Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN KASUS

1.

IDENTITAS PASIEN
Nama
:SA
Umur
: 26 Tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Registrasi
: 693103
Status
: BPJS

2.

ANAMNESIS
a. Keluhan utama
:
Nyeri pada panggul kanan
b. Anamnesis terpimpin :
Dialami sejak 8 jam sebelum masuk rumah sakit akibat kecelakaan lalu
lintas.
c. Mekanisme trauma :
Pasien sedang mengendarai motor dan tiba- tiba bertabrakan dengan mobil
dari arah depan. Pasien tidak dapat menggerakkan sendi panggulnya.
d. Keluhan lain
:
Riwayat pingsan (-), mual (-) muntah (-). BAB kesan normal, BAK kesan
lancar normal.
e. Riwayat Pengobatan :
Riwayat penanganan awal sebelumnya (-) di RSI. Faisal dan pindah atas
permintaan sendiri ke RS Wahidin Sudirohusodo.

3.

PEMERIKSAAN FISIS
PRIMARY SURVEY
A : Clear
B : P = 16x/min, Spontan, regular, simetris, tipe thoracoabdominal
C : TD = 110/70 mmHg, Nadi 86x/mnt, kuat angkat, reguler
D : GCS 15 (E4M6V5), pupil isokor 2,5/2,5 mm, refleks cahaya +/+
E : Temperatur 36,50 C (Axilla)
SECONDARY SURVEY
Right Hip Joint
Inspeksi : Tampak deformitas, pinggul dalam posisi fleksi, adduksi, internal
rotasi, edema (-), hematoma (+)
Palpasi
: Nyeri tekan (+)
NVD
: Sensibilitas dalam batas normal. Pulsasi arteri dorsalis pedis dan
arteri posterior tibialis teraba, CRT< 2 detik.

ROM

: Gerakan aktif dan pasif pada hip joint tidak dievaluasi karena
nyeri.

LLD :
ALL
TLL
LLD

RIGHT
81 cm
76 cm

LEFT
84 cm
79 cm
3 cm

4. FOTO KLINIS
- Tampak Anterior

5. FOTO RADIOLOGI

X-ray Pelvis AP
Pada pemeriksaan Radiologi :
Dislokasi hip joint dextra
6.

7.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan
WBC
RBC

Hasil
13,6
4,3

Nilai normal
4,00-10,0
4,00-6,00

HGB

13,4

12,0-16,0

HCT
PLT

44,5
33,0

37,0-48,0
150-400

CT

1000

4-10

BT
HBsAg

200
Non Reactive

1-7
Non Reactive

RESUME
Laki-laki 26 tahun datang ke Rumah Sakit dengan nyeri pada pinggul

kanan sejak 8 jam yang sebelum masuk rumah sakit akibat kecelakaan lalu
lintas. Mekanisme trauma : Tabrakan mobil. Riwayat muntah (-) dan pingsan (-).
Riwayat penanganan awal sebelumnya (-).
Pada hip dextra, pada inspeksi tampak deformitas, pinggul dalam posisi
fleksi, adduksi, internal rotasi, edema (-), hematoma (+), nyeri tekan (+).
Sensibilitas dalam batas normal. Pulsasi arteri dorsalis pedis dan arteri posterior
tibialis teraba, CRT< 2 detik. pergerakan aktif dan pasif pada hip joint sulit
dievaluasi karena nyeri.
Pada pemeriksaan laboratorium, terdapat peningkatan leukosit (13,6x
103/mm3). Pada pemeriksaan radiologi X-Ray Pelvis AP tampak dislokasi hip
joint dextra.
8. DIAGNOSIS
Posterior Dislocation of Right Hip Joint
9.

