BAB I
PENDAHULUAN
Ayam broiler merupakan unggas komersial yang dibudidayakan untuk
menghasilkan daging dalam waktu singkat (5-6 minggu). Pertumbuhan ayam broiler
yang cepat juga diikuti dengan kemampuan deposisi lemak yang tinggi. Produk
broiler dengan lemak tinggi biasanya kurang diminati konsumen karena
dikhawatirkan berkaitan dengan penyakit yang menyebabkan kolesterol tinggi. Disisi
lain, lemak dibutuhkan untuk mengatur suhu tubuh broiler dalam rangka
menanggulangi panas lingkungan. Oleh sebab itu, pada pemeliharaan broiler yang
suhu lingkungannya tinggi dan juga untuk mengurangi timbunan lemak tubuh
diupayakan dengan pembatasan porsi ransum disertai lama pencahayaan pada malam
hari. Pemeliharaan broiler pada lingkungan tropis dengan pemberian ransum tidak
terbatas menyebabkan ayam mengalami panas tubuh berlebihan yang mengakibatkan
cekaman. Menurut Hamidi (2006) ayam menjadi stres bila suhu lingkungan tinggi,
sehingga ayam berusaha mengeluarkan panas tubuh dengan mekanisme panting.
Akibat tingginya suhu lingkungan, nafsu makan ayam broiler menurun dan konversi
pakan juga kurang baik, maka protein yang dapat dimanfaatkan menjadi rendah.
Oleh sebab itu pembatasan pemberian ransum dilakukan di siang hari dan
mengoptimalkan pada malam hari yang memiliki suhu lebih sejuk, merupakan satu
cara untuk mencapai performans yang lebih baik baik.
melaporkan bahwa ayam broiler, terutama dengan pemberian porsi ransum berbeda
antara siang dan malam hari, menunjukkan adanya perbaikan efisiensi ransum dan
dapat pula mengurangi angka kematian. Demikian pula Nova (2005) pada ayam
broiler yang dibatasi ransum antara siang dan malam hari menunjukkan hasil secara
nyata dapat memperbaiki pertambahan bobot badan, konsumsi dan konversi ransum.
Pengaturan pemberian porsi ransum antara siang dan malam hari berkaitan dengan
lama pencahayaan, karena pencahayaan mempunyai peranan penting bagi ayam
untuk melakukan aktivitas seperti makan dan minum. Menurut Lewis dan Gous
(2007) pembatasan cahaya bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi broiler
dapat istirahat dari aktivitas makan untuk mendukung proses pencernaan lebih baik
dan mengurangi pengeluaran energi. Moore dan Siopes (2000) menyatakan bahwa
unggas yang diberi perlakuan dengan periode gelap cukup, mempunyai masalah
kesehatan yang lebih sedikit seperti sudden death syndrome, mortalitas, dan gangguan
pada kaki. Periode gelap harian diperlukan untuk membentuk pola sekresi hormon
melatonin secara normal. Menurut Apeldoorn et al. (1999) melatonin merupakan
hormon yang disekresikan dari kelenjar pineal yang terlibat dalam proses ritme
harian suhu tubuh, beberapa fungsi essensial metabolisme tubuh terkait dengan
konsumsi ransum dan pencernaan serta sekresi beberapa limphokines yang terkait
dengan sistem kekebalan.
retensi
menunjukkan banyaknya protein yang masuk yang selanjutnya menjadi chyme dapat
merangsang enzim usus halus sehingga meningkatkan kecernaan nutrient, terutama
protein. Peningkatan kecernaan protein juga menghasilkan retensi nitrogen yang
lebih baik.
Maghfiroh (2012)
menyatakan
mempengaruhi retensi nitrogen karena banyaknya protein yang dapat diserap tubuh
memiliki kesempatan untuk retensi nitrogen lebih banyak, sehingga pada akhirnya
dapat meningkatkan pertambahan bobot badan. Menurut Iqbal et al. (2012) bahwa
jumlah konsumsi protein berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan.
Penyerapan nutrien lebih baik pada malam hari ditunjukkan dengan adanya
peningkatan bobot badan yang selanjutnya menghasilkan rasio efisiensi protein yg
lebih baik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
tenang, bentuk tubuh besar, pertumbuhan cepat, bulu merapat ke tubuh, kulit putih
dan produksi telur rendah (Susilorini et al., 2002). Ayam broiler merupakan jenis ras
unggulan hasil persilangan dari bangsa-bangsa ayam yang memiliki daya
produktivitas tinggi, terutama dalam memproduksi daging. Jenis strain ayam ras
pedaging yang banyak beredar di pasaran adalah Cobb, Kim cross, Lohman, Hyline,
Vedette, Missouri, Hubbard, Shaver Starbro, Pilch, Yabro, Goto, Arbor Arcres,
Tatum, Indian River, Hybro, Cornish, Brahma, Langshans, Hypeco-Broiler, Ross,
Marshallm, Euribrid, dan Sussex.
dagang, seperti Super 77, Tegel 70, ISA, Lohman 202, A.A 70 (Arbor Arcres), H &N,
Bromo, CP 707 (Cobb) (Junaidi, 2009). Menurut Scott et al. (1982) ayam broiler
tumbuh relatif cepat pada hari pertama sampai 6 minggu.
berdasarkan umur dihubungkan dengan konsumsi ransum akan dilihat pada Tabel 1.
Periode pertumbuhan ayam broiler dibagi menjadi 2 yaitu; periode starter dan periode
finisher. Periode starter pada ayam broiler dimulai sejak umur 1 hari sampai umur 21
hari dan periode finisher dimulai sejak umur 21 hari sampai panen (Rasyaf, 1996).
Tabel 1. Hubungan antara Konsumsi Ransum dengan Bobot Badan Akhir Ayam
Broiler
Konsumsi Ransum
Bobot Badan
Kumulatif
-------------- g/ekor --------------1
150
159
2
520
418
3
1130
800
4
1930
1265
5
2920
1765
6
4050
2255
Sumber : Charoen Pokphand (2006)
Umur (minggu)
2.2.
FCR
0,94
1,24
1,24
1,53
1,65
1,80
jenis bahan ransum dengan komposisi tertentu. Pemberian ransum bertujuan untuk
menjamin pertumbuhan berat badan dan menjamin produksi daging (Siriwa dan
Sudarso, 2007). Fungsi ransum adalah memenuhi kebutuhan pokok untuk hidup,
membentuk sel-sel jaringan tubuh serta menggantikan bagian-bagian yang rusak
selanjutnya digunakan untuk keperluan produksi (Sudaryani dan Santoso, 1995).
Ransum broiler harus mengandung energi metabolis, asam-asam amino,
vitamin dan mineral yang mampu memenuhi kebutuhan nutrisinya.
Kebutuhan
energi untuk ayam broiler periode starter 3100 kkal dengan protein 21-22 %,
sedangkan pada periode finisher sebesar 3200-3300 kkal dengan protein 18-20 %
(Sudaryani dan Santoso, 2002). Zarate et al. (2003) menambahkan ayam broiler pada
periode finisher membutuhkan energi metabolis sebanyak 3200 kkal/kg. Kebutuhan
nutrien ransum ayam broiler akan dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kebutuhan Nutrien Ransum Ayam Broiler pada Periode Starter dan Periode
Finisher
Nutrien
Starter
Periode Finisher
Protein (%)
23,00%
20,00%
Energi Metabolis (kkal/ kg)
2800-3200
2900-3200
Kalsium (%)
1,00
0,90
Fosfor (%)
0,45
0,35
Sumber: NRC (1994)
Pemberian ransum pada broiler dapt dilakukan dengan dua cara, yaitu secara
konvensional atau dengan pembatasan. Pembatasan ransum akan dilakukan pada
tahap awal pertumbuhan, atau pada masa akhir pertumbuhan. Pembatasan ransum
pada broiler pada dasarnya merupakan program untuk memberikan ransum pada
ternak sesuai dengan kebutuhan hidup pokok pada umur dan periode tertentu
(Sudaryani dan Santoso, 1996). Pemberian ransum dengan porsi lebih banyak pada
malam hari dibanding siang hari jauh lebih baik sebab dapat membantu meningkatkan
efisiensi ransum (Amrullah, 2003). Pemberian ransum yang lebih banyak pada siang
hari dapat menurunkan produktivitas broiler, karena panas yang dihasilkan lebih
tinggi dari proses metabolisme tubuh ditambah panas karena temperatur lingkungan
yang tinggi sehingga konsumsi ransum dan bobot badan menurun (Mujahid et al.,
2007). Menurut Novalina (2009) bahwa gastrin dan cholecystokinin merupakan
hormon yang membantu mengatur pencernaan di dalam tubuh. Dijelaskan lebih lanjut
bahwa kedua hormon tersebut berperan dalam cepat dan lambatnya pengosongan
perut sehingga mempengaruhi konsumsi ransum karena semakin banyak ransum yang
dikonsumsi maka semakin banyak pula protein yang masuk ke dalam tubuh. Saat
suhu tinggi ransum yang dikonsumsi tidak bisa dicerna dengan baik dan nutrien
banyak yang dibuang dalam bentuk feses (Bell dan Weaver, 2002). Osma dan Tanios
(1982) bahwa sekresi enzim dalam saluran pencernaan menjadi rendah pada saat
ayam beradaptasi terhadap suhu panas.
Pemberian ransum adlibitum memberikan ayam mempunyai kesempatan
untuk mengkonsumsi ransum setiap saat yang
hasil peningkatan efisiensi ransum dan penurunan kandungan lemak tubuh dengan
berat badan normal. Para peneliti terdahulu (Nova, 2005; Ahmad dan Elfawati ,
2008; Santoso et al., 1993, 1995a,b, dan Darmawati, 2005) melaporkan bahwa ayam
broiler yang dibatasi pemberian ransumnya menunjukkan efisiensi ransum yang lebih
baik dan terjadi penurunan kandungan lemak tubuh. Keuntungan lain yang dapat
diperoleh dari program pembatasan ransum adalah dapat mengurangi angka
kematian, kelainan kaki dan penyakit metabolisme seperti ascites, sindrom kematian
mendadak, stress panas atau bahkan meningkatkan daya kekebalan tubuh terhadap
penyakit (Zulfanita et al, 2011). Broiler mengurangi konsumsi ransum secara fisiologi
untuk menekan produksi panas dalam tubuh dan berusaha untuk membentuk limfosit
sebagai antibodi sehingga ayam tidak mengalami cekaman yang mengakibatkan
ketahanan tubuh menurun (Aprilia, 2013). Zulkifli et al. (2000) melaporkan bahwa
ayam broiler terutama dengan pemberian porsi ransum berbeda antara siang dan
malam hari menunjukkan adanya perbaikan efisiensi ransum dan dapat pula
mengurangi angka kematian.
perlakuan pemberian porsi ransum 30% pada siang hari dan 70% pada malam hari
jauh lebih baik terhadap pertambahan bobot badan harian karena ransum yang
dikonsumsi pada malam hari lebih efisien untuk pembentukan jaringan tubuh.
Pembatasan ransum selama 3 jam (P) kemudian diberi ransum selama 1 jam diberi
ransum (D) dari umur 8 hari sampai 28 hari secara signifikan dapat memperbaiki
FCR dibanding pembatasan ransum 5P:1D, 7P:1D dan ad libitum. Respon imun
terhadap Newcastle disease dan infectious bursal disease pada umur 30 hari lebih
baik dibanding perlakuan lainnya (Mahmood et. al., 2007).
2.3.
10
(Lewis dan Gous, 2007). Pencahayaan dapat bermanfaat untuk perbaikan efisiensi
ransum, peningkatkan pertambahan bobot badan, peningkatan imunitas dan
mencegah kematian mendadak (Prayitno et al., 1994). Hasil penelitian Abbas et. al.
(2008) menunjukkan bahwa pencahayaan intermiten (2T:2G) meningkatkan
performans dan fungsi imunitas dibandingkan dengan pencahayaan normal 23T:1G
dan non-intermiten 12T:12G. Lama penyinaran 6 jam per hari dapat digunakan
sebagai pola pemberian ransum untuk mengurangi lemak abdominal, sindrom
kematian mendadak dan peningkatan kualitas karkas broiler (Oyedeji dan Atteh,
2005). Faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas pada
ayam adalah ketahanan tubuh yang baik terhadap lingkungan. Indikator ketahanan
tubuh sebagai bentuk respon ayam terhadap faktor penyebab cekaman dapat diketahui
dari komponen darah seperti rasio heterofil limfosit (H/L).
Pemberian cahaya
berselang pada malam hari dapat mengurangi cekaman pada broiler ditandai dengan
rendahnya nilai H/L (0,89) (Aprilia, 2013). Broiler dapat membentuk antibodi untuk
merespon dan menyesuaikan kondisi tubuh dari pengaruh luar lebih baik sehingga
ketahanan tubuh meningkat.
Sumber cahaya adalah asal sinar yang akan berasal dari alam dan buatan.
Adanya program pencahayaan dengan intensitas iluminasi sebesar 0,35 0,50 fc atau
intensitas cahaya 8 10 lux menyebabkan keadaan kandang tetap terang sehingga
memungkinkan ayam akan melihat dan memiliki kesempatan makan dan minum pada
malam hari (Fadilah, 2004). Mekanisme hormonal pada unggas, yaitu cahaya yang
masuk dan diterima oleh mata lalu diteruskan ke sistem saraf pusat, selanjutnya
11
atau
disebut
juga
hormon
pertumbuhan
(growth
hormone),
12
2.4.
13
metabolis dan protein atau asam amino harus diperhitungkan dengan baik. Untuk
mengetahui kecukupan protein yaitu dengan mengukur keseimbangan nitrogen.
Tinggi rendahnya kecernaan protein tergantung pada kandungan protein bahan
pakan dan banyaknya protein yang masuk dalam saluan pencernaan. (Tilman et al.,
1998). Zuprizal (2006) menjelaskan bahwa protein pertama kali dicerna pada
proventrikulus dengan adanya glandular stomach yang mensekresikan pepsinogen
dan HCl untuk memecah struktur tersier protein ransum. Segera setelah proteolisis
dimulai oleh pepsin di usus halus, selanjutnya di rombak oleh bantuan enzim tripsin,
dan kemotripsin. Penyempurnaan pencernaan protein dilakukan oleh erepsin (enzim
proteolitik) dan menghasilkan asam amino, selanjutnya diabsorbsi. Kandungan serat
kasar yang tinggi menyebabkan laju pakan dalam saluran pencernaan menjadi lambat,
proses pencernaan lebih lama sehingga penyerapan nutrient menjadi lebih baik
(Atmomarsono, 2000). Menurut Novalina (2009) bahwa gastrin dan cholecystokinin
merupakan hormon yang membantu mengatur pencernaan di dalam tubuh. Kedua
hormon tersebut berperan dalam cepat dan lambatnya pengosongan perut sehingga
mempengaruhi konsumsi ransum karena semakin banyak ransum yang dikonsumsi
maka semakin banyak pula protein yang masuk ke dalam tubuh menghasilkan
pertumbuhan optimal.
