Anda di halaman 1dari 65

Vitalitas Kawasan untuk Kualitas Hidup Melalui Revitalisasi Kawasan

Vitalitas Kawasan untuk Kualitas Hidup Melalui Revitalisasi Kawasan

Motto di atas mungkin akan memberikan kesan yang berlebihan, seandainya kita
tidak meresapi benar, apa yang menjadi maksud, tujuan dan sasaran dari
Program Penataan dan Revitalisasi Kawasan, yang saat ini merupakan salah
satu Program Andalan Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan,
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah.

Program tersebut telah dikembangkan sejak tahun 2001, meliputi 13 (tiga belas)
kawasan dalam bentuk Pelaksanaan Fisik dan Bantuan Teknis untuk penataan
kembali dan revitalisasi kawasan-kawasan yang memiliki potensi tertentu, dan
dapat dikembangkan untuk mendorong pertumbuhan roda perekonomian
setempat, karena terbengkalainya potensi yang dimiliki di kawasan tersebut.
Pendekatan pelaksanaan program yang lebih bersifat stimulus tersebut, akan
lebih mengena pada tujuan dan sasaran apabila interaksi dari Pemerintah
Daerah (dalam hal ini terutama Pemerintah Kota/ Pemerintah Kabupaten) cukup
kuat dan responsif, mengingat Program Penataan dan Revitalisasi Kawasan,
dilandasi Latar Belakang : Menghidupkan kembali dan mengembangkan
kawasan-kawasan yang tidak berfungsi atau telah menurun fungsinya, akibat
perkembangan yang cenderung tidak terkendali.

Dari latar belakang di atas, sudah barang tentu peran Pemerintah Pusat tridak
lagi sebagai pelaksana namun lebih menitikberatkan pada peran pembinaan
yang bersifat mendorong atau memacu untuk memfungsikan kembali suatu
kawasan yang tidak berfungsi atau menurun fungsinya, agar dapat berfungsi atau
meningkatkan fungsi kembali, terutama dalam mendukung berjalannya
perekonomian lokal. Dengan demikian apabila program dimaksud dapat berjalan
sebagaimana diharapkan, maka yang akan memetik manfaat adalah
kabupaten/kota yang bersangkutan.
4
Lebih jauh untuk mengenal dan menyamakan persepsi tentang Program
Penataan dan Revitalisasi Kawasan, yang pada hakekatnya, mengandung :

TUJUAN

Terciptanya kawasan yang terintegrasi dengan sistem kota dan tumbuhnya


ruang-ruang ekonomi kawasan menuju pertumbuhan dan stabilitas ekonomi
lokal.

Mencermati tujuan yang dijadikan landasan pelaksanaan Program ini, terlihat


beberapa aspek yang harus berjalan secara seimbang, sehingga tercipta suatu
keterpaduan di suatu kawasan tertentu. Aspek dimaksud adalah harus tetap
diperhatikannya sistem kota itu sendiri, yang memiliki kawasan potensial namun
tidak berfungsi atau berkurang fungsinya, di samping memperhatikan ruangruang pergerakan perekonomian kawasan tersebut, agar dapat tumbuh
sebagaimana diharapkan pada lingkup lokal. Hal yang lebih penting dari
kesemua itu ialah tidak hanya dapat menumbuhkan perekonomian, namun
tercakup juga bagaimana untuk tetap menjaga kestabilan perekonomian pada
kawasan tersebut.

Dari tujuannya dengan sedikit ulasan untuk dapat memberikan ilustrasi yang
mudah, lebih berlanjut program ini mempunyai sasaran yang dituju, yaitu :

SASARAN

Terciptanya berbagai peningkatan kawasan yang menitikberatkan pada vitalitas


dan stabilitas ekonomi, integrasi antar ruang, kuantitas dan kualitas prasarana
dan sarana lingkungan, serta konservasi aset warisan budaya.
Dari sasaran yang hendak dicapai tersebut, semakin kentara, bahwa stimulus
yang dilakukan Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, melalui
program ini, tidak sekedar untuk memfungsikan kembali kawasan yang dapat
mendorong pertumbuhan perekonomian, namun tetap memperhatikan integritas
ruang di suatu kawasan, pemenuhan kebutuhan prasarana dan sarana
lingkungannya, serta dalam upaya pelestarian aset-aset kawasan yang memiliki
nilai histotis yang tinggi sebagai warisan budaya yang harus tetap terpelihara.

Upaya tersebut bukanlah semudah membalikkan telapak tangan, meskipun


tujuan, sasaran dari program ini cukup jelas, namun dalam pelaksanaannya akan
terkait dengan aspek lain, yang sudah barang tentu memiliki karakteristik dan
kebijakan tersendiri. Hal tersebut apabila tidak dapat dihindari, namun paling
tidak bisa diminimalkan, yaitu melalui suatu tekad atau komitmen dari setiap
pemerintah kota/ kabupaten untuk memantapkan tekadnya dalam mendukung
keberhasilan upaya ini, termasuk menjamin keberlanjutan (pemeliharaan) atas
upaya-upaya program Penataan dan Revitalisasi Kawasan yang telah
dilaksanakan.

ALOKASI ANGGARAN

Meskipun tidak dalam jumlah yang signifikan, sejak tahun 2001 program ini telah
dianggarkan melalui Dana Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata
Perdesaan, sebagai stimulan, adalah sebagai berikut :

Tahun 2001,
Berjumlah Rp. 23,2 milyar, yang diperuntukkan bagi pembagunan fisik di 8
(delapan) kawasan, dan 5 (lima) kawasan yang baru direncanakan, dalam bentuk
Bantuan Teknis;

Tahun 2002,
Alokasi dana meningkat lebih dari 100% dibanding tahun sebelumnya, yaitu
berjumlah Rp. 48,8 milyar, dengan cakupan lokasi yang lebih luas, yaitu pada 9
(sembilan) kawasan dalam bentuk pembangunan fisik, dan 12 (dua belas)
kawasan yang direncanakan dalam bentuk Bantuan Teknis;

Tahun 2003,
Dana yang dialokasikan berjumlah Rp. 70,3 milyar, dengan cakupan di 4 (empat)

kawasan dalam bentuk pembangunan fisik dan 19 (sembilan belas) kawasan


yang direncanakan dalam bentuk Bantuan Teknis.

Sekali lagi semua jumlah dana tersebut di atas, hanya bersifat stimulus, dan perlu
adanya keterlibatan berbagai pihak, maka yang terpenting adalah setelah
terlaksananya program ini, perlu adanya keberlanjutan penanganan yang
semestinya sudah mampu dilakukan oleh setiap Pemerintah Kota/Kabupaten

Pelaksanaan Pekerjaan Fisik untuk Fly-Over di Jalan Suprapto dan Jalan Pramuka dimulai
Pelaksanaan Pekerjaan Fisik untuk Fly-Over di Jalan Suprapto dan Jalan Pramuka
dimulai

Penandatanganan Kontrak antara Pemimpin Proyek dengan PT. Hutama Karya (Persero),
sebagai awal pelaksanaan paket pekerjaan Fly-over di DKI Jakarta

Permasalahan transportasi terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, selalu dihadapkan


pada berbagai kendala, antara lain terbatasnya ruas jalan sebagai prasarana dan sarana
transportasi yang kurang sebanding dengan berkembangnya jumlah kendaraan bermotor
yang menggunakan prasarana dan sarana tersebut.

Masih dalam suasana maraknya perayaan HUT Jakarta yang ke 476, tepatnya pada
tanggal 26 Juni 2003 telah ditanda-tangani Kontrak pekerjaan Pembangunan Suprapto Fly
Over dan Pemuda/Pramuka Fly Over, antara Pemimpin Bagian Proyek Pembangunan
Jalan dan Jembatan Kota Metropolitan Jakarta Wilayah I, Ditjen Tata Perkotaan dan Tata
Perdesaan, Ir. Rachman Tarigan dengan PT Hutama Karya (Persero), Ir. Muchamad
Chamim.

Penandatanganan Kontrak yang disaksikan oleh Direktur Jenderal Tata Perkotaan dan Tata
Perdesaan, Ir. Budiman Arif serta beberapa Pejabat dari Pemerintah Propinsi DKI Jakarta
(diantaranya Ketua Bappeda, Sekretaris Daerah, dan Kepala Dinas PU DKI Jakarta),
menandai dimulainya pembangunan kedua Fly Over yang direncanakan akan selesai
tahun 2005. Pembangunan tersebut diharapkan dapat membantu memperlancar arus lalu
lintas yang membelah kota Jakarta, baik dari arah Utara ke Selatan maupun dari arah
Barat ke Timur, terutama dalam mengatasi kemacetan lalu lintas pada simpang Jalan
Akhmad Yani dengan Jalan Pemuda/Pramuka maupun simpang Jalan Akhmad Yani
dengan Jalan Suprapto. Adapun biaya yang digunakan untuk pembangunan kedua fly-over
tersebut lebih kurang sebesar Rp. 128 milyar,.

Konstruksi untuk masing-masing simpang dibangun dua fly-over melintasi simpang


sejajar jalan Tol Wiyotowiyono dan pada masing-masing fly-over di bangun 2 buah loop
ramp. Dengan demikian kedua fly- over ini dirasakan sangat strategis dan akan dapat
mengurangi kemacetan arus lalu lintas pada ke dua ruas jalan tersebut, karena dalam
waktu bersamaan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta juga sedang melaksanakan beberapa

fly-over terutama di sekitar proyek ini, yaitu Matraman Fly Over, Under Pass Pramuka,
Galur Fly Over serta Under Pass Senen.

Pada kesempatan tersebut, arahan dari Direktur Jenderal Tata Perkotaan dan Tata
Perdesaan menekankan, bahwa di dalam pelaksanaannya Pemimpin Bagian
Proyek agar dapat selalu mengadakan koordinasi dengan semua instansi terkait agar dapat
memperhatikan (aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan), sehingga pekerjaan dapat
berjalan lancar sesuai dengan rencana waktu dan mutu, dengan tetap menekan seminimal
mungkin gangguan bagi para pengguna jalan selama berlangsungnya pembangunan.
Direktur Jenderal juga mengharapkan kepada Pemerintah Propinsi DKI untuk dapat
segera menyelesaikan pembebasan tanah di lokasi loop ramp pada kedua flyover karena
direncanakan pada bulan Maret tahun 2004 secara serempak loop ramp mulai dibangun.

Reformasi Kebijakan Pembangunan Prasarana dan Sarana Perdesaan melalui


Pengembangan Agropolitan
Reformasi Kebijakan Pembangunan Prasarana dan Sarana Perdesaan melalui
Pengembangan Agropolitan
oleh : Drs. SUGIMIN PRANOTO, M.Eng.

KONDISI UMUM PERDESAAN

Wilayah Republik Indonesia, secara keseluruhan kurang lebih terbagi ke dalam 58,858
desa dan 5.509 kelurahan, dilihat dari aspek demografisnya sekitar 80% penduduk
bermukim di daerah perdesaan, yang mempunyai fungsi tidak hanya mencukupi
kebutuhan sendiri di wilayah perdesaan, akan tetapi juga mempunyai fungsi strategis
untuk mendukung kebutuhan pangan di wilayah perkotaan.
Sumber daya alam, yang pengelolaannya sebagian besar berlokasi di kawasan perdesaan,
di samping mendukung pembangunan ekonomi nasional, pada hakekatnya dapat
mengurangi tingkat urbanisasi.

Berdasarkan Propenas tahun 2000 maka entry point kegiatan di perdesaan adalah
kegiatan ekonomi desa, yang diharapkan dapat mendorong pendapatan masyarakat untuk
lebih meningkat, serta dapat menyediakan pangan dan produk perdesaan yang lebih
produktif, sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraannya.
Program pembangunan perdesaan, pada prinsipnya mengandung tujuan untuk :
meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan; mempercepat kemajuan kegiatan
ekonomi perdesaan yang berkeadilan; dan mempercepat industrialisasi perdesaan. Dari
tujuan tersebut dikandung sasaran yang akan dicapai adalah : meningkatnya pendapatan
masyarakat perdesaan; terciptanya lapangan pekerjaan; tersedianya bahan pangan dan
bahan lainnya untuk konsumsi dan produksi; terwujudnya hubungan ekonomi antara
perdesaan dan perkotaan; menguatnya ekonomi lokal; serta meningkatnya lembaga dan
organisasi ekonomi masyarakat perdesaan.

Pembangunan perdesaan juga mempunyai fungsi sebagai tempat penghidupan yang


berkelanjutan (sustainability), terutama sebagai cadangan dan sumber daya alam yang ada
di pedesaan, mendukung ekonomi nasional dan meredam urbanisasi.

Pembangunan perdesaan pada dasarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
pembanguan nasional. Namun demikian karena sebagian besar aktor utama pembangunan
berkedudukan di perkotaan, mereka cenderung lebih mengutamakan pembangunan
perkotaan daripada pembangunan perdesaan. Yang memprihatinkan, karena pelaksanaan
pembangunan pada umumnya direncanakan dari perkotaan, tidak jarang pembangunan
perdesaan menjadi sub ordinat terhadap pembangunan perkotaan. Artinya pembanguan
perkotaanlah yang utama, sedangkan pembangunan perdesaan bersifat menunjang
pembangunan perkotaan.

Keterbatasan pembangunan prasarana dan sarana yang memadai untuk mendukung


kegiatan ekonomi rakyat perdesaan menjadi prakondisi bekerjanya mekanisme pasar
secara efisien. Sehingga pada gilirannya dapat memicu dinamika perekonomian di
wilayah perdesaan.
Keberadaan prasarana dan sarana ini tidak saja akan memberdayakan potensi ekonomi
yang ada di masing-masing kawasan perdesaan tersebut, tetapi juga akan menarik potensi
dari luar wilayah termasuk investasi swasta dalam bebagai sektor usaha jasa maupun
produksi.

Oleh karena itu komitmen dan keberpihakan pemerintah untuk secara bertahap dan
konsisten melakukan reformasi/reorientasi investasi dalam pembangunan prasarana dan
sarana mendukung kegiatan ekonomi di perdesaan sangat diperlukan.
Untuk itu perlu adanya reformasi kebijakan Pembangunan Prasarana dan Sarana
Perdesaan melalui pengembangan Agropolitan untuk mendorong iklim berusaha yang
kondusif antar sesama pelaku ekonomi perdesaan, baik usaha kecil, menengah dan besar
dalam mendukung pertumbuhan ekonomi desa serta penciptaan lapangan kerja.

KORIDOR YANG PERLU DIUKUR

Untuk dapat mengukur sejauh mana langkah-langkah yang memerlukan reformasi dalam
penetapan kebijakan di atas, perlu kajian lebih lanjut, terutama menyangkut :

1. Seberapa jauh kebijakan pembangunan prasarana dan sarana mendukung pertumbuhan


ekonomi perdesaaan?
2. Adakah pengaruh pembangunan prasarana dan sarana secara terpadu oleh berbagai
stakeholder dapat menciptakan kondisi ekonomi rakyat di perdesaan agar lebih maju dan
mandiri;
3. Adakah korelasi antara investasi kebutuhan minimal prasarana dan sarana yang
dibangun terhadap
dukungan Program Pengembangan Agropolitan?
4. Adakah korelasi antara potensi ekonomi dominan yang akan dikembangkan dalam
skala kawasan terhadap keberhasilan proyek Agropolitan?
5. Adakah korelasi antara dukungan pemerintah kabupaten/kota dan masyarakat dengan
keberhasilan proyek Agropolitan?

DASAR PEMIKIRAN

Untuk dapat menguji setiap pertanyaan di atas, kiranya perlu langkah-langkah yang dapat
dilakukan dengan teknik survei, observasi langsung di lapangan dan di analisis. Analisis
dilakukan dengan pendekatan kuantitatif.
Penelitian survei dengan cara pengambilan data dengan menggunakan kuesioner dan
teknik wawancara, bagi setiap stakeholder yang terkait, sedangkan penelitian observasi
dengan cara pengamatan langsung di lapangan untuk pengetahui kekurangan dan
keberhasilan program.

