Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

DIMENSI PENGASUHAN DALAM KELUARGA

KELOMPOK IX :
- ELLESA M. TETI SOGE ( 1301182049 )
- IMELDA F. SETIAWATI ( 1301181016 )
- SELVI YULIANA NAHAK ( 1301182026 )
- KALFIN HINGKOLI ( 1301182033 )
- ANA MARIA SENGGA ( 1301182044 )

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI


UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2014

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa kerena atas rahmat,
anugerah, serta bimbinganNya , penulis dapat menyelesaikan penulisan
makalah DIMENSI PENGASUHAN DALAM KELUARGA ini dengan baik
dan tepat pada waktunya.
Penulis sadar, dalam penulisa makala ini penulis memiliki keterbatasan
dalam penyajian materi dan obyeknya.
Untuk itu Penulis sangat mengharapkan usul, saran, atau kritikan yang
bersifat membangun, demi kemajuan penulis , dan kematangan meteri ke
depannya.

Kupang,
..2014

Penulis

BAB I

PENDAHULUAN
I.

LATAR BELAKANG

Pendidikan merupakan suatu usaha manusia untuk membina kepribadiannya agar


sesuai dengan norma-norma atau aturan di dalam masyarakat. Setiap orang dewasa di
dalam masyarakat dapat menjadi pendidik, sebab pendidik merupkan suatu perbuatan
sosial yang mendasar untuk petumbuhan atau perkembangan anak didik menjadi
manusia
yang
mampu
berpikir
dewasa
dan
bijak.
Orang tua sebagai lingkungan pertama dan utama dimana anak berinteraksi sebagai
lembaga pendidikan yang tertua, artinya disinilah dimulai suatu proses pendidikan.
Sehingga orang tua berperan sebagai pendidik bagi anak-anaknya. Lingkungan keluarga
juga dikatakan lingkungan yang paling utama, karena sebagian besar kehidupan anak di
dalam keluarga, sehingga pendidikan yang paling banyak diterima anak adalah dalam
keluarga. Menurut Hasbullah (1997), dalam tulisannya tentang dasar-dasar ilmu
pendidikan, bahwa keluarga sebagai lembaga pendidikan memiliki beberapa fungsi yaitu
fungsi dalam perkembangan kepribadian anak dan mendidik anak dirumah; fungsi
keluarga/orang tua dalam mendukung pendidikan di sekolah.
Kesalahan interaksi dalam keluarga yang dikarenakan kurang optimalnya anggota
keluarga dalam melaksanakan peran dan fungsinya masing-masing dapat menimbulkan
berbagai permasalahan dalam keluarga. Pandangan konstruksi perkembangan percaya
bahwa ketika individu itu tumbuh mereka mendapatkan model berhubungan dengan
orang lain. Ada dua variasi utama dalam pandangan ini yang satu menekankan
kontinuitas dan stabilitas dalam hubungan (pandangan kontinuoitas) dan satu lagi
berfokus pada diskontinuitas dan perubahan dan hubungan (pandangan diskontinuitas).
Bagi sebagian orang, peran orang tua direncanakan dan dikoordinasikan dengan baik.
Bagi orang lain, peran orang tua datang sebagai kejutan. Ada banyak mitos tentang
pengasuhan, termasuk mitos bahwa kelahiran anak akan menyelamatkan perkawinan
yang gagal. Tren yang makin berkembang adalah memandang orang tua sebagai manajer
atas kehidupan anak.

II.

PERMASALAHAN

Seiring dengan perkembangan waktu ada beberapa yang berubah dalam


perannya. Sebagian penelitian menunjukan bahwa ibu yang bekerja diluar rumah
secara umum tidak memiliki efek yang buruk terhadap perkembangan anak.
Namun dalam keadan tertentu efek negatif dari ibu yang di bekerja ditemukan,
seperti ketika ibu bekerja lebih dari 30 jam pada tahun pertama kehidupan bayi.
Keluarga dalam keadaan bercerai menunjukan lebih banyak masalah penyesuaian
dibanding anak-anak dari keluarga yang tidak bercerai. Seperti keluarga yang
bercerai, anak-anak dalam keluarga tiri memiliki lebih banyak masalah
dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga utuh. Keluarga berpendapatan tinggi
lebih cenderung untuk menggunakan disiplin yang menimbulkan internalisasi;
keluarga berpendapatan rendah cenderung menggunakan disiplin yang mendorong
eksternalisasi. Dari berbagai permasalahan tersebut diatas maka tulisan ini akan
menjawab beberapa pertanyaan berikut :
1. Bagaimana peranan keluarga dalam perkembangan anak ?
2. Bagaimana bentuk pola pengasuhan keluarga dalam konteks perlindungan
anak?

