Anda di halaman 1dari 28

PEMBAHASAN

1. Definisi
Demam Typhoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifatakut yang di
sebabkan

oleh

SalmonellaTyphi.

Penyakit

ini

di

tandai

oleh

panas

berkepanjangan,ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau


endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear
dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan peyers patch. (Sumarmo S.dkk 2008)
Penyebab utama dari penyakit ini adalah mikroorganisme SalmonellaTyphosa
dan Salmonella Typhi,A,B,dan C. Mikroorganismeini banyak terdapat di kotoran,tinja
manusia dan makananatau minuman yang terkena mikroorganisme yang di bawa oleh
lalat. Sebenarnya sumber utama dari penyakit ini adalah lingkungan yang kotor dan
tidak sehat. Tidak seperti virus yang dapat beterbangan di udara, mikroorganisme ini
hidup di sanitasi yang buruk seperti lingkungan kumuh, makanan dan minuman yang
tidak higenis Manifestas Klinik. (Ngastiyah,2005)
Gejala demam typhoid sering kali muncul setelah 1 sampai 3 minggu terpapar
mulai dari tingkat sedang hingga parah. Gejala klasik yang muncul mulai dari demam
tinggi, malas, sakit kepala, konstipasi atau diare, Rose-Spot pada dada dan
Hepatosplenomegali (WHO, 2010).Rosespot adalah suatu ruam makulopapular yang
berwarna merah dengan ukuran 1 sampai 5 mm,sering kali dijumpai pada daerah
abdomen, thoraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih, tetapi tidak pernah
dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7 sampai 10
dan bertahan selama 2 sampai 3 hari.(Soedarmo et al.2010)

2. Klasifikasi
Tipe Demam
Demam septic, sobat badan berangsur naik ke tingkat tinggi pada malam hari dan
turun kembali ke tingkat di atas normal pada pagi hari. Sering di sertai keluhan menggil
dna berkerngat. Bila demam turun ke sobat normal di sebut demam heptik.

Demam remiten, Demam dengan sobat badan yang dapat turun setiap hari namun
tidak mencapai sobat normal. Perbedaan sobat sekitar 2 oC.
Demam intermiten, sobat badan turun ke tingkat normal selama beberapa jam daolam
satu hari. Bila demam ini terjadi setiap 2 hari sekali di sebut Tertiana. Bila terjadi 2 hari
bebas diikuti 2 hari demam di sebut Kuartana.
Demam kontinyu, Terjadi variasi sobat sepanjang hari tidak lebih dari 1oC. Pada
demam yang terus menerus meninggi tiap hari di sebut hiperpireksia.
Demam siklik, Terjadi kenaikan sobat selama beberapa hari yang diikuti periode bebas
demam selama bebrapa hari kemudian diikuti kenaiakan sobat seperti semua.
Selain itu terdapat juga klasifikasi seperti berikut :

Under investigation : yaitu telah ada diterima adanya kasus tertapi informasi yang

diterima belum cukup untuk mengklasifikasinya menjadi probable atau confirmed.


Probable: sebuah kasus yang gejala klinisnya sesuai dengan seseoarang yang
telah dikonfirmasi tifoid atau kontak denga sumber yang sama dengan pasien yang

telah dikofirmasi
Confirmed: penyakit yang telah dikonfirmasi dengan hasil lab
Not a case: sebuah kasus yang telah diselidiki tetapi tidak memenuhi definisi dari
kasus itu sendiri.

3. Epidemiologi
Sejak awal abad ke 20, insidens demam tifoid menurun di USA dan Eropa
dengan ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan yang baik yang sampai saat ini
belum dimiliki oleh sebagian besar negara berkembang. Secara keseluruhan, demam
tifoid diperkirakan menyebabkan 21,6 juta kasus dengan 216.500 kematian pada tahun
2000. Insidens demam tifoid tinggi (>100 kasus per 100.000 populasi per tahun) dicatat
di Asia Tengah dan Selatan, Asia Tenggara, dan kemungkinan Afrika Selatan; yang
tergolong sedang (10-100 kasus per 100.000 populasi per tahun) di Asia lainnya, Afrika,
Amerika Latin, dan Oceania (kecuali Australia dan Selandia Baru); serta yang termasuk
rendah (<10 kasus per 100.000 populasi per tahun) di bagian dunia lainnya.

(Nelwan, 2012)
Sebuah penelitian berbasis populasi yang melibatkan 13 negara di berbagai
benua, melaporkan bahwa selama tahun 2000 terdapat 21.650.974 kasus demam tifoid
dengan angka kematian 10%. Insidens demam tifoid pada anak tertinggi ditemukan
pada kelompok usia 5-15 tahun. Indonesia merupakan salah satu negara dengan
insidens demam tifoid, pada kelompok umur 5-15 tahun dilaporkan 180,3 per 100,000
penduduk.
Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan yang
nyata antara insiden pada laki-laki dan perempuan. Insiden pasien demam tifoid
dengan usia 12 30 tahun 70 80 %, usia 31 40 tahun 10 20 %, usia > 40 tahun 5
10 %. Kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis di Negara
berkembang, yaitu 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang
sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Kasus
ini tersebar secara merata di seluruh propinsi di Indonesia dengan insidensi di daerah
pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000
penduduk/tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita
yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.
Insiden tifoid di Indonesia masih sangat tinggi berkisar 350-810 per 100.000
penduduk. Dari kasus demam tifoid di rumah sakit besar di Indonesia, menunjukkan
angka kesakitan cenderung meningkat setiap tahun dengan rata-rata 500 per 100.000
penduduk. Angka

kematian

diperkirakan

sekitar

0,6-5%

sebagai

keterlambatan mendapatkan pengobatan serta tingginya biaya pengobatan.

