Anda di halaman 1dari 9

PENDAHULUAN

Psikoneuroimunologi (PNI) adalah cabang ilmu kedokteran yang mengkaji


interaksi antara faktor psikologis, sistem saraf dan sistem imun melalui modulasi
sitem endokrin. Cabang ilmu ini relatif baru, karena baru berkembang sejak dua
dekade yang lalu dan telah banyak memberikan kontribusi kepada ilmu
kedokteran umumnya. Stresor psikologis yang diterima di otak melalui sistem
limbik kemudian diteruskan ke hipothalamus ditanggapi sebagai stress perception
dan kemudian diterima sistem endokrin sebagai stress responses. Saat ini PNI
telah berkembang dengan pesat dan banyak peneliti dapat menjelaskan peran stres
psikologis dalam patobiologi beberapa penyakit. Respon stres berfungsi untuk
menjaga keseimbangan tubuh yang dikenal sebagai homeostatis.1,2
Komunikasi antara sistem saraf pusat (SSP) dengan jaringan limfoid primer dan
sekunder dimediasi secara anatomis melalui serat saraf yang menginervasi
jaringanlimfoid seperti kelenjar limfe regional maupun kelenjar thymus dan juga
melalui mediator neurotransmiter dan neuropeptid. Telah dibuktikan bahwa organ
limfoid primer seperti sumsum tulang, timus dan kelenjar limfe di persarafi oleh
serat saraf simpatik. Demikian pula, sel limfoid mempunyai reseptor terhadap
berbagai hormon dan neurotransmiter yang dilepaskan oleh sel saraf dan kelenjar
endokrin. Demikian komunikasi ke dua sistem tersebut dapat terjadi timbal
balik.2,3
Konsep hubungan antara stres dengan penyakit(tubuh) telah ada sejak era
Hipocrates yang mengatakan bahwa kesalah besar para dokter adalah
memisahkan antara badan dan pikiran. Rene Descrates (1650) yang menyatakan
pikiran dan tubuh tidak terpisahkan dalam kehidupan. Ivan Petrovich Pavlov
(1849) dengan anjing percobaannya membuktikan bahwa kognitif yang
dikondisikan dengan lonceng maka asam lambung keluar tanpa melihat
makanannya. Sejak tahun 1920 Dr. Walter Cannon, menkaji secara ilmiah dengan
mengemukakan teori homeostatis dan teori fight or flight. Hans Selye (1936)
memperkenalkan respon biologis dan fisiologis dari stres melalui teori General
Adaptation Syndrome. Istilah Psikoneuroimunologi pertama kali di perkenalkan
oleh Dr. Robert Ader (1975), yang mengungkapkan terjadi suatu learning process
tubuh sehingga tubuh merespon stres dengan melibatkan multiorgan.3
Stres merupakan kondisi dinamis tubuh dalam menghadapi berbagai stresor, baik
stresor psikologis, fisis, biologis, lingkungan ataupun sosial yang dapat
mempengaruhi sistem saraf serta sistem neuroendokrin yang pada akhirnya
membangkitkan respons sistem imun. Seperti juga organ lainnya, kulit juga dapat
berfungsi sebagai cermin keadaan mental dan psikologis seseorang. Sejak lama

telah diketahui bahwa beberapa penyakit kulit dapat dicetuskan atau diperberat
oleh stresor termasuk stresor psikologis misalnya, dermatitis atopik, urtikaria
kronis, psoriasis, akne vulgaris, alopesia, lupus eritematosus sistemik dan
sebagainya.4,5
Sejak dua dekade terakhir, telah diketahui bahwa sistem saraf dan sistem endokrin
dapat mengendalikan respons imun. Demikian juga sebaliknya, sistem imun dapat
mempengaruhi sistem saraf dan sistem endokrin. Hubungan timbal balik antara
ketiga sistem besar tersebut terjadi karena terdapat sistem komunikasi yang
diperantarai oleh serabut saraf, neurokimiawi dan sitokin. Komunikasi tersebut
bertujuan untuk menjaga keseimbangan tubuh (homeostatis). Pada awal
perkembangan embriologis, organ sistem imun primer maupun sekunder
dipersarafi oleh ujung saraf otonom, demikian juga sebaliknya, sel-sel imun
mampu mensintesis beberapa jenis neurotransmiter dan neuropeptida dan sel saraf
dapat memproduksi sitokin atau mediator yang lain.
Tulisan ini akan membahas secara singkat peran PNI pada patofisiologi beberapa
penyakit kulit yang sering dijumpai, terutama penyakit yang berdasarkan atas
respons imun dan hipersensitivitas.