Protein ransum ternak termasuk dalam substansi yang mengandung nitrogen.
Retensi nitrogen adalah jumlah konsumsi nitrogen dikurangi dengan ekskresi
nitrogen dan nitrogen endogenous. Sejumlah nitrogen dalam protein ransum yang
mampu ditahan dan dipergunakan oleh ternak dinamakan retensi nitrogen (Sibbald
14
dan Wolynetz, 1985). Menurut Scott et al. (1982), perhitungan retensi nitrogen adalah
untuk mengetahui nilai kecernaan protein suatu bahan organik bahan pakan. Nitrogen
endogenous menurut Sibbald (1989) adalah nitrogen dalam ekskreta yang berasal dari
selain bahan pakan yaitu peluruhan sel mukosa usus, empedu dan saluran pencernaan.
Maghfiroh (2012) menjelaskan bahwa nilai kecernaan protein mempengaruhi retensi
nitrogen karena banyaknya protein yang dapat diserap tubuh memiliki kesempatan
untuk retensi nitrogen lebih banyak, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan
pertambahan bobot badan. Kualitas protein akan mempengaruhi besarnya retensi
nitrogen, semakin baik kualitas protein maka semakin baik pula tingkat retensi
nitrogen (Scott et al., 1982). Tinggi rendahnya retensi nitrogen yang diberikan
merupakan syarat untuk menunjang cepat lambatnya pertumbuhan ayam. Menurut
Suthama (2010) peningkatan kualitas ransum ternyata dapat memperbaiki penampilan
pertumbuhan dilihat dari pertambahan bobot badan dan massa protein daging karena
terjadi peningkatan retensi nitrogen dan sintesis protein. Retensi nitrogen yang tinggi
akan menghasilkan pertumbuhan ayam yang tinggi, sehingga produksi yang
diharapkan diperoleh dalam waktu yang cepat. Faktor yang mempengaruhi retensi
nitrogen yaitu konsumsi ransum, konsumsi protein, kualitas prot, serta imbangan
energi dan protein.
2.5. Performa Produksi Ayam Broiler
Pengukuran bobot badan dapat menjadi salah satu kriteria untuk mengukur
pertumbuhan pada ayam broiler. Pertambahan bobot badan merupakan manifestasi
15
dari pertumbuhan yang dicapai selama penelitian (Yunilas, 2005). Pertambahan bobot
badan merupakan kenaikan bobot badan yang dicapai oleh seekor ternak selama
periode tertentu. Menurut Rose (1997), pertumbuhan meliputi peningkatan ukuran
sel-sel tubuh akan peningkatan sel-sel individual dimana pertumbuhan itu mencakup
empat komponen utama yaitu adanya peningkatan ukuran skeleton, peningkatan total
lemak tubuh dalam jaringan adipose dan peningkatan ukuran bulu, kulit dan organ
dalam. Pertambahan bobot badan diperoleh dengan pengukuran kenaikan bobot
badan dengan melakukan penimbangan berulang dalam waktu tertentu misalnya tiap
hari, tiap minggu, tiap bulan, atau tiap tahun (Tillman et al., 1991). Menurut Bell dan
Weaver (2002) bahwa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan adalah galur ayam,
jenis kelamin dan faktor lingkungan yang mendukung.
Rasio efisiensi protein (protein efficiency ratio) adalah metode resmi dari
AOAC (Assosiation Official of Analytical Chemist) dan banyak digunakan untuk
menghitung kualitas protein (Tillman et al., 1991). Rasio efisiensi protein dinyatakan
sebagai pertambahan bobot badan dibagi konsumsi protein (Sidadolog dan Yuwanta,
2009). Rasio efisiensi protein dipengaruhi oleh dua hal yaitu pertambahan bobot
badan dan konsumsi protein (Mahfudz et al., 1997). Nuraini (2009), menambahkan
bahwa jumlah ransum yang dikonsumsi menentukan besarnya pertambahan bobot
badan yang dihasilkan. Dijelaskan lebih lanjut bahwa semakin bertambahnya umur
akan menurunkan nilai REP karena konsumsi ransum meningkat tetapi pertambahan
bobot badan relatif tetap, sehingga efisiensi protein menurun. Semakin tinggi nilai
REP berarti semakin efisien ternak menggunakan protein, sehingga pada akhirnya
16
akan berpengaruh juga pada pertumbuhan. Faktor yang mempengaruhi REP antara
lain yaitu kualitas asam amino dalam ransum, konsentrasi protein dan energi ransum,
serta umur.
BAB III
17
ayam berumur 7 hari dengan bobot badan rata-rata 95,344,12 g, dipelihara pada
kandang battery. Peralatan penunjang penelitian adalah tempat ransum, tempat
minum, lampu pijar (bohlam) sebagai alat bantu pemanas, dan timbangan digital.
Ayam percobaan diberi ransum komersial starter (BR1) dan finisher (BR2).
Kandungan nutrien dalam ransum dapat dilihat pada Tabel 3.
Sampel ekskreta
ditampung dari hasil pemberian ransum menggunakan Fe 2O3 sebagai indikator, dan
kandang dilengkapi kertas karton dan plastik untuk menampung ekskreta.
18
Periode
EM*
--kkal/kg--
Kadar Kadar
Protei
Air
Abu
n
Lemak
SK
Ca
P
---------------------------------- % ----------------------------------
3167.67
21.5
6.11
0.9
0.5
4
3007.7
19
3
0.91
0.81
5
Sumber : *Dihitung berdasarkan rumus Balton (Lampiran 1).
Starter
Finisher
3.2.
13.4
14.1
6.65
5.57
Prosedur Penelitian
Persiapan kandang dilakukan sebelum DOC datang dengan membersihkan
19
Sampel ekskreta diambil dengan metode total koleksi selama 5 hari terakhir
dari 5 ekor ayam setiap unit percobaan. Selama total koleksi, ransum dicampur Fe 2O3.
Ekskreta ditampung dengan nampan karton yang sudah dilapisi plastik dibagian
bawah kandang. Ekskreta yang telah terkumpul disemprot dengan HCL 0,1N setiap 4
jam untuk mencegah menguapnya N. Sampel ekskreta kering dihomogenkan,
kemudian ditimbang dan diambil secara komposit untuk dianalisis dengan metode
Kjeldahl.
3.2.1. Parameter Penelitian
Parameter yang diamati dalam penelitian adalah protein tercerna, kecernaan
protein, retensi nitrogen dan pertambahan bobot badan. Rumus perhitunganya adalah
sebagai berikut :
PK ransum terkonsums i PK feses / ekskreta
x100%
PK ransum terkonsums i
20
Sub plot :
Data hasil penelitian diolah secara statistik dengan program SAS, apabila ada
pengaruh nyata (p<0,05) perlakuan dilakukan uji wilayah ganda Duncan pada taraf
5% (Steel and Torrie, 1993). Model matematis yang digunakan sebagai berikut:
Yijk k i ik j ij ijk
Keterangan :
Yijk
= Rasio efisiensi protein dan retensi nitrogen pada kelompok ke-k yang
memperoleh taraf ke-i dari faktor lama pencahayaan dan taraf ke-j dari
pemberian porsi ransum berbeda.
= Nilai rataan umum.
= Pengaruh ulangan.
= Pengaruh aditif dari taraf ke-i faktor lama pencahayaan.
ik
Pengaruh galat yang muncul pada taraf ke-i dari lama pencahayaan dalam
kelompok ke-k (galat petak utama).
j
= Pengaruh aditif dari taraf ke-j faktor pemberian porsi ransum berbeda.
()ij = Pengaruh interaksi antara taraf ke-i dari lama pencahayaan dan taraf ke-j dari
pemberian porsi ransum berbeda.
ijk = Pengaruh galat percobaan pada kelompok ke-k yang memperoleh taraf ke-i
faktor lama pencahayaan dan taraf ke-j pemberian porsi ransum berbeda
(galat anak petak).
21
H0 :
ij
ransum dan lama pencahayaan berbeda terhadap penggunaan protein pada ayam
broiler)
H1 : minimal ada satu
ij
22
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
dan lama pencahayaan berbeda pada ayam broiler disajikan pada Tabel 4. Hasil
analisis ragam (Lampiran 2 dan 3) menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi
(P>0,05) antara pemberian porsi ransum dan lama pencahayaan berbeda terhadap
kecernaan protein dan retensi nitrogen. Faktor lama pencahayaan berpengaruh nyata
terhadap kecernaan protein dan retensi nitrogen pada broiler. Faktor lama
pencahayaan menyebabkan nilai kedua parameter (kecernaan protein dan retensi
nitrogen) T2 nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan T3 dan T1. Faktor pemberian
porsi ransum tidak memberikan perbedaan yang nyata (P>0,05).
Menurut Lewis dan Gous (2007) pembatasan cahaya juga bertujuan
memberikan kesempatan bagi broiler untuk beristirahat dari aktivitas makan untuk
mendukung proses pencernaan didalam tubuh sehingga dapat berlangsung secara
maksimal dan mengurangi pengeluaran energi. Perlakuan cahaya pada T2
memberikan pengaruh sedikit lebih baik dibanding perlakuan T1, tetapi nyata lebih
baik dibanding T3 karena pemberian periode terang lebih lama. Pemberian cahaya
yang lebih lama diterima oleh hipotalamus sehingga mempengaruhi kerja saluran
pencernaan melalui rangsangan hormon yang berhubungan dengan proses
23
pencernaan. Menurut Etches, (2000) bahwa mekanisme hormonal pada unggas, yaitu
cahaya yang masuk dan diterima oleh mata lalu diteruskan ke sistem saraf pusat,
selanjutnya merangsang hipotalamus mensekresikan releasing factor (faktor
pembebas) yang berfungsi memacu hipofisis untuk mensekresikan hormon
somatotropic hormone (STH) atau disebut juga hormon pertumbuhan (growth
hormone), adrenocorticotrophic hormone (ACTH) dan thyrotropic stimulating
hormone (TSH), serta hormon seksual. Pencahayaan memberikan kesempatan broiler
untuk mengkonsumsi ransum. Banyaknya ransum yang dikonsumsi menunjukkan
banyaknya protein yang masuk yang selanjutnya bersama serat kasar menjadi chyme
yang dapat merangsang enzim diusus halus sehingga meningkatkan kecernaan
protein. Zuprizal (2006) menjelaskan bahwa protein pertama kali dicerna pada
proventrikulus dengan adanya glandular stomach yang mensekresikan pepsinogen
dan HCl untuk memecah struktur tersier protein ransum. Segera setelah proteolisis
dimulai oleh pepsin di usus halus, selanjutnya di rombak oleh bantuan enzim tripsin,
dan kemotripsin. Penyempurnaan pencernaan protein dilakukan oleh erepsin (enzim
proteolitik) dan menghasilkan asam amino, selanjutnya diabsorbsi. Setianto (2009)
menyatakan bahwa secara umum gelap yang lebih panjang diasosiasikan dengan
penurunan kecernaan protein, tetapi sebaliknya dengan periode terang lebih lama
ayam dapat meningkatkan konsumsi ransum dan pada saat periode gelap hormon
melantonin dapat bekerja lebih efektif sehingga kecernaan protein meningkat.
Menurut Pang et al. (1996) bahwa selama gelap kelenjar pineal ayam mensekresikan
hormon melatonin. Apeldorn et al. (1999) melaporkan bahwa melatonin merupakan
24
hormon yang disekresikan dari kelenjar pineal yang terlibat dalam proses ritme harian
suhu tubuh yang berhubungan dengan beberapa fungsi esensial metabolisme tubuh
terkait dengan konsumsi ransum dan pencernaan protein.
Tabel 4. Rerata Kecernaan Protein dan Retensi Nitrogen Akibat Pemberian Porsi
Ransum dan Lama Pencahayaan Berbeda pada Ayam Broiler
Pembatasan
Kecernaan
Protein
Retensi
Nitrogen
Lama Pencahayaan
T1
T2
T3
................
%
.................
Rerata
R1
66,53
73,67
67,03
69,08a
R2
Rerata
66,50
66,51ab
74,12
73,90a
68,54
67,79b
69,72a
R1
1,99
2,32
2,04
2,12a
R2
2,23
2,23
1,94
2,13a
Rerata
2,11ab
2,27a
1,99b
Keterangan: Nilai rerata dengan superskrip berbeda menunjukkan perbedaan nyata
(P<0,05).
Pembatasan porsi ransum R1 dan R2 tidak mempengaruhi kecernaan protein
pada broiler. Pembatasan porsi ransum yang hanya berbeda 10% antara R1 dan R2
tidak memberikan perbedaan pengaruh meskipun secara teori pemberian ransum yang
lebih banyak pada malam hari jauh lebih baik sebab dapat membantu meningkatkan
performans pada broiler. Sekresi enzim daerah suhu panas (tropis) tidak
menunjukkan pengaruh pada R1 dan R2, meskipun menurut hasil penelitian Osma
dan Tanios (1982) bahwa sekresi enzim dalam saluran pencernaan menjadi rendah
pada saat ayam beradaptasi terhadap suhu panas, sehingga pembatasan ransum
25
terhadap pemanfaatan protein tidak ada perbedaan antar R1 dan R2. Fenomena ini
tidak sesuai dengan pernyataan Amrullah (2003) bahwa pemberian ransum dengan
porsi lebih banyak pada malam hari dibanding siang hari jauh lebih baik sebab dapat
membantu meningkatkan efisiensi ransum. Perbedaan hasil penelitian tersebut karena
R1 dan R2 diberikan ransum berbeda 10% dan sudah digunakan sebagai kompensasi
adaptasi lingkungan panas, sehingga pembatasan porsi ransum pada malam hari
menyebabkan kecernaan protein yang sama.
