Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Endokrin


2.1.1 Pengertian Sistem Endokrin
Sistem endokrin meliputi suatu sistem dalam tubuh manusia yang terdiri
dari sejumlah kelenjar penghasil zat yang dinamakan hormon. Kelenjar ini
dinamakan 'endokrin' karena tidak mempunyai saluran keluar untuk zat yang
dihasilkannya. Hormon yang dihasilkannya itu dalam jumlah sedikit pada saat
dibutuhkan dan dialirkan ke organ sasaran melalui pembuluh darah bercampur
dengan darah (Price, 2005).
2.1.2 Fungsi Sistem Endokrin
1. Membedakan sistem saraf dan sistem reproduktif pada janin yang sedang
berkembang
2. Menstimulasi urutan perkembangan
3. Mengkoordinasi sistem reproduktif
4. Memelihara lingkungan internal optimal
5. Melakukan respons korektif dan adaptif ketika terjadi situasi darurat.
2.1.3 Macam-macam Kelenjar Endokrin

1.

Hipotalamus
Hipotalamus adalah

pemimpin umum sistem hormon ia memiliki tugas pentingyaitu memastikan


kemantapan dalam tubuh manusia. Setiap saat, hipotalamusmengkajipesan-pesan
yang datang dari otak dan dari dalam tubuh. Setelah itu,hipotalamusmenjalankan
beberapa fungsi, seperti menjaga kemantapan suhu tubuh,mengendalikantekanan
darah, memastikan keseimbangan cairan, dan bahkan pola tidur yangtepat.
Hipotalamus

terletak

langsung

di

bawah

otak

dan

ukurannya

sebesar bijikenari. Sejumlah besar informasi sehubungan dengan keadaan tubuh


dikirim kehipotalamus.Informasi ini disampaikan ke sana dari setiap titik dalam
tubuh, termasuk pusatindra dalamotak. Kemudian hipotalamus menguraikan
informasi yang diterimanya,memutuskan tindakanyang harus diambil dan
perubahan yang harus dibuat dalam tubuh, sertamembuat sel-sel tertentu
menjalankan keputusannya.
2. Hipofisis
Kelenjar Hipofisis (pituitary)disebut juga master of gland atau kelenjar
pengendali karena menghasilkan bermacam-macam hormon yang mengatur
kegiatan kelenjar lainnya. Kelenjar ini berbentuk bulat dan berukuran kecil,
dengan diameter 1,3 cm. Hipofisis dibagi menjadi hipofisis bagian anterior,
bagian tengah (pars intermedia), dan bagian posterior.
a. Hipofisis anterior
Berfungsi untuk menghasilkan hormon yang dapat mempengaruhi
pengeluaran hormon- hormon lain; somatotropin, titrotropin, ACTH,
FSH, LH,dan prolaktin.
b. Hipofisis bagian tengah

Berfungsi untuk mensekresikan hormon melanocyt stimulating


hormone(MSH) atau melanotrin. mensekresikan MSH.

c. Hipofisis posterior
Banyak mengandung serabut-serabut saraf yang menghubungkan lobus
posterior dengan hipotalamus. Memproduksikan hormon ADH dan
oksitosin
3. Kelenjar Tiroid
Tiroid merupakan kelenjar yang terdiri dari folikel-folikel dan terdapat di
depan trakea.

Kelenjar yang terdapat di leher bagian depan di sebelah bawah jakun dan

terdiri dari dua buah lobus.


Kelenjar tiroid menghasilkan dua macam hormon yaitu tiroksin (T4) dan

Triiodontironin (T3)
Hormon ini dibuat di folikel jaringan tiroid dari asam amino (tiroksin)
yang mengandung yodium. Yodium secara aktif di akumulasi oleh kelenjar
tiroid dari darah. Oleh sebab itu kekurangan yodium dalam makanan
dalam jangka waktu yang lama mengakibatkan pembesaran kelenjar
gondok hingga 15 kali.

4. Kelenjar Paratiroid

Berjumlah empat buah terletak di belakang kelenjar tiroid


Kelenjar ini menghasilkan parathormon (PTH) yang berfungsi untuk
mengatur konsentrasi ion kalsium dalam cairan ekstraseluler dengan cara
mengatur : absorpsi kalsium dari usus, ekskresi kalsium oleh ginjal, dan

pelepasan kalsium dari tulang.


Hormon paratiroid meningkatkan kalsium darah dengan cara merangsang
reabsorpsi kalsium di ginjal dan dengan cara penginduksian selsel tulang
osteoklas untuk merombak matriks bermineral pada osteoklas untuk
merombak matriks bermineral pada tulang sejati dan melepaskan kalsium
ke dalam darah

Jika kelebihan hormon ini akan berakibat berakibat kadar kalsium dalam
darah meningkat, hal ini akan mengakibatkan terjadinya endapan kapur

pada ginjal.
Jika kekurangan hormon menyebabkan kekejangan disebut tetanus.
Kalsitonin mempunyai fungsi yang berlawanan dengan PTH, sehingga

fungsinya menurunkan kalsium darah.


5. Kelenjar Adrenal
Kelenjar adrenal terdiri atas bagian luar (korteks) dan bagian dalam
(medula). Pada korteks adrenal dihasilkan mineralokortikoid, glukokortikoid, dan
gonadokortikoid.
6. Kelenjar Pankreas
Didalam pankreas terdapat bagian yang disebut pulau-pulau Langerhansyang
terdiri dari dua jenis sel yaitu, sel alfadan sel beta.
1. Sel alfa menghasilkan hormon glukagon sehingga kadar glukosa darah
naik.
2. sel beta memproduksi hormon insulin yang berfungsi mengubah glukosa
menjadi glukogen sehingga dapat menurunkan kadar gula dalam darah.
7. Kelenjar Kelamin
a. Kelenjar kelamin pria
Sel-sel intertistial atau sel Leydig pada kelenjar kelamin laki-laki
(testis) menyeksresikan hormon testoteron. Hormon ini berfungsi
merangsang pematangan sperma dan pembentukan tanda-tanda
kelamin sekunder laki-laki.
b. Kelenjar Kelamin Wanita hormon estrogen dan progesteron.
Estrogen berfungsi untuk oogenesis (pembentukan sel telur),
pemeliharaan fungsi organ kelamin, merangsang perkembangan ciriciri kelamin sekunder wanita.
8. Kelenjar Pineal
Mensekresikan melatonin. Untuk penghambatan fungsi reproduksi,seperti
spermatogenesis, oogenesis, dan pematangan seksual, sebag ai antidioksidan di
otak.
9. Kelenjar Timus
Hormon yang dihasilkan oleh kelenjar timus disebut timosin. Timosin ini
berfungsi merangsang proliferasi dan pematangan limfosit.
2.1.4

Macam-macam Kelainan Kelenjar Endokrin dan Manifestasi pada


Oral
1. Akromegali

Akromegali adalah suatu sindrom yang terjadi pada orang dewasa


dikarenakan hipersekresi hormone pertumbuhan setelah epifise menutup, sehingga
terjadi pertumbuhan jaringan lunak dan struktur tulang yang berbeda (Price,
2005).
Penyebab utama akromegali paling sering adalah adenoma pada hipofisis
yang dapat memberika kelainan neurologic dan metabolic. Kelainan pada met
bolisme sebagai akibat berlebihnya hormone somatotropin da kelainan neurologic
dikarenakan tumbunya adenoma pada hipofisis. Penyakit akromegali merupakan
salah satu penyakit endokrin yang dengan cepat dapat diketahui pada tangan dan
wajah dan penderita penyakit ini tidak dapat tumbuh lebih tinggi lagi, namun
jaringan ikat longgarnya masih terus tumbuh begitu juga dengan tebal tulangnya
(Price, 2005).
Tanda khas Akromegali di rongga mulut adalah pembesaran lidah yang
tidak proporsional dengan papilari hipertropi dengan lekuk bekas gigi di daerah
pinggir lidah, biasanya menyebabkan gigi geligi rahang bawah miring ke labial
atau ke bukal (Price, 2005).
Pertumbuhan kondilus meningkat sehingga menyebabkan maloklusi klas
III yang sering menimbulkan salah gigit, ditandai dengan insisivus bawah lebih ke
anterior. Perubahan mandibula menyebabkan jarak antar gigi menjadi lebar atau
diastema sedangkan gigi tidak berubah. Kelainan periodontal lebih lanjut sering
ditemui terutama pada pasien dengan maloklusi berat. Rahang juga mengalami
pembesaran yang ditandai dengan adanya celah atau ruangan pada gigi geligi
rahang atas, namun pertumbuhan mandibula jauh lebih besar (Price, 2005).

2. Gigantisme

Gigantisme hampir sama dengan akromegali. Hanya saja gigantisme


timbul jika hipersekresi hormon pertumbuhan terjadi sebelum penutupan epifise
tulang pada anak-anak sewaktu atausebelum masa pubertas. Sekresi hormon
pertumbuhan skeletal menyolok dan bersamaan dengan itu terdapat pada kenaikan
ukuran organ-organ dalam. Sama seperti akromegali, penyebab utama gigantisme
adalah adenoma pada hipofisis dan sekresi hormon pertumbuhan yang berlebihan
(Price, 2005).
Apabila produksi hormon pertumbuhan berlebihan, terjadi sebelum masa
dewasa dan sebelum epifise tulang panjang bersatu dengan batang tulang maka
tinggi badan orang itu akan menjadi seperti raksasa. Penderita ini menjadi sangat
panjang karena tulang-tulangnya menjadi lebih panjang daripada tulang-tulang
orang biasa (Price, 2005).
Gambaran klinis dari gigantisme hampir sama dengan akromegali seperti
pembesaran hidung, lidah, bibir, telinga, tangan dan kaki. Fungsi genitalis kurang
baik, sakit, kepala, lemah, sakit pada sendi dan otot (Price, 2005).
Pada penderita gigantisme manifestasi oralnya adalah sering terjadi
pertumbuhan gigi lebih cepat seperti halnya erupsi gigi dini, sedangkan
mineralisasi gigi tidak dipengaruhi oleh kadar hormo pertumbuhan yang
berlebihan. Ukuran gigi geligi pada gigantisme sesuai dengan ukuran rahang,
hanya saja akar gigi mungkin lebih panjang dari ukuran normalnya. Manifestasi
oral lainnya dari gigantisme hampir sama akromegali seperti rahang bawah yang
agak menonjol (Price, 2005).
3. Penyakit addison
Penyakit Addison (juga dikenal sebagai kekurangan adrenalin kronik,
hipokortisolisme atau hipokortisisme) adalah penyakit endokrin langka dimana
kelenjar adrenalin memproduksi hormon steroid yang tidak cukup. Penyakit ini
juga dapat terjadi pada anak-anak. Nama penyakit ini dinamai dari Dr Thomas
Addison, dokter Britania Raya yang pertama kali mendeskripsikan penyakit ini
tahun 1855. Penyakit hipokortikolisme ini jarang ditemukan tetapi sangat penting
karena penyakit ini dapat menyebabkan kematian. Kematiaan karena penyakit ini
disebabkan oleh karena terjadinya kriss Addison. Walaupun dapat menyebabkan
kematian sebenarnya penyakit ini dapat diobati dengan mudah (Price, 2005).

Hiperpigmentasi sering ditemukan pada daerah yang mendapat tekanan


pada membrane mukosa mjulut. Bercak yang ditimbulkan berwarna bervariasi
mulai dari warna coklat muda, abu-abu atau pun bisa berwarna kehitaman. Bercak
ini ditemukan pada pipi dapat juga ditemukan pada ginggiva, palatum, lidah, dan
bibir. Pemberian Steroid akan menyebabkan kandidiasis muko kutaneous dan
infeksi rongga mulut. Keadaan ini akan sulit diobati secara konservatif
(Ranakusuma, 1992).

4.

Sindrom cushing

Sindrom

cushing

terjadi

akibat

peningkatan

kortisol endogen

maupun eksogen di

dalam sirkulasi.

Sindrom

spontan

tidak

lazim dan mungkin

berasal

dari

hipofisis

kadar
cushing
atau

adrenal. Ini empat kali lebih lazim pada wanita dan bias terjadi pada anak-anak,
ketika karsinoma korteks adrenal lebih lazim. Sebaliknya, sindroma cushing
iatrogenic lazim ditemukan, biasanya karena dosis tinggi kortikolsteroid yang
diperlukan untuk mengobati kelainan radang dan imunologis. Kadang-kadang
terapi penggantian yang berlebihan diberikan kepada pasien hipoadrenalisme
(Price, 2005).
Gambaran klinis utama dari sindroma Cushing adalah obesitas, hipertensi,
banyak memar, kelemahan otot, nyeri pinggang, diabetes mellitus, gangguan jiwa,
gangguan haid, dan pada anak-anak terjadi kelambatan pertumbuhan. Perubahan
penyebaran lemak ikut menyebabkan wajah bundar dan perut membuncit dan juga
bantalan lemak tebal di daerah supraklavikular (Price, 2005).
Hipertensi dan retensi cairan yang diinduksi oleh kelebihan kortisol, dan
penyakit jantung iskemik adalah penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas
pada sindroma Cushing. Memar berlebihan terjadi baik secara spontan atau pada
tempat trauma minor dan ini disebabkan kehilangan kolagen yang menyokong
dinding pembuluh darah. Nyeri pinggang disebabkan osteoporoisis dan fraktur

10

yang dapat terjadi pada sembarang tulang, khususnya vertebrata, baik spontan
ataupun setelah trauma minor. Diabetes mellitus ringan dapat menjadi penyulit
sindroma Cushing dan merupakan akibat kerja kortikol pada metabolism
karbohidrat (Price, 2005).
Sindroma Cushing endogen bisa diakibatkan

oleh kelebihan produksi

ACTH oleh hipofisis, adenoma atau karsinoma autonom dari adrenal, atau
produksi ACTH ektopik oleh karsinoma bronkus atau tumor karsinoid. Kecuali
dengan tumor jinak, sindroma ACTH ektopik biasanya bisa dibedakan. Tes
penyaring memerlukan pengukuran kortisol dalam urina dan plasma, sebelum dan
setelah steroid oral (deksametason) yang dalam keadaan normal menekan kadar
dan produksi kortisol; supresi tidak didapatkan pada sindroma Cushing (Price,
2005).
Penatalaksanaan bergantung pada penyebab. Tumor adrenal diangkat
karena banyak yang ganas, terutama yang besar. Bila penyebabnya adalah
produksi ACTH ektopik penatalaksanaan ditunjukan untuk nlesi primer dan
rekurensi (kekambuhan). Produksi ACTH berlebihan oleh hipofisis (penyakit
Cushing) diobati dengan mengusahakan pengangkatan tumor baik melalui jalan
transfenoidal atau dengan implantasi zat radioaktif (ytrium 90) ke dalam sella
turcica (Price, 2005).
3.

Hipotiroidisme
Serangkaian tanda-tanda dan gejala orofasial dapat timbul sebagai akibat
kuranganya sekresi tiroksin dan tri-iodothyroinine oleh kelenjar tiroid. Bila hal
ini terjadi pada anak-anak maka akan terjadi kretinisme. Gambaran orofasial dari
kretinisme meliputi pembesaran bibir, makroglosia, mandibula yang berkembang,

11

serta hipoplasia maksila.pada orang dewasa, hipotiriodisme dapat menimbulkan


gambaran muka sembab dan hilangnya alis (Jones, 1990).

4. Hipertiroidisme
Hipertiroidisme adalah keadaan tirotoksikosis sebagai akibat dari produksi
tiroid, yang merupakan akibat dari fungsi tiroid yang berlebihan. Hipertiroidisme
(Hyperthyrodism) adalah keadaan disebabkan oleh kelenjar tiroid bekerja secara
berlebihan sehingga menghasilkan hormon tiroid yang berlebihan di dalam darah
(Jones, 1990).
Produksi hormon tiroid yang berlebihan mengakibatkan turunnya berat
badan , anemia, mual, timbulnya perasaan cemas serta berpeluh. Tanda-tanda
orofasial klasik dapat dilihat pada mata berupa kelopak mata menggantung,
tertariknya kelopak mata, serta eksoptalmus (Jones, 1990).

5. Hiperparatiroidisme

12

Hiperparatiroidisme merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh


jumlah hormon paratiroid yang berlebihan, yang menyebabkan hiperkalsemia dan
hipofostatemia, serta mempengaruhi fungsi berbagai tipe sel. Hiperparatiroidisme
terbagi menjadi tiga, yaitu hiperparatiroid primer, sekunder, dan tersier (Smeltzer
dkk, 2001).
1. Hiperparatiroid primer adalah hiperparatiroid yang disebabkan
hormone paratiroid yang berlebihan akibat hyperplasia kelenjar
tyroid atau neoplasma.
2. Hiperparatiroid sekunder adalah suatu tipe yang timbul bila
kalsium serum jauh di bawah kadar normal, seperti pada penyakit
kronik atau defisiensi vitamin D.
Hiperparatiroid Teriser yaitu tipe hiperparatiroid dengn timbulnya
adenoma paratiroid dari hyperplasia sekunder yang disebabkan oleh gagal ginjal
kronik (Smeltzer dkk, 2001).

13

2.2 Diabetes Mellitus


2.2.1 Pengertian Diabetes Mellitus
Pada tahun 250 sesudah Masehi, Aretaceus dari cappodocia (Asia Kecil)
menyebut penyakit tersebut dengan nama diabetes (berarti corong, atau mengalir),
yang mempunyai gejala-gejala : haus, kencing terus-menerus, mulut kering, kulit
kasar, dan berat badan berkurang.1 Pada abad ke-3 sampai ke-6 sesudah Masehi,
para ahli di Cina, Jepang, dan India melukiskan penyakit ini dengan gejala
kencing banyak, kental, dan manis.2 Pada tahun 1674, Thomas Willis menyatakan
bahwa kencing penderita penyakit ini mempunyai rasa madu, karenanya penyakit
ini diberi nama Diabetes Mellitus.3,5 Hal ini ditandai dengan peningkatan kadar
glukosa darah (hiperglikemia) (Horlina, 2003).
Diabetes mellitus, suatu penyakit kronik yang ditandai dengan kekurangan
insulin baik relative maupun absolute yang mengakibatkan metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein terganggu. Diabetes mellitus merupakan salah
satu penyakit yang paling banyak dan paling sering dijumpai pada manusia,
dimana sebagian dari penderita tersebut tidak sadar maupun tidak terdiagnosa
bahwa telah menderita penyakit tersebut hingga muncul gejala-gejala yang lebih
spesifik (Horlina, 2003).
2.2.2 Gambaran Klinis Diabetes Mellitus
Gejala diabetes dapat dikelompokkan menjadi dua,yaitu :
a.Gejala Akut
Pada permulaan gejala yang ditunjukkan meliputi tiga serba banyak yaitu:
-

Banyak makan (polifagia)

Banyak minum (polidipsi)

Banyak kencing (poliuria)

Dalam fase ini biasanya penderita menunjukkan berat badan yang terus
bertambah, karena pada saat itu jumlah insulin masih mencukupi. Apabila
keadaan ini tidak segera diobati maka akan timbul keluhan lain yang disebabkan
oleh kurangnya insulin. Keluhan tersebut diantaranya:

14

nafsu makan berkurang

banyak minum

banyak kencing

berat badan turun dengan cepat

mudah lelah

bila tidak segera diobati,penderita akan merasa mual bahkan

penderita akan jatuh koma (koma diabetik).


b. Gejala Kronik
Gejala kronik akan timbul setelah beberapa bulan atau beberapa tahun
setelah penderita menderita diabetes. Gejala kronik yang sering dikeluhkan
oleh penderita, yaitu:

2.2.3

Kesemutan

Kulit terasa panas

Terasa tebal dikulit

Kram

Lelah

Mudah mengantuk

Mata kabur

Gatal disekitar kemaluan

Manifestasi Diabetes Mellitus pada Rongga Mulut


Pada penderita diabetes mellitus dapat dilihat adanya manifestasi dalam

rongga mulut penderita, misalnya ginggivits dan periodontitis, disfungsi kelenjar


saliva dan xerostomia, infeksi kandidiasis, sindroma mulut terbakar serta
terjadinya infeksi oral akut (Boedi, 2003).

Gingivitis Dan Periodontitis

Gingivitis

merupakan

inflamasi

pada

gusi

yang

mudah

untuk

disembuhkan, dimana pada jaringan ginggiva terlihat kemerah-merahan disertai


pembengkakan dan bila disikat dengan sikat gigi akan berdarah. Gingivitis akan
menimbulkan terbentuknya periodontal pocket disertai adanya resorpsi tulang,
sehingga gigi goyang dan akhirnya tanggal (Boedi, 2003).

15

Gambar 2.2 : Periodontitis pada penderita Diabetes Mellitus 30

Gambar 2.3 : Gingivitis pada penderita Diabetes Mellitus tipe II

Xerostomia Dan Disfungsi Kelenjar Saliva

Hiperglikemia mengakibatkan meningginya jumlah urin sehingga cairan


dalam tubuh berkurang dan sekresi saliva juga berkurang. Dengan berkurangnya
saliva, dapat mengakibatkan terjadinya xerostomia.18 Dalam rongga mulut yang
sehat, saliva mengandung enzim-enzim antimikroba, misalnya : Lactoferin,
perioxidase, lysozyme dan histidine yang berinteraksi dengan mukosa oral dan
dapat mencegah pertumbuhan kandida yang berlebihan.Pada keadaan dimana
terjadinya perubahan pada rongga mulut yang disebabkan berkurangnya aliran
saliva, sehingga enzim-enzim antimikroba dalam saliva tidak berfungsi dengan
baik, maka rongga mulut menjadi rentan terhadap keadaan mukosa yang buruk
dan menimbulkan lesi-lesi yang menimbulkan rasa sakit. Pasien diabetes mellitus
yang mengalami disfungsi kelenjar saliva juga dapat mengalami kesulitan dalam

16

mengunyah dan menelan sehingga mengakibatkan nafsu makan berkurang dan


terjadinya malnutrisi (Boedi, 2003).

Gambar 2.4 : akibat xerostomia32

Gambar 2.5 : Dry mouth in autoimmune disorders and diabetes 31

Infeksi Kandidiasis

Kandidiasis oral merupakan infeksi bakteri oportunistik yang terjadi dalam


keadaan hiperglikemia karena keadaan tersebut dapat menyebabkan terjadinya
disfungsi aliran saliva karena adanya kehilangan cairan dari tubuh dalam jumlah
yang banyak, sehingga aliran saliva juga berkurang. Selain itu, juga menyebabkan
komplikasi berupa microangiopathy yang paling sering muncul pada penderita
diabetes mellitus terkontrol atau tidak terkontrol. Oleh itu, Kandidiasis dapat
ditemukan pada penderita diabetes mellitus bila didukung berbagai faktor yang
ada pada penderita diabetes mellitus, seperti terjadinya defisiensi imun,
berkurangnya aliran saliva, keadaan malnutrisi dan pemakaian gigi tiruan dengan
oral hygiene yang buruk (Boedi, 2003).

17

Gambar 2.6 : Kandidiasis pada penderita Diabetes Mellitus tipe II

Sindroma Mulut Terbakar

Pasien dengan sindroma mulut terbakar biasanya muncul tanpa tandatanda klinis, walaupun rasa sakit dan terbakar sangat kuat. Pada pasien dengan
diabetes mellitus tidak terkontrol, faktor yang menyebabkan terjadinya sindroma
mulut terbakar yaitu berupa disfungsi kelenjar saliva, kandidiasis dan kelainan
pada saraf.6,16 Adanya kelainan pada saraf akan mendukung terjadinya gejalagejala paraesthesias dan tingling, rasa sakit / terbakar yang disebabkan adanya
perubahan patologis pada saraf-saraf dalam rongga mulut (Boedi, 2003).

Infeksi Oral Akut

Pada penderita diabetes mellitus dapat menyebabkan banyak komplikasi


lain yang masih belum dijumpai, hal ini memungkinkan terjadinya mekanisme
patogen yang berhubungan dengan infeksi-infeksi periodontal yang berperan
penting dalam perkembangan infeksi oral (Boedi, 2003).
Hal hal yang perlu diperhatikan dalam pasien Diabetes Mellitus + Oral
Diabetes
o Gunakan anastesi lokal
o Gunakan Adrenalin dan desifektan dengan dosis serendah mungkin
Jahitan dengan benang yang tidak dapat diserap agar tidak ada
pendarahan di socket

18

o Berikan antibiotik pilihan (sefalosporin, aminoglikosida, sulbensilin)


(Sedano, 1998).
2.2.4 Pemeriksaan Fisik Diabetes Mellitus
Pada penderita diabetes tipe I dilakukan pengkajian untuk memeriksa
tanda-tanda ketoasidosis diabetik, yang mencakup pernapasan kussmaul, hipotensi
ortostatik, dan latergi. Pasien ditanya tentang gejala ketoasidosis diabetik, seperti
mual, muntah dan nyeri abdomen. Hasil-hasil laboratorium dipantau untuk
mengenali tanda-tanda asidosis metabolik, seperti penurunan nilai pH serta kadar
bikarbonat dan untuk mendeteksi tanda-tanda gangguan keseimbangan elektrolit.
Pemeriksaan fisik selama episode hipoglikemik menunjukkan :
Respon autonomik
Berkeringat
Palpitasi
Tremor
Gugup
Pucat
Lapar
Respon neuroglikopenik
Sakit kepala
Pening
Kacau mental
Peka rangsang
Kesulitan berkonsentrasi
Kerusakan penilaian
Kelemahan dan kejang
Koma pada kasus berat
Pasien diabetes tipe II dikaji untuk melihat adanya tanda-tanda sindrom
HHNK, mencakup hipotensi, gangguan sensori, dan penurunan turgor kulit. Nilai
laboratorium dipantau untuk melihat adanya tanda hiperosmolaritas dan
ketidakseimbangan elektrolit.
Pasien dikaji untuk menemukan faktor-faktor fisik yang dapat
mengganggu kemampuannya dalam mempelajari melakukan keterampilan
perawatan mandiri, seperti :

Gangguan penglihatan (pasien diminta untuk membaca angka atau


tulisan pada spuit insulin, lembaran menu, suratkabar, atau bahan
pelajaran)

19

Gangguan koordinasi motorik (pasien diobservasi pada saat makan


atau mengerjakan pekerjaan lain atau pada saat menggunakan spuit

atau lanset untuk menusuk jari tangannya)


Gangguan neurologis (misalnya, akibat stroke) (dari riwayat
penyakit yang tercantum pada bagan: pasien dikaji untuk
menemukan gejala afasia atau penurunan kemampuan dalam
mengikuti perintah sederhana) (Smeltzer,2001)

2.2.5

Pemeriksaan Penunjang Diabetes Mellitus


Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan resiko

tinggi DM. Yaitu kelompok usia dewasa tua (>40 tahun), obesitas, tekanan darah
tinggi, riwayat keluarga DM, riwayat kehamilan dengan berat badan lahir bayi
>4.000 g, riwaya DM pada kehamilan, dan dislipidemia. Pemeriksaan penyaring
dapat dilakukan dengan pemeriksaan glukosa darah sewaktu, kadar gula darah
puasa (Tabel 1), kemudian dapat diikuti dengan Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO) standar. Untuk kelompok resiko tinggi yang hasil penyaringannya
negatif, perlu pemeriksaan penyaring ulang tiap tahun. Bagi pasien berusia 45
tahun tanpa faktor resiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.
Tabel 1 kadar glukosa darah sewaktu dan puasa dengan metode enzimatik
sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)
Kadar glukosa darah sewaktu
Plasma vena
Darah kapiler
Kadar glukosa darah puasa
Plasma vena
Darah kapiler
1.
2.
3.
4.
5.

Bukan DM

Belum pasti DM

<110
<90

110-199
90-199

>200
>200

<110
<90

110-125
90-109

>126
>110

Cara pemeriksaan TTGO, adalah :


Tiga hari sebelum pemeriksaan pasien makan seperti biasa.
Kegiatan jasmani sementara cukup, tidak terlalu banyak.
Pasien puasa semalam selama 10-12 jam.
Periksa glukosa darah puasa.
Berikan glukosa 75 g yang dilarutkan dalam air 250 ml, lalu minum dalam

waktu 5 menit.
6. Periksa glukosa darah 1 jam sesudah beban glukosa.
7. Selama pemeriksaan, pasien diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.

DM

20

1. Pemeriksaan hemoglobin glikosilasi


Hemoglobin glikosilasi merupakan pemeriksaan darah yang mencerminkan
kadar glukosa darah rata-rata selama periode waktu 2 hingga 3 bulan. Ketika
terjadi kenaikan kadar glukosa darah, molekul glukosa akan menempel pada
hemoglobin dalam sel darah merah.
Ada berbagai tes yang mengukur hal yang sama tetapi memiliki nama yang
berbeda, termasuk hemoglobin A1C dan hemoglobin A1. Nilai normal antara
pemeriksaan yang satu dengan yang lainnya, serta keadaan laboratorium yang satu
dan lainnya, memilikmi sedikit perbedaan dan biasanya berkisar dari 4% hingga
8%.
2. Pemeriksaan urin untuk glukosa
Pada saat ini, pemeriksaan glukosa urin hanya terbatas pada pasien yang
tidak bersedia atau tidak mampu untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah.
Prosedur yang umum dilakukan meliputi aplikasi urin pada strip atau tablet
pereaksi dan mencocokkan warna pada strip dengan peta warna.
3. Pemeriksaan urin untuk keton
Senyawa-senyawa keton (atau badan keton) dalam urin merupakan sinyal
yang memberitahukan bahwa pengendalian kadar glukosa darah pada diabetes tipe
I sedang mengalami kemunduran. Apabila insulin dengan jumlah yang efektif
mulai berkurang, tubuh akan mulai memecah simpana lemaknya untuk
menghasilkan energi. Badan keton merupakan produk-sampingan proses
pemecahan lemak ini, dan senyawa-senyawa keton tersebut bertumpuk dalam
darah serta urin.

Test laboratorium

Kadar glukosa darah atau plasma (puasa atau setelah makan)


o Bisa normal (euglikemia), bila tinggi (hiperglikemia) dan rendah
(hipoglikemia)
o Pemeriksaan terhadap kadar gula dalam darah vena pada saat pasien puasa
12 jam sebelum pemeriksaan ( GDP/ gula darah puasa/ nuchter) atau 2 jam
setelah makan ( post prandial).

21

Nilai normal:
Dewasa

: 70-110 mg/dl

Wholeblood : 60-100 mg/dl


Bayi baru lahir : 30-80 mg/dl
Anak

: 60-100 mg/dl

Nilai normal kadar gula darah 2 jam setelah makan :


Dewasa

: < 140 mg/dl/2 jam

Wholeblood

: < 120 mg/dl/2 jam

Hasil pemeriksaan berulang di atas nilai normal kemungkinan menderita


Diabetes Melitus . Pemeriksaan glukosa darah toleransi adalah pemeriksaan kadar
gula dalam darah puasa ( sebelum diberi glukosa 75 gram oral) , 1 jam setelah
diberi glukosa dan 2 jam setelah diberi glukosa . Pemeriksaan ini bertujuan untuk
melihat toleransi tubuh terutama insulin terhadap pemberian glukosa dari waktu
ke waktu.

Hemoglobin Glikosilat ( HB AIC)

Pemeriksaan dengan menggunakan bahan darah , untuk memperoleh


informasi kadar gula darah yang sesungguhnya, karena pasien tidak dapat
mengontrol hasil tes, dalam kurun waktu 2-3 bulan. Glikosilasi adalah masuknya
gula ke dalam sel darah merah dan terikat .Maka tes ini berguna untuk mengukur
tingkat ikatan gula pada

hemoglobin A(AIC) sepanjang umur sel darah merah

(120 hari). AIC menunjukkan kadar hemoglobin terglikosilasi yang pada orang
normal antara 4- 6%.
Semakin tinggi nilai AIC pada penderita DM semakin potensial beresiko
terkena komplikasi. Pada penderita DM tipe II akan menunjukkan resiko
komplikasi apabila AIC dapat dipertahankan di bawah 8% (hasil studi United
Kingdom prospektif diabetes ). Setiap penurunan 1% saja akan menurunkan

22

resiko gangguan pembuluh darah (mikrovaskuler) sebanyak 35%, kompikasi DM


lain 21% dan menurunnya resiko kematian 21%. Kenormalan AIC dapat
diupayakan dengan mempertahankan kadar gula darah tetap normal sepanjang
waktu, tidak hana pada saat diperiksa kadar gulanya saja yang sudah dipersiapkan
sebelumnya ( kadar gula rekayasa penderita ).Olahraga teratur , diet,dan taat obat
adalah kuncinya.

Lipid serum

Bisa normal atau abnormal

Keton urine

Bisa negatif atau positif.

Glukosa sewaktu

Pemeriksaan glukosa darah tanpa persiapan persetujuan untuk meihat kadar


gula darah sesaat tanpa puasa dan tanpa pertimbangan waktu setelah makan .
Dilakukan untuk penjajagan awal pada penderita yang diduga DM sebelum
dilakukan pemeriksaan yang sungguh-sungguh dipersiapkan misalnya nucther,
setelah makan dan toleransi.

Fruktosamin

Merupakan gula jenis lain yaitu fruktosa selain galaktosa , sakarosa, dan lainlain. Fruktosa ( peningkatan kadar fruktosa dalam darah ) menggambarkan adanya
defisiensi enzim yang juga berpengaruh pada berkurangnya kemampuan tubuh
mensintesis lukosa dari gula jenis lain sehingga terjadi hipoglikemia .Pemeriksaan
fruktosamin menggunakan metode enzymatic seperti pada pemeriksaan glukosa.
(Sutedjo, 2006).
2.2.6

Perawatan Diabetes Mellitus


Diabetes mellitus bukan merupakan penyakit yang dapat disembuhkan,

dan terapi yang dilakukan adalah dengan tujuan untuk menormalkan kadar gula
darah, untuk mencegah terjadinya komplikasi dari penyakit diabetes mellitus
tersebut. Pengelolaan diabetes mellitus tipe II ini dimulai dengan :
Pengaturan makan (diet) dan latihan jasmani

23

Pengaturan makan (diet) dan latihan jasmani selama beberapa waktu(2-4


minggu) tujuannya untuk mengendalikan kadar glukosa dalam darah. Setiap
makanan yang mengandung karbohidrat(khususnya gula) merupakan hal yang
paling beresiko meningkatkan kadar gula darah (Sedano, 1998).

Intervensi farmakologis

Apabila kadar glukosa darah belum mencapai batas normal, dilakukan


intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan
insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau
langsung kombinasi, sesuai indikasi. Intervensi farmakologis ditambahkan jika
sasaran glukosa darah belum tercapai dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani dan terbagi atas tiga yaitu :
A) Obat hipoglikemik oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan :
i. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid
ii. Penambahan sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion
iii. Penghambat glukoneogenesis (metformin)
iv. Penghambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase alfa (Collins,
1960).
B) Terapi insulin
i. Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi
insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang fisiologis.
ii. Terapi insulin dapat diberikan secara tunggal (satu macam) berupa : insulin
kerja cepat (rapid insulin), kerja pendek (short acting), kerja menengah
(intermediate acting), kerja panjang (long acting) atau insulin campuran tetap
(premixed insulin).
iii. Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien
dan respons individu terhadap insulin, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah harian(Collins, 1960).

24

C) Terapi Kombinasi.
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat
dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi
dengan OHO kombinasi, harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang
mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum
tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda
atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan
klinik di mana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai dipilih, terapi dengan
kombinasi tiga OHO. Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak
dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah
atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur
(Collins, 1960).
Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali
glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal
insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00,
kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah
puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah
sepanjang hari masih tidak terkendali, maka obat hipoglikemik oral dihentikan
dan diberikan insulin saja (Collins, 1960).

Pengetahuan Tentang Pemantauan Mandiri

Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia


dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien, sedangkan pemantauan
kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan
khusus (Collins, 1960).
Diabetes mellitus tipe II umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan
perilaku telah terbentuk dengan mapan. Pemberdaya penyandang diabetes
memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan
mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai

25

keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprenhensif dan


upaya peningkatan motivasi (Collins, 1960).

Terapi Gizi Medis (Tgm)

Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan


diabetes secara total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara
menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan
pasien itu sendiri). Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TGM sesuai
dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan
pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat
umum yaitu makanan seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi
masing-masing individu (Collins, 1960).
Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan
dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan (Collins, 1960).

Kegiatan Jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan diabetes mellitus tipe II. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke
pasar, men`ggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani
selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa
darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat
aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan
jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk
mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara
yang sudah mendapat komplikasi diabetes mellitus dapat dikurangi. Hindarkan
kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan (Collins, 1960).

2.3

Mikroorganisme Normal pada Rongga Mulut

2.3.1

Flora Normal Rongga Mulut

26

Rongga mulut merupakan pintu gerbang masuknya berbagai macam


mikroorganisme ke dalam tubuh, mikroorganisme tersebut masuk bersama
makanan atau minuman. Namun tidak semua mikroorganisme tersebut bersifat
patogen, di dalam rongga mulut mikroorganisme yang masuk akan dinetralisir
oleh zat anti bakteri yang dihasilkan oleh kelenjar ludah dan bakteri flora normal (
Ferdinand, 2007 ).
Flora normal adalah sekumpulan mikroorganisme yang hidup pada kulit
dan selaput lendir/mukosa manusia yang sehat maupun sakit. Pertumbuhan flora
normal pada bagian tubuh tertentu dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, nutrisi dan
adanya zat penghambat. Keberadaan flora normal pada bagian tubuh tertentu
mempunyai peranan penting dalam pertahanan tubuh karena menghasilkan suatu
zat yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain. Adanya flora normal
pada bagian tubuh tidak selalu menguntungkan, dalam kondisi tertentu flora
normal dapat menimbulkan penyakit, misalnya bila terjadi perubahan substrat atau
berpindah dari habitat yang semestinya ( Jawetz, 2005 ).
Flora

normal

dalam

rongga

mulut

terdiri

dari

Streptococcus

mutans/Streptococcus viridans, Staphylococcus sp dan Lactobacillus sp.


Meskipun sebagai flora normal dalam keadaan tertentu bakteri-bakteri tersebut
bisa berubah menjadi patogen karena adanya faktor predisposisi yaitu kebersihan
rongga mulut. Sisa-sisa makanan dalam rongga mulut akan diuraikan oleh bakteri
menghasilkan 8 asam, asam yang terbentuk menempel pada email menyebabkan
demineralisasi akibatnya terjadi karies gigi. Bakteri flora normal mulut bisa
masuk aliran darah melalui gigi yang berlubang atau karies gigi dan gusi yang
berdarah sehingga terjadi bakterimia ( Jawetz, 2005 ).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kehadiran flora normal pada tubuh
manusia adalah
1.nutrisi
2.kebersihan seseorang (berapa seringnya dibersihkan)
3.kondisi hidup
4.penerapan prinsip-prinsip kesehatan

27

1. Streptococcus mutans / Streptococcus viridans


Morfologi sel : bentuk coccus, susunan berderet, tidak berflagel, tidak
berspora, tidak berkapsul, Gram positif. Morfologi koloni pada media agar
darah : bentuk koloni bulat, ukuran 1 - 2 mm, tidak berwarna/jernih,
permukaam cembung, tepi rata, membentuk hemolisa ( disekitar koloni
terdapat zona hijau ), dibedakan dengan Streptococcus pneumoniae dengan
optochin dan kelarutannya dalam empedu, Streptococcus viridans resisten
terhadap optochin dan tidak larut dalam empedu sedangkan streptococcus
pneumoniae sensitif terhadap optochin dan larut dalam empedu
( Soemarno, 2000 ).
Sifat fisiologi : bersifat anaerob fakultatif, tumbuh baik pada suasana CO2
10 % dan suhu 370C, resisten terhadap optochin, sel tidak larut dalam
empedu. Contoh spesies Streptococcus yang lain adalah Streptococcus
hemolyticus dan Streptococcus hemolyticus.

28

2. Staphylococcus sp
Morfologi sel : bentuk coccus, susunan bergerombol, tidak berflagel, tidak
berspora, tidak berkapsul, Gram positif. Morfologi koloni pada media agar
darah : bentuk koloni bulat, ukuran 2 4 mm, membentuk pigmen kuning
emas (Staphylococcus aureus ), pigmen kuning jeruk dibentuk oleh
Staphylococcus saprophyticus dan pigmen putih porselin dihasilkan 9 oleh
Staphylococcus epidermidis , permukaan cembung, tepi rata dan hemolisa
bervareasi alfa, beta dan gama. Sifat fisiologi : bersifat aerob, tumbuh
optimal pada suhu 370C dan pembentukan pigmen paling baik pada suhu
200C, memerlukan NaCl sampai 7,5 %, resisten terhadap pengeringan dan
panas.
3. Lactobacillus sp
Morfologi sel : bentuk batang pendek, tidak berspora, tidak berflagel, tidak
berkapsul, Gram positif. Morfologi koloni pada media agar darah: bentuk
koloni bulat kecil, warna putih susu, cembung, tepi rata, permukaan
mengkilap. Sifat fisiologi : bersifat anaerob fakultatif, dengan suhu
optimal 450C, mereduksi nitrat menjadi nitrit, mengfermentasi glukosa,
laktosa dan sakarosa, tidak mempunyai enzim katalase. Contoh spesiesnya
adalah Lactobacillus bulgaricus, Lactobacillus lactis, Lactobacillus casei.
2.3.2 Fase Pertumbuhan Mikroorganisme
Pertumbuhan mikroorganisme dimulai dari awal pertumbuhan sampai dengan
berakhirnya aktivitas merupakan proses bertahap yang dapat digambarkan sebagai
kurve pertumbuhan. Kurve pertumbuhan umumnya terdiri atas 7 fase
pertumbuhan, tetapi yang utama hanya 4 fase yaitu : lag, eksponensial, stasioner,
dan kematian. Kurve pertumbuhan yang lengkap merupakan gambaran
pertumbuhan secara bertahap (fase) sejak awal pertumbuhan sampai dengan
terhenti mengadakan kegiatan.

Kemati
Kematian
29
Logaritmi

Gambar 2.6 Kurva Pertumbuhan Mikroorganisme


1. Fase lag disebut juga fase persiapan, fase permulaan, fase adaptasi atau
fase penyesuaian yang merupakan fase pengaturan suatu aktivitas dalam
lingkungan baru. Oleh karena itu selama fase ini pertambahan massa atau
pertambahan jumlah sel belum begitu terjadi, sehingga kurve fase ini
umumnya mendatar.
2. Fase akselerasi merupakan fase setelah adaptasi, sehingga sudah mulai
aktivitas perubahan bentuk maupun pertambahan jumlah dengan kecepatan
yang masih rendah
3. Faseeksponensial atau logaritmik merupakan fase peningkatan aktivitas
perubahan bentuk maupun pertambahan jumlah mencapai kecepatan
maksimum sehingga kurvenya dalam bentuk eksponensial. Peningkatan
aktivitas ini harus diimbangi oleh banyak faktor, antara lain : faktor
biologis, misalnya : bentuk dan sifat mikroorganisme terhadap lingkungan
yang ada, asosiasi kehidupan diantara organisme yang bersangkutan dan
faktor non-biologis, misalnya : kandungan hara di dalam medium kultur,
suhu, kadar oksigen, cahaya, bahan kimia dan lain-lain. Jika faktor-faktor
di atas optimal, maka peningkatan kurve akan tampak tajam atau semakin
membentuk sudut tumpul terhadap garis horizontal (waktu)
4. Fase retardasi atau pengurangan merupakan fase dimana penambahan
aktivitas sudah mulai berkurang atau menurun yang diakibatkan karena
beberapa faktor, misalnya : berkurangnya sumber hara, terbentuknya
senyawa penghambat, dan lain sebagainya.

30

5. Fase stasioner merupakan fase terjadinya keseimbangan penambahan


aktivitas dan penurunan aktivitas atau dalam pertumbuhan koloni terjadi
keseimbangan antara yang mati dengan penambahan individu. Fase ini
juga diakibatkan karena sumber hara yang semakin berkurang,
terbentuknya senyawa penghambat, dan faktor lingkungan yang mulai
tidak menguntungkan.
6. Fase kematian merupakan fase mulai terhentinya aktivitas atau dalam
pertumbuhan koloni terjadi kematian yang mulai melebihi bertambahnya
individu.
7. Fase kematian logaritmik merupakan fase peningkatan kematian yang
semakin meningkat sehingga kurve menunjukan garis menurun (Waluyo,
Lud, 2007)

Anda mungkin juga menyukai