Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

DIABETES MELITTUS

Disusun oleh :
Ikra Alfata Arza
1102010127
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Pasar Rebo

Pembimbing :
dr. Teddy Ervano, Sp.PD-KEMD

RSUD PASAR REBO JAKARTA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI

2014

Pendahuluan
Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu masalah kesehatan yang berdampak pada
produktivitas dan dapat menurunkan Sumber Daya Manusia.
Penyakit ini tidak hanya berpengaruh secara individu, tetapi sistem kesehatan suatu
negara. Walaupun belum ada survei nasional, sejalan dengan perubahan gaya hidup termasuk
pola makan masyarakat Indonesia diperkirakan penderita
DM ini semakin meningkat, terutama pada kelompok umur dewasa keatas pada seluruh
status sosial ekonomi. Saat ini upaya penanggulangan penyakit DM belum menempati skala
prioritas utama dalam pelayanan kesehatan, walaupun diketahui dampak negatif yang
ditimbulkannya cukup besar antara lain komplikasi kronik pada penyakit jantung kronis,
hipertensi, otak, system saraf, hati, mata dan ginjal.
Diabetes
mellitus
adalah
suatu
penyakit
yang
disebabkan
oleh
peningkatan kadar gula dalam darah (hiperglikemi) akibat kekurangan hormon insulin baik
absolut maupun relatif. Absolut berarti tidak ada insulin sama sekali sedangkan relatif berarti
jumlahnya cukup/memang sedikit tinggi atau daya kerjanya kurang. Hormon Insulin dibuat
dalam pancreas. Ada 2 macam type DM :
DM type I. atau disebut DM yang tergantung pada insulin. DM ini disebabkan akibat
kekurangan
insulin
dalam
darah
yang
terjadi
karena
kerusakan dari sel beta pancreas. Gejala yang menonjol adalah terjadinya sering kencing
(terutama malam hari), sering lapar dan sering haus, sebagian besar penderita DM type ini berat
badannya normal atau kurus. Biasanya terjadi pada usia muda dan memerlukan insulin seumur
hidup.
DM type II atau disebut DM yang tak tergantung pada insulin. DM ini disebabkan
insulin
yang
ada
tidak
dapat
bekerja
dengan
baik,
kadar
insulin dapat normal, rendah atau bahkan bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk
metabolisme glukosa tidak ada/kurang. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga
terjadi hiperglikemia, 75% dari penderita DM type II dengan obersitas atau ada sangat
kegemukan dan biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun.
DM tipe 3 atau disebut Diabetes mellitus gestasional (bahasa Inggris: gestational
diabetes, insulin-resistant type 1 diabetes, double diabetes, type 2 diabetes which has progressed
to require injected insulin, latent autoimmune diabetes of adults, type 1.5" diabetes, type 3
diabetes, LADA)
Diabetes adalah salah satu diantara penyakit tidak menular yang akan meningkat
jumlahnya di masa yang akan datang. World Health Organization (WHO), diabetes membuat
perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidap diabetes di atas umur 20 tahun berjumlah 150
juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025, jumlah itu akan
meningkat menjadi 300 juta orang. Penelitian yang dilakukan dinegara berkembang dan data
terkahir dari WHO menunjukkan peningkatan tertinggi jumlah pasien diabetes adalah di negara
Asia Tenggara termasuk Indonesia.2

DM berhubungan erat dengan risiko terjadinya ateroskelrosis pada pembuluh darah


koroner, serebral, dan pembuluh dara perifer dengan akibat penyakit jantung koroner (PJK),
stroke, dan iskemia tungkai serta kematian.
Pada tahun 2025, Asia diperkirakan akan mempunyai populasi diabetes terbesar di dunia
yaitu sebanyak 82 juta orang dan jumlah tersebut akan terus meningkat. Suatu penelitian
epidemiologik oleh WHO menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara dengan jumlah
penyandang diabetes terbanyak ke 5 di dunia dengan perkiraan jumlah sebesar 8,3 juta orang.
Penelitian epidemiologi di Jakarata (daerah urban) membuktikan adanya peningkatan prevalensi
DM dari 1,6% pada tahun 1982 menjadi 5,7% pada tahun 1993, kemudian pada tahun 2001 di
Depok, sub-urban Jakarta menjadi 14,7%. Demikian pula prevalensi DM di Makassar (daerah
urban), meningkat dari 1,5% pada tahun 1981 menjadi 2,9% pada tahun 1998 dan 12,5% pada
tahun 2005. Pada tahun 2005, daerah semi urban, Sumatera Barat melaporkan prevalensi DM
sebesar 5,1% dan pekajangan (Jawa Tengah) 9,2%. Di Singaparna pada tahun 1995 didapat
1,1%. Dengan data WHO, telah memperkirakan bahwa prevalensi global DM tipe 2 akan
mengalami peningkatan dari 171 juta orang pada tahun 2000 menjadi 366 juta orang pada tahun
2030. Menurut perhitungan ini maka Indonesia menjadi urutan ke 4 terbanyak dengan diabetes di
dunia.

Anatomi dan fisiologi


Anatomi Fisiologi
Pankreas adalah organ pipih yang terletak dibelakang dan sedikit di bawah lambung dalam
abdomen. Organ ini memiliki 2 fungsi : fungsi endokrin dan fungsi eksokrin (Sloane, 2003).
Bagian eksokrin dari pankreas berfungsi sebagai sel asinar pankreas, memproduksi cairan
pankreas yang disekresi melalui duktus pankreas ke dalam usus halus (Sloane, 2003).
Pankreas terdiri dari 2 jaringan utama, Sloane (2003), yaitu:
a. Asini sekresi getah pencernaan ke dalam duodenum.
b. Pulau langerhans yang mengeluarkan sekretnya keluar. Tetapi, menyekresikan insulin dan
glukagon langsung ke darah. Pulau-pulau Langerhans yang menjadi system endokrinologis dari
pancreas tersebar di seluruh pankreas dengan berat hanya 1-3 % dari berat total pankreas.Pulau
langerhans berbentuk opoid dengan besar masing-masing pulau berbeda.Besar pulau langerhans
yang terkecil adalah 50, sedangkan yang terbesar 300,terbanyak adalah yang besarnya 100225. Jumlah semua pulau langerhans dipankreas diperkirakan antara 1-2juta (Sloane, 2003).
Sel endokrin dapat ditemukan dalam pulau-pulau langerhans, yaitu kumpulan kecil sel yang
tersebar di seluruh organ.
Ada 4 jenis sel penghasil hormon yang teridentifikasi dalam pulau-pulau tersebut, Sloane (2003):
a. Sel alfa, jumlah sekitar 20-40 %, memproduksi glukagon yang menjadi faktor hiperglikemik,
suatu hormon yang mempunyai antiinsulin like activity
b.Sel beta menyekresi insulin yang menurunkan kadar gula darah.
c.Sel delta menyekresi somastatin, hormon penghalang hormon
pertumbuhan yang menghambat sekresi glukagon dan insulin.
d.Sel F menyekresi polipeptida pankreas, sejenis hormon pencernaan untuk fungsi yang tidak
jelas.
Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino,dihasilkan oleh sel beta
kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta, insulin disintesis
dan kemudian disekresikan ke dalam darah sesuai dengan kebutuhan tubuh untuk keperluan
regulasi glukosa darah (Manaf, 2006).
Sintesis insulin dimulai dalam bentuk prepoinsulin (precursor Hormone insulin) pada retikulum
endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase, prepoinsulin mengalami pemecahan
sehingga terbentuk proinsulin, yang kemudian dihimpun dalam gelembung-gelembung
(secretory vesicle) dalam sel tersebut. Di sini, dengan bantuan enzim peptidase, proinsulin diurai
menjadi insulin dan peptida-C (C-peptide) yang keduanya sudah siap untuk disekresikan secara
bersamaan melalui membran sel (Guyton, 2007). Mekanisme secara fisiologis di atas, diperlukan
bagi berlangsungnya proses metabolisme glukosa, sehubungan dengan fungsi insulin dalam
proses utilasi glukosa dalam tubuh. Kadar glukosa darah yang meningkat, merupakan komponen
utama yang memberi rangsangan terhadap sel beta memproduksi insulin, meskipun beberapa
jenis asam amino dan obat -obatan, juga dapat memiliki efek yang sama. Mekanisme sintesis dan
sekresi insulin setelah adanya rangsangan terhadap sel beta cukup rumit, dan belum sepenuhnya
dipahami secara jelas (Manaf, 2006).