Kecernaan protein yang lebih tinggi juga menghasilkan retensi nitrogen yang
lebih baik. Retensi nitrogen sangat berkaitan dengan kecernaan dan konsumsi protein
karena banyaknya konsumsi protein mempengaruhi besarnya pemanfaatan nitrogen
(retensi nitrogen). Pencahayaan diberikan untuk memberi kesempatan ayam
meningkatkan konsumsi ransum, semakin banyak ransum yang dikonsumsi maka
semakin banyak pula protein yang dapat dimanfaatkan. Selanjutnya, dengan didukung
hormon melantonin yang bertugas mengatur ritme kerja tubuh saat periode gelap,
protein yang masuk dapat dimanfaatkan lebih efektif agar dapat meningkatkan daya
cerna sehingga nitrogen yang diretensi juga meningkat. Berdasarkan pernyataan
Apeldorn et al. (1999) bahwa hormon yang disekresikan dari kelenjar pineal yang
terlibat dalam proses ritme harian suhu tubuh disebut melatonin, beberapa fungsi
esensial metabolisme tubuh terkait dengan dan pencernaan protein. Menurut
Sulistyoningsih (2009) walaupun dalam keadaan gelap melatonin terus mengatur
proses metabolisme dan
26
27
protein yang dapat diserap tubuh memiliki kesempatan untuk retensi nitrogen lebih
banyak, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan pertambahan bobot badan.
4.2.
pencahayaan pada ayam broiler disajikan pada Tabel 5. Hasil analisis ragam
(Lampiran 4) menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi (P>0,05) antara
pembatasan porsi ransum dan lama pencahayaan terhadap pertambahan bobot badan.
Faktor lama pencahayaan secara parsial mempengaruhi pertambahan bobot badan
ayam broiler secara nyata (P<0,05), tetapi tidak karena faktor pembatasan porsi
ransum. Lama pencahayaan 6 jam (T2) dan intermitten (T3) meningkatkan
pertambahan bobot badan nyata lebih tinggi dibandingkan pencahayaan 4jam (T1)
tetapi berbeda antara T2 dan T3. Periode terang yang lebih lama pada T2 maupun T3
membuat ayam broiler dapat mengkonsumsi ransum lebih banyak sehingga protein
yang masuk yang juga banyak sebagai asupan untuk dapat dicerna. Selanjutnya, pada
periode gelap hormon melantonin yang dikeluarkan menyebabkan kecernaan protein
meningkat sehingga menghasilkan pertambahan bobot badan yang lebih baik dan
sama antara T2 dan T3.
28
Tabel 5. Rerata Pertambahan Bobot Badan Akibat Pemberian Porsi Ransum dan
Lama Pencahayaan Berbeda pada Ayam Broiler
Pembatasan
Lama Pencahayaan
Rerata
T1
T2
T3
................
g
.................
1471,49
1602,18
1588,44
1554,04a
R1
1534,46
1600,78
1583,53
1572,92a
R2
1502,97b
1601,48a
1585,99a
Rata-rata
Keterangan: Superskrip berbeda pada nilai rerata di baris dan kolom menunjukkan
ada perbedaan yang nyata (P<0,05).
Menurut Prayitno et al. (1994) pencahayaan dapat bermanfaat untuk
perbaikan efisiensi ransum, peningkatkan pertambahan bobot badan, peningkatan
imunitas dan mencegah kematian mendadak. Menurut Iqbal et al. (2012) menyatakan
bahwa jumlah konsumsi protein berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan,
karena erat hubungannya dengan sintesis protein tubuh yang bersumber dari protein
ransum. Secara umum dapat dijelaskan bahwa lama pencahayaan meningkatkan
konsumsi ransum yang berarti meningkatkan konsumsi protein juga sehingga
memberikan kontribusi terhadap pertambahan bobot badan karena adanya substrat
untuk disintesis protein tubuh. Menurut Suthama (2010) peningkatan kualitas ransum
ternyata dapat memperbaiki penampilan pertumbuhan dilihat dari pertambahan bobot
badan dan massa protein daging karena terjadi peningkatan retensi nitrogen dan
sintesis protein. Penyerapan nutrien dapat dilihat dari pemanfaatan nitrogen yang
lebih baik dalam meningkatkan efisiensi protein yang berarti bahwa ransum yang
dikonsumsi secara efisien dapat memperbaiki produksitivitas ayam broiler. Menurut
29
Moore dan Siopes (2000) pemberian periode gelap yang cukup pada unggas
berdampak pada kesehatan yang lebih rendah seperti sudden death syndrome,
mortalitas, dan gangguan pada kaki. Setianto (2009) juga menyatakan bahwa periode
gelap yang lebih panjang menghasilkan mortalitas yg lebih rendah.
Pembatasan porsi ransum tidak mempengaruhi pertambahan bobot badan pada
broiler. Suhu yang tinggi pada siang hari menyebabkan ayam broiler harus
beradaptasi dengan mengurangi konsumsi ransum untuk mengurangi produksi panas
didalam tubuh tanpa berdampak negatif terhadap proses pencernaan. Pembatasan
porsi ransum yang hanya berbeda 10% tidak memberikan makna yang berarti karena
menghasilkan kecernaan protein dan retensi nitrogen yang sama. Menurut Mujahid et
al. (2007) pemberian ransum yang lebih banyak pada siang hari dapat menurunkan
produktivitas broiler, karena panas yang dihasilkan lebih tinggi dari proses
metabolisme tubuh ditambah panas karena temperatur lingkungan yang tinggi
sehingga konsumsi ransum dan bobot badan menurun.
4.3.
pencahayaan berbeda pada ayam broiler disajikan pada Tabel 6. Hasil analisis ragam
(Lampiran 5) menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi (P>0,05) antara pemberian
porsi ransum dan lama pencahayaan berbeda terhadap rasio efisiensi protein. Faktor
lama pencahayaan berpengaruh nyata terhadap rasio efisiensi protein pada ayam
broiler (P<0,05). Lama pencahayaan 6 jam (T2) menghasilkan rasio efisiensi protein
30
lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan T1 dan T3. Namun, faktor pemberian porsi
ransum tidak menyebabkan perbedaan (Tabel 6).
Tabel 6. Rerata Rasio Efisiensi Protein Akibat Pemberian Porsi Ransum dan Lama
Pencahayaan Berbeda pada Ayam Broiler
Pembatasan
Lama Pencahayaan
T2
Rerata
T1
T3
................
.................
2,50a
2,59
2,80
2,12
R1
2,56a
2,10
3,13
2,47
R2
2,35ab
2,96a
2,29b
Rerata
Keterangan: Nilai rerata dengan superskrip berbeda menunjukkan perbedaan nyata
(P<0,05).
Perlakuan lama pencahayaan T2 memberikan pengaruh lebih baik dibanding
T1 dan T3 karena pemberian periode terang lebih lama menyebabkan konsumsi
ransum pada ayam broiler meningkat sehingga protein yang masuk juga tinggi,
kemudian pada periode gelap protein tersebut dapat dicerna dengan baik yang
didukung adanya hormon melantonin. Semakin tinggi rasio efisiensi protein
menunjukkan semakin efisien ternak menggunakan protein. Pemberian cahaya yang
lebih lama diterima oleh hipotalamus sehingga mempengaruhi kerja saluran
pencernaan melalui rangsangan hormon yang berhubungan dengan proses
pencernaan. Menurut Novalina (2009) bahwa gastrin dan cholecystokinin merupakan
hormon yang membantu mengatur pencernaan di dalam usus. Kedua hormon tersebut
berperan dalam menentukan cepat atau lambatnya pengosongan usus sehingga
mempengaruhi konsumsi ransum .Semakin banyak ransum yang dikonsumsi, maka
31
32
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa lama pencahayaan 6
efisiensi protein dan pertambahan bobot badan yang lebih baik dibanding dengan
perlakuan pencahayaan 4 jam dan cahaya berselang. Namun pembatasan porsi
ransum menunjukkan hasil yang sama.
5.2.
Saran
Penelitian lebih lanjut dengan lama pencahayaan dan pembatasan porsi
ransum yang lebih bervariasi disertai kajian tentang kondisi saluran pencernaan
sehingga dapat diketahui pengaruh yang lebih efektif.
33
DAFTAR PUSTAKA
Abbas,O. A., A. K. Alm El-Dein, A. A. Desoky and Magda A. A. Galal. 2008. The
effects of photoperiod programs on broiler chicken performance and immune
response. Poult. Sci. 7 (7): 665-671.
Ahmad danElfawati. 2008. Performans ayam broiler yang diberi sari buah mengkudu
(Morindacitrifolia). J. Pet. 5:10-13.
Amrulah, I. K. 2003. Nutrien Ayam Broiler. Lembaga Satu Gunung Budi, Bogor
Apeldoorn, E.J., J.W. Schrama, M.M. Mashaly and H.K. Johnson, R.W. 1997.
Inhibition of growth by proParmentier,1999. Effect of melatonin and
lightingscheduleon energy metabolism in broiler chickens. Poult. Sci. 78: 223229.
Appleby, M. C., J. A. Mench, and B. O. Hughes. 2004. Poultry Behaviour and
Welfare. CABI Publishing, Edinburgh.
Aprilia, F. 2013. Rasio heterofil limfosit dan bobot relatif bursa fabrisius akibat
kombinasi pemberian porsi ransum dan lama pencahayaan berbeda pada ayam
broiler. Universitas Diponegoro, Semarang. (Skripsi).
Atmomarsono, U. 2000. Pengaruh substitusi dedak halus dalam ransum komersial
terhadap efisiensi produksi dan ukuran saluran pencernaan pada ayam F1
persilangan. J. Trop. Anim. Dev. 25 (4): 159-164.
Bell, D. D. and W. D. Weaver Jr. 2002. Commercial chicken Meat and Egg
Production 5th Ed. Kluwer Academic Pub., New York.
Charoen Pokphand Indonesia. 2006. Manual Broiler Manajemen CP 707. Charoen
Pokhpand Indonesia, Jakarta.
Darmawati. 2005. Pemberian pakan terbatas secara periodik pada ayam pedaging
(Lenghorn). J. Biol. 1 (2) :43-46.
Hamidi, B. 2006.Perlunya Broiler dipuasakan.Buletin CP. Edisi April N0.76/ tahun
VII, Jakarta.
Etches RJ. 2000. Reproduction in Poultry. CAB International, Singapore.
34
35
Mujahid, A., Y. Akiba and M. Toyomizu. 2007. Acute heat stress induces oxidative
stress and decreases adaptation in young white leghorn cockerels by down
regulation of avian uncoupling protein. Poult. Sci. 86 : 364-371.
Murtidjo, B. A. 2000. PedomanBeternakAyam Broiler.Kanisius, Yogyakarta.
Nova, K. 2005. Pengaruh perbedaan persentase pemberian ransum antara siang dan
malam hari terhadap performans broiler strain CP 707. Anim. Prod. 10(2): 117121.
Novalina.
2009.
Peranan
Hormon
dalam
Proses
Pencernaan.
Novalinahasugian.blogspot.com/2009/05/peranan-hormon-dalam-prosespencernaan.html. (Diakses tanggal 20 Juni 2014)
National Research Council (NRC). 1994. Nutrient Requirements of Poultry. 9th Ed.
National Academy Press. Washington, D.C.
Pang, S. F., C. S. Pang, A. M. S. Poon, Q. Wan, Y. Song and G. M. Brown, 1996. An
overview of melatonin and melatonin receptors in birds. Avian Biol. Rev.7:
217-228.
Nuraini. 2009. Performa broiler dengan ransum mengandung campuran ampas sagu
dan ampas tahu yang difermentasi dengan Neurospora crassa. Med. Pet. 32:
196-203.
Osman, A. M. and N. I.Tanios. 1982. The effect of heat on the intestinal and
pancreatic levels of amylase and maltase of laying hens and broilers. J.
Physiol. Biochem.75A (4): 563-567.
Oyedeji, J. O. and J. O. Atteh. 2005. Effects of nutrient density and photoperiod on
the performance and abdominal fat of broilers. Int. J. Poult. Sci. 4 (3): 149152.
Prayitno, D.Sunarti., C.J.C. Phillips and H.M. Omed. 1994. The effect of colour and
intensity of light on behaviour and performance of broiler. Br. Poult.Sci.35:
826-827.
Rasyaf, M. 1996. Beternak Ayam Pedaging. Penebar Swadaya, Jakarta.
Rose, S.P. 1997. Principles of Poultry Science. Cab International, Wallingford.
36
37
Suthama, N. 2010. Pakan Spesifik Lokal dan Kualitas Pertumbuhan Untuk Produk
Ayam Lokal Organik. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Universitas Diponegoro,
Semarang.
Susilorini, T.E., M.E. Sawitri dan Muharlien. 2002. Budi Daya 22 Ternak Potensial.
Penebar Swadaya, Jakarta.
Tillman, A. D. H. Tartadi S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan S.
Lebdosokojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Widodo,
W.
2010.
Nutrisi
dan
Pakan
Unggas
Kontekstual.
http://wahyuwidodo.staff.umm.ac.id/files/2010/01/NUTRISI_DAN_PAKAN_U
NGGAS_KONTEKSTUAL (Diakses tanggal 8 juni 2014)
Yunilas, 2005. Performans ayam broiler yang diberi berbagai tingkat protein hewani
dalam ransum. J. Agribis Pet. 1(1): 22-23
Zarate, A. J., E. T. Maron, Jr., and D. L. Burham. 2003. Reducing crude protein and
increasing limiting essential amino acid levels with summer - reared, slow-and
fast feathing broilers. Poult. Sci. 7 (11) : 175-177.
Zulkifi, I., M.T.Norma., D.A, Israfand A.R. Omar. 2000. The effect of early feed
restriction on subsequent response to high enviromental temperatures in female
broiler chickens. Poult. Sci. 79:1401-1407.
Zulfanita, E.M. Roisu, D.P. Utami. 2011. Pembatasan ransum berpengaruh terhadap
pertambahan bobot badan ayam broiler pada periode pertumbuhan. Mediagro.
7(1):59-67
38
LAMPIRAN
Lampiran 1. Perhitungan Energi Metabolis
Nutrien (%)
Ransum starter
Ransum finisher
a
Energi Metabolis (kkal/kg)
3167,67
3007,70
Protein Kasarb
21,50
19,00
b
Lemak Kasar
6,11
3,00
Serat Kasarb
4,00
5,00
b
Kadar Air
13,40
14,10
Kadar Abub
6,65
5,57
Kalsiumc
0,90
0,91
Posphorc
0,50
0,81
Sumber : (a) Hasil perhitungan berdasarkan rumus Balton (Siswohardjono, 1982).