III. TUJUAN PENULISAN


Tulisan ini bertujuan untuk :
1. Menggambarkan peranan keluarga dalam perkembangan anak.
2. Menggambarkan bentuk pola pengasuhan keluarga dalam konteks
perlindungan anak

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Pengasuhan
Pengasuhan erat kaitannya dengan kemampuan suatu keluarga atau rumah tangga dan
komunitas dalam hal memberikan perhatian, waktu dan dukungan untuk memenuhi
kebutuhan fisik, mental, dan sosial anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan
serta bagi anggota keluarga lainnya (Engel, 1997). Orangtua dalam pengasuhan memiliki
beberapa definisi yaitu ibu, ayah, atau seseorang yang akan membimbing dalam
kehidupan baru, seorang penjaga, maupun seorang pelindung. Orangtua adalah seseorang
yang mendampingi dan membimbing semua tahapan pertumbuhan anak, yang merawat,
melindungi, mengarahkan kehidupan baru anak dalam setiap tahapan perkembangannya
(Brooks, 2001).
Brooks (2001) juga mendefinisikan pengasuhan sebagai sebuah proses yang merujuk
pada serangkaian aksi dan interaksi yang dilakukan orangtua untuk mendukung
perkembangan anak. Proses pengasuhan bukanlah sebuah hubungan satu arah yang mana
orangtua mempengaruhi anak namun lebih dari itu, pengasuhan merupakan proses
interaksi antara orangtua dan anak yang dipengaruhi oleh budaya dan kelembagaan sosial
dimana anak dibesarkan.
Pengasuhan merupakan proses yang panjang, maka proses pengasuhan akan mencakup ;
1.) Interaksi antara anak, orang tua, dan masyarakat lingkungannya.
2.) Penyesuaian kebutuhan hidup dan temperamen anak dengan orang tuanya.
3.) Pemenuhan tanggung jawab untuk membesarkan dan memenuhi kebutuhan anak.
4.) Proses mendukung dan menolak keberadaan anak dan orang tua,
5.) Proses mengurangi resiko dan perlindungan terhadap individu dan lingkungan
sosialnya (Berns 1997).
Hoghughi (2004) menyebutkan bahwa pengasuhan mencakup beragam aktifitas
yang bertujuan agar anak dapat berkembang secara optimal dan dapat bertahan hidup
dengan baik. Prinsip pengasuhan menurut Hoghughi tidak menekankan pada siapa
(pelaku) namun lebih menekankan pada aktifitas dari perkembangan dan pendidikan
anak. Oleh karenanya pengasuhan meliputi pengasuhan fisik, pengasuhan emosi dan
pengasuhan sosial.
Beberapa definisi tentang pengasuhan tersebut menunjukkan bahwa pengasuhan
merupakan sebuah proses interaksi yang terus menerus antara orangtua dengan anak yang
bertujuan untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal, baik
Secara fisik, mental maupun sosial, sebagai sebuah proses interaksi dan sosialisasi yang
tidak bisa dilepaskan dari sosial budaya dimana anak dibesarkan.

B. Pola Asuh Orangtua

B.1. Definisi Pola Asuh Orangtua


Pola asuh orangtua merupakan segala bentuk dan proses interaksi yang terjadi antara
orangtua dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam keluarga yang akan
memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak (Baumrind dalam Irmawati,
2002). Menurut Darling, (1999), pola asuh adalah aktivitas kompleks yang melibatkan
banyak perilaku spesifik yang bekerja secara individual dan bersama-sama untuk
mempengaruhi anak.
Hubungan baik yang tercipta antara anak dan orangtua akan menimbulkan
perasaan aman dan kebahagiaan dalam diri anak. Sebaliknya hubungan yang buruk akan
mendatangkan akibat yang sangat buruk pula, perasaan aman dan kebahagiaan yang
seharusnya dirasakan anak tidak lagi dapat terbentuk, anak akan mengalami trauma
emosional yang kemudian dapat ditampilkan anak dalam berbagai bentuk tingkah laku
seperti menarik diri dari lingkungan, bersedih hati, pemurung, dan sebagainya. Pola asuh
orangtua merupakan pola interaksi antara anak dengan orangtua bukan hanya pemenuhan
kebutuhan fisik (seperti makan, minum, dan lain-lain) dan kebutuhan psikologis (seperti
rasa aman, kasih sayang, dan lain-lain), tetapi juga mengajarkan norma-norma yang
berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan (Hurlock, 1994).
Pola asuh adalah suatu cara orangtua menjalankan peranan yang penting bagi
perkembangan anak selanjutnya, dengan memberi bimbingan dan pengalaman serta
memberikan pengawasan agar anak dapat menghadapi kehidupan yang akan datang
dengan sukses, sebab di dalam keluarga yang merupakan kelompok sosial dalam
kehidupan individu, anak akan belajar dan menyatakan dirinya sebagai manusia sosial
dalam hubungan dan interaksi dengan kelompok (Meuler, 1987 dalam Iswantini, 2002).
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pola asuh orangtua
adalah cara yang dipakai oleh orangtua dalam mendidik dan memberi bimbingan dan
pengalaman serta memberikan pengawasan kepada anak-anaknya
agar kelak menjadi orang yang berguna, serta tidak hanya memenuhi kebutuhan
fisik dan psikis melainkan juga menanamkan norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat yang akan menjadi faktor penentu bagi anak-anaknya dalam
menginterpretasikan, menilai dan mendeskripsikan kemudian memberikan tanggapan dan
menentukan sikap maupun berperilaku.

