Anda di halaman 1dari 13

Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia.

Orde Baru
menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Lahirnya Orde Baru
diawali dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966.[1] Orde Baru berlangsung dari tahun
1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal
ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela.
Kelahiran Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar)
Orde Baru lahir dari diterbitkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun
1966, yang kemudian menjadi dasar legalitasnya. Orde Baru bertujuan meletakkan kembali tatanan
seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945.
Kelahiran Supersemar terjadi dalam serangkaian peristiwa pada tanggal 11 Maret 1966. Saat
itu, Sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dipimpin oleh Presiden Soekarno sedang
berlangsung.[2] Di tengah acara, ajudan presiden melaporkan bahwa di sekitar istana terdapat pasukan
yang tidak dikenal.[1] Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Presiden Soekarno
menyerahkan pimpinan sidang kepada Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II Dr. J. Laimena dan
berangkat menuju Istana Bogor, didampingi oleh Waperdam I Dr Subandrio, dan Waperdam II
Chaerul Saleh.[2] Dr. J. Laimena sendiri menyusul presiden segera setelah sidang berakhir.[2]
Di tempat lain, tiga orang perwira tinggi, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir
Jenderal M. Yusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud bertemu dengan Letnan Jenderal Soeharto
selaku Menteri Panglima Angkatan Darat dan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk meminta izin menghadap presiden.[2] Segera setelah mendapat
izin, di hari yang sama tiga perwira tinggi ini datang ke Istana Bogor dengan tujuan melaporkan
kondisi di ibukota Jakarta meyakinkan Presiden Soekarno bahwa ABRI, khususnya AD, dalam
kondisi siap siaga.[2] Namun, mereka juga memohon agar Presiden Soekarno mengambil tindakan
untuk mengatasi keadaan ini.[2]
Menanggapi permohonan ini, Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah yang ditujukan
kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan
dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, dan stabilitas pemerintahan demi keutuhan bangsa
dan negara Republik Indonesia.[2] Perumusan surat perintah ini sendiri dibantu oleh tiga perwira
tinggi ABRI, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal M. Yusuf, Brigadir Jenderal
Amir Machmud, dan Brigadir Jenderal Subur, Komandan Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa.
[2] Surat perintah inilah yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret 1966 atau
Supersemar.[2]
Tindak lanjut Supersemar
Letnan Jenderal Soeharto
Sebagai tindak lanjut keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret, Letnan Jenderal Soeharto
mengambil beberapa tindakan. Pada tanggal 12 Maret 1966, ia mengeluarkan surat keputusan yang
berisi pembubaran dan larangan bagi PKI serta ormas-ormas yang bernaung dan berlindung atau
senada dengannya untuk beraktivitas dan hidup di wilayah Indonesia.[2] Keputusan ini kemudian
diperkuat dengan Keputusan Presiden/Pangti ABRI ABRI/Mandataris MPRS No.1/3/1966 tanggal 12
Maret 1966.[3] Keputusan pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya mendapat sambutan dan
dukungan dari seluruh rakyat karena merupakan salah satu realisasi dari Tritura.[3]

Pada tanggal 18 Maret 1966, Soeharto mengamankan 15 orang menteri yang dinilai
tersangkut dalam G 30 S/PKI dan diragukan etika baiknya yang dituangkan dalam Keputusan
Presiden No. 5 Tanggal 18 Maret 1966.[3] Ia kemudian memperbaharui Kabinet Dwikora yang
disempurnakan dan membersihkan lembaga legislatif, termasuk MPRS dan DPRGR, dari orang-orang
yang dianggap terlibat G 30 S/PKI.[3] Keanggotaan PKI dalam MPRS dinyatakan gugur.[3] Peran
dan kedudukan MPRS juga dikembalikan sesuai dengan UUD 1945, yakni di atas presiden, bukan
sebaliknya.[4] Di DPRGR sendiri, secara total ada 62 orang anggota yang diberhentikan.[3] Soeharto
juga memisahkan jabatan pimpian DPRGR dengan jabatan eksekutif sehingga pimpinan DPRGR
tidak lagi diberi kedudukan sebagai menteri.[3]
Pada tanggal 20 Juni hingga 5 Juli 1955, diadakanlah Sidang Umum IV MPRS dengan hasil
sebagai berikut:

Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 tentang Pengesahan dan Pengukuhan Supersemar.[5]