Kebutuhan Sumber Daya Manusia di bidang Pembangunan Perkotaan dan Perdesaan


dalam menjawab tantangan
Kebutuhan Sumber Daya Manusia di bidang Pembangunan Perkotaan dan
Perdesaan dalam menjawab tantangan Masa Depan
Pengantar pada Acara Seminar Kurikulum Moduler Program Magister
Pembangunan Prasarana dan Sarana Perkotaan, Universitas Diponegoro
Semarang
oleh : Ir. BUDIMAN ARIF

Seminar Kurikulum Moduler Program Magister Manajemen Prasarana dan


Sarana, yang diselenggarakan oleh Program Magister Perencanaan
Pembangunan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro Semarang, pada
tanggal 5 Agustus 2003 di Bandung. Acara yang dimaksudkan untuk menjaring
masukan termasuk mengenai perkembangan dalam pemikiran kebijakan dan
strategi pembangunan perkotaan, yang kita yakini diperlukan sebagai upaya
bersama untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia profesional di
bidang prasarana dan sarana dasar perkotaan dan perdesaan. Dari segi
penyelenggaraan tugas Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, kita
semua sangat menghargai bahwa diselenggarakannya program pendidikan pada
tingkat Magister di bidang pembangunan prasarana dan sarana perkotaan.

Seminar Kurikulum Moduler yang juga dimaksudkan untuk terus meningkatkan


kualitas dan isi dari program pendidikan Magister ini, di samping tinjauan dari sisi
cakupan akademisnya, juga diharapkan agar perbaikan mutu kurikulum
pendidikan perlu memperhatikan perkembangan dalam kebijakan dan strategi
nasional dalam pembangunan perkotaan dalam suatu lingkungan administrasi
pemerintahan yang didesentralisasikan setelah kita memasuki era reformasi.

PERUBAHAN PARADIGMA

Beberapa perubahan pemikiran yang perlu saya lontarkan dalam membangun


kemampuan pengelolaan pembangunan perkotaan. Seperti kita maklumi
bersama, selama ini kota-kota banyak mendapatkan bantuan berupa pinjaman
dari lembaga pemberi pinjaman luar negeri, yang meminjamkan dana melalui
pemerintah pusat kemudian pinjaman kepada daerah tersebut, disalurkan melalui

proyek-proyek perkotaan (urban development projects = UDPs). Kita meyakini


bahwa pembangunan prasarana dan sarana perkotaan harus terus dilanjutkan,
guna memelihara prasarana dan sarana perkotaan yang telah dibangun dan
mengejar ketinggalan maupun kekurangan, serta memenuhi kebutuhan yang
meningkat karena pertambahan penduduk dan kegiatan ekonomi perkotaan.
Dalam kerangka desentralisasi pemerintahan yang sekarang perlu dilakukan
upaya pembangunan adalah kemampuan kota untuk dapat menyelenggarakan
pembangunan prasarana dan sarana kota itu sendiri, oleh karena selama ini
banyak diprakarsai dan diselenggarakan oleh pemerintah pusat, sehingga
diperlukan upaya untuk mentransfer pengetahuan, keterampilan dan keahlian
dalam membangun prasarana dan sarana perkotaan ini dari dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah kota dan kabupaten.

Departemen Pekerjaan Umum pada waktu itu sebagai instansi pusat yang
bertanggungjawab membangun prasarana dan sarana dasar pekerjaan umum
(PSDPU) perkotaan, biasanya melakukan tugasnya dengan menggunakan jasa
konsultan dari dalam dan luar negeri, dengan pendekatan Program
Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT) yang prinsipnya meliputi
langkah-langkah berikut : (1) Setiap sektor prasarana dan sarana perkotaan
(seperti air bersih, perbaikan kampong, drainase, persampahan, air limbah, dan
lainnya) menyiapkan Rencana Induk dari masing-masing sistem prasarana dan
sarana. Atas dasar Rencana Induk ini, kemudian dilakukan Studi Kelayakan
(Feasibility Study) untuk mendefinisikan prioritas program dan proyek dengan
menguji kelayakan dari semua aspeknya (teknis, ekonomi, finansial, lingkungan,
manajerial, dan lainnya). Dari prioritas program dan proyek ini kemudian
digunakan untuk melakukan pekerjaan persiapan teknis awal (preliminary
engineering design) untuk memperkirakan agar mendekati ketepatan besarnya
investasi yang diperlukan, sebagai dasar pengajuan kebutuhan anggaran untuk
setiap sektor; (2) Dalam kerangka P3KT , dipersiapkan Program Jangka
Menengah (PJM) sebagai penjabaran dari strategi pembangunan perkotaan,
dan disiapkan suatu matriks program menurut sektor prasarana untuk jangka
menengah (umumnya lima tahun) dan digambarkan dalam bentuk target fisik
serta program komitmen sumber pendanaan setiap tahun.

Setelah program tersebut mendapatkan pendanaan, yang umumnya berasal dari


pinjaman luar negeri, kemudian disusun organisasi untuk manajemen
pelaksanaan dan pengawasan pembangunannya. Untuk manajemen program
P3KT biasanya dikenal adanya Project Management Unit (PMU), untuk
mengkoordinir Project Implementation Unit (PIU) menurut masing-masing sektor,
dengan tugas pokok untuk memonitor serta membuat pelaporan terlaksananya

keseluruhan program secara terpadu dalam fisik maupun pendanaannya, serta


dipenuhinya semua ketentuan dalam perjanjian yang telah disepakati, serta
semua ketentuan dan peraturan yang mengatur pelaksanaan proyek termasuk
tata cara pengadaan barang dan jasa yang dibutuhkan. Adapun PIU bertugas
untuk melaksanakan persiapan dokumen teknis (detail engineering design and
tender documents), melakukan tender pengadaan barang dan jasa, serta
menugaskan konsultan pengawasan pelaksanaan proyek.

Sudah dapat dibayangkan betapa kompleks sumber daya manusia yang


diperlukan dan harus ditingkatkan kemampuannya untuk menyelenggarakan
semua tugas pembangunan prasarana dan sarana perkotaan tersebut. Kita
memerlukan sumber daya manusia yang tangguh, terdiri dari (1) Tenaga
profesional yang memiliki keahlian dalam bidang semua sektor pembangunan
prasarana dan sarana perkotaan; (2) Tenaga professional yang memiliki
wawasan keterpaduan pembangunan prasarana perkotaan; (3) Tenaga
profesional yang memiliki keahlian dalam bidang-bidang khusus seperti
penyusunan Rencana Induk, Studi Kelayakan, Manajemen Proyek, Supervisi
Pelaksanaan Proyek, Penyusunan Program P3KT, Penyusunan PJM, Strategi
Pembangunan Perkotaan, dan Penataan Ruang Perkotaan. Semua keahlian
tersebut diperlukan untuk mengisi kebutuhan sumber daya manusia di (a)
instansi sektoral yang mampu menugasi, memberikan arahan dan mengawasi
pekerjaan konsultan; (b) perusahaan konsultan dalam negeri yang mampu
menjadi pesaing, menjadi pendamping atau melakukan sub pekerjaan secara
mandiri; dan (c) instansi di daerah-daerah yang pada akhirnya bertanggungjawab
atas penyelenggaraan pembangunan prasarana dan sarana perkotaan.

GOOD URBAN GOVERNANCE MELALUI PEOPLE EMPOWERMENT

Lebih daripada itu, kini dalam era demokratisasi, pembangunan prasarana dan
sarana perkotaan harus diletakkan dalam konteks pembangunan perkotaan yang
lebih luas dan menyeluruh, dengan memperbaiki cara-cara kita merencanakan
dan membangun agar pelaksanaannya dilakukan secara lebih transparan, lebih
bertanggungjawab dan mengikutsertakan semua unsur masyarakat yang terlibat.
Secara lebih populernya, sekarang kita harus membangun yang dinamakan
good urban governance. Upaya membangun good urban governance ini pasti
bukan merupakan upaya yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian yang tak
terlepaskan dari upaya pembangunan perkotaan secara komprehensif. Ini perlu
ditekankan karena ada pihak-pihak, terutama dari lembaga pemberi pinjaman

luar negeri, yang mencoba menempatkan good urban governance sebagai


tujuan pembangunan tersendiri yang lebih penting dari tujuan pembangunan
perkotaan lainnya.

Selain itu dalam kerangka reformasi kebijakan, perlu dilakukan perubahan cara
pandang kita dalam pembangunan prasarana dan sarana perkotaan, di mana
selama ini pemerintah kota lebih banyak tergantung pada bantuan pemerintah
pusat dan pinjaman luar negeri, maka di masa yang akan datang kita harus
membangun kemandirian kota dalam pembangunan semua kebutuhan akan
pelayanan perkotaan yang diperlukan masyarakatnya. Keterkaitan antara
pembangunan prasarana dan sarana dengan struktur kemampuan masyarakat
merupakan dimensi penglihatan baru yang ingin kita perkenalkan sejak sekarang.
Hal ini didasari pada keyakinan bahwa pada akhirnya yang membiayai
pembangunan prasarana dan sarana perkotaan adalah masyarakat sendiri,
sesuai kemampuan daya beli yang ditentukan oleh kemampuan pendapatan dan
peluang kesempatan kerjanya. Memberdayakan masyarakat kota dalam segi
memperluas lapangan pekerjaan dan peningkatan pendapatan merupakan
bagian dari program kerja pemerintah untuk membangun ekonomi lokal, yaitu
ekonomi daerah dan kota, yang harus diwujudkan dalam peningkatan
pendapatan keluarga dan juga pemerintah kotanya. Perubahan cara pikir ini
merupakan pergeseran yang sangat penting dalam cara kita membangun kota,
yang tidak sekedar ditujukan pada perbaikan fisik prasarana dan sarana
perkotannya, tetapi pada upaya memberdayakan masyarakat perkotaan sebagai
cara untuk menjaga kelangsungan pembangunan perkotaan.

Pembangunan ekonomi daerah dan kota yang merupakan pembangunan


ekonomi lokal hendaknya kita tempatkan dalam konteks yang luas, dan bukan
dalam konteks sempit lokal. Mengingat pengertian desentralisasi pemerintahan
sebagai suatu konsep yang tidak semata memberikan kewenangan pada daerah
untuk mengurus rumah tangganya sendiri, tetapi agar daerah (dan kota) yang
satu dapat bekerjasama dengan daerah (dan kota) lainnya dalam kerangka
pengembangan wilayah yang secara keseluruhan akan menjangkau wawasan
ekonomi nasional dan bahkan global. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi
lokal hanya mempunyai arti apabila secara bersama-sama daerah (dan kota)
memperkuat dan mewujudkan pembangunan ekonomi nasional, yang
mempunyai daya saing dalam perekonomian global. Pembangunan ekonomi
daerah (dan kota) dengan demikian memberikan kontribusi yang berarti dari segi
pembangunan ekonomi lokal pada pembangunan dan pemulihan ekonomi
nasional.

Oleh karena itu, untuk mewujudkan pembangunan perkotaan yang lebih


menyeluruh dan terpadu, ingin kita upayakan melalui pendekatan program
pembangunan kota secara terpadu atau P2KT, untuk melengkapi pendekatan
P3KT yang telah kita laksanakan dengan menitiberatkan pada pembangunan
prasarana dan sarana perkotaan. Program pembangunan kota terpadu ini
mencakup pembangunan ekonomi lokal sebagai salah satu komponen
pembangunan yang strategis, demikian pula upaya penanggulangan kemiskinan
dan upaya untuk mewujudkan good urban governance. Cara pandang yang
saya kemukakan ini sangat berbeda dengan cara pendekatan yang masih dipakai
oleh lembaga pemberi pinjaman luar negeri yang masih menitikberatkan
pendekatannya pada kota sebagai penyedia prasarana dan sarana perkotaan
semata (sebagai service provider saja). Bahkan adanya kecenderungan ingin
mendorong salah satu tujuan seperti penanggulangan kemiskinan atau good
urban governance sebagai suatu tujuan pembangunan yang tersendiri dan
terpisah dari konteks pembangunan kota lainnya. Kita lebih menekankan pada
upaya pemberdayaan masyarakat kota untuk mewujudkan kemandirian kota
dalam menjaga kelangsungan penyediaan prasarana dan sarana perkotaan di
masa yang akan datang, dan melihat pembangunan kota dalam konteksnya yang
menyeluruh dan tidak terisolir satu dari lainnya.

MANAJEMEN PUNCAK

Dari sudut pandang inilah saya ingin menekankan pengertian kita tentang tentang
pengelolaan atau manajemen pembangunan perkotaan (urban development
management). Kita memiliki konsep yang jelas mengenai manajemen
pembangunan perkotaan, yaitu sebagai suatu konsep yang berasal dari sudut
pandang manajemen puncak, bukan yang melihatnya dari sudut bagian-bagian
atau segmentalisasi manajemen pembangunan kota. Pada saat kita masih
menjadi bagian dari Departemen Pekerjaan Umum dahulu (atau Dinas Pekerjaan
Umum di Daerah dan Kota) maka kita dapat melihat pembangunan kota hanya
dari sudut kebutuhan pembangunan prasarana dan sarana perkotaan. Akan
tetapi sebagai Direktorat Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan dari Departemen
Permukiman dan Prasarana Wilayah (Dep. Kimpraswil), kita harus
mampu mengembangkan konsep pendekatan pembangunan kota yang terpadu
dan bersifat multidimensional, yang meletakkan konsep manajemen
pembangunan kota dari sudut pandang manajemen puncak, yaitu Walikota dan
Bupati yang menjadi manajer puncak pembangunan perkotaan.

Dengan demikian, berbicara tentang pembangunan kelembagaan atau


institutional development kita harus mewujudkan kemampuan daerah dan kota
untuk menyelenggarakan manajemen pembangunan kota yang terpadu, yang
mempunyai ciri-ciri, sebagai berikut : (1) Mampu menyusun prioritas-prioritas
pembangunan kotanya dalam suatu program pembangunan kota yang terpadu
(P2KT); (2) Mampu menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan, terutama
adalah membangun prasarana dan sarana perkotaan, dan menciptakan suasana
aman (urban security) dan kepastian hukum (legal security), serta mengelola
sumber daya pembangunan seperti keuangan dan ruang/lahan kota; (3) Mampu
memberdayakan masyarakat kota dalam meningkatkan kesempatan kerja serta
pendapatan keluarga, yang dapat meningkatkan daya belinya guna memenuhi
kebutuhannya secara seimbang dalam kesejahteraan yang semakin meningkat,
melalui upaya pembangunan ekonomi lokal yang terkait dengan pembangunan
ekonomi nasional dan berdaya saing dalam perekonomian global; (4) Mampu
memetik hasil dari pembangunan ekonomi lokal dan ekonomi masyarakat kota
sehingga pendapatan asli daerah terus meningkat agar dapat meningkatkan
kemampuan kota dalam menjaga keberlangsungan penyediaan prasarana dan
sarana yang diperlukan sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan
kebutuhan masyarakat; (5) Mampu menyelenggarakan semua hal di atas dengan
menumbuhkan kemampuan peran serta masyarakat dalam memutuskan strategi
dan melaksanakan pembangunan kotanya, dengan mewujudkan citra
pemerintahan yang terbuka, bersih, berwibawa, dan mampu memberikan
masukan kepada pimpinan dalam wujud gagasan-gagasan pembangunan kota
yang bermutu dan profesional. Upaya pembangunan kemampuan kelembagaan
seperti yang yang saya uraikan di atas, harus dimulai dengan menciptakan
kepemimpinan pembangunan kota (urban development leadership) yang mampu
untuk berperan sebagai pemimpin manajemen pembangunan kota dengan
wawasan dan jangkauan pandang yang luas dan menyeluruh seperti yang saya
sampaikan dalam kesempatan ini.

KEAHLIAN SUMBER DAYA MANUSIA YANG DIBUTUHKAN UNTUK


MENJAWAB TANTANGAN MASA DEPAN

Didasari hal tersebut, maka arah dan kecenderungan kebutuhan sumber daya
manusia yang dibutuhkan untuk mendukung program pembangunan prasarana
dan sarana perkotaan kita di masa pemerintahan yang telah didesentralisasikan
yaitu : (1) Kebutuhan keahlian yang diperlukan untuk pembangunan prasarana
dan sarana perkotaan yang dahulu terpusat di Jakarta, sekarang perlu dialihkan
ke daerah-daerah Kota dan Kabupaten, baik yang bekerja di sektor pemerintahan

maupun yang di perusahaan konsultan. Khususnya dalam memindahkan dari


kemampuan konsultan yang berpusat di Jakarta dan konsultan luar negeri ke
konsultan yang berbasis lokal dan regional; (2) Diperlukannya sumber daya
manusia dengan keahlian baru sebagai pembina dan penyelenggara kebijakan
dan strategi pembangunan perkotaan, dan menjadi pusat pengetahuan
(knowledge center) di tingkat Pusat
dan Provinsi; dan (3) Diperlukannya keahlian dengan bidang pengetahuan yang
lebih luas dalam pembangunan perkotaan termasuk pembangunan ekonomi
perkotaan, pembangunan sosial budaya perkotaan, pembangunan manajemen
keuangan dan pembiayaan perkotaan, pembangunan lingkungan perkotaan, dan
terutama manajemen pembangunan perkotaan, Dan akhirnya (4) Peningkatan
kualitas sumber daya manusia profesional di bidang prasarana dan sarana dasar
perkotaan dan perdesaan, yang diperlukan dalam meningkatkan kegiatan
penelitian dan pengembangan teknologi pembangunan kota dan prasarana
perkotaan yang relevan dengan kebutuhan kota di Indonesia.