B.2. Dimensi pola asuh


Menurut (Baumrind, 1983) ada dua dimensi besar pola asuh yang menjadi dasar
dari kecenderungan jenis kegiatan pengasuhan anak, yaitu :

a. Responsiveness atau Responsifitas

Dimensi ini berkenaan dengan sikap orangtua yang penuh kasih sayang,
memahami dan berorientasi pada kebutuhan anak. Sikap hangat yang ditunjukkan
orangtua pada anak sangat berperan penting dalam proses sosialisasi antara orangtua
dengan anak. Diskusi sering terjadi pada keluarga yang orangtuanya responsif terhadap
anak anak mereka, selain itu juga sering terjadi proses memberi dan menerima secara
verbal diantara kedua belah pihak. Namun pada orangtua yang tidak responsif terhadap
anak anaknya, orangtua bersikap membenci, menolak atau mengabaikan anak.
Orangtua dengan sikap tersebut sering menjadi penyebab timbulnya berbagai masalah
yang dihadapi anak seperti kesulitan akademis, ketidakseimbangan hubungan dengan
orang dewasa dan teman sebaya sampai dengan masalah delikuensi. Menurut (Baumrind,
1983 dalam Berk, 2000) responsiveness atau responsifitas terdiri atas :
1) Clarity of communication (menuntut anak berkomunikasi secara jelas), yaitu orangtua
meminta pendapat anak yang disertai alasan yang jelas ketika anak menuntut pemenuhan
kebutuhannya, menunjukkan kesadaran orangtua untuk medengarkan atau menampung
pendapat, keinginan atau keluhan anak, dan juga kesadaran orangtua dalam memberikan
hukuman kepada anak bila diperlukan.
2) Nurturance (upaya pengasuhan), yaitu orangtua menunjukkan ekspresi kehangatan dan
kasih sayang serta keterlibatan orangtua terhadap kesejahteraan dan kebahagiaan anak
dan menunjukkan rasa bangga akan prestasi yang diperoleh anak. Orangtua mampu
mengekspresikan cinta dan kasih sayang melalui tindakan dan sikap yang
mengekspresikan kebanggaan dan rasa senang atas keberhasilan yang dicapai anakanaknya.

b. Demandingness atau tuntutan


Untuk mengarahkan perkembangan sosial anak secara positif, kasih sayang dari
orangtua belumlah cukup. Kontrol dari orangtua dibutuhkan untuk mengembangkan anak
agar anak menjadi individu yang kompeten baik secara intelektual maupun sosial.
Menurut (Baumrind, 1983 dalam Berk, 2000) demandingness atau tuntutan terdiri atas :
1) Demand for maturity (menuntut anak bersikap dewasa), yaitu orangtua menekankan
pada anak untuk mengoptimalkan kemampuannya agar menjadi lebih dewasa dalam
segala hal. Orangtua memberikan tekanan terhadap anak untuk dapat meningkatkan
kemampuan mereka dalam aspek sosial, intelektual dan emosional. Orangtua pun
menuntut kemandirian yang meliputi pemberian kesempatan kepada anak-anaknya untuk
membuat keputusannya sendiri.
2) Control (kontrol), yaitu menunjukkan upaya orangtua dalam menerapkan kedisiplinan
pada anak sesuai dengan patokan orangtua yang kaku yang sudah di buat sebelumnya.
Orangtua juga terlihat berusaha untuk membatasi kebebasan, inisiatif dan tingkah laku
anaknya. Orangtua memiliki kemampuan untuk menahan tekanan dari anak, dan
konsisten dalam menjalankan aturan. Mengontrol tindakan didefinisikan sebagai upaya

orangtua untuk memodifikasi ekspresi ketergantungan anak, agresivitas atau perilaku


bermain di samping untuk meningkatkan internalisasi anak terhadap standar yang
dimiliki orangtua terhadap anak.

B.3. Gaya Pola Asuh Orangtua


Gaya pola asuh adalah kumpulan dari sikap, praktek dan ekspresi nonverbal
orangtua yang bercirikan kealamian dari interaksi orangtua kepada anak sepanjang situasi
yang berkembang (Darling & Steinberg, 1999). Gaya konseptual pola asuh Baumrind
didasarkan pada pendekatan tipologis pada studi praktek sosialisasi keluarga. Pendekatan
ini berfokus pada konfigurasi dari praktek pola asuh yang berbeda dan asumsi bahwa
akibat dari salah satu praktek tersebut tergantung sebagian pada pengaturan kesemuanya.
Variasi dari konfigurasi elemen utama pola asuh (seperti kehangatan, keterlibatan,
tuntutan kematangan, dan supervisi) menghasilkan variasi dalam bagaimana seorang anak
merespon pengaruh orangtua. Dari perspektif ini, gaya pola asuh dipandang sebagai
karakteristik orangtua yang membedakan keefektifan dari praktek sosialisasi keluarga dan
penerimaan anak pada praktek tersebut (Darling & Steinberg, 1999).
Tipologi gaya pola asuh Baumrind (1971) mengidentifikasi tiga pola yang berbeda secara
kualitatif pada otoritas orangtua, yaitu authoritarian parenting, authoritative parenting
dan permissive parenting. Menurut (Baumrind, 1971 dalam Berk, 2000), ada tiga tipe
pola asuh orangtua:
a. Pola asuh authoritarian, yaitu pola asuh yang penuh pembatasan dan hukuman
(kekerasan) dengan cara orangtua memaksakan kehendaknya, sehingga orangtua
dengan pola asuh authoritarian memegang kendali penuh dalam mengontrol anakanaknya. Authoritarian mengandung demanding dan unresponsive. Yang dicirikan
dengan orangtua yang selalu menuntut anak tanpa memberi kesempatan pada anak
untuk mengemukakan pendapatnya, tanpa disertai dengan komunikasi terbuka
antara orangtua dan anak juga kehangatan dari orangtua. Pola asuh authoritarian
ditandai dengan ciri-ciri sikap orangtua yang kaku dan keras dalam menerapkan
peraturan-peraturan maupun disiplin. Orangtua bersikap memaksa dengan selalu
menuntut kepatuhan anak, agar bertingkah laku seperti yang dikehendaki oleh
orangtuanya. Karena orangtua tidak mempunyai pegangan mengenai cara
bagaimana mereka harus mendidik, maka timbul berbagai sikap orangtua yang
mendidik menurut apa yang dinggap terbaik oleh mereka sendiri, diantaranya
adalah dengan hukuman dan sikap acuh tak acuh, sikap ini dapat menimbulkan
ketegangan dan ketidak nyamanan, sehingga memungkinkan kericuhan di dalam
rumah (Baumrind, 1971 dalam Berk, 2000). Menurut Stewart dan Koch (1983),
orangtua yang menerapkan pola asuh otoriter mempunyai ciri sebagai berikut:
1.) Kaku
2) Tegas
3.) Suka menghukum
4.) Kurang ada kasih sayang serta simpatik

5.) Orangtua memaksa anak-anak untuk patuh pada nilai-nilai mereka, serta
mencoba membentuk lingkah laku sesuai dengan yang orangtua inginkan serta
cenderung mengekang keinginan anak

6.) Orangtua tidak mendorong serta memberi kesempatan kepada anak untuk
mandiri dan jarang memberi pujian
7.) Hak anak dibatasi tetapi dituntut tanggung jawab seperti anak dewasa.