Ada beberapa tahapan dalam sekresi insulin, setelah molekul glukosa memberikan rangsangan
pada sel beta. Pertama, proses untuk dapat melewati membran sel yang membutuhkan senyawa
lain. Glucose transporter (GLUT) adalah senyawa asam amino yang terdapat dalam berbagai sel
yang berperan proses metabolisme glukosa. Fungsinya sebagai "kenderaan" pengangkut
glukosamasuk dari luar ke dalam jaringan tubuh.Glucose transforter 2 (GLUT 2) yang terdapat
dalam sel beta misalnya, diperlukan dalam proses masuknya glukosa dari dalam darah, melewati
membran, ke dalam sel. Proses ini merupakan langkah penting, agar selanjutnya ke dalam sel,
molekul glukosa tersebut dapat mengalami proses glikolisis dan fosforilasi yang akan
membebaskan molekul ATP. Molekul ATP yang terbebas tersebut, dibutuhkan untuk
mengaktifkan proses penutupan K channel yang terdapat pada membran sel. Terhambatnya
pengeluaran ion K dari dalam sel menyebabkan depolarisasi membran sel, yang diikuti kemudian
oleh proses pembukaan Ca channel . Keadaan inilah yang memungkinkan masuknya ion Ca
sehingga meningkatkan kadar ion Caintrasel, suasana yang dibutuhkan bagi proses sekresi
insulin melalui mekanisme yang cukup rumit dan belum seutuhnya dapat dijelaskan (Manaf,
2006).

Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus merupakan
suatu kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.
Diabetes mellitus (DM) didefenisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan
metabolisme yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan
metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi
insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defenisi produksi insulin oleh sel-sel beta
Langerhans kelenjar pankreas atau disebabkan kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin
(Ditjen Bina Farmasi & ALKES, 2005).
Klasifikasi
Secara umum, pasien DM dibagi menjadi dua kategori yaitu DM tipe 1 (disebabkanoleh
defisiensi insulin absolut) dan DM tipe 2 (disebabkan adanya tahanan insulin dansekresi insulin
yang tidak cukup). Selain itu, terdapat DM yang dialami oleh wanita hamilyang biasa disebut
DM gestasional dan beberapa DM lain yang disebabkan oleh infeksi,obat, kelainan kelenjar
endokrin, kerusakan pankreas dan faktor genetik (DiPiro et al .,2008)

Patofisiologi
A. Diabetes Mellitus Tipe 1
Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya, diperkirakan
kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes. Gangguan produksi insulin pada
DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan sel-sel pulau Langerhans yang disebabkan oleh
reaksi otoimun. Namun ada pula yang disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya
virus Cocksakie, Rubella, CMVirus, Herpes, dan lain sebagainya. Ada beberapa tipe otoantibodi
yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies),
ICSA (Islet cell surface antibodies), dan antibodi terhadap GAD (glutamic acid decarboxylase).
ICCA merupakan otoantibodi utama yang ditemukan pada penderita DM Tipe 1. Hampir
90% penderita DM Tipe 1 memiliki ICCA di dalam darahnya. Di dalam tubuh non-diabetik,
frekuensi ICCA hanya 0,5-4%. Oleh sebab itu, keberadaan ICCA merupakan prediktor yang
cukup akurat untuk DM Tipe 1. ICCA tidak spesifik untuk sel-sel pulau Langerhans saja, tetapi
juga dapat dikenali oleh sel-sel lain yang terdapat di pulau Langerhans.

Sebagaimana diketahui, pada pulau Langerhans kelenjar pancreas terdapat beberapa tipe
sel, yaitu sel , sel dan sel . Sel-sel memproduksi insulin, sel-sel memproduksi glukagon,
sedangkan sel-sel memproduksi hormon somatostatin. Namun demikian, nampaknya serangan
otoimun secara selektif menghancurkan sel-sel . Ada beberapa anggapan yang menyatakan
bahwa tingginya titer ICCA di dalam tubuh penderita DM Tipe 1 justru merupakan respons
terhadap kerusakan sel-sel yang terjadi, jadi lebih merupakan akibat, bukan penyebab
terjadinya kerusakan sel-sel pulau Langerhans. Apakah merupakan penyebab atau akibat,
namun titer ICCA makin lama makin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit.
Otoantibodi terhadap antigen permukaan sel atau Islet Cell Surface Antibodies (ICSA)
ditemukan pada sekitar 80% penderita DM Tipe 1. Sama seperti ICCA, titer ICSA juga makin
menurun sejalan dengan lamanya waktu. Beberapa penderita DM Tipe 2 ditemukan positif
ICSA.
Otoantibodi terhadap enzim glutamat dekarboksilase (GAD) ditemukan pada hampir 80%
pasien yang baru didiagnosis sebagai positif menderita DM Tipe 1. Sebagaimana halnya ICCA
dan ICSA, titer antibodi anti-GAD juga makin lama makin menurun sejalan dengan perjalanan
penyakit. Keberadaan antibodi anti-GAD merupakan prediktor kuat untuk DM Tipe 1, terutama
pada populasi risiko tinggi.
Disamping ketiga otoantibodi yang sudah dijelaskan di atas, ada beberapa otoantibodi
lain yang sudah diidentifikasikan, antara lain IAA (Anti-Insulin Antibody). IAA ditemukan pada
sekitar 40% anak-anak yang menderita DM Tipe 1. IAA bahkan sudah dapat dideteksi dalam
darah pasien sebelum onset terapi insulin.
Destruksi otoimun dari sel-sel pulau Langerhans kelenjar pancreas langsung
mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang menyebabkan gangguan
metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain defisiensi insulin, fungsi sel-sel kelenjar
pankreas pada penderita DM Tipe 1 juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM Tipe 1
ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel pulau Langerhans. Secara normal,
hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM Tipe 1 hal ini tidak
terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal ini
memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini adalah cepatnya
penderita DM Tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapat terapi insulin.
Apabila diberikan terapi somatostatin untuk menekan sekresi glukagon, maka akan terjadi
penekanan terhadap kenaikan kadar gula dan badan keton. Salah satu masalah jangka panjang
pada penderita DM Tipe 1 adalah rusaknya kemampuan tubuh untuk mensekresi glukagon
sebagai respon terhadap hipoglikemia. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya hipoglikemia yang
dapat berakibat fatal pada penderita DM Tipe 1 yang sedang mendapat terapi insulin.
Walaupun defisiensi sekresi insulin merupakan masalah utama pada DM Tipe 1, namun
pada penderita yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi penurunan kemampuan sel-sel
sasaran untuk merespons terapi insulin yang diberikan. Ada beberapa mekanisme biokimia yang
dapat menjelaskan hal ini, salah satu diantaranya adalah, defisiensi insulin menyebabkan
meningkatnya asam lemak bebas di dalam darah sebagai akibat dari lipolisis yang tak terkendali

di jaringan adiposa. Asam lemak bebas di dalam darah akan menekan metabolisme glukosa di
jaringan-jaringan perifer seperti misalnya di jaringan otot rangka, dengan perkataan lain akan
menurunkan penggunaan glukosa oleh tubuh. Defisiensi insulin juga akan menurunkan ekskresi
dari beberapa gen yang diperlukan sel-sel sasaran untuk merespons insulin secara normal,
misalnya gen glukokinase di hati dan gen GLUT4 (protein transporter yang membantu transpor
glukosa di sebagian besar jaringan tubuh) di jaringan adiposa.

B. Diabetes Mellitus Tipe 2


Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak penderitanya
dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan
populasi penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita
DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak populasinya meningkat. Etiologi DM Tipe 2
merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan
pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain
obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan.
Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang berada pada tahap
awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar
glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya
sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin
secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai Resistensi Insulin. Resistensi insulin banyak
terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas,
gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan. Disamping resistensi insulin, pada penderita
DM Tipe 2 dapat juga timbul gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang
berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel Langerhans secara otoimun
sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1.
Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat
relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi
pemberian insulin. Sel-sel kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama
sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan
meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit
sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel menunjukkan gangguan pada sekresi
insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin Apabila
tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan
mengalami kerusakan sel-sel pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan
mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen.
Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada penderita DM Tipe 2 umumnya ditemukan kedua
faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin

Gejala-gejala DM
a. Gejala Akut DM
Gejala penyakit DM pada setiap pasien tidak selalu sama. Gejala-gejala dibawah ini adalah
gejala yang timbul dengan tidak mengurangi kemungkinan adanya variasi gejala lain, antara lain:
Pada permulaan, gejala yang ditunjukkan yaitu polifagia, polidipsia, poliuria dan
peningkatan berat badan.
Bila keadaan tersebut tidak segera ditangani, akan timbul gejala yang disebabkan oleh
kurangnya jumlah insulin yaitu polidipsia dan poliuria dengan beberapa keluhan lainnya
seperti nafsu makan berkurang, banyak minum, banyak berkemih, penurunan berat badan
yang signifikan, mudah lelah, timbul rasa mual dan jika tidak segera diatasi akan
mengakibatkan koma yang disebut dengan istilah koma diabetes. Koma diabetes adalah
koma pada pasien DM akibat kadar gula darah yang melebihi 600 mg/dl (Tjokroprawiro,
2006).
b. Gejala Kronik DM
Kadang-kadang pasien DM tidak menunjukkan gejala akut, tetapi baru akan
menunjukkan gejala setelah beberapa bulan atau tahun menderita DM. Gejala kronik yang sering
timbul yaitu kesemutan, kulit terasa panas, kram, lelah, mudah mengantuk, mata mengabur, gigi
mudah patah, kemampuan seksual menurun, dan lain-lain (Tjokroprawiro, 2006).
Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak
dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan
glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan
darah plasma vena.Penggunaan bahan darah utuh (wholeblood), vena, atau pun angka kriteria
diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan
hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler
dengan glukometer.
1. Diagnosis diabetes melitus
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu
dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini:
Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.

3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih
sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun
pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulangulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.
Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa dapat dilihat pada
bagan1. Kriteria diagnosis DM untuk dewasa tidak hamil dapat dilihat pada tabel-2.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada
hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa
terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa
plasma 2 jam setelah beban antara 140 199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).
GDPT:Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa
didapatkan antara 100 125 mg/dL (5,6 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula
darah 2 jam < 140 mg/dL.

Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):


Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan
karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa
Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih
tanpa gula tetap diperbolehkan
Diperiksa kadar glukosa darah puasa
Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/ kgBB (anak-anak),
dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit
Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah
minum larutan glukosa selesai
Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok
1.2. Pemeriksaan penyaring

Pemeriksaan penyaring dilakukan pada mereka yang mempunyai risiko DM namun tidak
menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien
dengan DM, TGT, maupun GDPT, sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien
dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara
menuju DM. Kedua keadaan tersebut juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya DM dan
penyakit kardiovaskular dikemudian hari. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui
pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa..Pemeriksaan
penyaring untuk tujuan penjaringan masal (mass screening) tidak dianjurkan mengingat biaya
yang mahal, yang pada umumnya tidak diikuti dengan rencana tindak lanjut bagi merekayang

diketemukan adanya kelainan. Pemeriksaan penyaring dianjurkan dikerjakan pada saat


pemeriksaan penyakit lain atau general check-up.
Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan salah satu faktor risiko untuk
DM, yaitu :
kelompok usia dewasa tua ( > 45 tahun )
kegemukan {BB (kg) > 120% BB idaman atau IMT > 27 (kg/m2)}
tekanan darah tinggi (> 140/90 mmHg)
riwayat keluarga DM
riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi > 4000 gram
riwayat DM pada kehamilan
dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau Trigliserida > 250 mg/dl
pernah TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) atau GDPT (Glukosa Darah Puasa )

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan morbiditas dan
mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2 target utama, yaitu:
1. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal
2. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes.
Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam penatalaksanaan diabetes, yang pertama
pendekatan tanpa obat dan yang kedua adalah pendekatan dengan obat. Dalam penatalaksanaan
DM, langkah pertama yang harus dilakukan adalah penatalaksanaan tanpa obat berupa
pengaturan diet dan olahraga. Apabila dengan langkah pertama ini tujuan penatalaksanaan belum
tercapai, dapat dikombinasikan dengan langkah farmakologis berupa terapi insulin atau terapi
obat hipoglikemik oral, atau kombinasi keduanya.
Terapi tanpa obat
A. Pengaturan Diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Diet yang
dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan
lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut:
Karbohidrat : 60-70%
Protein : 10-15%
Lemak : 20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan kegiatan fisik,
yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal.
Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki
respons sel-sel terhadap stimulus glukosa. Dalam salah satu penelitian dilaporkan bahwa
penurunan 5% berat badan dapat mengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c adalah salah
satu parameter status DM), dan setiap kilogram penurunan berat badan dihubungkan dengan 3-4
bulan tambahan waktu harapan hidup. Selain jumlah kalori, pilihan jenis bahan makanan juga
sebaiknya diperhatikan. Masukan kolesterol tetap diperlukan, namun jangan melebihi 300 mg
per hari. Sumber lemak diupayakan yang berasal dari bahan nabati, yang mengandung lebih
banyak asam lemak tak jenuh dibandingkan asam lemak jenuh. Sebagai sumber protein
sebaiknya diperoleh dari ikan, ayam (terutama daging dada), tahu dan tempe, karena tidak
banyak mengandung lemak. Masukan serat sangat penting bagi penderita diabetes, diusahakan
paling tidak 25 g per hari. Disamping akan menolong menghambat penyerapan lemak, makanan
berserat yang tidak dapat dicerna oleh tubuh juga dapat membantu mengatasi rasa lapar yang
kerap dirasakan penderita DM tanpa risiko masukan kalori yang berlebih. Disamping itu
makanan sumber serat seperti sayur dan buah-buahan segar umumnya kaya akan vitamin dan
mineral.

B. Olah Raga
Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap
normal. Saat ini ada dokter olah raga yang dapat dimintakan nasihatnya untuk mengatur jenis
dan porsi olah raga yang sesuai untuk penderita diabetes. Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat,
olah raga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan.
Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval,
Progressive, Endurance Training). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi
maksimal (220-umur), disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita. Beberapa contoh
olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain
sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan selama total 30-40 menit per hari
didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan antara 5-10 menit. Olah raga
akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga
meningkatkan penggunaan glukosa.
Terapi Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu penanganan pasien DM
Tipe II. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat sangat menentukan keberhasilan terapi
diabetes. Bergantung pada tingkat keparahan penyakit dan kondisi pasien, farmakoterapi
hipoglikemik oral dapat dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua
jenis obat. Pemilihan dan penentuan rejimen hipoglikemik yang digunakan harus
mempertimbangkan tingkat keparahan diabetes (tingkat glikemia) serta kondisi kesehatan pasien
secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi yang ada.
penggolongan obat OHO
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat hipoglikemik oral dapat dibagi menjadi 3 golongan,
yaitu:
1. Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin, meliputi obat hipoglikemik oral golongan
sulfonilurea dan glinida (meglitinida dan turunan fenilalanin).
2. Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel terhadap insulin),
meliputi obat-obat hipoglikemik golongan biguanida dan tiazolidindion, yang dapat
membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin secara lebih efektif.
3. Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain inhibitor -glukosidase yang bekerja
menghambat absorpsi glukosa dan umum digunakan untuk mengendalikan hiperglikemia
post-prandial (post-meal hyperglycemia). Disebut juga starch-blocker. Dalam table
disajikan beberapa golongan senyawa hipoglikemik oral beserta mekanisme kerjanya.
Tabel. Golongan senyawa hipoglikemik dan mekanisme kerja

Golongan Sulfonilurea
Merupakan obat hipoglikemik oral yang paling dahulu ditemukan. Sampai beberapa
tahun yang lalu, dapat dikatakan hampir semua obat hipoglikemik oral merupakan golongan
sulfonilurea. Obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea merupakan obat pilihan (drug of
choice) untuk penderita diabetes dewasa baru dengan berat badan normal dan kurang serta tidak
pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya. Senyawa-senyawa sulfonylurea sebaiknya tidak
diberikan pada penderita gangguan hati, ginjal dan tiroid. Obat-obat kelompok ini bekerja
merangsang sekresi insulin di kelenjar pancreas, oleh sebab itu hanya efektif apabila sel-sel
Langerhans pancreas masih dapat berproduksi. Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi
setelah pemberian senyawa-senyawa sulfonilurea disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin
oleh kelenjar pancreas. Sifat perangsangan ini berbeda dengan perangsangan oleh glukosa,
karena ternyata pada saat glukosa (atau kondisi hiperglikemia) gagal merangsang sekresi insulin,
senyawa-senyawa obat ini masih mampu meningkatkan sekresi insulin. Oleh sebab itu, obat-obat
golongan sulfonilurea sangat bermanfaat untuk penderita diabetes yang kelenjar pankreasnya
masih mampu memproduksi insulin, tetapi karena sesuatu hal terhambat sekresinya. Pada
penderita dengan kerusakan sel-sel Langerhans kelenjar pancreas, pemberian obat-obat
hipoglikemik oral golongan sulfonilurea tidak bermanfaat. Pada dosis tinggi, sulfonylurea
menghambat degradasi insulin oleh hati. Absorpsi senyawa-senyawa sulfonilurea melalui usus
cukup baik, sehingga dapat diberikan per oral. Setelah diabsorpsi, obat ini tersebar ke seluruh
cairan ekstrasel. Dalam plasma sebagian terikat pada protein plasma terutama albumin (70-90%).

Efek Samping (Handoko dan Suharto, 1995; IONI, 2000)


Efek samping obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea umumnya ringan dan frekuensinya
rendah, antara lain gangguan saluran cerna dan gangguan susunan syaraf pusat. Gangguan
saluran cerna berupa mual, diare, sakit perut, hipersekresi asam lambung dan sakit kepala.
Gangguan susunan syaraf pusat berupa vertigo, bingung, ataksia dan lain sebagainya. Gejala
hematologik termasuk leukopenia, trombositopenia, agranulosistosis dan anemia aplastik dapat
terjadi walau jarang sekali. Klorpropamida dapat meningkatkan ADH (Antidiuretik Hormon).
Hipoglikemia dapat terjadi apabila dosis tidak tepat atau diet terlalu ketat, juga pada gangguan
fungsi hati atau
ginjal atau pada lansia. Hipogikemia sering diakibatkan oleh obat-obat hipoglikemik oral dengan
masa kerja panjang.
Interaksi Obat (Handoko dan Suharto, 1995; IONI, 2000)
Banyak obat yang dapat berinteraksi dengan obat-obat sulfonilurea, sehingga risiko terjadinya
hipoglikemia harus diwaspadai. Obat atau senyawasenyawa yang dapat meningkatkan risiko
hipoglikemia sewaktu pemberian obat-obat hipoglikemik sulfonilurea antara lain: alkohol,
insulin, fenformin, sulfonamida, salisilat dosis besar, fenilbutazon, oksifenbutazon, probenezida,
dikumarol, kloramfenikol, penghambat MAO (Mono Amin Oksigenase), guanetidin, steroida
anabolik, fenfluramin, dan klofibrat.
Peringatan dan Kontraindikasi (IONI, 2000)
Penggunaan obat-obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea harus hatihati pada pasien usia
lanjut, wanita hamil, pasien dengan gangguan fungsi hati, dan atau gangguan fungsi ginjal.
Klorpropamida dan glibenklamida tidak disarankan untuk pasien usia lanjut dan pasien
insufisiensi ginjal. Untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal masih dapat digunakan
glikuidon, gliklazida, atau tolbutamida yang kerjanya singkat.
Wanita hamil dan menyusui, porfiria, dan ketoasidosis merupakan kontra indikasi bagi
sulfonilurea.
Tidak boleh diberikan sebagai obat tunggal pada penderita diabetes yuvenil, penderita yang
kebutuhan insulinnya tidak stabil, dan diabetes melitus berat.
Obat-obat golongan sulfonilurea cenderung meningkatkan berat badan. Ada beberapa senyawa
obat hipoglikemik oral golongan sulfonylurea yang saat ini beredar (Tabel 9). Obat hipoglikemik
oral golongan sulfonylurea generasi pertama yang dipasarkan sebelum 1984 dan sekarang sudah
hamper tidak dipergunakan lagi antara lain asetoheksamida, klorpropamida, tolazamida dan
tolbutamida. Yang saat ini beredar adalah obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea generasi
kedua yang dipasarkan setelah 1984, antara lain gliburida (glibenklamida), glipizida, glikazida,
glimepirida, dan glikuidon. Senyawa-senyawa ini umumnya tidak terlalu berbeda efektivitasnya,
namun berbeda dalam farmakokinetikanya, yang harus dipertimbangkan dengan cermat dalam
pemilihan obat yang cocok untuk masing-masing pasien dikaitkan dengan kondisi kesehatan dan
terapi lain yang tengah dijalani pasien.

TABEL 9. OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL GOLONGAN SULFONILUREA


Obat Hipoglikemik Oral
keterangan
Memiliki efek hipoglikemik yang poten
Gliburida
(Glibenklamida)
sehingga pasien perlu diingatkan untuk
Contoh Sediaan:
melakukan jadwal makan yang ketat.
- Glibenclamide (generik)
Gliburida dimetabolisme dalam hati, hanya
25% metabolit diekskresi melalui ginjal,
sebagian besar diekskresi melalui empedu
dan dikeluarkan bersama tinja. Gliburida
efektif dengan pemberian dosis tunggal. Bila
pemberian dihentikan, obat akan bersih
keluar dari serum setelah 36 jam.
Diperkirakan mempunyai efek terhadap
agregasi trombosit. Dalam batas-batas
tertentu masih dapat diberikan pada
beberapa pasien dengan kelainan fungsi hati
dan ginjal. (Handoko dan Suharto, 1995;
Soegondo, 1995b).
Glipizida
- Glucotrol
- Minidiab

Mempunyai masa kerja yang lebih lama


dibandingkan dengan glibenklamid tetapi
lebih pendek dari pada klorpropamid.
Kekuatan hipoglikemiknya jauh lebih besar
dibandingkan dengan tolbutamida.
Mempunyai efek menekan produksi glukosa
hati dan meningkatkan jumlah reseptor
insulin. Glipizida diabsorpsi lengkap
sesudah
pemberian per oral dan dengan cepat
dimetabolisme dalam hati menjadi metabolit
yang tidak aktif. Metabolit dan kira-kira
10%
glipizida utuh diekskresikan melalui ginjal
(Handoko dan Suharto, 1995; Soegondo,
1995b).

Glikazida
Contoh Sediaan:
- Diamicron

Mempunyai efek hipoglikemik sedang


sehingga tidak begitu sering menyebabkan
efek hipoglikemik. Mempunyai efek anti

Glucodex

agregasi trombosit yang lebih poten. Dapat


diberikan pada penderita gangguan
fungsi
hati dan ginjal yang ringan (Soegondo,
1995b).

Glimepirida
Contoh Sediaan:
- Amaryl

Memiliki waktu mula kerja yang pendek dan


waktu kerja yang lama, sehingga umum
diberikan dengan cara pemberian dosis
tunggal. Untuk pasien yang berisiko tinggi,
yaitu pasien usia lanjut, pasien dengan
gangguan ginjal atau yang melakukan
aktivitas berat dapat diberikan obat ini.
Dibandingkandengan
glibenklamid,
glimepiride lebih jarang menimbulkan efek
hipoglikemik pada awal pengobatan
(Soegondo, 1995b).

Glikuidon
Contoh Sediaan:
- Glurenorm

Mempunyai efek hipoglikemik sedang dan


jarang menimbulkan serangan hipoglikemik.
Karena hampir seluruhnya diekskresi
melalui
empedu dan usus, maka dapat diberikan
pada pasien dengan gangguan fungsi hati
dan ginjal yang agak berat (Soegondo,
1995b).

Golongan Meglitinida dan Turunan Fenilalanin


Obat-obat hipoglikemik oral golongan glinida ini merupakan obat hipoglikemik generasi baru
yang cara kerjanya mirip dengan golongan sulfonilurea. Kedua golongan senyawa hipoglikemik
oral ini bekerja meningkatkan sintesis dan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Umumnya
senyawa obat hipoglikemik golongan meglitinida dan turunan fenilalanin ini dipakai dalam
bentuk kombinasi dengan obat-obat antidiabetik oral lainnya.
TABEL 10. ANTIDIABETIK ORAL GOLONGAN MEGLITINIDA DAN TURUNAN
FENILALANIN
Obat Hipoglikemik Oral
Keterangan
Repaglinida

Merupakan turunan asam benzoat.

Contoh Sediaan:
- Prandin/NovoNorm/GlucoNorm

Mempunyai efek hipoglikemik ringan sampai


sedang. Diabsorpsi dengan cepat setelah
pemberian per oral, dan diekskresi secara
cepat melalui ginjal. Efek samping yang
mungkin terjadi adalah keluhan saluran
cerna (Soegondo, 1995b).

Nateglinida
Contoh Sediaan:
- Starlix

Merupakan turunan fenilalanin, cara kerja


mirip dengan repaglinida. Diabsorpsi cepat
setelah pemberian per oral dan diekskresi
terutama melalui ginjal. Efek samping yang
dapat terjadi pada penggunaan obat ini
adalah keluhan infeksi saluran nafas atas.

Golongan Biguanida
Obat hipoglikemik oral golongan biguanida bekerja langsung pada hati (hepar),
menurunkan produksi glukosa hati. Senyawa-senyawa golongan biguanida tidak merangsang
sekresi insulin, dan hampir tidak pernah menyebabkan hipoglikemia. Satu-satunya senyawa
biguanida yang masih dipakai sebagai obat hipoglikemik oral saat ini adalah metformin.
Metformin masih banyak dipakai di beberapa negara termasuk Indonesia, karena frekuensi
terjadinya asidosis laktat cukup sedikit asal dosis tidak melebihi 1700 mg/hari dan tidak ada
gangguan fungsi ginjal dan hati.
Efek Samping (Soegondo, 1995b)
Efek samping yang sering terjadi adalah nausea, muntah, kadangkadang diare, dan dapat
menyebabkan asidosis laktat.
Kontra Indikasi
Sediaan biguanida tidak boleh diberikan pada penderita gangguan fungsi hepar, gangguan fungsi
ginjal, penyakit jantung kongesif dan wanita hamil. Pada keadaan gawat juga sebaiknya tidak
diberikan biguanida.
TABEL 11. OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL GOLONGAN BIGUANIDA
Obat Hipoglikemik Oral
Keterangan
Satu-satunya golongan biguanida yang
Metformin
Contoh Sediaan:
masih dipergunakan sebagai obat
- Metformin (generic)
hipoglikemik oral. Bekerja menurunkan kadar
- Glucophage
glukosa darah dengan memperbaiki
transport glukosa ke dalam sel-sel otot. Obat
- Glumin
ini dapat memperbaiki uptake glukosa

sampai sebesar 10-40%. Menurunkan


produksi glukosa hati dengan jalan
mengurangi glikogenolisis dan
glukoneogenesis (Soegondo, 1995b).

Golongan Tiazolidindion (TZD)


Senyawa golongan tiazolidindion bekerja meningkatkan kepekaan tubuh terhadap insulin dengan
jalan berikatan dengan PPAR (peroxisome proliferator activated receptor-gamma) di otot,
jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan resistensi insulin. Senyawa-senyawa TZD juga
menurunkan kecepatan glikoneogenesis.
TABEL 12. ANTIDIABETIK ORAL GOLONGAN TIAZOLIDINDION
OHO
Keterangan
Cara kerja hampir sama dengan pioglitazon,
Rosiglitazone
Contoh Sediaan:
diekskresi melalui urin dan feses. Mempunyai
- Avandia
efek hipoglikemik yang cukup baik jika
dikombinasikan dengan metformin.
Mempunyai efek menurunkan resistensi
Pioglitazone
Contoh Sediaan:
insulin dengan meningkatkan jumlah protein
- Actos (Takeda Chemicals Industries transporter glukosa, sehingga meningkatkan
uptake glukosa di sel-sel jaringan perifer.
Ltd)
Obat ini dimetabolisme di hepar. Obat ini
tidak boleh diberikan pada pasien gagal
jantung karena dapat memperberat edema dan
juga pada gangguan fungsi hati. Saat ini tidak
digunakan sebagai obat tunggal.

Golongan Inhibitor -Glukosidase


Senyawa-senyawa inhibitor -glukosidase bekerja menghambat enzim alfa glukosidase
yang terdapat pada dinding usus halus. Enzim-enzim -glukosidase (maltase, isomaltase,
glukomaltase dan sukrase) berfungsi untuk menghidrolisis oligosakarida, pada dinding usus
halus. Inhibisi kerja enzim ini secara efektif dapat mengurangi pencernaan karbohidrat kompleks
dan absorbsinya, sehingga dapat mengurangi peningkatan kadar glukosa post prandial pada
penderita diabetes. Senyawa inhibitor -glukosidase juga menghambat enzim -amilase pankreas
yang bekerja menghidrolisis polisakarida di dalam lumen usus halus. Obat ini merupakan obat
oral yang biasanya diberikan dengan dosis 150-600 mg/hari. Obat ini efektif bagi penderita
dengan diet tinggi karbohidrat dan kadar glukosa plasma puasa kurang dari 180 mg/dl. Obat ini
hanya mempengaruhi kadar glukosa darah pada waktu makan dan tidak mempengaruhi kadar

glukosa darah setelah itu. Obat-obat inhibitor -glukosidase dapat diberikan sebagai obat tunggal
atau dalam bentuk kombinasi dengan obat hipoglikemik lainnya. Obat ini umumnya diberikan
dengan dosis awal 50 mg dan dinaikkan secara bertahap sampai 150-600 mg/hari. Dianjurkan
untuk memberikannya bersama suap pertama setiap kali makan.
Efek Samping (Soegondo, 1995b)
Efek samping obat ini adalah perut kurang enak, lebih banyak flatus dan kadang-kadang diare,
yang akan berkurang setelah pengobatan berlangsung lebih lama. Obat ini hanya mempengaruhi
kadar glukosa darah pada waktu makan dan tidak mempengaruhi kadar glukosa darah setelah itu.
Bila diminum bersama-sama obat golongan sulfonilurea (atau dengan insulin) dapat terjadi
hipoglikemia yang hanya dapat diatasi dengan glukosa murni, jadi tidak dapat diatasi dengan
pemberian gula pasir. Obat ini umumnya diberikan dengan dosis awal 50 mg dan dinaikkan
secara bertahap, serta dianjurkan untuk memberikannya bersama suap pertama setiap kali makan.
TABEL 13. ANTIDIABETIK ORAL GOLONGAN INHIBITOR -GLUKOSIDASE
Obat Hipoglikemik Oral
keterangan
Acarbose dapat diberikan dalam terapi
Acarbose
Contoh Sediaan:
kombinasi dengan sulfonilurea, metformin,
- Glucobay
atau insulin.

Miglitol
Contoh Sediaan:
- Glycet

Miglitol biasanya diberikan dalam terapi


kombinasi dengan obat-obat antidiabetik oral
golongan sulfonylurea.

TERAPI KOMBINASI
Pada keadaan tertentu diperlukan terapi kombinasi dari beberapa OHO atau OHO dengan
insulin. Kombinasi yang umum adalah antara golongan sulfonilurea dengan biguanida.
Sulfonilurea akan mengawali dengan merangsang sekresi pankreas yang memberikan
kesempatan untuk senyawa biguanida bekerja efektif. Kedua golongan obat hipoglikemik oral ini
memiliki efek terhadap sensitivitas reseptor insulin, sehingga kombinasi keduanya mempunyai
efek saling menunjang. Pengalaman menunjukkan bahwa kombinasi kedua golongan ini dapat
efektif pada banyak penderita diabetes yang sebelumnya tidak bermanfaat bila dipakai sendirisendiri.

HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM PENGGUNAAN OBAT


HIPOGLIKEMIK ORAL
1. Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan secara bertahap.
2. Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping obat-obat tersebut.
3. Bila diberikan bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya interaksi obat.
4. Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakanlah menggunakan obat
oral golongan lain, bila gagal lagi, baru pertimbangkan untuk beralih pada insulin

Jika obat hipoglikemik per-oral tidak dapat mengontrol kadar gula darah dengan baik, mungkin
perlu diberikan suntikan insulin.
Terapi Sulih Insulin
Pada diabetes tipe 1, pankreas tidak dapat menghasilkan insulin sehingga harus diberikan insulin
pengganti. Pemberian insulin hanya dapat dilakukan melalui suntikan, insulin dihancurkan di
dalam lambung sehingga tidak dapat diberikan per-oral (ditelan).
Bentuk insulin yang baru (semprot hidung) sedang dalam penelitian. Pada saat ini, bentuk insulin
yang baru ini belum dapat bekerja dengan baik karena laju penyerapannya yang berbeda
menimbulkan masalah dalam penentuan dosisnya.
Insulin disuntikkan dibawah kulit ke dalam lapisan lemak, biasanya di lengan, paha atau dinding
perut. Digunakan jarum yang sangat kecil agar tidak terasa terlalu nyeri.
Insulin terdapat dalam 3 bentuk dasar, masing-masing memiliki kecepatan dan lama kerja yang
berbeda:
1. Insulin kerja cepat.
Contohnya adalah insulin reguler, yang bekerja paling cepat dan paling sebentar.
Insulin ini seringkali mulai menurunkan kadar gula dalam waktu 20 menit, mencapai puncaknya
dalam waktu 2-4 jam dan bekerja selama 6-8 jam.
Insulin kerja cepat seringkali digunakan oleh penderita yang menjalani beberapa kali suntikan
setiap harinya dan disutikkan 15-20 menit sebelum makan.
2. Insulin kerja sedang.
Contohnya adalah insulin suspensi seng atau suspensi insulin isofan.
Mulai bekerja dalam waktu 1-3 jam, mencapai puncak maksimun dalam waktu 6-10 jam dan
bekerja selama 18-26 jam.
Insulin ini bisa disuntikkan pada pagi hari untuk memenuhi kebutuhan selama sehari dan dapat
disuntikkan pada malam hari untuk memenuhi kebutuhan sepanjang malam.
3. Insulin kerja lambat.
Contohnya adalah insulin suspensi seng yang telah dikembangkan.
Efeknya baru timbul setelah 6 jam dan bekerja selama 28-36 jam.
Komplikasi Diabetes Melitus
Diabetaes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang akan diderita seumur hidup,
sehingga progesifitas penyakit ini akan terus berjalan dan pada suatu saat akan menimbulkan
komplikasi. Penyakit DM biasanya berjalan lambat dengan gejala-gejala yang ringan sampai
berat, bahkan dapat menyebabkan kematian akibat baik komplikasi akut maupun kronis.
a. Komplikasi Akut DM
Ada tiga komplikasi akut DM yang penting dan berhubungan dengan gangguan keseimbangan
kadar gula darah jangka pendek.

- Hipoglikemia
Hipoglikemia terjadi jika kadar gula darah turun hingga 60 mg/dl. Keluhan dan gejala
hipoglikemia dapat bervariasi, tergantung sejauh mana glukosa darah turun. Keluhan pada
hipoglikemia pada dasarnya dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu keluhan akibat otak tidak
mendapat kalori yang cukup sehingga mengganggu fungsi intelektual dan keluhan akibat efek
samping hormon lain yang berusaha meningkatkan kadar glukosa dalam darah (Tandra, 2007).
- Ketoasidosis Diabetes
Pada DM yang tidak terkendali dengan kadar gula darah yang terlalu tinggi dan kadar
insulin yang rendah, maka tubuh tidak dapat menggunakan glukosa sebagai sumber energi.
Sebagai gantinya tubuh akan memecah lemak sebagai sumber energi alternatif. Pemecahan
lemak tersebut kemudian menghasilkan badan-badan keton dalam darah atau disebut dengan
ketosis.Ketosis inilah yang menyebakan derajat keasaman darah menurun atau disebut dengan
istilah asidosis. Kedua hal ini lantas disebut dengan istilah ketoasidosis. Adapun gejala dan
tanda-tanda yang dapat ditemukan pada pasien ketoasidosis diabetes adalah kadar gula darah >
240 mg/dl, terdapat keton pada urin, dehidrasi karena terlalu sering berkemih, mual, muntah,
sakit perut, sesak napas, napas berbau aseton, dan kesadaran menurun hingga koma (Nabyl,
2009).
- Sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar Nonketotik (HHNK)
Sindrom HHNK merupakan keadaan yang didominasi oleh hiperosmolaritas dan
hiperglikemia serta diikuti oleh perubahan tingkat kesadaran. Kelainan dasar biokimia pada
sindrom ini berupa kekurangan insulin efektif. Keadaan hiperglikemia persisten menyebabkan
diuresis osmotik sehingga terjadi kehilangan cairan dan elektrolit. Untuk mempertahankan
keseimbangan osmotik, cairan akan berpindah dari ruang intrasel ke ruang ekstrasel. Dengan
adanya glukosuria dan dehidrasi, akan dijumpai keadaaan hipernatremia dan peningkatan
osmolaritas. Salah satu perbedaan utama antar HHNK dan ketoasidosis diabetes adalah tidak
terdapatnya ketosis dan asidosis pada HHNK. Perbedaan jumlah insulin yang terdapat pada
masing-masing keadaan ini dianggap penyebab parsial perbedaan di atas. Gambaran klinis
sindrom HHNK terdiri atas gejala hipotensi, dehidrasi berat,takikardi, dan tanda-tanda
neurologis yang bervariasi (Brunner & Suddarth,2001).
b. Komplikasi Kronis DM
- Komplikasi Makrovaskular
Tiga jenis komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada pasien DM adalah penyakit
jantung koroner, penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit pembuluh darah perifer.
Komplikasi ini lebih sering terjadi pada pasien DM tipe II yang umumnya menderita hipertensi,
dislipidemia, dan atau kegemukan (Nabyl,2009). Komplikasi ini timbul akibat aterosklerosis dan
tersumbatnya pembuluhpembuluh darah besar, khususnya arteri akibat timbunan plak ateroma.
Komplikasi makrovaskular atau makroangiopati tidak spesifik pada diabetes,namun pada DM
timbul lebih cepat, lebih sering, dan lebih serius. Berbagai studi epidemiologi menunjukkan
bahwa angka kematian akibat penyakit kardiovaskular dan diabetes meningkat 4 -5 kali

dibandingkan pada orang normal. Komplikasi makroangiopati umumnya tidak ada hubungannya
dengan kontrol kadar gula darah yang baik. Tetapi telah terbukti secara epidemiologi bahwa
angka kematian akibat hiperinsulinemia merupakan suatu faktor resiko mortalitas
kardiovaskular, di mana peninggian kadar insulin menyebabkan resiko kardiovaskular semakin
tinggi pula. Kadar insulin puasa > 15 mU/ml akan meningkatkan resiko mortalitas
kardiovaskular sebanyak 5 kali lipat. Hiperinsulinemia kini dikenal sebagai factor aterogenik dan
diduga berperan penting dalam menyebabkan timbulnya
komplikasi makrovaskular.
- Komplikasi Neuropati
Kerusakan saraf adalah komplikasi DM yang paling sering terjadi. Dalam jangka waktu
yang cukup lama, kadar glukosa dalam darah akan merusak dinding pembuluh darah kapiler
yang berhubungan langsung ke saraf. Akibatnya, saraf tidak dapat mengirimkan pesan secara
efektif. Keluhan yang timbul bervariasi,yaitu nyeri pada kaki dan tangan, gangguan pencernaan,
gangguan dalam mengkontrol BAB dan BAK, dan lain-lain (Tandra, 2007). Manifestasi
klinisnya dapat berupa gangguan sensoris, motorik, dan otonom. Proses terjadinya komplikasi
neuropati biasanya progresif, di mana terjadi degenerasi serabutserabut saraf dengan gejala nyeri,
yang sering terserang adalah saraf tungkai atau lengan .
- Komplikasi Mikrovaskular
Komplikasi mikrovaskular merupakan komplikasi unik yang hanya terjadi pada DM. Penyakit
mikrovaskular diabetes atau sering juga disebut dengan istilah mikroangiopati ditandai oleh
penebalan membran basalis pembuluh kapiler. Ada dua tempat di mana gangguan fungsi kapiler
dapat berakibat serius yaitu mata dan ginjal. Kelainan patologis pada mata, atau dikenal dengan
istilah retinopati diabetes, disebabkan oleh perubahan pada pembuluh-pembuluh darah kecil di
retina. Perubahan yang terjadi pada pembuluh darah kecil di retina ini dapat menyebabkan
menurunnya fungsi penglihatan pasien DM, bahkan dapat menjadi penyebab utama kebutaan
(Brunner & Suddarth, 2001).
Retinopati Diabetes
Mekanisme perkembangan mikroangiopati berkaitan dengan perubahanperubahan
yang terjadi pada ultrastruktur, biokimia, dan proses hemostatis. Termasuk ke dalamnya
penipisan lapisan membran kapiler. Beberapa studi menunjukkan bahwa hiperglikemia kronik
memiliki kontribusi dalam menyebabkan terjadinya retinopati diabetes.Retinopati diabetes
adalah penyakit mata yang sering terjadi pada
penderita DM. Retinopati diabetik biasanya berkembang menjadi beberapa tingkatan pada
kebanyakan penderita diabetes tipe I dan sejumlah penderita DM tipe II (Medicastore, 2008).
Retinopati diabetes merupakan penyebab kebutaan yang utama pada kelompok usia kerja di
Inggris dan di banyak negara berkembang lainnya.
Peningkatan jumlah pasien DM di dunia akan mendorong retinopati diabetes sebagai penyebab
kebutaan terbesar (Steele, 2008). Retinopati diabetik lebih sering terjadi pada penderita DM yang
tergolong insulin-dependent dibandingkan mereka yang non-insulin dependent.

Nefropati diabetikum
Nefropati diabetic adalah kelainan ginjal yang dapat muncul sebagai akibat dari
komplikasi diabetes mellitus (DM) baik tipe 1 maupun 2, ditandai dengan adanya albuminuria
(mikro/makroalbuminuria).Nefropati diabetic dapat menyebabkan gagal ginjal hingga tahap
akhir (GGT = Gagal Ginjal Terminal). Oleh karenanya penanganan kasus ini harus dilakukan
secara optimal agar dapat mencegah perusakan ginjal ke tahap yang lebih buruk. Salah satu
penemuan yang telah dikembangkan dalam terapi penyakit ginjal diabetes adalah melalui
pemberian agonis adenosine 2A, yang berguna sebagai terapi dan atau pencegahan nefropati
diabetic.
Diagnosis stadium klinis nefropati diabetic secara klasik adalah ditemukannya proteinuria
> 0,5 gr/hari. Diagnosis klinis nefropati diabetic sudah dapat ditegakkan bila terdapat
makroalbuminuria persisten (albuminuria > 300mg/24 jam atau 200 mikrogram/menit ). Disebut
persisten (menetap) adalah bila 2 dari 3x pemeriksaan yang dilakukan dalam kurun waktu 6
bulan, memberikan hasil positif. Pada pasien DM tipe 1, diagnosis dini nefropati diabetic
ditandai dengan ditemukannya mikroalbuminuria persisten (albuminuria 30-300 mg/24 jam atau
20-200 mikrogram/menit).
DM mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal dalam berbagai cara. Istilah nefropati diabetic
meliputi semua lesi pada ginjal pasien dengan DM. Lesi ini termasuk glomerulosklerosis ( difus
atau noduler ), anterionefrosklerosis, nefritis interstitial kronik, nekrosis papiler dan berbagai lesi
tubulus. Nefropati Diabetik dihubungkan dengan berbagai sindroma klinis meliputi proteinuria
asimtomatik ringan, sindrom nefrotik, gagal ginjal progresif (acute, progresif cepat atau kronik)
dan hipertensi.

Pencegahan primer
Pencegahan diabetes mellitus secara primer bertujuan untuk mencegah terjadinya diabetes.
Untuk itu factor-faktor yang menyebabkan diabetes perlu diperhatikan, baik secara genetic
ataupun lingkungan. Berikut beberapa hal yang harus dilakukan dalam pencegahan penyakit
diabetes secara primer:

Pola makan sehari-hari harus seimbang dan tidak berlebihan, namun cukup untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi dalam tubuh
Olahraga secara teratur, usahakan agar tubuh kita lebih banyak bergerak jangan banyak
berdiam diri.
Usahakan berat badan dalam batas normal
Tidur yang cukup
Hindari stres

Hindari obat-obatan yang dapat menimbulkan diabetes (diabetogenik)

Pencegahan sekunder
Pencegahan penyakit diabetes secara sekunder bertujuan agar penyakit diabetes mellitus yang
sudah terlanjur timbul tidak menimbulkan komplikasi penyakit lain, menghilangkan gejala dan
keluhan penyakit diabetes. Pencegahan penyakit diabetes secara sekunder meliputi deteksi dini
penderita diabetes mellitus, terutama bagi kelompok yang beresiko tinggi terkena diabetes. Bagi
yang dicurigai terkena penyakit diabetes, perlu diteliti lebih lanjut untuk memperkuat diagnose.
Hal-hal yang harus dilakukan dalam pencegahan penyakit diabetes secara sekunder:

Diet sehari-hari harus seimbang dan sehat


Menjaga berat badan agar tetap dalam batas normal, bila terlanjur melebihi normal
usahakan untuk menurunkan berat badan.
Pantau gula darah harian anda
Olahraga teratur sesuai dengan kemampuan fisik dan usia anda

Pencegahan tersier
Pencegahan penyakit diabetes secara tersier bertujuan untuk mencegah kecacatan lebih lanjut
dari komplikasi penyakit yang sudah terjadi, diantaranya:

Mencegah terjadinya kebutaan jika menyerang pembuluh darah mata


Mencegah gagal ginjal kronik yang menyerang pembuluh darah ginjal
Mencegah stoke bila menyerang pembuluh darah otak
Mencegah terjadinya gangrene bila terjadi luka

Prognosis
Diabetes Melitus tergantung pada beberapa hal dan tidak selamanya buruk, pasien yang terawat
baik, prognosisnya baik pada pasien Diabetes Melitus usia lanjut yang jatuh dalam keadaan
koma hipoglikemik atau hiperosmolas, prognosisnya kurang baik.

Daftar pustaka
1. Departemen Farmakologi dan Terapi FKUI. (2007). Farmakologi dan Terapi. Ed.
5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
2. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24433/4/Chapter%20II.pdf
3. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus di
Indonesia, PB. PERKENI. Jakarta 2011.
4. Sudoyo, Aru W. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi V.Jakarta: Interna
Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.

Anda mungkin juga menyukai