PENGARUH HORMON STRES TERHADAP RESPONS IMUN


Stimulus stres pertama kali diterima oleh sistim limbik di otak yang berperan
sebagai regulasi stres, perubahan neurokimiawi yang terjadi selanjutkan akan
mengaktivasi beberapa organ lain dalan sistem saraf pusat untuk selanjutnya akan
membangkitkan respon stres secara fisiologis, selular maupun molekular. Stresor
dapat memacu respons imun tubuh terhadap berbagai stimulus yang dapat
mengganggu kemampuan kompensatorik tubuh dalam upaya mempertahankan
homeostatis. Stresor telah diketahui dapat merangsang sistem tubuh untuk
memproduksi hormon stres utama yaitu glukokortikoid, epinefrin, norepinefrin,
serotonin, dopamin, beta endorfin dan sebagainya. Respon stress tersebut akan
membangkitkan suatu rentetan reaksi melalui beberapa sumbu (axis), dalam upaya
menjaga homeostasis, ada 5 sumbu utama respons stres adalah; 1. Sumbu
hypothalamus-pituitary-adrenal (HPA axis), 2. Sumbu Simpato-adrenal-medulari
(SAM), 3, Sumbu CRH-Sel Mast, 4. Melalui Neuropeptid, 5. Sumbu
Hipotalamus-Pituitary-Tiroid, Sumbu HPA- Sistem reproduksi.4,5

1. Sumbu hypothalamus-pituitary-adrenal (HPA axis)


Jalur pertama adalah aktivasi sumbu HPA melalui neuron dalam nukleus
paravestibuler di hipotalamus dan menghasilkan corticotropin releasing hormone
(CRH). Hormon ini akan memacu hipofise anterior melepaskan adrenocorticotropin hormone (ACTH) yang akan merangsang kelenjar korteks adrenal
untuk melepaskan hormon glukokortikoid atau kortisol. Hormon ini merupakan
produk akhir sumbu HPA yang mempunyai peran biologis misalnya efek antiinflamasi dan imunosupresi. Kortisol juga dapat mempengaruhi keseimbangan sel
Th1/Th2, karena pada permukaan limfosit terdapat reseptor glukokortikoid.
Stimulus yang akan diproses oleh korteks serebrum diteruskan ke hypotalamus
melalui sistem limbik dengan memproduksi CRH. Hormon tersebut bertindak
sebagai pembawa pesan yang dikirim ke kelenjar hipofise anterior untuk
melepaskan ACTH. ACTH merupakan aktivator kelenjar korteks adrenal untuk
memproduksi berbagai hormon. Dengan pengaruh ACTH, korteks adrenal
melepaskan hormon kortisol sedangkan bagian medula kelenjar adrenal yang akan
melepaskan katekolamin terutama epinefrin dan norepinefrin. (lihat gambar 1).5,6

Gambar 1. Stres dan CRH mempengaruhi ekspresi respons Th1 dan Th2 oleh
Glukokortikoid dan katekolamin. Glukokortikoid menghambat IL-2, IF- dan IL12, sedangkan catekolamin meningkatkan sistesis IL-10 (Elencov 1999)

