Anda di halaman 1dari 31

1

G1P0A0 Hamil 33-34 Minggu Belum Inpartu dengan


PEB JTH Preskep

Oleh:
dr. Siti Nur Utami Abrizah
Pembimbing :
dr.H.M. Fery K, Sp.OG
Pendamping:
dr. Lidya Syauzie

RUMAH SAKIT DAERAH K.H. DAUD ARIF


2013

PORTOFOLIO
Kasus-1
Topik: G1P0A0 Hamil 33-34 Minggu Belum Inpartu dengan PEB JTH Preskep
Tanggal (Kasus) : 26 Juli 2013
Presenter : dr. Siti Nur Utami Abrizah
Tanggal Presentasi : ... Agustus 2013
Pendamping : dr. Lidya Syauzie
Tempat Presentasi : Ruang Konfrensi RS KH Daud Arif
Objektif Presentasi :
Keilmuan
Keterampilan
Penyegaran
Tinjauan Pustaka
Diagnostik
Manajemen
Masalah
Istimewa
Neonat
Bayi
Anak
Remaja
Dewasa
Lansia
Bumil
us
Deskripsi : Perempuan 18 tahun, G1P0A0 Hamil 33-34 Minggu Belum Inpartu
dengan PEB JTH Preskep
Tujuan : Tatalaksana Hipertensi pada ibu hamil, Mencegah terjadinya eklamsi,
dan mengurangi komplikasi dari hipertensi pada kehamilan baik pada ibu maupun
bayi.
Bahan Bahasan
Tinjauan
Riset
Kasus
Audit
:
Pustaka
Cara
Diskusi
Presentasi dan
Email
Pos
membahas
diskusi
Data
Pasien:

Nama : Ny. NA Umur : 18 tahun Pekerjaan : Ibu rumah No. Reg :


tangga
079548
Alamat : Pembengis RT.14 Bram Hitam
Agama : Islam Bangsa : Indonesia
Nama RS: RSD K.H.Daud Telp :
Terdaftar sejak :
Arif
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Diagnosis / Gambaran Klinis: G1P0A0 Hamil 33-34 Minggu Belum Inpartu
dengan PEB JTH Preskep , Keadaan Umum Sakit
sedang.
2. Riwayat Pengobatan : Pasien baru melakukan ANC pada trimester ke 3
kehamilan. tidak pernah ada riwayat hipertensi sebelumnya
3. Riwayat Kesehatan / Penyakit :
+ 1 hari yang lalu os mengeluh sakit kepala lalu os kontrol ke bidan,
dikatakan darah tinggi lalu os dirujuk ke RS K.H Daud Arif. Hari pertama haid
terakhir bulan November 2012 namun os lupa tanggal berapa. R/ darah tinggi
sebelum hamil (-), R/ darah tinggi pada saat hamil ini (+) sejak usia kehamilan 32
minggu, R/ perut mules yang menjalar ke pinggang (-), R/ keluar darah lendir (-),
R/ keluar air-air (-), R/ pandangan mata kabur (-), R/ sakit kepala hebat (-), R/
mual muntah (-), R/ nyeri ulu hati (-), R/ kejang (-). Os mengaku hamil kurang
bulan dan gerakan anak masih dirasakan. Os baru kontrol ke bidan pada usia
kehamilan 28 minggu.
4. Riwayat Keluarga : Riwayat keluarga dengan Hipertensi ketika hamil disangkal
Riwayat keluarga dengan kejang ketika hamil disangkal

5. Riwayat Pekerjaan : Os bekerja sebagai Ibu rumah tangga


6. Lain-lain :
Pemeriksaan Fisik
A. Status present
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran
Berat Badan
Tinggi Badan
Tipe badan
Anemia/Ikterus
Gizi
Payudara
Jantung
Paru
Tekanan Darah
Nadi
Pernafasan
Suhu
Hati/limfa
Edema pretibial
Refleks

: Compos mentis
: 65 kg
: 158 cm
: Asthenicus
: -/: Sedang
: Hiperpigmentasi (+/+)
: Murmur (-), gallop (-)
: Vesikuler (+) Normal, wheezing (-), Ronkhi (-)
: 160/100 mmHg
: 78 x/menit
: 20 x/menit
: 36,5o C
: Sulit dinilai
: (+/+)
: fisiologis (+), patologis (-)

B. Status Obstetri
Pemeriksaan Luar : 26 Juli 2013
Fundus uteri 4 jari dibawah prosesus xypoideus (26 cm)
Detik jantung janin: 134 x/ menit, teratur)
Letak janin
: memanjang
Terbawah
: kepala
Penurunan
: floating
His tiap
: -/menit
Lamanya
: -/detik
Kualitas
:Taksiran BB
:Berdasarkan rumus Johnson
TBJ = (TFU-12)x155
= (26 12)x155
= 2170 gr
Pemeriksaan Dalam : 26 Juli 2013
Portio :
Konsistensi : lunak
Posisi
: posterior
Pendataran : 0%
Pembukaan : Ketuban +/- : belum dapat dinilai
Terbawah : kepala
Penurunan : belum dapat dinilai
Penunjuk : belum dapat dinilai

C. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Darah Rutin :
Hb
: 11.6
Leukosit : 18.2
Trombosit : 230.000
Hematokrit : 35
LED
: 25
Urin Rutin :
PH
: 6.5
BJ
: 1025
Protein : ++
Reduksi : Badan keton : Nitrit
:USG :
-

leukosit :
Eritrosit :
Sel Epitel :
Kristal :
Silinder :

4-5/LPB
0-1/LPB
+
+ Granula

Kehamilan 33-34 minggu


Presentasi Kepala
Djj (+)
Ketuban Minimal
Plasenta Corpus

Konsul bagian Penyakit Dalam :


EKG : LVH
HHD Kompensata
Saran : Metyldopa 3x500
Konsul bagian mata :
Funduskopi : Retinopati Hipertensi Grade I-II ODS
Saran : Vitrolenta 4x1 ODS
Matoflam 2x1 tab
Follow Up :
Tanggal 27-08-2013 :
S = pusing (+), nyeri ulu hati (-), pandangan kabur (-), kejang (-)
O = Ku : sedang
DJJ : 134x/mnt, reguler
TD : 160/110
His : N : 88x/mnt
output urin/24 jam : 1100 cc
RR : 20 x/mnt
T : 36.8
A = G1P0A0 hamil 33-34 minggu belum inpartu dengan PEB JTH preskep
P = Tirah baring
O2 1-2 lt/mnt
10 mg MgSo4 40% dalam RL 500 ml gtt XX/mnt
Kateter menetap
Dopamet 3x500 mg tab

Dexametason 2x2 iv (1)


Ceftriaxon 2x1 gr iv
Observasi Tanda vital ibu
Observasi djj/2 jam
Tanggal 28-08-2013
S = pusing (-), nyeri ulu hati (-), pandangan kabur (-), kejang (-)
O = Ku : sedang
DJJ : 129x/mnt, reguler
TD : 150/110
His : N : 86x/mnt
output urin/24 jam : 1300 cc
RR : 20 x/mnt
T : 36.5
A = G1P0A0 hamil 33-34 minggu belum inpartu dengan PEB JTH preskep
P = Tirah baring
O2 1-2 lt/mnt
10 mg MgSo4 40% dalam RL 500 ml gtt XX/mnt
Kateter menetap
Dexametason 2x2 iv (2)
Dopamet 3x500 mg tab
Ceftriaxon 2x1 gr iv
Observasi Tanda vital ibu
Observasi djj/2 jam
Tanggal 29-08-2013
S = pusing (-), nyeri ulu hati (-), pandangan kabur (-), kejang (-)
O = Ku : sedang
DJJ : 134x/mnt, reguler
TD : 150/90
His : N : 89x/mnt
output urin/24 jam : 1850
RR : 20 x/mnt
T : 36.8
A = G1P0A0 hamil 33-34 minggu belum inpartu dengan PEB JTH preskep
P = Tirah baring
10 mg MgSo4 40% dalam RL 500 ml gtt XX/mnt
Kateter menetap
Dopamet 3x500 mg tab
Ceftriaxon 2x1 gr iv
Observasi Tanda vital ibu
Observasi djj/2 jam
Tanggal 30-08-2013
S = pusing (-), nyeri ulu hati (-), pandangan kabur (-), kejang (-)
O = Ku : sedang
DJJ : 134x/mnt, reguler
TD : 140/80
His : N : 89x/mnt
RR : 20 x/mnt
T : 36.8
A = G1P0A0 hamil 33-34 minggu belum inpartu dengan PEB JTH preskep
P = Boleh pulang
Dopamet 3x500 mg tab

Kontrol ke Poli KIA 1 minggu lagi


Daftar Pustaka:
1.Manuaba I.B.G.2007. Pengantar Kuliah obstetri. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
2.Saifuddin A.2008.Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Jakarta : Tridasari
printer.
3.Cunningham F.G.2005.Chapter 34 Hypersensitive disorder in pregnancy. In
Williams Obstetri 22nd Ed. New York : Medical Publishing Division.
4.Prihartono. J,D. Ocviyanti.2009.Manajemen Resiko Dalam Pelayanan Pasien
Preeklampsia Berat (PEB)/Eklampsia di Instalasi Gawat Darurat RSUPCM.
Dalam: Majalah Obstetri Ginekologi Indonesia.
Hasil Pembelajaran
1. Diagnosis PEB
2. Komplikasi PEB
3. Mekanisme terjadinya PEB
4. Langkah-Langkah Penatalaksanaan PEB
5. Langkah-langkah pencegahan PEB
6. Edukasi pada pasien dan keluarga pasien PEB
1. Subjektif :
+ 1 hari yang lalu os mengeluh sakit kepala lalu os kontrol ke bidan,
dikatakan darah tinggi lalu os dirujuk ke RS K.H Daud Arif. Hari pertama
haid terakhir bulan November 2012 namun os lupa tanggal berapa. R/ darah
tinggi sebelum hamil (-), R/ darah tinggi pada saat hamil ini (+) sejak usia
kehamilan 32 minggu, R/ perut mules yang menjalar ke pinggang (-), R/
keluar darah lendir (-), R/ keluar air-air (-), R/ pandangan mata kabur (-), R/
sakit kepala hebat (-), R/ mual muntah (-), R/ nyeri ulu hati (-), R/ kejang (-).
Os mengaku hamil kurang bulan dan gerakan anak masih dirasakan. Os baru
kontrol ke bidan pada usia kehamilan 28 minggu. Terjadinya peningkatan
tekanan darah pada pasien ini dapat disebabkan oleh karena pasien
merupakan primigravida yang mana preeklamsia sering terijadi pada
kehamilan pertama karena pada kehamilan pertama terjadi pembentukan
blocking antibodi (HLA-G) terhadap antigen plasenta tidak sempurna
sehingga terjadi kompleks imun humoral dan aktivasi komplemen. Selain itu
umur pasien yang masih terlalu muda yang mana organ reproduksi belum
cukup matang untuk menanggung kehamilan juga merupakan salah satu
penyebab dari terjadinya preeklampsia. Kedua penyebab diatas
menyebabkan gangguan dari invasi trofoblas dalam desidua sehingga terjadi
vasokonstriksi dari arteri spiralis yang menyebabkan aliran darah
uteroplasenta terganggu sehingga terjadi hypoksia dan iskemik dari plasenta
yang menghasilkan oksidan yang toksik terhadap endotel pembuluh darah.
Terjadi aggregasi trombosit pada pembuluh darah yang rusak yang
menyebabkan vasoknstriksi dari pembuluh darah yang memberikan efek
pada berbagai ogran termasuk peningkatan tekanan darah, sakit kepala,

penglihatan kabur dan kejang.


2. Objektif :
Dari hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium dapat ditegakkan diagnosis
Preeklampsia berat.
Pemeriksaan Fisik
A. Status present
Tekanan Darah
: 160/100 mmHg
Nadi
: 78 x/menit
Pernafasan
: 20 x/menit
Suhu
: 36,5o C
Edema pretibial
: (+/+)
Refleks
: fisiologis (+), patologis (-)
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah yang meningkat
yang disebabkan oleh kerusakan endotel pembuluih darah. Edema pada
pasien ini juga disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler
sehingga terjadi penurunan tekanan onkotik sehingga terjadi perpindahan
cairan intravaskular ke interstisium yang bermanifestasi pada edema
pretibial.
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Darah Rutin :
Hb
: 11.6
Leukosit : 18.2
Trombosit : 230.000
Hematokrit : 35
LED
: 25
Urin Rutin :
PH
: 6.5
leukosit : 4-5/LPB
BJ
: 1025
Eritrosit : 0-1/LPB
Protein : ++
Sel Epitel : +
Reduksi : Kristal : Badan keton : Silinder : + Granula
Nitrit
:Karena kerusakan endotel tadi menyebabkan perubahan sel endotel
kapiler gromerolus sehingga terjadi proteinuria yang dapat menyebakan
hipoalbuminemia
USG :
- Kehamilan 33-34 minggu
- Presentasi Kepala
- Djj (+)
- Ketuban Minimal
- Plasenta Corpus
Konsul bagian Penyakit Dalam :

EKG : LVH
HHD Kompensata
Hipertensi yang lama menyebabkan kerja jantung meningkat sehingga
menyebabkan terjadi hipertropi dari ventrikel kiri.
Konsul bagian mata :
Funduskopi : Retinopati Hipertensi Grade I-II ODS
Kerusakan endotel pembuluh darah di mata menyebabkan vasospasm dari
arteriole neuropathic disk sehingga menyebabkan tekanan hidrostatik >
osmotik sehingga terjadi edema dari optikal disk dan menyebabkan
kekeruhan dari vitreus.
3.

Assessment :
Terjadinya peningkatan tekanan darah pada pasien ini disebabkan oleh faktor
kehamilan yang baru pertama kali dan umur pasien yang masih muda yang
mana kedua faktor tersebut menyebabkan gangguan dari pembentukan HLAG menjadi tidak sempurna sehingga terjadi gangguan dari invasi trofoblas
pada desidua yang menyebabkan vasokstriksi dari arteri spiralis sehingga
terjadi penurunan aliran darah uteroplasenta yang menyebabkan iskemia dari
plasenta sehingga menghasilkan toksin pada endotel pembuluh darah.
Gangguan endotel ini menyebabkan gangguan pada beberapa organ.
Gangguan pada otak menyebabkan iskemik dari salah satu bagian di otak
yang menimbulkan gejala sakit kepala. Gangguan pada mata menyebabkan
vasospasm dari arteriole neuropathic disc sehingga dapat menjadi edema
optikal disk atau kekeruhan vitreus yang menimbulkan gejala gangguan
penglihatan. Gangguan pada hati disebabkan oleh iskemik dan edema dari
capsula glison di hati yeng dapat meyebabkan gejala nyeri uluhati. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan edema kaki yang disebabkan oleh perubahan
dari permeabilitas vaskuler yang menyebabkan tekanan hidrostatik > onkotik
yang menyebabkan edema. Pada pemeriksaan laboratorium urin rutin
didapatkan proteinuria kerusakan endotel tadi menyebabkan perubahan sel
endotel kapiler gromerolus sehingga terjadi proteinuria.
.

4. Plan :
Diagnosis : G1P0A0 Hamil 33-34 Minggu Belum Inpartu dengan PEB JTH Preskep
Penatalaksanaan :
Tirah baring
O2 1-2 lt/mnt
10 mg MgSo4 40% dalam D5% 500 ml gtt XX/mnt
Kateter menetap
Dopamet 3x500 mg tab
Dexametason 2x2 iv selama 2 hari
Ceftriaxon 2x1 gr iv
Observasi Tanda vital ibu
Observasi djj/30 menit
Konsul ke dokter spesialis kebidanan

Edukasi keluarga :
1.
Menjelaskan mengenai penyakit dan rencana tatalakasana selanjutnya.
2.
Menjelaskan mengenai komplikasi yang akan terjadi jika tidak memakan
obat darah tinggi teratur
3.
Menjelaskan tindakan pencegahan terjadinya komplikasi yang lain.
4.
Memberikan penjelasan untuk kontrol dan meneruskan terapi yang sudah
diberikan rumah sakit apabila pasien telah dipulangkan.
Edukasi pasien :
Memberikan informasi menyeluruh tentang hipertensi pada kehamilan ,
menjelaskan pentingnya kontrol dan meneruskan terapi dari rumah sakit. Modifikasi
tingkah laku, seperti diet nutrisi mulai dari komposisi nutrisi, kalori yang
dibutuhkan, dan pilihan makanan, latihan jasmani, menjelaskan upaya-upaya yang
dapat mengurangi komplikasi.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

10

1.1 PREEKLAMPSIA-EKLAMPSIA
2.1.1 Definisi
Sesuai dengan batasan dari National Institutes of Health (NIH) Working Group on
Blood Pressure in Pregnancy, preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai
dengan proteinuria pada umur kehamilan lebih dari 20 minggu atau segera setelah
persalinan. Saat ini oedema pada wanita hamil dianggap dianggap sebagai hal yang
biasa dan tidak spesifik dalam diagnosis preeklampsia. Hipertensi didefinisikan
sebagai peningkatan tekanan darah sistolik > 140 mmHg atau tekanan darah
diastolik > 90 mmHg. Tekanan darah diastolik ditetapkan pada saat hilangnya bunyi
korotkoff ( korotkoff 5 ). Proteinuria didefinisikan sebagai adanya protein dalam
urin dalam jumlah > 300 mg/ml dalam urin tampung 24 jam atau > 30 mg/dl dari
urin acak tengah yang tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi saluran kencing .
Preeklampsia sendiri dibagi menjadi 2, yaitu preeklampsia ringan dan
preeklampsia berat. Preeklampsia ringan adalah preeklampsia, dengan tekanan
darah sistolik 140 - <160 mmHg atau tekanan darah diastolik 90 - <110 mmHg.
Disebut dengan preeklampsia berat bila pada penderita preeklampsia
didapatkan salah satu gejala berikut : Tekanan darah sistolik > 160 mmHg dan
tekanan darah diastolik > 110 mmHg ; Proteinuria > 5 gr/ jumlah urin selama 24
jam atau dipstick 4 + ; Oliguria ; Peningkatan kadar kreatinin serum (> 1,2 mg/dl) ;
Edema paru dan sianosis ; Gangguan visus dan serebral disertai sakit kepala yang
menetap ; nyeri epigastrium yang menetap ; Trombositopenia < 100.000 sel/mm3 ;
Peningkatan enzim hepar (alanin

aminotransferase [ALT]

atau aspartate

aminotransferase [AST] ; Hemolisis ; Trombositopenia (< 100.000/mm3), sindroma


HELLP.
Eklampsia adalah preeklampsia yang disertai kejang tonik klonik disusul
dengan koma.
Superimposed preeklampsia/eklampsia adalah timbulnya proteinuria pada
wanita hamil yang sebelumnya telah mengalami hipertensi. Proteinuria hanya
timbul setelah kehamilan 20 minggu.
Penyakit hipertensi kronis adalah ditemukannya desakan darah > 140/90
mmHg sebelum kehamilan atau sebelum kehamilan 20 minggu dan tidak
menghilang setelah 12 minggu pasca persalinan .

11

2.1.2 Epidemiologi
Dari data berbagai kepustakaan didapat angka kejadian preeklampsia di berbagai
negara antara 7 - 10 % . Di Indonesia sendiri angka kejadian preeklampsia berkisar
antara 3,4 - 8,5 % .
Pada penelitian di RS. Dr. Kariadi Semarang tahun 1997 didapatkan angka
kejadian preeklampsia 3,7 % dan eklampsia 0,9 % dengan angka kematian perinatal
sebesar 3,1 % . Sedang pada periode tahun 1997 - 1999 didapatkan angka kejadian
preeklampsia 7,6 % dan eklampsia 0,15 %

29

. Penelitian pada bulan Juni 2002 -

Februari 2004 di RS. Dr. Kariadi Semarang didapatkan 28,1 % kasus persalinan
dengan preeklampsia berat .

Dari data ini terlihat kecenderungan peningkatan

angka kejadian preeklampsia di RS. Dr. Kariadi dari tahun ke tahun.


2.1.3

Faktor risiko

Beberapa faktor yang meningkatkan risiko terjadinya preeklampsia diantaranya


adalah sebagai berikut :
1.

Risiko

yang

berhubungan

dengan

partner

laki-laki

berupa

primigravida ; umur yang ekstrim : terlalu muda atau terlalu tua untuk
kehamilan ; partner laki-laki yang pernah menikahi wanita yang kemudian
hamil dan mengalami preeklampsia ; inseminasi donor dan donor oocyte.
2.

Risiko yang berhubungan dengan riwayat penyakit dahulu dan

riwayat penyakit keluarga berupa riwayat pernah preeklampsia ; hipertensi


kronis ; penyakit ginjal ; obesitas ; diabetes gestational.
3.

Risiko

yang

berhubungan

dengan

kehamilan

berupa

Mola

hidatidosa ; kehamilan multipel ; hydrops fetalis.


2.1.4

Etiologi dan Patogenesis

Hingga saat ini Etiologi dan patogenesis dari preeklampsia masih belum diketahui
dengan pasti. Telah banyak hipotesis yang diajukan untuk mencari etiologi dan
patogenesis dari preeklampsia namun hingga kini belum memuaskan sehingga
Zweifel menyebut preeklampsia sebagai the diseases of theories . Adapun hipotesis
yang diajukan diantaranya adalah :
2.1.4.1 Genetik

12

Terdapat suatu kecenderungan bahwa faktor keturunan turut berperanan dalam


patogenesis preeklampsia. Telah dilaporkan adanya peningkatan angka kejadian
preeklampsia pada wanita yang dilahirkan oleh ibu yang menderita preeklampsia .
Bukti yang mendukung berperannya faktor genetik pada kejadian
preeklampsia adalah peningkatan Human leukocyte antigene (HLA) pada penderita
preeklampsia. Beberapa peneliti melaporkan hubungan antara histokompatibilitas
antigen HLA-DR4 dan proteinuri hipertensi. Diduga ibu-ibu dengan HLA haplotipe
A 23/29, B 44 dan DR 7 memiliki resiko lebih tinggi terhadap perkembangan
preeklamsi dan IUGR daripada ibu-ibu tanpa haplotipe tersebut .
Peneliti lain menyatakan kemungkinan preeklampsia berhubungan dengan
gen resesif tunggal. Meningkatnya prevalensi preeklampsia pada anak perempuan
yang lahir dari ibu yang menderita preeklampsia mengindikasikan adanya pengaruh
genotip fetus terhadap kejadian preeklampsia. Walaupun faktor genetik nampaknya
berperan pada preeklampsia tetapi manifestasinya pada penyakit ini secara jelas
belum dapat diterangkan.
2.1.4.2 Iskemik Plasenta
Pada kehamilan normal, proliferasi trofoblas akan menginvasi desidua dan
miometrium dalam 2 tahap. Pertama, sel-sel trofoblas endovaskuler menginvasi
arteri spiralis yaitu dengan mengganti endotel, merusak jaringan elastis pada tunika
media dan jaringan otot polos dinding arteri serta mengganti dinding arteri dengan
material fibrinoid. Proses ini selesai pada akhir trimester I dan pada masa ini proses
tersebut telah sampai pada deciduomyometrial junction .
Pada usia kehamilan 14 - 16 minggu terjadi invasi tahap kedua dari sel
trofoblas dimana sel-sel trofoblas tersebut akan menginvasi arteri spiralis lebih
dalam hingga kedalam miometrium. Selanjutnya terjadi proses seperti tahap
pertama yaitu penggantian endotel, perusakan jaringan muskulo-elastis serta
perubahan material fibrinoid dinding arteri. Akhir dari proses ini adalah pembuluh
darah yang berdinding tipis, lemas dan berbentuk seperti kantong yang
memungkinkan terjadinya dilatasi secara pasif untuk menyesuaikan dengan
kebutuhan aliran darah yang meningkat pada kehamilan . (gambar 1)
Pada preeklampsia, proses plasentasi tersebut tidak berjalan sebagaimana
mestinya oleh karena disebabkan 2 hal yaitu :

13

1.

Tidak semua arteri spiralis mengalami invasi oleh sel-sel trofoblas.

2.

Pada arteri spiralis yang mengalami invasi, terjadi tahap pertama

invasi sel trofoblas secara normal tetapi invasi tahap ke dua tidak
berlangsung sehingga bagian arteri spiralis yang berada dalam miometrium
tetap mempunyai dinding muskulo-elastik yang reaktif yang berarti masih
terdapat resistensi vaskuler.
Disamping itu juga terjadi arterosis akut (lesi seperti atherosklerosis) pada arteri
spiralis yang dapat menyebabkan lumen arteri bertambah kecil atau bahkan
mengalami obliterasi. Hal ini akan menyebabkan penurunan aliran darah ke plasenta
dan berhubungan dengan luasnya daerah infark pada plasenta .

Gambar 1. Plasenta pada kehamilan normotensi dan preeklampsia


Pada preeklampsia, adanya daerah pada arteri spiralis yang memiliki
resistensi vaskular disebabkan oleh karena kegagalan invasi trofoblas ke arteri
spiralis pada tahap ke dua. Akibatnya, terjadi gangguan aliran darah di daerah
intervilli yang menyebabkan penurunan perfusi darah ke plasenta. Hal ini dapat
menimbulkan iskemik dan hipoksia di plasenta yang berakibat terganggunya
pertumbuhan bayi intra uterin (IUGR) hingga kematian bayi.
2.1.4.3 Disfungsi endotel
Saat ini salah satu teori tentang preeklampsia yang sedang berkembang adalah teori
disfungsi endotel. Endotel menghasilkan zat-zat penting yang bersifat relaksasi
pembuluh darah, seperti nitric oxide (NO) dan prostasiklin (PGE2). Disfungsi

14

endotel adalah suatu keadaan dimana didapatkan adanya ketidakseimbangan antara


faktor vasodilatasi dan vasokonstriksi.
Prostasiklin merupakan suatu prostaglandin yang dihasilkan di sel endotel yang
berasal dari asam arakidonat dimana dalam pembuatannya dikatalisir oleh enzim
siklooksigenase. Prostasiklin akan meningkatkan cAMP intraselular pada sel otot
polos dan trombosit dan memiliki efek vasodilator dan anti agregasi trombosit.
Tromboksan A2 dihasilkan oleh trombosit , berasal dari asam arakidonat
dengan bantuan enzim siklooksigenase. Tromboksan memiliki efek vasikonstriktor
dan agregasi trombosit. Prostasiklin dan tromboksan A2 mempunyai efek yang
berlawanan dalam mekanisme yang mengatur interaksi antara trombosit dan dinding
pembuluh darah .
Pada kehamilan normal terjadi kenaikkan prostasiklin oleh jaringan ibu,
plasenta dan janin. Sedangkan pada preeklampsia terjadi penurunan produksi
prostasiklin dan kenaikkan tromboksan A2 sehingga terjadi peningkatan rasio
tromboksan A2 : prostasiklin.
Pada preeklampsia terjadi kerusakan sel endotel akan mengakibatkan
menurunnya produksi prostasiklin karena endotel merupakan tempat pembentukan
prostasiklin dan meningkatnya produksi tromboksan sebagai kompensasi tubuh
terhadap kerusakan endotel tersebut. Preeklampsia berhubungan dengan adanya
vasospasme dan aktivasi sistem koagulasi hemostasis. Perubahan aktifitas
tromboksan memegang peranan sentral pada proses ini dimana hal ini sangat
berhubungan dengan ketidakseimbangan antara tromboksan dan prostasiklin .
Kerusakan endotel vaskuler pada preeklampsia menyebabkan penurunan
produksi prostasiklin, peningkatan aktivasi agregasi trombosit dan fibrinolisis yang
kemudian akan diganti trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi
antitrombin III sehingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit menyebabkan
pelepasan tromboksan A2 dan serotonin sehingga akan terjadi vasospasme dan
kerusakan endotel.

2.1.4.4 Imunologis
Beberapa penelitian menyatakan kemungkinan maladaptasi imunologis sebagai
patofisiologi dari preeklampsia. Pada penderita preeklampsia terjadi penurunan

15

proporsi T-helper dibandingkan dengan penderita yang normotensi yang dimulai


sejak awal trimester dua. Antibodi yang melawan sel endotel ditemukan pada 50 %
wanita dengan preeklampsia, sedangkan pada kontrol hanya terdapat 15 % .
Maladaptasi sistim imun dapat menyebabkan invasi yang dangkal dari arteri
spiralis oleh sel sitotrofoblast endovaskuler dan disfungsi sel endotel yang dimediasi
oleh peningkatan pelepasan sitokin (TNF-a dan IL-1), enzim proteolitik dan radikal
bebas oleh desidua .
Sitokin TNF-a dan IL-1 berperanan dalam stress oksidatif yang berhubungan
dengan preeklampsia . Didalam mitokondria,TNF-a akan merubah sebagian aliran
elektron untuk melepaskan radikal bebas-oksigen yang selanjutnya akan
membentuk lipid peroksida dimana hal ini dihambat oleh antioksidan .
Radikal bebas yang dilepaskan oleh sel desidua akan menyebabkan
kerusakan sel endotel. Radikal bebas-oksigen dapat menyebabkan pembentukan
lipid perioksida yang akan membuat radikal bebas lebih toksik dalam merusak sel
endotel. Hal ini akan menyebabkan gangguan produksi nitrit oksida oleh endotel
vaskuler yang akan mempengaruhi keseimbangan prostasikin dan tromboksan
dimana terjadi peningkatan produksi tromboksan A2 plasenta dan inhibisi produksi
prostasiklin dari endotel vaskuler .
Akibat dari stress oksidatif akan meningkatkan produksi sel makrofag lipid
laden, aktivasi dari faktor koagulasi mikrovaskuler (trombositopenia) serta
peningkatan permeabilitas mikrovaskuler (oedem dan proteinuria) .
Antioksidan merupakan kelompok besar zat yang ditujukan untuk
mencegah terjadinya over produksi dan kerusakan yang disebabkan oleh radikal
bebas. Telah dikenal beberapa antioksidan yang poten terhadap efek buruk dari
radikal bebas diantaranya vitamin E(a-tocopherol) , vitamin C dan (3-caroten . Zat
antioksidan ini dapat digunakan untuk melawan kerusakan sel akibat pengaruh
radikal bebas pada preeklampsia.

2.2 AKTIVIN
Aktivin adalah suatu glikoprotein yang termasuk dalam keluarga Transforming
Growth Factor-fi superfamily, sebuah group protein yang mengontrol proliferasi dan

16

diferensiasi sel dari banyak sistem tubuh. Aktivin tersusun dari subunit P , baik yang
homodimer maupun yang heterodimer dan terdiri dari aktivin A (PA-PA), aktivin B
(PB-PB) atau aktivin AB (PA-PB). (Gambar 2)
P subunit precursori

Pro (IA <50-5^K}

--------------

Pro B (SO-5*iq

Majore
toivi tis
ActivprtA AcMaM
Mwil
Gambar 2. Aktivin
2.2.1 Aktivin pada wanita
Aktivin merupakan suatu agen pelepas FSH yang spesifik. Aksi utama dari
aktivin pada wanita dalam suatu siklus menstruasi adalah merangsang produksi FSH
dari hipofise anterior. Dalam proses regulasi produksi FSH aktivin akan bekerja
sama dengan inhibin dan follistatin, yang mana hal tersebut berlangsung dengan
suatu harmoni dalan suatu siklus menstruasi. Diduga dalam memacu sintesis dari
mRNA FSH dan pelepasan FSH dari hipofise anterior, pengaruh aktivin tidak jauh
berbeda dengan GnRH. Penelitian di massachusetts memperlihatkan peningkatan
pembentukan mRNA FSH hingga 55 kali lipat pada pemberian aktivin secara
kontinus dibandingkan dengan 3 kali lipat pada pemberian GnRH secara pulsatif .
Penelitian tersebut memberikan gambaran bahwa baik aktivin dan GnRH
merupakan suatu regulator yang potensial dalam sintesis dan pelepasan FSH.
Kadar aktivin dalam suatu siklus menstruasi akan berfluktuasi sesuai dengan
tahapan dari menstruasi. Pada fase luteal, kadar aktivin akan menurun, sedangkan
kadar inhibin dan follistatin akan meningkat. Ini akan menyebabkan kadar FSH
akan menurun. Sebaliknya, pada akhir fase luteal kadar aktivin akan meningkat
disertai dengan penurunan kadar inhibin dan follistatin. Ini semua diperlukan untuk
pengaturan siklus menstruasi 14.

17

Tidak semua jenis aktivin berperanan dalam maturitas folikel. Diduga


aktivin A memegang peranan penting dalam perkembangan maturitas dari folikel
dibandingkan dengan aktivin B maupun AB. Penelitian di Boston memperlihatkan
terjadinya penghentian pertumbuhan dan maturasi dari folikel serta kematian
perinatal pada sampel yang mendapat aktivin B maupun AB tanpa aktivin A.
Sedangkan pada sampel yang mendapat aktivin A terjadi maturasi folikel yang
normal serta perkembangan perinatal yang baik . Hal ini memperkuat dugaan bahwa
aktivin A memegang peranan penting dalam maturasi folikel serta perkembangan
perinatal.

2.2.2 Aktivin dalam kehamilan


Pada

kehamilan,

pertumbuhan

plasenta

secara

normal

bergantung

pada

keseimbangan dari proliferasi dan diferensiasi sel sitotrofoblas villus menjadi


sitotrofoblas invasif. Penyimpangan dari proses ini akan dapat menimbulkan
kelainan pada perjalanan kehamilan berupa abortus, intra uterine growth restriction
(IUGR) maupun preeklampsia.
Pada wanita hamil hanya aktivin A yang dapat ditemukan dalan sirkulasi
darah maternal dimana secara dominan dihasilkan di plasenta dan sebagian lainnya
dihasilkan oleh sel endotel vaskuler serta sel monosit dan makrofag perifer dengan
pengaruh dari sitokin TNF-a dan IL-1. Aktivin A memegang peranan penting dalam
pengaturan dari invasi sel sitotrofoblas ke dalam arteri spiralis. Hal ini untuk
menjamin kecukupan aliran darah uteroplasenta selama kehamilan.
Aktivin A memacu migrasi dan invasi sel trofoblas melalui reseptor aktivin
A yang berada dalam sel sitotrofoblas. Pada percobaan invitro, penelitian di Toronto
memperlihatkan pertumbuhan trofoblas yang progesif 12 jam setelah pemberian
aktivin A pada sel trofoblas trimester I, dimana pertumbuhan ini terus berlangsung
hingga beberapa hari . (gambar 3)

18

Gambar 3. Aktivin memacu migrasi dan invasi sitotrofoblas


Langkah - langkah progresifitas dari sel trofoblas dimulai dari sel
sitotrofoblas villus yang lepas dari membran dasar villus dan akan bermigrasi
menjadi sel sitotrofoblas transisional ekstravillus pada collum , yang pada akhirnya
akan menjadi sel sitotrofoblas invasif yang akan menembus desidua. Pada tiap
langkah dari progresifitas sel trofoblas ini akan dilepaskan mediator-mediator yang
diperlukan untuk mengatur langkah selanjutnya dari proses ini.
Aktivin A menginduksi sel sitotrofoblas meninggalkan dasar membran villus
dan menuju ke collum dan menjadi sitotrofoblas ekstravillus transisional. Dalam
proses ini akan dilepaskan molekul adhesi seperti Integrin a6(34 dan E-cadherin
serta matriks metallo proteinase 2 (MMP-2) , dimana molekul adhesi dan matriks
metallo proteinase ini berfungsi sebagai jangkar dan traksi dalam proses migrasi
dari sitotrofoblas

40,41

. Aktivin A secara bermakna menginduksi MMP-2 (60 dan 68

kDa) untuk proses migrasi sel sitotrofoblas villus menuju sitotrofoblas ekstravillus.
Telah dapat dibuktikan bahwa efek dini dari aktivin A pada migrasi sel sitotrofoblas
adalah dengan menginduksi ekspresi dari MMP-2 , dimana proses ini akan berakhir
dengan berhasilnya sel sitotrofoblas villus bermigrasi menjadi sitotrofoblas
ekstravillus .
Pada tahap selanjutnya akan terjadi proses invasi dari sel sitotrofoblas pada
desidua. Pada proses ini akan diekspresikan enzim penghancur matriks extraselular
seperti plasminogen aktivator dan matriks metallo proteinase 9 (MMP 9) serta sel
molekul adhesi (Integrin a5, dimana sekresi dari MMP 9 juga dirangsang oleh
Interleukin-1(3 melalui aktivasi reseptor IL-1(3 tipe 1 pada sel sitotrofoblas . Hal

19

ini akan menyebabkan sel sitotrofoblas menjadi lebih invasif. Semua ini diperlukan
untuk keberhasilan proses invasi sel sitotrofoblas kedalam endotel vaskuler
sehingga memungkinkan terjadinya konversi pada arteri spiralis menjadi suatu
lumen yang elastis dan memiliki resistensi yang rendah yang sangat diperlukan
untuk memelihara kelangsungan kehamilan yang normal.
Untuk melindungi sel trofoblas terhadap imunitas seluler maternal maka
pada permukaan sel sitotrofoblas ekstravillus pada bagian distal dari collum dan
pada bagian yang menembus desidua akan dilepaskan Human Leukocyte Antigen
(HLA)-G. HLA-G ini hanya diekspresikan oleh sel trofoblas ekstravillus dan diduga
hal ini akan melindungi sel trofoblas pada permukaan maternal terhadap aktivitas
sel NK (Natural Killer Cell) melalui pengenalan imunologi maternal .
Pada kehamilan normal akan didapatkan peningkatan kadar aktivin A yang
diproduksi oleh sel sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas mulai trimester I dan
peningkatan maksimal didapatkan pada trimester III . Penelitian di Inggris
memperlihatkan peningkatan kadar aktivin A pada wanita hamil normal .(gambar 3)
Sedangkan penelitian di Boston memperlihatkan peningkatan kadar aktivin A
hingga 2 ng/ml hingga usia kehamilan 26-28 minggu, dimana setelah usia
kehamilan 28 minggu kadar aktivin A akan meningkat dengan pesat mencapai 25
ng/ml pada saat atem 2.
Selain di plasenta, aktivin A juga dihasilkan oleh sel mononuklear perifer
(monosit dan makrofag) serta sel endotel teraktivasi yang dipengaruhi oleh sitokin
proinflamasi (TNF-a dan IL-1 . Penelitian secara invitro juga memperlihatkan
peningkatan sekresi aktivin A oleh monosit dan makrofag oleh pengaruh TNF-a dan
IL-1. Kadar aktivin A yang disekresi oleh monosit dan makrofag ternyata akan
meningkat sesuai dengan peningkatan kadar TNF-a dan IL-1.
Pada penelitian di Boston dengan mengunakan Human Umbilical Vein
Endotelial Cell (HUVEC) berhasil memperlihatkan peningkatan sekresi aktivin A
pada endotel yang diaktivasi oleh TNF-a , IL-1 p dan IL-6. Peningkatan kadar
aktivin A pada endotel yang telah teraktivasi oleh sitokin pro inflamasi didapatkan
sesuai dengan peningkatan kadar TNF-a . Hal ini memperlihatkan pengaruh sitokin
yang signifikan terhadap produksi aktivin A melalui aktivasi endotel serta pengaruh
pada monosit dan makrofag. Pada kehamilan normal, kadar aktivin A pada

20

kehamilan normal didapatkan tertinggi pada trimester III sesuai dengan peningkatan
kadar TNF-a dan IL-1 kehamilan trimester III .
Pada kehamilan aktivin A secara dominan akan diproduksi oleh plasenta ,
memiliki fungsi autokrin dan parakrin dalam pengaturan proliferasi dan diferensiasi
dari sitotrofoblas dalam villi chorialis. Aktivin A secara lokal akan merangsang
pembentukan hCG, progesteron, matriks metallo proteinase, sekresi oksitosin dan
sintesis fibronektin, dimana hal ini secara fungsional akan dihambat oleh inhibin A .

2.2.3 Aktivin pada preeklampsia


Pada kehamilan normal sel sitotrofoblas yang diinduksi oleh aktivin A berhasil
menginvasi endotel vaskuler arteri spiralis hingga ke tunika media dan
mengubahnya menjadi suatu saluran yang elastis yang memungkinkan suplai darah
yang cukup untuk janin yang sedang berkembang. Ini akan menjamin oksigenisasi
uteroplasenter yang adekuat untuk perkembangan janin selama kehamilan.
Preeklampsia diawali dengan kegagalan invasi sel sitotrofoblas pada arteri
spiralis dimana hal ini akan menghalangi konversi arteri spiralis menjadi suatu
saluran yang memiliki resistensi rendah. Akibatnya terjadi penurunan perfusi
uteroplasenter dan diikuti kegagalan dari unit fetoplasenter untuk mendapatkan
oksigen yang cukup dari ruang intervillus yang pada akhirnya menimbulkan suatu
keadaan hipoksia pada plasenta. Hal ini akan menyebabkan pengeluaran TNF-a dan
IL-1 dari plasenta serta suatu faktor yang disebut hypoxia-inducible transcription
factors yang akan memacu trofoblas untuk menghasilkan aktivin A lebih banyak.
Hal ini diperlukan untuk memacu lebih banyak sel sitotrofoblas villus untuk
bermigrasi menjadi sitotrofoblas ekstravillus dan pada akhirnya akan menjadi
sitotrofoblas invasif yang akan menginvasi endotel vaskuler lebih dalam pada arteri
spiralis . Hal ini merupakan suatu proses dari plasenta untuk menjamin suplai
oksigen yang adekuat untuk perkembangan janin selama kehamilan. Ini semua akan
menyebabkan peningkatan kadar aktivin A pada sirkulasi darah maternal.
Selain meningkatkan produksi aktivin A pada plasenta dengan menginduksi
sel trofoblas, ternyata TNFa dan IL-1 juga akan memacu sel monosit dan makrofag

21

pada sirkulasi darah perifer untuk menghasilkan aktivin A dimana kadar aktivin A
yang dihasilkan oleh sel monosit dan makrofag ini akan meningkat sesuai dengan
peningkatan kadar sitokin TNFa dan IL-1. TNFa dan IL-113 juga mengaktivasi sel
endotel vaskuler untuk menghasilkan aktivin A. Hal ini semua akan menyebabkan
kadar aktivin A akan meningkat secara dini sebelum manifestasi klinis dari
preeklampsia muncul.

Gambar 4 .Mekanisme peningkatan kadar hormon plasenta pada


preeklampsia
Lipid peroksida yang juga dihasilkan oleh plasenta sebagai akibat dari
hipoksia plasenta akan menghambat sintesa prostasiklin dan meningkatkan produksi
tromboksan , yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya vasospasme
sistemik . Lipid peroksidase juga akan menyebabkan perubahan permeabilitas
kapiler pembuluh darah terhadap protein yang bermanifestasi sebagai proteinuria .
Disfungsi endotel vaskuler akibat iskemik plasenta akan menyebabkan
terjadinya perubahan keseimbangan dari prostasiklin dan tromboksan dimana
kadar prostasiklin yang dihasilkan pada endotel vaskuler akan menurun dan
diikuti dengan peningkatan kadar tromboksan sebagai kompensasi tubuh. Selain
itu juga terjadi peningkatan sintesis endothelin sebagai vasokonstriktor dan
penurunan kadar nitrit oksid (NO) yang bersifat vasodilator dan memegang
peranan penting dalam regulasi fungsi ginjal dan tekanan arterial pembuluh darah.
Ini akan menyebabkan terjadinya peningkatan tahan perifer yang pada akhirnya
akan memicu terjadinya preeklampsia.

22

Pada penderita preeklampsia akan mulai didapatkan peningkatan kadar


aktivin A pada usia kehamilan 15 - 19 minggu dimana peningkatan kadar tersebut
secara signifikan ditemukan pada usia kehamilan 21 - 25 minggu dibandingkan
dengan kehamilan normal. Kadar aktivin A serum maternal ini akan terus
meningkat hingga kehamilan aterm .
2.2.4 Keadaan lain yang meningkatkan kadar aktivin A
Beberapa penyakit atau keadaan tertentu dapat menyebabkan peningkatan kadar
serum aktivin A dalam sirkulasi darah maternal.
2.2.4.1 Inflamasi
Kadar aktivin A akan meningkat pada keadaan inflamasi sistemik seperti pada
septikemia. Pada inflamasi didapatkan peningkatan kadar sitokin proinflamasi
TNFa dan IL-1(3 dimana sitokin proinflamasi tersebut akan menyebabkan
peningkatan kadar aktivin A melalui aktivasi sel monosit , makrofag dan sel
endotel vaskuler.
Beberapa percobaan mendapati kadar aktivin A mulai meningkat 30 menit
setelah mendapat paparan IL-1(3 dan lipopolysaccharide. Hal ini disebabkan
peningkatan produksi aktivin A dari sel-sel imunitas seluler yang diaktivasi oleh
mediator inflamasi TNFa dan IL-1(3. Peningkatan kadar aktivin A serum akan
sebanding dengan peningkatan kadar TNFa.
2.2.4.2 Partus prematurus
Pada partus prematurus terjadi peningkatan sitokin pro inflamasi seperti TNFa ,
IL-ip dan IFN-y yang dihasilkan dari berbagai sumber seperti

serviks,

miometrium dan kulit ketuban . IL-1(3 akan menyebabkan peningkatan kadar


cyclooxygenase-2 dan Prostaglandin E2 , suatu agen kimia yang sangat efektif
untuk proses dilatasi dari serviks dan kontraksi dari miometrium.
Ternyata 30 % dari kejadian partus prematurus disebabkan oleh infeksi
dimana infeksi mikroorganisme tersebut akan menyebabkan aktivasi yang
prematur dari sitokin pro inflamasi. Didapatkan kadar sitokin proinflamasi yang
tinggi pada liquor amnii penderita partus prematurus dibandingkan dengan kontrol
pada umur kehamilan yang sama .

23

2.2.4.3 Diabetes melitus


Pada diabetes melitus, keadaan hiperglikemia yang berlangsung lama dapat
menyebabkan disfungsi endotel sebagai efek langsung angiopati pada diabetes
melitus maupun secara tidak langsung dengan pembentukan sitokin dan radikal
bebas yang bertanggung jawab terhadap kejadian disfungsi endotel. Akibatnya
akan dilepaskan aktivin A dalam jumlah yang besar . Penelitian di Roma
mendapati kadar aktivin A yang tinggi pada penderita diabetes gestational (34,8
8,20 ng/mL) dibandingkan kontrol (11,1 3,7 ng/mL) pada umur kehamilan yang
sama.
Aktivin A diduga berperanan dalam pengaturan metabolisme glukosa
dengan cara merangsang glikogenesis pada hepatosit. Pasca pemberian insulin
pada penderita gestational diabetes tersebut didapatkan penurunan kadar aktivin A
secara signifikan (12,5+4,1 ng/mL).
2.2.4.5 Hipertensi kronis
Pada hipertensi kronis terjadi jejas pada endotel vaskuler yang dapat
menyebabkan hipertrofi dan proliferasi sel endotel vaskuler hingga kerusakan sel
endotel. Akibatnya, sel endotel vaskuler akan melepaskan aktivin A pada sirkulasi
darah maternal.
2.2.4.6 Kehamilan ganda dan mola hidatidosa
Peningkatan kadar aktivin A juga dijumpai akan meningkat pada kehamilan ganda
dan pada kehamilan dengan mola hidatidosa. Ini menggambarkan kelainan
plasentosis dan fungsi dari trofoblas. Pada kehamilan ganda terjadi hiperplasia
dari plasenta yang diikuti dengan peningkatan jumlah produk yang dihasilkan
plasenta termasuk aktivin A. Pada molla hidatidosa diduga terdapat gangguan
fungsi dari trofoblas yang diikuti dengan peningkan kadar aktivin A sebagai
mekanisme kompensasi.
2.2.5 Penghambat aktivin
Aktivitas biologis dari aktivin A di jaringan akan dihambat oleh follistatin,
keluarga dari 4-glikoprotein yang merupakan glycoprotein binding dengan
aktivitas tinggi terhadap aktivin .

24

Hingga saat ini diketahui ada tiga bentuk dari follistatin, yaitu 288 kDa,
303 kDa dan 315 kDa dimana semua jenis follistatin dapat berikatan dan
menetralisir dua molekul aktivin secara irreversible.

Mekanisme pengikatan

aktivin A oleh folistatin melalui blok secara lengkap pada resepor aktivin-RI dan
RII/RIIB mRNA oleh folistatin dimana ikatan ini bersifat irreversibel.
Selain itu, Inhibin A sebagai antagonis aktivin A juga akan menghambat
fungsi dari aktivin A melalui kompetisi pada ikatan reseptor yang sama dengan
reseptor dari aktivin A .

2.2.6 Patofisiologi

25

2.1.5 Penatalaksanaan
Tujuan dasar dari penatalaksanaan preeklampsia adalah :
1. terminasi kehamilan dengan kemungkinan setidaknya terdapat trauma pada
ibu maupun janin
2. kelahiran bayi yang dapat bertahan
3. pemulihan kesehatan lengkap pada ibu
Persalinan merupakan pengobatan untuk preeklampsia. Jika diketahui atau
diperkirakan janin memiliki usia gestasi preterm, kecenderungannya adalah
mempertahankan sementara janin di dalam uterus selama beberapa minggu untuk
menurunkan risikokematian neonatus.
Khusus pada penatalaksanaan preeklampsia berat (PEB), penanganan terdiri
dari penanganan aktif dan penanganan ekspektatif. Wanita hamil dengan PEB
umumnya dilakukan persalinan tanpa ada penundaan. Pada beberapa tahun
terakhir, sebuah pendekatan yang berbeda pada wanita dengan PEB mulai
berubah. Pendekatan ini mengedepankan penatalaksanaan ekspektatif pada
beberapa kelompok wanita dengan tujuan meningkatkan luaran pada bayi yang
dilahirkan tanpa memperburuk keamanan ibu.
Adapun terapi medikamentosa yang diberikan pada pasien dengan PEB antara lain
adalah:
a) tirah baring
b) oksigen
c) kateter menetap
d) cairan intravena. Cairan intravena yang dapat diberikan dapat berupa
kristaloid maupun koloid dengan jumlah input cairan 1500 ml/24 jam dan
berpedoman pada diuresis insensible water loss, dan central venous
pressure (CVP). Balans cairan ini harus selalu diawasi.
e) Magnesium sulfat (MgSO4). Obat ini diberikan dengan dosis 20 cc
MgSO4 20% secaraintravena loading dose dalam 4-5 menit. Kemudian
dilanjutkan dengan MgSO4 40% sebanyak 30 cc dalam 500 cc ringer
laktat (RL) atau sekitar 14 tetes/menit. Magnesium sulfat ini diberikan
dengan beberapa syarat, yaitu:
1. Refleks patella normal
2. Frekuensi respirasi >16x per menit

26

3. Produksi urin dalam 4 jam sebelumnya >100cc atau 0.5


cc/kgBB/jam
4. Disiapkannya kalsium glukonas 10% dalam 10 cc sebagai
antidotum. Bila nantinya ditemukan gejala dan tanda intoksikasi
maka kalsium glukonas tersebut diberikan dalam tiga menit.
f). Antihipertensi
Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastolik >110 mmHg. Pilihan
antihipertensi yang dapat diberikan adalah nifedipin 10 mg. Setelah 1 jam,
jika tekanan darah masih tinggi dapat diberikan nifedipin ulangan 10 mg
dengan interval satu jam, dua jam, atau tiga jam sesuai kebutuhan.
Penurunan tekanan darah pada PEB tidak boleh terlalu agresif yaitu
tekanan darah diastol tidak kurang dari 90 mmHg atau maksimal 30%.
Penggunaan nifedipin ini sangat dianjurkan karena harganya murah,
mudah didapat, dan mudah mengatur dosisnya dengan efektifitas yang
cukup baik.
g). Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid direkomendasikan pada semua wanita usia
kehamilan 24-34 minggu yang berisiko melahirkan prematur, termasuk
pasien dengan PEB. Preeklampsia sendiri merupakan penyebab 15% dari
seluruh

kelahiran

prematur.Ada

pendapat

bahwa

janin

penderita

preeklampsia berada dalam keadaan stres sehingga mengalami percepatan


pematangan paru. Akan tetapi menurut Schiff dkk, tidak terjadi percepatan
pematangan paru pada penderita preeklampsia.Gluck pada tahun 1979
menyatakan bahwa produksi surfaktan dirangsang oleh adanya komplikasi
kehamilan antara lain hipertensi dalam kehamilan yang berlangsung lama.
Hal yang sama juga dilaporkan Chiswick (1976) dan Morrison (1977)
yaitu rasio L/S yang matang lebih tinggi pada penderita hipertensi dalam
kehamilan yang lahir prematur. Sementara itu, Owen dkk (1990)
menyimpulkan bahwa komplikasi kehamilan terutama hipertensi dalam
kehamilan tidak memberikan keuntungan terhadap kelangsungan hidup
janin. Banias dkk dan Bowen dkk juga melaporkan terjadi peningkatan
insidens respiratory distress syndrome (RDS) pada bayi yang lahir dari ibu

27

yang menderita hipertensi dalam kehamilan. diambil dari Dalam lebih dari
dua dekade, kortikosteroid telah diberikan pada masa antenatal dengan
maksud mengurangi komplikasi, terutama RDS, pada bayi prematur.
Apabila dilihat dari lamanya interval waktu mulai saat pemberian steroid
sampai kelahiran, tampak bahwa interval 24 jam sampai tujuh hari
memberi keuntungan yang lebih besar dengan rasio kemungkinan (odds
ratio/OR) 0,38 terjadinya RDS. Sementara apabila interval kurang dari 24
jam OR 0,70 dan apabila lebih dari 7 hari OR 0,41. Penelitian US
Collaborative tahun 1981 melaporkan perbedaan bermakna insiden RDS
dengan pemberian steroid antenatal pada kehamilan 30-34 minggu dengan
interval antara 24 jam sampai dengan tujuh hari. Sementara penelitian
Liggins dan Howie mendapati insidens RDS lebih rendah apabila interval
waktu antara saat pemberian steroid sampai kelahiran adalah dua hari
sampai kurang dari tujuh hari dan perbedaan ini bermakna. Mereka
menganjurkan steroid harus diberikan paling tidak 24 jam sebelum terjadi
kelahiran agar terlihat manfaatnya terhadap pematangan paru janin.
Pemberian steroid setelah lahir tidak bermanfaat karena kerusakan telah
terjadi sebelum steroid bekerja. National Institutes of Health (NIH)
merekomendasikan:
1. Semua wanita hamil dengan kehamilan antara 2434 minggu yang
dalam persalinan prematur mengancam merupakan kandidat untuk
pemberian kortikosteroid antenatal dosis tunggal.
2. Kortikosteroid yang dianjurkan adalah betametason 12 mg sebanyak
dua dosis dengan selang waktu 24 jam atau deksametason 6 mg
sebanyak 4 dosis intramuskular dengan interval 12 jam. Keuntungan
optimal dicapai 24 jam setelah dosis inisial dan berlangsung selama
tujuh hari.
3. Pemberian deksamethason di Rumah Sakit Pendidikan di FK-USU
yaitu 15 mg dalam sekali pemberian.

2.1.5.1 Penanganan Aktif

28

Penanganan Aktif. Kehamilan dengan PEB sering dihubungkan dengan


peningkatan mortalitas perinatal dan peningkatan morbiditas serta mortalitas ibu.
Sehingga beberapa ahli berpendapat untuk terminasi kehamilan setelah usia
kehamilan mencapai 34 minggu. Terminasi kehamilan adalah terapi definitif yang
terbaik untuk ibu untuk mencegah progresifitas PEB. 10 Indikasi untuk
penatalaksanaan aktif pada PEB dilihat baik indikasi pada ibu maupun janin:
1. Indikasi penatalaksanaan PEB aktif pada ibu:
a. kegagalan terapi medikamentosa:

setelah 6 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa, terjadi kenaikan


darah yang persisten

setelah 24 jam sejak dimulainya pengobatan medikamentosa, terjadi


kenaikandesakan darah yang persisten

b. tanda dan gejala impending eklampsia


c. gangguan fungsi hepar
d. gangguan fungsi ginjal
e. dicurigai terjadi solusio plasenta
f. timbulnya onset partus, ketuban pecah dini, dan perdarahan
g. umur kehamilan 37 minggu
h. Intra Uterine Growth Restriction (IUGR) berdasarkan pemeriksaan USG
timbulnya oligohidramnion
2. Indikasi penatalaksanaan PEB aktif pada janin:
3.Indikasi lain yaitu trombositopenia progresif yang menjurus ke sindrom HELLP
(hemolytic anemia, elevated liver enzymes, and low platelet count).
Dalam ACOG Practice Bulletin7 mencatat terminasi sebagai terapi untuk
PEB. Akan tetapi, keputusan untuk terminasi harus melihat keadaan ibu dan
janinnya. Sementara Nowitz ER29 dkk membuat ketentuan penanganan PEB
dengan terminasi kehamilan dilakukan ketika diagnosis PEB ditegakkan. Hasil
penelitian juga menyebutkan tidak ada keuntungan terhadap ibu untuk
melanjutkan kehamilan jika diagnosis PEB telah ditegakkan. Ahmed M30 dkk
pada sebuah review terhadap PEB melaporkan bahwa terminasi kehamilan adalah
terapi efektif untuk PEB. Sebelum terminasi, pasien telah diberikan dengan
antikejang, magnesium sulfat, dan pemberian antihipertensi. Wagner LK19 juga

29

mencatat bahwa terminasi adalah terapi efektif untuk PEB. Pemilihan terminasi
secara vaginal lebih diutamakan untuk menghindari faktor stres dari operasi sesar.
2.1.5.2 Penanganan Ekspektatif
Penanganan ekspektatif. Terdapat kontroversi mengenai terminasi
kehamilan pada PEB yang belum cukup bulan. Beberapa ahli berpendapat untuk
memperpanjang usia kehamilan sampai seaterm mungkin sampai tercapainya
pematangan paru atau sampai usia kehamilan di atas 37 minggu. Adapun
penatalaksanaan ekspektatif bertujuan:
1. mempertahankan kehamilan sehingga mencapai umur kehamilan yang
memenuhi syarat janin dapat dilahirkan meningkatkan kesejahteraan bayi
baru lahir tanpa mempengaruhi keselamatan ibu
2. Berdasarkan luaran ibu dan anak, berdasarkan usia kehamilan, pada pasien
PEB yang timbul dengan usia kehamilan dibawah 24 minggu, terminasi
kehamilan lebih diutamakan untuk menghindari komplikasi yang dapat
mengancam nyawa ibu (misalnya perdarahan otak). Sedangkan pada
pasien PEB dengan usia kehamilan 25 sampai 34 minggu, penanganan
ekspektatif lebih disarankan.
Penelitian awal mengenai terapi ekspektatif ini dilakukan oleh Nochimson
dan Petrie33 pada tahun 1979. Mereka menunda kelahiran pada pasien PEB
dengan usia kehamilan 27-33 minggu selama 48 jam untuk memberi waktu kerja
steroid mempercepat pematangan paru.
Kemudian Rick34 dkk pada tahun 1980 juga menunda kelahiran pasien
dengan PEB selama 48-72 jam bila diketahui rasio lecitin/spingomyelin (L/S)
menunjukkan ketidakmatangan paru. Banyak peneliti lain yang juga meneliti
efektifitas penatalaksanaan ekspektatif ini terutama pada kehamilan preterm. Di
antaranya yaitu Odendaal dkk35 yang melaporkan hasil perbandingan
penatalaksanaan ekspektatif dan aktif pada 58 wanita dengan PEB dengan usia
kehamilan 28-34 minggu. Pasien ini diterapi dengan MgSO4, hidralazine, dan
kortikosteroid untuk pematangan paru. Semua pasien dipantau ketat di ruang
rawat inap. Dua puluh dari 58 pasien mengalami terminasi karena indikasi ibu dan
janin setelah 48 jam dirawat inap. Pasien dengan kelompok penanganan aktif
diterminasi kehamilannya setelah 72 jam, sedangkan pasien pada kelompok

30

ekspektatif melahirkan pada usia kehamilan rata-rata 34 minggu. Odendaal dkk


juga menemukan penurunan komplikasi perinatal pada kelompok dengan
penanganan ekspektatif. Penelitian lain yang dilakukan Witlin36 dkk melaporkan
peningkatan angka pertumbuhan janin terhambat yang sejalan dengan peningkatan
usia kehamilan selama penanganan secara ekspektatif. sedangkan Haddad B37
dkk yang meneliti 239 penderita PEB dengan usia kehamilan 24-33 minggu
mendapatkan 13 kematian perinatal dengan rincian 12 bayi pada kelompok aktif
dan 1 kematian perinatal pada kelompok ekspektatif. Sementara angka kematian
ibu sama pada kedua kelompok. Penelitian ini menyimpulkan penanganan PEB
secara ekspektatif pada usia kehamilan 24-33 minggu menghasilkan luaran
perinatal yang lebih baik dengan risiko minimal pada ibu.
Pada pasien dengan PEB, sedapat mungkin persalinan diarahkan pervaginam
dengan beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Penderita belum inpartu
a) Dilakukan induksi persalinan bila skor Bishop 8
b) Dalam melakukan induksi persalinan, bila perlu dapat dilakukan
pematangan serviks dengan misoprostol. Induksi persalinan harus sudah
mencapai kala II dalam waktu 24 jam. Bila tidak, induksi persalinan
dianggap gagal dan harus disusul dengan pembedahan sesar.
c) Pembedahan sesar dapat dilakukan jika tidak ada indikasi untuk persalinan
pervaginam atau bila induksi persalinan gagal, terjadi maternal distress,
terjadi fetal distress, atau umur kehamilan <33 minggu.
2. Bila penderita sudah inpartu
a) Perjalan persalinan diikuti dengan grafik Friedman
b) Memperpendek kala II
c) Pembedahan cesar dilakukan bila terdapat maternal distress dan fetal
distress.
d) Primigravida direkomendasikan pembedahan cesar.
e) Anastesi: regional anastesia, epidural anastesia. Tidak dianjurkan anastesia

umum

Daftar Pustaka :
1. Manuaba I.B.G.2007. Pengantar Kuliah obstetri. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
2. Saifuddin A.2008.Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Jakarta : Tridasari
printer.
3. Cunningham F.G.2005.Chapter 34 Hypersensitive disorder in pregnancy. In
Williams Obstetri 22nd Ed. New York : Medical Publishing Division.
4. Prihartono. J,D. Ocviyanti.2009.Manajemen Resiko Dalam Pelayanan Pasien
Preeklampsia Berat (PEB)/Eklampsia di Instalasi Gawat Darurat RSUPCM.
Dalam: Majalah Obstetri Ginekologi Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai