meningovaskular yang lebih umum pada bayi muds menyebabkan
konvulsi dan defisiensi mental. Gangguan nervus II terjadi sekunder akibat

korioditis atau akibat meningitis karena guma. Destruksi serabut traktus piramidalis
akan menyebabkan hemiplegia/ diplegia. Demikian pula dapat terjadi meningitis
sifilitika akuta 1.
Sifilis kongenital lanjut
Umumnya terjadi antara umur tujuh sampai lima belas tahun. Guma dapat
menyerang kulit, tulang, selaput lendir, dan organ dalam. Yang khas ialah guma pada
hidung dan mulut. Jika terjadi kerusakan di septum nasi akan terjadi perforasi, bila
meluas terjadi destruksi seluruhnya hingga hidung mengalami kolaps dengan
deformitas. Guma pada palatum mole dan durum jugs sering terjadi sehingga
menyebabkan perforasi pada palatum 1.
Periostitis sifilitika pada tibia umumnya mengenai sepertiga tengah tulang dan
menyebabkan penebalan yang disebut sabre tibia. Osteoperiostitis setempat pada
tengkorak berupa tumor bulat yang disebut Parrot nodus, umumnya terjadi pada
daerah frontal dan parietal 1.
Keratitis interstisial merupakan gejala yang paling umum, biasanya terjadi antara
umur tiga sampai tiga puluh tahun, insidensnya 25% dari penderita dengan sifilis
kongenital dan dapat menyebabkan kebutaan. Akibat diserangnya nervus VIII terjadi
ketulian yang biasanya bilateral 1.
Pada kedua sendi lutut dapat terjadi pembengkakan yang nyeri disertai efusi
dan disebut Glutton's joints. Kelainan tersebut terjadi biasanya antara umur
sepuluh sampai dua puluh tahun, bersifat kronik. Efusi akan menghilang tanpa
meninggalkan kerusakan 1.
Neurosifilis

berbentuk

paralisis

generalisata atau tabes dorsalis.

Neurosifilis meningovaskular jarang, dapat menyebabkan palsi nervus kranial,


hemianopia, hemiplegia, atau monoplegia. Paralisis generalisata juvenilia
biasanya terjadi antara umur sepuluh sampai tujuh betas tahun. Taber juvenilia
umumnya terjadi kemudian dan belum bermanifestasi hingga dewasa muds. Aortitis
sangat jarang terjadi 1.
Stigmata
Lesi sifilis kongenital dini dan lanjut dapat sembuh Berta meninggalkan parut
dan kelainan yang khas. Parut dan kelainan demikian merupakan stigmata sifilis
kongenita, akan tetapi hanya sebagian penderita yang menunjukkan gambaran
tersebut 2.

1. Stigmata lesi dini 2


a. Gambaran muka yang menunjukkan saddlenose.
b. Gigi menunjukkan gambaran gigi insisor Hutchinson dan gigi Mullberry
c. Ragades
d. Atrofi dan kelainan akibat peradangan
c. Koroidoretinitis, membentuk daerah parut putih dikelilingi pigmentasi pada
retina.
2. Stigmata dan lesi lanjut 2
a. Lesi pada kornea: kekaburan kornea sebagai akibat ghost vessels
b. Lesi tulang: sabre tibia, akibat osteoeriostitis
c. Atrofi optik, tersendiri tanpa iridoplegia
d. Ketulian syaraf

PEMERIKSAAN TREPONEMA PALLIDUM SECARA SEROLOGI


Pemeriksaan serologi biasanya dilakukan pada pasien sifilis laten dan sifilis stadium
tersier, karena pada keadaan tersebut lesi pada kulit dan mukosa tidak ditemukan lagi.
Pemeriksaan serologi ini berguna untuk mendeteksi antibodi terhadap Treponema pallidum.
Ada dua jenis pemeriksaan serologi pada Treponema pallidum yaitu; uji nontreponemal dan
treponemal. Uji nontreponemal biasanya digunakan untuk skrining karena biayanya murah
dan mudah dilakukan. Sebagai ukuran untuk mengevaluasi tes serologi ialah sensitivitas dan
spesifitas. Sensitivitas ialah kemampuan untuk bereaksi pada penyakit sifilis. Sedangkan
spesifitas berarti kemampuan nonreaktif pada penyakit bukan sifilis. Makin tinggi sensitivitas
suatu tes, makin baik tas tersebut dipakai untuk tes screening. Tes dengan spesifitas tinggi
sangat baik untuk diagnosis. Makin spesifik suatu tes, makin sedikit memberi hasil semu
positif 1.

