Referat Pcs
Referat Pcs
Oleh
Gita Pramadewi Fitriani
I1A004017
Pembimbing
Dr. Lily Runtuwene, Sp. S
BAB I
PENDAHULUAN
Spektrum cedera traumatik pada otak bervariasi dari cedera ringan dan
kadang-kadang tak disadari sampai cedera berat dengan morbiditas dan mortalitas
yang nyata. Angka kejadian pasti dari cedera kepala sulit ditentukan karena berbagai
faktor, misalnya sebagian kasus-kasus yang fatal tidak pernah sampai ke RS, dilain
pihak banyak kasus yang ringan tidak datang pada dokter kecuali bila kemudian
timbul komplikasi. Dari penelitian di Skotlandia dan Kanada ditemukan bahwa
perbandingan pasien cedera kepala yang tidak dirawat di RS terhadap pasien yang
dirawat adalah 4-5 : 11.
Insiden cedera kepala yang nyata yang memerlukan perawatan di RS dapat
diperkirakan 480.000 kasus pertahun (200 kasus/100.000 orang), yang meliputi
concussion, fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial, laserasi otak, hematoma dan
cedera serius lainnya. Dari total ini 75-85% adalah concussion dan sekuele cedera
kepala ringan. Cedera kepala paling banyak terjadi pada laki-laki berumur antara 1524 tahun, dan biasanya karena kecelakaan kendaraan bermotor. Menurut Rimer et al
dari 1200 pasien yang dirawat di RS dengan cedera kepala tertutup, 55% diobati
untuk cedera kepala ringan (minor)1.
Banyak pasien-pasien dengan cedera ringan yang datang kedokter untuk
pertama kalinya karena gejala yang terus berlanjut, dikenal sebagai sindroma
postconcussion. Berdasarkan informasi statistik yang diketahui, masalah cedera
kepala ringan adalah gangguan sekuele pasca trauma dan dengan akibat gangguan
produktivitas1.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Cedera akibat benturan pada kepala sering muncul sebagai keluhan subjektif.
Postconcussion Syndrome juga dapat disebabkan oleh karena masalah ekonomi atau
masalah psikologis. Penulis ingin menjelaskan patologi tentang trauma kepala, gejala
dari postconcussional syndrome, dan kriteria diagnosis. Sebagai tambahan, sering
dijumpai defisit somatis, psikologis dan masalah kogitif yang menyertai. Penderita
dan tingkat keparahan dari postconcussional syndrome lebih besar pada wanita.
Kepura-puraan dapat diduga pada kasus yang melibatkan perkara dan tersedia tes
untuk mendeteksinya. Perawatan untuk postconcussional syndrome tergantung pada
gejala spesifik. Obat-obatan dapat membantu, tapi harus berhati-hati dalam pemberian
obat yang dapat menganggu dan berefek pada SSP2.
Fakta bahwa benturan pada kepala akan menganggu kesehatan seseorang telah
diketahui sejak dahulu kala. Muncul kontroversi di berbagai bidang akademik dan
klinik selama bertahun-tahun telah mencoba mencari jawaban dari pertanyaaan
berikut : Kekuatan sebesar apa yang mampu mencederai kepala? Bagaimana
manifestasinya? Dan apa yang diharapkan bila setelah cedera tersebut terjadi?.
Sebagai tambahan, sebagian besar kondisi berupa keluhan subjektif, apakah efek dari
cedera tersebut didramatisir atau pura-pura akibat masalah psikologis primer atau
sekunder? Pada tahun 1866, kontroversi ini mulai terjawab ketika Erichsen
mempublikasikan hasil tentang pasien yang mengeluh hal yang sama terus menerus
setelah mengalami cedera kepala sedang. Dia mengemukakan bahwa gangguan
tersebut karena perubahan molekuler pada saraf tepi yang diinduksi oleh trauma.
2
Karena kebanyakan gangguan ini terjadi akibat pekerjaan membangun jalur kereta
Prussian, kondisi tersebut dinamakan railroad spine. Pada tahun 1879, Rigler
menolak konsep tersebut dan mengajukan pendapat bahwa cedera tersebut karena
kompensasi neurosis. Dia berpendapat bahwa alasan meningkatnya kecacatan
jangka panjang akibat dari cedera kepala ringan merupakan awal dari kompensasi dari
cedera pada pekerja rel kereta Prussian. Charcoat kemudian mengajukan pendapatnya
bahwa keluhan jangka panjang dari cedera kepala sedang akibat dari histeria dan
neurasthenia (misalnya kelelahan dan kebingungan yang disebabkan faktor
psikologis). Pada tahun 1934, diagnosis dari railroda spine, kompensasi neurosis,
dan hysteria disamakan dengan nama diagnosis postconcussional syndrome.