Bertitiktolak dari cara pandang yang saya sampaikan di atas, saya sungguh
mengharapkan perguruan tinggi dapat bekerjasama dengan pemerintah kota
untuk merintis pembangunan kemampuan kelembagaan yang dapat membangun
kemandirian kota melalui pola pembangunan perkotaan yang multidimensional,
dengan mekanisme program pembangunan kota secara terpadu. Apabila kotakota dapat merintis pembangunan sesuai kemampuan masing-masing seperti
yang saya uraikan di atas, maka kota-kota berada di garis depan dalam
melembagakan kemampuan manajemen pembangunan perkotaan generasi baru.

Untuk itu, kita perlu memikirkan apa yang menjadi tantangan dan jawabanjawaban yang tepat terhadap permasalahan pembangunan prasarana dan
sarana di masa yang akan datang. Saya ingin tekankan di sini bahwa masa
depan pembangunan prasarana dan sarana berada di tangan para ahli profesi
teknik dan pembangunan kota yang dewasa ini masih sedang belajar dan akan
menjadi pemimpin pembangunan di masa depan. Betapa besar peran generasi
muda untuk menapakkan jejak bagi pembangunan prasarana dan sarana di
masa yang akan datang. Gunakanlah kesempatan yang ada untuk berpikir dan
melakukan lompatan jauh ke depan (the great leap forward) agar generasi baru
nanti lebih siap untuk menerima tongkat estafet guna menjaga kelangsungan
pembangunan prasarana wilayah di masa yang akan datang.

Akhirnya, pada kesempatan ini saya juga ingin mengusulkan agar dalam

pendidikan tenaga professional dalam pembangunan prasarana dan sarana


perkotaan selanjutnya diikutsertakan lebih banyak tenaga ahli yang sudah
mempunyai pengalaman luas dalam praktek dan di tingkat operasional
menangani manajemen hal tersebut. Dengan demikian dapat dijamin adanya
aliran pengetahuan dari dunia praktek yang dilandasi pengalaman di negara kita
sendiri tentang pembangunan prasarana dan sarana perkotaan. Sekiranya
diperlukan, saya yakin banyak tenaga yang dahulu bekerja di Departemen
Pekerjaan Umum dan yang sekarang masih aktif berkarya di Departemen
Permukiman dan Prasarana Wilayah (baik di Pusat maupun di Daerah), termasuk
para tenaga purna-bhaktinya, dapat merupakan sumber tenaga pengajar yang
potensial dan siap membantu program pendidikan Magister yang sedang
dikembangkan di perguruan-perguruan tinggi.

Prasarana dan Sarana Air Bersih dan Sanitasi bagi Pengungsi di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam
Konflik sosial yang tidak kunjung reda akibat
ulah sekelompok gerombolan separatis di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
membawa dampak yang cukup membuat
semakin panjang deretan penderitaan
sebagian besar masyarakat Aceh.

Penetapan kebijakan Pemerintah untuk menangani masalah konflik yang


berkepanjangan tersebut, dilakukan secara komprehensif. Dengan dukungan
positif dari berbagai pihak terkait, melalui Operasi Terpadu yang dimaksudkan
untuk mempersempit ruang gerak kelompok separatis tersebut yang semakin
lama semakin mengusik kenyamanan sebagian masyarakat Aceh yang relatif
telah jenuh dengan kondisi yang tidak kondusif. Semenjak dimulainya Operasi
Terpadu, ternyata menimbulkan ekses sosial bagi masyarakat setempat, akibat
terdesaknya kelompok saparatis dari operasi militer yang dilakukan oleh pihak
Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Kenyamanan dan ketentraman sebagai bagian dari warga Negara, mendorong


terjadinya arus pengungsian di beberapa wilayah provinsi Serambi Mekkah
tersebut. Terjadinya arus pengungsi, dalam kurun waktu tertentu, terlihat semakin
hari semakin meningkat, pada akhirnya menciptakan permasalahan tersendiri,
terutama dalam pemenuhan kebutuhan pokok kehidupan sehari-hari.

Air yang bersih dan layak, merupakan salah satu contoh kebutuhan primer yang
mendominasi kesulitan bagi para pengungsi di daerah pengungsian, tidak

sekedar hanya terbatasnya untuk pemenuhan kebutuhan kehidupan (minum,


mandi, mencuci), akan tetapi berakibat tidak hanya pada pemenuhan kebutuhan
air untuk mencukupi kehidupan (minum, mandi dan lain-lain), sehingga tetapi
pada akhirnya membawa dampak menurunnya tingkat kesehatan para
pengungsi. Pada sisi lain, kondisi yang kurang kondusif tersebut, menurunkan
tingkat pendapatan para pengungsi untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Hal tersebut dapat terlihat, hampir seluruh warga pengungsi tidak memiliki mata
pencaharian tetap di pengungsian.

BANTUAN 100 UNIT TANGKI AIR BERSIH


Sebagai salah satu upaya untuk mengurangi beban penderitaan para pengungsi,
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, melalui Direktorat Jenderal
Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, melakukan dukungan kemanusiaan dalam
bentuk Prasarana dan Sarana Air Bersih dan Sanitasi untuk kepentingan
masyarakat dalam pengungsian, yang pelaksanaannya dilaksanakan secara
bertahap.
diungkapkan Menteri Kimpraswil, pada saat pelepasan 10 unit tangki air bersih,
tanggal 10 Juni 2003, mengatakan bahwa .. ini merupakan rangkaian
dukungan Departemen Kimpraswil yang akan memberikan bantuan sebanyak
100 unit mobil tangki air kepada para pengungsi di provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, di samping bantuan lain yang diberikan dalam bentuk lain seperti
bak penjernih, jerigen, kaporit dan tawas, secara keseluruhan menelan biaya
sebesar Rp. 18 milyar.
Lebih lanjut Menteri Kimpraswil Soenarno, menambahkan, Departemen
Kimpraswil juga memberikan dukungan berupa bantuan perbaikan prasarana dan
sarana untuk pendidikan, irigasi, jalan dan jembatan serta pembangunan fasilitas
rumah tinggal bagi penduduk yang rusak akibat kerusuhan dari kelompok
saparatis, yang pelaksanaannya akan dilaksanakan setelah situasi keamanan
sudah dianggap lebih kondusif.
Data yang berhasil kami himpun, sampai dengan saat ini, jumlah keseluruhan
mobil tangki air yang telah dikirim sebanyak 95 unit dari 100 unit yang
direncanakan, 275 Hidran umum, yang tersebar di 15 kabupaten, serta bantuan
pembuatan sumur gali sebanyak 35 unit yang tersebar di 14 kabupaten.
Pada kesempatan penyerahan dukungan kemanusian tahap II, Direktur Jenderal
Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Ir. Budiman Arif, memberikan arahan teknis
di mana tangki air yang diserahkan terdapat 5 unit tangki air khusus yang
berfungsi selain sebagai tangki air biasa, juga dapat berfungsi sebagai tangki

pemadam kebakaran.
Untuk prasarana dan sarana sanitasi, Departemen Kimpraswil, telah memulai
pembangunan untuk Camp/Tempat Penampungan anggota GAM yang telah
menyerahkan diri, antara lain yang berlokasi di Balai Penataran Guru Kabupaten
Aceh Besar.
Hingga saat ini, secara keseluruhan telah dibangun Sumur Gali sebanyak 35 unit
dari 68 unit yang direncanakan, WC sebanyak 1.618 unit dari 3.000 unit yang
direncanakan. (SD/rsp-tim publikasi)

Revitalisasi Kawasan, potensi untuk mendorong kegiatan ekonomi lokal


Revitalisasi Kawasan, potensi untuk mendorong kegiatan ekonomi lokal

Ragam budaya yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan anugerah sekaligus


warisan yang perlu dipelihara keberadaannya. Aset fisik (fasilitas) yang ada juga
tidak dapat diabaikan akan kandungan nilai historisnya. Peninggalan nenek
moyang bangsa Indonesia yang beragam tersebut, tersebar di hampir seluruh
pelosok tanah air tercinta ini, dengan segala keunikan, karagaman serta
karakteristiknya. Kesemua itu tidak hanya sekedar mencatat perjalanan sejarah
bangsa, akan tetapi mengandung unsur budaya, serta sumber ilmu pengetahuan
bagi generasi-generasi penerus bangsa.

Untuk masyarakat tertentu dan berdomisili pada kawasan-kawasan yang memiliki


benda-benda nan mengagumkan tersebut, sudah barang tentu lebih beruntung
dibandingkan dengan masyarakat yang jauh dari letak benda-benda bersejarah.
Namun bagi sebagian masyarakat yang beruntung itu, terkadang kurang
memahami bahkan kurang peduli dengan keberuntungan yang dimilikinya.

Suatu ilustrasi yang paling mudah diperbincangkan misalkan Museum dan


Kebun Raya, adalah tempat yang sudah tidak asing untuk menyebutnya,
bahkan ironisnya kedua tempat tersebut di atas, merupakan tempat yang sangat
akrab bagi pelancong (turis) dari manca negara. Untuk seluruh wilayah
Nusantara, yang terdapat Museum dan Kebun Raya pasti pernah dikunjungi
para wisatawan asing, bahkan di antara mereka tidak hanya sekedar berwisata,
namun terkadang menggali ilmu pengetahuan dari apa yang terkandung di kedua
tempat tersebut. Sekarang yang menjadi masalah adalah bagaimana dengan
kepedulian bangsa kita sendiri akan hal tersebut?

Contoh sepintas di atas, menggambarkan apabila kita dapat memfungsikan suatu


potensi budaya, benda, tempat bersejarah, yang sudah barang tentu sangat
banyak jumlahnya, akan memberikan suatu manfaat lebih apabila kita dapat
mengelola potensi tersebut.

APALAGI ?

Sesungguhnya masih banyak potensi yang dapat dikembangkan untuk


mendorong terciptanya manfaat tambahan dari potensi-potensi yang dimiliki.
Misalkan, untuk Kota Jakarta, banyak obyek yang layak untuk dijadikan dan
dikembangkan sebagai kawasan wisata : seperti kawasan nelayan Sunda
Kelapa, Museum Fatahillah, Gedung Balai Kota, serta tempat potensial lainnya
yang masing-masing memiliki daya tarik tersendiri.
Tentu saja untuk dapat mengembalikan fungsi tempat-tempat potensial dimaksud
tidaklah mudah, apalagi yang dirancang sedemikian rupa agar dapat mendorong
pergerakan perekonomian baik untuk sektor formal maupun informal. Dengan
demikian peran yang lebih bersifat partisipatif dari Masyarakat, Swasta dan
Pemerintah untuk dapat memfungsikan kembali obyek-obyek potensial tersebut
diperlukan kegiatan Penataan Kawasan secara terintegrasi.

PERAN PEMERINTAH PUSAT

Kepedulian terhadap penataan kembali kawasan-kawasan potensial oleh


Pemerintah Pusat, meskipun sudah digalakkan dalam kurun waktu beberapa
tahun terakhir ini, dinilai masih sangat terbatas, di samping dalam keterbatasan
penyediaan anggaran maupun filosofi yang terkandung di dalamnya. Hal tersebut
sangatlah dimaklumi, mengingat era otonomi daerah, pemerintah pusat hanya
berperan untuk memberikan dorongan dan fasilitasi, termasuk dalam Program
Penataan dan Revitalisasi Kawasan, di mana upaya yang dilakukan lebih
menitikberatkan pada bantuan secara teknis, sedangkan penataan dan
revitalisasi fisiknya lebih mengedepankan peran Pemerintah Daerah. Dengan
demikian kegiatan dan peran yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat lebih bersifat
stimulus.

PEMERINTAH DAERAH

Fenomena menunjukan bahwa upaya-upaya penataan dan revitalisasi yang telah


dilakukan dengan melibatkan peran setiap elemen yang terkait, akan
membuahkan hasil yang sangat menggembirakan. Beberapa contoh nyata yang
terjadi menunjukkan bahwa pengaruh yang dominan terhadap kawasan-kawasan
potensial tersebut, tidak terletak pada saat penataan kembali atau merevitalisasi,

namun keberlanjutan pemeliharaannya, sehingga menjamin berjalannya ekonomi


setempat. Kesemuanya bila dicermati kembali pada besar kecilnya komitmen
pemerintah daerah setempat untuk menjaga keberlanjutan kawasan-kawasan
potensial agar dapat tumbuh dan berkembang.

Seperti telah diungkapkan sebelumnya, bahwa kemampuan dan keterjangkauan


Pemerintah Pusat untuk dapat menangani semua kawasan potensial di seluruh
Indonesia, sangatlah terbatas dan bahkan dapat dikatakan sangatlah tidak
mungkin, untuk itu, dapat dibayangkan seandainya semua potensi yang tersebar
di nusantara ini ada komitmen yang kuat dari masing-masing Pemerintah
Kabupaten/Kota, maka semua perekonomian lokal dapat tumbuh dan
berkembang, yang tidak ayal lagi akan memberikan kontribusi yang sangat besar
bagi pertumbuhan perekonomian nasional.

Sekali lagi kiranya tidak berlebihan, bila di setiap pemerintah daerah terpatri
semangat untuk menjaga keberlanjutan fungsi kawasan-kawasan potensial, di
samping akan dapat menumbuhkan ekonomi sebagaimana uraian di atas, juga
menghindari terjadinya perubahan fungsi atau tidak berfungsinya kembali
kawasan-kawasan petensial yang dimiliki masing-masing daerah.

Rencana Pembangunan Jembatan Soekarno di Manado

Rencana Pembangunan Jembatan Soekarno di Manado


Sulawesi Utara

SUB DIREKTORAT PERKOTAAN DAN PERDESAAN


WILAYAH TIMUR III

Kota Manado yang berfungsi sebagai Ibukota Provinsi Sulawesi Utara dengan
jumlah penduduk 441.000 jiwa, merupakan salah satu kota di wilayah Timur
dengan perkembangan ekonomi yang cukup tinggi serta memiliki peran sebagai
pemacu pertumbuhan kawasan KAPET Manado Bitung dan Propinsi Sulawesi
Utara.

Dampak pertumbuhan ekonomi dan industri menyebabkan mobilitas barang dan


penumpang meningkat pesat baik lalu lintas di dalam kota maupun antar kota. Di
lain pihak pertumbuhan lalu lintas tersebut tidak diimbangi dengan Sistim
Jaringan Jalan yang ada, yang menimbulkan kepadatan, kemacetan lalu lintas
dalam Kota Manado. Dalam upaya mengatasi permasalahan tersebut dan untuk
mengurangi kepadatan lalu lintas di dalam kota serta mengalihkan lalu lintas
regional menuju / dari pelabuhan udara / laut serta antar kota dari / ke pusat kota,
maka dipandang perlu adanya suatu sistem jalan yang terintegrated sebagai
Jalan lingkar atau nantinya akan dikenal sebagai Manado Ring Road (MRR).

Rencana Manado Ring Road telah diwujudkan realisasinya melalui pelaksanaan


tahap I yaitu ruas Manado By Pass I sebaga bagian Manado Ring Road sisi
Timur dan diperkirakan akan selesai pada Tahun Anggaran 2004, sedangkan
Manado By Pass II dan III masing-masing diusulkan melalui dana bantuan EDCF
(Korea) dan IBRD (SRIP).