Ketetapan MPRS No. X/MPRS/1966 mengatur Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara
Tingkat Pusat dan Daerah.[5]
Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan Politik Luar Negeri RI Bebas
Aktif.[5]
Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang Pembentukan Kabinet Ampera.[5]
Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Tap. MPRS yang
Bertentangan dengan UUD 1945.[5]
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan
Perundang-undangan di Indonesia.[5]
Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Pernyataan PKI dan
Ormas-Ormasnya sebagai Organisasi Terlarang di Indonesia.[5]

Hasil dari Sidang Umum IV MPRS ini menjadi landasan awal tegaknya Orde Baru dan dinilai
berhasil memenuhi dua dari tiga tuntutan rakyat (tritura), yaitu pembubaran PKI dan pembersihan
kabinet dari unsur-unsur PKI.[5]
Pembentukan Kabinet Ampera
Dalam rangka memenuhi tuntutan ketiga Tritura, Soeharto dengan dukungan Ketetapan
MPRS No. XIII/MPRS/1966 membentuk kabinet baru yang diberi nama Kabinet Ampera.[6] Tugas
utama Kabinet Ampera adalah menciptakan stabilitas ekonomi dan stabilitas politik, atau dikenal
dengan nama Dwidarma Kabinet Ampera.[6] Program kerja yang dicanangkan Kabinet Ampera
disebut Caturkarya Kabinet Ampera, yaitu:[6]

memperbaiki perikehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan;


melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu seperti tercantum dalam Ketetapan MPRS
No. XI/MPRS/1966 (5 Juli 1968);
melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional sesuai
dengan Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966;
melanjutkan perjuangan antiimperialisme dan antikolonialisme dalam segala bentuk dan
manifestasinya.

Kabinet Ampera dipimpin oleh Presiden Soekarno, namun pelaksanaannya dilakukan oleh
Presidium Kabinet yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto.[6] Akibatnya, muncul dualisme
kepemimpinan yang menjadi kondisi kurang menguntungkan bagi stabilitas politik saat itu.[6]

Akhirnya pada 22 Februari 1967, untuk mengatasi situasi konflik yang semakin memuncak
kala itu, Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto.[6] Penyerahan ini
tertuang dalam Pengumuman Presiden Mandataris MPRS, Panglima Tertinggi ABRI Tanggal 20
Februari 1967.[6] Pengumuman itu didasarkan atas Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 yang
menyatakan apabila presiden berhalangan, pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966 berfungsi sebagai
pemegang jabatan presiden.[6] Pada 4 Maret 1967, Jenderal Soeharto memberikan keterangan
pemerintah di hadapan sidang DPRHR mengenai terjadinya penyerahan kekuasaan.[6] Namun,
pemerintah tetap berpendirian bahwa sidang MPRS perlu dilaksanakan agar penyerahan kekuasaan
tetap konstitusional.[6] Karena itu, diadakanlah Sidang Istimewa MPRS pada tanggal 7-12 Maret
1967 di Jakarta, yang akhirnya secara resmi mengangkat Soeharto sebagai presiden Republik
Indonesia hingga terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.[6]
Kebijakan ekonomi
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)
Di awal kekuasaannya, Pemerintah Orde Baru mewarisi kemerosotan ekonomi yang
ditinggalkan oleh pemerintahan sebelumnya.[7] Kemerosotan ekonomi ini ditandai oleh rendahnya
pendapatan perkapita penduduk Indonesia yang hanya mencapai 70 dollar AS, tingginya inflasi yang
mencapai 65%, serta hancurnya sarana-sarana ekonomi akibat konflik yang terjadi di akhir
pemerintahan Soekarno.[7]
Untuk mengatasi kemerosotan ini, pemerintah Orde Baru membuat program jangka pendek
berdasarkan Tap. MPRS No. XXII/MPRS/1966 yang diarahkan kepada pengendalian inflasi dan
usaha rehabilitasi sarana ekonomi, peningkatan kegiatan ekonomi, dan pencukupan kebutuhan
sandang.[8] Program jangka pendek ini diambil dengan pertimbangan apabila inflasi dapat
dikendalikan dan stabilitas tercapai, kegiatan ekonomi akan pulih dan produksi akan meningkat.[8]
Mulai tahun 1 April 1969, pemerintah menciptakan landasan untuk pembangunan yang
disebut sebagai Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).[8] Repelita pertama yang mulai
dilaksanakan tahun 1969 tersebut fokus pada rehabilitasi prasarana penting dan pengembangan iklim
usaha dan investasi.[8] Pembangunan sektor pertanian diberi prioritas untuk memenuhi kebutuhan
pangan sebelum membangun sektor-sektor lain.[8] Pembangunan antara lain dilaksanakan dengan
membangun prasana pertanian seperti irigasi, perhubungan, teknologi pertanian, kebutuhan
pembiayaan, dan kredit perbankan.[8] Petani juga dibantu melalui penyediaan sarana penunjang
utama seperti pupuk hingga pemasaran hasil produksi.[8]
Repelita I membawa pertumbuhan ekonomi naik dari rata-rata 3% menjadi 6,7% per tahun,
pendapatan perkapita meningkat dari 80 dolar AS menjadi 170 dolar AS, dan inflasi dapat ditekan
menjadi 47,8% pada akhir Repelita I di tahun 1974.[8] Repelita II (1974-1979) dan Repelita III (19791984) fokus pada pencapaian pertumbuhan ekonomi, stabilitas nasional, dan pemerataan
pembangunan dengan penekanan pada sektor pertanian dan industri yang mengolah bahan mentah
menjadi bahan baku.[8] Pada tahun 1984, Indonesia berhasil mencapai status swasembada beras dari
yang tadinya merupakan salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia di tahun 1970-an.[8]
Fokus Repelita IV (1984-1989) dan Repelita V (1989-1994), selain berusaha mempertahankan
kemajuan di sektor pertanian, juga mulai bergerak menitikberatkan pada sektor industri khususnya
industri yang menghasilkan barang ekspor, industri yang menyerap tenaga kerja, industri pengolahan
hasil pertanian, dan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri.[9]