akibat

dari

(Satari & sidabutar, 2010)

4. Etiologi
Etiologi typhoid adalah Salmonella typhi. Salmonella para typhi A. B dan C. ada
dua sumber penularan salmonella typhi yaitu pasien dengan demam typhoid dan pasien
dengan carier. Carier adalah orang yang sembuh dari demam typhoid dan masih terus
mengekresi salmonella typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari 1 tahun.
Demam tifoid disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella typhi, basil gram
negatif, berflagel (bergerak dengan bulu getar), anaerob, dan tidak menghasilkan spora.
Bakteri tersebut memasuki tubuh manusia melalui saluran pencernaan dan manusia
merupakan sumber utama infeksi yang mengeluarkan mikroorganisme penyebab
penyakit saat sedang sakit atau dalam pemulihan. Kuman ini dapat hidup dengan baik
sekali pada tubuh manusia maupun pada suhu yang lebih rendah sedikit, namun mati
pada suhu 70C maupun oleh antiseptik. (Mansjoer, Arif 1999)

Salmonella Typhi
Salmonella typhi memiliki tiga macam antigen yaitu, antigen O (somatik)
merupakan polisakarida yang sifatnya spesifik untuk grup Salmonella dan berada pada
permukaan organisme dan juga merupakan somatik antigen yang tidak menyebar, H
(flagela) terdapat pada flagella dan bersifat termolabil dan antigen Vi berupa bahan
termolabil yang diduga sebagai pelapis tipis dinding seli kuman dan melindungi antigen
O terhadap fagositosis (Mansjoer et, al 2008). Salmonella typhi biasanya ditularkan
oleh unggas yang terkontaminasi, daging merah, telur, dan susu yang tidak
dipasteurisasi. Juga ditularkan melalui kontak dengan hewan peliharaan yang terinfeksi
seperti kura-kura, reptil.
Adapun beberapa macam dari Salmonella typhi adalah sebagai berikut:
1. Salmonella thyposa, basil gram negative yang bergerak dengan bulu getar,
tidak bersepora mempunyai sekurang-kurangnya tiga macam antigen yaitu:
a. Antigen O(somatic, terdiri dari zat komplek liopolisakarida)
a. Antigen H(flagella)
b. Antigen K(selaput) dan protein membrane hialin.
2. Salmonella parathypi A
3. Salmonella parathypi B
4. Salmonella parathypi C
Salmonella typosa merupakan basil gram negatif yang bergerak dengan bulu
getar, tidak berspora, dan tidak berkapsul. Kebanyakkan strain meragikan glukosa,
manosa dan manitol untuk menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak meragikan laktosa
dan sukrosa. Organisme salmonella tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh secara
anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies resistent terhadap agen fisik namun dapat
dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4 C (130 F) selama 1 jam atau 60 C (140
F) selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan suhu yang
rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu
dalam sampah, bahan makannan kering, agfen farmakeutika an bahan tinja.

Salmonella typosa mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen, yaitu


antigen

O,antigen

somatik

yang

tidak

menyebar,

terdiri

dari

zat

komplek

lipopolisakarida,antigen Vi (kapsul) yang meliputi tubuh kuman dan melindungi O


antigen terhadap fagositosis dan antigen H (flagella). Antigen O adlah komponen
lipopolisakarida dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan antigen H adalah
protein labil panas. Ketiga jenis antigen tersebut dalam tubuh manusia akan
menimbulkan pembentukkan tiga macam antibody yang biasa disebut agglutinin.
(Mansjoer, Arif 1999)

5. Faktor resiko
Bassil Salmonela menular melalui makanan dan minuman. Jadi makanan atau
minuman yang dikonsumsi manusia telah tercemar oleh komponen fesesatau urin dari
pengidap tifoid. Beberapa kehidupan manusia yang sangat berperan pada penularan
adalah :
1. Higiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak
terbiasa. Hal ini jelas pada anak anak, penyaji makann serta pengasuh
anak.
2. Higiene makanan dan minuman yang rendah
Faktor ini paling berperan pada penularan tifoid. Banyak sekalicontoh
untuk ini diataranya : makanan yang dicuci dengan air yang terkontaminasi
(seperti sayur dan buah buahan ), sayuran yang dipupuk dengan tinja
manusia, makanan yang tercemar dengan debu, sampah, dihinggapi lalat
air minum yang tidak dimasak dan sebagainya.
3. Sanitasi lingkungan yang kumuh dimana pengelola air limbah, kotoran dan
4.
5.
6.
7.

sampah tidak memenuhi syarat syarat kesehatan.