TERAPI
a. IVFD
b. Analgesik
c. Rencana : Closed Reduction Right Hip Joint

d. Open Reduction (bila tindakan closed reduction tidak berhasil)

POSTERIOR HIP DISLOCATION


A. PENDAHULUAN
Dislokasi berarti bahwa permukaan sendi tergeser sama sekali dan
tidak lagi bersentuhan; subluksasi berarti pergeseran dalam tingkat yang lebih
kecil, sedemikian sehingga permukaan sendi sebagian masih beraposisi.
Karena fungsi ligament adalah juga untuk mencegah perpindahan atau
pergerakan sendi yang abnormal, semua cedera sendi atau terkilir (sprains)
menghasilkan beberapa derajat subluksasi. Dislokasi yang komplit, atau
luxation, terjadi saat ada pemisahan yang komplit dari ujung tulang.
(Selvadurai 2012)
Dislokasi pinggul traumatik hampir selalu disebabkan oleh trauma
berenergi tinggi. Adanya cedera dislokasi menandakan bahwa ada gaya yang
mencapai 90 pound atau bahkan lebih pada mekanisme traumatik atau adanya
patologi

yang

mendasari

yang

menyebabkan

ketidakstabilan

sendi.

Penumpang yang tidak menggunakan sabuk pengaman lebih memiliki resiko


mengalaminya. Dislokasi anterior dihasilkan dari rotasi eksternal dan abduksi
panggul. Kasus dislokasi posterior mendekati 90% kasus, sementara dislokasi
anterior hanya 10%.2,3 Cedera nervus sciatic mungkin terjadi pada 10-20%
kasus dan lebih dari setengah pasien juga mengalami fraktur lain. (Daverport
2013)
Secara khas, pasien dengan dislokasi pinggul posterior traumatik,
nampak dengan pemendekan ekstremitas bawah yang terjadi pada posisi fleksi
pinggul, adduksi, dan rotasi internal. Adanya caput femoris kadang-kadang

dapat dipalpasi pada bokong ipsilateral. Hal ini dapat dilihat pada pasien
dengan dislokasi pinggul sederhana, kehadiran patah tulang pada femur
ipsilateral atau pelvis akan menunjukkan posisi yang tidak klasik.
Meskipun jarang, dislokasi pinggul bisa menimbulkan komplikasi
yang berbahaya seperti avaskular necrosis caput femoris, kelumpuhan nervus
sciatic sementara atau permanen, myositis ossificans dan arthrosis degeneratif
posttraumatik. Dislokasi pinggul posterior meregangkan dan memelintir arteri
iliac external, femoris comunis, dan circumflex sehingga terjadi perubahan
aliran darah extraosseous. Meskipun sirkulasi kontralateral dari pembuluh
gluteal mungkin mempertahankan aliran darah intraosseous, relokasi yang
tertunda mungkin menghasilkan kerusakan arteri yang progresif dan tertunda
yang bisa menjadi osteonecrosis) (Davaport 2013)
Daya yang besar dari suatu hantaman dapat menyebabkan dilokasi
pinggul, dapat disertai dengan fragmen kecil dari tulang biasa terdapat pada
caput femoris maupun pada dinding acetabulum. Jika terdapat fragmen besar
maka digolongkan sebagai fraktur dislokasi. (Selvadurai 2012)
B. EPIDEMIOLOGI
Dengan meningkatnya angka kecelakaan lalu lintas, dislokasi pinggul
traumatik makin sering ditemukan. Dislokasi pinggul ini dapat terjadi pada
semua kelompok usia. Dislokasi pinggul posterior merupakan dislokasi yang
paling sering terjadi. Dislokasi pinggul posterior terjadi sebanyak 90% dari
kasus, sedangkan dislokasi pinggul anterior terjadi sebanyak 10% dari seluruh
kasus dislokasi pinggul traumatik.(Subagyo 2013)
Dokumentasi yang sangat sedikit melaporkan terjadinya dislokasi
pinggul selama olahraga berlangsung. Sepakbola dan rugby adalah olahraga
yang dilaporkan dapat menjadi penyebab terjadinya dislokasi pinggul.
Diestimasikan sekitar 3% dari cedera akibat sepakbola diantarnya fraktur
pinggul atau dislokasi. Rugby diikuti oleh permainan ski dan papan salju
merupakan olahraga kedua penyebab tersering dislokasi pinggul.(Gammons
2013)
C. ANATOMI