b. Pola asuh authoritative, yaitu pola asuh yang memberikan dorongan pada anak
untuk mandiri namun tetap menerapkan berbagai batasan yang akan mengontrol
perilaku mereka. Adanya saling memberi dan saling menerima, mendengarkan dan
didengarkan. Pola ini lebih memusatkan perhatian pada aspek pendidikan daripada
aspek hukuman, orangtua memberikan peraturan yang luas serta memberikan
penjelasan tentang sebab diberikannya hukuman serta imbalan tersebut.
Authoritative mengandung demanding dan responsive dicirikan dengan adanya
tuntutan dari orang tua yang disertai dengan komunikasi terbuka antara orangtua
dan anak, mengharapkan kematangan perilaku pada anak disertai dengan adanya
kehangatan dari orangtua. Jadi penerapan pola asuh authoritatif dapat memberikan
keleluasaan anak untuk menyampaikan segala persoalan yang dialaminya tanpa
ada perasaan takut, keleluasaan yang diberikan orangtua tidak bersifat mutlak akan
tetapi adanya kontrol dan pembatasan berdasarkan norma-norma yang ada
(Baumrind, 1971 dalam Berk, 2000). Menurut Stewart dan Koch (1983)
menyatakan ciri-cirinya adalah:
1.) Bahwa orangtua yang demokratis memandang sama kewajiban dan hak antara
orangtua dan anak.
2.) Secara bertahap orangtua memberikan tanggung jawab bagi anak-anaknya
terhadap segala sesuatu yang diperbuatnya sampai mereka menjadi dewasa.
3.) Mereka selalu berdialog dengan anak-anaknya, saling memberi dan menerima,
selalu mendengarkan keluhan-keluhan dan pendapat anak-anaknya.
4.) Dalam bertindak, mereka selalu memberikan alasannya kepada anak, mendorong
anak saling membantu dan bertindak secara obyektif, tegas tetapi hangat dan penuh
pengertian.
c. Pola asuh permissive, yaitu pola asuh yang menekankan pada ekspresi diri dan
regulasi diri anak. Mengizinkan anak untuk memonitor aktivitas mereka sendiri
sebanyak mungkin tanapa adanya batasan dari orangtua (Baumrind, 1989 dalam
Papalia, 2008). Maccoby dan Martin (dalam Santrock, 2002) membagi pola asuh ini
menjadi dua: neglectful parenting dan indulgent parenting. Pola asuh yang
neglectful yaitu bila orangtua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak (tidak
peduli). Pola asuh ini menghasilkan anak-anak yang kurang memiliki kompetensi
sosial terutama karena adanya kecenderungan kontrol diri yang kurang. Pola asuh
yang indulgent yaitu bila orangtua sangat terlibat dalam kehidupan anak, namun
hanya memberikan kontrol dan tuntutan yang sangat minim (selalu menuruti atau

terlalu membebaskan) sehingga dapat mengakibatkan kompetensi sosial yang


tidak adekuat karena umumnya anak kurang

mampu untuk melakukan kontrol diri dan menggunakan kebebasannya tanpa rasa
tanggung jawab serta memaksakan kehendaknya. Permissive mengandung
undemanding dan unresponsive (Baumrind, 1971 dalam Berk, 2000). Dicirikan
dengan orangtua yang bersikap mengabaikan dan lebih mengutamakan kebutuhan
dan keinginan orangtua daripada kebutuhan dan keinginan anak, tidak adanya
tuntutan larangan ataupun komunikasi terbuka antara orangtua dan anak. Hurlock
(1994) mengatakan bahwa pola asuhan permisif bercirikan :
1.) Adanya kontrol yang kurang
2.) Orangtua bersikap longgar atau bebas
3.) Bimbingan terhadap anak kurang.

B.4.Faktorfaktor yang mempengaruhi pola asuh orangtua


Adapun faktor yang mempengaruhi pola asuh anak adalah (Edwards, 2006):
a. Pendidikan orangtua
Pendidikan dan pengalaman orangtua dalam perawatan anak akan mempengaruhi
persiapan mereka menjalankan pengasuhan. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan
untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan peran pengasuhan antara lain: terlibat aktif
dalam setiap pendidikan anak, mengamati segala sesuatu dengan berorientasi pada
masalah anak, selalu berupaya menyediakan waktu untuk anak-anak dan menilai
perkembangan fungsi keluarga dan kepercayaan anak (Edwards, 2006). Latar belakang
pendidikan orangtua, informasi yang didapat oleh orangtua tentang cara mengasuh anak,
kultur budaya, kondisi lingkungan sosial, ekonomi akan mempengaruhi bagaimana
orangtua memberikan pengasuhan pada anak-anak mereka (Winengan, 2007). Orangtua
yang sudah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak akan lebih siap
menjalankan peran asuh, selain itu orangtua akan lebih mampu mengamati tanda-tanda
pertumbuhan dan perkembangan yang normal (Supartini, 2004).
b. Lingkungan
Faktor sosial, ekonomi, lingkungan, budaya dan pendidikan memberikan
kontribusi pada kualitas pengasuhan orangtua (Zevalkinki, 2007). Pengasuhan merupakan
proses yang panjang, maka proses pengasuhan akan mencakup 1) interaksi antara anak,
orang tua, dan masyarakat lingkungannya, 2) penyesuaian kebutuhan hidup dan
temperamen anak dengan orang tuanya, 3) pemenuhan tanggung jawab untuk
membesarkan dan memenuhi kebutuhan anak, 4) proses mendukung dan menolak
keberadaan anak dan orang tua, serta 5) proses mengurangi resiko dan perlindungan
tehadap individu dan lingkungan sosialnya (Berns 1997). Lingkungan banyak
mempengaruhi perkembangan anak, maka tidak mustahil jika lingkungan juga ikut serta
mewarnai pola-pola pengasuhan yang diberikan orangtua terhadap anaknya (Edwards,
2006).

c. Budaya
Sering kali orangtua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam
mengasuh anak, kebiasaan-kebiasaan masyarakat disekitarnya dalam mengasuh anak,

karena pola-pola tersebut dianggap berhasil dalam mendidik anak kearah kematangan
(Edwards, 2006). Orangtua mengharapkan kelak anaknya dapat diterima dimasyarakat
dengan baik, oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam mengasuh
anak juga mempengaruhi setiap orangtua dalam memberikan pola asuh terhadap
anaknya (Anwar,2000).
Budaya yang ada di dalam suatu komunitas menyediakan seperangkat
keyakinan, yang mencakup (a) pentingnya pengasuhan; (b) peran anggota keluarga (c)
tujuan pengasuhan; (d) metode yang digunakan dalam penerapan disiplin kepada
anak; dan (e) peran anak di dalam masyarakat(Brooks, 2001). Oleh karenanya, bila
budaya yang ada mengandung seperangkat keyakinan yang dapat melindungi
perkembangan anak, maka nilai-nilai pengasuhan yang diperoleh orangtua
kemungkinan juga akan berdampak positif terhadap perkembangan anak. Sebaliknya,
bila ternyata seperangkat keyakinan yang ada dalam budaya masyarakat setempat
justru memperbesar munculnya faktor resiko maka nilai-nilai pengasuhan yang
diperoleh orangtua pun akan menyebabkan perkembangan yang negatif pada anak
(Suhartono, 2007).

BAB III
PEMBAHASAN
Gaya Pengasuhan Ibu dan Ayah Berbeda

Orangtua mungkin tidak menyadari, sebenarnya gaya pengasuhan antara ayah dan
ibu berbeda. Hal ini dikarenakan, pada dasarnya gender laki-laki dan perempuan berbeda,
baik dalam pola kehidupan, latar belakang maupun pekerjaannya. Perbedaan pada gaya
ayah dan ibu sangat wajar, mengingat pada bapak-bapak, secara fisik memang lebih kuat
dari ibu-ibu. Selain itu, secara umum bapak-bapak adalah breadwinners (pencari nafkah,
Red.) dalam keluarga. Namun begitu, keduanya tetap harus sinergis dalam membangun
kehidupan anak. ayah dan ibu tetap memiliki peranan yang sama besarnya dalam
membangun anak. Kalau ayah lebih kepada membangun visi dan misi, dan menumuhkan
kompetensi dan percaya diri. Ibu lebih kepada memberikan kasih sayang, sentuhan,
memeluk, memberikan contoh kasih sayang, ataupun mengajak anak ngobrol (Verauli,
2012). Secara umum, ayah dan ibu memiliki peran yang sama dalam pengasuhan anakanaknya. Namun ada sedikit perbedaan sentuhan dari apa yang ditampilkan oleh ayah dan
ibu (Verauli, 2009).
a. Peran ibu
1. Menumbuhkan perasaan mencintai dan mengasihi pada anak melalui interaksi yang
jauh melibatkan sentuhan fisik dan kasih sayang.
2. Menumbuhkan kemampuan berbahasa pada anak melalui kegiatan-kegiatan bercerita
dan mendongeng, serta melalui kegiatan yang lebih dekat dengan anak, yakni berbicara
dari hati ke hati kepada anak.
3. Mengajarkan tentang peran jenis kelamin perempuan, tentang bagaimana harus
bertindak sebagai perempuan, dan apa yang diharapkan oleh lingkungan sosial dari
seorang perempuan.
b. Peran ayah
1. Menumbuhkan rasa percaya diri dan kompeten pada anak melalui kegiatan bermain
yang lebih kasar dan melibatkan fisik baik di dalam maupun di luar ruang.
2. Menumbuhkan kebutuhan akan hasrat berprestasi pada anak melalui kegiatan
mengenalkan anak tentang berbagai kisah tentang cita-cita.
3. Mengajarkan tentang peran jenis kelamin laki-laki, tentang bagaimana harus bertindak
sebagai laki-laki, dan apa yang diharapkan oleh lingkungan sosial dari laki-laki.
Peran orangtua dalam pengasuhan anak berubah seiring pertumbuhan dan
perkembangan anak. Karenanya, diharapkan orangtua bisa memahami fase-fase
perkembangan anak dan mengimbanginya. Menurut pakar psikologi perkembangan Jean
Piaget, anak perlu melakukan aksi tertentu atas lingkungannya untuk dapat
mengembangkan cara pandang yang kompleks dan cerdas atas setiap pengalamannya.
Sudah menjadi tugas orangtua untuk memberi anak pengalaman yang dibutuhkan anak
agar kecerdasannya berkembang sempurna (Verauli, 2009). Erik Erikson (dalam Verauli,

2012) selaku pelopor dunia psikologi anak juga menegaskan bahwa cinta seorang ayah
dan kasih seorang ibu berbeda secara kualitatif. Berikut ini keterlibatan seorang ayah
membuat perbedaan positif dalam kehidupan anak:
1. Gaya komunikasi berbeda

Ayah memiliki gaya komunikasi berbeda. Anak akan lebih berpengalaman, lebih
luas interaksi relasional.
2. Gaya bermain berbeda
Ayah mengajarkan melempar, menggelitik, menendang, bergulat untuk
pengendalian diri.
3. Membangun rasa percaya diri
Meski gaya pengasuhan sendiri dapat membahayakan tubuh, namun ayah
mengambil risiko untuk membangun kemandirian dan kepercayaan diri. Sementara anak
tetap aman namun memperluas pengalaman dan meningkatkan kepercayaan diri mereka.
4. Gaya disiplin unik
Ayah cenderung mengamati dan menegakkan aturan secara sistematis dan tegas.
mengajar anak-anak konsekuensi dari benar dan salah.
5. Persiapkan anak untuk dunia nyata
Ayah terlibat membantu anak menyikapi perilaku. Misalnya ayah lebih mungkin
dibandingkan ibu untuk memberitahu anak-anak tentang persiapan realitas dan kerasnya
dunia.
Masing-masing orangtua tentu saja memiliki pola asuh tersendiri dalam
mengarahkan perilaku anak. Hal ini sangat dipengaruh oleh latar belakang pendidikan
orangtua, mata pencaharian hidup, keadaan sosial ekonomi, adat istiadat, dan sebagainya.
Dengan kata lain, pola asuh orangtua petani tidak sama dengan pedagang. Demikian pula
pola asuh orangtua berpendidikan rendah berbeda dengan pola asuh orangtua yang
berpendidikan tinggi. Ada yang menerapkan dengan pola yang keras/kejam, kasar, dan
tidak berperasaan. Namun, ada pula yang memakai pola lemah lembut, dan kasih sayang.
Ada pula yang memakai sistem militer, yang apabila anaknya bersalah akan langsung
diberi hukuman dan tindakan tegas yang biasa disebut pola otoriter (Clemes, 2001).
Kedekatan hubungan ibu dan anak sama pentignya dengan ayah dan anak
walaupun secara kodrati akan ada perbedaan. Didalam rumah tangga ayah dapat
melibatkan dirinya melakukan peran pengasuhan kepada anaknya. Seorang ayah tidak
saja bertanggung jawab dalam memberikan nafkah tetapi dapat pula bekerja sama dengan
ibu dalam melakuan perawatan anak. Gaya pengasuhan anak merupakan seluruh interaksi
antara subjek dan objek berupa bimbingan, pengarahan dan pengawasan terhadap
aktivitas objek sehari-hari yang berlangsung secara rutin sehingga membentuk suatu pola
dan merupakan usaha yang diarahkan untuk mengubah tingkah laku sesuai dengan

keinginan si pendidik atau pengasuh. Peran ibu adalah sebagai pelindung dan pengasuh.
Seorang ibu, tua maupun muda, kaya atau miskin secara naluriah tahu tentang garis-garis
besar dan fungsinya sehari-hari dalam keluarga. Ibu adalah pendidik pertama dan utama
dalam keluarga, khususnya bagi anak-anak yang berusia dini. Oleh karena itu

keterlibatan ibu dalam mengasuh dan membesarkan anak sejak masih bayi dapat
membawa pengaruh positif maupun negatif bagi perkembangan anak di masa yang akan
datang (Berk, 2000).
Praktek Pengasuhan Pada Anak-anak Akhir
Orangtua dari anak yang berprestasi menciptakan lingkungan untuk belajar.
Mereka menyediakan tempat untuk belajar, menyimpan buku serta berbagai peralatan,
mereka menentukan waktu makan, tidur, dan pekerjaan rumah, mereka memonitor
seberapa banyak acara televisi yang ditonton anak mereka dan apa yang dilakukan anak
mereka setelah sekolah dan mereka menunjukkan ketertarikan kepada kehidupan anak
mereka dengan berbincang-bincang tentang sekolah dan terlibat dalam aktivitas sekolah
(Cooper dkk, 1998 dalam Papalia, 2008) .
Orangtua memotivasi anaknya dengan cara ekstrinsik maupun intrinsik. Orangtua
yang menggunakan cara ekstrinsik yaitu dengan cara memberikan uang atau barang
apabila sang anak mendapatkan peringkat yang bagus atau menghukumnya apabila
peringkat sang anak buruk. Orangtua yang menggunakan cara intrinsik yaitu dengan cara
memuji kemampuan ataukerja keras mereka. Motivasi intrinsik akan lebih efektif untuk
pembelajaran sang anak (Miserandino, 1996 dalam Papalia, 2008).
Gaya pengasuhan akan mempengaruhi motivasi. Dalam sebuah studi penelitian
anak kelas lima, hasil menunjukkan bahwa orangtua otoritarian, selalu mengurung anak
agar mengerjakan pekerjaan rumah mereka, mengawasi dengan ketat, dan menyandarkan
diiri kepada motivasi ekstrinsik cendrung memiliki anak berprestasi rendah. Begitu pula
dengan orangtua yang permissive yang lepas tangan tidak tampak peduli dengan yang
dilakukan sang anak di sekolah. Orangtua yang autoritative cendrung memiliki anak yang
bersikap terbuka pada orangtuanya, orangtua memberikan kesempatan bagi anak-anaknya
namun tidak lepas dari pengawasan (Bronstein & Ginsburg, 1996 dalam Papalia, 2008).

BAB IV
PENUTUP
4.1. KESIMPULAN

Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang posisi strategis bagi
perkembangan kepribadian anak. keluarga yang ideal akan membentuk pribadi-pribadi
anak-anak yang ideal pula dan pada akhirnya anak-anak yang ideal akan mewujudkan
masa depan masyarakat dan Negara yang ideal juga. Perwujudan kesejahteraan keluarga
tidak terlepas dari pelaksanaan fungsi-fungsi keluarga yaitu dalam suatu keluarga
diharapkan ada suatu keharmonisan, hubungan yang penuh kemesraan dan kasih sayang
yang merupakan dambaan setiap orang. Keharmonisan tersebut akan diperlihatkan
melalui jalinan relasi baik yang bersifat fisik maupun relasi psikis.
Pengasuhan (parenting) keluarga pada anak-anak memerlukan sejumlah
kemampuan interpersonal dan mempunyai tuntutan emosional yang besar, namun sangat
sedikit pendidikan formal mengenai tugas ini. Kebanyakan orang tua mempelajari
praktek pengasuhan dari orang tua mereka sendiri. Sebagian praktik tersebut mereka
terima, namun sebagian lagi mereka tinggalkan. Suami dan istri mungkin saja membawa
pandangan yang berbeda mengenai pengasuhan ke dalam pernikahan.

4.2. SARAN
1. Pengasuhan dalam keluarga tidak boleh di abaikan atau berjalan seadanya, namun
pengasuhan adalah tugas utama didalam hidup berumah tangga dan jangan sampai
kesibukan pekerjaan melupakan tugas pengasuhan.
2. Konflik perkawinan, berbagai bentuk kekerasan, dan penggunaan hukuman harus
dihindari dalam proses pengasuhan terhadap anak.
3. Pemerintah, diharapkan dapat membuat kebijakan yang ketat berupa perumusan
undang-undang dalam hal pengasuhan keluarga pada anaknya karena apabila
pengasuhan anak baik, maka akan tumbuh menjadi manusia yang baik dan
berprestasi serta akan memajukan negara di masa mendatang.
Sosialisasi pentingnya pola pengasuhan keluarga terhadap anak harus terus
dilakukan baik oleh pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
1. HURLOCK B. ELISABETH. 1996. PERKEMBANGAN ( SUATU
PENDEKATAN SEPANJANG RENTANG KEHIDUPAN ).JAKARTA;
PENERBIT ERLANGGA.

2. SANTOSO SLAMET. 2010.TEORI PSIKOLOGI SOSIAL( DIMENSI


PERAN SOSIAL).BANDUNG; PT.REFIKA-ADITAMA
3. BOWES & HAYES, (1999), Children, Families and Communities, Contexts
and Consequences, Oxford University Press.
4. Undang-undang No 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.
5. Undang-undang No 23 Tahun 2005 Tentang Perlindungan Anak.
6. Undang-undang No.11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial

Anda mungkin juga menyukai