(b) Hasil Analisis Laboratorium Ilmu Makanan Ternak, 2012.
(c) Hasil Analisis Laboratorium Biokimia Nutrisi, 2012.
EM = 40,81 [0,87 (PK + 2,25 x LK + BETN) + k]
Keterangan :
EM
= Energi Metabolis (kkal/kg)
PK
= Protein Kasar (%)
LK
= Lemak Kasar (%)
BETN = Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (%)
k
= Faktor Koreksi untuk Unggas Dewasa (4,90)
Ransum starter
BETN = 100% - (%Air + %Abu + %Protein + %Lemak Kasar + %Serat Kasar)
= 100% - (13,40 + 6,65 + 21,50 + 6,11 + 4,00)
= 100% - 51,66%
= 48,34 %
EM
39
= 40,81 (77,62)
= 3167,67 kkal/kg
Lampiran 1. (Lanjutan)
Ransum finisher
BETN = 100% - (%Air + %Abu + %Protein + %Lemak + %Serat Kasar)
= 100% - (14,10 + 5,57 + 19,00 + 3,00 + 5,00)
= 100% - 46,67%
= 53,33%
EM
40
Lampiran 2.
Porsi Pakan
Ulangan
Pencahayaan
T2
T3
T1
R1
U1
U2
U3
U4
U5
rerata
R2
U1
U2
U3
U4
U5
rerata
65,60
63,19
71,62
66,81
60,46
74,99
65,28
66,31
66,53
66,78
60,44
68,02
68,33
68,94
66,50
78,99
78,95
65,79
81,45
73,67
67,76
83,57
76,42
65,62
77,23
74,12
62,18
66,89
73,38
61,08
67,03
77,19
62,25
70,97
61,76
70,53
68,54
67,21
73,61
68,15
69,61
70,57
68,76
71,80
65,24
72,23
rerata
Sumber : Pengolahan Data Analisis Microsoft Excel, (2012)
Pembatasan
Lama Pencahayaan
Rerata
T1
T2
T3
................
%
................
.
66,53
73,67
67,03
69,08a
R1
66,50
74,12
68,54
69,72a
R2
66,51ab
73,90a
67,79b
Rata-rata
Keterangan: Nilai rerata dengan superskrip berbeda menunjukkan perbedaan nyata
(P<0,05).
Dependent Variable: kecernaan protein
Source
DF
Model
13
Error
16
Corrected Total 29
Sum of Squares
506.071910
767.132360
1273.204270
R-Square
0.397479
Root MSE
6.924289
Coeff Var
9.977505
Mean Square
38.928608
47.945772
KCP Mean
69.39900
F Value
0.81
Pr > F
0.6434
41
Lampiran 2. (Lanjutan)
Source
Db
LamaPencahayaan
Ulangan(Porsi Ransum)
Porsi Ransum
Cahaya*Porsi Ransum
JK
2
8
1
2
KT
311.5445600
188.3281200
3.1040833
3.0951467
F.Hit
155.7722800
23.5410150
3.1040833
1.5475733
3.25
0.49
0.06
0.03
df = 16
2
5.360
MSE = 47.94577
Mean
A
A
A
Alpha = 0.05
Number of Means
Critical Range
Porsi Pakan
69.721
15
69.077
15
df = 16
2
6.565
MSE = 5547.362
3
6.884
Mean
N Lama Pencahayaan
73.897
10
67.785
10
66.515
10
F.Tabel
5%
1%
4,491 8,531
42
Lampiran 3.
Porsi Pakan
Ulangan
Pencahayaan
T2
T3
T1
R1
2,25
2,19
1,88
2,41
2,22
2,41
1,84
2,19
1,78
2,40
1,99
2,32
rerata
R2
2,28
U1
2,21
2,24
U2
2,45
2,26
U3
2,29
2,15
U4
1,83
2,25
U5
2,35
2,23
2,23
rerata
Sumber : Pengolahan Data Analisis Microsoft Excel, (2012)
U1
U2
U3
U4
U5
1,92
1,78
2,09
2,24
2,16
rerata
2,12
2,02
2,24
2,09
2,11
2,04
2,12
1,42
2,22
1,98
1,96
2,20
2,04
2,26
1,99
2,19
1,94
Pembatasan
Lama Pencahayaan
Rerata
T1
T2
T3
...............
%
.................
.
1,99
2,32
2,04
2,12
R1
2,23
2,23
1,94
2,13
R2
ab
a
b
2,11
2,27
1,99
Rata-rata
Keterangan: Nilai rerata dengan superskrip berbeda menunjukkan perbedaan nyata
(P<0,05).
Dependent Variable: retensi nitrogen
Source
DF
Model
13
Error
16
Corrected Total 29
Sum of Squares
0.83288333
0.77905333
1.61193667
R-Square
0.516697
Root MSE
0.220660
Coeff Var
10.38074
Mean Square
0.06406795
0.04869083
RN Mean
2.125667
F Value
1.32
Pr > F
0.2978
43
Lampiran 3. (Lanjutan)
Source
Db
LamaPencahayaan
2
Ulangan(PorsiRansum)8
PorsiRansum
1
Cahaya*PorsiRansum 2
JK
KT
0.40498667
0.23538667
0.00208333
0.19042667
0.20249333
0.02942333
0.00208333
0.09521333
F.Hit
4.16
0.60
0.04
1.96
df = 16
2
.1708
MSE = 0.048691
Mean
A
A
A
Alpha = 0.05
Number of Means
Critical Range
Porsi Pakan
2.13400
15
2.11733
15
df = 16
2
.2092
MSE = 0.048691
3
.2194
Mean
N Lama Pencahayaan
2.27300
10
2.11500
10
1.98900
10
F.Tabel
5%
4,491
1%
8,531
44
Lampiran 4.
Porsi Pakan
Ulangan
R1
U1
U2
U3
U4
U5
R2
U1
U2
U3
U4
U5
rerata
T1
Pencahayaan
T2
T3
1570,32
1543,72
1537,30
1437,16
1268,94
1471,49
1566,74
1563,69
1463,02
1550,34
1528,51
1534,46
1518,05
1565,13
1700,67
1668,59
1558,44
1602,18
1460,50
1654,68
1637,31
1671,97
1579,44
1600,78
1647,63
1647,92
1581,32
1528,60
1536,74
1588,44
1610,82
1560,80
1571,42
1574,37
1600,24
1583,53
rerata
Sumber : Pengolahan Data Analisis Microsoft Excel, (2012)
rerata
1578,67
1585,59
1606,43
1544,78
1454,71
1546,02
1593,06
1557,25
1598,89
1569,40
Pembatasan
Lama Pencahayaan
Rerata
T1
T2
T3
................
g
.................
1471,49
1602,18
1588,44
1554,04a
R1
1534,46
1600,78
1583,53
1572,92a
R2
1502,97b
1601,48a
1585,99a
Rata-rata
Keterangan: Nilai rerata dengan superskrip berbeda menunjukkan perbedaan nyata
(P<0,05).