Articulatio coxae atau sendi pinggul adalah persendian caput femoris


yang berbentuk hemisphere dengan acetabulum os coxae yang berbentuk
mangkuk dengan tipe ball and socket. Permukaan sendi acetabulum
berbentuk tapal kuda dan dibagian bawah membentuk takik disebut incisura
acetabuli. Rongga acetabulum diperdalam dengan adanya fibrocartilago
dibagian pinggrinya yang disebut sebagai labrum acetabuli. Labrum ini
menghubungkan incisura acetabuli dan disini dikenal sebagai ligamentum
transversum acetabuli. Persendian ini dibungkus oleh capsula dan melekat di
medial pada labrum acetabuli.(Richard 2006)

Gambar 1: Sendi Pinggul (Hip Joint) posisi lateral


Ligamentum
Jaringan ikat sendi di sebelah depan diperkuat oleh sebuah ligamentum
yang kuat dan berbentuk Y, yakni ligamentum ileofemoral yang melekat pada
SIAI dan pinggiran acetabulum serta pada linea intertrochanterica di sebelah
distal. Ligamentum ini mencegah ekstensi yang berlebihan sewaktu berdiri.
(Richard 2006)
Di bagian inferior sendi dijumpai ligamentum pubofemoral yang
berbentuk segitiga. Origin ligamentum melekat pada ramus superior ossis
pubis

dan

insertio

melekat

dibawah

pada

bagian

bawah

linea

intertrochanterica. Ligamentum ini membatasi gerakan ekstensi dan abduksi.


(Moore 2002)

Di bahagian belakang, sendi pinggul diperkuatkan oleh ligamentum


ischiofemorale yang berbentuk spiral dan melekat pada corpus ischium dekat
margo acetabuli. Ligamentum ini mencegah terjadinya hieprekstensi dengan
cara memutar caput femoris ke arah medial ke dalam acetabulum sewaktu
diadakan ekstensi pada articulatio coxae. (Moore 2002)
Ligamentum teres femoris ini melekat melalui puncaknya pada fovea
kapitis yang ada di caput femoris dan melalui dasarnya pada ligamentum
transversum dan pinggir incisura acetabuli. Ligamentum ini terletak dalam
sendi dan dan dibungku soleh membrana sinovial.(Richard 2006)

Gambar 2: Ligamentum-ligamentum pada pelvis


- Batas-batas articulatio coxae
Anterior: m.Iliopsoas, m.pectineus, m. rectus femoris.

M. Iliopsoas dan

m.pectineus memisahkan a.v. femoralis dari sendi.


Posterior: m.Obturatorius internus, m.gemelli, dan m.quadratus femoris
memisahkan sendi dari n.ischiadicus.
Superior: m. piriformis dan musculus gluteus minimus
Inferior: tendon m.obturatorius externus
- Pendarahan
Cabang cabang arteria circumflexa femoris lateralis dan arteria circumflexia
-

femoris medialis dan arteri untuk caput femoris, cabang arteria obturatoria.
Persyarafan
Nervus femoralis (cabang ke m.rectus femoris, nervus obturatorius (bagian
anterior) nervus ischiadicus (saraf ke musculus quadratus femoris), dan nervus
gluteus superior.

Gambar 4: Pleksus lumbosakralis (Thompson 2013)

Gambar 5: Nervus ischiadicus

Gambar 6: Perjalanan nervus ischiadicus (Thompson 2013)


D. DEFINISI DISLOKASI
Dislokasi adalah pindahnya permukaan sentuh tulang yang menyusun
sendi. Cedera ini dihasilkan oleh gaya yang menyebabkan sendi melampaui
batas normal anatomisnya. Pindahnya ujung tulang yang incomplete disebut
dislokasi tidak sempurna atau subluksasi. Karena fungsi ligament adalah juga
untuk mencegah perpindahan atau pergerakan sendi yang abnormal.
Semua cedera sendi atau terkilir (sprains) menghasilkan beberapa
derajat subluksasi. Dislokasi yang komplit, atau luxation, terjadi saat ada
pemisahan yang komplit dari ujung tulang. (Booher 1985)

