Anda di halaman 1dari 22

Perkembangan Hukum Agraria Mengenai Investasi Terhadap

Tanah Ulayat di Minangkabau

BAB I.
A.

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Dalam kehidupan manusia bahwa tanah tidak akan terlepas dari segala tindak
tanduk manusia itu sendiri sebab tanah merupakan tempat bagi manusia untuk
menjalani dan kelanjutan kehidupannya. Oleh itu tanah sangat dibutuhkan oleh
setiap anggota masyarakat, sehingga sering terjadi sengketa diantara sesamanya,
terutama yang menyangkut tanah. Untuk itulah diperlukan kaedah-kaedah yang mengatur
hubungan antara manusia dengan tanah.
Tanah mempunyai multiple value, maka sebutan tanah air dan tumpah darah
dipergunakan oleh bangsa Indonesia untuk menyebutkan wilayah negara dengan
menggambarkan wilayah yang didominasi tanah, air, dan tanah yang berdaulat.
Arti penting tanah bagi manusia sebagai individu maupun negara sebagai organisasi
masyarakat yang tertinggi, secara konstitusi diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945 yang menyatakan bahwa : Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Sebagai tindak lanjut dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berkaitan
dengan bumi atau tanah, maka dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Pokok Dasar Agraria yang selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan UUPA. Tujuan
pokok dari UUPA adalah :
1

1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agrarian nasional, yang merupakan


alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat,
terutama rakyat dalam rangka masyarakat adil dan makmur.
2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum
pertanahan.
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas
tanah bagi rakyat seluruhnya.
Di dalam Hukum Adat, tanah merupakan masalah yang sangat penting. Hubungan
antara manusia dengan tanah sangat erat, seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa tanah
sebagai tempat manusia untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya.
Tanah sebagai tempat mereka berdiam, tanah yang memberi makan mereka, tanah
dimana

mereka

dimakamkan

dan

menjadi

tempat

kediaman

orang-orang

halus

pelindungnya beserta arwah leluhurnya, tanah dimana meresap daya hidup, termasuk juga
hidupnya umat dan karenanya tergantung dari padanya.
Menurut van vollehoven didalam bukunya Boedi harsono menyebutkan dengan istilah
beschikkingrecht yang tidak bisa disalin kedalam bahasa indonesia, UUPA memakai hak
ulayat, sebenarnya untuk hak tersebut hukum adat tidak memberikan nama. Nama yang ada
menunjukan kepada tanah yang merupakan wilayah lingkungan masyarakat hukum yang
bersangkutan. Ulayat artinya wilayah. Dalam bukunya Ter Haar, Beginselen en stelsel van het
adat recht banyak daerah ang mempunyai nama untuk lingkungan wilayah itu, misalnya tanah
wilayah sebagai kepunyaan pertuanan-ambon), sebagai tempat memberi makan (panyampetokalimantan),

sebagai

daerah

yang

dibatasi

(pewatasan-kalimantan,

prabumian-bali,

wewengkon-jawa) atau sebagai tanah yang terlarang bagi orang lain (totobuan-Bolaang

mongondaow), akhirnya dijumpai istilah-istilah lainnya Orluk(Angkola), Limpo(Sulawesi


Selatan), Payar(Bali), Paer(Lombok), Ulayat(Minangkabau).
Tanah Ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat Hak Ulayat dari suatu
masyarakat hukum tertentu. Mengenai keberadaan tanah ulayat masyarakat hokum adat yang
masih ada, dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda
kartografi, dan apabila memungkinkan, menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya
dalam daftar tanah. Pelepasan tanah ulayat untuk keperluan pertanian dan sebagainya,
memerlukan hak guna usaha atau hak pakai. Ini dilakukan oleh masyarakat hukum adat
dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu sehingga sesudah jangka
waktu itu habis, atau sesudah tanah itu tidak digunakan atau telantar, hak guna usaha atau hak
pakai yang bersangkutan dihapus.
Penggunaan selanjutnya dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat
hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu masih ada
sesuai ketentuan. Selain itu Tanah ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama yang diyakini
sebagai karunia suatu kekuatan ghaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang
merupakan masyarakat hukum adat sebagai unsur pendukung utama bagi kebidupan dan
penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa. Disinilah sifat religius hubungan hukum
antara para warga masyarakat hukum adat bersama dengan tanah ulayatnya ini.
Adapaun tanah ulayat atau tanah bersama yang dalam hal ini oleh kelompok di bawah
pimpinan kepala adat masyarakat hukum adat, misalnya adalah hutan, tanah lapang, dan lain
sebagainya. Tanah untuk pasar, penggembalaan, tanah bersama, dan lain-lain yang pada
intinya adalah demi keperluan bersama. Setelah kita mengetahui apa itu hak dan tanah ulayat
maka dari itu cirri-ciri pokok hak ulayat adalah hanya persekutuan hukum itu sendiri beserta
3