Dependent Variable: PBB
Source
Model
Error
Corrected Total
DF
13
16
29
Sum of Squares
115175.4830
88757.7936
203933.2766
Mean Square
8859.6525
5547.3621
F Value
1.60
Pr > F
0.1860
45
Lampiran 4. (Lanjutan)
R-Square
0.564770
Coeff Var
4.763774
Root MSE
74.48062
Source
Db
LamaPencahayaan
Ulangan(PorsiRansum)
PorsiRansum
Cahaya*PorsiRansum
2
8
1
2
PBB Mean
1563.479
JK
KT
56113.44075
49083.16891
2675.67408
7303.19928
28056.72037
6135.39611
2675.67408
3651.59964
F.Hit
5%
1%
5.06 4,491 8,531
1.11
0.48
0.66
df = 16
2
70.61
MSE = 5547.362
3
74.05
Mean
A
A
A
1601.48
10
1585.99
10
1502.97
10
Alpha = 0.05
Number of Means
Critical Range
Lama Pencahayaan
df = 16
2
57.65
MSE = 5547.362
Mean
Porsi Pakan
1572.92
15
1554.04
15
F.Tabel
46
Porsi Pakan
Ulangan
Pencahayaan
T1
T2
T3
R1
U1
2.08
3.19
2.07
U2
2.73
3.68
2.05
U3
2.24
2.66
2.20
U4
3.01
2.28
2.17
U5
2.91
2.19
2.10
Rerata
2.59
2.80
2.12
R2
U1
2.08
2.74
2.09
U2
2.07
5.11
2.15
U3
1.94
2.26
2.39
U4
2.33
2.56
3.49
U5
2.09
2.95
2.20
Rerata
2.10
3.13
2.47
Sumber : Pengolahan Data Analisis Microsoft Excel, (2012)
rerata
2.45
2.82
2.37
2.49
2.40
2.30
3.11
2.20
2.80
2.41
Pembatasan
Lama Pencahayaan
Rerata
T1
T2
T3
...............
%
.................
.
R1
2,59
2,80
2,12
2,50a
R2
2,10
3,13
2,47
2,56a
Rerata
2,35ab
2,96a
2,29b
Keterangan: Nilai rerata dengan superskrip berbeda menunjukkan perbedaan nyata
(P<0,05).
Dependent Variable: Rasio Efisiensi Protein
Source
DF
Model
13
Error
16
Corrected Total 29
Sum of Squares
6.06340333
6.79069333
12.85409667
R-Square
0.471710
Root MSE
0.651474
Coeff Var
25.71269
Mean Square
0.46641564
0.42441833
F Value
1.10
Pr > F
0.4230
47
Lampiran 5. (Lanjutan)
Source
Db
JK
LamaPencahayaan
2
Ulangan(PorsiRansum) 8
PorsiRansum
1
Cahaya*PorsiRansum 2
KT
2.76828667
2.12822667
0.02640333
1.14048667
1.38414333
0.26602833
0.02640333
0.57024333
F.Hit
3.26
0.63
0.06
1.34
df = 16
2
.5043
MSE = 0.424418
Mean
N Porsi Pakan
2.5633
15
2.5040
15
df = 16
2
.6176
MSE = 0.424418
3
.6477
Mean
N Lama Pencahayaan
2.9620
10
2.3480
10
2.2910
10 3
F. Tabel
5%
4,491
1%
8,531
48
Porsi Pakan
Ulangan
Pencahayaan
T2
T3
T1
R1
rerata
R2
U1
U2
U3
U4
U5
U1
U2
U3
U4
U5
0.55
0.54
1.35
0.74
1.18
0.87
0.69
0.32
0.61
1.49
2.72
1.16
0.92
1.05
0.49
0.88
1.81
1.03
1.54
0.69
2.00
1.18
0.61
1.20
rerata
1.21
1.09
0.41
0.83
1.44
0.99
1.07
1.02
0.28
0.88
0.88
0.83
0.89
0.89
0.75
0.82
1.48
1.10
0.68
0.96
1.18
1.40
rerata
rerata
1.12
1.11
0.92
Sumber : Pengolahan Data Analisis Microsoft Excel, (2012)
Pembatasa
n
Lama Pencahayaan
Rerata
T1
T2
T3
0.97
0.87
1.03
0.99
R1
1.07
1.16
1.20
0.83
R2
1.02a
1.12a
0.91b
Rata-rata
Keterangan: Nilai rerata dengan superskrip berbeda menunjukkan perbedaan nyata
(P<0,05).
Dependent Variable: Rasio Heterofil Limfosit
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
17 1.42809000
0.08400529
1.36
0.2996
Error
12 0.74298000
0.06191500
Corrected Total
29 2.17107000
49
Lampiran 6. (Lanjutan)
R-Square
0.657782
Coeff Var
26.78442
Source
Root MSE
0.248827
Db
JK
KT
LamaPencahayaan
2 0.16350000
Ulangan(PorsiRansum) 12 0.97102000
PorsiRansum
1 0.06816333
Cahaya*PorsiRansum 2 0.22540667
0.08175000
0.08091833
0.06816333
0.11270333
F.Hit
1.32
1.31
1.10
1.82
df = 12
2
.2772
.2901
MSE = 0.080918
3
Mean
Cahaya
1.0240
10
B
B
A
0.9190
10
0.8440
10
Alpha = 0.05
Number of Means
Critical Range
df = 12
2
.1980
MSE = 0.061915
0.88133
15
0.97667
15
F. Tabel
5%
1%
4,491 8,531
50
Kebutuhan
30%
40%
60%
70%
----------------------------------(gr/ekor)----------------------------------
8
9
10
11
12
13
30,00
35,00
39,00
44,00
50,00
55,00
9,00
10,50
11,70
13,20
15,00
16,50
12,00
14,00
15,60
17,60
20,00
22,00
18,00
21,00
23,40
26,40
30,00
33,00
21,00
24,50
27,30
30,80
35,00
38,50
14
61,00
18,30
24,40
36,60
42,70
Total
15
16
17
18
19
20
21
314,00
67,00
73,00
80,00
86,00
93,00
100,00
107,00
94,20
20,10
21,90
24,00
25,80
27,90
30,00
32,10
125,60
26,80
29,20
32,00
34,40
37,20
40,00
42,80
188,40
40,20
43,80
48,00
51,60
55,80
60,00
64,20
219,80
46,90
51,10
56,00
60,20
65,10
70,00
74,90
Total
22
23
24
25
26
27
28
920,00
115,00
122,00
130,00
137,00
144,00
151,00
157,00
276,00
34,50
36,60
39,00
41,10
43,20
45,30
47,10
368,00
46,00
48,80
52,00
54,80
57,60
60,40
62,80
552,00
69,00
73,20
78,00
82,20
86,40
90,60
94,20
644,00
80,50
85,40
91,00
95,90
100,80
105,70
109,90
Total
29
30
1.876,00
163,00
168,00
562,80
48,90
50,40
750,40
65,20
67,20
1.125,60
97,80
100,80
1.313,2
114,10
117,60
51
Hari
Kebutuhan
30%
40%
60%
70%
----------------------------------(gram)---------------------------------31
172,00
51,60
68,80
103,20
120,40
32
176,00
52,80
70,40
105,60
123,20
33
180,00
54,00
72,00
108,00
126,00
34
184,00
55,20
73,60
110,40
128,80
35
187,00
56,10
74,80
112,20
130,90
Total
3.106,00
931,80
1.242,40
1.863,60
2.174,20
Lampiran 7. (Lanjutan)