Tabel. Sensitivitas dan Spesifisitas pada tes serologik sifilis

Tes treponemal terutama digunakan untuk konfirmasi tes nontreponemal atau untuk
pemeriksaan pasien dengan gejala-gejala sifilis lanjut tanpa melihat bagaimanapun hasil tes
nontreponemalnya. Tes treponemal reaktif biasanya menunjukkan bahwa pasien pernah
terkena atau sedang terkena infeksi treponema patogen. Pada kebanyakan kasus, sekali tes
treponemal reaktif, akan tetap resktif seumur hidup. Namun jika pengobatan telah diberikan
pada sifilis awal, maka 10% diantaranya akan menjadi nonreaktif dalam waktu 2 tahun. Pada
umumnya hasil tes nonreaktif menunjukkan tidak adanya infeksi di masa lalu atau pada saat
ini, perlu diingat bahwa dalam masa inkubasi hasil tes masih nonreaktif karena belum
terbentuk antibodi 1.
Tes Treponemal
Pemeriksaan ini mendeteksi antibodi terhadap antigen treponemal dan memiliki
sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan uji nontreponemal, terutama sifilis lanjut.
Tes ini dapat digolongkan menjadi empat kelompok :
a. Tes imobilisasi : TPI (Treponemal pallidum Imobilization Test).
b. Tes fiksasi komplemen : RPCF (Reiter Protein Complement Fixation Test)
c. Tes imunofluoresen : FTA-Abs (Fluorecent Treponemal Antibody Absorption Test)
ada 2 yakni IgM dan IgG; FTA-Abs DS (Fluorecent Treponemal Antibody Absorption
Double Staining Test).
d. Tes hemoglutisasi : TPHA (Treponemal pallidum Haemoglutination Asssay); 19s IgM
SPHA (Solid-phase Hemabsorption Assay); HATTS (Hemagglutination Treponemal
Test for Syphilis); MHA-TP (Microhemagglutination Assay for Antibodies to
Treponemal pallidum).
Tes imobilisasi : TPI (Treponemal pallidum Imobilization Test)

TPI merupakan tes yang paling spesifik, tetapi mempunyai kekurangan; biayanya
mahal, teknis sulit, membutuhkan waktu banyak. Selain itu juga reaksinya lambat, baru
positif pada akhir stadium primer, tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan,
hasil dapat negatif pada sifilis dini dan sangat lanjut 1.
Tes fiksasi komplemen : RPCF (Reiter Protein Complement Fixation Test)
RPCF sering digunakan untuk tes screening karena biayanya murah; kadang-kadang
didapatkan reaksi positif semu 1.
Fluorescent Treponemal Antibody Absorption 1,B.
FTA-Abs paling sensitif (90%), terdapat 2 macam yaitu untuk IgM dan IgG yang
sudah positif pada waktu timbul kelainan S I. IgM sangat reaktif pada sifilis dini, pada terapi
yang berhasil titer IgM cepat turun, sedangkan IgG lambat. IgM penting untuk mendiagnosis
sifilis kongenital.
Prinsip Pemeriksaan:
Pemeriksaan FTA-ABS menggunakan teknik antibodi flouresens secara tidak
langsung, sebagai pemeriksaan konfirmasi terhadap sifilis. Pemeriksaan ini menggunakan
antigen Treponema pallidum subsp. Pallidum (strain Nichols). Serum pasien yang telah
diencerkan 1:5 dengan sorbent (ekstrak dari kultur Treponema phagedenis, Reiter
treponema), untuk menghilangkan beberapa antibodi treponema yang ditemukan pada
sebahagian pasien, dalam hal merespons treponema nonpatogenik. Selanjutnya ditempelkan
di atas slide yang sebelumnya telah difiksasi dengan Treponema pallidum. Jika serum pasien
mengandung antibodi, maka antibodi tersebut akan melapisi treponema. Fluorescein
isothiocyanate (FITC)-labeled antihuman immunoglobulin ditambah-kan, kemudian akan
terbentuk ikatan dengan antibodi IgG dan IgM pasien yang melekat pada Treponema
pallidum. Ikatan ini akan terlihat dan diperiksa dibawah mikroskop fluoresens.
Sampel
Sampel yang lazim dipakai adalah serum, namun bisa juga dari cairan spinal .
Prosedur Pemeriksaan
Serum

pasien

diencerkan

terlebih

dahulu

1:5

dengan

sorbent

(ekstrak

kulturTreponemareiter nonpatogen) untuk menghilangkan anti Treponemal antibodi


nonspesifik yang dihasilkan oleh sebahagian orang untuk merespons Treponema nonpatogen.
Kemudian sel substrat direaksikan dengan serum pasien. Serum diletakkan diatas kaca objek
yang telah difiksasi dengan sel Treponema pallidum yang sudah mati. Jika antibodi