Swasembada beras
Sejak awal berkuasa, pemerintah Orde Baru menitikberatkan fokusnya pada pengembangan
sektor pertanian karena menganggap ketahanan pangan adalah prasyarat utama kestabilan ekonomi
dan politik.[10] Sektor ini berkembang pesat setelah pemerintah membangun berbagai prasarana
pertanian seperti irigasi dan perhubungan, teknologi pertanian, hingga penyuluhan bisnis.[10]
Pemerintah juga memberikan kepastian pemasaran hasil produksi melalui lembaga yang diberi nama
Bulog (Badan Urusan Logistik).[10]
Mulai tahun 1968 hingga 1992, produksi hasil-hasil pertanian meningkat tajam.[10] Pada
tahun 1962, misalnya, produksi padi hanya mencapai 17.156 ribu ton.[10] Jumlah ini berhasil
ditingkatkan tiga kali lipat menjadi 47.293 ribu ton pada tahun 1992, yang berarti produksi beras per
jiwa meningkat dari 95,9 kg menjadi 154,0 kg per jiwa.[10] Prestasi ini merupakan sebuah prestasi
besar mengingat Indonesia pernah menjadi salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia pada
tahun 1970-an.[10]
Pemerataan kesejahteraan penduduk
Pemerintah juga berusaha mengiringi pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan
kesejahteraan penduduk melalui program-program penyediaan kebutuhan pangan, peningkatan gizi,
pemerataan pelayanan kesehatan, keluarga berencana, pendidikan dasar, penyediaan air bersih, dan
pembangunan perumahan sederhana.[10] Strategi ini dilaksanakan secara konsekuen di setiap pelita.
[11] Berkat usaha ini, penduduk Indonesia berkurang dari angka 60% di tahun 1970-an ke angka 15%
di tahun 1990-an.[11] Pendapatan perkapita masyarakat juga naik dari yang hanya 70 dolar per tahun
di tahun 1969, meningkat menjadi 600 dolar per tahun di tahun 1993.[10]
Pemerataan ekonomi juga diiringi dengan adanya peningkatan usia harapan hidup, dari yang
tadinya 50 tahun di tahun 1970-an menjadi 61 tahun di 1992.[10] Dalam kurun waktu yang sama,
angka kematian bayi juga menurun dari 142 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup menjadi 63 untuk
setiap 1.000 kelahiran hidup.[10] Jumlah penduduk juga berhasil dikendalikan melalui program
Keluarga Berencana (KB).[10] Selama dasawarsa 1970-an, laju pertumbuhan penduduk mencapai
2,3% per tahun. Pada awal tahun 1990-an, angka tersebut dapat diturunkan menjadi 2,0% per tahun.
[10]
Penataan Kehidupan Politik
Pembubaran PKI dan Organisasi massanya
Dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, serta stabilitas pemerintahan, Soeharto
sebagai pengemban Supersemar telah mengeluarkan kebijakan:

Membubarkan PKI pada tanggal 12 Maret 1966 yang diperkuat dengan Ketetapan MPRS No
IX/MPRS/1966
Menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang di Indonesia
Pada tanggal 8 Maret 1966 mengamankan 15 orang menteri yang dianggap terlibat Gerakan
30 September 1965.