Sebagai pelengkap sistem jaringan Manado Ring Road sisi Barat, direncanakan
pembangunan jembatan Soekarno serta jalan Boulevard (tahap II). Jalan
Boulevard (tahap II) sudah dimulai pembangunannya sejak tahun 1993 - 1994
yang dibiayai oleh dana APBN, dimana 60 % pekerjaan badan jalan telah

selesai. Pada tahun 1997 1998, krisis ekonomi malanda bangsa Indonesia
sehingga pembangunannya tidak dapat dilanjutkan atau mengalami penundaan
hingga saat ini. Dengan mulai cerahnya ekonomi Negara maka saatnya perlu
mendapat perhatian kembali karena dengan keberadaan Sulawesi Utara yang
secara geografis berada di bibir Pasific, maka Manado sebagai pintu gerbang
harus dipersiapkan jauh sebelumnya terutama dalam penataan infra-strukturnya
sehingga tiba saatnya nanti, akan menjadi kota yang siap untuk masuk dalam
persaingan global. Untuk persiapan-persiapan pelaksanaan pembangunan
jembatan Soekarno meliputi kegiatan : study kelayakan, detail engineering
desain, dan study UKL & UPL melalui dana APBN TA 2003. Sebagai ilustrasi
diusulkan 2 (dua) alternatif desain pada jembatan Soekarno sbb:
(1)

Jembatan Soekarno I :

Alternatif 1 (dengan reklamasi) panjang 30 40 m;


Alternatif 2 (tanpa reklamasi), panjang 450 m;
(2)

Jembatan Soekarno II :

Alternatif 1 (dengan reklamasi) panjang 150m;


Alternatif 2 (tanpa reklamasi), panjang 150 m;
(3)

Jalan Boulevard Tahap II :

Alternatif 1 (dengan reklamasi) panjang 2000m;


Alternatif 2 (tanpa reklamasi), panjang 2000 m;

Penyediaan Air Bersih oleh Komunitas


Penyediaan Air Bersih oleh Komunitas
oleh : Diah Parahita *)

PENDAHULUAN
Air bersih merupakan salah satu kebutuhan manusia untuk memenuhi standar
kehidupan manusia secara sehat. Ketersediaan air yang terjangkau dan
berkelanjutan menjadi bagian terpenting bagi setiap individu baik yang tinggal di
perkotaan maupun di perdesaan. Oleh karena itu, ketersediaan air dapat
menurunkan water borne disease sekaligus dapat meningkatkan perekonomian
masyarakat. Namun sampai dengan tahun 2000, berdasarkan data Departemen
Permukiman dan Prasarana Wilayah, baru sekitar 19% penduduk Indonesia di
mana 39% nya adalah penduduk perkotaan yang dapat menikmati air bersih
dengan sistem perpipaan. Sedangkan di daerah perdesaan, berdasarkan data
yang sama, hanya sekitar 5% penduduk desa yang menggunakan sistem
perpipaan, 48% menggunakan sistem non-perpipaan, dan sisanya sebesar 47%
penduduk desa menggunakan air yang bersumber dari sumur gali dan sumber air
yang tidak terlindungi.

Di dalam memenuhi kebutuhan air bersih bagi keluarganya, penduduk tidak


jarang harus membeli air dari para penjual air dengan harga yang relatif tinggi
atau mengambil air langsung ke sumber air yang umumnya cukup jauh dari
tempat tinggal si penduduk. Ketika beberapa sumur dan sumber air mengering
akibat musim kemarau, menyebabkan semakin sulit bagi masyarakat untuk
mendapatkan air untuk memenuhi kebutuhan akan air bagi keluarganya.

Dalam KTT Bumi tahun 2002 yang diselenggarakan di Johannesburg, masalah


air merupakan salah satu isu utama yang dibicarakan di samping masalah
sanitasi. Pada konvensi itu disebutkan bahwa penduduk dunia yang tidak
memiliki akses terhadap air bersih adalah sekitar satu milyar. Sedangkan menurut
Human Development Index, 2002, yang dikeluarkan oleh UNDP antara lain
dikatakan bahwa masih ada sekitar 16 negara di mana penduduk yang memiliki
akses terhadap improved water sources kurang dari 50% sedangkan sekitar 1,2
milyar penduduk yang kurang memiliki akses terhadap clean water.

Dalam Water World Forum (WWF) ke 2 di The Haque, Belanda tahun 2000, telah
dikeluarkan kesepakatan yang dikenal dengan sebutan Millenium Development
Goals (MDG) 2015 di mana salah satu target yang disepakati adalah mengurangi
sekitar setengah jumlah penduduk yang tidak memiliki akses terhadap safe
drinking water.

Di sisi lain dalam agenda KTT Bumi 2002 Johannesburg, diharapkan dapat
meningkatkan cakupan pelayanan air minum menjadi 80% di perkotaan dan 40%
di perdesaan.

Untuk mencapai agenda tersebut, maka pemerintah melalui Komite


Kebijaksanaan Percepatan Pembangunan Infrastruktur (KPPI), telah
mencanangkan Kebijakan Penyehatan PDAM yang antara lain bertujuan untuk
mempercepat penyelesaian hutang PDAM seperti penjadwalan kembali
pembayaran hutang.

Program ini (sebagaimana tertuang di dalam Surat Menteri Permukiman dan


Prasarana Wilayah, kepada seluruh Pemerintah Daerah), dimulai pada tahun
2003 yang diawali dengan sosialisasi sehingga pada tahun 2004, Pemda dan
PDAM diharapkan telah dapat melaksanakan program penyehatan ini. Meskipun,
dari sekitar 300 PDAM ternyata hanya 10% yang dinilai baik/sehat sedangkan
sebagian besar PDAM (90%) dinilai tidak/ kurang sehat.

Mengingat hal tersebut, upaya untuk meningkatkan cakupan pelayanan air bersih
baik di daerah perkotaan maupun daerah perdesaan tidak dapat sepenuhnya
diharapkan dari PDAM. Kemudian, penyediaan air bersih dianggap perlu
dikembangkan pola kemitraan dengan pihak swasta, meskipun disadari hasilnya
tidak dapat terjangkau oleh masyarakat, karena tarif air yang relatif tinggi. Di lain
pihak, penyediaan air bersih yang dilakukan oleh pihak swasta pada umumnya
bersifat tertutup sehingga masyarakat cenderung tidak memiliki peluang untuk

dapat turut aktif di dalam setiap tahap pembangunan bidang air bersih.

Dengan adanya pergeseran kebijakan pembangunan pada upaya peningkatan


Sumber Daya Manusia, di mana pola pendekatan pembangunan menitikberatkan
pada masyarakat sebagai pelaku utama di dalam setiap pembangunan, yang
semestinya juga dapat diterapkan dalam pola pembangunan di bidang air bersih.

Termasuk dalam hal Pembangunan Prasarana dan Sarana Air Bersih dan
Penyehatan Lingkungan Berbasis Pengelolaan Masyarakat yang diharapkan
menjadi acuan dasar di dalam setiap pembangunan air bersih oleh instansiinstansi terkait, telah membuka peluang kepada masyarakat pengguna untuk
dapat terlibat di dalam setiap pembangunan di bidang air bersih, terutama di
kawasan perkotaan yang memiliki karakteristik perdesaan seperti wilayah
pinggiran kota ataupun di kantong permukiman di pusat kota serta di kawasan
yang benar-benar perdesaan, di mana cenderung tidak terlayani oleh sistem
perkotaan dan dianggap tidak potensial untuk dikelola oleh lembaga formal yang
hanya ada di perkotaan.

Selain sebagai pengguna, masyarakat juga dapat diaktifkan dan difungsikan


sebagai pengelola prasarana dan sarana air bersih, dengan membentuk
kelompok swadaya masyarakat di bidang air bersih, sehingga sangat
memungkinkan untuk mengelola prasarana dan sarana air bersih dengan wilayah
pelayanan terbatas atau di lingkungan sekitarnya. Penyediaan air bersih yang
dilakukan oleh komunitas ini diharapkan dapat menjamin keberlanjutan
penyediaan air bersih di lingkungannya baik dari aspek teknis maupun non
teknis.

Bertitik tolak dari hal tersebut di atas, tulisan ini dibuat sebagai bahan masukan di
dalam merumuskan konsep penyediaan air bersih oleh komunitas/masyarakat,
khususnya dalam rangka merumuskan Bentuk Swadaya Air yang dapat
dilakukan oleh masyarakat.

Pola Pendekatan

Penyediaan air bersih yang dilakukan oleh masyarakat ini dilakukan dengan pola
pendekatan TRIBINA di mana di dalam pola

1. Bina Manusia

Unsur ini merupakan upaya yang dilakukan untuk menyiapkan masyarakat


setempat, dengan metode yang digunakan adalah :
1. Informasi, yaitu upaya penyampaian informasi kepada masyarakat di lokasi
setempat mengenai aspek teknis dan non teknis yang berkaitan dengan
pembangunan dan pengelolaan prasarana dan sarana air bersih;
2. Komunikasi, yaitu upaya untuk menciptakan dialog di kalangan masyarakat
setempat yang bersifat dua arah sehingga masyarakat mau dan mampu
mengenali kebutuhan serta menangani permasalahan yang dihadapi sehubungan
dengan upaya masyarakat di dalam memenuhi kebutuhan air bersih bagi diri
sendiri maupun bagi keluarganya dan lingkungannya;
3. Edukasi, merupakan upaya yang dilakukan agar masyarakat mampu untuk
mengelola prasarana dan sarana air bersih di lingkungannya baik secara teknis
maupun non teknis sehingga terjadi keberlanjutan penyediaan air bersih di
lingkungannya.

2. Bina Lingkungan

Unsur ini merupakan upaya bagi masyarakat untuk menemukenali kebutuhan


dan permasalahan yang dihadapinya sebagai individu, kepala keluarga, dan
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan air bersih. Kegiatan yang dilakukan
dalam tahap ini adalah melakukan Survei Kampung Sendiri (SKS) atau Mawas
Diri yang antara lain mencakup aspek : a) sosial budaya; b) ekonomi; c) teknis; d)
lingkungan; e) hukum; f) kelembagaan; g) dan aspek lain yang terkait.

3. Bina Usaha

Unsur ini merupakan upaya bagi masyarakat untuk belajar membentuk kelompok
swadaya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat setempat.
Selain itu, kegiatan ini dimaksudkan pula agar masyarakat mampu mengelola
organisasi/lembaga yang dibentuk baik secara manajemen, keuangan, hukum,
maupun aspek lain yang diperlukan bagi suatu lembaga yang mengelola
prasarana dan sarana air bersih di lingkungannya.

METODE PELAKSANAAN

Penyediaan air bersih oleh komunitas ini menggunakan konsep Advocacy dan
Communications. Konsep yang dikembangkan oleh McKee (1992) tersebut
merupakan pendekatan yang didasarkan pada people-based dan people driven.
Konsep advokasi sendiri merupakan upaya penyampaian pesan untuk
memperoleh kesepakatan dari unsur-unsur masyarakat sekaligus menyiapkan
masyarakat (society) untuk masalah tertentu melalui penyampaian
pesan ke berbagai media komunikasi baik perorangan maupun non perorangan
atau media.
Hal ini termasuk adanya proses penyusunan dan pembentukan
organisasi/lembaga dengan berbagai pelaku (stakeholders). Adapun tujuan
utama dari konsep ini antara lain untuk meningkatkan kemampuan civil society,
masyarakat grass roots, dan organisasi di dalam bertindak untuk melakukan
perubahan.

MEKANISME PELAKSANAAN

1. Penyiapan Masyarakat
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah melakukan sosialisasi mengenai
penyediaan air bersih, yang dilakukan terdiri atas dua tahap yaitu : pertama,
yaitu sosialisasi yang dilakukan kepada unsur-unsur yang terdapat di lingkungan
masyarakat setempat seperti : tokoh masyarakat (tokoh agama, tokoh

pendidikan, tokoh perempuan, dll), aparat pemerintah lokal/setempat,


pemuda/pemudi, serta unsur lain yang terdapat di lingkungannya yang
diharapkan mau dan mampu memotivasi masyarakat setempat untuk
meningkatkan kualitas hidup khususnya di dalam memenuhi kebutuhan air bersih
bagi diri dan keluarganya. Pada tahap ini nantinya akan terpilih tenaga motivator
bagi masyarakat di lingkungannya sendiri; kedua, yaitu kegiatan sosialisasi yang
dilakukan oleh tenaga motivator kepada masyarakat setempat agar masyarakat
mau dan mampu menemukenali kebutuhan dan permasalahan yang dihadapinya
sekaligus mencari upaya penanganannya.

2. Pembentukan Kelompok Swadaya Masyarakat


Pada tahap ini, masyarakat membentuk organisasi baik yang akan melakukan
pembangunan maupun pengelolaan prasarana dan sarana air bersih, dengan
cara merumuskan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART)
yang diperlukan termasuk struktur organisasi serta tanggung jawab individu yang
terdapat dalam organisasi tersebut. Struktur organisasi tersebut diharapkan dapat
pula menampung masyarakat lingkungan setempat sebagai pemegang saham
organisasi tersebut.

3. Perencanaan Teknis Bidang Air Bersih


Pada tahap ini, Masyarakat bersama dengan organisasi yang telah dibentuk
merencanakan aspek teknis antara lain meliputi :
a. Sumber air baku;

Kebutuhan akan air bersih dan luas daerah pelayanan;

Teknologi tepat guna yang akan digunakan untuk instalasi pengolahan air;

Jaringan distribusi yang akan digunakan; dan

Elemen lain yang diperlukan dalam perencanaan teknis ini.

b. Perencanaan Pengelolaan Prasarana dan Sarana Air Bersih


Masyarakat bersama dengan organisasi yang terbentuk
merencanakanbagaimana mengelola prasarana dan sarana air bersih baik dari

segi manajemen, pendanaan, dll.

c. Pembangunan Prasarana dan Sarana Air Bersih


Masyarakat bersama dengan organisasi yang terbentuk akan melaksanakan
pembangunan prasarana dan sarana air bersih. Selain itu, masyarakat dan
organisasi yang terbentuk juga merumuskan mekanisme untuk monitoring
pelaksanaan pembangunan, mekanisme serah terima apabila pembangunan
telah selesai dilakukan, serta mekanisme pengoperasian dari prasarana dan
sarana air bersih yang dibangun.

MEKANISME PENDANAAN

Dalam mekanisme pendanaan ini perlu dirumuskan kontribusi masing-masing


pihak di dalam penyediaan air bersih oleh komunitas baik dalam bentuk uang
maupun bentuk lain. Adapun mekanisme pendanaan ini juga perlu memasukan
kontribusi :

1. Masyarakat setempat;
2. Pemerintah Pusat/Daerah/Lokal;
3. PDAM atau badan pengelola air lainnya;
4. Pihak swasta, khususnya yang berada di lingkungan itu;
5. Pihak perguruan tinggi;
6. Dan pihak lain.

Pengembangan Agropolitan di Provinsi Gorontalo


Pengembangan Agropolitan di Provinsi Gorontalo

Oleh: Ir. Fadel Muhammad *)


Naskah berikut diambil dari Makalah yang disampaikan oleh Penulis pada Lokakarya Perumusan
Kebijakan Pengembangan Agropolitan dalam rangka Pemberdayaan Ekonomi Perdesaan melalui
Kemitraan Masyarakat Swasta Pemerintah, yang diselenggarakan oleh Ditjen. Tata Perkotaan
dan Tata Perdesaan pada tanggal 12-13 Agustus 2003 di Jakarta

Provinsi Gorontalo adalah provinsi yang terbentuk berdasarkan Undang-undang


Nomor 38 Tahun 2000, dengan luas wilayah + 1.221.554 ha, yang meliputi 4
kabupaten, masing-masing : Kabupaten Gorontalo, Boalemo, Pohuwato, dan
Bone Bolang serta Kota Gorontalo. Jumlah penduduk pada tahun 2002 sebanyak
852.972 jiwa dengan tingkat pendapatan per kapita sebesar Rp. 2.513.202.
Ditinjau dari potensi sumberdaya alam, Provinsi Gorontalo mempunyai banyak
potensi yang layak untuk dikembangkan antara lain di bidang pertanian dan
peternakan. Namun demikian pengembangan sektor tersebut perlu didukung
dengan pengembangan infrastruktur yang diharapkan dapat membuka aksesakses ke sentra produksi pertanian yang ada.
Oleh karenanya, dalam upaya mempercepat pertumbuhan dan pengembangan
wilayah, maka pemerintah Provinsi Gorontalo menetapkan 3 program unggulan
yang diharapkan dapat memacu perkembangan sektor-sektor lainnya yang
meliputi :
a. Pengembangan SDM;
b. Pengembangan Pertanian dengan menjadikan Gorontalo sebagai Provinsi
Agropolitan, Provinsi yang memiliki kompetensi di bidang pertanian;
c. Pengembangan ekonomi kelautan dengan sasaran peningkatan kinerja sektor
perikanan dan pengembangan wilayah pesisir.
Untuk mewujudkan pengembangan tiga program unggulan tersebut, yang disertai
dengan pembangunan infrastruktur penunjang, maka dukungan pembiayaan
sangat diperlukan. Dengan kondisi kemampuan anggaran Pemerintah Daerah
yang sangat terbatas, maka melalui pengajuan proposal ini diharapkan mendapat
respon positif dalam rangka menunjang pengembangan program agropolitan di
Provinsi Gorontalo.

I. PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN

Pengembangan kawasan agropolitan adalah bertujuan meningkatkan


pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pembangunan
wilayah dan peningkatan keterkaitan desa dan kota dengan mendorong
berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing. Sasaran
pengembangan kawasan agropolitan adalah untuk mengembangkan kawasan
pertanian yang berpotensi menjadi kawasan agropolitan, melalui :
1.

Pemberdayaan masyarakat pelaku agribisnis agar mampu meningkatkan


produksi,
produktivitas komoditi pertanian serta produk-produk olahan
pertanian, yang dilakukan dengan pengembangan sistem dan usaha
agribisnis yang efisiensi;

2. Penguatan kelembagaan petani;


3.

Pengembangan kelembagaan sistem agribisnis (penyedia agroinput,


pengelolaan hasil, pemasaran dan penyedia jasa);

4. Pengembangan kelembagaan penyuluhan pembangunan terpadu;


5. Pengembangan iklim yang kondusif bagi usaha dan investasi;

Sebagai salah satu sektor unggulan di Provinsi Gorontalo, maka pengembangan


sektor pertanian dilaksanakan dengan pendekatan konsep pengembangan
agropolitan dengan menetapkan jagung dan ternak sapi sebagai komoditas
utama. Konsep pengembangan agrobisnis jagung di Gorontalo dalam rangka
mendukung program agropolitan didesain dalam dua model yakni demonstrasi
plot (demplot) dan pengembangan. Demplot hanya dilaksanakan untuk jangka
pendek (satu tahun) yang dimaksudkan sebagai proses penyuluhan dan
pembelajaran petani serta meyakinkan investor bahwa pemerintah memiliki
komitmen tinggi dalam peningkatan kualitas, kuantitas dan kontinuitas produksi.

Sementara untuk model pengembangan dilaksanakan dengan menggunakan


aplikasi teknologi yang spesifik seperti perluasan areal tanam (PAT), peningkatan

mutu intensifikasi (PMI) dan sisi off-farm-nya dengan optimalisasi pengelolahan


hasil, penyimpanan serta pemasarannya. Khusus untuk sektor perternakan
diprioritaskan pada pengembangan sapi potong dan ayam buras yang
diharapkan dengan berkembangnya ternak sapi ini akan mendorong industri
pengolahan dan pasca panennya.

Disisi lain dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan maka Pemerintah


Provinsi telah mengalokasikan anggaran dalam rangka pengembangan sentrasentra produksi dengan membuka jalan-jalan akses yang diharapkan mampu
meningkatkan jalur distribusi pemasaran produk yang dihasilkan. Dana untuk
pembangunan infrastruktur penunjang itu sebagaian telah mendapat dukungan
APBD Provinsi.

II. PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR PENUNJANG

Menyikapi tantangan di era transformasi informasi yang ditandai dengan


pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi serta
perkembangan lingkungan eksternal yaitu desakan diakomodirnya trend
perdagangan bebas yang dibingkai dalam format otonomi daerah sesuai Undangundang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999, menurut desain kreatif menyangkut
program pembangunan. Dalam konteks mikro, yaitu pembangunan pertanian
maka sudah seharusnya rancangan pembangunan dimaksud diarahkan sesuai
tuntutan di awal tulisan ini, selain bermuara pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat (khususnya petani).
Sesuai konteks di atas, pendekatan pembangunan wilayah berbasis komunitas
lokal menjadi acuan untuk membangun kualitas pertanian di Provinsi Gorontalo.
Diharapkan dengan pendekatan ini, partisipasi aktif masyakrakat terkristalisasi
dalam suatu sinergitas antar grass root system hingga pembangunan sektoral
bahkan antar wilayah pengembangan menuju peningkatan competitive
advantage, value added, dan value changed.

Memang, nuansa kompleksitas di atas tidak serta merta dapat diwujudkan, perlu
langkah cepat dan tepat untuk mengkreasinya. Sebagai langkah
implementatifnya, Pemerintah Provinsi Gorontalo, sepanjang tahun 2002 telah
merancang dan melaksanakan 3 (tiga) program, yaitu Program Ketahanan

Pangan, Program Pengembangan Agribisnis dan Program Pengembangan


Komoditi Unggulan Berbasis Jagung ( Program Pengembangan Kawasan
Agropolitan Provinsi Gorontalo).

Ketiga program pilihan yang berbasis pertanian di atas, sampai paruh ketiga
tahun 2003 tetap menjadikan prioritas pengembangan sebagai program yang
memiliki nilai strategis sebagai push factor percepatan pertumbuhan ekonomi
lokal maupun regional. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa ketiga program
tersebut tidak berdiri sendiri.

Banyak aspek pendukung keberhasilan pelaksanaannya, salah satunya adalah


penyediaan prasarana dan sarana (infrastructure). Keterbatasan jalan akses ke
sentra produksi seringkali menjadi kendala bagi petani dalam pemasaran produk.
Kondisi ini membuat petani tidak serius membuka lahannya, padahal Pemerintah
Provinsi Gorontalo berharap tahun 2003 ini produksi jagung bisa mencapai
200.000 ton, dan untuk lima tahun ke depan bisa satu juta ton.

Dalam rangka menunjang Pengembangan Kawasan Agropolitan, maka


pembangunan infrastruktur yang akan dikembangkan di Provinsi Gorontalo
adalah :

a. Pengembangan Transportasi Udara


Pengembangan transportasi udara, dalam hal ini bandar udara, memiliki
peran strategis menuju keberhasilan pelaksanaan program agropolitan. Saat
ini Bandara Djalaluddin Gorontalo kategori Bandara Kelas III, yang didarati
pesawat jenis Fokker 27. Proses selanjutnya, Bandara Djalaluddin perlu
ditingkatkan menjadi Bandara Kelas II yang dapat didarati pesawat berbadan
lebar;
b. Pengembangan Transportasi Laut
Sebagai pintu gerbang arus barang dan jasa, pengembangan transportasi laut
juga menjadi pendukung utama pelaksanaan program Agropolitan Provinsi
Gorontalo. Terdapat 2 (dua) pelabuhan laut yang saat ini perlu ditangani dan

dikembangkan, yaitu pelabuhan Anggrek dan Pelabuhan Gorontalo;


c. Pengembangan Transportasi Darat
Jalan akses dan jembatan yang menghubungkan antar sentra produksi dan
wilayah pengembangan parsial dalam konteks agropolitan perlu penanganan
lebih lanjut. Persoalan pemasaran hasil produksi, mobilisasi dan transportasi
menjadi point of view pengembangan transportasi darat ini.
d. Pengembangan Kelistrikan
Persoalan kelistrikan juga perlu ditangani lebih lanjut, logikanya, prospek
pengembangan agropolitan yang dapat diasumsikan menarik industri
pengolahan
produksi
pertanian.
Pembangunan
industri
tersebut
membutuhkan
dukungan
energi
listrik
yang
memadai.
Sejak
pembentukannya, Provinsi Gorontalo mengalami kekurangan pasokan energi
listrik. Berdasarkan data PT. PLN Cabang Gorontalo tahun 2002 lalu, daya
yang tersedia sebesar 21.167 MW sedangkan beban puncak sebesar 17.709
MW. Artinya pada tahun 2002 saja, terdapat kekurangan sebesar 6.542 MW.
Realitas tersebut menunjukkan bahwa ke depan masalah kelistrikan menjadi
persoalan yang sangat serius.
e. Pengembangan Sarana Air Bersih
Dukungan sarana air bersih dalam pengembangan kawasan agropolitan yang
berbasis pertanian perlu ditingkatkan. Sentra-sentra produksi sebagai
hitterland area membutuhkan pasokan air bersih yang cukup yang wilayah
pengembangan parsial.
f. Pengembangan Jaringan Telekomunikasi
Pengembangan jaringan telekomunikasi menjadi penting, diharapkan dengan
arus globalisasi dan perubahan trend perdagangan dunia. Ketertinggalan
informasi penanganan pertanian seringkali berdampak pada kegagalan
program yang dilaksanakan.

III.

PERKIRAAN KEBUTUHAN ANGGARAN DALAM RANGKA


PENGEMBANGAN AGROPOLITAN DAN INFRASTRUKTUR
PENUNJANG

Dalam upaya mendukung pengembangan kawasan agropolitan yang didukung


dengan infrastruktur yang andal, maka perkiraan kebutuhan anggaran yang
diperlukan dalam rangka mendukung optimalisasi pengembangan kawasan
agropolitan adalah sekitar Rp. 1,4 trilyun, yang masing-masing : (a)
Pengembangan Kawasan Agropolitan sebesar Rp. 484,09 milyar; (b)
Pengembangan Peternakan sebesar Rp. 64,3 Milyar; dan (c) Penunjang
Infrastruktur sebesar Rp. 869,39 Milyar.

Kita Harus Terus Berkreasi untuk Menemukan Identitas yg Tanggap Terhadap


Lingkungan Pembangunan Kita
Kita Harus Terus Berkreasi untuk Menemukan Identitas yang Tanggap
Terhadap Lingkungan Pembangunan Kita
oleh : HENDROPRANOTO SUSELO

Kalau kita perhatikan di masa sebelum reformasi, dalam penanganan tugastugas pembangunan perkotaan banyak diperkenalkan konsep-konsep pemikiran
baru seperti : perbaikan kampung, unit perencanaan daerah, pusat informasi
teknik bangunan, air bersih IKK, proyek-proyek perintisan, penanganan
kebutuhan dasar, pola standardisasi, prefabrikasi, P3KT, untuk menyebut contohcontoh yang mengemuka.

Setelah era Reformasi kelihatannya seperti semuanya berjalan seperti


sebelumnya tanpa perubahan yang menyolok, atau orang mengatakan business
as usual. Memang kita mendengar pengenalan istilah atau pendekatan baru
dalam pembangunan seperti pendekatan partisipatip, pengikutsertaan
stakeholders, tata pemerintahan yang baik atau good governance, dan yang
banyak didengungkan adalah proyek USDRP dari Bank Dunia.

Sayang sekali umumnya pendekatan setelah reformasi lebih banyak


diperkenalkan oleh lembaga internasional atau membawa pesan-pesan dari luar
ketimbang pemikiran kita sendiri atau konsep yang tumbuh dari pikiran orisinal
yang ditimbulkan karena tanggapan kita akan keadaan lingkungan pembangunan
yang berubah dengan cepat. Ini berbeda dengan konsep pemikiran yang terlebih
dahulu disebutkan yang pada umumnya berasal dari kita sendiri, karena
tanggapan kita terhadap tantangan tugas dalam melaksanakan pembangunan.
Bahkan cukup dikenal dan mendapatkan pengakuan dunia internasional yang
justru belajar dari pengalaman kita, sehingga pernah saya dengar kita menjadi
mekah (atau tempat mengacu) dalam memecahkan pelbagai permasalahan
alam pembangunan perkotaan. Selain lembaga pemberi pinjaman banyak
pemikir dan praktisi dari negara lain belajar dengan berkunjung ke negara kita.

Justru dalam era reformasi dengan kecepatan perubahan dalam masyarakat,


ekonomi dan sosial budaya kita para pemimpin pembangunan, juga dari
Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Departemen Kimpraswil

harus terus menerus berkreasi dan menumbuhkan identitas pembangunan kita


sendiri sebagai jawaban dan tanggapan kita terhadap apa yang diperlukan oleh
masyarakat kita yang sudah berubah. Salah satu suara yang sudah kita
dengungkan adalah upaya untuk memperluas pendekatan kita dari hanya
prasarana perkotaan ke arah pembangunan semua aspek multidimensional
perkotaan. Konsisten dengan pemikiran itu kita juga mendengungkan perlunya
menumbuhkan kemandirian ekonomi dan keuangan masyarakat perkotaan kita
melalui pembangunan ekonomi perkotaan dan pembangunan ekonomi lokal.
Mengapa saya penggunakan istilah mendengungkan? karena memang yang
sementara ini terdengar barulah dengungnya dari konsep pemikiran baru yang
lahir dari pemikiran kita sendiri dan untuk menjawab tuntutan pembangunan kita
sendiri.

Dengung atau gaung hanyalah suara yang masih sayup-sayup antara terdengar
dan tidak, antara benar ada atau tidak, dan yang sekali-kali terdengar tetapi
kemudian hilang lagi. Suatu konsep pemikiran barulah awal dari suatu
perubahan, dan untuk benar-benar mewujudkan perubahan berdasarkan konsep
pemikiran itu diperlukan lebih dari dengung yang kadang terdengar kadang tidak.
Kita perlu menjadikan gaung itu sesuatu yang konkrit dapat merubah, yang
mempunyai kekuatan dan gerak untuk merubah, dan yang dapat diterima oleh
masyarakat sebagai suatu perubahan yang benar-benar diinginkan karena
menyejukan dan menyejahterakan.

Ada beberapa sebab mengapa gagasan-gagasan kita yang orisinil belum


tertangkap oleh sistem manajemen pembangunan perkotaan kita dan dimengerti
oleh masyarakat kita?. Pertama, adalah karena kita belum berhasil menjadikan
gagasan kita yang baik tersebut menjadi sebuah pemahaman, dan oleh karena
itu menimbulkan kesepakatan dan komitmen kita yang solid (satu padu) di antara
aparat kita sendiri. Ada berita baik yaitu pada pertengahan kedua bulan Oktober
2003 nanti Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan akan
mengadakan suatu diskusi staf inti yang tujuan utamanya adalah memberikan
peluang bagi tumbuhnya pemahaman, kesepakatan dan komitmen tersebut.

Diskusi diharap bukan sebagai pemaksaan gagasan tetapi dapat berupa gagasan
yang berasal dari para staf sendiri akan makna gagasan tersebut bagi
penyelenggara tugas untuk mewujudkan perubahan yang berarti dalam
masyarakat perkotaan yang kita layani. Kedua karena kita belum berhasil
memupuk pemahaman, kesepakatan dan komitmen di antara mitra lembaga
instansi Pusat yang bertanggung jawab dan berkepentingan dengan

penyelenggaraan tugas pembangunan perkotaan akan apa yang kita yakini baik
dan harus kita laksanakan. Kita masih dalam status ewuh pakewuh siapa yang
harus jalan di depan sehingga tidak ada yang berani menyuarakan sebagai
pemimpin orkestra kebijakan pembangunan perkotaan kita. Memang berita baik
bahwa sampai sekarang sudah diadakan pertemuan teratur antara pejabat
Eselon I yang terkait dengan pembangunan perkotaan. Mudah-mudahan kita
dapat lebih memanfaatkan forum konsultasi informal tersebut secara lebih efektif.
Ketiga karena kita memiliki rasa minder terhadap lembaga pemberi pinjaman
dan lembaga internasional yang datang dan masuk dalam kehidupan kita dengan
membawakan gagasan yang seakan cemerlang. Kita perlu keberanian untuk
menyuarakan tidak terhadap gagasan yang kita anggap tidak cocok dengan
lingkungan sosial budaya dan tantangan pembangunan kita. Kita belum berani
mengatakan inilah pola pikir kita dan hendaknya anda ikut dalam arus
perubahan kita atau minggirlah.

Arus mereka lebih kuat karena kelemahan kita sendiri. Pemikiran mereka
kelihatan lebih bagus karena kita belum berani menyuarakan secara lebih lantang
apa yang kita yakini benar. Kita bahkan sering terbawa arus pemikiran yang
menyesatkan.

Marilah kita menimba dari kearifkan yang kita miliki dalam sejarah perkembangan
perkotaan dan berani terus berkreasi dan menemukan identitas baru sehingga
suatu saat kita dikenal oleh generasi mendatang sebagai generasi yang tanggap
dan berhasil membawakan perubahan yang memang didambakan oleh
masyarakat kita. Itu berhasil kita wujudkan karena kita menyadari dan mampu
menjalankan fungsi kepemimpinan yang tepat dalam suatu masyarakat
perkotaan yang berkembang begitu dinamik dengan gagasan kebijakan nasional
yang membawakan perubahan yang memang menyejahterakan.

Pengembangan Industri Perikanan Tual Menunggu Dukungan Air Bersih


Pengembangan Industri Perikanan Tual Menunggu Dukungan Air Bersih

Indonesia yang hampir 75% luas wilayahnya berupa laut, adalah negara
kepulauan terbesar di dunia. Dengan jumlah 17.502 pulau, luas total laut 5,8 juta
Km2, mempunyai garis pantai 81.000 km atau kedua terpanjang setelah Kanada.

Potensi lestari ikan laut yang bisa ditangkap sebesar 6,4 juta ton/th, namun
produksi tangkapan ikan laut tahun 2001 hanya 4,1 mencapai juta ton (63%).
Dalam rangka meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha penangkapan ikan
laut tersebut, maka Pemerintah akan mengembangkan Industri Perikanan di Tual.
Kenapa Tual, karena laut teritorial Maluku Tenggara adalah lumbungnya ikan laut,
khususnya Tuna Sirip Biru yang sangat potensial sebagai komoditas eksport
terutama ke Jepang.

Dari kacamata sejarah P. Aru lebih dikenal dibanding dengan P. Kei Dullah,
padahal Kota Tual sebagai ibukota kabupaten terletak di P. Kei Dullah. Usia
Kabupaten Maluku Tenggara masih muda, karena sejak tahun 2000 dimekarkan
menjadi 2 kabupaten, yaitu Kabupaten Maluku Tenggara dan Kabupaten Maluku
Tenggara Barat. Kabupaten Maluku Tenggara membawahi 3 kecamatan masingmasing Kecamatan Kei Keci, Kecamatan Kei Besar dan Kecamatan P Aru.
Karena luas lautnya yang hampir 7,6 kali luas daratan, maka sudah sejak lama
Maluku Tenggara dikenal sebagai lumbung ikan Indonesia Timur, sekaligus
sebagai home base kapal-kapal nelayan lokal dan asing hampir 20-30 kapal
nelayan merapat tiap hari di Tual. Hasil perikanan merupakan tumpuan eksport
Maluku Tenggara dimana pada tahun 2000 menyumbang 91.208 ton ikan atau
devisa sebesar USD 50.488.990,62. Berkembangnya Kota Tual sebagai Ibukota
Kabupaten Maluku Tenggara yang cukup pesat, jumlah penduduk saat ini
mencapai 43.858 jiwa dengan potensi industri Perikanan yang cukup besar,
didukung dengan fasilitas Tempat Pelelangan Ikan (TPI), pelabuhan domestik,
hotel-hotel serta sarana lainnya, maka penyediaan air bersih untuk Kota Tual
sebesar 50 liter/detik, sudah tidak mencukupi lagi.

Salah satu prasarana dan sarana perkotaan yang dibutuhkan untuk mendukung
industri perikanan di Tual adalah Prasarana dan Sarana Air Bersih.
Pembangunan Sarana Air Bersih Kota Tual Kabupaten Maluku Tenggara dimulai
pada tahun anggaran 1974/1975 (dengan jumlah penduduk saat itu 10.135

jiwa) melalui dana APBN yang dialokasikan melalui Dep. Pekerjaan Umum
dengan Kapasitas Produksi sebesar 20 liter/detik (Tahap-I). Pembangunan Tahap
II dilaksanakan pada tahun (1994/1995 1997/1988) untuk menambah kapasitas
produksi dari 20 l/dt menjadi 50 lt/dt.

Sumber air baku Kota Tual berasal dari Mata Air EVU dengan kapasitas debit
1.400 l/dt dan saat ini baru dimanfaatkan untuk Air Bersih sebesar 50 lt/dt,
kemudian disalurkan ke Kota Tual yang dikelola oleh PDAM Tual dengan jumlah
pelanggan aktif sebanyak 2.140 unit,
meskipun tingkat kebocorannya cukup tinggi mencapai 50% dan hanya mampu
melayani 28% penduduk. Tarif air rata-rata Rp. 1.200,-/m3 serta tarif komersial
Rp. 2.150,-/m3.

Masyarakat yang tidak dapat terlayani oleh PDAM memenuhi kebutuhannya dari
PAH (Penampungan Air Hujan) dan membeli air dari swasta yang disuplai melalui
Mobil Tangki (Rp. 60.000,-/Mobil Tangki, 4 m3), di mana sumber air berasal dari
sumur-sumur dangkal yang kualitasnya kurang memenuhi persyaratan untuk
dikonsumsi sebagai air bersih.

Pada tahun 2004 kebutuhan akan air bersih untuk domestik dan non domestik
diperkirakan sebesar 80 l/dt. Sedangkan kebutuhan pelayanan Air bersih untuk
pelabuhan ikan dan Kawasan Industri Perikanan Ngadi dibutuhkan kapasitas
sebanyak 50 l/dt, sehingga total kebutuhan air bersih sampai dengan 2004
sebesar 130 l/dt.

Alternatif pengambilan air baku : 1). Penambahan kapasitas dari Sumber air EVU
(Kapasitas sumber 1.400 lt/dt) saat ini telah dimanfaatkan 50 l/dt. Jarak sumber
19 Km. Dari Tual atau 27 Km dari Kawasan Industri Perikanan Ngadi. 2).
Pengambilan air baku dari Danau Ngadi, jarak sumber 2 Km dari Kawasan
Industri Perikanan Ngadi.

Untuk meningkatkan pelayanan air bersih bagi penduduk dan untuk mendukung
pengembangan Kawasan Industri Perikanan di Kota Tual, perlu direncanakan
pembagian wilayah pelayanan menjadi 2 (dua) bagian yaitu: (i) Wilayah I (Tual

Selatan ) : Air baku diambil dari EVU terletak di P. Kei Kecil


melayani Evu,
Letvuan, Dian Darat, Dian Pulau, Debut, Rumadian, Tetoat, Namar, Selayar,
Ngilngof, Sathean, Faan, Wearlilir, Kolser, Langgur, Ohoibun, Ohoijang, Fair,
Watdek, Tual Bagian Selatan (80 l/dt); (ii) Wilayah II (Tual Utara) : Sumber air
direncanakan diambil dari Danau Ngadi terletak di P. Kei Dullah melayani Kota
Tual Bagian Utara, TPI, Mangon, Fiditan, Perusahaan Industri Perikanan Ngadi,
Desa Ngadi , Dullah Darat, Labetawi, Temedan, Pesantren, Ohoitahit, Ohoitel,
Watran dan 5 (lima) unit pelabuhan kapal yang ada di kota Tual (50 l/dt).

Upaya peningkatan pelayanan air bersih di Kota Tual dapat dicapai dengan
optimalisasi sistem yang ada (Sumber EVU) melalui pekerjaan : penyusunan
DED, rehabilitasi Intake, penggantian sebagian pipa Transmisi yang dibangun
tahun 1974/1975, pemasangan pipa distribusi dan penambahan daya listrik.

Untuk pelayanan Kawasan Industri Perikanan Ngadi di Kota Tual dan wilayah
kota bagian utara, perlu dibangun sistem baru dengan memanfaatan Air Baku
dari Danau Ngadi (50 l/dt) melalui pekerjaan : Survey dan Perencanaan,
pembuatan Intake, penggantian pipa Transmisi sepanjang 2 Km, pemasangan
pipa Distribusi sepanjang 25 Km, pembangunan Reservoir, Pompa Air Baku dan
Pompa Distribusi serta untuk penyambungan daya listrik.

Denpasar Sewerage development Project


BALI MASIH TERUS MENATA DIRI UNTUK MEMBERIKAN KENYAMANAN KEPADA
PARA WISATAWAN MELALUI
PEMBANGUNAN SISTEM PENGOLAHAN AIR LIMBAH/KOTOR DI DENPASAR

DENPASAR SEWERAGE
DEVELOPMENT PROJECT

Bali (termasuk Denpasar), sebagai salah satu tempat tujuan wisata yang potensial di
Indonesia, akan tetap mempunyai daya tarik dan minat bagi wisatawan, sangatlah
bergantung dari cara penangannya, terutama aspek-aspek yang dapat memberikan
kenyamanan bagi para pengunjungnya.

Untuk dapat memberikan kenyamanan yang komprehensif mengandung berbagai aspek,


terlebih lagi bahwa Pulau Bali dan Denpasar khususnya, bukan lagi sebagai tempat tujuan
wisata lokal, namun sebagian besar berasal dari manca Negara. Berdasarkan hasil studi
lingkungan yang dilakukan oleh JICA (Jepang) pada tahun 1991-1992, menunjukkan bahwa
tingkat pencemaran lingkungan yang terjadi di Denpasar telah dinyatakan mengkhawatirkan,
terutama menyangkut penyebab pencemaran yang berasal dari limbah domestik. Untuk itu
diperlukan penanganan yang serius agar dapat dihindari dampak negatif yang ditimbulkan
secara lebih meluas.

Rencana pembangunan pengolahan Air Limbahpun dimulai, dengan dukungan kucuran dana
pinjaman dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC) melalui Loan No. IP-431
sebesar 5,4 milyar Yen. Pinjaman yang semestinya sudah harus berakhir pada Desember
2002 tersebut, ternyata tidaklah mudah pelaksanaannya, terbukti terjadinya beberapa
kendala di lapangan sebagaimana dipersyaratkan untuk mendapatkan pinjaman. Kendalakendala dimaksud antara lain : pembebasan lahan, kelembagaan sebagai pengelola proyek
serta tersedianya dana kontribusi baik dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah
(Provinsi, Kabupaten ataupun Kota).

Kesulitan-kesulitan yang memang hampir selalu terjadi pada proyek-proyek lainnya,


menjadikan Pinjaman dari Jepang tersebut harus diperpanjang masa pemanfaatannya

hingga bulan Oktober 2008. Meskipun hal tersebut terlihat aneh dan janggal di satu sisi kita
memerlukan dana pinjaman untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pembangunan, namun
pada sisi yang lain dana pinjaman yang telah tersedia belum dapat dimanfaatkan
sebagaimana waktu yang telah ditetapkan. Akan tetapi itulah kenyataan yang harus kita
tanggung bersama untuk menata suatu kawasan yang lebih layak dari sisi lingkungannya,
terutama pengolahan Air Limbah, apabila tidak diupayakan sedini mungkin, tidak
mengherankan apabila pada gilirannya nanti, Denpasar atau Bali akan ditinggalkan
pengunjungnya, hanya karena faktor kita tidak bisa mengatasi pengelolaan air limbah yang
jelas memberikan kontribusi pencemaran lingkungan.

DIMULAINYA PROYEK
Akhirnya kita semua berlega hati, sebab bertepatan dengan Peringatan Hari Habitat Dunia ke
18, yang diselenggarakan di Denpasar, Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri
berkenan mencanangkan dimulainya kegiatan Denpasar Sewerage Development Project,
yang telah lama direncanakan.

Adapun tujuan dibangunnya Proyek ini, adalah : (i) meningkatkan kondisi lingkungan
kawasan wisata Bali; (ii) meningkatkan perhatian masyarakat terhadap pencemaran
lingkungan; serta (iii) menunjang sektor pariwisata. Dari tujuan dimaksud, diharapkan dengan
terselesaikannya pembangunan proyek, akan memberikan berbagai manfaat, antara lain : (a)
meningkatkan kualitas air sungai dan air laut; (b) mengurangi pencemaran sungai, pantai,
dan air tanah; (c) mempermudah pemantauan kualitas lingkungan; (d) mengurangi masalah
pengurasan dan pengolahan Lumpur tinja; (e) meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dan
menjaga citra daerah Bali sebagai tujuan wisata dunia.

TINGKAT PELAKSANAAN PROYEK


Apabila tidak terdapat perubahan apapun dalam pelaksanaannya, proyek ini diharapkan
dapat melayani cakupan area seluas 1.199 ha (yang meliputi Denpasar 520 ha; Sanur 331
ha; dan Kuta 348 ha).
7
Adapun masyarakat yang dapat terlayani diperkirakan berjumlah 103.200 jiwa
(masing-masing Denpasar 73.700 jiwa; Sanur 16.500 jiwa; dan Kuta 13.000
jiwa), melalui pekerjaan yang akan dilaksanakan berupa : (i) pembangunan
Instalasi Pengolahan Air Limah (IPAL) dengan kapasitas 51.000 m3/hari; (ii)

pembangunan sistem perpipaan sepanjang 131,20 km; dan (iii) pembangunan


sambungan rumah sebanyak 9.890 unit.

Sampai dengan saat pencanangan dimulainya pembangunan proyek oleh


Presiden, kegiatan yang telah dilaksanakan baru terbatas pada kegiatan Jasa
Konsultan yang telah menelan biaya sebesar 486,14 juta Yen, sedangkan paketpaket kegiatan Konstruksi masih dalam proses.

Hal terpenting yang lebih melegakan ialah dimulainya proyek ini (meski
terlambat), sepenuhnya mendapat dukungan dari Gubernur Bali, Bupati Badung,
Walikota Denpasar serta seluruh lapisan masyarakat, terutama yang terkena
dampak pembangunan proyek ini.

Peranan Investasi dalam mengembangkan Kawasan Agropolitan yang berbasis Komoditas


Peranan Investasi dalam mengembangkan Kawasan Agropolitan yang
berbasis Komoditas

Redaksi mengangkat Naskah yang disampaikan oleh Penulis pada Lokakarya Perumusan
Kebijakan Pengembangan Agropolitan dalam rangka Pemberdayaan Ekonomi Perdesaan melalui
Kemitraan Masyarakat Swasta Pemerintah, yang diselenggarakan oleh Ditjen. Tata Perkotaan
dan Tata Perdesaan pada tanggal 12-13 Agustus 2003 di Jakarta.
Oleh: John Hamenda

Dalam pengembangan kawasan agropolitan terdapat 3 hal penting yang menjadi


syarat agar konsep pengembangan kawasan agropolitan dapat diwujudkan :

1. Investasi dalam Bidang Agro Industri


Kawasan atau daerah yang disebut sebagai daerah Agropolitas dan Agropolitan
yang berbasis komoditas unggulan adalah suatu daerah yang bertumpu dari hasil
pertanian dan memiliki komoditas unggulan. Daerah tersebut tidak saja menjadi
pemasok dari komoditas unggulan yang dihasilkan, tetapi juga menghasilkan
sesuatu produk olahan dari produksi pertanian yang siap dipasarkan dan
menjadi ciri khas daerahnya.

Contoh daerah-daerah yang memiliki komoditas unggulan seperti sekarang ini,


yaitu: Sumatera Utara dengan komoditas unggulan yang dimiliki Markisa. Buah
Markisa yang dihasilkan oleh para petani saat ini telah diolah menjadi suatu
produk jadi berupa Sirup Markisa. Keunggulan produk yang dihasilkan dari
industri yang mengolah komoditas unggulan tersebut akan memberikan nilai
tambah yang sangat besar karena barang-barang yang dihasilkan mempunyai
nilai jual yang stabil dibandingkan produk perkebunan atau pertanian. Di samping
itu bagi masyarakat petani mendapatkan suatu jaminan pembelian bagi produk
pertanian yang dihasilkan.

Mengapa saya katakan bahwa industri produk olahan (jadi) adalah jaminan suatu
stabilitas harga? karena di pasaran kita tidak akan menjumpai barang-barang
yang telah diproduksi dan menjadi barang siap dikonsumsi oleh masyarakat

mengalami fluktuasi harga. Contoh : Sambal Botol atau Saus Tomat, komoditi ini
dipasaran tidak pernah kita lihat harganya turun kecenderungan stabil dan
hampir setiap tahun ada kenaikan harga. Di sisi lain kalau kita melihat produksi
Cabe atau Tomat di pasaran bebas, harganya sangat fluktuatif tergantung
suplainya.

Pada saat suplai tomat di pasaran berkurang maka harga tomat bisa naik dan
pada saat komoditi tomat membanjiri pasaran mengakibatkan harga tomat
tersebut turun, berakibat pendapatan yang diperoleh petani dari penjulan tomat
menurun. Tidak jarang harga jual tersebut belum dapat menutupi biaya produksi
sehingga petani selalu mengalami kerugian dari hasil pertanian mereka.

Di pasar-pasar lokal yang ada, jarang dijumpai stabilitas harga dari komoditi hasil
pertanian yang mentah, namun di satu sisi untuk hasil industri pertanian dari hasil
komoditas yang sama yang telah diproduksi menjadi barang jadi, cenderung
stabil walaupun harga tomat di pasaran tinggi, harga saus tomat harganya tetap.
Kalaupun harga tomat itu hancur atau rendah sekali, harga saus tomat akan tetap
(fix).

Di sini keunggulan dari suatu industri sangat berperan penting, itu sebabnya saya
melihat di beberapa daerah pemasok khususnya di kawasan-kawasan sentra
industri komoditas pertanian, masyarakat petani setempat tidak mengalami suatu
perbaikan yang signifikan di dalam usaha mereka. Walaupun kita dikenal oleh
seluruh negara di dunia adalah negara agraris yang sangat subur lahan
pertaniannya, tetapi kita jarang sekali menjumpai petani-petani yang kaya.
Karena petani kota ini hanya diminta untuk menanam bertani satu komoditas
tertentu dan kemudian daerah pertanian tersebut tidak ada industri yang
menjamin pembelian dari produk tersebut. Sehingga kecenderungannya adalah
para petani akan dipermainkan oleh arus pasar dan kalau kita berbicara
komoditas yang berbasis kepada pasar bebas maka tidak jarang petanilah akan
selalu di pihak yang kalah.

Untuk itu kawasan agropolitan yang dicanangkan oleh pemerintah, ada satu hal
yang sangat penting agar kawasan tersebut dikenal sebagai kawasan
agropolitan, pertama-tama adalah bahwa di kawasan tersebut haruslah dibangun
industri produk jadi yang berbasis pada komoditi unggulan agar supaya produk
tersebut tidak akan menjadi suatu komoditi yang bisa dipermainkan oleh pasar.

Dengan demikian harga akan memberikan kontribusi sangat baik kepada petani
dan akan terjadi satu kerjasama yang baik antar petani dan
industri, di mana semua petani akan mengembangkan tanaman atau komoditi
yang dibutuhkan oleh industri dan kemudian industri itu akan mendapat jaminan
suplai dari para petani komoditas yang mereka butuhkan. Kedua belah pihak
harus bisa berkerjasama sehingga akan menghasilkan suatu produk yang benarbenar mempunyai nilai tambah untuk kedua belah pihak. Pihak petani akan
diuntungkan dengan stabilitas harga dari komoditi tersebut, kemudian pihak
industri akan mendapat jaminan suplai dari raw material atau bahan baku yang
dibutuhkan untuk industrinya. Dengan demikian akan timbul satu sinergi yang
sangat baik antara petani dan industri yang ada di daerah tersebut.

Seperti halnya tadi yang digambarkan yaitu Markisa sudah mempunyai satu
industri minuman markisa walaupun dalam bentuk sirup, tapi itu semua diambil
dan diproduksi dari lahan pertanian petani yang ada di kawasan Sumatera Utara.
Markisa ini kemudian mulai diperkenalkan kepada daerah-daerah yang kemudian
kawasan tersebut akan dikenal dari komoditas unggulan tertentu.

2. Promosi Produk Unggulan


Promosi produk unggulan dari suatu kawasan akan menentukan keberhasilan
pengembangan daerah agropolitan yang bersangkutan. Apa yang saya uraikan
pada butir pertama tentang promosi produk unggulan dari kawasan tersebut
adalah salah satu bentuk promosi yang akan berjalan dengan sendirinya pada
saat produk itu memasuki pasaran. Salah satu contoh yang saya angkat pada
butir pertama adalah komoditas yang dihasilkan oleh daerah tersebut.

Setelah komoditas itu diolah dan diproduksi menjadi barang jadi maka dengan
sendirinya pihak industri akan mempromosikan produknya ke pasaran nasional
maupun internasional, dari promosi tersebut akan terlihat komoditi tersebut
berasal dari daerah mana, di sini salah satu letak keunggulan dari kota atau
kawasan agropolitan yang berbasis komoditi unggulan. Contoh : promosi dari
produk yang dihasilkan seperti yang saya angkat dalam pembahasan kali ini yaitu
Markisa. Orang-orang nanti akan mengenal Markisa yang dari Sumatera Utara
atau dari Brastagi, di mana produk tersebut akan menjadi salah satu produk
unggulan. Promosi akan dikembangkan oleh produk itu sendiri dan akan berjalan
secara otomatis mempromosikan kawasan yang bersangkutan.

4
Ada beberapa contoh yang kita lihat, kawasan atau daerah akan menjadi dikenal
dari produknya, seperti contoh Dodol Garut. Kota Garut itu tidak banyak dikenal
orang tapi dari produk makanannya kemudian labelisasi yang diberikan,
ditempelkan pada suatu produk yang mencantumkan nama daerah asalnya,
akhirnya orang mulai terbiasa menyebut Dodol Garut dan sadar
atau tidak sadar kawasan tersebut mulai dikenal dengan makanannya yang lebih
dahulu dikenal oleh masyarakat.

Mungkin orang Surabaya tidak pernah ke Garut, tidak mengenal Garut tapi
dengan makanan yang mereka nikmati, Dodol Garut, orang akan mulai mengenal
di mana daerah penghasil dodol yaitu Garut, inilah salah satu keunggulan dari
industri.

Kawasan agropolitan berbasis industri akan dengan sendirinya terpromosi


karena produknya sendiri, misalnya dulu ada Salak Pondoh, orang tidak kenal
Pondoh itu dimana, tetapi melalui komoditas pertanian yang merupakan
komoditas unggulan dari daerah yang bersangkutan. Masyarakat nasional akan
mulai melihat Salak Pondoh, orang akan mulai mencari tahu di mana asal dari
Salak Pondoh ini, kemudian baru mereka mulai mengenal Sleman atau Muntilan.
Keduanya di DI. Yogyakarta dan Jawa Tengah. Jawa, Kota Pondoh, dan tempattempat yang memiliki komoditas unggulan akan dikenal karena asal dari
komoditas unggulannya. Ini yang ingin kita lihat bersama bagaimana peran
komoditas unggulan untuk menjadi dikenal dan kemudian kawasan-kawasan
inilah yang akan dikenal menjadi daerah agropolitan yang berbasis komoditi
unggulan.

Tujuan dari semua ini, supaya masyarakat petani agar lebih giat untuk menanami
atau menghasilkan komoditi tertentu, dengan demikian daerah atau
komoditasnya akan menjadi satu produk nasional. Seperti kita lihat, durian yang
besar, Durian Bangkok, Jambu Bangkok, mungkin orang tidak pernah ke
Bangkok tapi mereka dengan begitu mudah menyebut nama kota di Thailand itu
melalui komoditas produk hasil pertanian dari negara tersebut. Dulu kita
mengenal Lemon Cina, kita belum pernah ke Cina tapi nama dari negara tersebut
yang menghasilkan komoditi ini dengan mudah orang menyebutnya. Kawasan

agropolitan yang sedang dirintis oleh pihak pemerintah melalui instansi terkait
inilah yang diharapkan dapat memperkenalkan daerah-daerah tertentu yang
kemudian akan menjadi daerah tujuan wisata atau agrowisata melalui suatu
komoditas unggulan yang benar-benar dihasilkan oleh daerah yang
bersangkutan. Ini salah satu Multi Player Effect atau nilai tambah dari salah satu
komoditas unggulan yang diproduksi oleh daerah tersebut yang dipromosikan
oleh industri yang menghasilkan nilai tambah kepada kawasan, sehingga daerah
tersebut yang semula tidak dikenal, tidak dikenal akan menjadi terkenal dikenal
dan terlihat melalui komoditas unggulan dari daerah tersebut. Dengan demikian
akan tercipta satu sinergi dari suatu promosi yang sangat baik akan menjadikan
daerah tersebut menjadi daerah tujuan wisata karena hasil komoditas yang ada
di daerahnya ke tingkat nasional atau mungkin menjadi go internasional.

3. Pengelolaan Agrikultura dan Industri Yang Berkesinambungan


Pengelolaan agrikultura dan industri yang berkesinambungan akan menghasilkan
kesejahteraan bagi masyarakat petani. Ini salah satu contoh yang perlu saya
kemukakan pada kesempatan ini, dan sekaligus dapat dijadikan perhatian kita
bersama yaitu pengelolaan agrikultura dan industri yang berkesinambungan akan
lebih menghasilkan kesejahteraan bagi masyarakat petani. Agrikultura dan
industri yang saling berkesinambungan, adalah di mana ada industri yang
dibangun pada daerah-daerah sentra produksi suatu komoditi dalam kawasan
tersebut.

Dalam kawasan yang dicanangkan oleh pemerintah sebagai kawasan agropolitan


dibangun sebuah industri yang menggunakan bahan baku atau raw material dari
produk pertanian yang ada di daerah tersebut akan menjadi satu daerah yang
penghasilannya berkesinambungan dengan produk itu sendiri dan masyarakat
petani akan menikmati kesejahteraan sebagai dampak pembangunan.
Kesejahteraan yang diangkat dari hasil produksi pertanian mereka yang diserap
oleh industri tersebut disinilah satu kota atau suatu kawasan agropolitan akan
dikenal, karena komoditas produk unggulan dari kawasan itu sendiri.

Di samping kesejahteraan petani, apabila semua itu dapat tercipta pada akhirnya
akan berimbas pada : (i) pembayaran pajak pendapatan yang semakin baik, (ii)
PAD yang akan meningkat; serta (iii) mendorong pertumbuhan ekonomi lokal
yang lebih baik, sehingga akan menjadikan kawasan/daerah tersebut merupakan
satu kawasan yang tingkat prosperity atau kesejahteraannya menjadi lebih baik.
Hal ini hanya bisa terjadi kalau kesinambungan antara hasil pertanian yang diolah

oleh industri dan kemudian pemasaran produk jadi (siap pakai) dapat masuk ke
pasaran nasional maupun internasional, akibat terciptanya suatu kesinambungan
atau suatu sinergi yang baik antara supply dan demand. Inilah yang sebenarnya
diharapkan oleh pemerintah agar supaya daerah kawasan agropolitan ini bisa
menyeluruh ke semua propinsi yang ada, ke semua daerah yang ada di
Indonesia agar suatu saat nanti daerah-daerah yang ada di Indonesia bukan
daerah yang terbelakang tetapi menjadi daerah maju dengan komoditas
unggulan yang akan saling bersaing secara sehat untuk menciptakan
kesejahteraan bagi masyarakat petani dan industri. Dengan demikian masyarakat
petani kita akan mengembangkan pola pertanian yang berbasis kepada industri
yang nantinya akan menjadikan setiap daerah, setiap kabupaten, setiap propinsi,
sampai ke setiap kota kecamatan mempunyai industri komoditi unggulan dari
daerah-daerah masing-masing yang akan berbicara dan mampu berbicara di
dalam forum nasional maupun internasional.

Dari ketiga hal tersebut saya ingin menyampaikan kepada pemerintah untuk
terciptanya suatu kawasan industri atau suatu kawasan agropolitan yang berbasis
kepada komoditas unggulan hanya bisa berjalan apabila prasarana dan sarana
sebagai persyaratan suatu industri itu dapat dipenuhi oleh pemerintah antara
lain :
sumber daya energi listrik, karena bila berbicara industri kita berbicara
membutuhkan sumber daya energi yang tidak sedikit.

Sekarang ini kita melihat masalah yang kita hadapi pertama adalah masalah
energi, masalah sumber daya energi listrik yang belum tersedia di daerah-daerah
penghasil komoditas unggulan. Terbatasnya sumber energi listrik ini bisa
berakibat persoalan yang dihadapi industri akan mengalami permasalahan yang
serius. Kedua bantuan atau perhatian pemerintah terhadap permodalan
untuk industri. Contoh bahwa apa yang telah dibangun oleh perusahaan kami di
Kecamatan Modoinding yaitu perkebunan Kentang dan Wortel sampai saat ini
usaha tersebut berjalan, pabrik telah dibangun namun bantuan dari pihak perbank-kan untuk membangun industri ini belum kunjung datang padahal ini yang
sangat penting untuk mengangkat satu industri di kawasan tersebut untuk
mensejahterakan masyarakat petani, saat ini perhatian per-bank-kan yang ada
belum seluruhnya tercurah pada program pemerintah yang sekarang ini sedang
giat-giatnya melaksanakan pembangunan di kawasan daerah-daerah sentra
produksi pertanian untuk menjadi komoditi unggulan. Ini salah satu hal yang perlu
diperhatikan oleh pihak per-bank-kan untuk mendorong para industriawan atau
perusahaan-perusahaan yang ingin membangun pada sentra-sentra produksi.
Adapun yang menjadi hambatan atau kendala adalah, industri di daerah-daerah

pertanian belum bisa digarap secara maksimal karena pengetahuan dari para
pelaku ekonomi khususnya per-bank-kan yang belum sepenuhnya menjiwai
terhadap upaya pemerintah, mereka lebih senang mempermainkan uangnya
pada pasar yang ada di perkotaan sehingga daerah-daerah kawasan industri
pertanian tidak tergarap. Dengan kata lain intermidiasi per-bank-kan belum
menyentuh sektor pertanian, sektor industri yang berbasis kepada komoditas
unggulan. Inilah sebagai benang merah yang perlu mendapatkan perhatian dari
pihak setiap penentu kebijakan pada institusi per-bank-kan, untuk lebih
memperhatikan industri-industri di daerah pertanian agar keadaan atau kesulitan
masyarakat petani saat ini bisa mendapatkan pertolongan dari apa yang sedang
dikembangkan oleh Departemen Pertanian serta jajaran institusi pemerintah
lainnya dalam rangka membangun kawasan agropolitan yang berbasis pada
komoditas unggulan.

Penanganan Kekeringan di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta

PENANGANAN KEKERINGAN
di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta

usim kemarau seperti saat ini, sebagian wilayah di Indonesia yang mengalami

kekeringan selalu kesulitan air. Jumlah wilayah yang menderita kekeringan dari tahun
ketahun terlihat semakin meningkat dan meluas. Hal ini diakibatkan tidak hanya oleh
rusaknya lingkungan di daerah tangkapan air, akan tetapi juga diakibatkan oleh pesatnya
pembangunan fisik serta rendahnya tingkat kesadaran masyarakat dalam penggunaan air
tanpa diikuti dengan upaya menjaga dan melestarikan sumber daya air.

Di Pulau Jawa yang menjadi langganan kekeringan adalah daerah-daerah sepanjang


pantura pulau jawa. Kondisi ini tidak hanya menyebabkan sulitnya mendapatkan air untuk
irigasi persawahan namun yang lebih penting juga menyebabkan kesulitan bagi penduduk
dalam mendapatkan air bersih untuk keperluan hidup sehari-hari.

Pengamatan dari Badan Meteorologi dan Geofisika untuk tahun 2003 ini, terdapat 30
kabupaten yang mengalami kesulitan air, dan yang tergolong parah adalah di Pulau Jawa
yaitu di 13 Kabupaten di Provinsi Jawa Timur, 12 di Jawa Tengah, 3 di Jawa Barat, dan 2
di DI Yogyakarta. Di samping 2 kabupaten di Provinsi Banten yang perlu diwaspadai.
Sedangkan menurut data Potdes BPS tahun 2000, desa yang rawan air bersih meliputi
desa-desa di Kabupaten Serang, Tangerang, Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu,
Cirebon, Garut, Sukabumi, Grobogan, Demak, Blora, Rembang, Brebes, Wonogiri dan
Cilacap.

Menindaklanjuti informasi tersebut, untuk mengantisipasi dampak kekeringan dan


kesulitan air bersih, maka Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan,
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, segera melakukan upaya-upaya
penanganan dengan menugaskan Tim Survei secara serentak pada bulan Agustus 2003
yang lalu, untuk melakukan inventarisasi kondisi serta kebutuhan penanganan yang tepat
untuk mengatasi dan menanggulangi dampak kekeringan yang menimpa daerah-daerah
tersebut.

Survei diarahkan pada daerah-daerah, hasil keputusan rapat Koordinasi Khusus tentang
penanganan dampak kekeringan 2003, masing-masing untuk Provinsi Banten, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur dan DI Yogyakarta, yang meliputi Kabupaten Karawang,
Subang, Indramayu, Cirebon, Wonogiri, Grobogan, Blora, Rembang, Demak, Kulon Progo

dan Gunung
Kidul.

KONDISI
UMUM
AKIBAT

KEKERINGAN

Prioritas inventarisasi diarahkan pada kebutuhan air bersih untuk kepentingan hidup
sehari-hari bagi penduduk. Dari hasil survei diperoleh gambaran kondisi tingkat
penyediaan air bersih sebagai berikut:

UPAYA PENANGGULANGAN

Dari kondisi yang demikian di beberapa daerah, maka Departemen Permukiman dan
Prasarana Wilayah telah menetapkan kebijakan dalam penanggulangan dampak
kekeringan dan kesulitan air bersih melalui program jangka pendek, menengah maupun
jangka panjang.

Program Jangka Pendek

Memprioritaskan pemanfaatan sumber air yang masih tersedia sebagai air baku untuk
air bersih;

Menambah instalasi yang dapat difungsikan dengan cepat seperti pembuatan paketpaket unit pengolahan air bersih berkapasitas kecil (5-10 l/det) khusus untuk daerah
yang masih memiliki sumber air baku;

Bagi daerah rawan air bersih termasuk yang sumur dangkalnya juga mengalami
kekeringan, dibantu dengan suplai air bersih melalui tangki yang airnya diambil dari
instalasi pengolahan air (IPA) terdekat yang masih berfungsi;

Untuk daerah yang memiliki potensi air tanah sedang (kedalaman 25-40 m) sesuai
peta potensi air tanah, dibangun sumur-sumur pompa tangan dalam.

Program Jangka Menengah

Kampanye hemat air, gerakan hemat air, perlindungan sumber air, mengimbau rasa
peduli dan kesetiakawanan terhadap masyarakat yang kesulitan mendapatkan air
minum.

Penyebarluasan teknik-teknik pencarian dan penjernihan air sederhana.

Khusus untuk daerah rawan air :

Memanfaatkan sumber air yang ada secara lebih efisien dan efektif;

Meningkatkan kehandalan sumber air baku instalasi pengolahan air minum yang
ada;

Untuk Ibukota Kecamatan (IKK) yang berdekatan dengan wilayah-wilayah rawan


air, dilakukan peningkatan atau pembangunan IPA sehingga menjadi suatu sentra
produksi air minum;

Meneruskan program air minum pada desa rawan air;


Pengembangan teknologi tepat guna seperti penggunaan pompa tangan dalam
(kedalaman 25-40 m) bagi daerah yang berpotensi memiliki air tanah sedang;
Melanjutkan program penyehatan PDAM.

Program Jangka Panjang

Perlindungan sumber-sumber air dan pengembangannya;

Memperluas pembangunan sistem penyediaan air minum IKK dan Perdesaan;

Meningkatkan pembangunan sistem penyediaan air minum Kota dan Regional dengan
mengikutsertakan swasta.

Khusus untuk kebutuhan mendesak saat ini, program diprioritaskan pada pemanfaatan
sumber air yang masih tersedia sebagai air baku untuk air minum, menambah instalasi
yang dapat difungsikan dengan cepat melalui pembuatan unit pengolah air bersih
kapasitas kecil 5 sampai 10 liter/detik bagi daerah yang masih memiliki air baku,
kemudian mensuplai daerah yang mengalami kekeringan melalui mobil tangki dengan
mengambil air dari IPA terdekat yang masih berfungsi, serta membangun sumur-sumur
pompa tangan dalam 25 sampai 40 meter untuk daerah yang memiliki potensi air tanah
sedang.

UPAYA YANG SEDANG DILAKUKAN

Upaya-upaya yang telah dilakukan dan sampai saat ini masih berjalan meliputi:
memberikan dukungan kepada PDAM di 30 Propinsi dalam memperluas pelayanan, serta
kegiatan fisik untuk optimalisasi dan kebutuhan mendesak, dan melalui program
penanggulangan dampak pengurangan subsidi BBM untuk prasarana air bersih (SB-AB)

Program dukungan bagi PDAM

Untuk pelayanan skala kota maka bentuk kegiatannya adalah peningkatan dan
pembangunan IPA baru, perluasan cakupan pelayanan melalui penambahan jaringan
distribusi, serta penambahan mobil tangki untuk mensuplai daerah-daerah rawan air.

Untuk Skala IKK, dukungan meliputi peningkatan atau pembangunan IPA agar menjadi
satu sentra produksi air minum dan pendistribusian melalui perluasan jaringan pipa atau
pengoperasian mobil tangki. Sedangkan untuk skala desa dilakukan melalui pembangunan
sumur-sumur pompa tangan dalam.

Program SB-AB

Program ini telah dilaksanakan sejak tahun 2001 dan ditujukan pada masyarakat tidak
mampu di daerah sulit air dimana harus membeli atau mengambil dari lokasi yang jauh
dan yang selalu mengalami kekeringan pada musim kemarau.
Kegiatan dari program ini meliputi pembangunan hidran umum, terminal air, Sipas, sumur
dalam, dan pengadaan truk tangki.

Dari Program SB-AB untuk tahun 2001 dan 2002 mencakup 2.650 kelurahan/desa di 30
propinsi dan melayani 1,750,000 jiwa dengan dana sebesar Rp. 304 milyar dan telah
direalisasikan pengadaan mobil tangki 322 unit. Sedangkan untuk tahun 2003 telah
dialokasikan dana sebesar Rp. 250 milyar untuk mencakup 1,000 kelurahan/desa di 30
propinsi yang akan melayani 1,250,000 jiwa termasuk di dalam program ini pengadaan
150 unit mobil tangki air dan 24 modul sumur dalam.

Bantuan Air Gratis

Pada tahun 2003 ini, Ditjen. Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan Dep. Kimpraswil juga
ditunjuk sebagai Leading Sector untuk bantuan air gratis.
Untuk itu telah ditetapkan 140 unit mobil tangki yang akan didistribusikan sebagai
bantuan dampak kekeringan kepada Propinsi Banten sejumlah 12 unit, Jabar 43 unit,
Jateng 48 unit, Jatim 30 unit, D.I.Yogyakarta 7 unit. Sampai saat ini 88 unit telah
terdistribusi yaitu masing-masing 6 unit untuk Provinsi Banten, 16 unit untuk Jabar, 29
unit untuk Jateng, 7 unit untuk D.I.Yogyakarta dan 30 unit untuk Jawa Timur. Selain itu
juga telah dialokasikan biaya O&P sebesar Rp. 455 juta (akan di SKO langsung ke
Pemerintah Provinsi) serta pembangunan 6 Unit IPA dengan total biaya Rp 31,570 milyar.

Hari habitat Dunia Ke 18 - Diperingati dengan tema AIR DAN SANITASI UNTUK
PERKOTAAN
HARI HABITAT DUNIA KE 18 - Diperingati dengan tema
AIR DAN SANITASI UNTUK PERKOTAAN

Redaksi pada penerbitan Buletin Edisi Nomor 3 bulan Oktober 2003, sengaja
memuat berita utama tentang Hari Habitat Duniayang baru saja diperingati
pada tanggal 9 Oktober 2003, di Denpasar - Bali.
Hadir dalam peringatan tersebut Presiden Republik Indonesia Megawati
Soekarnoputri, yang berkesempatan mencanangkan Pengembangan 1.000.000
unit Rumah Sederhana, dan PERCEPATAN PENANGANAN PENYEDIAAN AIR
BERSIH DAN SANITASI BAGI MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH
DI 1.500 KAMPUNG/KELURAHAN SETIAP TAHUN.

Sebagai bagian dari implementasi Deklarasi yang dicanangkan oleh Badan PBB
bidang Habitat (UN Habitat), bahwa peringatan Hari Habitat dunia dilaksanakan
pada setiap Hari Senin, Minggu Pertama di bulan Oktober. Untuk tahun 2003,
puncak peringatan Hari Habitat Dunia di Indonesia, dilaksanakan pada tanggal 9
Oktober 2003, yang dipusatkan di Denpasar-Bali.

Tema yang diambil dalam peringatan Hari Habitat tahun 2003 ini adalah AIR
DAN SANITASI UNTUK PERKOTAAN (WATER AND SANITATION FOR
CITIES). Perhelatan yang diselenggarakan oleh Departemen Permukiman dan
Prasarana Wilayah, dihadiri Presiden Republik Indonesia, Ibu Megawati
Soekarnoputri beserta Bapak Taufik Kiemas, Menteri Negara Riset dan Teknologi,
Para Gubernur, Para Kepala Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah/
Pekerjaan Umum, serta Pejabat lain yang terkait.

Di samping memberikan sambutannya, Presiden dalam kesempatan tersebut


juga mencanangkan Program Pengembangan 1.000.000 unit Rumah
Sederhana dan PERCEPATAN PENANGANAN PENYEDIAAN AIR MINUM
DAN SANITASI BAGI MASYARAKAT BERPENGAHASILAN RENDAH DI 1.500
KELURAHAN/ KAMPUNG SETIAP TAHUN.

Dalam laporannya selaku Penanggungjawab Penyelenggaraan Peringatan,


Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah (DR. Ir. Soenarno, Dipl. HE),
melaporkan beberapa butir penting yang berkaitan dengan peringatan Hari
Habitat, antara lain, bahwa : (i) Tema Peringatan Hari Habitat Tahun 2003 AIR
DAN SANITASI UNTUK PERKOTAAN, adalah merupakan kesepakatan seluruh
masyarakat habitat dunia di Nairobi tahun 2003, sebagai upaya untuk
mengurangi 50% proporsi penduduk yang belum mempunyai akses air minum
dan sanitasi pada tahun 2015, di samping mengurangi 100 juta unit rumah kumuh
pada tahun 2020; (ii) bahwa berdasarkan berita resmi UNDP yang menyatakan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia mengalami penurunan angka
indeks pada peringkat bawah dibanding Negara lain. Hal ini mencerminkan
kecenderungan memburuknya kualitas manusia Indonesia. Meski disadari bahwa
hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, namun upaya pemenuhan
kebutuhan rumah dengan fasilitas air minum dan sanitasi yang cukup dan layak
huni sebagai sarana interaksi sosial budaya di dalam keluarga dan
lingkungannya masih jauh dari memadai. Bila kondisi ini tetap dibiarkan terus
maka pada gilirannya akan semakin menurunkan taraf hidup manusia dan
keluarga Indonesia.

Lebih lanjut dilaporkan oleh Menteri Soenarno, bahwa saat ini masih banyak
masyarakat yang belum memperoleh akses air minum dan sanitasi yang baik dan
layak.

Sementara data menunjukkan sampai dengan saat ini tingkat pelayanan baru
mencapai 39% penduduk perkotaan yang memperoleh akses air minum, dan
hanya sekitar 22% penduduk yang telah mempunyai akses sanitasi yang baik.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), masih banyak masyarakat
berpenghasilan rendah yang tersebar di 8.752 desa/kampung rawan air. Di sisi
lain masih banyak PDAM sedang dalam kesulitan dan dalam tahap penyehatan
kinerja untuk meningkatkan cakupan pelayanan air minum bagi masyarakat.
Kondisi tersebut, pada akhirnya membawa dampak bagi masyarakat luas, dan
yang paling menderita adalah masyarakat yang berpenghasilan rendah untuk
mendapatkan akses air minum dan sanitasi yang baik dan layak.
Sebagai upaya untuk menjawab tantangan masa depan, di bidang penanganan
sanitasi, pada kesempatan tersebut juga ditandai dengan dimulainya
pembangunan Sistem Pengolahan Air Limbah/Kotor Terpusat di Kota

Denpasar.

TEMA YANG MENARIK

Presiden dalam mengawali sambutannya mengungkapkan, bahwa Tema yang


digunakan untuk memperingati Hari Habitat se dunia ke 18 kali ini sangat
menarik, karena : Pertama, masalah ini memang merupakan masalah kita kini
dan di masa yang akan datang. Kedua, karena sepintas hal ini bisa menimbulkan
ketimpangan baru di antara masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan dengan
mereka yang tinggal di perdesaan.

Dalam sambutan di luar teks, Presiden juga mengungkapkan kekagumannya


pada saat kunjungannya ke Libia beberapa saat yang lalu, tentang rencana
pembangunan penyediaan air minum di Libia. Kekaguman Presiden sangatlah
beralasan, bila diperhatikan ungkapan yang disampaikan dihadapan kurang lebih
300 orang yang hadir dalam Peringatan Hari Habitat tersebut, yaitu : Apakah
Bangsa Kita tidak mampu berbuat demikian, sementara sumber daya alam yang
melimpah dan sumber daya manusia tersedia di Indonesia?. Lebih lanjut
diungkapkan : sama-sama kita ketahui, bahwa masyarakat Indonesia
termasuk yang paling malas, kita (Indonesia) pada umumnya hanya pintar
membangun, namun setelah dibangun banyak fasilitas yang terlantar hanya
karena tidak terpelihara ...

Permasalahan dari waktu ke waktu masihlah sama, di antara beberapa


kebutuhan pokok, sesungguhnya masalah ketersediaan papan belumlah
teratasi sepenuhnya, bahkan masih jauh dari kebutuhan yang semestinya.
Kebutuhan papan yang terkait erat dengan ketersediaan air bersih dan sanitasi,
baik di perkotaan maupun di perdesaan dewasa ini masihlah belum mencukupi,
maka jelaslah bahwa sesungguhnya masih banyak yang masih kita kerjakan.

Sebagai upaya untuk meningkatkan penyediaan papan termasuk akses


pelayanan air bersih dan sanitasi bagi masyarakat Indonesia, Departemen
Permukiman dan Prasarana Wilayah telah mengusulkan yang saling terkait, yaitu
: (i) program pengembangan 1.000.000 unit Rumah Sederhana Sehat; dengan
dibarengi (ii) program percepatan penangan penyediaan air minum dan sanitasi

bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk 1.500 desa/kampung per tahun.


Dalam konteks permasalahan yang kita hadapi saat ini, program tersebut
mungkin tidaklah terlalu besar dan berat, namun untuk ukuran tanah air kita yang
demikian besar, dengan sebaran penduduk perkotaan dan perdesaan yang yang
cukup besar, penerapan program tersebut jelas bukan hal yang sederhana. Di
satu sisi diperlukan biaya yang besar, di sisi lain sumber pembiayaan yang
terbatas, terlebih lagi biaya pada saat pemeliharaan.

Masih dalam kesempatan tersebut, Presiden juga mengatakan, aspek penataan


ruang, penatagunaan lahan, juga sangat diperlukan saat ini, kita tahu sebuah
Rencana Induk (Master Plan) pembangunan kawasan tertentu sangatlah penting,
namun kenyataannya saat ini banyak master plan yang diubah seenaknya,
terlebih lagi perubahan master plan ini dilakukan dengan tindakan penggusuran,
hal ini merupakan tindakan yang merugikan masyarakat.

Sebagai contoh Megawati melanjutkan, sering kita temui pelaksanaan penggalian


jalan yang tiada habisnya, galian pertama untuk keperluan Telkom, setelah
selesai dilanjutkan penggalian untuk keperluan PAM, setelah itu dilanjutkan lagi
dengan galian untuk keperluan pemasangan jaringan kabel untuk PLN.

Pola seperti ini cenderung inefisiensi dan merusak, karena sesungguhnya dapat
dilakukan dengan pelaksanaan pola keterpaduan pembangunan yang terdiri atas
berbagai sektor, seperti prasarana jalan, listrik, gas, telekomunikasi, dan
prasarana sosial lainnya.
Momentum peringatan Hari Habitat Dunia kali ini, Presiden mengajak semua
unsur, baik Masyarakat, Gubernur, Bupati, dan Walikota, untuk bersama-sama
memperbaharui semangat dan etos pembangunan perkotaan yang kuat dan lebih
sehat

Sambutan Presiden selama lebih kurang 30 menit tersebut, bila dicerna lebih
mendalam, sangatlah menyentuh pokok permasalahan yang dihadapi oleh
Bangsa Indonesia, terlebih lagi dalam hal untuk mencari solusi untuk mengatasi
permasalahan tersebut.

RANGKAIAN ACARA PERINGATAN HARI HABITAT 2003

Masih dalam rangkaian memperingati Hari Habitat Dunia ke 18, meskipun


pelaksanaannya sama sekali tidak menunjukkan kesan mewah, namun lebih
mengesankan sikap kepedulian terhadap masyarakat yang berpenghasilan
rendah. Hal tersebut terlihat adanya rangkaian acara pokok, antara lain : (i)
Penyerahan Penghargaan kepada Pemenang Sayembara Desain Permukiman
dan Rumah Sederhana Sehat; (ii) Pameran yang masih bernuansa Peringatan
Hari Habitat dengan tema Air dan Sanitasi untuk Perkotaan; serta (iii)
Penyelenggaraan Seminar Sehari dengan Topik Percepatan Penanganan
Penyediaan Air Bersih dan Sanitasi menuju 2015.

Adapun hasil yang diharapkan dari penyelenggaraan seminar sehari tersebut,


adalah untuk menggalang masukan dari para Ahli (akademisi), Praktisi, Ahli
(profesi) dan unsur lain yang terkait, untuk penyusunan Rencana Tindak
Penanganan Penyediaan Air Bersih dan Rencana Tindak Pengelolaan Sanitasi.

Anda mungkin juga menyukai