Secara umum kortisol berperan menekan reaksi radang dan sebagai


imunosupresan. Kortisol menimbulkan efek berbeda terhadap Th1 dan Th2,
sehingga terjadi perubahan keseimbangan Th1/Th2. Pada hewan coba yang diberi
stres akan terjadi dominasi peran sel Th2 dengan dilepaskannya sitokin tipe 2
misalnya, IL-4, IL-5 dan IL-6. Interleukin ini sangat berperan dalam respons imun
humoral. Buske-Kirschbaum, dkk. (2002) menyimpulkan bahwa pada dermatitis
atopik kronis terjadi penurunan respons sumbu HPA sehingga kadar kortisol
menurun dalam sirkulasi.12 Kortisol dapat menghambat sel Th2 secara langsung
dengan peningkatan IL-4,10 Selain itu, kortisol menghambat lekosit dari sirkulasi
ke ekstraselular, mengurangi akumulasi monosit dan granulosit di tempat radang,
serta menekan produksi beberapa sitokin dan mediator radang.4,5,6
Pengaruh kortisol terhadap sel imun dimungkinkan karena di permukaan
makrofag, sel natural killer dan sel Th terdapat reseptor terhadap glukokortikoid
(GCR) yang bekerja di dalam sitoplasma dan mempengaruhi transkripsi sistesis
DNA. Penelitian lain juga menunjukkan stresor akut dapat meningkatkan peran
sel Th2, sedangkan stresor kronis meningkatkan fungsi sel Th1.7 Penurunan
sistesis kortisol akan menimbulkan pergeseran peran dari Th1 ke arah Th2. Hal ini
dapat menerangkan berbagai penyakit kulit.12,13 Atas dasar mekanisme tersebut
kortikosteroid digunakan sebagai terapi untuk berbagai penyakit inflamasi serta
sebagai imunosupresif sistemik maupun topikal.6
2. Sumbu simpato-adrenal-medular (SAM)
Jalur ini dimulai dari rangsangan yang diterima di locus ceruleus adrenergic
system dalam susunan saraf pusat dan di bagian medula kelenjar adrenal. Sistem
terdiri atas sistem saraf parasimpatis dan simpatis. Serat praganglion simpatis dan
para-simpatis melepaskan neurotransmiter yang sama yaitu asetilkholin (Ach),
sedangkan ujung saraf pascaganglion simpatis melepaskan noradrenalin atau
norepinefrin (NE). Selain disintesis oleh batang otak, norepinefrin disintesis pula
oleh medula adrenal yang merupakan sistem saraf simpatik yang termodifikasi.
Serabut praganglion mensarafi sel-sel kromafin medula adrenal yang dapat
menghasilkan hormon katekolamin terutama epinefrin dan norepinefrin. Dikenal 2
jenis reseptor adrenergik yang terdiri atas reseptor 1, 2 dan reseptor 1 dan 2.5,6
Beberapa organ limfoid seperti monosit dan limfosit memiliki reseptor
adrenergik di permukaan, sehingga rangsangan terhadap reseptor tersebut oleh
norepinefrin dapat mempengaruhi peran sel imun. Norepinefrin juga dapat
meningkatkan produksi interleukin-6 (IL-6) dari sumber utama yaitu limfosit dan
makrofag. Sitokin ini berperan sebagai protein fase akut, serta sangat berperan
dalam pertumbuhan sel plasma untuk membentuk antibodi dan meningkatkan

proliferasi sel Th2. Reseptor beta-adrenergik di permukaan sel Th akan


berdiferensiasi menjadi sel Th2 dengan memproduksi sitokin IL-4, IL-5 dan IL10, yang sangat berperan dalam reaksi hipersensitivitas tipe I. Norepinefrin
bekerja melalui reseptor alfa dan beta, serta mempunyai efek yang luas, termasuk
terhadap sumbu HPA dan sistem imun. Corticotropin releasing hormone secara
langsung dapat mempengaruhi sistesis norepinefrin melalui jalur paraventricular
nucleus, dengan merangsang sekresi IR-rCRH melalui reseptor alfa di locus
ceruleus batang otak.4,5
3. Sumbu CRH sel Mast
Sel mast adalah sel yang sangat penting dalam reaksi hipersensitivitas tipe I,
karena dapat melepaskan berbagai mediator radang terutama histamin. Ikatan
dengan antigen tertentu yang telah dikenalnya, mengakibatkan proses biokomiawi
yang panjang sehingga sel mast mengalami degranulasi dan melepaskan
mediatornya. Banyak faktor yang dapat mengakibatkan degranulasi sel mast, salah
satu di antaranya faktor stresor psikologis. Hal ini dapat dimengerti karena di
permukaan sel mast dijumpai reseptor corticotropin releasing hormone (CRHR1). Selain itu di permukaan sel mast juga dijumpai reseptor beta-adrenergic, dan
ujung saraf simpatetik dekat dengan sel-sel imunokompeten di kulit. Ini
menunjukkan bahwa degranulasi sel mast dapat terjadi akibat stimuli CRH
langsung, dari norepinefrin maupun neuropetid terutama substansi P (SP) dan
neuropeptid Y. Efek SP dalam degranulasi sel mast adalah meningkatkan
sensitivitas sel mast terhadap electrical field stimulation (EFS) sehingga terjadi
pelepasan berbagai mediator sel mast dengan bermacam-macam manifestasi
klinis.5,6
4. Peran Neuropeptid
Berbagai neuropeptid yaitu, vasoactive intestinal peptide (VIP), substansi P (SP),
neuropeptid Y dan somatostatin dapat berikatan dengan sel-sel imun, baik di
mukosa maupun di kulit melalui reseptor, terutama yang terdapat di permukaan
sel mast, kelenjar sebaseus, dan folikel rambut. Substansi P dan peptid yang lain
menrangsang degranulasi sel mast melalui kerja langsung terhadap peningkatan
prekursor mediator radang yang dilepaskan oleh sel mast, dan juga melalui
reseptor SP di permukaan sel mast. Neuropeptid sangat berperan dalam inflamasi
neurogenik oleh karena terjadi pelepasan neuropeptid pada akhir saraf.
Neuropeptid ini penting dalam imunitas mukosa dengan cara regulasi proliferasi
sel limfosit dan mobilitasnya di dalam mukosa serta mensistesis IgA dan
pelepasan histamin. Bukti terkini menunjukkan bahwa VIP memodulasi respons
imun melalui cAMP, sedangkan SP meregulasi sistem imun melalui keterlibatan

