Anda di halaman 1dari 6

Aku menghembuskan nafasku dengan pelan.

Sepelan rindu yang mulai menghadirkan


kenangan. Kenangan yang selalu menari dengan indahnya di pikiranku. Waktu tak mampu
menghapus kenangan-kenangan tersebut meski setiap hari selalu ada kenangan baru. Cerita
baru tak mampu untuk aku melupakanmu. Sungguh sulit aku melupakan sahabat sepertimu.
Aku mengamati potret-potret usang dari sebuah album tua. Entah mengapa, bulir-bulir bening
selalu berhasil keluar dari sarangnya. Tak pernah aku bosan membuka album yang terkadang
berselimut debu ini. Di sana tersembunyi seribu cerita yang bernama sejarah persahabatan kita.

*******

Aku, kamu dan Christian bagai awan dan langit, saling melengkapi. Tak terlupakan pertama kali
kita bertemu. Di sini. Di Rumah Indonesia. Visi yang kita miliki menyatukan kita bertiga. Tiga
anak muda nekad yang bermodalkan visi dan passion untuk membangun pendidikan di
pedalaman.
Kenapa kamu ingin gabung di @Rumah_Indonesia ? tanyaku sebagai founder ketika
mewawancaraimu sewaktu perekrutan volunteer.
Saya orang Indonesia meski berdarah Tionghoa dan Thailand! Sebagai orang Indonesia, saya
ingin melakukan sesuatu bagi Indonesia, jawabmu dengan penuh kepercayaan diri.
Ok! Saya tidak menemukan alasan untuk menolak kamu bergabung di @Rumah_Indonesia .
Untuk pertama kalinya, aku melihat senyuman itu. Senyuman yang penuh semangat.
Senyuman yang meluluhkan kelelahan setelah hampir sehariaan menunggu. Menunggu anak

muda yang ingin mengabdi bagi pendidikan Indonesia. Setelah berjam-jam menunggu kamu
orang pertama yang datang mendaftar untuk bergabung.
Tidak lama setelah kehadiranmu, @BumiDinasty muncul dan mendaftarkan diri. Selanjutnya
hanya kita bertiga yang menjalankan @Rumah_Indonesia . Dengan segala keterbatasan kita
menyusuri pedalaman Sulawesi Barat.
*******

Aku manatap Bumi dan Christian yang tertidur terlelap dengan hanya beralaskan koran bekas
dan tumpukan baju di gubuk tua yang hanya berukuran 51,5 meter. Masih terngiang
pembicaraan antara aku dengan kalian berdua sebelum terlelap. Terlelap di malam yang gelap
tanpa listrik di pedalaman Sulawesi Barat.
Orang-orang di kota harusnya bersyukur kalau listrik padam, ucapmu spontan sambil
menikmati ubi rebus.
Kenapa? tanya Bumi dengan penuh keheranan.
Dalam kegelapan mereka bisa belajar, hidup mereka penuh kemewahan. Bandingkan dengan
di sini yang bertahun-tahun bahkan sejak mereka lahir tidak ada listrik di kampung mereka,
jawabmu dengan penuh semangat.
Aku hanya tersenyum. Lalu hening. Bisu. Diam.
*******

Kita sikat gigi pakai garam ya?

Kamu menatapku dengan kebingungan.

Odolnya habis. Di sini ngga ada yang jual. Harus turun gunung saat hari pasar kalau mau
menikmati odol, ujarku menjelaskan

Ow.

Begini caranya ucapku lalu mengambil garam dengan telunjuk tanganku dan
menggosokkannya ke gigiku.

Asin!

Bumi tertawa ketika mendengar ucapanmu. Aku ikut tersenyum meski hatiku perih.

Yah iyalah masa manis, kata Bumi ditengah tawanya.

*******

Dewantara! Badan Christian panas, teriak Bumi bingung ketika tanpa sengaja menyentuh
tubuh Christian. Christian sakit!
Aku langsung menghampirimu. Christian? tanyaku dalam kepanikan.
Tidak ada jawaban yang keluar dari bibirmu yang merah. Dahimu berkerut dan bibirmu
mendesah menahan sakit.
Sementara di luar gubuk, gerimis mulai turun.
Tubuh Christian kedinginan. Tidak ada jaket atau selimut. Aku dan Bumi berusaha
menghangatkan tubuhmu dengan menempelkan beberapa baju ke seluruh tubuhmu.
Kita ke dokter ya? usulku, meski aku sendiri tidak yakin mendapat pertolongan tanpa uang
yang cukup. Apa lagi ini di atas gunung.
Aku semakin bingung ketika kamu tidak menjawab. Kamu hanya mengerang dengan mata
tertutp rapat.
Tanpa berpikir panjang, aku menggendong tubuhmu dan membawamu turun ke kaki gunung.
Entah kenapa aku takut kehilangan dirimu. Bukan hanya aku, tapi Bumi juga. Sepanjang
perjalanan mulutnya tak berhenti mengucapkan doa. Meski baru empat bulan kita saling
mengenal tapi rasanya sudah seperti saudara sendiri. Rasanya seperti terjalin ikatan batin yang
kuat diantara kita bertiga.
Sehari tanpa ocehanmu rasanya ada yang aneh. Pertanyaan-pertanyaan sering terlontar dari
mulutmu hingga kadang aku kewalahan menjawabnya.
Maaf, dek. Dokternya lagi ke kota. Mungkin seminggu lagi baru pulang!

Aku mencoba kuat mendengar penjelasan tetangga sang Dokter yang sudah tiga tahun
mengabdi di kampung tersebut.
Aku kebingungan!
Nginap di rumah saya saja, dek. Besok kalian ke kota kecamatan saja. Di sana ada
puskesmas, sarannya dengan logat daerah yang kental.
Tak ada pilihan lain selain harus menunggu besok pagi.

*******

Pada akhirnya aku dan Bumi terpaksa memutuskan membawamu pulang ke Jakarta untuk
berobat.
Aku terdiam. Bumi terdiam.
Hasil pemeriksaan menyatakan kalau dia positif HIV.
Aku berdiri seperti patung.
Saat itu aku baru menyadari, kenapa tidak ada satu pun keluargamu yang mau menerimamu.
Astaga! Aku dan Bumi tidak peduli HIV yang bersarang di tubuhmu karena kenakalan masa
lalumu yang memakai narkoba. Bukankah kita semua memiliki masa lalu.

********

Happy birthday to you Happy birthdayHappy birthday.Happy birthday to you..


Aku dan Bumi menyanyikan lagu tersebut. Antara senang dan haru.
Tubuhmu yang mengurus setelah hampir dua tahun di rawat, tak menyurutkan pesona
senyumanmu yang penuh semangat.
Terima kasih! Thx Tara. Thx Bumi! ucapmu pelan. Air matamu jatuh.
Itulah ucapan terakhir yang bisa kamu ucapkan! Ucapan yang terngiang-ngiang hingga kini.
Setalah aku dan Bumi merayakan ulang tahunmu, kamu koma hampir enam bulan sebelum
menghembuskan nafas terakhirmu.
Setiap hari. Aku dan Bumi menjengukmu. Selalu berharap kita bertiga bisa seperti yang dulu.
Tertawa bersama. menelusuri pedalaman bersama. Namun Tuhan punya rencana.
Terima kasih, sahabat. Mengenalmu adalah anugerah dan kepergianmu adalah inspirasi.

Anda mungkin juga menyukai