Anda di halaman 1dari 10

Etika profesi hukum dalam film Law and Order

1. Advokat
Menurut Undang-undang no.18 tahun 2003 tentang Advokat yang dimaksud Advokat adalah
orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan dengan
syarat-syarat yang telah diatur dalam Pasal 3 UU Advokat.
Secara normatif, Undang-undang Advokat juga menegaskan bahwa peran advokat adalah
penegak hukum yang memiliki kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya (hakim, jaksa,
dan polisi). Namun, meskipun sama-sama sebagai penegak hukum, peran dan fungsi para
penegak hukum ini berbeda satu sama lain. Dalam konsep trias politica tentang pemisahan
kekuasaan negara yang terdiri dari kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Penegak hukum
yang terdiri dari hakim, jaksa, dan polisi memiliki kekuasaan yudikatif dan eksekutif. Dalam hal
ini hakim sebagai penegak hukum yang menjalankan kekuasaan yudikatif mewakili kepentingan
negara dan jaksa serta polisi yang menjalankan kekuasaan eksekutif mewakili kepentingan
pemerintah. Bagaimana dengan Advokat?
Advokat dalam hal ini tidak termasuk dalam lingkup ketiga kekuasaan tersebut (eksekutif,
legislative, dan yudikatif). Advokat sebagai penegak hukum menjalankan peran dan fungsinya
secara mandiri untuk mewakili kepentingan masyarakat (klien) dan tidak terpengaruh oleh
kekuasaan negara (yudikatif dan eksekutif). Dalam mewakili kepentingan klien dan membela
hak-hak hukum tersebut, cara berpikir advokat harus objektif menilainya berdasarkan keahlian
yang dimiliki dan kode etik profesi. Untuk itu, dalam kode etik ditentukan adanya ketentuan
advokat boleh menolak menangani perkara yang menurut keahliannya tidak ada dasar hukumnya,
dilarang memberikan informasi yang menyesatkan dan menjanjikan kemenangan kepada klien.
Profesi Advokat yang bebas mempunyai arti bahwa dalam menjalankan profesinya membela
masyarakat dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran hukum tidak mendapatkan tekanan
darimana pun juga. Kebebasan inilah yang harus dijamin dan dilindungi oleh UU yaitu UU no.18
tahun 2003 tentang Advokat agar jelas status dan kedudukannya dalam masyarakat, sehingga bisa
berfungsi secara maksimal.
Aparat penegak hukum seperti hakim, jaksa dan polisi dalam menjalankan tugas dan fungsinya
diberikan kewenangan tetapi Advokat dalam menjalankan profesinya tidak diberikan
kewenangan. Melihat kenyataan tersebut maka diperlukan pemberian kewenangan kepada
advokat. Kewenangan tersebut diperlukan selain untuk menciptakan kesejajaran diantara aparat

penegak hukum juga untuk menghindari adanya multi tafsir diantara aparat penegak hukum yang
lain dan kalangan advokat itu sendiri terkait dengan kewenangan. Sementara UU No. 18/2003
tentang Advokat tidak mengatur tentang kewenangan Advokat di dalam menjalankan fungsi dan
tugasnya sebagai aparat penegak hukum. Dengan demikian maka terjadi kekosongan norma
hukum terkait dengan kewenangan Advokat tersebut. Perlu diketahui bahwa profesi advokat
adalah merupakan organ negara yang menjalankan fungsi negara. Dengan demikian maka profesi
Advokat sama dengan Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman sebagai organ negara yang
menjalankan fungsi negara. Bedanya adalah kalau Advokat adalah lembaga privat yang berfungsi
publik, sedangkan Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman adalah lembaga publik. Jika Advokat
dalam menjalankan fungsi dan tugasnya diberikan kewenangan dalam statusnya sebagai aparat
penegak hukum maka kedudukannya sejajar dengan aparat penegak hukum yang lain. Dengan
kesejajaran tersebut akan tercipta keseimbangan dalam rangka menciptakan sistem penegakan
hukum yang lebih baik.
Kewenagan Advokat dari Segi Kekuasaan Yudisial Advokat dalam sistem kekuasaan yudisial
ditempatkan untuk menjaga dan mewakili masyarakat. Sedangkan hakim, jaksa, dan polisi
ditempatkan untuk mewakili kepentingan negara. Pada posisi seperti ini kedudukan, fungsi dan
peran advokat sangat penting, terutama di dalam menjaga keseimbangan diantara kepentingan
negara dan masyarakat. Ada dua fungsi advokat terhadap keadilan yang perlu mendapat
perhatian, yaitu pertama kepentingan, mewakili klien untuk menegakkan keadilan, dan peran
advokat penting bagi klien yang diwakilinya. Kedua, membantu klien, seseorang Advokat
mempertahankan legitimasi sistem peradilan dan fungsi advokat. Selain kedua fungsi advokat
tersebut yang tidak kalah pentingnya, yaitu bagaimana advokat dapat memberikan pencerahan di
bidang hukum di masyarakat. Pencerahan tersebut bisa dilakukan dengan cara memberikan
penyuluhan hukum, sosialisasi berbagai peraturan perundang-undangan, konsultasi hukum
kepada masyarakat baik melalui media cetak, elektronik maupun secara langsung. Fakta yang
tidak terbantahkan bahwa keberadaan Advokat sangat dibutuhkan oleh masyarakat, khususnya
masyarakat yang tersandung perkara hukum, untuk menunjang eksistensi Advokat dalam
menjalankan fungsi dan tugasnya dalam sistem penegakan hukum, maka diperlukan kewenangan
yang harus diberikan kepada Advokat. Kewenangan Advokat tersebut diperlukan dalam rangka
menghindari tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang
lain (Hakim, Jaksa, Polisi) dan juga dapat memberikan batasan kewenangan yang jelas terhadap
advokat dalam menjalankan profesinya. Dalam praktik seringkali keberadaan Advokat dalam

menjalankan profesinya seringkali dinigasikan (diabaikan) oleh aparat penegak hukum. Hal ini
mengakibatkan kedudukan advokat tidak sejajar dengan aparat penegak hukum yang lain.
2. Polisi

Polisi dalam perannya sebagai penegak hukum selalu terus berupaya untuk memberikan hasil
yang baik. Gejala merosotnya pengemban profesi hukum tampak dari munculnya istilah Mafia
Peradilan, dan orang mulai merasa bahwa sebaiknya untuk menyelesaikan suatu kasus sedapat
mungkin jangan ke pengadilan dengan bantuan pengemban profesi hukum. Apa artinya jika
dikatakan bahwa profesi mengalami kemerosotan (seriouly impaired)? Apa ukurannya untuk
menilai demikian? Jawabnya adalah jika kode etik profesi tidak dipatuhi oleh sebagian besar para
pengembannya. Tetapi, apa kode etik profesi itu, dan mengapa profesi memerlukan kode etik?
Jawabannya akan tergantung pada pengertian kita tentang profesi itu sendiri.
Perkataan profesi dan profesional sudah sering digunakan dan mempunyai beberapa arti. Dalam
percakapan sehari-hari, perkataan profesi diartikan sebagai pekerjaan (tetap) untuk memperoleh
nafkah (Belanda; baan; Inggeris: job atau occupation), yang legal maupun yang tidak. Jadi,
profesi diartikan sebagai setiap kegiatan tetap tertentu untuk memperoleh nafkah yang
dilaksanakan secara berkeahlian yang berkaitan dengan cara berkarya dan hasil karya yang
bermutu tinggi dengan menerima bayaran yang tinggi. Keahlian tersebut diperoleh melalui proses
pengalaman, belajar pada lembaga pendidikan (tinggi) tertentu, latihan secara intensif, atau
kombinasi dari semuanya itu. Dalam kaitan pengertian ini, sering dibedakan pengertian
profesional dan profesionalisme sebagai lawan dari amatir dan amatirisme, misalnya dalam dunia
olahraga, yang sering juga dikaitkan pada pengertian pekerjaan tetap sebagai lawan dari
pekerjaan sambilan.
Pengemban profesi adalah orang yang memiliki keahlian yang berkeilmuan dalam bidang
tertentu. Karena itu, ia secara mandiri mampu memenuhi kebutuhan warga masyarakat yang
memerlukan pelayanan dalam bidang yang memerlukan keahlian berkeilmuan itu. Pengemban
profesi yang bersangkutan sendiri yang memutuskan tentang apa yang harus dilakukannya dalam
melaksanakan tindakan pengembanan profesionalnya. Ia secara pribadi bertanggung jawab atas
mutu pelayanan jasa yang dijalankannya. Karena itu, hakikat hubungan antara pengemban profesi
dan pasien atau kliennya adalah hubungan personal, yakni hubungan antar subyek pendukung
nilai.
Hubungan personal yang demikian itu tadi adalah hubungan horisontal antara dua pihak yang
secara formal yuridis kedudukannya sama. Walaupun demikian, sesungguhnya dalam substansi
hubungan antara pengemban profesi dan klien itu secara sosio-psikologis terdapat
ketidakseimbangan. Dalam pengembanan profesinya, seorang pengemban profesi memiliki dan
menjalankan otoritas profesional terhadap kliennya, yakni otoritas yang bertumpu pada
kompetensi teknikalnya yang superior.
Klien tidak memiliki kompetensi teknikal atau tidak dalam posisi untuk dapat menilai secara
obyektif pelaksanaan kompetensi teknikal pengemban profesi yang diminta pelayanan
profesionalnya. Karena itu, jika klien mendatangi atau menghubungi pengemban profesi untuk
meminta pelayanan atau jasa profesionalnya, maka pada dasarnya klien tersebut tidak mempunyai
pilihan lain kecuali memberikan pelayanan profesionalnya secara bermutu dan bermartabat.
Uraian tadi menunjukkan bahwa hubungan horosontal antara pengemban profesi dan kliennya

juga bersifat suatu hubungan kepercayaan. Ini berarti bahwa klien yang meminta jasa pelayanan
profesional, mendatangi pengemban profesi yang bersangkutan dengan kepercayaan penuh bahwa
pengemban profesi itu tidak akan menyalahgunakan situasinya, bahwa pengemban profesi itu
secara bermartabat akan mengerahkan pengetahuan dan keahlian berkeilmuannya dalam
menjalankan pelayanan jasa profesionalnya.
Karena merupakan suatu fungsi kemasyarakatan yang langsung berkaitan dengan nilai dasar yang
menentukan derajat perwujudan martabat manusia, maka sesungguhnya pengembanan profesi
atau pelayanan profesional itu memerlukan pengawasan masyarakat. Tetapi pada umumnya, yang
bukan pengemban profesi yang bersangkutan, tidak memiliki kompetensi teknikal untuk dapat
menilai dan melakukan pengawasan yang efektif terhadap pengembanan profesi. Termasuk
birokrasi pemerintahan sulit melaksanakan pengawasan dan pengendalian kemasyarakatan
(kontrol sosial) terhadap pelayanan profesional secara efektif. Daya jangkau kontrol sosial
birokrasi pemerintahan dengan berdasarkan kaidah hukum sangat terbatas, baik karena sifat
personal pada hubungan antara pengemban profesi dan klien maupun karena pengemban profesi
memiliki kekuasaan dan menjalankan kewibawaan tertentu terhadap kliennya.
3. Penegakan Hukum
4. Bahwa etika profesi adalah sebagai sikap hidup untuk memenuhi kebutuhan pelayanan
profesional dari klien dengan keterlibatan dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka
kewajiban masyarakat sebagai keseluruhan terhadap para anggota masyarakat yang
membutuhkannya dengan disertai refleksi yang seksama, berdasarkan pengertian terdapatnya
kaidah-kaidah pokok etika profesi sebagai berikut:
5. 1. Profesi harus dipandang (dan dihayati) sebagai suatu pelayanan;
2. Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan klien mengacu pada kepentingan atau
nilai-nilai luhur sebagai norma kritik yang memotivasi sikap dan tindakan;
3. Pengemban profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan;
4. Agar persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat harus dapat menjamin mutu dan
peningkatan pengembanan profesi tersebut.

3. Hakim
Secara filosofis, tujuan akhir profesi hakim adalah ditegakkannya keadilan. Cita hukum keadilan yang terapat
dalam das sollen (kenyataan normatif) harus dapat diwujudkan dalam das sein (kenyataan alamiah) melalui
nilai-nilai yang terdapat dalam etika profesi. Salah satu etika profesi yang telah lama menjadi pedoman
profesi ini sejak masa awal perkembangan hukum dalam peradaban manusia adalah The Four
Commandments for Judges dari Socrates. Kode etik hakim tersebut terdiri dari empat butir di bawah ini. [20]
1.
2.
3.
4.

To hear corteously (mendengar dengan sopan dan beradab).


To answer wisely (menjawab dengan arif dan bijaksana).
To consider soberly (mempertimbangkan tanpa terpengaruh apapun).
To decide impartially (memutus tidak berat sebelah).

Peradaban Islam pun memiliki literatur sejarah di bidang peradilan, salah satu yang masih tercatat ialah
risalah Khalfah Umar bin Khatab kepada Musa Al- Asy'ari, seorang hakim di Kufah, yang selain mengungkapkan
tentang pentingnya peradilan, cara pemeriksaan, dan pembuktian, juga menjelaskan tentang etika profesi.

Dalam risalah dituliskan kode etik hakim antara lain di bawah ini.[21]
1.
Mempersamakan kedudukan para pihak dalam majelis, pandangan, dan putusan sehingga pihak yang
merasa lebih mulia tidak mengharapkan kecurangan hakim, sementara pihak yang lemah tidak berputus asa
dalam usaha memperoleh keadilan hakim.
2.
Perdamaian hendaklah selalu diusahakan di antara para pihak yang bersengketa kecuali perdamaian
yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
Dalam bertingkah laku, sikap dan sifat hakim tercermin dalam lambang kehakiman dikenal sebagai Panca
Dharma Hakim, yaitu:[22]
Kartika, melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa;
Cakra, berarti seorang hakim dituntut untuk bersikap adil;
Candra, berarti hakim harus bersikap bijaksana atau berwibawa;
Sari, berarti hakim haruslah berbudi luhur atau tidak tercela; dan
Tirta, berarti seorang hakim harus jujur.
Sebagai perwujudan dari sikap dan sifat di atas, maka sebagai pejabat hukum, hakim harus memiliki etika
kepribadian, yakni:[23]
a.

percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

b.

menjunjung tinggi citra, wibawa, dan martabat hakim;

c.

berkelakuan baik dan tidak tercela;

d.

menjadi teladan bagi masyarakat;

e.

menjauhkan diri dari perbuatan asusila dan kelakuan yang dicela oleh masyarakat;

f.

tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat hakim;

g.

bersikap jujur, adil, penuh rasa tanggung jawab;

h.

berkepribadian, sabar, bijaksana, berilmu;

i.

bersemangat ingin maju (meningkatkan nilai peradilan);

j. dapat dipercaya; dan


k. berpandangan luas.
2.7 Sikap Hakim dalam Kedinasan
Sikap, sifat, dan etika kepribadian yang harus dimiliki oleh hakim seperti telah diuraikan di atas selanjutnya
diimplementasikan di persidangan pada saat hakim menjalankan tugasnya. Edy Risdianto, hakim pada

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mencontohkan salah satu bentuk tanggung jawab moral hakim yang ia
terapkan dalam menjalankan tugasnya adalah tidak mengikutsertakan istri ke ruang sidang di pengadilan
ketika sedang memimpin persidangan.[24] Secara umum, yang harus dilakukan hakim terhadap pihak ketiga
yang menjadi pencari keadilan dalam persidangan adalah:[25]
1.

bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan dalam hukum acara yang berlaku;

2.
tidak dibenarkan bersikap yang menunjukkan memihak atau bersimpati atau antipati terhadap pihakpiha yang berperkara;
3.
harus bersikap sopan, tegas, dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun
perbuatan;
4.

harus menjaga kewibawaan dan kekhidmatan persidangan; dan

5. bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan. Sementara itu, terhadap profesinya sendiri, seorang
hakim juga harus menjaga perilakunya, baik kepada atasan, sesama rekan, maupun bawahan. Terhadap
atasan, seorang hakim harus bersikap:[26]
1.

taat kepada pimpinan;

2.

menjaankan tugas-tugas yang telah digariskan dengan jujur dan ikhlas;

3.

berusaha memberi saran-saran yang membangun;

4.
mempunyai kesanggupan untuk mengeluarkan serta mengemukakan pendapat tanpa meningalkan
norma-norma kedinasan; dan
5.

tidak dibenarkan mengadakan resolusi terhadap atasan dalam bentuk apapun.

Sedangkan terhadap sesama rekan, hakim haruslah:[27]


1.

memelihara dan memupuk hubungan kerja sama yang baik antarsesama rekan;

2.

memiliki rasa setia kawan, tenggang rasa, dan saling menghargai antarsesama rekan;

3.

memiliki kesadaran, kesetiaan, penghargaan terhadap korps hakim; dan

4.

menjaga nama baik dan martabat rekan-rekan, baik di dalam maupun di luar kedinasan.

Begitu pula terhadap bawahan/pegawai, setiap hakim selayaknya bersikap:[28]


1.

harus mempunyai sifat kepemimpinan;

2.

membimbing bawahan untuk mempertinggi kecakapan;

3.

harus mempunyai sikap sebagai seorang bapak/ibu yang baik;

4.

memelihara sikap kekeluargaan antara bawahan dengan hakim; dan

5.

memberi contoh kedisiplinan.

2.8 Sikap Hakim Di Luar Kedinasan


Di samping itu, di luar kedinasannya berprofesi di pengadilan, hakim juga harus senantiasa menjaga sikap
dan perilakunya. Terhadap diri pribadi, seorang hakim harus:[29]
1. memiliki kesehatan jasmani dan rohani;
2. berkelakuan baik dan tidak tercela;
3. tidak menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi maupun golongan;
4. menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan asusila dan kelakuan yang dicela oleh masyarakat; dan
5. tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang merendahkan martabat hakim.
Sementara dalam kehidupan rumah tangga, hakim harus bersikap:[30]
1.
menjaga keluarga dari perbuatan-perbuatan tercela, baik menurut norma hukum maupun norma
kesusilaan;
2.

menjaga ketentraman dan keutuhan keluarga dan rumah tangga;

3.

menyesuaikan kehidupan rumah tangga dengan keadaan dan pandangan masyarakat; dan

4.

tidak dibenarkan hidup berlebih-lebihan dan mencolok.

Sedangkan dalah kehidupan bermasyarakat, hakim harus selalu:[31]


1.

selaku anggota masyarakat tidak boleh mengisolasi diri dari pergaulan masyarakat;

2.

dalam hidup bermasyarakat harus mempunyai rasa gotong-royong; dan

3.

harus menjaga nama baik dan martabat hakim.

2.9 Tanggung Jawab Hukum Hakim


Beberapa peraturan perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan hakim dan peradilan mencantumkan
dan mengatur pula hal-hal seputar tanggung jawab hukum profesi hakim.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mencantumkan beberapa tanggung
jawab profesi yang harus ditaati oleh hakim, yaitu:
a.
bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1));
b.
bahwa dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang
baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 ayat (2)); dan
c. bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau
semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami isteri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah

seorang Hakim Anggota, Jaksa, Advokat, atau Panitera (Pasal 29 ayat (3)).
Selain peraturan perundang-undangan yang menguraikan tanggung jawab profesi hakim sebagai
penyelenggara kekuasaan kehakiman secara umum, terdapat pula ketentuan yang mengatur secara khusus
mengenai tanggung jawab profesi Hakim Agung, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Agung. Undang-undang ini mengatur ketentuan-ketentuan yang harus ditaati dan menjadi
tanggung jawab Hakim Agung, di antaranya sebagai berikut.
Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa Hakim Agung tidak boleh merangkap menjadi:
-

pelaksana putusan Mahkamah Agung;

- wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang akan atau sedang diperiksa
olehnya;
-

penasehat hukum; dan

pengusaha.

b.
Pasal 12 ayat (1) menyatakan bahwa Hakim Anggota Mahkamah Agung dapat diberhentikan tidak
dengan hormat dengan alasan:
- dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
-

melakukan perbuatan tercela;

terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya;

melanggar sumpah atau janji jabatan; dan

melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.

c.
Pasal 41 ayat (1) menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari suatu persidangan apabila
terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau isteri
meskipun telah bercerai dengan salah seorang Hakim Anggota atau Panitera pada majelis hakim.
d.
Pasal 41 ayat (4) menyatakan jika seorang hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama atau
tingkat banding, kemudian telah menjadi Hakim Agung, maka Hakim Agung tersebut dilarang memeriksa
perkara yang sama.
e. Pasal 42 ayat (1) menyatakan bahwa seorang hakim tidak diperkenankan mengadili suatu perkara yang ia
sendiri berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung. Di samping kedua undang-undang di atas,
peraturan berbentuk undang- undang lainnya yang mencantumkan ketentuan mengenai tanggung jawab
profesi hakim adalah:
1.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama;
2.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
3.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1986
tentang Peradilan Umum;
4.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara;

5.
6.
7.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;


Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak; dan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Jenis tanggung jawab yang terakhir adalah tanggung jawab teknis profesi. Pada jenis tanggung jawab ini,
penilaian terhadap sesuai atau tidaknya tindakan yang dilakukan oleh hakim dengan ketentuan yang berlaku
menjadi hal yang paling diutamakan. Selain itu, penilaian terhadap kinerja dan profesionalisme hakim dalam
menjalankan tugasnya juga menjadi perhatian. Setiap hakim dituntut mampu mempertanggungjawabkan
tindakannya sebagai profesional di bidang hukum, baik di dalam maupun di luar kedinasan, secara materi
dan formil. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang mutlak bagi para hakim untuk memahami secara
mendalam aturan-aturan mengenai hukum acara di persidangan. Ketidak mampuan hakim dalam
mempertanggungjawabkan tindakannya secara teknis atau dikenal dengan istilah unprofessional conduct
dianggap sebagai pelanggaran yang harus dijatuhi sanksi.

TUGAS ETIKA PROFESI


Seksi
Dosen: Ibu Febiana Rima KAinama

Oleh:

Benjamin Josef
2011-050-202

UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA JAKARTA

Anda mungkin juga menyukai