Penyederhanaan Partai Politik


Pada tahun 1973 setelah dilaksanakan pemilihan umum yang pertama pada masa Orde Baru
pemerintahan pemerintah melakukan penyederhaan dan penggabungan (fusi) partai- partai politik

menjadi tiga kekuatan social politik. Penggabungan partai-partai politik tersebut tidak didasarkan
pada kesamaan ideology, tetapi lebih atas persamaan program. Tigakekuatan social politik itu adalah:

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan dari NU, Parmusi, PSII, dan
PERTI
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari PNI, Partai Katolik, Partai
Murba, IPKI, dan Parkindo
Golongan Karya

Penyederhanaan partai-partai politik ini dilakukan pemerintah Orde Baru dalam


upayamenciptakan stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengalaman sejarah pada masa
pemerintahan sebelumnya telah memberikan pelajaran, bahwa perpecahan yang terjadi dimasa Orde
Lama, karena adanya perbedaan ideologi politik dan ketidakseragaman persepsiserta pemahaman
Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia.
Pemilihan Umum
Selama masa Orde Baru pemerintah berhasil melaksanakan enam kali pemilihan umum, yaitu
tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu yang diselenggarakan selama
masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memperoleh mayoritas suara dan memenangkan Pemilu.
[butuh rujukan] Pada Pemilu 1997 yang merupakan pemilu terakhir masa pemerintahan Orde Baru,
Golkar memperoleh 74,51 % dengan perolehan 325 kursi di DPR, dan PPP memperoleh
5,43 %dengan peroleh 27 kursi.[butuh rujukan] Dan PDI mengalami kemorosotan perolehan suara
hanya mendapat11 kursi. Hal disebabkan adanya konflik intern di tubuh partai berkepala banteng
tersebut, dan PDI pecah menjadi PDI Suryadi dan PDI Megawati Soekarno Putri yang sekarang
menjadi PDIP .Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama masa pemerintahan Orde Baru telah
menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia telah berjalan dengan baik.[butuh rujukan]
Apalagi Pemilu berlangsung dengan asas LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia). Namun
dalamkenyataannya Pemilu diarahkan untuk kemenangan salah satu kontrestan Pemilu
yaituGolkar.Kemenangan Golkar yang selalu mencolok sejak Pemilu 1971 sampai dengan Pemilu
1997 menguntungkan pemerintah di mana perimbangan suara di MPR dan DPR didominasi oleh
Golkar. Keadaan ini telah memungkinkan Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia selama
enam periode, karena pada masa Orde Baru presiden dipilih oleh anggota MPR. Selain itu setiap
pertanggungjawaban, rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat
persetujuan MPR dan DPR tanpa catatan.[butuh rujukan]
Peran Ganda (Dwi Fungsi) ABRI
Untuk menciptakan stabilitas politik, pemerintah Orde Baru memberikan peran ganda kepada
ABRI, yaitu peran Hankam dan sosial. Peran ganda ABRI ini kemudian terkenal dengan sebutan Dwi
Fungsi ABRI. Timbulnya pemberian peran ganda pada ABRI karena adanya pemikiran bahwa TNI
adalah tentara pejuang dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan POLRI dalam pemerintahan adalah
sama. di MPR dan DPR mereka mendapat jatah kursi dengan cara pengangkatan tanpa melalui
Pemilu.[butuh rujukan] Pertimbangan pengangkatan anggota MPR/DPR dari ABRI didasarkan pada
fungsinya sebagai stabilitator dan dinamisator.Peran dinamisator sebanarnya telah diperankan ABRI
sejak zaman Perang Kemerdekaan. Waktu itu Jenderal Soedirman telah melakukannya dengan
meneruskan perjuangan, walaupun pimpinan pemerintahan telah ditahan Belanda. Demikian juga
halnya yang dilakukanSoeharto ketika menyelamatkan bangsa dari perpecahan setelah G 30 S PKI,
yang melahirkankan Orde Baru. Boleh dikatakan peran dinamisator telah menempatkan ABRI pada
posisiyang terhormat dalam percaturan politik bangsa selama ini.

Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)


Pada tanggal 12 April 1976 Presiden Soeharto mengemukakan gagasan mengenai pedoman
untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila, yang terkenal dengan nama Ekaprasatya Pancakarsa
atau Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).[butuh rujukan] Untuk mendukung
pelaksanaan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen, maka sejak
tahun 1978 pemerintah menyelenggarakan penataran P4 secara menyeluruh pada semua lapisan
masyarakat. Penataran P4 ini bertujuan membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi
Pancasila, sehingga dengan adanya pemahaman yang sama terhadap Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945 diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui
penegasan tersebut opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde
Baru.[butuh rujukan] Dan sejak tahun 1985 pemerintah menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal
dan kehidupan berorganisasi. Semua bentuk organisasi tidak boleh menggunakan asasnya selain
Pancasila. Menolak Pancasila sebagai sebagai asas tunggal merupakan pengkhianatan terhadap
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian Penataran P4 merupakan suatu bentuk
indoktrinasi ideologi, dan Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan
sistem sosial masyarakat Indonesia. Pancasila merupakan prestasi tertinggi Orde Baru, dan oleh
karenanya maka semua prestasi lainnya dikaitkan dengan nama Pancasila. Mulai dari sistem ekonomi
Pancasila, pers Pancasila, hubungan industri Pancasila, demokrasi Pancasila, dan sebagainya. Dan
Pancasila dianggap memiliki kesakralan (kesaktian) yang tidak boleh diperdebatkan.[butuh rujukan]
Penataan Politik Luar Negeri
Pada masa Orde Baru politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif kembali dipulihkan. Dan
MPR mengeluarkan sejumlah ketetapan yang menjadi landasan politik luar negeri Indonesia.
Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia harus didasarkan pada kepentingannasional, seperti
pembangunan nasional, kemakmuran rakyat, kebenaran, serta keadilan.[butuh rujukan]
Kembali menjadi anggota PBB
Pada tanggal 28 September 1966 Indonesia kembali menjadi anggota Perserikatan BangsaBangsa (PBB). Keputusan untuk kembali menjadi anggota PBB dikarenakan pemerintah sadar bahwa
banyak manfaat yang diperoleh Indonesia selama menjadi anggota pada tahun 1955-1964.[butuh
rujukan] Kembalinya Indonesia menjadi anggota PBB disambut baik oleh negara-negara Asia lainnya
bahkan oleh PBB sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan dipilihnya Adam Malik sebagai Ketua Majelis
Umum PBB untuk masa siding tahun 1974. Dan Indonesia juga memulihkanhubungan dengan
sejumlah negara seperti India, Thailand, Australia, dan negara-negara lainnya yang sempat renggang
akibat politik konfrontasi Orde Lama.
Normalisasi Hubungan dengan Negara lain
Pemulihan Hubungan dengan Singapura
Dengan perantaraan Dubes Pakistan untuk Myanmar, Habibur Rachman, hubungan Indonesia
dengan Singapura berhasil dipulihkan kembali.[butuh rujukan] Pada tanggal 2 Juni 1966 pemerintah
Indonesia menyampaikan nota pengakuan atas Republik Singapura kepada Perdana Menteri Lee Kuan
Yew. Dan pemerintah Singapura menyampaikan nota jawaban kesediaan untuk mengadakan
hubungan diplomatik dengan Indonesia.
Pemulihan Hubungan dengan Malaysia

Penandatanganan persetujuan normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia


Normalisasi hubungan Indonesia dengan Malaysia dimulai dengan diadakannya perundingan
di Bangkok pada 29 Mei- 1 Juni 1966 yang menghasilkan Perjanjian Bangkok. Isi perjanjian tersebut
adalah:

Rakyat Sabah diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan yang telah merekaambil
mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.
Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.
Tindakan permusuhan antara kedua belah pihak akan dihentikan.

Dan pada tanggal 11 Agustus 1966 penandatangan persetujuan pemulihan hubungan


Indonesia-Malaysia ditandatangani di Jakarta oleh Adam Malik (Indonesia) dan Tun Abdul Razak
(Malaysia).
Pembekuan Hubungan dengan RRT
Pada tanggal 1 Oktober 1967 Pemerintantah Republik Indonesia membekukan hubungan
diplomatik dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Keputusan tersebut dilakukan karena RRT telah
mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dengan cara memberikan bantuan kepada G 30 S PKI
baik untuk persiapan, pelaksanaan, maupun sesudah terjadinya pemberontakan tersebut.[butuh
rujukan] Selain itu pemerintah Indonesia merasa kecewa dengan tindakan teror yang dilakukan orangorang Cina terhadap gedung, harta, dan anggota-anggota Keduataan Besar Republik Indonesia di
Peking. Pemerintah RRT juga telah memberikan perlindungan kepada tokoh-tokoh G 30 S PKI di luar
negeri, serta secara terang-terangan menyokong bangkitnya kembali PKI. Melalui media massanya
RRT telah melakukan kampanye menyerang Orde Baru. Dan pada 30 Oktober 1967 Pemerintah
Indonesia secara resmi menutup Kedutaan Besar di Peking.[butuh rujukan]
Penataan Kehidupan Ekonomi
Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi
Untuk mengatasi keadaan ekonomi yang kacau sebagai peninggalan pemerintah Orde Lama,
pemerintah Orde Baru melakukan langkah-langkah:

Memperbaharui kebijakan ekonomi, keuangan, dan pembangunan. Kebijakan ini didasari oleh
Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966.[butuh rujukan]
MPRS mengeluarkan garis program pembangunan, yakni program penyelamatan, program
stabilisasi dan rehabilitasi.

Program pemerintah diarahkan pada upaya penyelamatan ekonomi nasional, terutama


stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Yang dimaksud dengan stabilisasi ekonomi berarti
mengendalikan inflasi agar harga barang-barang tidak melonjak terus. Dan rehabilitasi ekonomi
adalah perbaikan secara fisik sarana dan prasarana ekonomi. Hakikat dari kebijakan ini adalah
pembinaan sistem ekonomi berencana yang menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi ke arah
terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Langkah-langkah yang diambil
Kabinet Ampera yang mengacu pada Ketetapan MPRS tersebut adalah:

Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan


kemacetan. Adapun yang menyebabkan terjadinya kemacetan ekonomi tersebut adalah:
Rendahnya penerimaan negara.

Tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran negara.


Terlalu banyak dan tidak efisiennya ekspansi kredit bank.
Terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri.
Penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang berorientasi pada kebutuhan prasarana.
Debirokrasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian
Berorientasi pada kepentingan produsen kecil

Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut, maka pemerintah Orde Baru


menempuh cara-cara :

Mengadakan operasi pajak


Melaksanakan sistem pemungutan pajak baru, baik bagi pendapatan perorangan maupun
kekayaan dengan cara menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang.
Menghemat pengeluaran pemerintah (pengeluaran konsumtif dan rutin), serta menghapuskan
subsidi bagi perusahaan Negara.
Membatasi kredit bank dan menghapuskan kredit impor.

Program stabilsasi ini dilakukan dengan cara membentung laju inflasi. Dan pemerintah Orde
Baru berhasil membendung laju inflasi pada akhir tahun 1967-1968, tetapi harga bahan kebutuhan
pokok naik melonjak. Sesudah dibentuk Kabinet Pembangunan pada bulan Juli 1968, pemerintah
mengalihkan kebijakan ekonominya pada pengendalian yang ketat terhadap gerak harga barang
khususnya sandang, pangan, dan kurs valuta asing. Sejak saat itu ekonomi nasional relatif stabil,
sebab kenaikan harga bahan-bahan pokok dan valuta asing sejak tahun 1969 dapat dikendalikan
pemerintah.
Program rehabilitasi dilakukan dengan berusaha memulihkan kemampuan berproduksi.
Selama sepuluh tahun terakhir masa pemerintahan Orde Lama, Indonesia mengalami kelumpuhan dan
kerusakan pada prasarana social dan ekonomi. Lembaga perkreditan desa, gerakan koperasi, dan
perbankan disalahgunakan dan dijadikan alat kekuasaan oleh golongan dan kelompok kepentingan
tertentu. Dampaknya lembaga (negara) tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagai penyusun
perbaikan tata kehidupan rakyat.[butuh rujukan]
Kerjasama Luar Negeri
Pertemuan Tokyo
Selain mewariskan keadaan ekonomi yang sangat parah, pemerintahan Orde Lama juga
mewariskan utang luar negeri yang sangat besar yakni mencapai 2,2-2,7 miliar, sehingga pemerintah
Orde Baru meminta negara-negara kreditor untuk dapat menunda pembayaran kembali utang
Indonesia. Pada tanggal 19-20 September 1966 pemerintah Indonesia mengadakan perundingan
dengan negara-negara kreditor di Tokyo.[butuh rujukan] Pemerintah Indonesia akan melakukan usaha
bahwa devisa ekspor yang diperoleh Indonesia akan digunakan untuk membayar utang yang
selanjutnya akan dipakai untuk mengimpor bahan-bahan baku. Hal ini mendapat tanggapan baik dari
negara-negara kreditor. Perundinganpun dilanjutkan di Paris, Perancis dan dicapai kesepakatan
sebagai berikut

Pembayaran hutang pokok dilaksanakan selama 30 tahun, dari tahun 1970 sampai dengan
1999.
Pembayaran dilaksanakan secara angsuran, dengan angsuran tahunan yang sama besarnya.
Selama waktu pengangsuran tidak dikenakan bunga.

Pembayaran hutang dilaksanakan atas dasar prinsip nondiskriminatif, baik terhadap negara
kreditor maupun terhadap sifat atau tujuan kredit.
Pertemuan Amsterdam

Pada tanggal 23-24 Februari 1967 diadakan perundingan di Amsterdam, Belanda yang
bertujuan membicarakan kebutuhan Indonesia akan bantuan luar negeri serta kemungkinan pemberian
bantuan dengan syarat lunas, yang selanjutnya dikenal dengan IGGI (Intergovernmental Group for
Indonesia). Pemerintah Indonesia mengambil langkah tersebut untuk memenuhi kebutuhannya guna
pelaksanaan program-program stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi serta persiapan-persiapan
pembangunan.[butuh rujukan] Di samping mengusahakan bantuan luar negeri tersebut, pemerintah
juga berusaha dan telah berhasil mengadakan penangguhan serta memperingan syarat-syarat
pembayaran kembali (rescheduling) hutang-hutang peninggalan Orde Lama.[butuh rujukan] Melalui
pertemuan tersebut pemerintah Indonesia berhasil mengusahakan bantuan luar negeri.
Pembangunan Nasional
Trilogi Pembangunan
Setelah berhasil memulihkan kondisi politik bangsa Indonesia, maka langkah selanjutnya
yang ditempuh pemerintah Orde Baru adalah melaksanakan pembangunan nasional. Pembangunan
nasional yang diupayakan pemerintah waktu itu direalisasikan melalui Pembangunan Jangka pendek
dan Pembangunan Jangka Panjang.[butuh rujukan] Pambangunan Jangka Pendek dirancang melalui
Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Setiap Pelita memiliki misi pembangunan dalam rangka mencapai
tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sedangkan Pembangunan Jangka Panjang mencakup
periode 25-30 tahun. Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang
berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara.
Pembangunan nasional dilaksanakan dalam upaya mewujudkan tujuan nasional yang tertulis dalam
pembukaan UUD 1945 yaitu:

Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah Indonesia


Meningkatkan kesejahteraan umum
Mencerdaskan kehidupan bangsa
Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial

Pelaksanaan Pembangunan Nasional yang dilaksanakan pemerintah Orde Baru berpedoman


pada Trilogi Pembangunan dan Delapan jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut adalah
kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana politik dan ekonomi yang stabil. Isi
Trilogi Pembangunan adalah :

Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi
seluruh rakyat.
Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

Dan Delapan Jalur Pemerataan yang dicanangkan pemerintah Orde Baru adalah:

Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat khususnya pangan, sandang dan perumahan.
Pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan dan pelayanan kesehatan
Pemerataan pembagian pendapatan.

Pemerataan kesempatan kerja


Pemerataan kesempatan berusaha
Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda
dan kaum wanita.
Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah Tanah Air
Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
Pelaksanaan Pembangunan Nasional

Seperti telah disebutkan di muka bahwa Pembangunan nasional direalisasikan melalui


Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Dan Pembangunan Jangka Pendek
dirancang melalui program Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Selama masa Orde Baru, pemerintah
telah melaksanakan enam Pelita yaitu:
Pelita I
Pelita I dilaksanakan mulai 1 April 1969 sampai 31 Maret 1974, dan menjadi landasan awal
pembangunan masa Orde Baru. Tujuan Pelita I adalah meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus
meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan tahap berikutnya. Sasarannya adalah pangan, sandang,
perbaikan prasarana perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Titik
beratnya adalah pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan
ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih
hidup dari hasil pertanian.
Pelita II
Pelita II mulai berjalan sejak tanggal 1 April 1974 sampai 31 Maret 1979. Sasaran utama
Pelita II ini adalah tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana prasarana, mensejahterakan
rakyat, dan memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II dipandang cukup berhasil. Pada awal
pemerintahan Orde Baru inflasi mencapai 60% dan pada akhir Pelita I inflasi berhasil ditekan menjadi
47%. Dan pada tahun keempat Pelita II inflasi turun menjadi 9,5%.[butuh rujukan]
Pelita III
Pelita III dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 sampai 31 Maret 1984.[butuh rujukan]
Pelaksanaan Pelita III masih berpedoman pada Trilogi Pembangunan, dengan titik berat pembangunan
adalah pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan.
Pelita IV
Pelita IV dilaksanakan tanggal 1 April 1984 sampai 31 Maret 1989. Titik berat Pelita IV ini
adalah sektor pertanian untuk menuju swasembada pangan, dan meningkatkan industri yang dapat
menghasilkan mesin industri sendiri. Dan di tengah berlangsung pembangunan pada Pelita IV ini
yaitu awal tahun 1980 terjadi resesi.[butuh rujukan] Untuk mempertahankan kelangsungan
pembangunan ekonomi, pemerintah mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal. Dan pembangunan
nasional dapat berlangsung terus.
Pelita V
Pelita V dimulai 1 April 1989 sampai 31 Maret 1994. Pada Pelita ini pembangunan
ditekankan pada sector pertanian dan industri. Pada masa itu kondisi ekonomi Indonesia berada pada
posisi yang baik, dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 6,8% per tahun.[butuh rujukan] Posisi

perdagangan luar negeri memperlihatkan gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih
baik dibanding sebelumnya.
Pelita VI
Pelita VI dimulai 1 April 1994 sampai 31 Maret 1999. Program pembangunan pada Pelita VI
ini ditekankan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian, serta peningkatan
kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak
pembangunan.[butuh rujukan] Namun pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negaranegara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri
yang mengganggu perekonomian telah menyebabkan proses pembangunan terhambat, dan juga
menyebabkan runtuhnya pemerintahan Orde Baru.
Warga Tionghoa
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan
dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi,
yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara
terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini
diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa
tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang
hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin.[butuh rujukan] Mereka pergi hingga ke Mahkamah
Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa
Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan
Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia
yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer
Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana.
Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai
kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh
komunisme di Tanah Air.[butuh rujukan] Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka
berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh
komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk
menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.

Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru


Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari
media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah
satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat
penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor
Timur, dan Irian Jaya.[butuh rujukan] Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program
ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk
pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program

transmigrasi sama dengan jawanisasi yang sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak
semua transmigran itu orang Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk
konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan.[12] Sementara itu gejolak di Papua yang
dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber alamnya,
juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran.
Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru
Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996
telah mencapai lebih dari AS$1.565

Sukses transmigrasi
Sukses KB
Sukses memerangi buta huruf
Sukses swasembada pangan
Pengangguran minimum
Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
Sukses Gerakan Wajib Belajar
Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
Sukses keamanan dalam negeri
Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri

Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru

Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme


Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara
pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke
pusat
Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan,
terutama di Aceh dan Papua
Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh
tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan
si miskin)
Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa)
Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel
Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program
"Penembakan Misterius"
Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)
Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak Senang, hal ini
kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif negara pasti hancur.
[butuh rujukan]
Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga kurang
memperhatikan kesejahteraan anak buah.
Pelaku ekonomi yang dominan adalah lebih dari 70% aset kekayaaan negara dipegang oleh
swasta

Krisis finansial Asia


Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk lebih
jelas lihat: Krisis finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga
minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh.[butuh rujukan] Rupiah jatuh, inflasi
meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para
mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas,
Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa
bakti ketujuh.[butuh rujukan] Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk
menjadi presiden ketiga Indonesia.
Pasca-Orde Baru
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya
Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi".[butuh rujukan] Masih adanya tokoh-tokoh
penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat
beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi
atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".
Meski diliputi oleh kerusuhan etnis dan lepasnya Timor Timur, transformasi dari Orde Baru
ke Era Reformasi berjalan relatif lancar dibandingkan negara lain seperti Uni Soviet dan Yugoslavia.
Hal ini tak lepas dari peran Habibie yang berhasil meletakkan pondasi baru yang terbukti lebih kokoh
dan kuat menghadapi perubahan zaman.

Anda mungkin juga menyukai