Penyediaan air bersih untuk warga yang tidak memadai
Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat
Pasien atau karier tifoid yang tidak diobati secara sempurna
Belum membudaya program imunisasi untuk tifoid. (SK Menkes,2006)

6. Manifestasi Klinis

Kumpulan gejala gejala klinis tifoid disebut sebagai sindrom demam tifoid.
Beberapa gejala klinis yang sering pada tifoid diantaranya adalah:
a. Demam
Demam atau panas adalah gejala utama tifoid. Pada awal sakit,
demamnya kebanyakan awal awal saja, selanjutnya suhu tubuh sering turun
naik. Pagi rendah atau normal, sore dan malam lebih tinggi (demam intermitten).
Dari hari ke hari intensitas demam makin tinggi yang disertai banyak gejala lain
seperti sakit kepala (pusing pusing) yang sering dirasakan di area frontal, nyeri
otot, pegal pegal, insomnia, anoreksia, mual dan muntah. Pada minggu ke 2
intensitas demam makin tinggi, kadang terus menerus (demam kontinyu). Bila
pasien membaik maka pada minggu ke 3 suhu badan berangsur angsur turun
dan dapat normal kembali pada akhir minggu ke 3. Perlu diperhatikan, bahwa
demam khas tifoid tersebut tidak selalu ada. Tipe demam menjadi tidak
beraturan. Hal ini mungkin karena intervensi pengobatan atau komplikasi yang
dapat terjadi lebih awal. Pada anak khususnya balita, demam tinggi dapat
menimbulkan kejang.
b. Gangguan Saluran Pencernaan
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama.
Bibir kering dan kadang kadang pecah pecah. Lidah kelihatan kotor dan
ditutupi selaput putih. Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor (coated
tongue atau selaput putih), dan pada penderita anak jarang ditemukan. Pada
umumnya sering mengeluh nyeri perut, terutama regio epigastrik (nyeri ulu hati),
disertai nausea, mual, muntah. Pada awal sakit serig konstipasi. Pada minggu
selanjutnya kadang timbul diare.
c. Gangguan Kesadaran
Umumnya terdapat gangguan kesadaran yang kebanyakan berupa
penurunan kesadaran ringan. Sering didapatkan kesadaran apatis. Bila klinis
berat, tak jarang penderita sampai somnolen dan koma atau dengan gejala
psikosis.
d. Hepatosplenomegali
Hati dan limpa, ditemukan sering membesar. Hati terasa nyeri tekan.
e. Bradikardia relative dan gejala lain
Bradikardia relative tidak sering ditemukan, mungkin karena teknis
pemeriksaan yang sulit dilakukan. Bradikardia relative adalah peningkatan suhu

tubuh yang tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi. Ptokan yang sering dipakai
adalah bahwa setiap peningkatan suhu 1 oC tidak diikuti peningkatan frekuensi
nadi 8 denyut dalam 1 menit.
(Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2006)
Manifestasi Demam Tifoid berdasarkan masanya:
Masa Inkubasi
Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada umumnya
adalah 10-12 hari. Pada awal penyakit keluhan dan gejala penyakit tidaklah
khas, berupa:

Anoreksia
rasa malas
sakit kepala bagian depan
nyeri otot
lidah kotor
gangguan perut (perut kembung dan sakit)

-Minggu Pertama (awal terinfeksi)


Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya
sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang berpanjangan
yaitu setinggi 39c hingga 40c, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual,
muntah, batuk, dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan
semakin cepat dengan gambaran perut kembung dan merasa tak enak,sedangkan
diare dan sembelit silih berganti. Pada akhir minggu pertama,diare lebih sering terjadi.
Khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar
atau tremor. Epistaksis dapat dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa
kering dan beradang.
Jika penderita ke dokter pada periode tersebut, akan menemukan demam
dengan gejala-gejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-penyakit lain
juga. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada
abdomen disalah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola)
berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna. Roseola terjadi
terutama pada penderita golongan kulit putih yaitu berupa macula merah tua
ukuran 2-4 mm, berkelompok, timbul paling sering pada kulit perut, lengan atas

atau dada bagian bawah, kelihatan memucat bila ditekan. Pada infeksi yang
berat, purpura kulit yang difus dapat dijumpai. Limpa menjadi teraba dan
abdomen mengalami distensi.
-Minggu Kedua
Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari,
yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam
hari. Karena itu, pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam
keadaan tinggi (demam). Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi
hari berlangsung. Terjadi perlambatan relatif nadi penderita. Yang semestinya nadi
meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat ini relative nadi lebih lambat
dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Gejala toksemia semakin berat yang ditandai
dengan keadaan penderita yang mengalami delirium. Gangguan pendengaran
umumnya terjadi. Lidah tampak kering,merah mengkilat. Nadi semakin cepat
sedangkan tekanan darah menurun, sedangkan diare menjadi lebih sering yang
kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi perdarahan. Pembesaran hati dan limpa.
Perut kembung dan sering berbunyi. Gangguan kesadaran. Mengantuk terus menerus,
mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain.
- Minggu Ketiga
Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu. Hal
itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala
gejala akan berkurang dan temperature mulai turun. Meskipun demikian justru pada
saat ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya
kerak dari ulkus. Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana toksemia
memberat dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor,otot-otot
bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Meteorisme dan timpani masih
terjadi, juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut. Penderita
kemudian mengalami kolaps. Jika denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis
lokal maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus
sedangkan keringat dingin,gelisah,sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba
denyutnya member gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik

merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada
minggu ketiga.
-Minggu keempat
Merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat
dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis. (Inawati,2009)
Keterangan
Roseola spot adalah bintik-bintik kemerahan pada kulit karena adanya emboli
basil (kuman) dalam kapiler kulit, biasa ditemukan pada punggung dan anggota gerak.
Hidung berdarah (Kedokteran: epistaksis atau Inggris: epistaxis) atau mimisan
adalah satu keadaan pendarahan dari hidung yang keluar melalui lubang hidung

7. Pemeriksaan diagnostik
1. Pemeriksaan Hematologi

Jumlah leukosit normal / Leukopenia / Leukositisis


Pemeriksaan ini merupakan gold standar untuk pemeriksaan demam tipoid
Kadar Hb dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit perdarahan usus

atau perforasi
Hitung jenis leukosit sering neutropenia dengan limfositosis relatif
Anemia ringan, LED meningkat
Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia)
Dalam minggu pertama biakan darah Salmonella typhi positif 75 85 %
2. Urinalisis
Protein : bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam)
Leukosit dan eritrosit normal, bila meningkat kemungkinan terjadi penyulit
3. Kimia Klinik

SGOT, SGPT dan Fosfatase alkali meningkat dengan gambaran peradangan


sampai hepatitis akut

4. Imunologi
Reaksi widal
Pemeriksaan widal adalah salah satu pemeriksaan serologi yang bertujuan untuk
menegakan diagnosa demam tipoid.Uji widal positif artinya ada zat anti (antibodi)

terhadap

kuman

Salmonella,

menunjukkan

bahwa

seseorang

pernah

kontak/terinfeksi dengan kuman Salmonella tipe tertentu. Pemeriksaan ini masih


banyak dipakai di negara-negara berkembang dikarenakan biayanya yg relatif
terjangkau

dan

hasilnyapun

dapat

diketahui

dengan

segera.

Pemeriksaan widal bertujuan untuk mendeteksi adanya antibodi (kekebalan


tubuh) terhadap kuman Salmonela dengan cara mengukur kadar aglutinasi antibodi
terhadap antigen O dan H dalam sampel darah. Tubuh kita akan membentuk
antibodi jika terpapar kuman Salmonela typhi, baik kuman yg masuk secara alamiah
dan menyebabkan sakit, kuman yg masuk namun tidak menunjukan gejala (karier)
ataupun melalui vaksinasi
Pada pasien yg saat ini tidak sedang sakitpun pemeriksaan widal mungkin
saja menunjukan hasil yang positif, pada pasien yang mendapat vaksinasi tipoid
hasil pemeriksaan widalnyapun bisa positif. Pemeriksaan widal yang positif bukan
hanya terjadi pada infeksi kuman Salmonella typhi, namun juga akibat infeksi kuman
Salmonella yang lain, sehingga pada saat ini pemeriksan ini tidak dapat lagi
dijadikan

acuan

pemeriksaan

yg

spesifik

terhadap

penyakit

tipoid.

Pengambilan sampel pasien untuk pemeriksaan widal juga kadang kurang


tepat waktunya, karena berdasarkan perjalanan penyakitnya antibodi terbentuk pada
hari ke 5-7 ke atas, sehingga tidak bijak jika pemeriksaan widal dilakukan sebelum
hari ke 5, dan kalaupun pada pemeriksaan wideal didapat hasil yangg positif pada
sebelum hari ke 5 maka yg terdeteksi tersebut dimungkinkan antibodi yang
terbentuk tersebut berasal dari infeksi sebelumnya.Mengingat adanya kelemahan
tersebut maka pada saat ini di era kemajuan teknik pemeriksaan laboratorium,
pemeriksaan tersebut seharusnya tidak lagi menjadi pilihan, meskipun masih saja
dilakukan di laboratorium-laboratorium pratama atau di daerah-daerah dimana
teknik pameriksaan yg lain belum tersedia, namun tetap memperhatikan hal-hal
penting dalam menegakan diagnosa tipoid yaitu tanda klinis yg menunjang (demam
lebih dari 7 hari, anamnesis dan pemeriksaan fisik) atau dilakukan pemeriksaan
widal serial pada minggu ke 1 dan minggu ke 2 dan pada periode convalescence
saat demam mulai turun (pemeriksaan cukup bermakna jika terdapat kenaikan titer

2-4 kali).Pemeriksaan ini walaupun lebih baru namun pemeriksaannya kurang


praktis dan harganya lebih mahal.
Beberapa hal yang sering disalah artikan :
1. Pemeriksaan widal positif dianggap ada kuman dalam tubuh, hal ini pengertian
yang salah. Uji widal hanya menunjukkan adanya antibodi terhadap kuman
Salmonella.
2. Pemeriksaan widal yang diulang setelah pengobatan dan menunjukkan hasil
positif dianggap masih menderita tifus, ini juga pengertian yang salah. Setelah
seseorang menderita tifus dan mendapat pengobatan, hasil uji widal tetap positif
untuk waktu yang lama sehingga uji widal tidak dapat digunakan sebagai acuan
untuk menyatakan kesembuhan. Hasil ulang pemeriksaan widal positif setelah
mendapat pengobatan tifus, bukan indikasi untuk mengulang pengobatan
bilamana tidak lagi didapatkan gejala yang sesuai.
3. Hasil uji negatif dianggap tidak menderita tifus.
Uji widal umumnya menunjukkan hasil positif 5 hari atau lebih setelah infeksi.
Karena itu bila infeksi baru berlangsung beberapa hari, sering kali hasilnya masih
negatif dan baru akan positif bilamana pemeriksaan diulang. Dengan
demikian,hasil uji widal negatif,terutama pada beberapa hari pertama demam
belum dapat menyingkirkan kemungkinan tifus.
Untuk

menentukan

seseorang

menderita

demam

tifoid

1. Tetap harus didasarkan adanya gejala yang sesuai dengan penyakit tifus.
2. Uji

widal

hanya

sebagai

pemeriksaan

yang

menunjang

diagnosis.

Memang terdapat kesulitan dalam interpretasi hasil uji widal karena kita tinggal di
daerah endemik,yang mana sebagian besar populasi sehat juga pernah kontak atau
terinfeksi, sehingga menunjukkan hasil uji widal positif. Hasil survei pada orang
sehat di Jakarta pada 2006 menunjukkan hasil uji widal positif pada 78% populasi
orang dewasa. Untuk itu perlu kecermatan dan kehatihatian dalam interpretasi hasil
pemeriksaan widal.

Penilaian
Titer widal biasanya angka kelipatan : 1/32 , 1/64 , 1/160 , 1/320 , 1/640.
o Peningkatan titer uji Widal 4 x (selama 2-3 minggu) : dinyatakan (+).
o Titer 1/160 : masih dilihat dulu dalam 1 minggu kedepan, apakah ada kenaikan
titer. Jika ada, maka dinyatakan (+).
o Jika 1 x pemeriksaan langsung 1/320 atau 1/640, langsung dinyatakan (+) pada
pasien dengan gejala klinis khas.
o Uji Widal didasarkan pada :
- Antigen O ( somatic / badan )
- Antigen H ( flagel/semacam ekor sebagai alat gerak )
o Jika masuk ke dalam tubuh kita, maka timbul reaksi antigen-antibodi. ANTIBODI
terhadap :

Uji

Antigen O : setelah 6 sampai 8 hari dari awal penyakit.

Antigen H : 10-12 hari dari awal penyakit.


ini

memiliki

tingkat

sensitivitas

dan

spesifitas

sedang

(moderate).

Pada kultur yang terbukti positif, uji Widal yang menunjukkan nilai negatif bisa
mencapai 30 persen.
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:
1. Negatif Palsu
Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian paling sering di
negara kita, demam di beri antibiotika tidak sembuh dalam 5 hari
dilakukan test Widal) menghalangi respon antibodi.
Padahal

sebenarnya

bisa

positif

jika

dilakukan

kultur

darah.

2. Positif Palsu
Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S. paratyphi A, B, C)
memiliki antigen O dan H juga, sehingga menimbulkan reaksi silang dengan jenis
bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan hasil positif palsu (false positive).
Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan tifoid).
Beberapa penyakit lainnya : malaria, tetanus, sirosis, dll. .
Faktor faktor Yang mempengaruhi reaksi widal :

Keadaan umum : Gizi buruk menghambat pembentukan antibodi


Pemeriksaan terlalu awal : Aglutinin baru di jumpai dalam darah setelah 1

minggu dan mencapai puncaknya minggu ke 6.


Penyakit tertentu (leukimia, ca)
Obat obat immunosuppresif atau kortikosteroid
Vaksinasi dengan hotipa / tipa
Infeksi klinis atau sub klinis oleh sallmonela
Reaksi widal positif dengan titer rendah.

5. Biakan Tinja Dalam Minggu Kedua dan Ke Tiga


6. Pemeriksaan IgM Anti Salmonella (Tubex TF)
Pada pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya antigen spesifik dari kuman
salmonella walaupun pemeriksaan dilakukan dalam minggu pertama setelah
demam
7. PCR (Polymerase Chain Reaction)
8. Anamnesa Gejala
Pada pemeriksaan, gambaran diagnosis kunci adalah :

Demam lebih dari tujuh hari

Terlihat jelas sakit dan kondisi serius tanpa sebab yang jelas

Nyeri perut, kembung, mual, muntah, diare, konstipasi

Delirium

Hepatosplenomegali

Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang,


dan ikterus

Dapat timbul dengan tanda yang tidak tipikal terutama pada bayi muda
sebagai penyakit demam akut dengan disertai syok dan hipotermi.

8. Penatalaksanaan
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam dan
gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Yang juga tidak kalah penting
adalah eradikasi total bakeri untuk mencegah kekambuhan dan keadaan carrier.

Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolat Salmonella typhi


setempat. Munculnya galur Salmonella typhi yang resisten terhadap banyak antibiotik
(kelompok MDR) dapat mengurangi pilihan antibiotik yang akan diberikan. Terdapat 2
kategori

resistensi

antibiotik

yaitu

resisten

terhadap

antibiotik

kelompok

chloramphenicol, ampicillin, dan trimethoprimsul famethoxazole (kelompok MDR) dan


resisten terhadap antibiotik fluoroquinolone. Nalidixic acid resistant Salmonella typhi
(NARST) merupakan petanda berkurangnya sensitivitas terhadap fl uoroquinolone.
Terapi antibiotik yang diberikan untuk demam tifoid tanpa komplikasi berdasarkan WHO
tahun 2003 dapat dilihat pada tabel.
Antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofl oxacin, dan pefl oxacin)
merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang disebabkan isolat tidak resisten
terhadap fluoroquinolone dengan angka kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu
penurunan demam 4 hari, dan angka kekambuhan dan fecal carrier kurang dari 2%.1
Fluoroquinolone memiliki penetrasi ke jaringan yang sangat baik, dapat membunuh S.
Typhi intraseluler di dalam monosit/makrofag, serta mencapai kadar yang tinggi dalam
kandung empedu dibandingkan antibiotik lain.
fluoroquinolone tidak diberikan pada anak-anak karena dapat mengakibatkan
gangguan pertumbuhan dan kerusakan sendi.
Chloramphenicol sudah sejak lama digunakan dan menjadi terapi standar pada
demam tifoid namun kekurangan dari chloramphenicol adalah angka kekambuhan yang
tinggi (5-7%), angka terjadinya carrier juga tinggi, dan toksis pada sumsum tulang.
Azithromycin dan cefi xime memiliki angka kesembuhan klinis lebih dari 90%
dengan waktu penurunan demam 5-7 hari, durasi pemberiannya lama (14 hari) dan
angka kekambuhan serta fecal carrier terjadi pada kurang dari 4%. Pasien dengan
muntah yang menetap, diare berat, distensi abdomen, atau kesadaran menurun
memerlukan rawat inap dan pasien dengan gejala klinis tersebut diterapi sebagai
pasien demam tifoid yang berat. Terapi antibiotik yang diberikan pada demam tifoid
berat menurut WHO tahun 2003 dapat dilihat di tabel. Walaupun di tabel ini tertera
cefotaxime untuk terapi demam tifoid tetapi sayangnya di Indonesia sampai saat ini
tidak terdapat laporan keberhasilan terapi demam tifoid dengan cefotaxime.

Selain pemberian antibiotik, penderita perlu istirahat total serta terapi suportif.
Yang diberikan antara lain cairan untuk mengkoreksi ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit dan antipiretik. Nutrisi yang adekuat melalui TPN dilanjutkan dengan diet
makanan yang lembut dan mudah dicerna secepat keadaan mengizinkan. ()
Menurut KEMENKES tahun 2006, penatalaksanaan typoid ada 2 macam yaitu
penatalaksanaan diagnosis dan penatalaksanaan pengobatan dan perawatan.
a. Penatalaksanaan diagnosis
- Diagnosis klinis
Gejala yang sering ditemukan pada tipoid adalah:

Diagnosis etiologik
Untuk mendeteksi basil salmonella dari dalam darah atau sumsum tulang. 3
cara untuk mendiagnosis etiologik yaitu biakan salmonella typhi, pemeriksaan
pelacak DNA salmonella typhi dengan PCR, dan bila hasil biakan tidak

tumbuh maka dapat dibantu dengan hasil widal.


Diagnosis komplikasi
Diagnosis komplikasi dibantu dengan pemeriksaan penunjang seperti lab dan

radiologi.
b. Penatalaksanaan pengobatan dan perawatan
- Perawatan umum dan nutrisi
1) Tirah baring
Penderita yang dirawat harus tirah baring untuk menghindari komplikasi
terutama pendarahan perforasi. Bila klinis berat, pasien bedrest total. Bila
terjadi penurunan kesadaran maka posisi tidur harus sering diubah-ubah
untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus. Bila
pasien membaik, maka dilakukan mobilisasi secara bertahap untuk
memulihkan kekuatan penderita.
2) Nutrisi
Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral
maupun parental. Dosis cairan parental adalah sesuai dengan
kebutuhan harian (tetesan rumatan). Bila ada komplikasi dosis

cairan disesuaikan dengan kebutuhan.


Diet
Diet harus mengandung kalori dan protein. Sebaiknya rendah
selulose(rendah serat) untuk mencegah pendarahan dan perforasi.
Diet untuk penderita typoid : diet cair, bubur lunak, tim dan nasi

biasa.
Terapi simptomatik
Dapat diberikan dengan pertimbangan untuk perbaikan keadaan
umum penderita. Roboransia/ vitamin, antipiretik, dan anti emetik.

3) Kontrol dan monitor dalam perawatan.


Kontrol dan monitor yang baik harus dilakukan untuk mengetahui

keberhasilan pengobatan. Hal-hal yang meliputi prioritas untuk dimonitor:


Suhu tubuh
Keseimbnagan cairan
Deteksi dini terhadap timbulnya komplikasi
Adanya koinfeksi dan atau komorbid dengan penyakit lain
Efek samping dan atau efek toksik obat
Retensi anti mikroba
Kemajuan pengobatan secara umum.
Pilihan anti mikroba untuk demam typoid

Terapi komplikasi typoid


1) Tyfoid toksik

Pemberian perental dan dapat ganda (spektrum luas) seperti


kombinasi

ampisilin

dengan

kloramfenikol.

Pemberian

kortikosteroid seperti deksametason dengan dosis 4 x 10mg


intravena. Dosis untuk anak: 1-3 mg/kgBB/hari selama 3-5 hari.
Dirawat secara intensif
2) Syok septik
Dirawat secara intensif
Kegagalan hemodinamikyang terjadi diatasi secara optimal
Atimikroba yang dipilih pemberian secara perental dan dapat ganda

(spektrum luas) seperti pada typoid toksik


Obat vasoaktif (dopamin) dipertimbangkan bila syok mengarah

irreversible.
3) Pendarahan dan perforasi
Dirawat secara intensif
Dipertimbangkan tranfusi

darah

bila

telah

adanya

indikasi

pendarahan akut.
Bila perforasi:
Rawat bersama dengan dokterbedah
Operasi cito bila ada indikasi.
Beri antibiotik spektrum luas untuk terapi typoid dan infeksi

kontaminasi usus. (ampisilin + kloramfenikol + metronidazol)


Bila perforasi, perlu resusitasi cairan, puasa, pasang tube
hidung lambung, diet parental serta monitor keseimbangan

cairan.
4) Komplikasi lain
Komplikasi diobati sesuai indikasi. Disamping itu obat-obatan dan
prosedure perawatan definitif untuk typoid tetap diberikan.

9. Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu :
1.Komplikasi intestinal
a. Perdarahan intestinal
Pada usus yang terinfeksi (terutama ileus terminalis) dapat terbentuk tukak/luka
berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus
lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan.

Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi.
Selain karena faktor luka, perdarah juga dapat terjadi akibat gangguan koagulasi
darahatau gabungan kedua faktor. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat
mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfusi darah.
Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis
perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila perdarahan sebanyak 5
ml/kgBB/jam dengan faktor hemostatis dalam batas normasl.
b. Perforasi usus
Biasanya terjadi pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu
pertama. Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang
hebat terutama di daerah kuadran kanan bawahyang kemudian menyebar ke
seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising usus melemah pada
50% penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan karena adanya udara
bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan
darah turun, dan bahkan syok. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat
menyokong adanya perforasi. Bila pada gambaran foto polos abdomen (BNO/3
posisi) ditemukan udara pada rongga atau peritoneum atau subdiafragma kanan,
maka hal ini merupakan nilai yang cukup menentukan terdapatnya perforasi
usus.
2.Komplikasi ekstraintestinal
a. Komplikasi hematologi
Komplikasi
hematologik
peningkatan

protrombin

peningkatan

fibrin

berupa
time,

degradation

trombositopenia,

peningkatan
product

partial

sampai

hipofibrino-genemia,
tromboplastin

koagulasi

time,

intravaskular

diseminata (KID) dapat ditemukan pada kebanyakan penderita dema tifoid.


Trombositopenia mungkin terjadi karena menurunnya produksi trombosit di
sumsum tulang selama proses infeksi atau meningkatnya destruksi trombosit di
sistem retikuloendotelial. Penyebab KID belum jelas, hal yang sering
dikemukakan adalah endotoksin mengaktifkan beberapa sistem biologik,
koagulasi, dan fibrinolisis.
b. Hepatitis tifosa

Pembengkakan hati pada demam tifoid banyak dijumpai karena S. Thypi


daripada S. Parathypi. Pada demam tifoid kenaikan enzim transminase tidak
relevan dengan kenaikan serum bilirubin (untuk membedakan dengan hepatitis
karena virus). Pada hepatits tifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi
dan

sistem

imun

yang

kurang.

Meskipun

sangat

jarang,

komplikasi

hepatoensefalopati dapat terjadi.


c. Pankreatitis tifosa
Merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Pankreatitis sendiri dapat disebabkan
oleh mediator pro inflamasi, virus, bakteri, cacing, maupun zat-zat farmakologik.
d. Miokarditis
Pasien dengan miokarditis biasanya tanpa gejala kardiovaskular atau dapat
berupa keluhan sakit dada, gagal jantung kongestif, aritmia, atau syok
kardiogenik. Kelainan ini disebabkan kerusakan miokardium oleh kuman S. thypi.

10. Pencegahan
Pencegahan dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan perjalanan
penyakit, yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier.
1) Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang
sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit.Pencegahan
primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari
strain Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin
tifoid, yaitu :
a. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang diminum
selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini kontraindikasi
pada wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang mengkonsumsi antibiotik .
Lama proteksi 5 tahun.
b. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K
vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol

preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 12 tahun 0,25 ml dan anak 1
5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek
samping adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat
suntikan. Kontraindikasi demam,hamil dan riwayat demam pada pemberian
pertama.
c. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan secara
intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada hipersensitif,
hamil, menyusui, sedang demam dan anak umur 2 tahun. Indikasi vaksinasi
adalah bila hendak mengunjungi daerah endemik, orang yang terpapar dengan
penderita karier tifoid dan petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan.
Mengkonsumsi

makanan

sehat

agar

meningkatkan

daya

tahan

tubuh,

memberikan pendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat
dengan cara budaya cuci tangan yang benar dengan memakai sabun, peningkatan
higiene makanan dan minuman berupa menggunakan cara-cara yang cermat dan
bersih dalam pengolahan dan penyajian makanan, sejak awal pengolahan, pendinginan
sampai penyajian untuk dimakan, dan perbaikan sanitasi lingkungan.
2) Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit
secara dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat. Untuk mendiagnosis
demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Ada 3 metode untuk
mendiagnosis penyakit demam tifoid, yaitu :
a. Diagnosis klinik
Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala kilinis yang khas
pada demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga ditemukan pada
penyakit lain. Diagnosis klinis demam tifoid sering kali terlewatkan karena pada
penyakit dengan demam beberapa hari tidak diperkirakan kemungkinan diagnosis
demam tifoid.
b. Diagnosis mikrobiologik/pembiakan kuman

Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan lebih
dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positip dalam minggu pertama.
Hasil ini menurun drastis setelah pemakaian obat antibiotika, dimana hasil positip
menjadi 40%. Meskipun demikian kultur sum-sum tulang tetap memperlihatkan hasil
yang tinggi yaitu 90% positip. Pada minggu-minggu selanjutnya hasil kultur darah
menurun, tetapi kultur urin meningkat yaitu 85% dan 25% berturut-turut positip pada
minggu ke-3 dan ke-4. Organisme dalam tinja masih dapat ditemukan selama 3 bulan
dari 90% penderita dan kira-kira 3% penderita tetap mengeluarkan kuman Salmonella
typhi dalam tinjanya untuk jangka waktu yang lama.
c. Diagnosis serologik
c.1. Uji Widal
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam serum
penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella typhi dan pada
orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid.Antigen yang digunakan pada uij
Widal adlah suspensi Salmonella typhiyang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium.
Tujuan dari uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
yang diduga menderita demam tifoid.
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang
ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar
pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif,
titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang waktu
paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama
2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid.
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :
a. Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut
b. Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau pernah
menderita infeksi
c. Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.

Beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal antara lain :


1) Faktor-faktor yang berhubungan dengan Penderita
a. Keadaan umum gizi penderita
Gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
b. Waktu pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Aglutinin baru dijumnpai dalam darah setelah penderita mengalami sakit selama
satu minggu dan mencapai puncaknya pada minggu kelima atau keenam sakit.
c. c. Pengobatan dini dengan antibiotic
Pemberian antibiotik dengan obat antimikroba dapat menghambat pembentukan
antibodi.
d. Penyakit-penyakit tertentu
Pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi pembentukan
antibodi, misalnya pada penderita leukemia dan karsinoma lanjut.
e. Pemakaian

obat

imunosupresif

atau

kortikosteroid

dapat

menghambat

pembentukan antibodi.
f. Vaksinasi
Pada orang yang divaksinasi demam tifoid, titer aglutinin O dan H meningkat.
Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan
titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh karena itu
titer aglutinin H pada seseorang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai
diagnostik.
g. Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya
Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun titer aglutininnya
rendah. Di daerah endemik demam tifoid dapat dijumpai aglutinin pada orangorang yang sehat.
2. Faktor-faktor teknis

a. Aglutinasi silang
Karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang
sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat juga menimbulkan reaksi
aglutinasi pada spesies lain. Oleh karena itu spesies Salmonella penyebab
infeksi tidak dapat ditentukan dengan uji widal.
b. Konsentrasi suspensi antigen
Konsentrasi

suspensi

antigen

yang

digunakan

pada

uji

widal

akan

mempengaruhi hasilnya.
c. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen
Daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella setempat lebih baik
daripada suspensi antigen dari strain lain.
c.2. Uji Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
a. Uji ELISA untuk melacak antibodi terhadap antigen Salmonella typhi belakangan ini
mulai dipakai. Prinsip dasar uji ELISA yang dipakai umumnya uji ELISA tidak langsung.
Antibodi yang dilacak dengan uji ELISA ini tergantung dari jenis antigen yang dipakai.
b. Uji ELISA untuk melacak Salmonella typhiDeteksi antigen spesifik dari Salmonella
typhi dalam spesimen klinik

(darah atau urine) secara teoritis dapat menegakkan

diagnosis demam tifoid secara dini dan cepat. Uji ELISA yang sering dipakai untuk
melacak adanya antigen Salmonella typhi dalam spesimen klinis, yaitu double antibody
sandwich ELISA.
Pencegahan sekunder dapat berupa :
a.

Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan usaha

b.

surveilans demam tifoid.


Perawatan umum dan nutrisi
Penderita demam tifoid, dengan gambaran klinis jelas sebaiknya dirawat di rumah

sakit atau sarana kesehatan lain yang ada fasilitas perawatan.Penderita yang dirawat
harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan

dan perforasi. Bila klinis berat, penderita harus istirahat total. Bila penyakit membaik,
maka dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan
penderita.
Nutrisi pada penderita demam tifoid dengan pemberian cairan dan diet.
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun
parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi
penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan
kalori yang optimal.
Sedangkan diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya
rendah serat untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita tifoid
biasanya diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa.
c. Pemberian anti mikroba (antibiotik)
Anti

mikroba

(antibiotik)

segera

diberikan

bila

diagnosa

telah

dibuat.

Kloramfenikol masih menjadi pilihan pertama, berdasarkan efikasi dan harga.


Kekurangannya adalah jangka waktu pemberiannya yang lama, serta cukup sering
menimbulkan karier dan relaps. Kloramfenikol tidak boleh diberikan pada wanita hamil,
terutama pada trimester III karena dapat menyebabkan partus prematur, serta janin
mati dalam kandungan. Oleh karena itu obat yang paling aman diberikan pada wanita
hamil adalah ampisilin atau amoksilin.
3) Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan
akibat komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit demam tifoid
sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas tubuh tetap terjaga
dan dapat terhindar dari infeksi ulang demam tifoid.Pada penderita demam tifoid yang
carier perlu dilakukan pemerikasaan laboratorium pasca penyembuhan untuk
mengetahui kuman masih ada atau tidak.

Daftar Pustaka
Murtidjo, Bambang. 1992. pengendalian hama dan penyakit ayam. jakarta :
kanisius. ritreived 28 februari 2015 from books.google.co.id
Satari, H. I & Sidabutar, S. 2010. Pilihan Terapi Empiris Demam Tifoid pada
Anak: Kloramfenikol atau Seftriakson? Vol 11 (6). Departemen Ilmu Kesehatan Anak,
RS Dr Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Nelwan. 2012. Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. Divisi Penyakit Tropik dan
Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Vol 39 (4). Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta
Mansjoer, Arif 1999, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Media Aesculapis,
Jakarta.
Surat

Keputusan

Menteri

Kesehatan

Republik

Indonesia

Nomor

364/MENKES/SK/V/2006
Keputusan

Menteri

Kesehatan

Republik

Indonesia.

2006.

Pedoman

Pengendalian Demam Tifoid online. http://www.hukor.depkes.go.id diakses pada


tanggal 21 februari 2015

Inawati. 2009. Demam Tifoid. Departemen Patologi Anatomi Fakultas


Kedokteran

Universitas

Wijaya

Kusuma

Surabaya.

Online.

http://elib.fk.uwks.ac.id. Diakses pada tanggal 21 februari 2015


Harijanto, Paul N. 2007. Malaria dalam Sudoyo, Aru W. et.al. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI.
Anonim. 2013. Gambaran Pengetahuan Dan Sikap Keluarga Tentang
Penanganan Diet Pada Penyakit Typhoid Di RSUD Langsa Tahun 2012. File Type :
PDF Thesis. Diakses dari http://repository.unand.ac.id/18714/4/BAB%20I.docx
Sunigit. 2012. Demam Typhoid. File type : Pdf Diakses dari :
http://digilib.unimus.ac.id/download.php?id=1212
Taurita, Iis. 2013. Typhoid. File type : PDF diakses dari : jtptunimus-gdl-iistaurita5371-2-babii.pd

Anda mungkin juga menyukai