Buletin ck2003
Buletin ck2003
Motto di atas mungkin akan memberikan kesan yang berlebihan, seandainya kita
tidak meresapi benar, apa yang menjadi maksud, tujuan dan sasaran dari
Program Penataan dan Revitalisasi Kawasan, yang saat ini merupakan salah
satu Program Andalan Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan,
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah.
Program tersebut telah dikembangkan sejak tahun 2001, meliputi 13 (tiga belas)
kawasan dalam bentuk Pelaksanaan Fisik dan Bantuan Teknis untuk penataan
kembali dan revitalisasi kawasan-kawasan yang memiliki potensi tertentu, dan
dapat dikembangkan untuk mendorong pertumbuhan roda perekonomian
setempat, karena terbengkalainya potensi yang dimiliki di kawasan tersebut.
Pendekatan pelaksanaan program yang lebih bersifat stimulus tersebut, akan
lebih mengena pada tujuan dan sasaran apabila interaksi dari Pemerintah
Daerah (dalam hal ini terutama Pemerintah Kota/ Pemerintah Kabupaten) cukup
kuat dan responsif, mengingat Program Penataan dan Revitalisasi Kawasan,
dilandasi Latar Belakang : Menghidupkan kembali dan mengembangkan
kawasan-kawasan yang tidak berfungsi atau telah menurun fungsinya, akibat
perkembangan yang cenderung tidak terkendali.
Dari latar belakang di atas, sudah barang tentu peran Pemerintah Pusat tridak
lagi sebagai pelaksana namun lebih menitikberatkan pada peran pembinaan
yang bersifat mendorong atau memacu untuk memfungsikan kembali suatu
kawasan yang tidak berfungsi atau menurun fungsinya, agar dapat berfungsi atau
meningkatkan fungsi kembali, terutama dalam mendukung berjalannya
perekonomian lokal. Dengan demikian apabila program dimaksud dapat berjalan
sebagaimana diharapkan, maka yang akan memetik manfaat adalah
kabupaten/kota yang bersangkutan.
4
Lebih jauh untuk mengenal dan menyamakan persepsi tentang Program
Penataan dan Revitalisasi Kawasan, yang pada hakekatnya, mengandung :
TUJUAN
Dari tujuannya dengan sedikit ulasan untuk dapat memberikan ilustrasi yang
mudah, lebih berlanjut program ini mempunyai sasaran yang dituju, yaitu :
SASARAN
ALOKASI ANGGARAN
Meskipun tidak dalam jumlah yang signifikan, sejak tahun 2001 program ini telah
dianggarkan melalui Dana Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata
Perdesaan, sebagai stimulan, adalah sebagai berikut :
Tahun 2001,
Berjumlah Rp. 23,2 milyar, yang diperuntukkan bagi pembagunan fisik di 8
(delapan) kawasan, dan 5 (lima) kawasan yang baru direncanakan, dalam bentuk
Bantuan Teknis;
Tahun 2002,
Alokasi dana meningkat lebih dari 100% dibanding tahun sebelumnya, yaitu
berjumlah Rp. 48,8 milyar, dengan cakupan lokasi yang lebih luas, yaitu pada 9
(sembilan) kawasan dalam bentuk pembangunan fisik, dan 12 (dua belas)
kawasan yang direncanakan dalam bentuk Bantuan Teknis;
Tahun 2003,
Dana yang dialokasikan berjumlah Rp. 70,3 milyar, dengan cakupan di 4 (empat)
Sekali lagi semua jumlah dana tersebut di atas, hanya bersifat stimulus, dan perlu
adanya keterlibatan berbagai pihak, maka yang terpenting adalah setelah
terlaksananya program ini, perlu adanya keberlanjutan penanganan yang
semestinya sudah mampu dilakukan oleh setiap Pemerintah Kota/Kabupaten
Pelaksanaan Pekerjaan Fisik untuk Fly-Over di Jalan Suprapto dan Jalan Pramuka dimulai
Pelaksanaan Pekerjaan Fisik untuk Fly-Over di Jalan Suprapto dan Jalan Pramuka
dimulai
Penandatanganan Kontrak antara Pemimpin Proyek dengan PT. Hutama Karya (Persero),
sebagai awal pelaksanaan paket pekerjaan Fly-over di DKI Jakarta
Masih dalam suasana maraknya perayaan HUT Jakarta yang ke 476, tepatnya pada
tanggal 26 Juni 2003 telah ditanda-tangani Kontrak pekerjaan Pembangunan Suprapto Fly
Over dan Pemuda/Pramuka Fly Over, antara Pemimpin Bagian Proyek Pembangunan
Jalan dan Jembatan Kota Metropolitan Jakarta Wilayah I, Ditjen Tata Perkotaan dan Tata
Perdesaan, Ir. Rachman Tarigan dengan PT Hutama Karya (Persero), Ir. Muchamad
Chamim.
Penandatanganan Kontrak yang disaksikan oleh Direktur Jenderal Tata Perkotaan dan Tata
Perdesaan, Ir. Budiman Arif serta beberapa Pejabat dari Pemerintah Propinsi DKI Jakarta
(diantaranya Ketua Bappeda, Sekretaris Daerah, dan Kepala Dinas PU DKI Jakarta),
menandai dimulainya pembangunan kedua Fly Over yang direncanakan akan selesai
tahun 2005. Pembangunan tersebut diharapkan dapat membantu memperlancar arus lalu
lintas yang membelah kota Jakarta, baik dari arah Utara ke Selatan maupun dari arah
Barat ke Timur, terutama dalam mengatasi kemacetan lalu lintas pada simpang Jalan
Akhmad Yani dengan Jalan Pemuda/Pramuka maupun simpang Jalan Akhmad Yani
dengan Jalan Suprapto. Adapun biaya yang digunakan untuk pembangunan kedua fly-over
tersebut lebih kurang sebesar Rp. 128 milyar,.
fly-over terutama di sekitar proyek ini, yaitu Matraman Fly Over, Under Pass Pramuka,
Galur Fly Over serta Under Pass Senen.
Pada kesempatan tersebut, arahan dari Direktur Jenderal Tata Perkotaan dan Tata
Perdesaan menekankan, bahwa di dalam pelaksanaannya Pemimpin Bagian
Proyek agar dapat selalu mengadakan koordinasi dengan semua instansi terkait agar dapat
memperhatikan (aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan), sehingga pekerjaan dapat
berjalan lancar sesuai dengan rencana waktu dan mutu, dengan tetap menekan seminimal
mungkin gangguan bagi para pengguna jalan selama berlangsungnya pembangunan.
Direktur Jenderal juga mengharapkan kepada Pemerintah Propinsi DKI untuk dapat
segera menyelesaikan pembebasan tanah di lokasi loop ramp pada kedua flyover karena
direncanakan pada bulan Maret tahun 2004 secara serempak loop ramp mulai dibangun.
Wilayah Republik Indonesia, secara keseluruhan kurang lebih terbagi ke dalam 58,858
desa dan 5.509 kelurahan, dilihat dari aspek demografisnya sekitar 80% penduduk
bermukim di daerah perdesaan, yang mempunyai fungsi tidak hanya mencukupi
kebutuhan sendiri di wilayah perdesaan, akan tetapi juga mempunyai fungsi strategis
untuk mendukung kebutuhan pangan di wilayah perkotaan.
Sumber daya alam, yang pengelolaannya sebagian besar berlokasi di kawasan perdesaan,
di samping mendukung pembangunan ekonomi nasional, pada hakekatnya dapat
mengurangi tingkat urbanisasi.
Berdasarkan Propenas tahun 2000 maka entry point kegiatan di perdesaan adalah
kegiatan ekonomi desa, yang diharapkan dapat mendorong pendapatan masyarakat untuk
lebih meningkat, serta dapat menyediakan pangan dan produk perdesaan yang lebih
produktif, sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraannya.
Program pembangunan perdesaan, pada prinsipnya mengandung tujuan untuk :
meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan; mempercepat kemajuan kegiatan
ekonomi perdesaan yang berkeadilan; dan mempercepat industrialisasi perdesaan. Dari
tujuan tersebut dikandung sasaran yang akan dicapai adalah : meningkatnya pendapatan
masyarakat perdesaan; terciptanya lapangan pekerjaan; tersedianya bahan pangan dan
bahan lainnya untuk konsumsi dan produksi; terwujudnya hubungan ekonomi antara
perdesaan dan perkotaan; menguatnya ekonomi lokal; serta meningkatnya lembaga dan
organisasi ekonomi masyarakat perdesaan.
Pembangunan perdesaan pada dasarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
pembanguan nasional. Namun demikian karena sebagian besar aktor utama pembangunan
berkedudukan di perkotaan, mereka cenderung lebih mengutamakan pembangunan
perkotaan daripada pembangunan perdesaan. Yang memprihatinkan, karena pelaksanaan
pembangunan pada umumnya direncanakan dari perkotaan, tidak jarang pembangunan
perdesaan menjadi sub ordinat terhadap pembangunan perkotaan. Artinya pembanguan
perkotaanlah yang utama, sedangkan pembangunan perdesaan bersifat menunjang
pembangunan perkotaan.
Oleh karena itu komitmen dan keberpihakan pemerintah untuk secara bertahap dan
konsisten melakukan reformasi/reorientasi investasi dalam pembangunan prasarana dan
sarana mendukung kegiatan ekonomi di perdesaan sangat diperlukan.
Untuk itu perlu adanya reformasi kebijakan Pembangunan Prasarana dan Sarana
Perdesaan melalui pengembangan Agropolitan untuk mendorong iklim berusaha yang
kondusif antar sesama pelaku ekonomi perdesaan, baik usaha kecil, menengah dan besar
dalam mendukung pertumbuhan ekonomi desa serta penciptaan lapangan kerja.
Untuk dapat mengukur sejauh mana langkah-langkah yang memerlukan reformasi dalam
penetapan kebijakan di atas, perlu kajian lebih lanjut, terutama menyangkut :
DASAR PEMIKIRAN
Untuk dapat menguji setiap pertanyaan di atas, kiranya perlu langkah-langkah yang dapat
dilakukan dengan teknik survei, observasi langsung di lapangan dan di analisis. Analisis
dilakukan dengan pendekatan kuantitatif.
Penelitian survei dengan cara pengambilan data dengan menggunakan kuesioner dan
teknik wawancara, bagi setiap stakeholder yang terkait, sedangkan penelitian observasi
dengan cara pengamatan langsung di lapangan untuk pengetahui kekurangan dan
keberhasilan program.
PERUBAHAN PARADIGMA
Departemen Pekerjaan Umum pada waktu itu sebagai instansi pusat yang
bertanggungjawab membangun prasarana dan sarana dasar pekerjaan umum
(PSDPU) perkotaan, biasanya melakukan tugasnya dengan menggunakan jasa
konsultan dari dalam dan luar negeri, dengan pendekatan Program
Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT) yang prinsipnya meliputi
langkah-langkah berikut : (1) Setiap sektor prasarana dan sarana perkotaan
(seperti air bersih, perbaikan kampong, drainase, persampahan, air limbah, dan
lainnya) menyiapkan Rencana Induk dari masing-masing sistem prasarana dan
sarana. Atas dasar Rencana Induk ini, kemudian dilakukan Studi Kelayakan
(Feasibility Study) untuk mendefinisikan prioritas program dan proyek dengan
menguji kelayakan dari semua aspeknya (teknis, ekonomi, finansial, lingkungan,
manajerial, dan lainnya). Dari prioritas program dan proyek ini kemudian
digunakan untuk melakukan pekerjaan persiapan teknis awal (preliminary
engineering design) untuk memperkirakan agar mendekati ketepatan besarnya
investasi yang diperlukan, sebagai dasar pengajuan kebutuhan anggaran untuk
setiap sektor; (2) Dalam kerangka P3KT , dipersiapkan Program Jangka
Menengah (PJM) sebagai penjabaran dari strategi pembangunan perkotaan,
dan disiapkan suatu matriks program menurut sektor prasarana untuk jangka
menengah (umumnya lima tahun) dan digambarkan dalam bentuk target fisik
serta program komitmen sumber pendanaan setiap tahun.
Lebih daripada itu, kini dalam era demokratisasi, pembangunan prasarana dan
sarana perkotaan harus diletakkan dalam konteks pembangunan perkotaan yang
lebih luas dan menyeluruh, dengan memperbaiki cara-cara kita merencanakan
dan membangun agar pelaksanaannya dilakukan secara lebih transparan, lebih
bertanggungjawab dan mengikutsertakan semua unsur masyarakat yang terlibat.
Secara lebih populernya, sekarang kita harus membangun yang dinamakan
good urban governance. Upaya membangun good urban governance ini pasti
bukan merupakan upaya yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian yang tak
terlepaskan dari upaya pembangunan perkotaan secara komprehensif. Ini perlu
ditekankan karena ada pihak-pihak, terutama dari lembaga pemberi pinjaman
Selain itu dalam kerangka reformasi kebijakan, perlu dilakukan perubahan cara
pandang kita dalam pembangunan prasarana dan sarana perkotaan, di mana
selama ini pemerintah kota lebih banyak tergantung pada bantuan pemerintah
pusat dan pinjaman luar negeri, maka di masa yang akan datang kita harus
membangun kemandirian kota dalam pembangunan semua kebutuhan akan
pelayanan perkotaan yang diperlukan masyarakatnya. Keterkaitan antara
pembangunan prasarana dan sarana dengan struktur kemampuan masyarakat
merupakan dimensi penglihatan baru yang ingin kita perkenalkan sejak sekarang.
Hal ini didasari pada keyakinan bahwa pada akhirnya yang membiayai
pembangunan prasarana dan sarana perkotaan adalah masyarakat sendiri,
sesuai kemampuan daya beli yang ditentukan oleh kemampuan pendapatan dan
peluang kesempatan kerjanya. Memberdayakan masyarakat kota dalam segi
memperluas lapangan pekerjaan dan peningkatan pendapatan merupakan
bagian dari program kerja pemerintah untuk membangun ekonomi lokal, yaitu
ekonomi daerah dan kota, yang harus diwujudkan dalam peningkatan
pendapatan keluarga dan juga pemerintah kotanya. Perubahan cara pikir ini
merupakan pergeseran yang sangat penting dalam cara kita membangun kota,
yang tidak sekedar ditujukan pada perbaikan fisik prasarana dan sarana
perkotannya, tetapi pada upaya memberdayakan masyarakat perkotaan sebagai
cara untuk menjaga kelangsungan pembangunan perkotaan.
MANAJEMEN PUNCAK
Dari sudut pandang inilah saya ingin menekankan pengertian kita tentang tentang
pengelolaan atau manajemen pembangunan perkotaan (urban development
management). Kita memiliki konsep yang jelas mengenai manajemen
pembangunan perkotaan, yaitu sebagai suatu konsep yang berasal dari sudut
pandang manajemen puncak, bukan yang melihatnya dari sudut bagian-bagian
atau segmentalisasi manajemen pembangunan kota. Pada saat kita masih
menjadi bagian dari Departemen Pekerjaan Umum dahulu (atau Dinas Pekerjaan
Umum di Daerah dan Kota) maka kita dapat melihat pembangunan kota hanya
dari sudut kebutuhan pembangunan prasarana dan sarana perkotaan. Akan
tetapi sebagai Direktorat Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan dari Departemen
Permukiman dan Prasarana Wilayah (Dep. Kimpraswil), kita harus
mampu mengembangkan konsep pendekatan pembangunan kota yang terpadu
dan bersifat multidimensional, yang meletakkan konsep manajemen
pembangunan kota dari sudut pandang manajemen puncak, yaitu Walikota dan
Bupati yang menjadi manajer puncak pembangunan perkotaan.
Didasari hal tersebut, maka arah dan kecenderungan kebutuhan sumber daya
manusia yang dibutuhkan untuk mendukung program pembangunan prasarana
dan sarana perkotaan kita di masa pemerintahan yang telah didesentralisasikan
yaitu : (1) Kebutuhan keahlian yang diperlukan untuk pembangunan prasarana
dan sarana perkotaan yang dahulu terpusat di Jakarta, sekarang perlu dialihkan
ke daerah-daerah Kota dan Kabupaten, baik yang bekerja di sektor pemerintahan
Bertitiktolak dari cara pandang yang saya sampaikan di atas, saya sungguh
mengharapkan perguruan tinggi dapat bekerjasama dengan pemerintah kota
untuk merintis pembangunan kemampuan kelembagaan yang dapat membangun
kemandirian kota melalui pola pembangunan perkotaan yang multidimensional,
dengan mekanisme program pembangunan kota secara terpadu. Apabila kotakota dapat merintis pembangunan sesuai kemampuan masing-masing seperti
yang saya uraikan di atas, maka kota-kota berada di garis depan dalam
melembagakan kemampuan manajemen pembangunan perkotaan generasi baru.
Untuk itu, kita perlu memikirkan apa yang menjadi tantangan dan jawabanjawaban yang tepat terhadap permasalahan pembangunan prasarana dan
sarana di masa yang akan datang. Saya ingin tekankan di sini bahwa masa
depan pembangunan prasarana dan sarana berada di tangan para ahli profesi
teknik dan pembangunan kota yang dewasa ini masih sedang belajar dan akan
menjadi pemimpin pembangunan di masa depan. Betapa besar peran generasi
muda untuk menapakkan jejak bagi pembangunan prasarana dan sarana di
masa yang akan datang. Gunakanlah kesempatan yang ada untuk berpikir dan
melakukan lompatan jauh ke depan (the great leap forward) agar generasi baru
nanti lebih siap untuk menerima tongkat estafet guna menjaga kelangsungan
pembangunan prasarana wilayah di masa yang akan datang.
Akhirnya, pada kesempatan ini saya juga ingin mengusulkan agar dalam
Prasarana dan Sarana Air Bersih dan Sanitasi bagi Pengungsi di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam
Konflik sosial yang tidak kunjung reda akibat
ulah sekelompok gerombolan separatis di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
membawa dampak yang cukup membuat
semakin panjang deretan penderitaan
sebagian besar masyarakat Aceh.
Air yang bersih dan layak, merupakan salah satu contoh kebutuhan primer yang
mendominasi kesulitan bagi para pengungsi di daerah pengungsian, tidak
pemadam kebakaran.
Untuk prasarana dan sarana sanitasi, Departemen Kimpraswil, telah memulai
pembangunan untuk Camp/Tempat Penampungan anggota GAM yang telah
menyerahkan diri, antara lain yang berlokasi di Balai Penataran Guru Kabupaten
Aceh Besar.
Hingga saat ini, secara keseluruhan telah dibangun Sumur Gali sebanyak 35 unit
dari 68 unit yang direncanakan, WC sebanyak 1.618 unit dari 3.000 unit yang
direncanakan. (SD/rsp-tim publikasi)
APALAGI ?
PEMERINTAH DAERAH
Sekali lagi kiranya tidak berlebihan, bila di setiap pemerintah daerah terpatri
semangat untuk menjaga keberlanjutan fungsi kawasan-kawasan potensial, di
samping akan dapat menumbuhkan ekonomi sebagaimana uraian di atas, juga
menghindari terjadinya perubahan fungsi atau tidak berfungsinya kembali
kawasan-kawasan petensial yang dimiliki masing-masing daerah.
Kota Manado yang berfungsi sebagai Ibukota Provinsi Sulawesi Utara dengan
jumlah penduduk 441.000 jiwa, merupakan salah satu kota di wilayah Timur
dengan perkembangan ekonomi yang cukup tinggi serta memiliki peran sebagai
pemacu pertumbuhan kawasan KAPET Manado Bitung dan Propinsi Sulawesi
Utara.
Sebagai pelengkap sistem jaringan Manado Ring Road sisi Barat, direncanakan
pembangunan jembatan Soekarno serta jalan Boulevard (tahap II). Jalan
Boulevard (tahap II) sudah dimulai pembangunannya sejak tahun 1993 - 1994
yang dibiayai oleh dana APBN, dimana 60 % pekerjaan badan jalan telah
selesai. Pada tahun 1997 1998, krisis ekonomi malanda bangsa Indonesia
sehingga pembangunannya tidak dapat dilanjutkan atau mengalami penundaan
hingga saat ini. Dengan mulai cerahnya ekonomi Negara maka saatnya perlu
mendapat perhatian kembali karena dengan keberadaan Sulawesi Utara yang
secara geografis berada di bibir Pasific, maka Manado sebagai pintu gerbang
harus dipersiapkan jauh sebelumnya terutama dalam penataan infra-strukturnya
sehingga tiba saatnya nanti, akan menjadi kota yang siap untuk masuk dalam
persaingan global. Untuk persiapan-persiapan pelaksanaan pembangunan
jembatan Soekarno meliputi kegiatan : study kelayakan, detail engineering
desain, dan study UKL & UPL melalui dana APBN TA 2003. Sebagai ilustrasi
diusulkan 2 (dua) alternatif desain pada jembatan Soekarno sbb:
(1)
Jembatan Soekarno I :
Jembatan Soekarno II :
PENDAHULUAN
Air bersih merupakan salah satu kebutuhan manusia untuk memenuhi standar
kehidupan manusia secara sehat. Ketersediaan air yang terjangkau dan
berkelanjutan menjadi bagian terpenting bagi setiap individu baik yang tinggal di
perkotaan maupun di perdesaan. Oleh karena itu, ketersediaan air dapat
menurunkan water borne disease sekaligus dapat meningkatkan perekonomian
masyarakat. Namun sampai dengan tahun 2000, berdasarkan data Departemen
Permukiman dan Prasarana Wilayah, baru sekitar 19% penduduk Indonesia di
mana 39% nya adalah penduduk perkotaan yang dapat menikmati air bersih
dengan sistem perpipaan. Sedangkan di daerah perdesaan, berdasarkan data
yang sama, hanya sekitar 5% penduduk desa yang menggunakan sistem
perpipaan, 48% menggunakan sistem non-perpipaan, dan sisanya sebesar 47%
penduduk desa menggunakan air yang bersumber dari sumur gali dan sumber air
yang tidak terlindungi.
Dalam Water World Forum (WWF) ke 2 di The Haque, Belanda tahun 2000, telah
dikeluarkan kesepakatan yang dikenal dengan sebutan Millenium Development
Goals (MDG) 2015 di mana salah satu target yang disepakati adalah mengurangi
sekitar setengah jumlah penduduk yang tidak memiliki akses terhadap safe
drinking water.
Di sisi lain dalam agenda KTT Bumi 2002 Johannesburg, diharapkan dapat
meningkatkan cakupan pelayanan air minum menjadi 80% di perkotaan dan 40%
di perdesaan.
Mengingat hal tersebut, upaya untuk meningkatkan cakupan pelayanan air bersih
baik di daerah perkotaan maupun daerah perdesaan tidak dapat sepenuhnya
diharapkan dari PDAM. Kemudian, penyediaan air bersih dianggap perlu
dikembangkan pola kemitraan dengan pihak swasta, meskipun disadari hasilnya
tidak dapat terjangkau oleh masyarakat, karena tarif air yang relatif tinggi. Di lain
pihak, penyediaan air bersih yang dilakukan oleh pihak swasta pada umumnya
bersifat tertutup sehingga masyarakat cenderung tidak memiliki peluang untuk
dapat turut aktif di dalam setiap tahap pembangunan bidang air bersih.
Termasuk dalam hal Pembangunan Prasarana dan Sarana Air Bersih dan
Penyehatan Lingkungan Berbasis Pengelolaan Masyarakat yang diharapkan
menjadi acuan dasar di dalam setiap pembangunan air bersih oleh instansiinstansi terkait, telah membuka peluang kepada masyarakat pengguna untuk
dapat terlibat di dalam setiap pembangunan di bidang air bersih, terutama di
kawasan perkotaan yang memiliki karakteristik perdesaan seperti wilayah
pinggiran kota ataupun di kantong permukiman di pusat kota serta di kawasan
yang benar-benar perdesaan, di mana cenderung tidak terlayani oleh sistem
perkotaan dan dianggap tidak potensial untuk dikelola oleh lembaga formal yang
hanya ada di perkotaan.