para warganya yang berhak dengan bebas mempergunakan tanah-tanah liar diwiliyah
kekuasaannya.
Diskusi tentang tanah ulayat merupakan kegiatan yang selalu menarik baik bagi
kalangan praktisi maupun akademisi, karena keberadaannya terkait dengan banyak
kepentingan. Oleh karena itu, sosok dari tanah ulayat itu sendiri mulai dari konsep, pengaturan
sampai kepada implementasi kebijakan pemerintah, senantiasa menimbulkan perdebatan dan
perbedaan pendapat. Bahkan, sebagian besar dari persoalan tersebut telah menimbulkan
konflik di tengah masyarakat.1 Tidak sedikit lagi nyawa yang dikorban oleh masyarakat untuk
mempertahankan hak atas tanah disebut dengan tanah ulayat. Di Sumatera Barat dan Padang
khususnya tanah ulayat dengan kompleksitas permasalahannya juga menjadi isu sentral yang
terkait dengan sengketa tanah adat. Pada umumnya perkara tanah yang masuk ke pengadilan
negeri adalah sengketa yang terkait dengan tanah adat . Sehingga dapat disimpulkan
mekanisme penyelesaian sengketa tanah adat tidak lagi sepenuhnya bisa dijalankan oleh
Hukum adat dengan fusngionarisnya . Apakah peristiwa ini mengindikasikan bahwa hukum
adat dengan segala perangkat pelaksananya sudah tidak lagi berfungsi atau tidak lagi
dihormati oleh masyarakat? Mungkin tidak banyak di antara pemuka adat dan masyarakatnya
mengakui pernyataan tersebut. Kalau kita tanyakan kepada mereka apakah hukum adat
(Minangkabau) masih efektif? Mungkin sebagian besar dari mereka akan menjawab bahwa
hukum adat itu masih efektif.Namun kenyataanya pernyataan tersebut berkontradiksi dengan
1

. Banyak tulisan yang menggambarkan tentang seluk-beluk konflik terkait dengan tanah terutama
tanah ulayat, di antaranya lihat Fauzi, Noer (Ed), Pembangunan Berbuah Sengketa, Kumpulan
Kasus-kasus Sengketa Pertanahan Sepanjang Orde Baru, Yayasan Sintesa da Serikat Petani
Sumatera Utara, Medan, 1998, Lounela, Anu dan Zakaria, Yando (Ed), Berebut Tanah, Beberapa
kajian berperspektif kampus dan kampung, Kerjasama Insist, Jurnal Antropologi Indonesia UI, Karsa,
Yogyakarta, 2002, Bachriadi, Dianto, Anton Lucas, Merampas Tanah Rakyat, Kasus Tapos dan
Cimacan, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2001, Araf, Al., dan Awan P., Perebutan Kuasa
Tanah, Lappera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2002. dalam makalah Kurniawarman,Eksistensi tanah
ulayat

keadaan sebenarnya dan dijadikan tameng atas kegagalan kaum adat. Dengan persoalan diatas
maka terlihatlah urgensi dari perlindungan hukum terhadap Tanah Ulayat untuk
menyelesaikan sengketa tanah pusako antar suku ataupun dengan pihak luar.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana keberadaan tanah Ulayat di Minangkabau?
2. Bagaimana pengaturan hukum Agraria tentang penanaman modal terhadap tanah
ulayat di Minangkabau?
3. Bagaimana penyelesaian konflik investor dan masyarakat hukum adat terhadap
tanah ulayat mengacu pada hukum agraria dan peraturan lainnya?
C. Maksud dan Tujuan
1. Untuk mengetahui fungsi keberadaan tanah ulayat diminang Kabau.
2. Untuk mengetahui pengaturan hokum Agraria tentang penanaman modal terhadap
tanah Ulayat di Minangkabau.
3. Untuk mengetahui penyelesaian konflik investor dan masyarakat hukum adat
terhadap tanah ulayat mengacu pada hukum agraria dan peraturan lainnya

BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Tanah Ulayat Merupakan Asset Nagari


5

Tanah ulayat merupakan sumber daya dan asset nagari yang penting di Sumatera
Barat. Tanah ulayat memiliki nilai ekonomi yang merupakan sumber kehidupan bagi
masyarakat nagari, didalamnya terkandung berbagai potensi sumber daya alam yang
mulai dari kulit bumi yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan pertanian, hasil hutan dan
sampai kedalaman tanah dalam bentuk tanah dan bebatuan sebagai bahan baku industri.
Kulit bumi atau tanah merupakan asset masyarakat yang selalu dijaga, dipelihara dan
dimanfaatkan secara subsistem dalam kelangsungan kehidupannya. Disamping itu
ditanah ulayat juga melekat nilai-nilai sosial sebagai ikatan, kesatuan sistem
kepemilikan dan pengelolaan bersama masyarakat adat terhadap tanah, yang diyakini
sebagai suatu titipan Tuhan yang harus dijaga dan dipelihara secara baik. Bagi
masyarakat nagari pada awalnya tanah ulayat merupakan sumber kehidupan dalam
rangka pemenuhan kehidupan, tanah digunakan untuk menghasilkan padi,sayur-sayuran,
buah-buahan namun kemudian dengan perkembangan perdagangan daerah dan
internasional kemudian tanah mulai ditanami dengan tanaman industri seperti karet,
kasiavera, kelapa sawit, kopi dan lain-lain sehingga tanah semakin banyak dimanfaatkan
oleh kelompok masyarakat sendiri dan para pendatang termasuk para penanam modal.2
Penggunaan tanah yang semakin meningkat secara ekonomi akan meningkatkan
pendapatan yang diterima oleh masyarakat, perluasan kesempatan kerja dan peningkatan
produktivitas masyarakat. Namun disisi lain karena berdatangannya orang ke Nagari
kepemilikan dan penguna tanah setiap periode mengalami perubahan sehingga terjadi
perubahan status kepemilikan bersama ke kepemilikan pribadi, suku lain, negara dan
para investor sehingga menimbulkan suatu persoalan ditengah masyarakat nagari.Kajian
2

. www.Bunghatta/FH/tanah ulayat.com

Muchtar (1983) tentang pengelolaan tradisional tanah ulayat di Sumatera Barat


diketahui, tanah ulayat sebagian besar diusahakan secara pribadi dan sebagian ada juga
yang diolah oleh suku lain dalam nagari dengan sistem bagi hasil dalam bentuk sasiah,
sapaduo sepatiga dan lain-lain. Pola pengelolaan ini bagi masyarakat nagari hanya
cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari (subsisten), namun belum bisa
memenuhi kebutuhan untuk menabung dan investasi sebagai harapan dan tatangan
kebutuhan ekonomi masa datang.
II.2

Dasar Pengaturan Hak Ulayat terhadap Investasi dan Konflik Tanah Ulayat
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) bahwa
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. UUD 1945 tidak
menyebut tanah melainkan bumi. Mengenai arti bumi ini tidak terdapat penjelasan
lebih lanjut. Menurut Pasal 1 ayat (3) UUPA, bahwa Hubungan antara bangsa
Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa adalah hubungan yang bersifat abadi.
Mengenai bumi diatur dalam UUPA, sebagaimana Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2), bahwa
seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia,
yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan
Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan
7

kekayaan nasional. Hal ini berarti bahwa di Indonesia, pengertian tanah dipakai dalam
arti yuridis sebagai suatu pengertian yang telah dibatasi dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA,
dasar hak menguasai dari Negara hanya permukaan bumi, yang disebut tanah, yang
dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersamasama dengan orang lain serta badan-badan hukum.
Menyinggung mengenai tanah, Indonesia wilayahnya terdiri dari beribu-ribu
pulau yang sebagian masyarakat masih menguasai hak atas tanah yang pemilikannya
didasarkan atas hukum adatnya. Menurut Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 disebutkan
sebagai berikut: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam undang-undang. Hal ini berarti bahwa negara masih mengakui hak atas
tanah yang dikuasai berdasarkan hukum adatnya selama masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang. Adatnya yang berarti kebiasaan masyarakat
setempat, jika kebiasaan tersebut disertakan suatu sanksi maka disebut dengan hokum
adat. Hukum Adat adalah aturan-aturan perilaku yang berlaku bagi orang-orang
pribumi dan orang-orang timur asing, yang di satu pihak mempunyai sanksi (maka
dikatakan hukum) dan di lain pihak tidak dikodifikasi (maka dikatakan adat). Sebagai
bandingan dapat dikemukakan pendapat dari Ter Haar Bzn, yang menyatakan bahwa,
hukum adat adalah Keseluruhan aturan yang menjelma dari keputusan-keputusan para
fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang mempunyai kewibawaan serta mempunyai
8

pengaruh dan yang dalam pelaksanaan berlakunya serta merta dan ditaati dengan
sepenuh hati. Demikian pendapat Ter Haar tentang pengertian Hukum Adat ialah adat
yang diputuskan oleh para petugas-petugas hukum adat, yang berbeda dengan van
Vollenhoven dimana hukum adat itu adalah adat yang seharusnya berlaku dalam
masyarakat. Soepomo memberikan definisi tentang hukum adat sebagai hukum yang
tidak tertulis di dalam peraturan-peraturan legislatif (unstatutory law) meliputi
peraturanperaturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib, toh
ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasannya peraturanperaturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
Sedangkan Soekanto dalam bukunya Meninjau Hukum Adat Indonesia
mengartikan hukum adat sebagai kompleks adat yang kebanyakan tidak dikitabkan
tidak dikodifisir dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat
hukum. Apabila ditelaah pendapat-pendapat yang diberikan para ahli di atas, terdapat
kesamaan pendapat mengenai hukum adat, yaitu di dalam hukum adat termuat
peraturan-peraturan hukum yang mengatur kehidupan orang-orang Indonesia dalam
bentuk tak tertulis dan mempunyai akibat hukum.
Untuk mengakomodir persoalan yang berkaitan dengan tanah ulayat di Sumatera Barat, sebelumnya sudah lahir Peraturan Daerah (Perda) No. 6 Tahun 2008,
tentang Tanah Ulayat dan Pengaturannya (TUP). Sangat jelas kiranya bahwa tujuan
dari perda ini, sebagaimana diatur dalam pasal 4, yaitu Untuk tetap melindungi
keberadaan tanah ulayat menurut hukum adat Minangkabau serta mengambil manfaat
dari tanah termaksuk sumber daya alam, untuk kelangsungan hidup dan
9

kehidupannya secara turun-menurun dan tidak terputus antar masyarakat hukum adat
dengan wilayah yang bersangkutan.
Namun ada yang menjadi persoalan dalam perda ini, sesuai yang tertuang
dalam pasal 11 yaitu Apabila perjanjian penyerahan hak penguasaaan dan atau hak
milik untuk penguasaan dan pengelolaan tanah yang diperjanjikan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 8 berakhir, maka status penguasaan dan atau kepemilikan
tanah kembali ke bentuk semula. Sehingga pasal tersebut multi tafsir. Setidaknya ada
dua pengertian, Pertama, setelah masa pemanfaatan berakhir maka tanah tersebut
berstatus sebagai tanah Negara sesuai dengan UUPA dan Kedua, setelah pemenpataan
berakhir maka tanah tersebut berstatus sebagai hak ulayat (pemulihan hak ulyat).
Dengan lahirnya Pergub No. 21 Tahun 2012 maka sangat jelas memperkuat
Perda No. 6 Tahun 2008 tersebut. Karena dalam Pergub ini mempertegas kembali
mekanisme penggunaan tanah ulayat oleh pihak ketiga serta mekanisme pemulihan
setelah habis masa izin penggunaanya. Bahkan dalam Pergub ini mencoba berusaha
mengakomodir keberagaman disetiap nagari, bahwa pemanfaatan tanah ulayat mesti
harus disesuaikan dengan hukum adat yang ada di masing-masing nagari. Kalau
dimaknai sesunggugnya Pergub ini berusaha untuk melindungi tanah ulayat, sehingga
eksistensinya tetap terjaga seiring makin kompeleksnya pergulatan modernisasi dan
investasi.
Disadari atau tidak, disetujui atau tidak, kehidupan bernegara modern seperti yang
juga dialami oleh Indonesia, terutama sejak kemerdekaan, mengakibatkan terjadinya
interaksi antara masyarakat dengan instansi luar baik formal maupun informal. Dalam
10

kehidupan sosial dunia hari ini, jarang sekali atau bahkan tidak satu pun institusi,
kelompok masyarakat atau apapun namanya yang betul-betul otonom dari pengaruh
kelompok atau institusi lain, jadi semuanya akan menyesuaikan dengan perkembangan
kebutuhan dan interaksi sosial.3 Oleh karena itu, Hukum Adat kita mengajarkan, bahwa
adat itu dinamis dan fleksibel. Tidak semuanya nilai adat tersebut yang merupakan
adat nan sabana adat, tetapi juga ada nilai-nilai yang tergolong ke dalam adat nan
teradat dan adat istiadat. Dalam konteks yang lebih luas, Sally Folk Moore, salah
seorang antropolog terkenal, menyebut fenomena seperti ini dengan semi-autonomous
social field.4 Oleh karena itu Tanah Adat yang dimiliki secara komunal termasuk dalam
dinamika adat istiadat terutama penggunaanya sebagai alat pertumbuhan dan
perkembangan ekonomi Kota Padang.
Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dan penduduk nasional mendorong
pemerintah untuk melakukan usaha-usaha sebagai upaya untuk meningkatkan output
nasional, sehingga penggunaan tanah untuk usaha-usaha bisnis modern semakin
meningkat. Khusus di Kota Padang tanah yang masih belum terpakai merupakan tanah
milik Hak Ulayat yang dimiliki oleh Nagari/suku/kaum yang dikenal dengan Pusako
Tinggi yang pengelolaannya tidak boleh dijual/gadaikan kepada pihak lain.

. Sakali aie gadang sakali tapian baranjak, namun tapian di tapi aie juo. Bahkan ajaran agama juga menuntun kita dengan
pandangan yang dinamis seperti itu. Allah SWT menciptakan manusia berpasang-pasangan agar mereka saling berhubungan
satu sama lain. Dalam konteks interaksi sosial dan hubungan hukum antara manusia yang satu dengan lainnya, Al Quran juga
menyatakan bahwa Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Jadi fitrah manusia memang hidup sebagai
makhluk sosial yang senantiasa menjalin hubungan kerjasama dengan orang atau kelompok manusia lainnya. dalam makalah
kurniawarman, eksistensi tanah ulayat
4
. Obviously complete autonomy and complete domination are rare, if they exist at all in the world today, and semi-autonomy
of various kinds and degrees is an ordinary circumstance. Since the law of sovereign states is hierarchical in form, no social
field within a modern policy could be absolutely autonomous from a legal point of view. Lihat lebih jauh Moore, Sally Folk,
Law as a process, An anthropological approach, Routledge and Kegan Paul, London, 1983, hal. 78.

11

Dalam prinsip adat Minangkabau, tanah ulayat tidak boleh dijual belikan, akan
tetapi tanah ulayat tersebut dapat digadaikan. Di Minangkabau tidak ada orang yang
mau dan dapat menjual hartanya seperti : tanah, sawah, ladang atau rumah, karena selain
harta tersebut merupakan milik bersama, hukum adatpun tidak membenarkannya.
Pameo mereka mengatakan : dijua tak dimakan bali, digadai tak dimakan sando (dijual
tak dimakan beli, digadai tak dimakan sandera).Apabila harta pusaka itu akan dipindah
tangankan untuk mengatasi kesulitan, tanah tersebut hanya dapat digadaikan atau
disandokan sebagai jaminan pinjaman. Sando ada tiga jenisnya yakni, sando atau
sandaro yakni menggadaikan harta yang akan ditebus sewaktu-waktu, sekurangkurangnya setelah sekali panen. Sando kudo yaitu menggadaikan harta yang tidak
mungkin ditebus lagi karena telah beberapa kali dipadalam (diperdalam) yakni uang
gadai diminta tambah sehingga kalau hendak ditebus harganya terlalu tinggi. Sando
agung yaitu merungguhkan harta untuk selamanya. Hanya karena empat alasan pegang
gadai dapat dilakukan. Itupun harus atas kesepakatan warga kaum, keempat alasan
tersebut adalah sebagai berikut :
Pertama, maik tabujua diateh rumah (mayat terbujur diatas rumah). Apabila
terjadi musibah, meminggalnya salah satu anggota keluarga.Disaat ahli waris tidak
memiliki uang untuk menyelengarakannya, maka tanah ulayat tersebut dapat
digadaikan guna menyelenggarakan upacara tersebut. Begitu juga menurut Navis ,
upacara kematian seorang anggota kaum yang dihormati harus sama agungnya
dengan upacara perkawinan atau penobatan penghulu. Upacara berlangsung
bertahap-tahap seperti, pada waktu tiga hari, tujuh hari, tiga kali tujuh hari, empat

12

puluh hari, seratus hari dan akhirnya tiga kali seratus hari. Setiap upacara senantiasa
mengadakan kenduri makan minum.
Kedua, mambangkik batang tarandam, (membangkit batang terendam),
dimaksudkan melakukan upacara managakkan gala pusako (mendirikan gelar
pusaka) yaitu mendirikan penghulu baru, memakai gelar kebesaran yang telah lama
tidak dipakai,atau menggantikan penghulu yang tidak dapat berfungsi lagi, karena
mengundurkan diri atau meninggal.
Ketiga, gadih gadang indak balaki (gadis dewasa belum bersuami), tanah dapat
digadaikan ketika ada gadis yang telah cukup umur tetapi belum mendapatkan suami.
Uang dari penggadaian tanah tersebut digunakan untuk mencari dan menjemput
calon suami anak gadis tersebut, juga membiayai persiapan dan pelaksanaan
perkawinan seorang gadis yang biasanya mahal karena perjamuan yang berlarutlarut.
Keempat, rumah gadang katirisan (rumah gadang sudah bocor) Tanah
digadaikan untuk keperluan membiayai perbaikan rumah gadang yang telah rusak,
dimana

rumah

gadang

termasuk

simbol

kebesaran

sebuah

kaum

di

Minangkabau.Syarat pegang gadai sangat berat bagi pihak yang menggadaikan. Nilai
harga gadaian hampir seperti harga jual, sehingga akan sulit menebusnya kembali.
Dan selama tergadai, hasil atau sebagian hasil dari harta pusaka itu tidak diperoleh
lagi. Olah karena itu, kalau tidak oleh alasan yang berat yang akan dapat memberi
malu kerabat, maka pegang gadai tidak akan pernah dapat dilakukan.
Dengan adanya prinsip adat tersebut maka sebenarnya tanah-tanah adat di
Minang Kabau ini berpenghuni dan tidak bisa dimiliki oleh orang lain.Namun
13

Persoalan ini kemudian bisa dipecahkan dengan konsep kemitraan. Konsep ini
memberikan pengakuan atas hak ulayat nagari bagi masyarakat tempatan dan
memberikan kesempatan kepada pemilik modal (Investor) melakukan bisnis dalam
usaha-usaha yang memiliki keuntungan yang menjanjikan.UU Pokok Agraria
sesungguhnya telah mengatur dan memberikan pengakuan atas hak ulayat
masyarakat adat, maka semestinya memang dalam pengelolaan yang melibatkan
pihak luar harus memperhatikan eksistensi ini sebagai bagian dari upaya untuk
penerapan sistem perundang-undangan agraria, penghormatan pemerintah atas hak
ulayat diwujudkan dengan model-model kemitraan antara pemilik modal (investor)
dengan masyarakat.
Salah satu pola kemitraan itu adalah model kerjasama PIR-BUN di daerah
Pasaman (Pola inti rakyat untuk perkebunan) yang dikembangkan awal tahun 1970
hingga awal tahun 1990, pola ini merupakan fasilitasi kredit bank dunia dan lembaga
donor asing lainnya dalam bentuk pinjaman terhadap pengembangan sektor
perkebunan besar di Indonesia. Pengembangan perkebunan besar ini dikembangkan
dalam bentuk pola kemitraan Perusahaan Inti Rakyat (PIR) antara BUMN (PT
Perkebunan Persero) dan swasta dengan melibatkan masyarakat (plasma) yang
kemudian pemerintah memfasilitasi pembentukan kelompok ekonomi masyarakat
dalam

bentuk

Koperasi

Pertanian

(KUD),

dan

keswadayaan

masyarakat

(Perorangan).Pola kemitraan dan pengelolaan melalui pola plasma-inti ini disatu sisi
memberikan kontribusi yang positif terhadap perekonomian nasional. Pada periode
pembentukan itu, sektor perkebunan memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan
ekonomi nasional dan mengalami kemajuan yang pesat hal didukung oleh program
14

perkebunan besar swasta nasional (PBSN) yang disubsidi oleh pemerintah


(khudhori:2004). Dengan mlihat pola kemitraan diatas kota pada dapat mencobanya
dengan menerapkan sistem mitra yang disesuaikan dengan potensi lokal.Pemerintah
Kota Padang harus membuat kebijakan mengenai Investasi yang win-win solution
,tidak melanggar Hukum Adat dan Agraria dan menguntungkan untuk Kota
Bengkuang ini.
II.3

Penyelesaian Konflik Investor Dan Masyarakat Hukum Adat Terhadap


Tanah Ulayat Mengacu Pada Hukum Agraria Dan Peraturan Lainnya
Secara umum perusahaan berpandangan bahwa akar dari klaim masyarakat adat

dimulai dengan ketidakjelasan kebijakan pemerintah. Situasi ketidak jelasan ini


menjadi bahan bakar konflik yang dipantik oleh kecemburuan sosial yang timbul dari
perkembangan Pendidikan masyarakat adat yang rendah, cendrung menjadikan
mereka korban dari pemberian ganti rugi yang tidak tepat sasaran, sehingga
menyebabkan perusahaan harus memberikan ganti rugi berkali-kali. Lahan yang di
klaim sebagai tanah ulayat tidak memiliki batas-batas yang jelas. Pada beberapa
kasus, masyarakat adat menuntut disebabkan karena kesepakatan tidak tercapai di
internal mengenai keberadaan perusahaan perkebunan. Terdapat juga indikasi kuat,
beberapa tokoh-tokoh di masyarakat menggunakan dan mengelolala konflik
sedemikian rupa sehingga menjadi sumber penghasilan mereka.Ketika konflik telah
menjadi konflik yang manifes anatara perusahaan dengan masyarakat adat dan ketika
konflik itu diselesaikan dengan jalan negosiasi, terdapat beberapa penyebab kenapa
negosiasi tersebut mengalami hambatan. Persoalan mendasar adalah adanya
perbedaan persepsi dan sudut pandang serta harapan tentang keberadaan perusahaan
15

di tempat masyarakat adat berada. Sebagian besar dari masyarakat adat memulai
negosiasi dengan pikiran bahwa perusahaan tidak diperlukan didaerah mereka dan
perusahaan yang ada harus pergi.
Dalam negosiasi tentang tanah ulayat, beberapa masalah pokok yang dihadapi
adalah data-data lahan tidak akurat dan tidak ada pemilikan yang jelas berdasarkan
hukum yang ada diatas tanah ulayat itu. Perwakilan masyarakat yang melakukan
negosiasi juga tidak representative. Sulit sekali mencari perwakilan masyarakat yang
betul-betul didukung oleh masyarakat adat yang akan melakukan negosiasi.
Akibatnya meskipun telah ada hasil negosiasi, tuntutan masyarakat terus
berlangsung, bahkan tidak ada kepastian bahwa hasil negosiasi ini akan mengikat
sampai pada generasi selanjutnya. Selain itu, kemauan masyarakat yang diajukan
kepada perusahaan juga berubah-ubah. Situasi ini diperkeruh oleh keterlibatan
kelompok-kelompok lain diluar masyarakat adapt seperti Organisasi Pemuda dan
pihak-pihak lain yang menjadi provokator. Apalagi, aturan main yang ada, tidak
menyediakan tatacara yang baik untuk melakukan negosiasi dengan masyarakat adat.
Selanjutnya Negosiasi dilakukan dengan melibatkan, Pemda, Aparat Desa, Muspida,
BPN, Aparat Keamanan, Tokoh Adat/Tokoh masyarakat, Tim P3D, NGO dan Formal
Leader. Peran pemerintah dalam negosiasi ini sangat minim. Dalam berbagai kasus,
pemerintah hanya melakukan pembentukan Tim Penyelesaian Konflik, kemudian
melakukan kunjungan-kunjungan kelokasi konflik dan setelah itu tim tidak
menghasilkan penyelesaian konflik tersebut. Kerap kali pembentukan tim
penyelesaian konflik ini diikuti dengan sejumlah biaya, baik resmi atau tidak resmi
yang harus dikeluarkan oleh perusahaan.
16

Selama ini, untuk menentukan tokoh-tokoh masyarakat adat yang akan diajak
bernegosiasi, perusahaan melihat orang-orang yang
1)Menggunakan orang berpengaruh di lokasi
2)Tokoh yang pro dan kontra di dekati
3)Status wakil yang jelas berdasarkan surat penunjukan dari keluarga
4)Mengerti hukum
Namun tetap saja Negosiasi tidak berjalan dengan lancar .Hal ini dikarenakan
ketidakjelasan status hukum dan batas-batas fisik tanah ulayat. Perusahaan
memandang, ketidak jelasan ini merupakan tanggung jawab pemerintah kota.
Semestinya sebelum investasi diundang memasuki wilayah mereka, pemerintah telah
memperjelas status tanah ulayat dan masyarakat adat. Bahkan sebaiknya, dalam tata
ruang wilayah, dalam peta-peta wilayah atau peta pertanahan yang dikeluarkan oleh
pemda atau BPN, dicantumkan lokasi tanah ulayat tersebut. Sehingga pengusaha dapat
merencanakan investasi menjadi lebih baik dengan mempertimbangkan keberadaan
masyarakat adapt dan tanah adapt yang telah diakui oleh pemerintah tersebut.
Beberapa masalah yang terjadi diatas merupakan gambaran hambatan
pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di kota padang dari Aspek Tanah
Ulayat.Kita menyadari betapa pentingnya arti tanah bagi kaum Minang Kabau dengan
segala memori yang indah dan kekuatan adat istiadat di masa dulu yang dijadikan
simbol terhadap warisan nenek moyang .Namun dengan dinamika zaman terjadilah
perubahan yang menghendaki Tanah harus di kembangkan menjadi titan dalam
mengembangkan

perekonomian

Nagari

atau

yang

telah

berubah

menjadi

kota.Pengembangan Industri dan pertumbuhan penduduk memerlukan lahan yang


17

dijadikan tempat bernaung.Segala konflik yang terjadi sebenarnya adalah terletak pada
pemahaman dan cara pandang yang berbeda sehingga tidak dapat diselesaiakan oleh
Investor dan Pemilik Tanah.Diperlukan Ulil Amri (Wali Kota dan Wali Kota) yang
disegani untuk mendudukan secara bersama-sama, hal apa yang dapat kita putuskan
agar mendapatkan keuntungan bersama.Didalam mengambil keputusan pemerintah
Kota Padang harus memperhatikan Aspek-aspek kepastian hukum baik hukum positif
maupun hukum Adat.Dengan adanya konsolidasi bersama untuk dapat menarik minat
Investor ke kota padang dari aspek Tanah maka nantinya kota Padang sebagai kota
wisata dan metropolitan akan terwujud dengan keluhuran budi para pemimpin dan
ketaatan Masyarakatnya.

18

BAB III
PENUTUP
I.

Kesimpulan
Tanah ulayat merupakan sumber daya dan asset nagari yang penting di Sumatera
Barat. Tanah ulayat memiliki nilai ekonomi yang merupakan sumber kehidupan
bagi masyarakat nagari, didalamnya terkandung berbagai potensi sumber daya
alam yang mulai dari kulit bumi yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan
pertanian, hasil hutan dan sampai kedalaman tanah dalam bentuk tanah dan
bebatuan sebagai bahan baku industri. Pada dasarnya hak ulayat keberadaannya
dalam UUPA adalah sudah diakui, akan tetapi pengakuan tersebut masih diikuti
oleh syarat-syarat tertentu, yaitu: eksistensi dan mengenai pelaksananya. Oleh
karena itu, hak ulayat dapat diakui sepanjang menurut kenyataan masih ada.
Maksudnya adalah apabila di daerah-daerah dimana hak itu tidak ada lagi, maka
tidak akan dihidupkan kembali.
Oleh sebab itu, pelaksanaan hak ulayat secara mutlak, yaitu seakan-akan anggotaanggota masyarakat iu sendirilah yang berhak atas tanah wilayahnya itu, dan
seakan hanya di peruntukan masyarakat hukum adat itu sendiri. Maka sikap yang
19

demikianlah yang oleh UUPA dianggap bertentangan, hal ini sesuai dengan asasasas yang tercantum dalam pasal 1 dan 2.
Lahirnya Perda No.6 tahun 2008 tidak hanya semata ditujukan untuk melindungi
eksistensi tanah ulayat di sumatera Barat, namun juga hadir untuk kepentingan
investasi dan pembangunan . Untuk itu, melalui Pasal 3 ayat (2), Perda No. 6 tahun
2008 membuka ruang bagi dimanfaatkannya tanah ulayat oleh pihak lain dengan
kaedah

adat

diisi

limbago

dituang

melalui

musyawarah

mufakat

Secara eksplisit, Perda No.6 tahun 2008 menyatakan bahwa pemanfaatan tanah
ulayat untuk kepentingan Badan Hukum dan perorangan dapat dilakukan
berdasarkan surat perjanjian pengusahaan dan pengelolaan tanah ulayat dalam
jangka waktu tertentu dalam bentuk penyertaan modal, bagi hasil dan/atau bentuk
lain yang disepakati . Kemudian, Perda No. 6 tahun 2008 juga memungkinkan
investor memanfaatkan tanah ulayat dengan mengikutsertakan penguasa dan
pemilik tanah ulayat sebagai pemegang saham, bagi hasil dan dengan cara lain
dalam jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian . Apabila perjanjian
penyerahan hak penguasan dan/atau hak milik untuk pengusahaan dan pengelolaan
tanah yang diperjanjikan berakhir, maka status pengusahaan dan/atau kepemilikan
tanah kembali ke bentuk semula .

20

II.

SARAN

Mekanisme pendaftaran tanah ulayat yang diatur oleh Perda No.6 tahun 2008
berimplikasi terhadap berubahnya status hukum tanah ulayat. Kondisi ini jelas bertolak
belakang dengan asas utama tanah ulayat sebagaimana diusung oleh Pasal 2 ayat (1) Perda
No.6 tahun 2008, yaitu jua ndak dimakan bali, gadai ndak makan sando . Hal ini merupakan
kerugian besar bagi keberlangsungan tanah ulayat di Sumatera Barat. Di samping itu,
pengaturan pemanfaatan maupun pendaftaran tanah ulayat tersebut, ditenggarai dapat pula
memicu konflik antara Pemerintah Nagari dengan KAN. Dalam Perda Provinsi No.2 tahun
2007 tentang Pemerintahan Nagari dinyatakan bahwa tanah ulayat nagari merupakan harta
kekayaan nagari. Pengaturan pemanfaatan dan pengelolaan harta kekayaan nagari
dilaksanakan oleh Pemerintah Nagari berdasarkan peraturan nagari . Lebih lanjut, Pasal 17
ayat (2) menyebutkan, sebelum peraturan nagari untuk mengatur pemanfaatan dan
pengelolaan

harta

kekayaan

nagari

ditetapkan,

Pemerintah

Nagari

melakukan

konsultasi/koordinasi dengan KAN. Jadi yang bertindak mengatur dan mengelola tanah ulayat
nagari adalah Pemerintah Nagari, sedangkan KAN merupakan mitra dari Pemerintah Nagari,
yaitu sebatas lembaga konsultasi/koordinasi. Berbeda dengan Perda No. 2 tahun 2007, Perda
No.6 tahun 2008 menyatakan bahwa penguasa dan pemilik tanah ulayat nagari adalah Ninik
Mamak KAN .
21

Pengaturan dari dua Perda ini saling tabrak dan bertolak belakang. Dalam rangka
menjamin eksistensi tanah ulayat, pemetaan tanah ulayat merupakan keniscayaan. Penentuan
batas-batas tanah ulayat tidak cukup hanya berdasarkan peta ingatan dari penguasapenguasa adat. Perlu kejelasan siapa pemilik/penguasa tanah ulayat beserta dengan batas-batas
yang melingkupinya. Ketidakjelasan tersebut, cenderung akan menjadi sumber konflik dan
menjadi bom waktu yang siap meledak di kemudian hari. Ada beberapa solusi yang bisa
ditawarkan dalam memetakan tanah ulayat. Pertama, tetap menempuh mekanisme
sebagaimana diatur oleh Peraturan Menteri Agraria/ Kepala BPN No. 5 tahun 1999. Kedua,
mendaftarkan tanah ulayat kepada kepada Kantor Pertanahan dengan cara membukukan
bidang tanah ulayat dalam daftar tanah sesuai dengan mekanisme pendaftaran tanah negara
sebagaimana diatur oleh Pasal 9 ayat (2) PP No. 24 tahun 1997. Mengenai dua tawaran solusi
ini, Penulis lebih cenderung memilih tawaran yang kedua. Karena, prosedurnya tidak rumit
dan tidak memerlukan biaya yang besar.

22

Anda mungkin juga menyukai