Anda di halaman 1dari 20

1.

PENDAHULUAN

Infeksi cacing usus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara


berkembang termasuk Indonesia. Dikatakan pula bahwa masyarakat pedesaan atau
daerah perkotaan yang sangat padat dan kumuh merupakan sasaran yang mudah
terkena infeksi cacing (Moersintowarti, 1992). Penyakit karena protozoa dan
cacing mengenai jutaan masyarakat. Antibodi biasanya efektif terhadap bentuk
yang ditularkan melalui darah. Produksi IgE sangat meningkat pada infestasi
cacing dan dapat menyebabkan masuknya Ig dan eosinofil yang diperantarai oleh
sel mastoid (Roitt, 2002).

Kebanyakan parasit cenderung menyebabkan supresi imunologik nonspesifik


pejamu. Antigen parasit yang bertahan menahun menyebabkan kerusakan jaringan
imunopatologik seperti kompleks imun pada sindroma nefrotik, granulomatosa
hati dan lesi autoimun pada jantung. Imunosupresi umum meningkatkan kepekaan
terhadap infeksi bakteri dan virus (Roitt, 2002). Salah satu penyebab infeksi cacing
usus adalah Ascaris lumbricoides atau lebih dikenal dengan cacing gelang yang
penularannya dengan perantaraan tanah (Soil Transmited Helminths).

Dalam tubuh sendiri, infeksi cacing Ascaris menimbulkan banyak gejala klinik,
dimulai dengan rasa mual pada saluran pencernaan sampai ditemukan gejala diare.
Infeksi

inipun

menimbulkan

respon

imunitas

tubuh

dengan

produksi

Imunoglobulin jenis E (IgE) dalam jumlah besar. Timbulnya gejala klinis dan

respon berlebihan sel sistem imun dengan produksi IgE akibat infestasi cacing
Ascaris di usus sampai saat ini belum diketahui secara luas hubungannya. Hal ini
menyebabkan peneliti berkeinginan menelusuri hubungan antara ascariasis dan
respon IgE ini melalui penelitian ilmiah.

Bertolak dari fakta-fakta diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah
bagaimana hubungan antara ascariasis dan respon IgE. Tujuan dari penulisan
makalah ini adalah mengungkap hubungan antara kejadian askariasis dan
timbulnya respons IgE dalam tubuh. Penulisan ini diharapkan mampu memberikan
bahan diskusi dalam membahas hal-hal yang belum jelas dalam bidang imunoparasitologi, yang dewasa ini berkembang cukup pesat.

2. ASCARIASIS

Ascaris lumbricoides merupakan cacing bulat besar yang biasanya bersarang


dalam usus halus. Adanya cacing didalam usus penderita akan mengadakan
gangguan keseimbangan fisiologi yang normal dalam usus, mengadakan iritasi
setempat sehingga mengganggu gerakan peristaltik dan penyerapan makanan.
Cacing ini merupakan parasit yang kosmopolit yaitu tersebar diseluruh dunia, lebih
banyak di temukan di daerah beriklim panas dan lembab. Di beberapa daerah
tropik derajat infeksi dapat mencapai 100% dari penduduk. Pada umumnya lebih

banyak ditemukan pada anak-anak berusia 5 10 tahun sebagai host (penjamu)


yang juga menunjukkan beban cacing yang lebih tinggi (Haryanti, E, 1993).

Cacing dapat mempertahankan posisinya didalam usus halus karena aktivitas otototot ini. Jika otot-otot somatik di lumpuhkan dengan obat-obat antelmintik, cacing
akan dikeluarkan dengan pergerakan peristaltik normal. Tantular, K (1980) yang
dikutip oleh Moersintowarti. (1992) mengemukakan bahwa 20 ekor cacing Ascaris
lumbricoides dewasa didalam usus manusia mampu mengkonsumsi hidrat arang
sebanyak 2,8 gram dan 0,7 gram protein setiap hari. Dari hal tersebut dapat
diperkirakan besarnya kerugian yang disebabkan oleh infestasi cacing dalam
jumlah yang cukup banyak sehingga menimbulkan keadaan kurang gizi
(malnutrisi).

3. Ascaris lumbricoides

3.1 Morfologi
Cacing betina dewasa mempunyai bentuk tubuh posterior yang membulat
(conical), berwarna putih kemerah-merahan dan mempunyai ekor lurus tidak
melengkung. Cacing betina mempunyai panjang 22 - 35 cm dan memiliki lebar
3 - 6 mm. Sementara cacing jantan dewasa mempunyai ukuran lebih kecil,
dengan panjangnya 12 - 13 cm dan lebarnya 2 - 4 mm, juga mempunyai warna
yang sama dengan cacing betina, tetapi mempunyai ekor yang melengkung
kearah ventral. Kepalanya mempunyai tiga bibir pada ujung anterior (bagian

depan) dan mempunyai gigi-gigi kecil atau dentikel pada pinggirnya, bibirnya
dapat ditutup atau dipanjangkan untuk memasukkan makanan (Soedarto,
1991).

Pada potongan melintang cacing mempunyai kutikulum tebal yang


berdampingan dengan hipodermis dan menonjol kedalam rongga badan
sebagai korda lateral. Sel otot somatik besar dan panjang dan terletak di
hipodermis;

gambaran

histologinya

merupakan

sifat

tipe

polymyarincoelomyarin. Alat reproduksi dan saluran pencernaan mengapung


didalam rongga badan, cacing jantan mempunyai dua buah spekulum yang
dapat keluar dari kloaka dan pada cacing betina, vulva terbuka pada perbatasan
sepertiga badan anterior dan tengah, bagian ini lebih kecil dan dikenal sebagai
cincin kopulasi. Telur yang di buahi (fertilized) berbentuk ovoid dengan ukuran
60-70 x 30-50 mikron. Bila baru dikeluarkan tidak infektif dan berisi satu sel
tunggal. Sel ini dikelilingi suatu membran vitelin yang tipis untuk
meningkatkan daya tahan telur cacing tersebut terhadap lingkungan sekitarnya,
sehingga dapat bertahan hidup sampai satu tahun. Di sekitar membran ini ada
kulit bening dan tebal yang dikelilingi lagi oleh lapisan albuminoid yang
permukaanya tidak teratur atau berdungkul (mamillation). Lapisan albuminoid
ini kadang-kadang dilepaskan atau hilang oleh zat kimia yang menghasilkan
telur tanpa kulit (decorticated). Didalam rongga usus, telur memperoleh warna
kecoklatan dari pigmen empedu. Telur yang tidak dibuahi (unfertilized) berada
dalam tinja, bentuk telur lebih lonjong dan mempunyai ukuran 88-94 x 40-44

mikron, memiliki dinding yang tipis, berwarna coklat dengan lapisan


albuminoid yang kurang sempurna dan isinya tidak teratur.

3.2 Siklus Hidup


Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif Ascaris lumbricoides, jika
tertelan telur yang infektif, maka didalam usus halus bagian atas telur akan
pecah dan melepaskan larva infektif dan menembus dinding usus masuk
kedalam vena porta hati yang kemudian bersama dengan aliran darah menuju
jantung kanan dan selanjutnya melalui arteri pulmonalis ke paru-paru dengan
masa migrasi berlangsung selama sekitar 15 hari.

Dalam paru-paru larva tumbuh dan berganti kulit sebanyak 2 kali, kemudian
keluar dari kapiler, masuk ke alveolus dan seterusnya larva masuk sampai ke
bronkus, trakhea, laring dan kemudian ke faring, berpindah ke aeosepagus dan
tertelan melalui saliva atau merayap melalui epiglottis masuk kedalam traktus
digestivus. Terakhir larva sampai kedalam usus halus bagian atas, larva
berganti kulit lagi menjadi cacing dewasa. Umur cacing dewasa kira-kira satu
tahun, dan kemudian keluar secara spontan.

Siklus hidup cacing ascaris mempunyai masa yang cukup panjang, dua bulan
sejak infeksi pertama terjadi, seekor cacing betina mulai mampu mengeluarkan
200.000 250.000 butir telur setiap harinya, waktu yang diperlukan adalah 3
4 minggu untuk tumbuh menjadi bentuk infektif. Menurut penelitian stadium

ini merupakan stadium larva, dimana telur tersebut keluar bersama tinja
manusia dan diluar akan mengalami perubahan dari stadium larva I sampai
stadium III yang bersifat infektif. Telur-telur ini tahan terhadap berbagai
desinfektan dan dapat tetap hidup bertahun-tahun di tempat yang lembab.
Didaerah hiperendemik, anak-anak terkena infeksi secara terus-menerus
sehingga jika beberapa cacing keluar, yang lain menjadi dewasa dan
menggantikannya. Jumlah telur ascaris yang cukup besar dan dapat hidup
selama beberapa tahun maka larvanya dapat tersebar dimana-mana, menyebar
melalui tanah, air, ataupun melalui binatang. Maka bila makanan atau
minuman yang mengandung telur ascaris infektif masuk kedalam tubuh maka
siklus hidup cacing akan berlanjut sehingga larva itu berubah menjadi cacing.
Jadi larva cacing ascaris hanya dapat menginfeksi tubuh melalui makanan yang
tidak dimasak ataupun melalui kontak langsung dengan kulit.

Gambar 1. Siklus Hidup Ascaris lumbricoides

3.3 Cara penularan


Penularan Ascariasis dapat terjadi melalui bebrapa jalan yaitu masuknya telur
yang infektif kedalammulut bersama makanan atau minuman yang tercemar,
tertelan telur melalui tangan yang kotor dan terhirupnya telur infektif bersama
debu udara dimana telur infektif tersebut akan menetas pada saluran
pernapasan bagian atas, untuk kemudian menembus pembuluh darah dan
memasuki aliran darah (Soedarto, 1991).

4. ASPEK KLINIS

Kelianan-kelainan yang terjadi pada tubuh penderita terjadi akibat pengaruh


migrasi larva dan adanya cacing dewasa. Pada umumnya orang yang kena infeksi
tidak menunjukkan gejala, tetapi dengan jumlah cacing yang cukup besar
(hyperinfeksi) terutama pada anak-anak akan menimbulkan kekurangan gizi, selain
itu cacing itu sendiri dapat mengeluarkan cairan tubuh yang menimbulkan reaksi
toksik sehingga terjadi gejala seperti demam typhoid yang disertai dengan tanda
alergi seperti urtikaria, odema diwajah, konjungtivitis dan iritasi pernapasan bagian
atas. Cacing dewasa dapat pula menimbulkan berbagai akibat mekanik seperti
obstruksi usus, perforasi ulkus diusus. Oleh karena adanya migrasi cacing ke
organ-organ misalnya ke lambung, oesophagus, mulut, hidung dan bronkus dapat
menyumbat

pernapasan

penderita. Ada

kalanya

askariasis

menimbulkan

manifestasi berat dan gawat dalam beberapa keadaan sebagai berikut :


1.

Bila sejumlah besar cacing menggumpal menjadi suatu bolus yan menyumbat
rongga usus dan menyebabkan gejala abdomen akut.

2.

Pada migrasi ektopik dapat menyebabkan masuknya cacing kedalam


apendiks, saluran empedu (duktus choledocus) dan ductus pankreatikus.

Bila cacing masuk ke dalam saluran empedu, terjadi kolik yang berat disusul
kolangitis supuratif dan abses multiple. Peradangan terjadi karena desintegrasi
cacing yang terjebak dan infeksi sekunder. Desintegrasi betina menyebabkan
dilepaskannya telur dalam jumlah yang besar yang dapat dikenali dalam

pemeriksaan histologi. Untuk menegakkan diagnosis pasti harus ditemukan cacing


dewasa dalam tinja atau muntahan penderita dan telur cacing dengan bentuk yang
khas dapat dijumpai dalam tinja atau didalam cairan empedu penderita melalui
pemeriksaan mikroskopik (Soedarto, 1991).

5. EPIDEMIOLOGI ASCARIASIS

Pada umumnya frekuensi tertingi penyakit ini diderita oleh anak-anak sedangkan
orang dewasa frekuensinya rendah. Hal ini disebabkan oleh karena kesadaran
anak-anak akan kebersihan dan kesehatan masih rendah ataupun mereka tidak
berpikir sampai ke tahap itu. Sehinga anak-anak lebih mudah diinfeksi oleh larva
cacing Ascaris misalnya melalui makanan, ataupun infeksi melalui kulit akibat
kontak langsung dengan tanah yang mengandung telur Ascaris lumbricoides.

Faktor host merupakan salah satu hal yang penting karena manusia sebagai sumber
infeksi dapat mengurangi kontaminasi ataupun pencemaran tanah oleh telur dan
larva cacing, selain itu manusia justru akan menambah polusi lingkungan
sekitarnya. Di pedesan kasus ini lebih tinggi prevalensinya, hal ini terjadi karena
buruknya sistem sanitasi lingkungan di pedesaan, tidak adanya jamban sehingga
tinja manusia tidak terisolasi sehingga larva cacing mudah menyebar. Hal ini juga
terjadi pada golongan masyarakat yang memiliki tingkat social ekonomi yang
rendah, sehingga memiliki kebiasaan membuang hajat (defekasi) ditanah, yang
kemudian tanah akan terkontaminasi dengan telur cacing yang infektif dan larva

cacing yang seterusnya akan terjadi reinfeksi secara terus menerus pada daerah
endemik (Brown dan Harold, 1983).

Perkembangan telur dan larva cacing sangat cocok pada iklim tropik dengan suhu
optimal adalah 230 C sampai 300 C. Jenis tanah liat merupakan tanah yang sangat
cocok untuk perkembangan telur cacing, sementara dengan bantuan angin maka
telur cacing yang infektif bersama dengan debu dapat menyebar ke lingkungan.

6. PENCEGAHAN DAN UPAYA PENANGGULANGAN

Berdasarkan kepada siklus hidup dan sifat telur cacing ini, maka upaya
pencegahannya dapat dilakukan sebagai berikut :
6.1 Penyuluhan kesehatan
Penyuluhan kesehatan tentang sanitasi yang baik dan tepat guna, Hygiene
keluarga dan hygiene pribadi seperti :
- Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman.
- Sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan, tangan dicuci
terlebih dahulu dengan menggunkan sabun.
- Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar (mentah) sebagai lalapan, hendaklah
dicuci bersih dan disiram lagi dengan air hangat.

Karena telur cacing Ascaris dapat hidup dalam tanah selama bertahuntahun,
pencegahan dan pemberantasan di daerah endemik adalah sulit. Adapun upaya
yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit ini adalah sebagai berikut :
1. Mengadakan kemotrapi massal setiap 6 bulan sekali didaerah endemik
ataupun daerah yang rawan terhadap penyakit askariasis.
2. Memberi penyuluhan tentang sanitasi lingkungan.
3.

Melakukan usaha aktif dan preventif untuk dapat mematahkan siklus hidup
cacing misalnya memakai jamban/WC.

4.

Makan makanan yang dimasak saja.

5. Menghindari sayuran mentah (hijau) dan selada di daerah yang


menggunakan tinja sebagai pupuk.

6.2 Pengobatan penderita


Bila mungkin, semua yang positif sebaiknya diobati, tanpa melihat beban cacing
karena jumlah cacing yang kecilpun dapat menyebabkan migrasi ektopik dengan
akibat yang membahayakan. Untuk pengobatan tentunya semua obat dapat
digunakan untuk mengobati Ascariasis, baik untuk pengobatan perseorangan
maupun pengobatan massal.

Pada waktu yang lalu obat yang sering dipakai seperti : piperazin, minyak
chenopodium, hetrazan dan tiabendazol. Oleh karena obat tersebut menimbulkan
efek samping dan sulitnya pemberian obat tersebut, maka obat cacing sekarang ini

berspektrum luas, lebih aman dan memberikan efek samping yang lebih kecil dan
mudah pemakaiannya (Soedarto, 1991)

Adapun obat yang sekarang ini dipakai dalam pengobatan adalah :


1. Mebendazol.
Obat ini adalah obat cacing berspektrum luas dengan toleransi hospes yang
baik. Diberikan satu tablet (100 mg) dua kali sehari selama tiga hari, tanpa
melihat umur, dengan menggunakan obat ini sudah dilaporkan beberapa kasus
terjadi migrasi ektopik.

2. Pirantel Pamoat.
Dosis tunggal sebesar 10 mg/kg berat badan adalah efektif untuk
menyembuhkan kasus lebih dari 90 %. Gejala sampingan, bila ada adalah
ringan dan obat ini biasanya dapat diterima (welltolerated). Obat ini
mempunyai keunggulan karena efektif terhadap cacing kremi dan cacing
tambang. Obat berspekturm luas ini berguna di daerah endemik dimana infeksi
multipel berbagai cacing Nematoda merupakan hal yang biasa.

3. Levamisol Hidroklorida.
Obat ini agaknya merupakan obat anti-askaris yang paling efektif yang
menyebabkan kelumpuhan cacing dengan cepat. Obat ini diberikan dalam
dosis tunggal yaitu 150 mg untuk orang dewasa dan 50 mg untuk orang dengan

berat badan <10 kg. Efek sampingan lebih banyak dari pada pirantel pamoat
dan mebendazol.

4. Garam Piperazin.
Obat ini dipakai secara luas, karena murah dan efektif, juga untuk Enterobius
vermicularis, tetapi tidak terhadap cacing tambang. Piperazin sitrat diberikan
dalam dosis tunggal sebesar 30 ml (5 ml adalah ekuivalen dengan 750 mg
piperazin). Reaksi sampingan lebih sering daripada pirantel pamoat dan
mebendazol. Ada kalanya dilaporkan gejala susunan syaraf pusat seperti
berjalan tidak tetap (unsteadiness) dan vertigo.

7. IMUNITAS TERHADAP INFEKSI PARASIT

Akibat dari infeksi parasit dapat disebabkan oleh tidak adanya reaksi imun
sehingga terjadi superinfeksi berat di satu pihak dan di pihak lain terjadi reaksi
imunopatologik yang berlebihan sehingga mengancam jiwa. Parasit harus berada
di antara kedua ekstrem ini untuk menghindari kematian pejamu dan pada saat
yang sama menghindar dari reaski imun, supaya ia sendiri tetap hidup. Pada
kenyataannya, setiap parasit mempunyai mekanisme yang sangat kompleks sampai
terjadinya kematian.

7.1 Respons Imunitas Humoral


Antibodi yang spesifik ditemukan dalam konsentrasi dan afinitas cukup memadai
efektif untuk memberikan proteksi terhadap parasit. Gambaran reaksi imun
terhadap infeksi cacing adalah eosinofilia dan peningkatan jumlah IgE. Pada
manusia, jumlah IgG dalam serum dapat meningkat dari normal 100 ng/ml
menjadi 10.000 ng/ml. Perubahan ini merupakan tanda dari adanya reaksi
terhadap limfokin tipe Th2. Kenaikan yang luar biasa dari IgE memperkuat
pandangan bahwa IgE mereupakan parameter penting dalam pertahanan.
Rangsangan antigen spesifik untuk untuk terbentuknya sel mastoid yang dilapisi
IgE menyebabkan terjadinya eksudasi serum protein dengan konsentrasi antibodi
protektif yang tinggi untuk semua kelas imunoglobulin dan dilepaskannya faktor
kemotaktik eosinofil (Roitt, 2002).

Dalam perjalananya, protein utama pembentuk inti dari granula eosinofil padat
elektron dilepaskan ke parasit dan mengakibatkan kerusakan. Peran imunitas
seluler tampak menonjol karena eosinofil dapat mengekspresikan MHC kelas II
dan IgG-mediated ADCC ditingkatkan oleh GM-CSF dan TNF. Bukti lain tentang
keterlibatan sel ini terlihat dari penelitian bahwa proteksi menggunakan transfer
pasif dengan antiserum in vivo dapat dihambat dengan pemberian serum
antieosinofil sebelumnya. Reaksi yang diperantarai IgE mungkin penting dalam
penyembuhan dari infeksi, sedangkan resisitensi pada iundividu yang telah
divaksinasi mungkin lebih tergantung pada adanya antibodi IgG dan IgA.
Selanjutnya kemampuan untuk mengatasi cacing tertentu dapat diarahkan kepada

produksi limfokin tipe Th1 seperti IFN dari TH2 yang menghasilkan IgE (Roit,
2002).

7.2 Respons Imunitas Seluler


Seperti halnya mikroba, banyak parasit beradaptasi untuk hidup dalam makrofag,
meskipun makrofag mempunyai kemampuan mikrobisidal ampuh termasuk
adanya peran NO (nitric oxide). Seperti pada infeksi mikrobakteri, sel T penghasil
sitokin sangat penting untuk makrofag melaksanakan kemampuan membunuh dan
menyingkirkan pengganggu yang tidak diinginkan. Efek ini bisa dilihat secara in
vitro bila IFN- dengan penambahan TNF, ditambahkan dalam biakan
makrofag, yang mendukung pertumbuhan intrasel parasit. Eliminasi infestasi
cacing usus merupakan pendekatan yang khusus berupa gabungan reaksi seluluer
dan humoral untuk menghilangkan infeksi yang masuk.

Penelitian pada tikus (ogilvie) menunjukkan bahwa meskipun antibodi


menyebabkan kerusakan pada cacing, sel T donor imun juga diperlukan untuk
terjadinya ekspulsi kuat yang mungkin terjadi melalui kombinasi stimulasi
motilitas usu oleh sel mastoid dan aktivasi sitokin dari sel goblet usus yang
berjumlah banyak. Kedua jenis sel ini menghasilkan campuran molekul
glycosilated dengan berat molekul tinggi yang membentuk gel viskoelastik
disekeliling cacing, sehingga terjai proteksi permukaan kolon dann usus halus dari
invasi (Roitt, 2002).

Pada parasit yang bertahan bertahun-tahun mengahadapi reaksi imunologik,


interaksi dengan antigen asing sering menyebabkan kerusakan jaringan. Reaksi
hipersensitivitas lambat yang disebabkan adanya TNF yang memungkinkan
telur meloloskan diri dari kapiler intestinal kedalam lumen usus untuk
meneruskan siklus hidup di luar pejamu.

8. PERAN IgE PADA INFEKSI CACING USUS

Peradangan dikendalikan oleh protein pengatur komplemen PGE2, TGF,


glukokortikoid, dan IL-10. LPS ditangkap oleh reseptor spesifik, IL-1, IL-8 dan
TNF

terlibat

dalam

proses

terjadinya

peradangan.

Sementara

itu,

ketidakmampuan menyingkirkan penyebab terjadinya reaksi radang menahun yang


biasanya dilakukan oleh makrofag, seringkali membentk granuloma (Roitt, 2002).

Berbagai mekanisme pertahanan dilancarkan oleh pejamu, pada dasarnya dapat


digambarkan bahwa reaksi humoral terbentuk pada organisme yang masuk
peredaran darah. Sedangkan parasit yang hidup di jaringan biasanya merangsang
imunitas seluler. Antibodi akibat infeksi cacing biasanya efekstif terhadap bantuk
yang ditularkan melalui darah. Produksi IgE sangat meningkat pada infestasi
cacing dan dapat menyebabkan masuknya Ig dan eosinofil yang diperantarai oleh
sel mastoid (Roitt, 2002)

Infeksi cacing yang kronik akan menimbulkan rangsangan antigen persisten yang
meningkatkan kadar imunoglobulin dalam sirkulasi dan pembentukan kompleks
imun. Antigen-antigen yang dilepas parasit diduga berfungsi sebagai mitogen
poliklonal sel B yang T independen. Pertahanan terhadap banyak infeksi cacing
diperankan oleh aktivasi sel Th2 yang menghasilkan IgE dan aktivasi eosinofil.
IgE yang berikatan dengan permukaan cacing diikat eosinofil. Selanjutnya
eosinofil diaktifkan dan mensekresi granul enzim yang menghancurkan parasit.
Produksi IgE dan eosinofil sering ditemukan pada infeksi cacing. (Baratawijaya,
2004) Produksi IgE disebabkan sifat cacing yang merangsang subset Th2 sel
CD4+, yang melepas IL-4 dan IL-5. IL-4 merangsang produksi IgE dan IL-5
merangsang perkembangan dan aktivasi eosinofil. Eosinofil lebih efektif dibanding
leukosit lain oleh karena eosinofil mengandung granul yang lebih toksik dibanding
enzim proteolitik dan Reactive Oxygen Intermediate yang diproduksi neutrofil dan
makrofag. Cacing dan ekstrak cacing dapat merangsang produksi IgE yang nonspesifik. Reaksi inflamasi yang ditimbulkannya diduga dapat mencegah
menempelnya cacing pada mukosa saluran cerna. (Baratawijaya, 2004)

Cacing biasanya terlalu besar untuk difagositosis. Degranulasi sel mast/basofil


yang IgE dependen menghasilkan produksi histamin yang menimbulkan spasme
usus tempat cacing hidup. Eosinofil menempel pada cacing melalui IgG/IgA dan
melepas protein kationik, dan neurotoksin. PMN dan makrofag menempel melalui
IgA/IgG dan melepas superoksida, oksida nitrit dan enzim yang membunuh
cacing. (Baratawijaya, 2004)

9. KESIMPULAN

Ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penulisan terhadap tema
ascariasis dan respons IgE ini, antara lain :
1. Peradangan akibat infestasi cacing usus dikendalikan oleh protein pengatur
komplemen PGE2, TGF, glukokortikoid, dan IL-10.
2. Antibodi akibat infeksi cacing biasanya efekstif terhadap bantuk yang ditularkan
melalui darah. Produksi IgE sangat meningkat pada infestasi cacing dan dapat
menyebabkan masuknya Ig dan eosinofil yang diperantarai oleh sel mastoid.
3. Berbagai cacing berbeda dalam besar, struktur, sifat biokimiawi, siklus hidup
dan patogenitasnya. Respons imun berbeda pada setiap infeksi cacing,
4. Infeksi kronik itu akan menimbulkan rangsangan antigen persisten yang
meningkatkan kadar imunoglobulin dalam sirkulasi dan pembentukan kompleks
imun. Antigen-antigen yang dilepas parasit diduga berfungsi sebagai mitogen
poliklonal sel B yang T independen.
5. Respon imun non-spesifik utama terhadap cacing adalah fagositosis.
6. Pertahanan terhadap banyak infeksi cacing diperankan oleh aktivasi sel Th2
yang menghasilkan IgE dan aktivasi eosinofil.
7. Produksi IgE disebabkan sifat cacing yang merangsang subset Th2 sel CD4 +,
yang melepas IL-4 dan IL-5. IL-4 merangsang produksi IgE dan IL-5
merangsang perkembangan dan aktivasi eosinofil.

10. SARAN

Untuk lebih jauh dalam upaya pemecahan masalah seperti tema yang ditulis
dalam

makalah

ini,

perlu

dikembangkan

kajian

mengenai

aspek

imunoparasitologi. Yang pada akhirnya mampu menyandingkan paradigma


imunologis pada sertiap infeksi-infeksi parasit pada tubuh manusia. Atau
sebaliknya, pola-pola sistem imunitas tubuh mampu menjawab permasalahan
seputar akibat infeksi parasit pada tubuh.

DAFTAR PUSTAKA

Brown HW, 1983. Dasar Parasitologi Klinis. Gramedia. Jakarta

Faust EC., Beaver PC., and Jung RC, 1975. Animal Agents and Vector of Human
diasease 4th edition, Lea & Febiger, Philadelphia.
Hoeprich, PD, 1977. Infections Diseases. 2nd Edition, Harper and Row, Maryland.
Baratawijaya KG, 2004. Imunologi Dasar. Edisi ke-6, Penerbit FKUI, Jakarta.
Haryanti E, 1993. Helmitologi Kedokteran. Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran
USU, Medan.
Moersintowarti B, 1992. Pengaruh cacingan Pada Tumbuh Kemabang Anak.
Makalah disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Penanggulangan Cacingan.
Fakultas Kedokteran Unair. Surabaya
Roitt I, 2000. Imunologi, Essential Immunology. Edisi 8, Penerbit Widya Medika,
Jakarta.
Viqar Z., Loh AK, 1999. Buku Penuntun Parasitologi Kedokteran. Penerbit
Binacipta.
Rangkuman laporan Penelitian Tentang Anak Indonesia. Dicetak Pusat Dokumentasi
dan Informasi Ilmiah LIPI Jakarta
Soedarto, 1995. Helmintologi Kedokteran. Edisi ke 2. EGC. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai