Anda di halaman 1dari 5

DIA YANG KEMBALI TERSENYUM

Wajah dibalik cermin itu kembali datang mengusik. Menyeringai lebar namun tak
seperti serigala. Merintih pelan namun sama sekali tak mirip anak kucing yang mencari
puting susu induknya. Melainkan lebih mirip anjing letih. Lidahnya menjulur, nafasnya
terengah. Dan kedua bola matanya sayu saat memandangku.
Tenanglah, penderitaanmu tak akan lama lagi. Bisikku, seraya mengelusnya. Elusan
yang terhalang oleh lima milimeter kaca cermin. Bibir yang semula menyeringai itu kini
mengerucut, panjang ke depan, seperti menanggung segunung kesal yang terkunci rapat
di ujung bibir.
Kulepaskan jemariku, lalu melangkah mundur. Wajah itu ikut mundur. Bedanya, jika
aku tersenyum, ia justru merengut. Tatapannya bertambah sayu. Dan gerak nafasnya
melambat.
Aku masih tersenyum. Sampai kakiku menyentuh permukaan lembut seprei ranjang.
Lalu merebahkan tubuh. Wajah itu berusaha untuk rebah juga. Namun entah kenapa
wajah itu tak kunjung terpejam. Gelisah. Saat ku terjaga kulihat ia masih terjaga.
Menanggung perihnya seorang diri.
*******
Kenapa tidak sarapan, hanya minum? Ibu menatapku heran. Aku meneguk jus jeruk
dengan terburu. Membiarkan setangkup roti bakar berlapis selai kacang, telur setengah
matang bertabur serbuk merica, juga segelas susu beraroma vanilla, diam di
tempatnya.
Maaf, bu, aku sudah telat.
Kalau begitu dibungkus saja. Nanti jam istirahat jangan lupa dimakan. Dan tanpa
menunggu persetujuanku, ibu telah memasukkan roti bakar ke dalam kotak bekalku.
Aku ingin protes. Namun detak jam di dinding menjadi pengingatku. Wajah itu muncul
lagi, saat langkahku melintasi cermin berbingkai jati yang tergantung di ruang tamu.
Tapi kali ini, ia mencoba untuk tersenyum.
Huh. Aku mendengus. Cepat aku menuju halte. Sedikit pusing saat melompat ke dalam
bis. Wajah itu masih mencoba untuk tersenyum, saat sekilas kutatap ia yang memantul
di kaca spion bis. Aku menggeram.
*******
Di, ke kantin yuk, Maaf, aku di kelas saja. Aku bawa bekal, tolakku pada ajakan
Hanna saat bel istirahat berbunyi. Tidak apa-apa, bawa saja bekalmu ke kantin. Mana?
Biar kuambilkan. Tukas Hanna seraya membuka tasku.
Aku tak bisa mengelak. Saat kotak bekal itu sudah berada di tangan Hanna lalu dengan

tangannya yang lain menggandeng lenganku menuju kantin.


Mau pesan apa, Di? tanya Hanna saat kami tiba di kantin.
Air putih saja.
Kenapa cuma air putih?
Kan aku sudah bawa bekal? Aku balik bertanya.
Maksudku, ya kenapa cuma air putih? Kenapa bukan es teh? Atau syrup?
Bukankah air putih paling baik untuk kesehatan? Tidak baik membiasakan diri minum
yang manis-manis. Lama-lama bisa kena kencing manis.
*******
Ia hanya menyantap separuh roti bakarnya saat jam istirahat tadi. Ketika Hanna
memergokinya yang tengah menyimpan sisa roti bakar dalam kotak bekalnya ia
mengatakan kalau roti bakar itu sudah dingin dan liat. Ketika Hanna menawarinya
untuk memesan menu lain di kantin ia menjawab sudah kenyang.
Ia memang bodoh.
*******
Wajah itu kian nelangsa. Seperti anak kucing yang berhari-hari tak menemukan sebutir
remah pun untuk dimakan, setelah berhari-hari juga ia terpisah dari puting susu
induknya. Ia bahkan tak mampu lagi menjulurkan lidahnya. Sepasang mata yang
menatap sayu kini sesekali terpejam. Mungkin ia mengantuk.
Aku tersenyum lebar. Aku tak peduli pada wajah itu. Melainkan pada tubuh yang berada
dibawahnya. Tubuh itu tak lagi sama. Namun satu yang kusadari bahwa akhir-akhir ini
wajah diatas tubuh itu telah kian pilu.
Maukah kau untuk sejenak bersabar? Aku tak mengelus wajah itu, sebaliknya mengelus
sesuatu dibalik piyamaku. Sesuatu yang kini terasa hampa. Tipis. Rata seperti papan
namun permukaannya lembut seperti kain.
Aku memejam mata. Merasakan sensasi aneh saat jemariku terus mengelus. Sensasi
yang hanya berisi tiga kata, kepuasan, kepuasan, dan kepuasan. Setelah dulu entah
kapan, malas untuk mengingatnya lagi permukaan yang kuelus itu kerap memancing
air mataku. Berulang kali mengenakan pakaian untuk kemudian melepaskannya
kembali saat apapun jenis pakaian yang kupakai tetap gagal menutupi permukaannya
yang mirip tonjolan bukit kecil. Hampir menyerupai tonjolan pada perut ibu yang
sedang mengandung. Dan aku akan langsung menangis jika ada yang mengatakan
bahwa permukaan itu memang mirip perut ibu yang sedang mengandung.
Ahh ! Aku tersentak. Gerakan mengelus sontak berubah menjadi cengkeraman yang
benar-benar rapat dan kuat. Saat dari balik permukaan itu tiba-tiba saja muncul
gerakan gemuruh. Seperti gunung yang tak tahan untuk segera memuntahkan
laharnya.
Tidak. Ini tak akan berlangsung lama. Aku perlahan bergerak mundur. Mundur. Tanpa
menatap lagi wajah diatas tubuh itu. Entah masih pilu. Atau mungkin telah terisak.

*******
Hari ini kamu harus sarapan, Diandra. Tapi.
Tidak ada tapi-tapi. Tidak ada alasan telat sekolah lagi. Kamu sudah terlalu kurus.
Lihat, baju dan rokmu sudah longgar semua.
Tapi kalau telat aku dimarahi, bu.
Biar ibu mengantarmu hari ini. Kalau dimarahi, ibu yang akan bilang pada gurumu
kenapa kamu terlambat
Kenapa? Karena aku harus sarapan dulu? Astaga, bu! Aku bukan anak kecil lagi! Nanti
aku malah ditertawakan!
Siapa yang akan menertawakanmu? Teman-temanmu? Coba saja kalau mereka berani
menertawakanmu.
Kali ini aku tak bisa melawan kehendak ibu. Ibu bahkan mengancam tak memberiku
uang saku kalau aku menolak untuk sarapan.
Sejak hari itu ibu mulai ketat mengawasi sarapan pagiku. Karena hanya pada saat
sarapan ibu bisa menemaniku. Selebihnya, ibu harus bekerja sampai larut malam demi
menghidupi kami berdua sepeninggal ayahku.
Kini setiap pagi ibu meluangkan lebih banyak waktu untuk menyiapkan sarapan ekstra.
Nasi goreng komplit dengan irisan telur, sosis, dan parutan wortel. Atau bubur ayam
bertabur daging suwir, seledri, bawang goreng lengkap dengan kaldu ayam kental.
Pada awalnya aku merengut, namun setiap kali pula aku tak kuasa menolak untuk
menyisakan sarapan buatan ibu yang rasanya memang sangat lezat. Namun akhir-akhir
ini, entah kenapa aku malas tersenyum. Aku juga mulai malas melihat cermin, karena
wajah itu belakangan ini tampak mencoba untuk kembali tersenyum. Aku tak suka
melihatnya tersenyum. Antara ia dan aku, memang sudah lama tak pernah sepakat.
Pagi ini aku kembali menemui ibu di meja makan. Ibu yang menyambutku dengan
senyum lebar dan sepaket sarapan komplit : bubur kacang hijau, susu vanilla, telur
setengah matang, dan sebutir tablet multivitamin. Bunyi dengusan pelan dari arah pintu
samping membuatku sejenak menoleh. Ah. Si Manis kucing tetangga rupanya. Ia
mendengus-dengus. Kepalanya tertunduk-tunduk. Dan dari celah mulutnya, terluah
cairan pekat.
Aneh. Aku tak merasa jijik. Aku tersenyum.
*******
Wanita itu tersenyum. Hanna juga tersenyum. Semua yang mengenalnya ikut
tersenyum. Gadis itu telah kembali seperti dulu. Gadis yang dulunya mencintai apapun
yang bisa memuaskan lambungnya. Sampai kemudian ia bertemu Ronald. Sampai
kemudian ia menjadi rajin membeli majalah remaja yang didalamnya terdapat
lembaran formulir.
Awalnya aku juga masih hobi tersenyum. Sampai tiba suatu masa dimana hanya ia saja
yang mampu melakukannya. Tak hanya senyumku yang ia renggut. Tapi juga senyum
ibunya. Senyum Hanna. Senyum sahabat-sahabatnya.

Jadi sekarang, tidak aku heran saat melihat mereka kembali tersenyum. Hanya satusatunya yang tak bisa gadis itu lakukan. Ia belum kembalikan senyumku.
*******
Wah, kamu hebat ya sekarang. Hebat apanya? Dulu makanmu sedikit, sekarang
banyak, tapi tubuhmu tetap langsing. Apa sih rahasianya? Aku hanya tersenyum.
Melirik pada Hanna yang juga ikut tersenyum.
Hari ini aku makan di kantin. Padahal di rumah, sebenarnya aku sudah sarapan.
Menghabiskan sarapan yang dihidangkan ibu tanpa sisa, sebaliknya menyisakan
senyum lebar di wajah ibu sebelum ia berangkat bekerja.
Saat meninggalkan kantin, mendadak jantungku berdebar-debar. Dalam jarak lima
meter didepanku, cowok tampan itu berdiri memandangku, terus memandangku, dan ia
masih disana, meski aku telah berlalu dari hadapannya.
*******
Ia berhasil mendapatkannya. Senyum yang paling ia dambakan diantara semua
senyum. Bahkan sampai tengah malam pun ia masih tersenyum-senyum. Dalam
apapun yang ia lakukan ia tetap tersenyum. Lalu ia tertidur. Seraya mendekap foto
Ronald, juga formulir di majalah yang baru saja ia gunting.
*******
Ibu menatap hidangan di meja makan seraya tersenyum puas. Hari ini ulang tahun
Diandra. Dan ibu yakin kalau Diandra tidak ingat. Buktinya sampai tadi malam Diandra
tidak bilang apa-apa. Mungkin anak gadisnya itu terlalu sibuk. Sebentar lagi dia akan
ujian semester. Namun tentu saja ibu tak pernah lupa. Dalam hidupnya ia hanya
mengingat tiga hari dan tanggal ulang tahun. Ulang tahun Diandra, ulang tahun
suaminya, dan ulang tahunnya sendiri. Karena suaminya telah meninggal, maka ia tak
pernah lagi menyiapkan apa-apa pada saat tanggal itu tiba, selain hanya memanjat doa
agar segala dosa suaminya diampuni dan kelak mereka akan dipertemukan di syurga.
Dan hari ini adalah hari ulang tahun Diandra. Sejak beberapa hari lalu ibu telah sibuk
menyiapkan segala sesuatunya. Berbelanja di swalayan, memesan kue ulang tahun rasa
coklat bertabur irisan strawberry, juga membeli hadiah spesial untuk Diandra.
Ibu ingin merayakan ulang tahun Diandra yang ke tujuh belas berdua saja dengan anak
gadisnya itu. Dan ia pun tak berniat menghalangi andai Diandra ternyata sudah punya
rencana sendiri untuk merayakan ulang tahunnya. Apa yang penting baginya adalah
bahwa momen istimewa itu dapat ia rayakan bersama Diandra dalam satu-satunya
waktu yang mampu ia bagi. Waktu sarapan pagi.
Diandra! Buka pintunya, nak! Kita sarapan sama-sama! serunya lantang seraya
mengetuk pintu kamar Diandra. Tak ada jawaban. Ibu tunggu dibawah ya! Cepatlah
kau mandi dan berpakaian! Serunya lagi, lalu bergegas kembali ke ruang makan.
Begitu khawatirnya ia bahwa masih ada menu yang terlupa disiapkan ataupun kucing
tetangganya yang nakal itu tiba-tiba saja nyelonong masuk lalu naik ke atas meja makan
dan mengacaukan segalanya.

Ibu menunggu dengan gelisah. Berkali-kali melirik arloji namun Diandra tak juga
muncul. Padahal jam weker dari kamar Diandra telah beberapa kali berdering. Mustahil
kalau Diandra tak mendengarnya.
Ibu mulai memanggil-manggil. Jarak antara ruang makan dan kamar Diandra hanya
terpaut empat meter. Tidak mungkin Diandra tak mendengar suaranya kecuali kalau
gadis itu memang masih pulas tertidur.
Sampai menit ke sepuluh bergeser dari arloji ibu bangkit dari duduknya. Ia baru saja
hendak menuju ke kamar Diandra ketika ekor matanya menangkap sosok si Manis dari
arah pintu samping. Kucing itu berhenti tak jauh dari pintu. Dan ia mulai mendengus.
Ibu telah hafal kebiasaan kucing yang sama sekali tidak manis itu. Selain nakal dan suka
mencuri, kucing itu juga sangat jorok. Jika sudah mendengus-dengus seperti itu maka
sebentar lagi ia pasti akan muntah.
Ibu meraih gagang sapu lalu mendekati si Manis. Pergi! Jangan muntah disini, kucing
jorok! Si Manis memandang wajah ibu. Lidahnya terjulur. Hey, kau tidak dengar ya?
Ayo pergi sebelum ku. Ibu belum lagi menuntaskan ancamannya. Sepasang matanya
telah tertarik ke sepetak tanah tak jauh dari kaki si Manis. Juga parit kecil yang mampet
di sebelahnya. Disana, ibu melihat genangan cairan berwarna kuning, butiran-butiran
nasi, potongan-potongan telur dadar, daun-daun sawi, gumpalan serupa coklat leleh
yang belum membeku sempurna. Jumlahnya banyak.banyak sekali. Sepertinya,
benda-benda itu belum lama ada disana.
Ibu ternganga. Terbeliak. Saat menolehkan kepala baru disadarinya bahwa si Manis
telah raib. Entah kapan kucing itu beranjak dari situ. Ibu menoleh lagi. Pada genangan
kotoran dan parit yang tersumbat. Seketika, teringat ia akan menu sarapan yang ia
siapkan kemarin pagi.
*******
Wajah itu datang lagi. Menatap Diandra yang masih terpejam. Masih memeluk foto
Ronald, juga guntingan formulir dari majalah. Hanya kali ini gadis itu benar-benar
pulas. Saking pulasnya hingga gelombang dadanya pun tiada. Aliran darah segar yang
seharusnya merona, juga tiada.
Wajah itu tak lagi tampak letih, putus asa dan memohon belas. Ia tersenyum.

Anda mungkin juga menyukai