E. DIAGNOSIS
a.) Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis

Pasien yang mengalami dislokasi pinggul akan merasakan nyeri yang


sangat hebat. Pasien tidak dapat menggerakan tungkai yang terkena dan jika
terdapat cedera saraf dapat menyebabkan pasien kehilangan sensasi sensorik
dari saraf yang terkena.(Januar 2013)
Dislokasi posterior terjadi bila ada hantaman dengan energy tinggi
pada lutut dimana saat sendi pinggul dan lutut sedang dalam keadaan fleksi.
Dislokasi energy rendah biasa terjadi pada anak-anak dan dewasa yang
menggunakan prosthetic hips. Dislokasi spontan terjadi sampai 10 % pada
pasien setelah total hip replacement.(Robert Simon 2012)
Penderita biasanya datang setelah suatu trauma yang hebat disertai nyeri
dan deformitas pada daerah sendi pinggul. Tanda-tanda yang dapat dilihat
pada kasus dislokasi murni:
a) Sendi panggul dalam posisi adduksi, fleksi dan rotasi internal (Tanda
Klasik)
b) Terdapat pemendekan (shortening) anggota gerak bawah.
c) Sendi panggul teraba menonjol ke belakang
Tetapi, kalau salah satu tulang panjang mengalami fraktur biasanya femur
cedera pinggul dengan mudah dapat terlewat. Pedoman yang terbaik adalah
memotret pelvis dengan sinar-X pada tiap kasus cedera yang berat. Tungkai
bawah harus diperiksa untuk mencari ada tidak nya tanda-tanda cedera saraf
sciatikus. (Rasjad 2007).

10

Gambar 7: Gambaran klinis dislokasi hip posterior(Thompson 2013)


Jika salah satu tulang panjang mengalami fracture (biasanya femur),
dislokasi pinggul seringkali tidak terdiagnosis. Pedoman yang baik adalah
dengan pemeriksaan pelvis dengan pemeriksaan radiologis.Tungkai bawah
juga harus diperiksa untuk mencari apakah terjadi cedera syaraf ischiadicus.

Gambar 8: Cedera nervus ischiadicus. (Kenneth 2007)


Klasifikasi
Epstein dan Thompson (1951) menganjurkan suatu klasifikasi yang
dapat membantu perencaan tata laksana. Klasifikasi ini dibuat sebelum
ditemukannya CT-scan. Berikut ini adalah klasifikasi dislokasi pinggul
posterior menurut Epstein dan Thompson:

Tipe I

acetabulum.
Tipe II
: Dislokasi dengan fragmen besar di dinding posterior acetabulum.

: Dislokasi sederhana, dengan/tanpa fragmen di dinding posterior

11

Tipe III
Tipe IV
Tipe V

: Dislokasi dengan kominusi dinding posterior acetabulum.


: Dislokasi dengan fracture dasar (lantai) acetabulum.
: Dislokasi dengan fracture caput femoris, yang diklasifikasikan

menurut Pipkin (1957)

Gambar 9: Klasifikasi Thompson-Epstein

Gambar 10: Klasifikasi Pipkin untuk fraktur kaput femoris.(Selvadurai 2012)


b.) Pemeriksaan penunjang
Pada foto anteroposterior (AP), caput femoris terlihat keluar dari
acetabulum dan berada di atas acetabulum. Segmen atap acetabulum atau
caput femoris dapat ditemukan patah dan bergeser. Foto oblik dapat digunakan
untuk mengetahui ukuran fragmen. CT scan adalah cara terbaik untuk melihat
fracture acetabulum atau setiap fragmen tulang. (Subagyo 2013)

12

Gambar 11: Foto pelvis dislokasi hip posterior (Gammons 2013)

Gambar 12: CT-scan dislokasi hip posterior


F. PENATALAKSANAAN
Dislokasi harus direduksi secepat mungkin di bawah anestesi umum.
Reduksi harus dilakukan dalam waktu 12 jam sejak terjadinya dislokasi. Pada
sebagian besar kasus dilakukan reduksi tertutup, namun jika reduksi tertutup
gagal sebanyak 2 kali maka harus dilakukan reduksi terbuka untuk mencegah
kerusakan caput femoris lebih lanjut. Sebelum melakukan reduksi, sebaiknya
dilakukan pemeriksaan neurovaskular. (Subagyo 2013)
Secara umum reduksi stabil namun pinggul yang mengalami cedera
perlu direhatkan. Cara yang paling sederhana adalah dengan pasang traksi dan
mempertahankannya selama 3 minggu. Gerakan dan latihan dimulai setelah
nyeri mereda. Pada akhir minggu ketiga pasien diperbolehkan berjalan dengan
kruk penopang (axillary crutch).
Pada tipe II, sering diterapi dengan reduksi terbuka dan fiksasi
anatomis pada fragmen yang terkena. Terutama jika sendi tidak stabil atau
fragmen besar tidak tereduksi dengan reduksi tertutup, reduksi terbuka dan
fiksasi internal dan dipertahankan selama 6 minggu diperlukan.
Pada cedera tipe III, umumnya diterapi dengan reduksi tertutup,
kecuali jika ada fragmen yang terjebak dalam asetabulum, maka dilakukan
tindakan reduksi terbuka dan pemasangan fiksasi interna dan traksi
dipertahankan selama 6 minggu.

13

Cedera tipe IV dan V awalnya diterapi dengan reduksi tertutup.


Fragmen caput femoris dapat tepat berada ditempatnya dan dapat dibuktikan
dengan foto atau CT-Scan pasca reduksi. Jika fragmen tetap tak tereduksi
maka dilakukan reduksi terbuka dengan caput femoris didislokasikan dan
fragmen diikat pada posisinya dengan sekrup countersunk. Pasca operasi
traksi dipertahankan selama 4 minggu, dan pembebanan ditunda selama 12
minggu.
Indikasi reduksi tertutup:
- Dislokasi dengan atau tanpa defisit neurologis jika tidak ada fraktur.
- Dislokasi yang disertai fraktur jika tidak terdapat defisit neurologis.
Kontraindikasi reduksi tertutup jika terdapat dislokasi pinggul terbuka.
Berikut ini adalah beberapa teknik yang dapat digunakan untuk mereduksi
dislokasi pinggul posterior sederhana (tipe I Epstein).

Manuver Allis

Gambar 13: Manuver allis pada dislokasi hip posterior (Subagyo 2013)

Manuver Stimson
Manuver ini menggunakan berat tungkai bawah dan gravitasi untuk
mengurangi dislokasi.

a. Pasien ditempatkan di atas meja dalam posisi telungkup.


b. Tungkai yang mengalami dislokasi digantungkan ke bawah dan

lutut

difleksikan.
c. Seorang asisten memegang tungkai yang sehat secara horizontal.

14

d. Operator tekanan ke bawah secara mantap pada lutut yang fleksi.


e. Posisi ini tetap dipertahankan hingga otot-otot relaksasi dan caput femoris
turun ke acetabulum.(Subagyo 2013)
Kadang-kadang dengan sedikit mengayunkan paha dapat mempercepat
reduksi.

Gambar 14: Manuver Stimson pada dislokasi hip posterior


Manuver Bigelow
Gambar 16: Manuver Bigelow pada dislokasi hip posterior

Setelah reduksi, pinggul diistirahatkan dengan pemasangan skin


traction selama tiga minggu. Beberapa hari setelah reduksi, gerakan aktif dan
pasif sendi pinggul dapat dimulai. Pada akhir minggu ketiga, pasien
diperbolehkan jalan menggunakan kruk penopang tanpa bertumpu pada sisi
yang mengalami dislokasi. Selama periode ini dapat dilakukan latihan aktif
terkontrol untuk mengembalikan fungsi sendi dan perkembangan tonus dan
kekuatan otot. Kerja ringan dapat dilanjutkan pada minggu ke 14-16 dan
aktivitas penuh dapat dilakukan 6-10 bulan setelah cedera. (Subagyo 2013)

15

Ikuti perkembangan pasien selama minimal 2 tahun, setiap


pemeriksaan rekam perkembangan range of motion dari sendi pinggul dan
lakukan pemeriksaan X-ray setiap 4-6 bulan untuk mengetahui ada tidaknya
necrosis avaskular dari caput femoris.
G. KOMPLIKASI
Adapun komplikasi dari dilokasi hip posterior adalah sebagai berikut:

Osteonekrosis terjadi pada 5 % dari 40 % kejadian dislokasi dengan resiko


yang meningkat pada reduksi yang dilakukan telah lebih dari 6-24 jam.

Osteoarthritis post traumatic merupakan komplikasi jangka panjang dari


dislokasi hip.

Dislokasi rekuren merupakan komplikasi yang jarang (<2%)

Kerusakan neovaskular, cedera n. ischiadicus terjadi 10% - 20% dari kejadian


dislokasi hip posterior.Terjadi karena regangan saraf karena caput yang kearah
posterior atau karena fragmen fraktur.

Fraktur caput femoris terjadi pada 10 % dari seluruh kejadian dislokasi


posterior hip.

Ossifikasi heterotopik

Tromboembolisme

H. PROGNOSIS
Setelah dislokasi pinggul, fungsi pinggul yang baik masih dapat
kembali asalkan tidak terjadi necrosis avaskular atau artritis traumatik dari
caput femoris. Reduksi awal telah terbukti sebagai cara terbaik untuk
mencegah necrosis avaskular dengan cara mempersingkat waktu terganggunya
sirkulasi caput femoris. Dalam tinjauan Stewart dan Milford dalam 128 kasus
fracture-dislokasi, mereka tidak mendapatkan hasil yang baik pada kasus
dislokasi yang direduksi lebih dari 24 jam. Mereka melaporkan necrosis
avaskular pada 15,5% kasus yang diterapi dengan reduksi tertutup dan pada
40% kasus yang diterapi dengan reduksi terbuka. Dalam laporannya mengenai

16

262 kasus dislokasi dan fracture-dislokasi, Brav menemukan kejadian necrosis


avaskular sebesar 17,6% pada pinggul yang direduksi dalam waktu 12 jam
setelah cedera dan 56,9% pada pinggul yang direduksi setelah 12 jam.
Hougard dan thomsen melaporkan necrosis avaskular sebesar 4% pada
pinggul yang direduksi dalam waktu 6 jam dan 58% pada pinggul yang tetap
mengalami dislokasi selama lebih dari 6 jam. (Subagyo 2013)
Penundaan weight bearing memberikan dampak yang kecil dalam
perkembangan necrosis avaskular. Brav, dalam laporan mengenai 523 pasien,
menemukan insiden necrosis avaskular sebesar 25,7% pada kelompok pasien
yang memulai menopang berat tubuh sebelum 12 minggu dan 26,6% pada
kelompok pasien memulai menopang berat tubuh setelah 12 minggu.
(Subagyo 2013)

DAFTAR PUSTAKA
1. Davenport,

D.

Joint

Rredution,

Hip

Dislocation,

Posterior.

Diunduhdari http://emedicine.medscape.com/article/109225overview.Diakses 27-2-2013


2. Gammons, M. (2013). "Hip Dislocation." Emedicine: 1-2.
3. Januar, R. (2013). "Hip Dislocation." American Academy of Orthopaedic
Surgeons1: 1.
4. Moore, Keith L dan Anne M. R. Agur. 2002. Anatomi Klinis Dasar.
Jakarta : EGC.

17

5. Rasjad, Chairuddin. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi Edisi Ketiga. Jakarta:


PTYarsif Watampone. 2007. Hal 395-7
6. Robert Simon, S. S. (2012). Emergency Orthopedics the Extremities.
Lower Extremity. R. Simon. UK, Grawnhills.
7. Selvadurai, N. (2012). Dislokasi of the Hip Joint. Apley's System of
Orthopaedics and Fractures. D. Warwick. UK, An Hachette UK Company.
8. Snell, Richard S, MD, PHD. 2006. Clinical Anatomy by Systems.
Lippincott William & Wilkins, United States of America
9. Subagyo (2013). "Dislokasi Sendi Pinggul." Traumatology & Sports
Medicine2: 1-2.
10. Thompson, J. (2013). The Hip. Netter's Concise Orthopaedic Anatomy. F.
Netter. Philadelphia, Saunders Elsevier.
11. Koval, Kenneth J.; Zuckerman, Joseph D. Handbook of Fractures, 3rd
Edition. 2006.

18

Anda mungkin juga menyukai