Sayangnya, perubahan pada nomenklatur hanya berpengaruh sedikit dalam menjawab
pertanyaan tentang keadaan sebenarnya dari kondisi tersebut, patofisiologi, prognosis,
dan faktor psikologis lainnya (misalnya akibat primer dan sekunder)2.
A. Definisi
Post concussion syndrome atau post concussive syndrome (PCS) dulu dikenal
dengan shell shock, adalah sekelompok gejala yang di alami seseorang, setelah
seminggu, sebulan atau bahkan setahun setelah suatu trauma (gegar) ringan dari
trauma otak (traumatic brain injury / TBI). PCS juga bisa terjadi pada trauma otak
sedang dan berat. Gejala-gejala PCS biasanya didiagnosis pada orang yang
menderita TBI, dan 38-80% biasanya terjadi pada trauma kepala ringan. Diagnosis
dibuat berdasarkan gejala yang ditimbulkan dari riwayat trauma 3 bulan setelah
mendapat trauma yang terakhir, bisa juga didiagnosis dalam hitungan minggu bahkan
10 hari setelah trauma. Pada trauma yang sudah lama terjadi (late,persistent atau
prolonged PCS / PPCS), biasanya didiagnosis setelah menderita 3-6 bulan setelah
terjadi trauma3,4.
Sindroma postconcussion adalah kumpulan gejala yang terdiri atas nyeri
kepala, pusing (dizziness), iritabilitas, mudah lelah, ansietas, gangguan memori,
menurunnya konsentrasi dan insomnia, yang merupakan sekuele setelah cedera
kepala ringan tertutup. Istilah lain yang digunakan untuk keadaan ini adalah post
traumatic instability, post traumatic headache, traumatic neurasthenia,traumatic
psychasthenia, post traumatic syndrome. Yang dimaksud dengan cedera kepala
ringan adalah suatu trauma yang terjadi dengan gangguan kesadaran sesaat atau
gangguan fungsi neurologik lain (misalnya memori, penglihatan) dengan GCS 13151,5.
Postconcussional syndrome secara umum didefinisikan sebagai kondisi yang
muncul setelah cedera kepala yang berakibat defisit pada tiga area fungsi SSP : 1)
somatik (neurologis-umumnya berupa nyari kepala, kecenderungan merasa cepat
lelah), 2) psikologis (perubahan afek, kurangnya motivasi, ansietas, atau emosi yang
labil), 3) kognitif (kelemahan dalam mengingat, perhatian dan konsentrasi) (Tabel 1)2
kasus yang lebih buruk mengalami gejala selama 1 tahun setelah cedera dan hal
tersebut dapat dianggap mengalami postconcussional syndrome jangka panjang atau
persisten. Faktor yang dapat diprediksi dapat mengakibatkan postconcussional
syndrome persisten adalah jenis kelamin wanita, konflik berkepanjangan, sosial
ekonomi rendah, umur lebih dari 40 tahun, riwayat penyalahgunaan alkohol, riwayat
gangguan jiwa, riwayat cedera kepala terdahulu, riwayat kemampuann kognitif yang
rendah sebelum trauma, fungsi psikososial yang rendah sebelum cedera, gangguan
kepribadian (antisosial, histerikal, dependen), dan riwayat nyeri kepala terdahulu atau
sakit jiwa. Pasien yang mengalami gejala lebih ringan dari postconcussional
syndrome adalah yang mempunyai motivasi yang bagus, pasien usia muda yang tidak
megalami gangguan kesadaran. Umumnya individu akan pulih dalam waktu 6-12
minggu bila mengalami gangguan kesadaran singkat, amnesia post trauma yang
berlangsung kurang dari 1 jam, dan GCS skor sebesar 15. Bila pasien mengalami
keluhan yang persisten dan dramatis, atau keluhan tidak wajar, faktor lain seperti
gangguan
kepribadian,
masalah
psikologis,
atau
faktor
sekunder
dapat
B. Patologi
Cedera patologis yang primer pada trauma kepala adalah penipisan axon dan
kerusakan ketegangan strain, yang umumnya disebabkan oleh kekuatan akselerasi
rotasi. Tingkat cedera axon berhubungan dengan durasi amnesia post trauma dan
kehilangan kesadaran. Bila neuron mengalami kerusakan, neurotransmiter inhibitor
seperti -amino asam butirat, juga pada neurotransmiter eksitator, seperti asetikolin,
glutamat, dan aspartat, akan terlepas. Neurotransmiter tersebut akan mengakibatkan
kerusakan neuron lebih lanjut. (misalnya runtutan cedera). Perubahan setelah cedera
dapat mengarah kepada cedera difus neurologis berupa influks kalsium yang
berebihan pada neuron yang rusak, pelepasan sitokin, kerusakan oleh radikal bebas,
kerusakan pada reseptor dinding sel, inflamasi dan perubahan pada asetilkolin,
katekolamin, dan sistem neurotransmiter serotonergik. Penelitian post mortem pada
manusia dengan nyeri kepala kronik post trauma menunjukkan kerusakan axon difus,
pengelompokan mikroglia, dan adanya bukti berupa perdarahan petekie yang kecil
yang tidak mengakibatkan defisit neurologis fokal. Penelitian berupa trauma cedera
kepala buatan pada hewan menunjukkan bahwa baik neuron dan axon akan pulih
dalam waktu beberapa bulan setelah cedera2,4,6.
Gangguan kesadaran yang signifikan dapat menunjukkan tidak ada kelainan
pada CT scan atau pada MRI karena kerusakan difus yang alamiah. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa MRI lebih sensitif pada kerusakan SSP dengan
gangguan kesadaran bila dibandingkan CT scan. MRI lebih baik dalam mendeteksi
abnormalitas seperti kontussio, edema fokal, dan lesi mikroskopis (misalnya
perdarahn mikropetekie), terutama bila pemeriksaan dilaksanakan beberapa hari
setelah kejadian trauma. Penelitian Single-photon emission computed tomography
(SPECT) telah menunjukkan penurunan atau aliran darah regional yang asimetris
selama 3 tahun setelah cedera, terutama pada pasien yang mengalami nyeri kepala
post trauma, yang menunjukkan bahwa terjadi perubahan jangka panjang fisiologis
setelah cedera. Penelitian dengan positron emission tomography (PET) menunjukkan
adanya reduksi dalam tingkat metabolik glukosa pada individu yang didiagnosa
postconcussional syndrome. PET scan, walaupun mahal, mungkin dapat bermanfaat
dalam menunjukkan kasus kemungkinan adanya
sering ditemukan pada dewasa muda yang berpartisipasi dalam oleh raga yang
menyebabkan cedera kepala minor multipel, seperti sepakbola, tinju dan hoki. Jenis
nyeri kepala ini sering disebut footballers migraine. Cluster headache jarang
berkembang setelah cedera kepala sedang2,5,7,8.
Keluhan kedua yang sering ditemukan pada postconcussional syndrome
adalah pusing, yang dilaporkan sekitar 50% pada kasus, dalam 1 tahun prevalensi
sekitar 19-25%. Umur diketahui sebagai faktor resiko. Semakin tua individu tersebut,
semakin besar kemungkinan mengalami pusing, baik bersumber dari sentral atau
perifer (misalnya gegar labirin, benigna positional vertigo, cedera batang otak)2,8.
Postconcussional syndrome sering menimbulkan gangguan pada panca indera.
Pandangan kabur muncul pada 14% dari pasien dan umumnya disebabkan gangguan
fokus penglihatan. 10% dari pasien dengan postconcussional syndrome dilaporkan
mengalami lebih sensitif pada cahaya dan bunyi; 5% mengalami kerusakan pada nervi
kranialis I dan menyebabkan sensitifitas pada indera pembauan dan perasa2,8.
2. Gejala Psikiatri
Setengah dari pasien yang mengalami gegar otak dilaporkan mengalami gejala
psikologis non spesifik, seperti perubahan kepribadian, ansietas, dan depresi. Sering
perubahan ini terjadi dalam 3 bulan pertama setelah cedera dan mempunyai CT scan
yang normal2,8.
Gangguan ansietas berkaitan dengan gangguan ansietas secara umum,
diantaranya gangguan panik, gangguan obsesif kompulsif dan gangguan stress post
trauma, telah dilaporkan muncul pada 11% sampai 70% dari penderita cedera kepala.
Yang sering dilaporkan berupa gejala adalah free-floating ansietas, kecemasan yang
berlebihan, menarik diri dari sosial, sensitif yang berlebihan dan bermimpi tentang
11
kecemasan. Gangguan ansietas dilaporkan terjadi pada cedera trauma pada kedua
hemisfer otak2.
Apatis umum didapatkan pada postconcussional syndrome.Apatis dapat
berupa sindrom isolasi primer atau akibat sekunder dari depresi. Apatis primer dapat
didefinisikan sebagai kurangnya motivasi dengan berkurangnya emosi, kognitif, dan
perilaku yang tidak mengarah kepada gangguan kecerdasan, distress emosional, dan
berkurangnya tingkat kesadaran. Apatis primer sering ditemui didapatkan pada 10%
penderita cedera kepala tertutup, sedangkan apatis sekunder muncul hanya
sementara, terjadi pada 60% pasien dengan cedera kepala tertutup. Kerusakan
neurologis pada regio subcortical-frontal, ganglia basalis, dan talamus telah
dihubungkan dengan patogenesis dari apatis primer2.
Walaupun jarang ditemukan pada postconcussional syndrome, namun psikosis
juga didapatkan pada cedera kepala berat. Psikosis mirip-skizofrenia didapatkan pada
0,7 sampai 9,8% pada penderita cedera kepala berat. Faktor resiko dapat berkembang
menjadi psikosis adalah benturan hebat pada trauma awal, riwayat epilepsi pada
lobus temporal, adanya kelainan neurologis sebelum trauma, dan ada trauma kepala
pada usia remaja. Pengobatan kondisi ini masih sulit, karena obat antipsikotik
atipikal seperti haloperidol kurang efektif bila dibandingkan pada penggunaan
kondisi psikosis lainnya. Obat tersebut dapat berpengaruh pada pemulihan neuron
setelah trauma. Ada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa obat risperidon
dan clozapin mempunyai efek yang bagus terhadap psikosis post trauma2.
Orang yang sebelumnya dengan diagnosis gangguan afektif (depresi,
gangguan bipolar), gangguan ansietas secara umum, gangguan somatoform,
gangguan
kepribadian,
lebih
tinggi
kemungkinan
mengalami
keluhan
12
gejala berupa gangguan afek, seperti perubahan mood, mood yang labil, gangguan
pada perhatian dan konsentrasi, gangguan tidur, dan ansietas memiliki gejala yang
sama yang terlihat pada postconcussional syndrome. Keadaan penyakit tersebut
sebelum trauma dapat mengarah kepada diagnosis yang salah pada postconcussional
syndrome. Pasien mengatakan keluhan lebih buruk, bila membandingkan keadaan
sebelum dan sesudah trauma. Keadaan tersebut dinamakan recall biases atau
fenomena good old days, didapatkan bila pasien tidak mampu mengingat secara
akurat level fungsinya serebelum terjadi trauma. Sangatlah penting, terutama bila
terdapat perkara yang terlibat, untuk dokter mendapat tes kejiwaan sebelumnya,
rekaman akademik, keadaan penilaian fungsi kerja, dan berbicara dengan keluarga
dan teman pasien untuk menentukan secara akurat tingkat fungsi pasien saat sebelum
dan sesudah trauma2.
3. Defisit Kognitif
Kognitif dapat didefinisikan sebagai proses yang melibatkan fungsi otak dalam
menerima, menganalisis data dan mengatur informasi. Fungsi kognitif yang klasik
adalah perhatian, memori, bahasa, penjabaran, fungsi penilaian, dan tingkat persepsi.
Defisit pada kognitif didefinisikan sebagai ketidak mampuan untuk berkonsentrasi,
memproses informasi, kesulitan menentukan kata yang tepat, dan ketidakmampuan
proses menyatukan pendapat. Pasien dengan postconcussional syndrome terbukti
mengalami penurunan dalam kecepatan memproses informasi, perhatian dan waktu
reaksi yang dapat ditemukan melalui tes neuropsikologis. Indeks menunjukkan
bahwa tes Stroop color test dan 2&7 Processing speed test memiliki spesifitas yinggi
dan nilai prediksi yang positif untuk menilai defisit kognitif dari postconcussional
syndrome, kedua tes tersebut menilai proses kecepatan mental. The Continous
13
Performance Test of Attention merupakan tes lain yang mempunyai sensitifitas tinggi
untuk memprediksi hasil negatif dari defisit kognitif setelah gegar otak. Di IGD,
pemeriksaan Digin Span Forward dan Hopkins Verbal Learning menunjukkan
mampu memprediksi perkembangan dari postconcussional syndrome, dan dalam
populasi tertentu juga memprediksi durasi dari gejala tersebut2.
Defisit kognitif yang paling umum ditemukan setelah cedera kepala adalah
gangguan memori verbal dan nonverbal. Tergantung pada tingkat keparahan cedera
kepala tertutup, persentase orang yang menderita gangguan memori berkisar 20-79%.
Telah dapat diperkirakan bahwa 4-25% penderita postconcussional syndrome akan
mengalami defisit memori setelah 1 tahun. Satu penjelasan bahwa penurunan dalam
membentuk memori baru akan mengurangi efektifitas pengumpulan memori. Defisit
pada memori jangka pendek (sebagai contoh lupa menempatkan barang, kesulitan
mengingat pembicaraan) adalah hal sering ditemui pada postconcussional syndrome.
Bila individu dengan defisit memori dihubungkan dengan cedera kepala berat
menjalani tes neuropsikologis, episodik memori atau deklaratif memori mengalami
gangguan, sedangkan prosedural memori tidak terganggu2.
Pasien dengan cedera otak juga mengalami gangguan dalam perhatian menerus
dan terbagi, sedangkan perhatian selektif jarang terganggu. Hal ini terlihat jelas
berupa pasien yang kesulitan berkonsentrasi, masalah dalam memfokuskan pada satu
tugas, dan mudah dialihkan atau terganggu. Disfungsi kolinergik yang mengarah
kepada gangguan mengatur sensoris dan ketidakmampuan
untuk menghentikan
14
Lamanya muncul defisit ini bervariasi mengikuti jenis trauma, yang akan pulih
sempurna dalam 6 bulan. Gangguan dalam memori, perhatian, berbahasa, dan fungsi
keputusan yang muncul lebih menetap, dan akan pulih dalam waktu setelah 1 tahun
setelah mengalami trauma kepala2.
D. Diagnosis
The International Statistical Classification of Disease and Related Health
Problems (ICD-10) dan The American Psychiatric Associations Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder memiliki kriteria untuk PCS ataupun PCD
(postconcussinal disorder)1,3,9.
Symptom
Headache
Dizziness
Fatigue
Irritability
Sleep problem
Concentration problem
Memory problem
Problems tolerating
ICD-10
DSM-IV
stress/emotion/alcohol
Affect changes, anxiety, or
depression
Changes in personality
Apathy
15
juga harus
mengalami kesukaran dalam interaksi sosial dan tidak harus memenuhi kriteria
untuk gangguan lain yang menjelaskan gejala-gejala membaik3.
Tes neuropsikologis dapat digunakan untuk mengukur defisit fungsi kognitif
yang dapat diakibatkan oleh PCS. The Stroop Colot Test dan The 2&7 Processing
Speed Test (dimana keduanya dapat mendeteksi defisit dalam proses kecepatan
mental) dapat memprediksi perkembangan kognitif akibat PCS. Sebuah tes yang
disebut Rivermead Postconcussion Symptomps Questionnaire, suatu rancangan
pertanyaan-pertanyaan yang mengukur keparahan dari 16 gejala post-concussion
yang berbeda, dapat digunakan dalam interview. Tes lain yang dapat memprediksi
perkembangan PCS termasuk Hopkins Verbal Learning A Test (HVLA) dan The
Digit Span Forward Examination. Tes HVLA verbal learning dan memori dihasilkan
dari seri-seri kata dan tanda-tanda berdasarkan nomor yang di recall, dan rentang
digit mengukur efisiensi atensi dengan diuji untuk mengulang kembali digit angka
16
yang telah disebutkan. Tes neuropsikologikal juga dapat mendeteksi adanya gejala
yang pura-pura atau berlebihan dari penderita3.
E. Diagnosis Banding
PCS dapat
muncul
dengan
gejala-gejala
yang
bervariasi
dapat
1. Jenis Kelamin
Jenis kelamin wanita mempunyai kemungkinan lebih besar mengalami
postconcussional syndrome, dan umumnya wanita mempunyai gejala lebih berat dan
waktu penyembuhan lebih lama. Penelitian meta analisis oleh Farance dan Alves
menunjukkan bahwa wanita memiliki hasil yang lebih buruk dibandingkan pria pada
postconcussional syndrome. Wanita menunjukkan tingkat keparahan 58% lebih
17
tinggi dibandingkan pria. Berbagai teori dikemukakan mengenai hal ini, salah
satunya adalah karena ukuran tubuh dan berat yang lebih kecil, akan mengalami
kekuatan cedera rotasi lebih besar daripada pria. Teori lain mengatakan bahwa otak
pria dan wanita diperngaruhi oleh hormon seks yang mengakibatkan berbeda dalam
kemampuan pemulihan setelah cedera kepala. Corrigan et al. mengatakan bahwa
wanita lebih berat gejala postconcussional syndrome karena lebih rentan dalam
mengalami cedera pada penganiayaan atau penyerangan fisik dan cedera tersebut
mengakibatkan kekuatan cedera rotasi yang lebih besar, dan mengakibatkan cedera
lebih besar pula2.
2. Pengaruh Sosial
Postconcussional syndrome diduga memiliki komponen sosial. Banyak
peneliti menemukan bahwa tingkat dan durasi cedera di US, dimana ganti rugi
diperoleh, adalah lebih besar bila dibandingkan dengan negara seperti Lithuania,
diaman masalah ganti rugi sulit diperoleh. Di Lithuania, Mickeviciene et al,
membagikan kuisioner kepada 200 orang penderita gegar otak dengan keluhan
kehilangan kesadaran dan populasi pembanding yang sehat. Penelitian menunjukkan
bahwa 96% responden mengeluh nyeri kepala dan pulih total dalam waktu 1 tahun
setelah mengalami gegar otak, dan tidak ada perbedaan dalam keluhan nyeri kepala,
pusing dan disfungsi kognitif bila antara dua kelompok tersebut. Kelompok ini juga
menunjukkan peningkatan yang signifikan pada depresi, penggunaan alkohol dan
kepedulian terhadap kerusakan otak2.
3. Kepura-puraan (Malingering)
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasien yang terlibat dalam perkara
menunjukkan pemanjangan dan keluhan yang lebih berat pada postconcussional
syndrome bila dibandingkan dengan dengan pasien yang tidak memiliki perkara.
18
Penjelasan yang mungkin untuk keadaan tersebut adalah 1) pasien yang mengalami
perkara telah mengerti tentang kondisi mereka dan terpengaruh oleh symptom
knowledge, 2) pasien tersebut dilatih oleh pengacara mereka untuk melebihlebihkan gejala tersebut. 3) Gejala yang dialami diperburuk oleh stress karena
perkara, 4) mereka secara sadar atau tidak sadar dipengaruhi oleh pengaruh sekunder,
5) mereka berpura-pura untuk memperoleh uang (dengan berbohong)2.
Usaha untuk membedakan bahwa pasien tersebut berpura-pura atau tidak,
sangat sulit karena keluhan postconcussional syndrome adalah keluhan yang bersifat
subjektif. Mittenber et al. mencoba untuk menentukan frekuensi dari berpura-pura
dengan menganalisa 33.31 kasus pengadilan. Mereka mendapatkan bahwa 30% kasus
kecacatan, 29% kasus kecelakan pribadi, 19% kasus kriminal, dan 8% kasus
malpraktek medis yang kemungkinan melibatkan sikap berpura-pura atau keluhan
yang dilebih-lebihkan. Ketika menganalisa kasus yang melibatkan cedera kepala
sedang, peneliti merasa bahwa 35% terdapat sikap berpura-pura atau keluhan yang
dilebih-lebihkan2.
Beberapa tes psikiatri dan neurologis telah tersedia untuk mendeteksi adanya
individu yang berpura-pura. Roget et al melakukan meta-analisis tes tersebut dan
mengatakan bahwa tes yang paling sensitif dengan MMPI-2 adalah tes F scale, F-K
indeks, dan O-S inerval. Halstead-Reitan battery dilaporkan keakuratan sebesar 93,8%
untuk mengetahui adanya gejala keluhan palsu pada cedera kepala. Tes ukur lain yang
dapat digunakan untuk menentukan sikap berpura-pura adalah Dissimulation scale,
Ego Streght scale, dan Fake Bed scale2.
G. Terapi
Biasanya PCS tidak diterapi, terapinya hanya ditujukan pada gejala-gejala yang
muncul, misalnya penderita diberi penghilang nyeri untuk keluhan nyeri kepala dan
19
20
22
BAB III
PENUTUP
23
DAFTAR PUSTAKA
24