Bertitik tolak dari hal tersebut di atas, tulisan ini dibuat sebagai bahan masukan di
dalam merumuskan konsep penyediaan air bersih oleh komunitas/masyarakat,
khususnya dalam rangka merumuskan Bentuk Swadaya Air yang dapat
dilakukan oleh masyarakat.
Pola Pendekatan
Penyediaan air bersih yang dilakukan oleh masyarakat ini dilakukan dengan pola
pendekatan TRIBINA di mana di dalam pola
1. Bina Manusia
2. Bina Lingkungan
3. Bina Usaha
Unsur ini merupakan upaya bagi masyarakat untuk belajar membentuk kelompok
swadaya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat setempat.
Selain itu, kegiatan ini dimaksudkan pula agar masyarakat mampu mengelola
organisasi/lembaga yang dibentuk baik secara manajemen, keuangan, hukum,
maupun aspek lain yang diperlukan bagi suatu lembaga yang mengelola
prasarana dan sarana air bersih di lingkungannya.
METODE PELAKSANAAN
Penyediaan air bersih oleh komunitas ini menggunakan konsep Advocacy dan
Communications. Konsep yang dikembangkan oleh McKee (1992) tersebut
merupakan pendekatan yang didasarkan pada people-based dan people driven.
Konsep advokasi sendiri merupakan upaya penyampaian pesan untuk
memperoleh kesepakatan dari unsur-unsur masyarakat sekaligus menyiapkan
masyarakat (society) untuk masalah tertentu melalui penyampaian
pesan ke berbagai media komunikasi baik perorangan maupun non perorangan
atau media.
Hal ini termasuk adanya proses penyusunan dan pembentukan
organisasi/lembaga dengan berbagai pelaku (stakeholders). Adapun tujuan
utama dari konsep ini antara lain untuk meningkatkan kemampuan civil society,
masyarakat grass roots, dan organisasi di dalam bertindak untuk melakukan
perubahan.
MEKANISME PELAKSANAAN
1. Penyiapan Masyarakat
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah melakukan sosialisasi mengenai
penyediaan air bersih, yang dilakukan terdiri atas dua tahap yaitu : pertama,
yaitu sosialisasi yang dilakukan kepada unsur-unsur yang terdapat di lingkungan
masyarakat setempat seperti : tokoh masyarakat (tokoh agama, tokoh
Teknologi tepat guna yang akan digunakan untuk instalasi pengolahan air;
MEKANISME PENDANAAN
1. Masyarakat setempat;
2. Pemerintah Pusat/Daerah/Lokal;
3. PDAM atau badan pengelola air lainnya;
4. Pihak swasta, khususnya yang berada di lingkungan itu;
5. Pihak perguruan tinggi;
6. Dan pihak lain.
Memang, nuansa kompleksitas di atas tidak serta merta dapat diwujudkan, perlu
langkah cepat dan tepat untuk mengkreasinya. Sebagai langkah
implementatifnya, Pemerintah Provinsi Gorontalo, sepanjang tahun 2002 telah
merancang dan melaksanakan 3 (tiga) program, yaitu Program Ketahanan
Ketiga program pilihan yang berbasis pertanian di atas, sampai paruh ketiga
tahun 2003 tetap menjadikan prioritas pengembangan sebagai program yang
memiliki nilai strategis sebagai push factor percepatan pertumbuhan ekonomi
lokal maupun regional. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa ketiga program
tersebut tidak berdiri sendiri.
III.
Kalau kita perhatikan di masa sebelum reformasi, dalam penanganan tugastugas pembangunan perkotaan banyak diperkenalkan konsep-konsep pemikiran
baru seperti : perbaikan kampung, unit perencanaan daerah, pusat informasi
teknik bangunan, air bersih IKK, proyek-proyek perintisan, penanganan
kebutuhan dasar, pola standardisasi, prefabrikasi, P3KT, untuk menyebut contohcontoh yang mengemuka.
Dengung atau gaung hanyalah suara yang masih sayup-sayup antara terdengar
dan tidak, antara benar ada atau tidak, dan yang sekali-kali terdengar tetapi
kemudian hilang lagi. Suatu konsep pemikiran barulah awal dari suatu
perubahan, dan untuk benar-benar mewujudkan perubahan berdasarkan konsep
pemikiran itu diperlukan lebih dari dengung yang kadang terdengar kadang tidak.
Kita perlu menjadikan gaung itu sesuatu yang konkrit dapat merubah, yang
mempunyai kekuatan dan gerak untuk merubah, dan yang dapat diterima oleh
masyarakat sebagai suatu perubahan yang benar-benar diinginkan karena
menyejukan dan menyejahterakan.
Diskusi diharap bukan sebagai pemaksaan gagasan tetapi dapat berupa gagasan
yang berasal dari para staf sendiri akan makna gagasan tersebut bagi
penyelenggara tugas untuk mewujudkan perubahan yang berarti dalam
masyarakat perkotaan yang kita layani. Kedua karena kita belum berhasil
memupuk pemahaman, kesepakatan dan komitmen di antara mitra lembaga
instansi Pusat yang bertanggung jawab dan berkepentingan dengan
penyelenggaraan tugas pembangunan perkotaan akan apa yang kita yakini baik
dan harus kita laksanakan. Kita masih dalam status ewuh pakewuh siapa yang
harus jalan di depan sehingga tidak ada yang berani menyuarakan sebagai
pemimpin orkestra kebijakan pembangunan perkotaan kita. Memang berita baik
bahwa sampai sekarang sudah diadakan pertemuan teratur antara pejabat
Eselon I yang terkait dengan pembangunan perkotaan. Mudah-mudahan kita
dapat lebih memanfaatkan forum konsultasi informal tersebut secara lebih efektif.
Ketiga karena kita memiliki rasa minder terhadap lembaga pemberi pinjaman
dan lembaga internasional yang datang dan masuk dalam kehidupan kita dengan
membawakan gagasan yang seakan cemerlang. Kita perlu keberanian untuk
menyuarakan tidak terhadap gagasan yang kita anggap tidak cocok dengan
lingkungan sosial budaya dan tantangan pembangunan kita. Kita belum berani
mengatakan inilah pola pikir kita dan hendaknya anda ikut dalam arus
perubahan kita atau minggirlah.
Arus mereka lebih kuat karena kelemahan kita sendiri. Pemikiran mereka
kelihatan lebih bagus karena kita belum berani menyuarakan secara lebih lantang
apa yang kita yakini benar. Kita bahkan sering terbawa arus pemikiran yang
menyesatkan.
Marilah kita menimba dari kearifkan yang kita miliki dalam sejarah perkembangan
perkotaan dan berani terus berkreasi dan menemukan identitas baru sehingga
suatu saat kita dikenal oleh generasi mendatang sebagai generasi yang tanggap
dan berhasil membawakan perubahan yang memang didambakan oleh
masyarakat kita. Itu berhasil kita wujudkan karena kita menyadari dan mampu
menjalankan fungsi kepemimpinan yang tepat dalam suatu masyarakat
perkotaan yang berkembang begitu dinamik dengan gagasan kebijakan nasional
yang membawakan perubahan yang memang menyejahterakan.
Indonesia yang hampir 75% luas wilayahnya berupa laut, adalah negara
kepulauan terbesar di dunia. Dengan jumlah 17.502 pulau, luas total laut 5,8 juta
Km2, mempunyai garis pantai 81.000 km atau kedua terpanjang setelah Kanada.
Potensi lestari ikan laut yang bisa ditangkap sebesar 6,4 juta ton/th, namun
produksi tangkapan ikan laut tahun 2001 hanya 4,1 mencapai juta ton (63%).
Dalam rangka meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha penangkapan ikan
laut tersebut, maka Pemerintah akan mengembangkan Industri Perikanan di Tual.
Kenapa Tual, karena laut teritorial Maluku Tenggara adalah lumbungnya ikan laut,
khususnya Tuna Sirip Biru yang sangat potensial sebagai komoditas eksport
terutama ke Jepang.
Dari kacamata sejarah P. Aru lebih dikenal dibanding dengan P. Kei Dullah,
padahal Kota Tual sebagai ibukota kabupaten terletak di P. Kei Dullah. Usia
Kabupaten Maluku Tenggara masih muda, karena sejak tahun 2000 dimekarkan
menjadi 2 kabupaten, yaitu Kabupaten Maluku Tenggara dan Kabupaten Maluku
Tenggara Barat. Kabupaten Maluku Tenggara membawahi 3 kecamatan masingmasing Kecamatan Kei Keci, Kecamatan Kei Besar dan Kecamatan P Aru.
Karena luas lautnya yang hampir 7,6 kali luas daratan, maka sudah sejak lama
Maluku Tenggara dikenal sebagai lumbung ikan Indonesia Timur, sekaligus
sebagai home base kapal-kapal nelayan lokal dan asing hampir 20-30 kapal
nelayan merapat tiap hari di Tual. Hasil perikanan merupakan tumpuan eksport
Maluku Tenggara dimana pada tahun 2000 menyumbang 91.208 ton ikan atau
devisa sebesar USD 50.488.990,62. Berkembangnya Kota Tual sebagai Ibukota
Kabupaten Maluku Tenggara yang cukup pesat, jumlah penduduk saat ini
mencapai 43.858 jiwa dengan potensi industri Perikanan yang cukup besar,
didukung dengan fasilitas Tempat Pelelangan Ikan (TPI), pelabuhan domestik,
hotel-hotel serta sarana lainnya, maka penyediaan air bersih untuk Kota Tual
sebesar 50 liter/detik, sudah tidak mencukupi lagi.
Salah satu prasarana dan sarana perkotaan yang dibutuhkan untuk mendukung
industri perikanan di Tual adalah Prasarana dan Sarana Air Bersih.
Pembangunan Sarana Air Bersih Kota Tual Kabupaten Maluku Tenggara dimulai
pada tahun anggaran 1974/1975 (dengan jumlah penduduk saat itu 10.135
jiwa) melalui dana APBN yang dialokasikan melalui Dep. Pekerjaan Umum
dengan Kapasitas Produksi sebesar 20 liter/detik (Tahap-I). Pembangunan Tahap
II dilaksanakan pada tahun (1994/1995 1997/1988) untuk menambah kapasitas
produksi dari 20 l/dt menjadi 50 lt/dt.
Sumber air baku Kota Tual berasal dari Mata Air EVU dengan kapasitas debit
1.400 l/dt dan saat ini baru dimanfaatkan untuk Air Bersih sebesar 50 lt/dt,
kemudian disalurkan ke Kota Tual yang dikelola oleh PDAM Tual dengan jumlah
pelanggan aktif sebanyak 2.140 unit,
meskipun tingkat kebocorannya cukup tinggi mencapai 50% dan hanya mampu
melayani 28% penduduk. Tarif air rata-rata Rp. 1.200,-/m3 serta tarif komersial
Rp. 2.150,-/m3.
Masyarakat yang tidak dapat terlayani oleh PDAM memenuhi kebutuhannya dari
PAH (Penampungan Air Hujan) dan membeli air dari swasta yang disuplai melalui
Mobil Tangki (Rp. 60.000,-/Mobil Tangki, 4 m3), di mana sumber air berasal dari
sumur-sumur dangkal yang kualitasnya kurang memenuhi persyaratan untuk
dikonsumsi sebagai air bersih.
Pada tahun 2004 kebutuhan akan air bersih untuk domestik dan non domestik
diperkirakan sebesar 80 l/dt. Sedangkan kebutuhan pelayanan Air bersih untuk
pelabuhan ikan dan Kawasan Industri Perikanan Ngadi dibutuhkan kapasitas
sebanyak 50 l/dt, sehingga total kebutuhan air bersih sampai dengan 2004
sebesar 130 l/dt.
Alternatif pengambilan air baku : 1). Penambahan kapasitas dari Sumber air EVU
(Kapasitas sumber 1.400 lt/dt) saat ini telah dimanfaatkan 50 l/dt. Jarak sumber
19 Km. Dari Tual atau 27 Km dari Kawasan Industri Perikanan Ngadi. 2).
Pengambilan air baku dari Danau Ngadi, jarak sumber 2 Km dari Kawasan
Industri Perikanan Ngadi.
Untuk meningkatkan pelayanan air bersih bagi penduduk dan untuk mendukung
pengembangan Kawasan Industri Perikanan di Kota Tual, perlu direncanakan
pembagian wilayah pelayanan menjadi 2 (dua) bagian yaitu: (i) Wilayah I (Tual
Upaya peningkatan pelayanan air bersih di Kota Tual dapat dicapai dengan
optimalisasi sistem yang ada (Sumber EVU) melalui pekerjaan : penyusunan
DED, rehabilitasi Intake, penggantian sebagian pipa Transmisi yang dibangun
tahun 1974/1975, pemasangan pipa distribusi dan penambahan daya listrik.
Untuk pelayanan Kawasan Industri Perikanan Ngadi di Kota Tual dan wilayah
kota bagian utara, perlu dibangun sistem baru dengan memanfaatan Air Baku
dari Danau Ngadi (50 l/dt) melalui pekerjaan : Survey dan Perencanaan,
pembuatan Intake, penggantian pipa Transmisi sepanjang 2 Km, pemasangan
pipa Distribusi sepanjang 25 Km, pembangunan Reservoir, Pompa Air Baku dan
Pompa Distribusi serta untuk penyambungan daya listrik.
DENPASAR SEWERAGE
DEVELOPMENT PROJECT
Bali (termasuk Denpasar), sebagai salah satu tempat tujuan wisata yang potensial di
Indonesia, akan tetap mempunyai daya tarik dan minat bagi wisatawan, sangatlah
bergantung dari cara penangannya, terutama aspek-aspek yang dapat memberikan
kenyamanan bagi para pengunjungnya.
Rencana pembangunan pengolahan Air Limbahpun dimulai, dengan dukungan kucuran dana
pinjaman dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC) melalui Loan No. IP-431
sebesar 5,4 milyar Yen. Pinjaman yang semestinya sudah harus berakhir pada Desember
2002 tersebut, ternyata tidaklah mudah pelaksanaannya, terbukti terjadinya beberapa
kendala di lapangan sebagaimana dipersyaratkan untuk mendapatkan pinjaman. Kendalakendala dimaksud antara lain : pembebasan lahan, kelembagaan sebagai pengelola proyek
serta tersedianya dana kontribusi baik dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah
(Provinsi, Kabupaten ataupun Kota).
hingga bulan Oktober 2008. Meskipun hal tersebut terlihat aneh dan janggal di satu sisi kita
memerlukan dana pinjaman untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pembangunan, namun
pada sisi yang lain dana pinjaman yang telah tersedia belum dapat dimanfaatkan
sebagaimana waktu yang telah ditetapkan. Akan tetapi itulah kenyataan yang harus kita
tanggung bersama untuk menata suatu kawasan yang lebih layak dari sisi lingkungannya,
terutama pengolahan Air Limbah, apabila tidak diupayakan sedini mungkin, tidak
mengherankan apabila pada gilirannya nanti, Denpasar atau Bali akan ditinggalkan
pengunjungnya, hanya karena faktor kita tidak bisa mengatasi pengelolaan air limbah yang
jelas memberikan kontribusi pencemaran lingkungan.
DIMULAINYA PROYEK
Akhirnya kita semua berlega hati, sebab bertepatan dengan Peringatan Hari Habitat Dunia ke
18, yang diselenggarakan di Denpasar, Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri
berkenan mencanangkan dimulainya kegiatan Denpasar Sewerage Development Project,
yang telah lama direncanakan.
Adapun tujuan dibangunnya Proyek ini, adalah : (i) meningkatkan kondisi lingkungan
kawasan wisata Bali; (ii) meningkatkan perhatian masyarakat terhadap pencemaran
lingkungan; serta (iii) menunjang sektor pariwisata. Dari tujuan dimaksud, diharapkan dengan
terselesaikannya pembangunan proyek, akan memberikan berbagai manfaat, antara lain : (a)
meningkatkan kualitas air sungai dan air laut; (b) mengurangi pencemaran sungai, pantai,
dan air tanah; (c) mempermudah pemantauan kualitas lingkungan; (d) mengurangi masalah
pengurasan dan pengolahan Lumpur tinja; (e) meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dan
menjaga citra daerah Bali sebagai tujuan wisata dunia.
Hal terpenting yang lebih melegakan ialah dimulainya proyek ini (meski
terlambat), sepenuhnya mendapat dukungan dari Gubernur Bali, Bupati Badung,
Walikota Denpasar serta seluruh lapisan masyarakat, terutama yang terkena
dampak pembangunan proyek ini.
Redaksi mengangkat Naskah yang disampaikan oleh Penulis pada Lokakarya Perumusan
Kebijakan Pengembangan Agropolitan dalam rangka Pemberdayaan Ekonomi Perdesaan melalui
Kemitraan Masyarakat Swasta Pemerintah, yang diselenggarakan oleh Ditjen. Tata Perkotaan
dan Tata Perdesaan pada tanggal 12-13 Agustus 2003 di Jakarta.
Oleh: John Hamenda
Mengapa saya katakan bahwa industri produk olahan (jadi) adalah jaminan suatu
stabilitas harga? karena di pasaran kita tidak akan menjumpai barang-barang
yang telah diproduksi dan menjadi barang siap dikonsumsi oleh masyarakat
mengalami fluktuasi harga. Contoh : Sambal Botol atau Saus Tomat, komoditi ini
dipasaran tidak pernah kita lihat harganya turun kecenderungan stabil dan
hampir setiap tahun ada kenaikan harga. Di sisi lain kalau kita melihat produksi
Cabe atau Tomat di pasaran bebas, harganya sangat fluktuatif tergantung
suplainya.
Pada saat suplai tomat di pasaran berkurang maka harga tomat bisa naik dan
pada saat komoditi tomat membanjiri pasaran mengakibatkan harga tomat
tersebut turun, berakibat pendapatan yang diperoleh petani dari penjulan tomat
menurun. Tidak jarang harga jual tersebut belum dapat menutupi biaya produksi
sehingga petani selalu mengalami kerugian dari hasil pertanian mereka.
Di pasar-pasar lokal yang ada, jarang dijumpai stabilitas harga dari komoditi hasil
pertanian yang mentah, namun di satu sisi untuk hasil industri pertanian dari hasil
komoditas yang sama yang telah diproduksi menjadi barang jadi, cenderung
stabil walaupun harga tomat di pasaran tinggi, harga saus tomat harganya tetap.
Kalaupun harga tomat itu hancur atau rendah sekali, harga saus tomat akan tetap
(fix).
Di sini keunggulan dari suatu industri sangat berperan penting, itu sebabnya saya
melihat di beberapa daerah pemasok khususnya di kawasan-kawasan sentra
industri komoditas pertanian, masyarakat petani setempat tidak mengalami suatu
perbaikan yang signifikan di dalam usaha mereka. Walaupun kita dikenal oleh
seluruh negara di dunia adalah negara agraris yang sangat subur lahan
pertaniannya, tetapi kita jarang sekali menjumpai petani-petani yang kaya.
Karena petani kota ini hanya diminta untuk menanam bertani satu komoditas
tertentu dan kemudian daerah pertanian tersebut tidak ada industri yang
menjamin pembelian dari produk tersebut. Sehingga kecenderungannya adalah
para petani akan dipermainkan oleh arus pasar dan kalau kita berbicara
komoditas yang berbasis kepada pasar bebas maka tidak jarang petanilah akan
selalu di pihak yang kalah.
Untuk itu kawasan agropolitan yang dicanangkan oleh pemerintah, ada satu hal
yang sangat penting agar kawasan tersebut dikenal sebagai kawasan
agropolitan, pertama-tama adalah bahwa di kawasan tersebut haruslah dibangun
industri produk jadi yang berbasis pada komoditi unggulan agar supaya produk
tersebut tidak akan menjadi suatu komoditi yang bisa dipermainkan oleh pasar.
Dengan demikian harga akan memberikan kontribusi sangat baik kepada petani
dan akan terjadi satu kerjasama yang baik antar petani dan
industri, di mana semua petani akan mengembangkan tanaman atau komoditi
yang dibutuhkan oleh industri dan kemudian industri itu akan mendapat jaminan
suplai dari para petani komoditas yang mereka butuhkan. Kedua belah pihak
harus bisa berkerjasama sehingga akan menghasilkan suatu produk yang benarbenar mempunyai nilai tambah untuk kedua belah pihak. Pihak petani akan
diuntungkan dengan stabilitas harga dari komoditi tersebut, kemudian pihak
industri akan mendapat jaminan suplai dari raw material atau bahan baku yang
dibutuhkan untuk industrinya. Dengan demikian akan timbul satu sinergi yang
sangat baik antara petani dan industri yang ada di daerah tersebut.
Seperti halnya tadi yang digambarkan yaitu Markisa sudah mempunyai satu
industri minuman markisa walaupun dalam bentuk sirup, tapi itu semua diambil
dan diproduksi dari lahan pertanian petani yang ada di kawasan Sumatera Utara.
Markisa ini kemudian mulai diperkenalkan kepada daerah-daerah yang kemudian
kawasan tersebut akan dikenal dari komoditas unggulan tertentu.
Setelah komoditas itu diolah dan diproduksi menjadi barang jadi maka dengan
sendirinya pihak industri akan mempromosikan produknya ke pasaran nasional
maupun internasional, dari promosi tersebut akan terlihat komoditi tersebut
berasal dari daerah mana, di sini salah satu letak keunggulan dari kota atau
kawasan agropolitan yang berbasis komoditi unggulan. Contoh : promosi dari
produk yang dihasilkan seperti yang saya angkat dalam pembahasan kali ini yaitu
Markisa. Orang-orang nanti akan mengenal Markisa yang dari Sumatera Utara
atau dari Brastagi, di mana produk tersebut akan menjadi salah satu produk
unggulan. Promosi akan dikembangkan oleh produk itu sendiri dan akan berjalan
secara otomatis mempromosikan kawasan yang bersangkutan.
4
Ada beberapa contoh yang kita lihat, kawasan atau daerah akan menjadi dikenal
dari produknya, seperti contoh Dodol Garut. Kota Garut itu tidak banyak dikenal
orang tapi dari produk makanannya kemudian labelisasi yang diberikan,
ditempelkan pada suatu produk yang mencantumkan nama daerah asalnya,
akhirnya orang mulai terbiasa menyebut Dodol Garut dan sadar
atau tidak sadar kawasan tersebut mulai dikenal dengan makanannya yang lebih
dahulu dikenal oleh masyarakat.
Mungkin orang Surabaya tidak pernah ke Garut, tidak mengenal Garut tapi
dengan makanan yang mereka nikmati, Dodol Garut, orang akan mulai mengenal
di mana daerah penghasil dodol yaitu Garut, inilah salah satu keunggulan dari
industri.
Tujuan dari semua ini, supaya masyarakat petani agar lebih giat untuk menanami
atau menghasilkan komoditi tertentu, dengan demikian daerah atau
komoditasnya akan menjadi satu produk nasional. Seperti kita lihat, durian yang
besar, Durian Bangkok, Jambu Bangkok, mungkin orang tidak pernah ke
Bangkok tapi mereka dengan begitu mudah menyebut nama kota di Thailand itu
melalui komoditas produk hasil pertanian dari negara tersebut. Dulu kita
mengenal Lemon Cina, kita belum pernah ke Cina tapi nama dari negara tersebut
yang menghasilkan komoditi ini dengan mudah orang menyebutnya. Kawasan
agropolitan yang sedang dirintis oleh pihak pemerintah melalui instansi terkait
inilah yang diharapkan dapat memperkenalkan daerah-daerah tertentu yang
kemudian akan menjadi daerah tujuan wisata atau agrowisata melalui suatu
komoditas unggulan yang benar-benar dihasilkan oleh daerah yang
bersangkutan. Ini salah satu Multi Player Effect atau nilai tambah dari salah satu
komoditas unggulan yang diproduksi oleh daerah tersebut yang dipromosikan
oleh industri yang menghasilkan nilai tambah kepada kawasan, sehingga daerah
tersebut yang semula tidak dikenal, tidak dikenal akan menjadi terkenal dikenal
dan terlihat melalui komoditas unggulan dari daerah tersebut. Dengan demikian
akan tercipta satu sinergi dari suatu promosi yang sangat baik akan menjadikan
daerah tersebut menjadi daerah tujuan wisata karena hasil komoditas yang ada
di daerahnya ke tingkat nasional atau mungkin menjadi go internasional.
Di samping kesejahteraan petani, apabila semua itu dapat tercipta pada akhirnya
akan berimbas pada : (i) pembayaran pajak pendapatan yang semakin baik, (ii)
PAD yang akan meningkat; serta (iii) mendorong pertumbuhan ekonomi lokal
yang lebih baik, sehingga akan menjadikan kawasan/daerah tersebut merupakan
satu kawasan yang tingkat prosperity atau kesejahteraannya menjadi lebih baik.
Hal ini hanya bisa terjadi kalau kesinambungan antara hasil pertanian yang diolah
oleh industri dan kemudian pemasaran produk jadi (siap pakai) dapat masuk ke
pasaran nasional maupun internasional, akibat terciptanya suatu kesinambungan
atau suatu sinergi yang baik antara supply dan demand. Inilah yang sebenarnya
diharapkan oleh pemerintah agar supaya daerah kawasan agropolitan ini bisa
menyeluruh ke semua propinsi yang ada, ke semua daerah yang ada di
Indonesia agar suatu saat nanti daerah-daerah yang ada di Indonesia bukan
daerah yang terbelakang tetapi menjadi daerah maju dengan komoditas
unggulan yang akan saling bersaing secara sehat untuk menciptakan
kesejahteraan bagi masyarakat petani dan industri. Dengan demikian masyarakat
petani kita akan mengembangkan pola pertanian yang berbasis kepada industri
yang nantinya akan menjadikan setiap daerah, setiap kabupaten, setiap propinsi,
sampai ke setiap kota kecamatan mempunyai industri komoditi unggulan dari
daerah-daerah masing-masing yang akan berbicara dan mampu berbicara di
dalam forum nasional maupun internasional.
Dari ketiga hal tersebut saya ingin menyampaikan kepada pemerintah untuk
terciptanya suatu kawasan industri atau suatu kawasan agropolitan yang berbasis
kepada komoditas unggulan hanya bisa berjalan apabila prasarana dan sarana
sebagai persyaratan suatu industri itu dapat dipenuhi oleh pemerintah antara
lain :
sumber daya energi listrik, karena bila berbicara industri kita berbicara
membutuhkan sumber daya energi yang tidak sedikit.
Sekarang ini kita melihat masalah yang kita hadapi pertama adalah masalah
energi, masalah sumber daya energi listrik yang belum tersedia di daerah-daerah
penghasil komoditas unggulan. Terbatasnya sumber energi listrik ini bisa
berakibat persoalan yang dihadapi industri akan mengalami permasalahan yang
serius. Kedua bantuan atau perhatian pemerintah terhadap permodalan
untuk industri. Contoh bahwa apa yang telah dibangun oleh perusahaan kami di
Kecamatan Modoinding yaitu perkebunan Kentang dan Wortel sampai saat ini
usaha tersebut berjalan, pabrik telah dibangun namun bantuan dari pihak perbank-kan untuk membangun industri ini belum kunjung datang padahal ini yang
sangat penting untuk mengangkat satu industri di kawasan tersebut untuk
mensejahterakan masyarakat petani, saat ini perhatian per-bank-kan yang ada
belum seluruhnya tercurah pada program pemerintah yang sekarang ini sedang
giat-giatnya melaksanakan pembangunan di kawasan daerah-daerah sentra
produksi pertanian untuk menjadi komoditi unggulan. Ini salah satu hal yang perlu
diperhatikan oleh pihak per-bank-kan untuk mendorong para industriawan atau
perusahaan-perusahaan yang ingin membangun pada sentra-sentra produksi.
Adapun yang menjadi hambatan atau kendala adalah, industri di daerah-daerah
pertanian belum bisa digarap secara maksimal karena pengetahuan dari para
pelaku ekonomi khususnya per-bank-kan yang belum sepenuhnya menjiwai
terhadap upaya pemerintah, mereka lebih senang mempermainkan uangnya
pada pasar yang ada di perkotaan sehingga daerah-daerah kawasan industri
pertanian tidak tergarap. Dengan kata lain intermidiasi per-bank-kan belum
menyentuh sektor pertanian, sektor industri yang berbasis kepada komoditas
unggulan. Inilah sebagai benang merah yang perlu mendapatkan perhatian dari
pihak setiap penentu kebijakan pada institusi per-bank-kan, untuk lebih
memperhatikan industri-industri di daerah pertanian agar keadaan atau kesulitan
masyarakat petani saat ini bisa mendapatkan pertolongan dari apa yang sedang
dikembangkan oleh Departemen Pertanian serta jajaran institusi pemerintah
lainnya dalam rangka membangun kawasan agropolitan yang berbasis pada
komoditas unggulan.
Penanganan Kekeringan di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta
PENANGANAN KEKERINGAN
di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta
usim kemarau seperti saat ini, sebagian wilayah di Indonesia yang mengalami
kekeringan selalu kesulitan air. Jumlah wilayah yang menderita kekeringan dari tahun
ketahun terlihat semakin meningkat dan meluas. Hal ini diakibatkan tidak hanya oleh
rusaknya lingkungan di daerah tangkapan air, akan tetapi juga diakibatkan oleh pesatnya
pembangunan fisik serta rendahnya tingkat kesadaran masyarakat dalam penggunaan air
tanpa diikuti dengan upaya menjaga dan melestarikan sumber daya air.
Pengamatan dari Badan Meteorologi dan Geofisika untuk tahun 2003 ini, terdapat 30
kabupaten yang mengalami kesulitan air, dan yang tergolong parah adalah di Pulau Jawa
yaitu di 13 Kabupaten di Provinsi Jawa Timur, 12 di Jawa Tengah, 3 di Jawa Barat, dan 2
di DI Yogyakarta. Di samping 2 kabupaten di Provinsi Banten yang perlu diwaspadai.
Sedangkan menurut data Potdes BPS tahun 2000, desa yang rawan air bersih meliputi
desa-desa di Kabupaten Serang, Tangerang, Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu,
Cirebon, Garut, Sukabumi, Grobogan, Demak, Blora, Rembang, Brebes, Wonogiri dan
Cilacap.
Survei diarahkan pada daerah-daerah, hasil keputusan rapat Koordinasi Khusus tentang
penanganan dampak kekeringan 2003, masing-masing untuk Provinsi Banten, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur dan DI Yogyakarta, yang meliputi Kabupaten Karawang,
Subang, Indramayu, Cirebon, Wonogiri, Grobogan, Blora, Rembang, Demak, Kulon Progo
dan Gunung
Kidul.
KONDISI
UMUM
AKIBAT
KEKERINGAN
Prioritas inventarisasi diarahkan pada kebutuhan air bersih untuk kepentingan hidup
sehari-hari bagi penduduk. Dari hasil survei diperoleh gambaran kondisi tingkat
penyediaan air bersih sebagai berikut:
UPAYA PENANGGULANGAN
Dari kondisi yang demikian di beberapa daerah, maka Departemen Permukiman dan
Prasarana Wilayah telah menetapkan kebijakan dalam penanggulangan dampak
kekeringan dan kesulitan air bersih melalui program jangka pendek, menengah maupun
jangka panjang.
Memprioritaskan pemanfaatan sumber air yang masih tersedia sebagai air baku untuk
air bersih;
Menambah instalasi yang dapat difungsikan dengan cepat seperti pembuatan paketpaket unit pengolahan air bersih berkapasitas kecil (5-10 l/det) khusus untuk daerah
yang masih memiliki sumber air baku;
Bagi daerah rawan air bersih termasuk yang sumur dangkalnya juga mengalami
kekeringan, dibantu dengan suplai air bersih melalui tangki yang airnya diambil dari
instalasi pengolahan air (IPA) terdekat yang masih berfungsi;
Untuk daerah yang memiliki potensi air tanah sedang (kedalaman 25-40 m) sesuai
peta potensi air tanah, dibangun sumur-sumur pompa tangan dalam.
Kampanye hemat air, gerakan hemat air, perlindungan sumber air, mengimbau rasa
peduli dan kesetiakawanan terhadap masyarakat yang kesulitan mendapatkan air
minum.
Memanfaatkan sumber air yang ada secara lebih efisien dan efektif;
Meningkatkan kehandalan sumber air baku instalasi pengolahan air minum yang
ada;
Meningkatkan pembangunan sistem penyediaan air minum Kota dan Regional dengan
mengikutsertakan swasta.
Khusus untuk kebutuhan mendesak saat ini, program diprioritaskan pada pemanfaatan
sumber air yang masih tersedia sebagai air baku untuk air minum, menambah instalasi
yang dapat difungsikan dengan cepat melalui pembuatan unit pengolah air bersih
kapasitas kecil 5 sampai 10 liter/detik bagi daerah yang masih memiliki air baku,
kemudian mensuplai daerah yang mengalami kekeringan melalui mobil tangki dengan
mengambil air dari IPA terdekat yang masih berfungsi, serta membangun sumur-sumur
pompa tangan dalam 25 sampai 40 meter untuk daerah yang memiliki potensi air tanah
sedang.
Upaya-upaya yang telah dilakukan dan sampai saat ini masih berjalan meliputi:
memberikan dukungan kepada PDAM di 30 Propinsi dalam memperluas pelayanan, serta
kegiatan fisik untuk optimalisasi dan kebutuhan mendesak, dan melalui program
penanggulangan dampak pengurangan subsidi BBM untuk prasarana air bersih (SB-AB)
Untuk pelayanan skala kota maka bentuk kegiatannya adalah peningkatan dan
pembangunan IPA baru, perluasan cakupan pelayanan melalui penambahan jaringan
distribusi, serta penambahan mobil tangki untuk mensuplai daerah-daerah rawan air.
Untuk Skala IKK, dukungan meliputi peningkatan atau pembangunan IPA agar menjadi
satu sentra produksi air minum dan pendistribusian melalui perluasan jaringan pipa atau
pengoperasian mobil tangki. Sedangkan untuk skala desa dilakukan melalui pembangunan
sumur-sumur pompa tangan dalam.
Program SB-AB
Program ini telah dilaksanakan sejak tahun 2001 dan ditujukan pada masyarakat tidak
mampu di daerah sulit air dimana harus membeli atau mengambil dari lokasi yang jauh
dan yang selalu mengalami kekeringan pada musim kemarau.
Kegiatan dari program ini meliputi pembangunan hidran umum, terminal air, Sipas, sumur
dalam, dan pengadaan truk tangki.
Dari Program SB-AB untuk tahun 2001 dan 2002 mencakup 2.650 kelurahan/desa di 30
propinsi dan melayani 1,750,000 jiwa dengan dana sebesar Rp. 304 milyar dan telah
direalisasikan pengadaan mobil tangki 322 unit. Sedangkan untuk tahun 2003 telah
dialokasikan dana sebesar Rp. 250 milyar untuk mencakup 1,000 kelurahan/desa di 30
propinsi yang akan melayani 1,250,000 jiwa termasuk di dalam program ini pengadaan
150 unit mobil tangki air dan 24 modul sumur dalam.
Pada tahun 2003 ini, Ditjen. Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan Dep. Kimpraswil juga
ditunjuk sebagai Leading Sector untuk bantuan air gratis.
Untuk itu telah ditetapkan 140 unit mobil tangki yang akan didistribusikan sebagai
bantuan dampak kekeringan kepada Propinsi Banten sejumlah 12 unit, Jabar 43 unit,
Jateng 48 unit, Jatim 30 unit, D.I.Yogyakarta 7 unit. Sampai saat ini 88 unit telah
terdistribusi yaitu masing-masing 6 unit untuk Provinsi Banten, 16 unit untuk Jabar, 29
unit untuk Jateng, 7 unit untuk D.I.Yogyakarta dan 30 unit untuk Jawa Timur. Selain itu
juga telah dialokasikan biaya O&P sebesar Rp. 455 juta (akan di SKO langsung ke
Pemerintah Provinsi) serta pembangunan 6 Unit IPA dengan total biaya Rp 31,570 milyar.
Hari habitat Dunia Ke 18 - Diperingati dengan tema AIR DAN SANITASI UNTUK
PERKOTAAN
HARI HABITAT DUNIA KE 18 - Diperingati dengan tema
AIR DAN SANITASI UNTUK PERKOTAAN
Redaksi pada penerbitan Buletin Edisi Nomor 3 bulan Oktober 2003, sengaja
memuat berita utama tentang Hari Habitat Duniayang baru saja diperingati
pada tanggal 9 Oktober 2003, di Denpasar - Bali.
Hadir dalam peringatan tersebut Presiden Republik Indonesia Megawati
Soekarnoputri, yang berkesempatan mencanangkan Pengembangan 1.000.000
unit Rumah Sederhana, dan PERCEPATAN PENANGANAN PENYEDIAAN AIR
BERSIH DAN SANITASI BAGI MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH
DI 1.500 KAMPUNG/KELURAHAN SETIAP TAHUN.
Sebagai bagian dari implementasi Deklarasi yang dicanangkan oleh Badan PBB
bidang Habitat (UN Habitat), bahwa peringatan Hari Habitat dunia dilaksanakan
pada setiap Hari Senin, Minggu Pertama di bulan Oktober. Untuk tahun 2003,
puncak peringatan Hari Habitat Dunia di Indonesia, dilaksanakan pada tanggal 9
Oktober 2003, yang dipusatkan di Denpasar-Bali.
Tema yang diambil dalam peringatan Hari Habitat tahun 2003 ini adalah AIR
DAN SANITASI UNTUK PERKOTAAN (WATER AND SANITATION FOR
CITIES). Perhelatan yang diselenggarakan oleh Departemen Permukiman dan
Prasarana Wilayah, dihadiri Presiden Republik Indonesia, Ibu Megawati
Soekarnoputri beserta Bapak Taufik Kiemas, Menteri Negara Riset dan Teknologi,
Para Gubernur, Para Kepala Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah/
Pekerjaan Umum, serta Pejabat lain yang terkait.
Lebih lanjut dilaporkan oleh Menteri Soenarno, bahwa saat ini masih banyak
masyarakat yang belum memperoleh akses air minum dan sanitasi yang baik dan
layak.
Sementara data menunjukkan sampai dengan saat ini tingkat pelayanan baru
mencapai 39% penduduk perkotaan yang memperoleh akses air minum, dan
hanya sekitar 22% penduduk yang telah mempunyai akses sanitasi yang baik.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), masih banyak masyarakat
berpenghasilan rendah yang tersebar di 8.752 desa/kampung rawan air. Di sisi
lain masih banyak PDAM sedang dalam kesulitan dan dalam tahap penyehatan
kinerja untuk meningkatkan cakupan pelayanan air minum bagi masyarakat.
Kondisi tersebut, pada akhirnya membawa dampak bagi masyarakat luas, dan
yang paling menderita adalah masyarakat yang berpenghasilan rendah untuk
mendapatkan akses air minum dan sanitasi yang baik dan layak.
Sebagai upaya untuk menjawab tantangan masa depan, di bidang penanganan
sanitasi, pada kesempatan tersebut juga ditandai dengan dimulainya
pembangunan Sistem Pengolahan Air Limbah/Kotor Terpusat di Kota
Denpasar.
Pola seperti ini cenderung inefisiensi dan merusak, karena sesungguhnya dapat
dilakukan dengan pelaksanaan pola keterpaduan pembangunan yang terdiri atas
berbagai sektor, seperti prasarana jalan, listrik, gas, telekomunikasi, dan
prasarana sosial lainnya.
Momentum peringatan Hari Habitat Dunia kali ini, Presiden mengajak semua
unsur, baik Masyarakat, Gubernur, Bupati, dan Walikota, untuk bersama-sama
memperbaharui semangat dan etos pembangunan perkotaan yang kuat dan lebih
sehat
Sambutan Presiden selama lebih kurang 30 menit tersebut, bila dicerna lebih
mendalam, sangatlah menyentuh pokok permasalahan yang dihadapi oleh
Bangsa Indonesia, terlebih lagi dalam hal untuk mencari solusi untuk mengatasi
permasalahan tersebut.