Treponema pallidum ada pada serum pasien, antibodi tersebut akan melapisi sel Treponema
pallidum yang sudah terfiksasi pada slide. Langkah terakhir, antiimunoglobulin manusia yang
telah dilabel dengan zat warna flouresens seperti fluorescein isothiocyanate (FITC),
ditambahkan pada sediaan dan akan berikatan dengan beberapa antibodi pasien yang sudah
melekat pada substrat sel Treponema pallidum. Jika pasien sudah pernah terinfeksi sifilis,
spirokaeta akan terwarnai dan terlihat ketika diperiksa dengan mikroskop flouresens.
Intensitas warna dinilai dengan skala negatif (tidak ada flouresen), +1 sampai +4. Spesimen
dengan reaksi minimal (dibaca +1) harus diperiksa ulang.
Tabel 3. Laporan Hasil Pemeriksaan FTA-ABS

*Tanpa adanya riwayat klinis infeksi treponema, hasil pemeriksaan ini diragukan. Spesimen kedua
harus diperiksa 1-2 minggu setelah pemeriksaan spesimen awal dan dianjurkan kelaboratorium untuk
pemeriksaan serologi lainnya.

Interpretasi Hasil
Pemeriksaan FTA-ABS tidak dilakukan sebagai pemeriksaan rutin atau skrining.
Sangat penting membedakan hasil positif nontreponemal dengan positif palsu nontreponemal,
dan untuk mendiagnosis sifilis late atau late laten. Hasil pemeriksaan FTA-ABS reaktif,
berarti infeksi treponema patogenik baru atau lama. Hasil FTA-ABS nonreaktif mengandung
arti pemeriksaan nontreponemal reaktif adalah reaksi positif palsu.

Treponema pallidum Particle Agglutination 1dan


TPHA merupakan tes treponemal yang menerapkan teknik hemaglutinasi tidak
langsung untuk mendeteksi antibodi spesifik terhadap T. pallidum. Dalam tes ini dipakai sel
darah merah unggas yang dilapisi dengan komponen T. pallidum. jika serum pasien
mengandung antibodi spesifik terhadap T. pallidum, maka akan terjadi hemaglutinasi dan
membentuk pola yang khas pada pelat mikrotitrasi. Tes ini dimulai dengan titer 1/80, 1/160,
1/320 dan seterusnya.

Prinsip Pemeriksaan:
Prosedur pemeriksaan adalah aglutinasi pasif berdasarkan aglutinasi partikel gel yang
disensitisasi dengan antigen Treponema pallidum oleh antibodi serum pasien. Serum yang
mengandung antibodi terhadap treponema patogen bereaksi dengan partikel gel yang
disensitisasi dengan sonicated Treponema pallidum, Nichols strain (antigen), untuk
membentuk anyaman aglutinasi partikel gel yang halus didalam microtiter tray well. Jika
antibodi tidak ada, maka partikel akan berada pada bahagian bawah tray well, membentuk
tonjolan padat yang tidak beraglutinasi.
Prosedur Pemeriksaan Kualitatif:
Baris pertama dari microplate, 100 L diluent sampel pada well 1, dan 25 L pada
well 2 sampai 4, termasuk kontrol nonreaktif.
Tambahkan 25 L sampel pada well 1, homogenkan. Ambil 25 L pindahkan ke well
2, homogenkan. Lanjutkan sampai well 4. Buang 25 L dari well 4.
Periksa sampel serum pasien dan kontrol. Sisa serum sampel simpan disuhu -20
sampai -80C.
Untuk kontrol reaktif, siapkan pengenceran ganda dengan diluent sampel untuk
melewati endpoint titer (contoh 1:80, 1:160, 1:320, 1:640). Pada baris pertama tray,
letakkan 100 L diluent sampel pada well A1 dan 25 L pada well A2 sampai A10.
Tambahkan 25 L serum kontrol reaktif pada well A1, homogenkan. Ambil 25 L dari
well A1, pindahkan ke well A2, lanjutkan sampai well A10.
25 L diluent sampel pada well11 dan A12. Ini merupakan kontrol reagen.
Tambahkan partikel gelatin yang disensitisasi pada baris A, well A4 sampai A10 dan
well A11. Tambahkan 25 L larutan kerja eritrosit yang disensitisasi ke empat well
sampel serum pasien dan kontrol nonreaktif.
25 L partikel gelatin yang tidak disensitisasi pada well A3, A12, dan ketiga well
sampel pasien dan kontrol non reaktif.
Inkubasi tray pada suhu 180-300C selama 2 jam.
Pemeriksaan Secara Kuantitatif:

Sampel dengan aglutinasi yang tidak spesifik pada kontrol partikel yang tidak
disensitisasi dikonfirmasi dengan pemeriksaan kuantitatif.
Sampel diluent 100 L diletakkan pada baris pertama well dan 25 L pada well 2
sampai 12.
Serum 25 L ditambahkan pada well pertama, kemudian dihomogenkan.
Serum diluent 25 L dipindahkan dari well pertama ke well 2, homogenkan. Dari well
2 diambil 25 L dipindahkan ke well 3. Lanjutkan prosedur tersebut sampai well 12.
Dari well 12 diambil 25 L, kemudian dibuang.
Partikel yang tidak disensitisasi 25 L diletakkan pada well 3, dan 25 L partikel yang
disensitisasi pada well 4.
Homogenkan dengan alat automatik vibrator selama 30 detik. Tutup plate dan
diinkubasi selama 2 jam.
Baca hasil titer.
Tabel 4. Kriteria Menentukan Derajat Aglutinasi

Pembacaan dan Pelaporan Hasil:


1. Pola pengendapan partikel gelatin dibaca dengan skor aglutinasi yaitu skala sampai
2+ seperti pada tabel 4.
2. Pengenceran terakhir dari kontrol reaktif adalah 1+ (pembacaan pengenceran
terakhir). Pengenceran serum akhir didapatkan setelah penambahan semua reagen.

3. Serum kontrol nonreaktif tidak akan bereaksi pada pengenceran 1:80 dengan sel yang
disensitisasi.
Tes Nontreponemal
Uji nontreponemal yang paling sering dilakukan adalah uji VDRL dan RPR.
Pemeriksaan ini digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen yang terdiri dari
kardiolipin, kolesterol, dan lesitin yang sudah terstandardisasi. Uji serologi nontreponemal ini
merupakan uji yang dianjurkan untuk memonitor perjalanan penyakit selama dan setelah
pengobatan, karena pemeriksaannya mudah, cepat dan tidak mahal C.
Uji Venereal Disease Research Laboratory D
Pemeriksaan sifilis dengan metode VDRL mudah dilakukan, cepat dan sangat baik
untuk skrining. Uji VDRL dilakukan untuk mengukur antibodi IgM dan IgG terhadap materi
lipoidal (bahan yang dihasilkan dari sel host yang rusak) sama halnya seperti lipoprotein, dan
mungkin kardiolipin berasal dari treponema. Antibodi antilipoidal adalah antibodi yang tidak
hanya berasal dari sifilis atau penyakit yang disebabkan oleh treponema lainnya, tetapi dapat
juga berasal dari hasil respons terhadap penyakit nontreponemal, baik akut ataupun kronik
yang menimbulkan kerusakan jaringan.
Prinsip Pemeriksaan
Uji venereal disease research laboratory (VDRL) merupakan pemeriksaan slide
microflocculation untuk sifilis yang menggunakan antigen yang terdiri dari kardiolipin,
lesitin, dan kolesterol. Antigen tersebut disuspensikan dalam cairan bufer salin, membentuk
flocculates ketika digabungkan dengan antibodi lipoidal pada serum atau cairan serebrospinal
pasien sifilis.
Pengambilan Spesimen dan Penanganannya:
1. Hanya serum dan cairan serebrospinal yang digunakan sebagai spesimen.
2. Spesimen dimasukkan kedalam tabung yang bersih, kering, dan tanpa antikoagulan.
3. Setiap tabung spesimen diberi label identitas pasien dan tanggal.
Serum:
1. Spesimen dibiarkan pada suhu ruangan sekitar 20 menit (membeku).
2. Spesimen disentrifus 1000-1200 g selama 5 menit sampai terbentuk elemen sedimen
sel.
3. Serum dipindahkan ke tabung yang bersih, kering dan telah diberi label.

4. Spesimen dipanaskan dengan suhu 560C dalam water bath selama 30 menit pada saat
pemeriksaan.
5. Jika pemeriksaan spesimen ditunda lebih dari 4 jam, spesimen dipanaskan kembali
pada suhu 560C dalam water bath selama 10 menit.
6. Spesimen harus berada di suhu ruangan, 23-290C (730-850F) pada saat pemeriksaan
berlangsung.
7. Jika pemeriksaan ditunda lebih dari 4 jam, tabung spesimen ditutup dan disimpan
pada refrigerator dengan suhu 20-80C. Jika pemeriksaan ditunda lebih dari 5 hari,
spesimen dibekukan pada suhu dibawah -200C. Hindari freezing-thawing spesimen.

Prosedur Pemeriksaan Kualitatif untuk Serum:


1. Suspensi antigen VDRL yang baru disiapkan untuk setiap pemeriksaan. Temperatur
buffer salin, antigen, kontrol, spesimen, dan peralatan lainnya harus diantara 230290C (730-850F).
2. Serum diambil sebanyak 50 l dengan pipet, kemudian letakkan diatas paraffin atau
ceramic-ringedslide.
3. Suspensi antigen VDRL secara perlahan-lahan disuspensikan kembali, kemudian
diteteskan 17 l
1. ke masing-masing ceramic-ringedslide yang berisi serum.
4. Ceramic-ringedslide diletakkan diatas rotator, kemudian dipusing selama 4 menit
pada 180 2 rpm.
5. Segera setelah pemusingan,slidediangkat dari rotator dan langsung dibaca hasilnya.
6. Slide dibaca secara mikroskopis dengan pembesaran 100X.
Laporan Hasil
Gumpalan medium atau besar: reaktif (R)
Gumpalan kecil: reaktif lemah (W)
Tidak ada gumpalan/sedikit butiran: tidak reaktif (N)

Pemeriksaan VDRL secara Kuantitatif


1. Serum sampel diencerkan 1:8 sebanyak 3 serum spesimen diatas slide (gambar 10).

a. Gambar 10. Contoh Titrasi Serum


2. Larutan saline 0,9% 50 l diletakkan pada lingkaran 2 sampai 4, jangan diaduk.
3. Serum diambil sebanyak 50 l menggunakan pipet, kemudiaan diletakkan diatas
lingkaran 1 dan 50 l serum di lingkaran 2.
4. Larutan salin dan serum di lingkaran 2 dihomogenkan dengan mikropipet sebanyak
8x.
5. Ambil 50 l dari lingkaran 2 (1:2), diletakkan ke lingkaran 3, kemudian
dihomogenkan.
6. Ambil 50 l dari lingkaran 3 diletakkan ke lingkaran 4, homogenkan. Ambil 50 l
dari lingkaran 4 dan dibuang.
7. Suspensi antigen diteteskan sebanyak 17 l pada setiap lingkaran.
8. Letakkan sliden di atas rotator. Pusing slide selama 4 menit pada 180 2 rpm.
9. Setelah pemusingan, slide langsung dibaca.
10. Jika hasil pengenceran 1:8 reaktif, lanjutkan pemeriksaan:
0,1 ml serum, 0,7 ml larutan saline 0,9% dihomogenkan di dalam tabung reaksi
(pengenceran 1: 8).
50 l larutan saline 0,9% diletakkan di atas slide lingkaran 2,3, dan 4.
Ambil 50 l dari larutan pengenceran 1:8, letakkan ke lingkaran 1 dan 2.
Lakukan proses pengenceran mulai dari lingkaran 2, mengacu pada keterangan nomor
5-10.
Periksa dengan segera menggunakan mikroskop pembesaran 100x sama seperti
pemeriksaan secara kualitatif.
Laporkan hasil dengan pengenceran tertinggi yang memberikan hasil reaktif bukan
reaktif lemah, seperti Tabel dibawah ini.

Interpretasi Hasil:

Untuk mendiagnosis sifilis, hasil pemeriksaan VDRL reaktif harus digabung dengan
pemeriksaan treponema reaktif lainya seperti fluorescent treponemal antibody
absorption danmicrohemagglutination assay for antibodies to Treponema pallidum.

Hasil VDRL reaktif dapat bermakna infeksi baru atau lama dengan treponema
patogen, meskipun hasil reaksi positif palsu dapat juga terjadi. Hasil reaksi positif
palsu dapat disebabkan oleh kesalahan laboratorium dan serum antibodi yang tidak
ada hubungannya dengan sifilis.

Hasil VDRL nonreaktif tanpa gejala klinik sifilis dapat berarti tidak terinfeksi sifilis
dan pengobatan yang efektif. Apabila hasil VDRL nonreaktif disertai dengan gejala
klinik sifilis, dapat berarti sifilis primer dini, reaksi prozone pada sifilis sekunder.
Inkubasi dari infeksi sifilis tidak dapat disingkirkan dari hasil VDRL nonreaktif.

Rapid Plasma Reagin BdanC


Uji rapid plasma reagin (RPR) 18-mm circle card merupakan pemeriksaan
makroskopis, menggunakan kartu flocculation nontreponemal. Antigen dibuat dari modifikasi
suspensi antigen VDRL yang terdiri dari choline chloride, EDTA dan partikel charcoal.
Antigen RPR dicampur dengan serum yang dipanaskan atau tidak dipanaskan atau plasma
yang tidak dipanaskan diatas kartu yang dilapisi plastik.
Pemeriksaan RPR mengukur antibodi IgM dan IgG terhadap materi lipoidal,
dihasilkan dari kerusakan sel host sama seperti lipoprotein, dan mungkin kardiolipin
dihasilkan dari treponema. Antibodi antilipoidal merupakan antibodi yang diproduksi tidak
hanya dari pasien sifilis dan penyakit treponemal lainya, tetapi juga sebagai respons terhadap
penyakit nontreponemal akut dan kronik yang menyebabkan kehancuran jaringan. Jika di
dalam sampel ditemukan antibodi, maka akan berikatan dengan partikel lipid dari antigen

membentuk gumpalan. Partikel charcoal beraglutinasi dengan antibodi dan kelihatan seperti
gumpalan di atas kartu putih. Apabila antibodi tidak ditemukan didalam sampel, maka akan
kelihatan campuran berwarna abu-abu.
Pengambilan Spesimen dan Penanganannya:

Spesimen dapat berupa serum ataupun plasma EDTA.

Sentrifus sampel dengan kecepatan 1000-1200 x g selama 5 menit pada suhu ruangan.

Simpan serum di suhu refrigerator (20-80) jika pemeriksaan ditunda. Jika


pemeriksaan ditunda lebih dari 5 hari, spesimen dibekukan pada suhu -200 atau lebih
rendah. Hindari pengulangan freeze-thawing spesimen. Spesimen harus berada di
suhu 230C-290C; 730-850F pada saat pemeriksaan dilakukan.

Bahan dan Material:


1. Suspensi antigen RPR
2. Kontrol serum sampel
3. Saline 0,9%
4. Diluent
5. a 18-mm circle of the RPR test card
Prosedur Pemeriksaan Secara Kualitatif:

Serum atau plasma diletakkan diatas 18-mm circle of the RPR test card, sebanyak 50
l.

Suspensi antigen sebanyak 17 l diteteskan ke setiap lingkaran yang berisi serum atau
plasma.

18-mm circle of the RPR test card diletakkan diatas rotator, kemudian pusing selama
8 menit 100 2 rpm.

Nilai derajat reaktivitas dengan adanya gumpalan atau butir-butiran kasar.

Hasil pemeriksaan dilaporkan:


o Terdapat gumpalan: reaktif (R)
o Sedikit butiran atau tidak ada gumpalan: tidak reaktif (N)

Prosedur Pemeriksaan Secara Kuantitatif:

Encerkan spesimen serum yang dengan hasil tidak reaktif (sedikit butiran) pada
pemeriksaan kualitatif. Periksa setiap spesimen dengan pengenceran 1:1, 1:2, 1:4, 1:8,
dan 1:16

50 l salin 0,9% diteteskan diatas lingkaran no 2-5.

50 l serum diteteskan diatas lingkaran 1 dan 50 l serum di lingkaran 2.

Homogenkan saline dengan serum pada lingkaran 2.

Ambil 50 l dari lingkaran 2 (1:2), diteteskan diatas lingkaran 3.

Ambil 50 l dari lingkaran 3 (1:4), diteteskan diatas lingkaran 4.

Ambil 50 l dari lingkaran 4 (1:8), diteteskan ke lingkaran 5 (1:16), homogenkan,


kemudian dibuang 50 l dari lingkaran 5.

17 L suspensi antigen diteteskan ke setiap lingkaran.

The RPR test card diletakkan di atas rotator, kemudian dipusing selama 8 menit pada
100 2 rpm.

Gambar 11. 18-mm circle of the RPR test card


Tabel 2. Laporan Hasil Pemeriksaan RPR Kuantitatif

Interpretasi Hasil :
1. Mendiagnosis sifilis, hasil pemeriksaan RPR harus ditunjang dengan gejala klinis,
pemeriksaan serologi yang lain, mikroskop lapangan gelap dan faktor risiko. Tanpa
gabungan tersebut, hasil RPR tidak berhubungan dengan infeksi Treponema pallidum.

2. Hasil RPR reaktif dapat bermakna infeksi baru atau lama dengan treponema patogen,
meskipun hasil reaksi positif palsu dapat juga terjadi. Hasil reaksi positif palsu dapat
disebabkan oleh kesalahan laboratorium dan serum antibodi yang tidak ada
hubungannya dengan sifilis.
3. Hasil RPR nonreaktif tanpa gejala klinik sifilis dapat berarti tidak terinfeksi sifilis
atau pengobatan yang tidak efektif. Apabila hasil RPR nonreaktif disertai dengan
gejala klinik sifilis, dapat berarti sifilis primer dini, reaksi prozone pada sifilis
sekunder. Inkubasi dari infeksi sifilis tidak dapat disingkirkan dari hasil RPR
nonreaktif.

Positif Semu Biologik (P.S.B.)


P.S.B. atau Biologic False Positive (BFP) atau yang sering disebut positif semu saja
adalah suatu keadaan penderita tanpa menderita sifilis atau treponematosis yang lain, akan
tetapi pada pemeriksaan serum memberi reaksi positif, terutama dengan tes nontreponemal.
Serum seseorang tanpa menderita treponematosis dapat mengandung sedikit antibodi
treponemal. Jika mendapat infeksi dengan berbagai mikroorganisme, antibodi tersebut dapat
bertambah hingga memberi hasil tes nontreponemal positif; biasanya titernya rendah. Hal
tersebut dapat terjadi pula pada penyakit autoimun, sesudah vaksinasi, selama kehamilan dan
obat narkotik 1.
P.S.B. dibagi menjadi 2 macam; akut dan kronis. Disebut kronis jika menderita lebih
dari 6 bulan.
P.S.B. akut
Ciri khas pada P.S.B. akut: hasil tes nontreponemal positif lemah, tidak ada
persesuaian antara kedua tes; berakhir dalam beberapa hari/minggu, jarang melebihi enam
bulan sesudah penyakitnya sembuh 1.
P.S.B.Kronis
Pada bentuk ini tes treponemal akan memberikan reaksi positif yang berulang dalam
beberapa bulan/tahun. Hasil tes likuor serebrospinalis negatif.
Berbagai penyakit yang memberi P.S.B. kronis ialah : Lepra terutama tipe LL,
penyakit autoimun (misalnya lupus eritematosa sistemik/diskoid, skleroderma, anemia
hemolitik autoimun), rheumatic heart disease, multiple sclerosis like neuropathy, sirosis

hepatis, poliarteritis nodosa, psikosis, nefritis kronis, adiksi heroin, sklerosis sistemik dan
penyakit vaskular perifer. Tes yang dianjurkan untuk menyingkirkan P.S.B. ialah TPI, karena
tes tersebut mempunyai spesifisitas yang tinggi. Pada P.S.B. biasanya VDRL positif dengan
titer rendah, maksimum 1.
Positif Sejati
Positif sejati (true positive) pada T.S.S. ialah penyakit treponematosis yang
menyebabkan tes nontreponemal dan tes treponemal positif. Penyakit tersebut ialah penyakit
tropis/subtropis seperti frambusia, bejel dan pinta. Tes serologik yang dapat membedakan
sifilis dengan infeksi oleh treponema yang lain belum ada 1.
Menilai T.S.S. harus berhati-hati, harus ditanyakan apakah penderita berasal dari
daerah frambusia, di samping diperiksa apakah terdapat tanda-tanda frambusia atau bekasnya
1

T.S.S. dan kehamilan


Prenatal care harus diawali dan diakhiri dengan tes serologi sifilis. Dalam populasi
resiko tinggi juga harus dilakukan tes antara, yaitu pada awal trimester 3 atau masa
kehamilan 28 minggu. Meskipun ada dugaan hasil tes positif palsu pada seorang calon ibu
dengan tes nontreponemal dan treponemal reaktif, jika penyebabnya tidak dapat segera
dijelaskan, maka pengobatan harus diberikan. Pada saat kehamilan, ada kecenedrungan titer
tes nontreponemal setelah pengobatan meningkat kembali tanpa adanya reinfeksi 1.
Sifilis kongenital pada neonatus dipastikan dengan menemukan T. pallidum dalam
sekret hidung atau dalam spesimen yang berasal dari lesi kulit. Pada fetus yang terkena sifilis,
T. pallidum juga banyak ditemukan dalam organ hati. Jika tidak dapat menemukan
treponema, diagnosis didasarkan atas hasil tes serologi. Tes nontreponemal positif yang
dikonfirmasi dengan tes treponemal positif dianggap sebagai sifilis, sampai terbukti sesuatu
yang lain. Untuk membedakan kemungkinan transfer IgG pasif dari ibu, perlu dilakukan
penentuan IgM total dan IgM antibodi antitreponema dengan tes TFA-Abs. Seperti diketahui
IgM tidak dapat melewati sawar plasenta, namun jika sampai terjadi kontaminasi darah fetus
dengan IgM ibu akibat kerusakan plasenta, maka IgM ini akan menghilang secara cepat dari
peredaran darah begitu bayi lahir. Akan tetapi IgM yang disintesis secara aktif dalam
semester ketiga oleh fetus yang terkena infeksi, akan menetap dalam darah selama masih ada
infeksi. Dalam waktu 5 hari setelah bayi lahir, kadar IgM akan meningkat sebagai respons
terhadap kolonisasi bakteri, sehingga untuk dapat menyatakan adanya kenaikan, kadarnya

harus lebih dari 50 mg/dl. Adanya kenaikan kadar IgM bersamaan dengan hasil tes
nontreponemal dan treponemal positif menunjukkan petunjuk kuat adanya sifilis 1,2.
T.S.S. pada neurosifilis
Hasil tes VDRL pada cairan serebrospinalis tidak dapat dipercaya karena nonreaktif
pada 30-57% kasus neurosifilis aktif 1.
Reaktivitas dengan tes treponemal, terutama FTA-Abs dan/atau TPHA, dapat
disebabkan oleh transudasi IgG dari serum pada penderita yang telah diobati secara adekuat.
Jadi tidak selalu berarti terdapat neurosifilis yang aktif. Sebaliknya, jika hasilnya nonreaktif
dapat menyingkirkan diagnosis neurosifilis. Tes yang berguna untuk mendiagnosis
neurosifilis ialah 19S IgM SPHA, karena adanya IgM dalam cairan serebrospinalis yang
merupakan indikator tepat bagi neurosifilis 1.

1. Natahusada, EC, Djuanda A. Sifilis dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisyah S. Ilmu


Penyakit Kulit dan Kelamin, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2010. h:393-413.
2. Hutapea, NO. Sifilis dalam: Daili SF, Makes WIB, Zubier F. Infeksi Menular
Seksual, Balai Penerbit FKUI, Jakarta,2009. h:84-102.
3. Hartanti, A. Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Infeksi Sifilis Pada
Populasi Transgender Waria Di 5 Kota Besar Di Indonesia. Tesis. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Jakarta.
2012
4. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Surveilan Terpadu Biologis dan
Perilaku. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Jakarta. 2011
A.
B.
C.
D.
E.
F.

Pope V, Fears BF. Serodia treponema pallidum passive particle agglutination (Tp-Pa) Test (diunduh 05
Februari 2012). Tersedia dari: URL: HYPERLINK www.cdc.gov/std/syphilis/.../CHAPT10.pdf
George RW, Hunter EF, Fears M. fluorescent treponemal antibody-absorption (Fta-Abs) Test (diunduh
05 Februari 2012). Tersedia dari: URL: HYPERLINK www.cdc.gov/std/ syphilis/manual.../CHAPT12.pd
Ratnam S. The laboratory diagnosis of syphilis. Can J Infect Dis Med Microbiol, Canadian STI Best
Practice Laboratory Guidelines. 2005; (16): No. 1
Kennedy EJ, BS Jr, Creighton ET. Venereal disease research laboratory (VDRL) Slide Test (diunduh 26
Februari 2012). Tersedia dari: URL: HYPERLINK www.cdc.gov/ std/syphilis/.../CHAPT8.pdf

Anda mungkin juga menyukai