dalam metabolisme fospolipid. Kini diketahui bahwa sel Langerhan juga


mengekspresikan reseptor terhadap neuropeptid. Dengan demikian neuropeptid
sangat berperan dalam imunitas selular maupun imunitas humoral.5

PSIKONEUROIMUNOLOGI DAN DERMATOSIS


Dari uraian di atas jelas tampak hubungan antara neuro-endokrin dengan sistem
imun. Sistem imun bukanlah sistem otonom, karena banyak sistem yang
mempengaruhinya. Konstelasi yang rumit ini memungkinkan dipertahankannya
homeostasis tubuh. Pada keadaan tertentu, terjadi perubahan pada stress
perception dan stress responsse yang menyebabkan gangguan keseimbangan
Th1/Th2 dan perubahan biokimiawi sel imun lain sehingga menimbulkan
berbagai manifestasi klinis. Beberapa penyakit kulit yang telah diketahui peran
stres psikologis seperti dibawah ini.
Dermatitis atopik
Dermatitis atopik adalah penyakit ketidak seimbangan antara Th1/Th2, dan terjadi
sekresi sitokin Th2 yang predominan.5,6 Banyak penelitian menyatakan bahwa
salah satu faktor endogen adalah karena perubahan respons sumbu HPA terhadap
stres. Kortisol dapat menekan pertumbuhan dan deferensiasi sel Th1. Penelitian
yang dilakukan oleh Wamboldt, dkk. menunjukkan kadar kortisol pada pasien
atopik lebih rendah secara bermakna dibandingkan dengan orang normal.7 BuskeKirschbaum, dkk. juga menemukan hiporesponssitivitas sumbu HPA pada orang
atopik sehingga sintesis kortisol lebih rendah sedang norepinefrin meningkat
secara bermakna.8 Ketidakseimbangan kedua hormon tersebut mengakibatkan
perubahan fungsi sel Th1 dan sel Th2, sehingga terjadi gangguan regulasi sel Th1
dan sel Th2, dan didominasi oleh sel Th2. Terjadi peningkatan IL-4 dan Ig E, yang
pada akirnya akan meningkatkan sensitivitas terhadap alergen. Demikian juga
neuropeptid lainnya berperan dalam mempertahankan barrier kulit melalui
aktivitas kelenjar sebasea dan peran CRH yang secara langsung menyebabkan
degranulasi sel mast.9

Psoriasis Vulgaris
Beberapa penelitian menunjukkan sekitar 30 % 70 % pasien psoriasis
berhubungan dengan faktor stress. Kadar katekolamin bebas dalam plasma

khususnya norepinefrin meningkat secara bermakna, sedangkan peningkatan


kortisol, epinefrin and dopamine tidak signifikan. Ini menunjukan bahwa
noerpinefrin sangat berperan dalam kekambuhan psoriasis.10 Stres psikologis
juga meningkatkan sintesis nerve growth factor (NGF). Sitokin ini bersama
substance P sangat berperan dalam proliferasi keratinosit, sehingga dapat memicu
kekambuhan psoriasis.11
Akne vulgaris
Hubungan erat antara stres psikologis sebagai pencetus munculnya akne vulgaris.
Kelenjar sebaseus pada kulit memiliki reseptor CRH, sehingga CRH dapat
merangsang pembentukan sebum.12 Hal ini menjadi penyebab kekambuhan akne
vulgaris. Penelitian terkini menunjukkan kelenjar sebum mengekspresikan
reseptor untuk CRH. Selain itu juga dijumpai reseptor terhadap melanocortins, endorphin, vasoactive intestinal polypeptide (VIP), neuropeptide Y and calcitonin
gene-related peptide. Neuropeptid tersebut dapat menyebabkan peradangan
neurogenik. Ikatan antara neuropeptid dengan reseptornya akan meningkatkan
produksi sitokin proinflamasi sehingga menyebabkan proliferasi, diferensiasi dan
lipogenesis pada sebosit.13

Urtikaria
Akhir-akhir ini telah diketahui bahwa neuropeptid Y dan substance P berperan
dalam urtikaria, oleh karena ditemukannya reseptor untuk kedua neuropeptid
tersebut di permukaan sel mast.14 Stres dapat meningkatkan ikatan langsung SP di
permukaan sel mast sehingga mengaktivasi granulasi sel mast melepaskan
mediator terutama histamin dan bradikinin.Selain peran neuropeptid juga telah
dibuktikan reseptor CRH di permukaan sel Mast, sehingga rangsangan
hipothalamus akibat stres, menyebabkan degranulasi sel mast oleh CRH.15

Alopesia areata
Beberapa penelitian terkini mengungkapkan awitan awal alopesia areata
kebanyakan disebabkan oleh stres psikis. Pada penelitian terhadap 178 pasien
dengan alopecia areata yang diwawancarai menunjukkan serangan pertama terjadi
akibat stres psikologis setidaknya selama 6 bulan terakhir. Keadaan ini dapat
diterangkan dengan faktor bahwa pada folikel rambut ditemukan reseptor CRH,

dan beberapa neuropeptid.16 Stres dapat mengaktivasi sumbu HPA sehingga


meningkatkan sintesis CRH, dan diikuti oleh produksi peptid derivat
propiomelanokortin yang dapat menimbulkan peradangan folikel rambut. Stres
yang berkepanjangan juga dapat menginduksi serat simpatik untuk memproduksi
neurotransmiter yang dapat menimbulkan peradangan neurogenik folikel rambut.
Peradangan ini akan mempercepat siklus rambut ke fase istirahat.17
Lupus eritematosus
Lupus erythematosus adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya belum
diketahui, dengan gambaran klinis dapat akut atau kronik eksaserbasi yang
dimediasi oleh adanya autoantibodi dalam tubuh. Neuropeptide substance P,
sitokin proinflamasi seperti IL-1dan IL-6 merupakan mediator yang penting
dalam peradangan pada lupus erytematosus. Pada stres akan terjadi peningkatan
CRH, CRH ini secara langsung dapat menginduksi sintesis substance P serta
meningkankan pelepasan sitokin proinflamasi oleh sel Th1. Sehingga stres dapat
sebagai faktor risiko atau memperberat keadaan lupus erytematosus.18,19
Penyakit infeksi virus herpes simpleks
Dari uraian singkat tersebut diatas, tampaknya jelas adanya mekanisme yang
sangat komplek yang menghubungkan antara pikiran, emosional dengan sistem
imun.20 Padgett DA dkk (1998) dengan hewan percobaan melaporkan bahwa
aktivasi terhadap sumbu HPA menyebabkan lebih dari 40 % terjadi reaktivasi
infeksi HSV tipe 1, demikian juga membuktikan dengan hewan coba bahwa stres
hipertermik menginduksi reaktivasi infeksi VHS tipe 1 dengan meningkatnya
aktivasi sumbu HPA serta peningkatan produksi IL-6.21

Penuaan dini
Secara umum stres psikologis akan mempercepat proses penuaan. Sepuluh tahun
terakhir ini telah diketahui bila terjadi cellular stress akan terbentuk suatu protein
yang molekuler yang berfungsi untuk menjaga homeostatis tubuh. Protein yang
terbetuk tersebut adalah heat shock protein (HSP).22 Ada berbagai jenis HsP yang
digolongkan ke dalam molekul chaperone. Molekul tersebut akan menyebabkan
pemendekan telomere, meningkatkan apoptosis (program kematian sel) dan
otofagi terhadap sel-sel yang terakumulasi dari berbagai toksin. Sebagai hasil
akhir adalah terjadi percepatan proses penuaan fisiologis.23

Selain penyakit-penyakit di atas masih banyak penyakit kulit yang


kekambuhannya dapat dijelaskan melalui paradigma PNI misalnya pemfigus
fulgaris, diskoid lupus dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai