Orde Baru (Sejarah)
Orde Baru (Sejarah)
Orde Baru
menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Lahirnya Orde Baru
diawali dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966.[1] Orde Baru berlangsung dari tahun
1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal
ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela.
Kelahiran Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar)
Orde Baru lahir dari diterbitkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun
1966, yang kemudian menjadi dasar legalitasnya. Orde Baru bertujuan meletakkan kembali tatanan
seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945.
Kelahiran Supersemar terjadi dalam serangkaian peristiwa pada tanggal 11 Maret 1966. Saat
itu, Sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dipimpin oleh Presiden Soekarno sedang
berlangsung.[2] Di tengah acara, ajudan presiden melaporkan bahwa di sekitar istana terdapat pasukan
yang tidak dikenal.[1] Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Presiden Soekarno
menyerahkan pimpinan sidang kepada Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II Dr. J. Laimena dan
berangkat menuju Istana Bogor, didampingi oleh Waperdam I Dr Subandrio, dan Waperdam II
Chaerul Saleh.[2] Dr. J. Laimena sendiri menyusul presiden segera setelah sidang berakhir.[2]
Di tempat lain, tiga orang perwira tinggi, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir
Jenderal M. Yusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud bertemu dengan Letnan Jenderal Soeharto
selaku Menteri Panglima Angkatan Darat dan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk meminta izin menghadap presiden.[2] Segera setelah mendapat
izin, di hari yang sama tiga perwira tinggi ini datang ke Istana Bogor dengan tujuan melaporkan
kondisi di ibukota Jakarta meyakinkan Presiden Soekarno bahwa ABRI, khususnya AD, dalam
kondisi siap siaga.[2] Namun, mereka juga memohon agar Presiden Soekarno mengambil tindakan
untuk mengatasi keadaan ini.[2]
Menanggapi permohonan ini, Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah yang ditujukan
kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan
dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, dan stabilitas pemerintahan demi keutuhan bangsa
dan negara Republik Indonesia.[2] Perumusan surat perintah ini sendiri dibantu oleh tiga perwira
tinggi ABRI, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal M. Yusuf, Brigadir Jenderal
Amir Machmud, dan Brigadir Jenderal Subur, Komandan Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa.
[2] Surat perintah inilah yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret 1966 atau
Supersemar.[2]
Tindak lanjut Supersemar
Letnan Jenderal Soeharto
Sebagai tindak lanjut keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret, Letnan Jenderal Soeharto
mengambil beberapa tindakan. Pada tanggal 12 Maret 1966, ia mengeluarkan surat keputusan yang
berisi pembubaran dan larangan bagi PKI serta ormas-ormas yang bernaung dan berlindung atau
senada dengannya untuk beraktivitas dan hidup di wilayah Indonesia.[2] Keputusan ini kemudian
diperkuat dengan Keputusan Presiden/Pangti ABRI ABRI/Mandataris MPRS No.1/3/1966 tanggal 12
Maret 1966.[3] Keputusan pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya mendapat sambutan dan
dukungan dari seluruh rakyat karena merupakan salah satu realisasi dari Tritura.[3]
Pada tanggal 18 Maret 1966, Soeharto mengamankan 15 orang menteri yang dinilai
tersangkut dalam G 30 S/PKI dan diragukan etika baiknya yang dituangkan dalam Keputusan
Presiden No. 5 Tanggal 18 Maret 1966.[3] Ia kemudian memperbaharui Kabinet Dwikora yang
disempurnakan dan membersihkan lembaga legislatif, termasuk MPRS dan DPRGR, dari orang-orang
yang dianggap terlibat G 30 S/PKI.[3] Keanggotaan PKI dalam MPRS dinyatakan gugur.[3] Peran
dan kedudukan MPRS juga dikembalikan sesuai dengan UUD 1945, yakni di atas presiden, bukan
sebaliknya.[4] Di DPRGR sendiri, secara total ada 62 orang anggota yang diberhentikan.[3] Soeharto
juga memisahkan jabatan pimpian DPRGR dengan jabatan eksekutif sehingga pimpinan DPRGR
tidak lagi diberi kedudukan sebagai menteri.[3]
Pada tanggal 20 Juni hingga 5 Juli 1955, diadakanlah Sidang Umum IV MPRS dengan hasil
sebagai berikut:
Hasil dari Sidang Umum IV MPRS ini menjadi landasan awal tegaknya Orde Baru dan dinilai
berhasil memenuhi dua dari tiga tuntutan rakyat (tritura), yaitu pembubaran PKI dan pembersihan
kabinet dari unsur-unsur PKI.[5]
Pembentukan Kabinet Ampera
Dalam rangka memenuhi tuntutan ketiga Tritura, Soeharto dengan dukungan Ketetapan
MPRS No. XIII/MPRS/1966 membentuk kabinet baru yang diberi nama Kabinet Ampera.[6] Tugas
utama Kabinet Ampera adalah menciptakan stabilitas ekonomi dan stabilitas politik, atau dikenal
dengan nama Dwidarma Kabinet Ampera.[6] Program kerja yang dicanangkan Kabinet Ampera
disebut Caturkarya Kabinet Ampera, yaitu:[6]
Kabinet Ampera dipimpin oleh Presiden Soekarno, namun pelaksanaannya dilakukan oleh
Presidium Kabinet yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto.[6] Akibatnya, muncul dualisme
kepemimpinan yang menjadi kondisi kurang menguntungkan bagi stabilitas politik saat itu.[6]
Akhirnya pada 22 Februari 1967, untuk mengatasi situasi konflik yang semakin memuncak
kala itu, Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto.[6] Penyerahan ini
tertuang dalam Pengumuman Presiden Mandataris MPRS, Panglima Tertinggi ABRI Tanggal 20
Februari 1967.[6] Pengumuman itu didasarkan atas Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 yang
menyatakan apabila presiden berhalangan, pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966 berfungsi sebagai
pemegang jabatan presiden.[6] Pada 4 Maret 1967, Jenderal Soeharto memberikan keterangan
pemerintah di hadapan sidang DPRHR mengenai terjadinya penyerahan kekuasaan.[6] Namun,
pemerintah tetap berpendirian bahwa sidang MPRS perlu dilaksanakan agar penyerahan kekuasaan
tetap konstitusional.[6] Karena itu, diadakanlah Sidang Istimewa MPRS pada tanggal 7-12 Maret
1967 di Jakarta, yang akhirnya secara resmi mengangkat Soeharto sebagai presiden Republik
Indonesia hingga terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.[6]
Kebijakan ekonomi
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)
Di awal kekuasaannya, Pemerintah Orde Baru mewarisi kemerosotan ekonomi yang
ditinggalkan oleh pemerintahan sebelumnya.[7] Kemerosotan ekonomi ini ditandai oleh rendahnya
pendapatan perkapita penduduk Indonesia yang hanya mencapai 70 dollar AS, tingginya inflasi yang
mencapai 65%, serta hancurnya sarana-sarana ekonomi akibat konflik yang terjadi di akhir
pemerintahan Soekarno.[7]
Untuk mengatasi kemerosotan ini, pemerintah Orde Baru membuat program jangka pendek
berdasarkan Tap. MPRS No. XXII/MPRS/1966 yang diarahkan kepada pengendalian inflasi dan
usaha rehabilitasi sarana ekonomi, peningkatan kegiatan ekonomi, dan pencukupan kebutuhan
sandang.[8] Program jangka pendek ini diambil dengan pertimbangan apabila inflasi dapat
dikendalikan dan stabilitas tercapai, kegiatan ekonomi akan pulih dan produksi akan meningkat.[8]
Mulai tahun 1 April 1969, pemerintah menciptakan landasan untuk pembangunan yang
disebut sebagai Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).[8] Repelita pertama yang mulai
dilaksanakan tahun 1969 tersebut fokus pada rehabilitasi prasarana penting dan pengembangan iklim
usaha dan investasi.[8] Pembangunan sektor pertanian diberi prioritas untuk memenuhi kebutuhan
pangan sebelum membangun sektor-sektor lain.[8] Pembangunan antara lain dilaksanakan dengan
membangun prasana pertanian seperti irigasi, perhubungan, teknologi pertanian, kebutuhan
pembiayaan, dan kredit perbankan.[8] Petani juga dibantu melalui penyediaan sarana penunjang
utama seperti pupuk hingga pemasaran hasil produksi.[8]
Repelita I membawa pertumbuhan ekonomi naik dari rata-rata 3% menjadi 6,7% per tahun,
pendapatan perkapita meningkat dari 80 dolar AS menjadi 170 dolar AS, dan inflasi dapat ditekan
menjadi 47,8% pada akhir Repelita I di tahun 1974.[8] Repelita II (1974-1979) dan Repelita III (19791984) fokus pada pencapaian pertumbuhan ekonomi, stabilitas nasional, dan pemerataan
pembangunan dengan penekanan pada sektor pertanian dan industri yang mengolah bahan mentah
menjadi bahan baku.[8] Pada tahun 1984, Indonesia berhasil mencapai status swasembada beras dari
yang tadinya merupakan salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia di tahun 1970-an.[8]
Fokus Repelita IV (1984-1989) dan Repelita V (1989-1994), selain berusaha mempertahankan
kemajuan di sektor pertanian, juga mulai bergerak menitikberatkan pada sektor industri khususnya
industri yang menghasilkan barang ekspor, industri yang menyerap tenaga kerja, industri pengolahan
hasil pertanian, dan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri.[9]
Swasembada beras
Sejak awal berkuasa, pemerintah Orde Baru menitikberatkan fokusnya pada pengembangan
sektor pertanian karena menganggap ketahanan pangan adalah prasyarat utama kestabilan ekonomi
dan politik.[10] Sektor ini berkembang pesat setelah pemerintah membangun berbagai prasarana
pertanian seperti irigasi dan perhubungan, teknologi pertanian, hingga penyuluhan bisnis.[10]
Pemerintah juga memberikan kepastian pemasaran hasil produksi melalui lembaga yang diberi nama
Bulog (Badan Urusan Logistik).[10]
Mulai tahun 1968 hingga 1992, produksi hasil-hasil pertanian meningkat tajam.[10] Pada
tahun 1962, misalnya, produksi padi hanya mencapai 17.156 ribu ton.[10] Jumlah ini berhasil
ditingkatkan tiga kali lipat menjadi 47.293 ribu ton pada tahun 1992, yang berarti produksi beras per
jiwa meningkat dari 95,9 kg menjadi 154,0 kg per jiwa.[10] Prestasi ini merupakan sebuah prestasi
besar mengingat Indonesia pernah menjadi salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia pada
tahun 1970-an.[10]
Pemerataan kesejahteraan penduduk
Pemerintah juga berusaha mengiringi pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan
kesejahteraan penduduk melalui program-program penyediaan kebutuhan pangan, peningkatan gizi,
pemerataan pelayanan kesehatan, keluarga berencana, pendidikan dasar, penyediaan air bersih, dan
pembangunan perumahan sederhana.[10] Strategi ini dilaksanakan secara konsekuen di setiap pelita.
[11] Berkat usaha ini, penduduk Indonesia berkurang dari angka 60% di tahun 1970-an ke angka 15%
di tahun 1990-an.[11] Pendapatan perkapita masyarakat juga naik dari yang hanya 70 dolar per tahun
di tahun 1969, meningkat menjadi 600 dolar per tahun di tahun 1993.[10]
Pemerataan ekonomi juga diiringi dengan adanya peningkatan usia harapan hidup, dari yang
tadinya 50 tahun di tahun 1970-an menjadi 61 tahun di 1992.[10] Dalam kurun waktu yang sama,
angka kematian bayi juga menurun dari 142 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup menjadi 63 untuk
setiap 1.000 kelahiran hidup.[10] Jumlah penduduk juga berhasil dikendalikan melalui program
Keluarga Berencana (KB).[10] Selama dasawarsa 1970-an, laju pertumbuhan penduduk mencapai
2,3% per tahun. Pada awal tahun 1990-an, angka tersebut dapat diturunkan menjadi 2,0% per tahun.
[10]
Penataan Kehidupan Politik
Pembubaran PKI dan Organisasi massanya
Dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, serta stabilitas pemerintahan, Soeharto
sebagai pengemban Supersemar telah mengeluarkan kebijakan:
Membubarkan PKI pada tanggal 12 Maret 1966 yang diperkuat dengan Ketetapan MPRS No
IX/MPRS/1966
Menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang di Indonesia
Pada tanggal 8 Maret 1966 mengamankan 15 orang menteri yang dianggap terlibat Gerakan
30 September 1965.
menjadi tiga kekuatan social politik. Penggabungan partai-partai politik tersebut tidak didasarkan
pada kesamaan ideology, tetapi lebih atas persamaan program. Tigakekuatan social politik itu adalah:
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan dari NU, Parmusi, PSII, dan
PERTI
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari PNI, Partai Katolik, Partai
Murba, IPKI, dan Parkindo
Golongan Karya
Rakyat Sabah diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan yang telah merekaambil
mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.
Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.
Tindakan permusuhan antara kedua belah pihak akan dihentikan.
Memperbaharui kebijakan ekonomi, keuangan, dan pembangunan. Kebijakan ini didasari oleh
Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966.[butuh rujukan]
MPRS mengeluarkan garis program pembangunan, yakni program penyelamatan, program
stabilisasi dan rehabilitasi.
Program stabilsasi ini dilakukan dengan cara membentung laju inflasi. Dan pemerintah Orde
Baru berhasil membendung laju inflasi pada akhir tahun 1967-1968, tetapi harga bahan kebutuhan
pokok naik melonjak. Sesudah dibentuk Kabinet Pembangunan pada bulan Juli 1968, pemerintah
mengalihkan kebijakan ekonominya pada pengendalian yang ketat terhadap gerak harga barang
khususnya sandang, pangan, dan kurs valuta asing. Sejak saat itu ekonomi nasional relatif stabil,
sebab kenaikan harga bahan-bahan pokok dan valuta asing sejak tahun 1969 dapat dikendalikan
pemerintah.
Program rehabilitasi dilakukan dengan berusaha memulihkan kemampuan berproduksi.
Selama sepuluh tahun terakhir masa pemerintahan Orde Lama, Indonesia mengalami kelumpuhan dan
kerusakan pada prasarana social dan ekonomi. Lembaga perkreditan desa, gerakan koperasi, dan
perbankan disalahgunakan dan dijadikan alat kekuasaan oleh golongan dan kelompok kepentingan
tertentu. Dampaknya lembaga (negara) tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagai penyusun
perbaikan tata kehidupan rakyat.[butuh rujukan]
Kerjasama Luar Negeri
Pertemuan Tokyo
Selain mewariskan keadaan ekonomi yang sangat parah, pemerintahan Orde Lama juga
mewariskan utang luar negeri yang sangat besar yakni mencapai 2,2-2,7 miliar, sehingga pemerintah
Orde Baru meminta negara-negara kreditor untuk dapat menunda pembayaran kembali utang
Indonesia. Pada tanggal 19-20 September 1966 pemerintah Indonesia mengadakan perundingan
dengan negara-negara kreditor di Tokyo.[butuh rujukan] Pemerintah Indonesia akan melakukan usaha
bahwa devisa ekspor yang diperoleh Indonesia akan digunakan untuk membayar utang yang
selanjutnya akan dipakai untuk mengimpor bahan-bahan baku. Hal ini mendapat tanggapan baik dari
negara-negara kreditor. Perundinganpun dilanjutkan di Paris, Perancis dan dicapai kesepakatan
sebagai berikut
Pembayaran hutang pokok dilaksanakan selama 30 tahun, dari tahun 1970 sampai dengan
1999.
Pembayaran dilaksanakan secara angsuran, dengan angsuran tahunan yang sama besarnya.
Selama waktu pengangsuran tidak dikenakan bunga.
Pembayaran hutang dilaksanakan atas dasar prinsip nondiskriminatif, baik terhadap negara
kreditor maupun terhadap sifat atau tujuan kredit.
Pertemuan Amsterdam
Pada tanggal 23-24 Februari 1967 diadakan perundingan di Amsterdam, Belanda yang
bertujuan membicarakan kebutuhan Indonesia akan bantuan luar negeri serta kemungkinan pemberian
bantuan dengan syarat lunas, yang selanjutnya dikenal dengan IGGI (Intergovernmental Group for
Indonesia). Pemerintah Indonesia mengambil langkah tersebut untuk memenuhi kebutuhannya guna
pelaksanaan program-program stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi serta persiapan-persiapan
pembangunan.[butuh rujukan] Di samping mengusahakan bantuan luar negeri tersebut, pemerintah
juga berusaha dan telah berhasil mengadakan penangguhan serta memperingan syarat-syarat
pembayaran kembali (rescheduling) hutang-hutang peninggalan Orde Lama.[butuh rujukan] Melalui
pertemuan tersebut pemerintah Indonesia berhasil mengusahakan bantuan luar negeri.
Pembangunan Nasional
Trilogi Pembangunan
Setelah berhasil memulihkan kondisi politik bangsa Indonesia, maka langkah selanjutnya
yang ditempuh pemerintah Orde Baru adalah melaksanakan pembangunan nasional. Pembangunan
nasional yang diupayakan pemerintah waktu itu direalisasikan melalui Pembangunan Jangka pendek
dan Pembangunan Jangka Panjang.[butuh rujukan] Pambangunan Jangka Pendek dirancang melalui
Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Setiap Pelita memiliki misi pembangunan dalam rangka mencapai
tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sedangkan Pembangunan Jangka Panjang mencakup
periode 25-30 tahun. Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang
berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara.
Pembangunan nasional dilaksanakan dalam upaya mewujudkan tujuan nasional yang tertulis dalam
pembukaan UUD 1945 yaitu:
Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi
seluruh rakyat.
Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Dan Delapan Jalur Pemerataan yang dicanangkan pemerintah Orde Baru adalah:
Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat khususnya pangan, sandang dan perumahan.
Pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan dan pelayanan kesehatan
Pemerataan pembagian pendapatan.
perdagangan luar negeri memperlihatkan gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih
baik dibanding sebelumnya.
Pelita VI
Pelita VI dimulai 1 April 1994 sampai 31 Maret 1999. Program pembangunan pada Pelita VI
ini ditekankan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian, serta peningkatan
kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak
pembangunan.[butuh rujukan] Namun pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negaranegara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri
yang mengganggu perekonomian telah menyebabkan proses pembangunan terhambat, dan juga
menyebabkan runtuhnya pemerintahan Orde Baru.
Warga Tionghoa
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan
dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi,
yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara
terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini
diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa
tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang
hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin.[butuh rujukan] Mereka pergi hingga ke Mahkamah
Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa
Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan
Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia
yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer
Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana.
Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai
kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh
komunisme di Tanah Air.[butuh rujukan] Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka
berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh
komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk
menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
transmigrasi sama dengan jawanisasi yang sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak
semua transmigran itu orang Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk
konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan.[12] Sementara itu gejolak di Papua yang
dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber alamnya,
juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran.
Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru
Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996
telah mencapai lebih dari AS$1.565
Sukses transmigrasi
Sukses KB
Sukses memerangi buta huruf
Sukses swasembada pangan
Pengangguran minimum
Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
Sukses Gerakan Wajib Belajar
Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
Sukses keamanan dalam negeri
Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri