Anda di halaman 1dari 21

Laporan Kasus

GIANT CELL TUMOR

Oleh:
Rininta Fatma Sazamita, S.Ked
04124708022

Pembimbing:
Dr. dr. Muzakkie, Sp.B-Sp.OT, FICS

BAGIAN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS


SRIWIJAYA RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. MOHAMMAD
HOESIN PALEMBANG
2014

HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus
Judul

Giant Cell Tumor

Disusun oleh

Rininta Fatma Sazamita, S.Ked

NIM

04124708022

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior
di Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya / RSUP dr.
Mohammad Hoesin Palembang, Periode 4 Agustus sampai 13 Oktober 2014.

Palembang, 24 September 2014


Pembimbing

Dr. dr. Muzakkie, Sp.B-Sp.OT, FICS

ii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah swt., Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga
selalu tercurah kepada teladan utama kita, Nabi Muhammad SAW., keluarga, para
sahabat dan seluruh umatnya hingga hari kiamat kelak. Laporan kasus ini yang
berjudul Giant Cell Tumor merupakan salah satu syarat untuk mengikuti ujian
kepaniteraan klinik senior di Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya / RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Selanjutnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. dr. Muzakkie, Sp.BSp.OT, FIC selaku pembimbing yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
laporan kasus ini. Penulis juga berterima kasih kepada para residen di sub bagian
bedah anak atas bantuannya dalam menyelesaikan laporan kasus ini. Terakhir, penulis
juga berterima kasih kepada semua pihak yang turut membantu dalam penyelesaian
laporan kasus ini.
Penulis juga menyadari bahwa laporan kasus ini masih banyak kekurangan dan
belum sempurna. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik guna
menyempurnakan laporan kasus ini. Kami berharap laporan kasus ini dapat
bermanfaat bagi teman-teman di FK Unsri sebagai bahan rujukan dan dapat
memberikan informasi mengenai topik tersebut.
Palembang, September 2014

Penulis

iii

BAB I
STATUS PENDERITA
I.1

IDENTIFIKASI

Nama

Komaruddin Hamid

Jenis Kelamin

Laki-laki

Usia

70 tahun

Kebangsaan

Indonesia

Agama

Islam

Alamat

Jln.Tulang Bawang Raya No 2579, Sako, Palembang

No. Rekam Medis

837982

MRS

16 Agustus 2014

Tanggal Pemeriksaan

24 Agustus 2014

I.2

ANAMNESIS

Keluhan utama

: benjolan di lutut kiri

Keluhan tambahan : tidak ada


Riwayat Perjalanan Penyakit :
+ 12 tahun SMRS penderita mengeluh nyeri pada lutut kiri, tidak bisa berjalan
(+). Pasien dirawat di RS Sukmol Tanjung Priok, pasien mengaku disinar namun
pasien tidak mengetahui penyakitnya. Sembilan hari setelah dirawat, pasien kembali
bisa berjalan lalu pasien dipulangkan.
+ 1 bulan SMRS, orang tua mengeluh perut penderita kembali kembung, BAB
sedikit, muntah (-), demam (-), penderita dibawa ke poliklinik bedah anak RSMH,
dipasang selang dari pantat dan dilakukan rontgen, kemudian penderita disarankan
kontrol ke poliklinik setiap 2 minggu. Selama di rumah, BAB dibantu dengan selang
dari pantat.

+ 1 hari SMRS, perut penderita kembali kembung, penderita tidak bisa BAB,
muntah (-), demam (-), penderita dibawa ke poliklinik bedah anak RSMH, dipasang
selang dari pantat dan dilakukan rontgen, lalu dirawat.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat menderita hipertensi (+) sejak 20 tahun yang lalu
Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat penyakit pada keluarga dengan keluhan yang sama disangkal.
I.3

PEMERIKSAAN FISIK (tanggal 23 Agustus 2014)

Status Generalis
Keadaan Umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Kompos mentis

Nadi

: 74x/menit, reguler

Pernafasan

: 20x/menit

Suhu

: 36,4 C

Pupil

: Isokor, refleks cahaya +/+

Kepala

: Tidak ada kelainan

Leher

: Tidak ada kelainan

KGB

: Tidak ada pembesaran

Thoraks

: Tidak ada kelainan

Abdomen

: Lihat status lokalis

Genitalia Eksterna

: Tidak ada kelainan

Ekstremitas Superior : Tidak ada kelainan


Ekstremitas Inferior : Tidak ada kelainan
Status Lokalis
Regio Abdomen
Inspeksi

: Cembung
2

Palpasi

: Lemas

Perkusi

: Tympani

Auskultasi

: Bising usus (+)

I.4
a.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium ( tanggal 19 Agustus 2014)

Hematologi
Hemoglobin

: 7,3 g/dl

(12,6-17,4 g/dl)

Eritrosit

: 3,83 106/mm

(4,20-4,87 106/mm)

Hematokrit

: 27%

(43-49 vol %)

Leukosit

: 9.000/mm

(4500-11.000/mm)

Trombosit

: 523.000/mm

(150.000-450.000/mm)

Kimia Klinik
Glukosa sewaktu : 95 mg/dl

(<200)

Protein total

: 7,2 g/dl

(6,4-8,3 g/dl)

Albumin

: 3,6 g/dl

(3,4-4,8 g/dl)

Globulin

: 3,6 g/dl

(2,6-3,6 g/dl)

b. Pemeriksaan Radiologis
Foto Polos Abdomen (tanggal 31 mei 2014)

Interpretasi: distensi usus (+)


Foto Polos Abdomen (tanggal 22 juli 2014)

Interpretasi: distensi usus (+)


Colon in Loop ( tanggal 12 Agustus 2014)

Interpretasi: tampak penyempitan distal kolon dengan dilatasi kolon proximal.


Kesan: suspek hirschprung disease

I.5

DIAGNOSIS KERJA
Giant Cell Tumor regio distal femur sinistra

I.6

PENATALAKSANAAN
Washing out dengan rectal tube menggunakan NaCl 0,9 %
Rencana kolostomi.

I.7

PROGNOSIS

Quo ad vitam

: Bonam

Quo ad functionam

: Dubia ad Bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Definisi
Penyakit Hirschsprung adalah kelainan kongenital yang ditandai dengan tidak

adanya sel-sel ganglion parasimpatis Meissner dan Auerbach pada rektum dan kolon,
dimana defisiesi ini hampir selalu dimulai pada anus dan meluas ke proksimal pada
dinding usus dengan jarak bervariasi sehingga menyebabkak gangguan peristaltik
usus.1,2

Kelainan ini telah dikemukakan oleh Ruysch pada tahun 1961 dan

dipopulerkan oleh Hirschsprung pada tahun 1886. Namun, patofisiologi bahwa


penyakit ini disebabkan oleh ketidakadaan sel ganglion pada kolon yang

menyebabkan obstruksi fungsional, baru dikemukakan pada tahun 1948 oleh


Whitehouse dan Kernohan. Pada tahun 1949 Dr. Swenson mempublikasikan cara
operasi definitif untuk penyakit Hirschsprung. Pada tahun 1956 Dr. Duhamel
mempunyai prosedur untuk meminimalisis komplikasi dari diseksi rektal anterior.2,3

Gambar 1. Kolon dan rektum pada keadaan normal dan pada penyakit Hirschsprung

2.2.

Epidemiologi
Angka kejadian dari penyakit Hirschsprung adalah kira-kira 1;4000 sampai

1:7000 kelahiran.2 Penyakit ini lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan
dengan rasio 4:1.1,2 Sekitar 3-5 persen dari saudara kandung laki-laki dan 1 persen
dari saudara kandung perempuan dengan penyakit segmen pendek juga menderita
penyakit tersebut.3 Namun, risikonya lebih tinggi (12,4-33 persen) pada saudara
kandung dengan penyakit Hirschsprung yang meliputi seluruh kolon. 3 Tempat
predileksi penyakit ini antara lain sebagai berikut; 75% rektum and sigmoid (segmen
pendek), 11% kolon desenden ( segmen panjang), 4% splenic flexure, 2% kolon
transversum, 8% total kolon & proximal (total colonic).2
2.3.

Etiologi

Penyakit Hirschsprung disebabkan oleh tidak adanya sel-sel ganglion


parasimpatik di myenterik dan pleksus submukosa dari rektum dan kolon. 1,2 Pada
perkembangan embriologis normal, sel-sel neuroenterik bermigrasi dari krista neural
ke saluran gastrointestinal atas lalu ke arah distal. Sel-sel saraf pertama sampai di
esofagus pada minggu V kehamilan. Pada kehamilan minggu VII di midgut, minggu
XII mencapai kolon distal.2,4 Ada 2 teori dasar yg banyak dianut mengenai defek
embriologis penyakit Hirschsprung, yaitu:2
1. Teori kegagalan migrasi sel krista neural.
Pada penyakit Hirschsprung, fibronektin & laminin suatu glikoprotein yg
penting untuk fasilitasi migrasi syaraf & pertumbuhan sel

neural, ditemukan

dlm distribusi yg abnormal sehingga migrasi sel ganglion

terhambat

atau

tidak terjadi.
2. Teori Hostile Environment & Imunologis
Hilangnya adhesi sel normal oleh karena

reaktivitas neural cell adhesion

molecule (NCAM) menurun sehingga menghambat migrasi sel neural ke


kolon. Juga didapatkan peningkatan antigen kelas II pd mukosa & submukosa
pada

penderita penyakit Hirschsprung.

Faktor genetik juga terlibat pada etiologi penyakit Hirschsprung. Penyakit


Hirschsprung bisa terjadi di dalam keluarga.

Angka kejadian pada kasus-kasus

familial bervariasi dari 3,6% sampai 7,8%. Angka kejadian familial sebesar 15-21%
telah dilaporkan pada total kolon aganglionosis dan 50% pada total instestinal
aganglionosis yang jarang terjadi. Beberapa gen dan molekul telah diidentifikasi
sebagai pengendali morfogenesis dan diferensiasi dari sistem saraf enterik. Ketika
gen-gen ini bermutasi atau terhapus akan mempengaruhi perkembangan dari sistem
saraf enterik. Salah satu dari gen tersebut adalah RET dengan tirosin kinase yang
terlibat dalam perkembangan ganglion enterik yang berasal dari sel-sel krista neuralis.
Mutasi dari gen RET tercatat pada 50% kasus familial dan 15-20% kasus sporadis
dari penyakit Hirschsprung.2,4

Sindroma Down juga memiliki kecenderungan sebagai komponen genetik


penyebab penyakit Hirschsprung. Sindroma down adalah kelainan kromosom yang
paling sering terkait dengan aganglionosis dan terjadi pada 4,5-16% dari seluruh
kasus penyakit Hirschsprung. Kelainan kromosom lainnya yang juga terkait dengan
penyakit Hirschsprung, diantaranya: delesi interstitial dari 13q distal, delesi parsial
dari 2p dan translokasi resiprokal, serta trisomi mosaik 18.

Sejumlah kelainan

sindroma herediter juga pernah dilaporkan pada penderita penyakit Hirschsprung,


diantaranya: sindroma Waardenburg, sindroma Von Recklinghausen, brakidaktili tipe
D dan sindroma Smith-Lemli-Optiz.5
2.4.

Patologi
Gambaran patologi makro dari penyakit Hirschsprung ditandai dengan dilatasi

dan hipertrofi kolon proksimal dengan transisi yang tiba-tiba atau berangsur-angsur
ke kolon distal yang menyempit. Walaupun derajat dilatasi dan hipertrofi bertambah
besar sesuai dengan umur, zona transisi yang berbentuk kerucut biasanya sudah
terlihat pada bayi baru lahir.5
Secara histologi, penyakit Hirschsprung ditandai dengan tidak adanya sel-sel
ganglion di myenterik dan pleksus submukosa dan adanya hipertrofi dari nervus
trunkus tak bermyelin pada tempat yang normalnya diduduki oleh sel-sel ganglion.
Segmen kolon aganglionik diikuti oleh segmen hipoganglionik ke proksimal yang
panjangnya bervariasi.

Zona hipoganglionik ini ditandai dengan berkurangnya

jumlah sel-sel ganglion dan pembuluh saraf di myenterik dan pleksus submukosa.5
Penampilan penyakit Hirschsprung

bervariasi bergantung pada durasi tidak

diterapinya penyakit ini. Pada masa neonatal usus tampak normal. Pada masa anak,
pada usus proksimal, ganglion usus hipertrofi, menjadi lebih tebal dan lebih panjang
daripada normal, taenia menghilang, lapisan otot longitudinal mengelilingi kolon,
zona transisi dari segmen berganglion ke aganglion bervariasi panjangnya.
Karakteristik khas penyakit Hirschsprung yaitu tidak adanya sel ganglion pada

segmen distal, yaitu tidak adanya ganglion pleksus Meissner pada submukosa dan
tidak adanya ganglion pleksus Auerbach pada lapisan intermuskular.2,5
2.5.

Patofisiologi
Sistem persyarafan intrinsik saluran gastrointestinal terdiri dari 3 pleksus

neuron :
1. Pleksus Meissner di submukosa.
2. Pleksus Auerbach di antara otot usus (intermuscular myenteric).
3. Pleksus mukosa yang jauh lebih kecil.
Tiap pleksus mengandung anyaman halus yang terintegrasi berfungsi mengontrol
semua fungsi usus (absorbsi, sekresi,aliran darah, dan motilitas usus) dengan kontrol
susunan saraf pusat relatif sedikit. Motilitas intestinal normal primer dikontrol oleh
neuron intrinsik dlm tiap ganglion sehingga bila terjadi kehilangan kontrol ekstrinsik
masih terdapat fungsi intestin yg adekuat. Ganglion menyebabkan kontraksi dan
relaksasi otot polos, dalam keadaan normal lebih dominan relaksasi. Intestin juga
mengandung sistem syaraf intrinsik dengan neurotransmitter (Nitrik Oksid) yg dlm
keadaan normal dominan bersifat inhibisi. Dengan tidak adanya ganglion pada
penyakit Hirschsprung, sistem syaraf ekstrinsik akan meningkatkan inervasi intestin
secara nyata, sistem eksitasi adrenergik lebih dominan dari fungsi inhibisi sehingga
enzim nitrik oksid sintetase menurun menyebabkan penurunan kadar nitrik oksid
yang berpengaruh pada peningkatan tonus otot polos (spastik).2
2.6.

Diagnosis
Diagnosis dari penyakit Hirschsprung biasanya berdasarkan pada gambaran

klinis, gambaran radiologis, manometri anorektal dan pemeriksaan histologi dari


rektal biopsi.1,5

Penyakit Hirschsprung harus dipertimbangkan pada setiap anak

dengan riwayat konstipasi saat neonatus. Umur rata-rata anak dengan diagnosis
penyakit Hirschsprung semakin meningkat, dari usia 2-3 tahun pada beberapa dekade
pertama abad ini sampai dengan rata-rata usia 3-6 bulan selama tahun 1950-1970,
yang terbaru ditemukan pasien penyakit Hirschsprung 90% pada masa neonatus.2,5
2.6.1. Manifestasi Klinis

Masa neonatus umumnya terdapat riwayat keterlambatan pengeluaran


mekonium pada 48 jam pertama setelah lahir, konstipasi, distensi abdomen, sulit
makan dan muntah. Di luar masa neonatus gejala dapat berupa konstipasi, distensi
abdomen, dan gagal tumbuh. Pada anak yg lebih besar sulit membedakan penyakit
Hirschsprung dengan konstipasi kronik atau enkopresis. Pasien dengan penyakit
Hirschsprung juga dapat menunjukkan riwayat konstipasi yang diikuti dengan diare
eksplosif, sering mengindikasikan terjadinya enterokolitis. 2
2.6.2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan distensi abdomen dan feses yang
menyemprot pada pemeriksaan rectal toucher. Distensi abdomen yang tidak ada saat
lahir,perlu penilaian posisi anal pada perineum, pemeriksaan rectal toucher pada
pasien penyakit Hirschsprung menunjukkan anus yang ketat yang kadang salah
diagnosis dengan stenosis anal. Trias Hirschsprung antara lain mekonium keluar
terlambat (>48 jam) setelah lahir, distensi abdomen, dan pada saat pemeriksaan
rectal toucher didapatkan feses menyemprot.2
2.6.3. Pemeriksaan Radiologi
Pencitraan radiologi dapat membantu dalam menegakkan diagnosis penyakit
Hirschsprung.2 Foto polos abdomen pada neonatus dengan penyakit Hirschsprung
akan menunjukkan dilatasi kolon dengan gambaran air fluid level.2,5 Terkadang
tampak sedikit udara di dalam rektum yang tak distensi dan kolon yang distensi
diatasnya sehingga meningkatkan kecurigaan terhadap penyakit Hirschsprung. Foto
polos abdomen pada penderita aganglionosis kolon total dapat memperlihatkan
tanda-tanda obstuksi ileum dengan gambaran air fluid level atau distensi usus kecil.5
Pada

penderita

penyakit

Hirschsprung

dengan

enterokolitis

dapat

memperlihatkan penebalan dinding usus dengan mukosa yang irreguler atau dilatasi
kolon yang besar, mengindikasikan megakolon toksik. Pneumoperitoneum dapat
ditemukan pada perforasi. Perforasi spontan dari traktus intestinal telah dilaporkan
pada 3% penderita penyakit Hirschsprung.

10

Barium enema yang dilakukan oleh ahli radiologi dapat diandalkan dalam
mendiagnosis penyakit Hirschsprung.5 Pada barium enema dapat diidentifikasi zona
transisi yang berbentuk kerucut antara segmen aganglionik yang menyempit dan
segmen yang meluas serta segmen yang normal. 6

Beberapa kasus dapat

memperlihatkan transisi yang tiba-tiba antara dilatasi kolon proksimal dan segmen
aganglionik distal, menyebabkan keraguan dalam menentukan diagnosis.5 Zona
transisi tersebut dapat tidak terlihat pada neonatus karena dilatasi kolon yang belum
terlalu besar atau pada anak-anak yang sudah dilakukan pencucian rektum, rectal
toucher/tube atau enema rektal.4 Pada aganglionosis kolon total, barium enema
tidak khas dan bukan diagnosis definitif. 5 Kolon dalam kaliber yang normal pada
25-77% kasus aganglionosis kolon total.5
2.6.4. Manometri Anorektal
Pada anak-anak yang berumur lebih tua dengan konstipasi kronis dan riwayat
atipikal dari penyakit Hirschsprung ataupun konstipasi fungsional, manometri
anorektal dapat bermanfaat dalam menentukan diagnosis.2,5

Anak-anak dengan

penyakit Hirschsprung tidak dapat memperlihatkan refleks relaksasi dari sphincter


anal internus dalam merespon pemompaan dari balon rektal. 6 Pada usus dengan
inervasi yang normal, distensi dari rektum menghasilkan refleks relaksasi dari
sphincter internal.5

Tidak terdeteksinya refleks rektospincteric pada bayi-bayi

premature atau aterm diyakini sebagai akibat kesulitan teknis dan bukan karena
tidak adanya sel-sel ganglion.5

Sedasi ringan pada bayi dan anak-anak dapat

mengatasi kesulitan teknis yang didapatkan pada usia tersebut.5


2.6.5. Biopsi Rektal
Diagnosis penyakit Hirschsprung dipastikan dengan pemeriksaan biopsi
rektal. Jaringan didapatkan dengan biopsi rektal atau reseksi transanal. Tidak
adanya sel-sel ganglion pada hasil biopsi jaringan dapat memastikan diagnosis
penyakit Hirschsprung dan dapat dilakukan terapi inisial. 3

11

Pewarnaan

asetilkolinesterase dari jaringan dapat dilakukan untuk membantu diagnosis


patologi.3

Pewarnaan asetilkolinesterase dapat mengidentifikasi hipertrofi dari

nervus trunkus ektrinsik.6 Pada penyakit Hirschsprung segmen pendek, diagnosis


dapat ditegakkan dengan penempatan biopsi rektal dengan baik atau juga
dikombinasikan dengan pemeriksaan manometri anorektal.3
2.7.

Diagnosis Diferensial
Beberapa kondisi harus dipertimbangkan dalam memastikan diagnosis

penyakit Hirschsprung pada anak-anak. Atresia kolon memberikan gambaran foto


polos abdomen yang mirip dengan penyakit Hirschsprung tetapi bisa dibedakan pada
barium enema yang memperlihatkan obstruksi mekanik yang menyeluruh. Atresia
usus kecil bagian distal menunjukkan distensi usus yang besar dan tiba-tiba pada
bagian proksimal dari obstruksi dengan fluid level yang luas didalamnya.1
Pada ileus mekonium, penebalan mekoneum yang khas dapat terlihat. Fluid
level yang tajam dan jelas tidak akan terlihat pada foto tegak atau lateral decubitus.
Namun, penyakit Hirschsprung dapat memperlihatkan gambaran yang mirip dengan
ileus mekoneum pada foto polos dan dapat memberikan gambaran yang samar-samar
pada barium enema.5
2.8.

Penatalaksanaan
Setelah diagnosis dari penyakit Hirschsprung telah dipastikan dengan

pemeriksaan biopsi rektal, bayi tersebut harus dipersiapkan untuk pembedahan. 5 Bayi
dengan

komplikasi

enterokolitis

memerlukan

perbaikan

dehidrasi

dan

ketidakseimbangan elektrolit dengan pemberian infus cairan.5 Dekompresi sangat


penting untuk segera dilakukan pada bayi-bayi tersebut, melalui pemasangan
nasogastric tube, rectal toucher, atau irigasi rektal dengan larutan garam fisiologis 34 kali perhari.3,5
Biasanya, operasi pull-through dapat dilakukan segera setelah didiagnosis.
Namun, beberapa bayi mungkin memerlukan tindakan kolostomi diawal, yaitu
membuat lubang pada dinding perut (stoma) yang disambungkan pada usus yang

12

normal (bagian proksimal dari zona transisional) dan penderita BAB lewat lubang
tersebut. Diharapkan selama penderita BAB melalui lubang tersebut, usus tumbuh
lebih memanjang dan nantinya usus dapat disambungkan lagi langsung dengan anus
sehingga penderita dapat BAB normal kembali.4
Beberapa tahun belakangan, sebagiaan besar kasus dari penyakit Hirschsprung
dapat didiagnosis pada periode neonatus. Banyak pusat-pusat kesehatan sekarang
melakukan operasi pull-through pada bayi baru lahir dengan rasio kecacatan yang
kecil dan hasil yang memuaskan. Keuntungan dari operasi pada bayi baru lahir
adalah dilatasi kolon dapat dikendalikan dengan cepat melalui washout dan saat
operasi, diameter dari usus yang akan dilakukan pull-through bisa mendekati normal
sehingga memungkinkan anastomosis yang akurat dan meminimalkan kebocoran
serta infeksi. Empat operasi yang paling sering digunakan dalam mengobati penyakit
Hirschsprung adalah rektosigmoidektomi yang dikembangkan oleh Swenson dan Bill,
prosedur retrorektal yang dikembangkan oleh Duhamel, prosedur endorektal yang
dikembangkan oleh Soave dan anastomosis kolorektal anterior yang dikembangkan
oleh Rehbein. Prinsip dasar dari semua prosedur tersebut adalah membawa usus yang
berganglion turun ke anus. Hasil jangka panjang dari operasi ini cukup memuaskan
jika dilakukan dengan benar. Akhir-akhir ini, sejumlah peneliti telah mengenalkan
dan menyarankan sebuah variasi dari prosedur one-stage pull-through pada bayi baru
lahir menggunakan teknik laparoskopi. Yang terbaru, sebuah operasi pull-through
endorektal transanal yang dilakukan tanpa membuka abdomen telah digunakan
dengan hasil yang sangat baik pada penyakit Hirschsprung segmen rektosigmoid. 5
2.9.
Komplikasi
Komplikasi pascaoperasi dini yang dapat terjadi setelah operasi pull-through
jenis apapun meliputi infeksi luka operasi, striktur anastomosis, retraksi dari rektum,
adhesi intestinal dan ileus. Komplikasi yang lama meliputi konstipasi, enterokolitis,
inkontinensia, masalah-masalah anastomosis, obstuksi usus adhesif dan komplikasi
urogenital.5
2.9.1

Kebocoran Anastomosis
13

Komplikasi pascaoperasi dini yang paling berbahaya setelah prosedur pullthrough abdominoperineal definitif adalah kebocoran dari garis jahitan anastomosis.
Faktor-faktor yang berperan pada kebocoran anastomosis terdiri dari iskemia bagian
paling distal dari segmen pull-through kolon, tegangan pada anastomosis, garis
jahitan anastomis yang tidak sempurna. Jika kebocoran terjadi pada penderita tanpa
kolostomi disarankan untuk melakukan kolostomi pengalihan segera, memberikan
antibiotik intravena dan melakukan irigasi rektum dengan cairan antibiotik beberapa
kali sehari. Terlambatnya dalam pengalihan feses dapat menyebabkan abses pelvis
yang luas dan memerlukan laparotomi dan drainase transabdominal.5
2.9.2. Retraksi Pull-Through
Retraksi sebagian atau keseluruhan segmen kolon dari anastomosis dapat
terjadi dan biasanya pada 3 minggu setelah operasi. Penilaian dalam anestesi umum
sangat diperlukan.

Pada kebanyakan pasien, penjahitan kembali anastomosis

mungkin dapat dikerjakan dengan mudah melalui transanal. Untuk pemisahan yang
kurang 50% dari anastomosis tetapi dengan vaskularitas kolon yang baik,
diperlukan kolostomi pengalihan selama sekitar 3 bulan. Untuk penderita dengan
pemisahan yang luas pada anastomosis, disarankan untuk dilakukan rekonstruksi
pull-through transabdominal segera.5
2.9.3. Ekskoriasi Perianal
Ekskoriasi perianal terjadi hampir pada setengah penderita yang dilakukan
prosedur pull-through, tetapi dapat diatasi selama 3 bulan dengan terapi lokal dan
resolusi diare. Pemberian krim barier diatas kulit perianal sangat dianjurkan segera
setelah operasi dan dilanjutkan selama minggu pertama.
mempercepat pembersihan iritasi kulit perianal.5
2.9.4. Enterokolitis

14

Resolusi diare akan

Enterokolitis terkait penyakit Hirschsprung adalah komplikasi dari penyakit


Hirschsprung baik sebelum maupun sesudah periode operasi. Enterokolitis dapat
terjadi kapan saja dari masa neonatus sampai dewasa.

Insiden terjadinya

enterokolitis bervariasi dari 20-58%. Untungnya, angka kematian telah menurun


selama 30 tahun terakhir dari 30% ke 1%. Turunnya angka kematian ini berkaitan
dengan diagnosis dini dari penyakit Hirschsprung dan enterokolitis, dekompresi
rektal, resusitasi yang benar dan terapi antibiotik.5
2.9.5. Konstipasi
Konstipasi biasa terjadi setelah perbaikan definitif dari penyakit Hirschsprung
dan dapat disebabkan oleh sisa-sisa aganglionosis dan tingginya tonus anal. Dilatasi
anal yang berulang dan kuat atau injeksi toksin Botulin kedalam spinchter dalam
anestesi umum bisa mengatasi masalah tersebut.

Pada beberapa penderita,

myektomi spinchter mungkin diperlukan.5


2.9.6. Varian Penyakit Hirschsprung
Varian penyakit Hirschsprung meliputi kelainan-kelainan yang secara klinis
mirip dengan penyakit Hirschsprung tetapi masih adanya sel-sel ganglion pada hasil
biopsi rektal.

Kelainan ini dapat didiagnosis dengan biopsi yang baik dan

menggunakan berbagai jenis teknik histologis. Kelainan motilitas yang termasuk


varian penyakit Hirschsprung yaitu displasia neuronal intestinal, hipoganglionosis,
akalasia sphincter internal dan kelainan-kelainan otot polos.5
2.10.

Prognosis
Prognosis dari bayi-bayi dan anak-anak dengan penyakit Hirschsprung

umumnya cukup baik. Sebagian besar anak dapat memiliki kontinensia feses dan
dapat mengontrol BAB.

Namun, anak-anak dengan sindroma Down mungkin

diperkirakan memiliki nilai yang rendah untuk kontinensia dan beberapa peneliti
mendukung pemberian ostomi permanen.2,5

15

BAB III
ANALISIS KASUS
Seorang anak laki-laki dengan usia 3 bulan, beralamat di Palembang masuk
rumah sakit dengan keluhan perut kembung. Dari alloanamnesis terhadap ibu
penderita diketahui bahwa + 2,5 bulan SMRS perut penderita kembung, BAB tidak
lancar, jumlah yang sedikit, warna kuning biasa, konsistensi lembek, muntah (-),
demam (-). Penderita dibawa ke IGD RSMH penderita dipasang selang dari pantat
dan dilakukan rontgen. Penderita dirawat di neonatus selama 10 hari. Penderita
pulang dengan perbaikan. + 1 bulan SMRS, orang tua mengeluh perut penderita
kembali kembung, BAB sedikit, muntah (-), demam (-),

penderita dibawa ke

poliklinik bedah anak RSMH, dipasang selang dari pantat dan dilakukan rontgen,
kemudian penderita disarankan kontrol ke poliklinik setiap 2 minggu. Selama di
rumah, BAB dibantu dengan selang dari pantat. + 1 hari SMRS, perut penderita
kembali kembung, penderita tidak bisa BAB, muntah (-), demam (-), penderita
16

dibawa ke poliklinik bedah anak RSMH, dipasang selang dari pantat dan dilakukan
rontgen, lalu dirawat. Orang tua penderita mengaku, penderita baru BAB 24 jam
setelah lahir.
Pada pemeriksaan fisik status generalis didapatkan keadaan umum pasien yang
tampak sakit sedang. Pada tanda-tanda vital didapatkan nadi, pernafasan, dan suhu
masih dalam batas normal. Pada pemeriksaan fisik status lokalis regio abdomen, pada
inspeksi didapatkan perut yang tampak cembung yaitu tampak dinding perut yang
lebih tinggi daripada dinding dada saat penderita berbaring, pada palpasi didapatkan
perut yang lemas, pada perkusi didapatkan keadaan perut yang tympani dan pada
auskultasi didapatkan suara bising usus. Pada saat dilakukan colok dubur didapatkan
anus (+) dan feses menyemprot (-).
Pada pemeriksaan radiologis abdomen posisi didapatkan distensi usus-usus.
Pada pemeriksaan colon in loop yaitu dengan cara memasukkan kontras melalui anus
lalu melihat gambaran distribusi kontras ke proksimal didapatkan adanya gambaran
penyempitan distal kolon dengan dilatasi kolon proximal.
Dilakukan tindakan konservatif washing out yaitu pencucian pada usus
dengan cara memasukkan rectal tube sampai usus yang masih normal (sampai
didapatkan feses yang menyemprot melalui rectal tube), dan dibasuh dengan NaCl
0.9% hangat secara rutin 2x / hari. Dan untuk tindakan operatif direncanakan untuk
dilakukan kolostomi yaitu membuat lubang pada dinding perut yang disambungkan
pada usus yang normal (bagian proksimal dari zona transisional) dan penderita BAB
lewat lubang tersebut. Diharapkan selama penderita BAB melalui lubang tersebut,
usus tumbuh lebih memanjang dan nantinya usus dapat disambungkan lagi langsung
dengan anus sehingga penderita dapat BAB normal kembali.
Prognosis pasien ini adalah quo ad vitam bonam dan quo ad functionam dubia
ad bonam.

17

DAFTAR PUSTAKA
1. Erik Peltz, D.O. Sabiston Textbook of. Surgery, 18th Ed. University of Colorado
Health Science Center. Department of surgery;2010.
2. Grosfeld J, ONeill J, Fonkalsrud E,Coran A. Pediatric Surgery, 6th ed. Mosby,
Inc. Philadelphia; 2006.
3. Kessmann J. Hirschsprungs Disease: Diagnosis and Management. American
Family Physicians 2006;74:1319-22.
4. Moses S. Hirschsprung's Disease. Family Practice Notebook, LLC, 2008.
5. Puri P dan Hollwarth M (eds). Hirschsprungs Disease and Variants. Dalam:
Pediatric Surgery: Diagnosis and Management. Halaman 453-462. New York:
Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2009.

18

Anda mungkin juga menyukai