Makalah Ascaris
Makalah Ascaris
PENDAHULUAN
Dalam tubuh sendiri, infeksi cacing Ascaris menimbulkan banyak gejala klinik,
dimulai dengan rasa mual pada saluran pencernaan sampai ditemukan gejala diare.
Infeksi
inipun
menimbulkan
respon
imunitas
tubuh
dengan
produksi
Imunoglobulin jenis E (IgE) dalam jumlah besar. Timbulnya gejala klinis dan
respon berlebihan sel sistem imun dengan produksi IgE akibat infestasi cacing
Ascaris di usus sampai saat ini belum diketahui secara luas hubungannya. Hal ini
menyebabkan peneliti berkeinginan menelusuri hubungan antara ascariasis dan
respon IgE ini melalui penelitian ilmiah.
Bertolak dari fakta-fakta diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah
bagaimana hubungan antara ascariasis dan respon IgE. Tujuan dari penulisan
makalah ini adalah mengungkap hubungan antara kejadian askariasis dan
timbulnya respons IgE dalam tubuh. Penulisan ini diharapkan mampu memberikan
bahan diskusi dalam membahas hal-hal yang belum jelas dalam bidang imunoparasitologi, yang dewasa ini berkembang cukup pesat.
2. ASCARIASIS
Cacing dapat mempertahankan posisinya didalam usus halus karena aktivitas otototot ini. Jika otot-otot somatik di lumpuhkan dengan obat-obat antelmintik, cacing
akan dikeluarkan dengan pergerakan peristaltik normal. Tantular, K (1980) yang
dikutip oleh Moersintowarti. (1992) mengemukakan bahwa 20 ekor cacing Ascaris
lumbricoides dewasa didalam usus manusia mampu mengkonsumsi hidrat arang
sebanyak 2,8 gram dan 0,7 gram protein setiap hari. Dari hal tersebut dapat
diperkirakan besarnya kerugian yang disebabkan oleh infestasi cacing dalam
jumlah yang cukup banyak sehingga menimbulkan keadaan kurang gizi
(malnutrisi).
3. Ascaris lumbricoides
3.1 Morfologi
Cacing betina dewasa mempunyai bentuk tubuh posterior yang membulat
(conical), berwarna putih kemerah-merahan dan mempunyai ekor lurus tidak
melengkung. Cacing betina mempunyai panjang 22 - 35 cm dan memiliki lebar
3 - 6 mm. Sementara cacing jantan dewasa mempunyai ukuran lebih kecil,
dengan panjangnya 12 - 13 cm dan lebarnya 2 - 4 mm, juga mempunyai warna
yang sama dengan cacing betina, tetapi mempunyai ekor yang melengkung
kearah ventral. Kepalanya mempunyai tiga bibir pada ujung anterior (bagian
depan) dan mempunyai gigi-gigi kecil atau dentikel pada pinggirnya, bibirnya
dapat ditutup atau dipanjangkan untuk memasukkan makanan (Soedarto,
1991).
gambaran
histologinya
merupakan
sifat
tipe
Dalam paru-paru larva tumbuh dan berganti kulit sebanyak 2 kali, kemudian
keluar dari kapiler, masuk ke alveolus dan seterusnya larva masuk sampai ke
bronkus, trakhea, laring dan kemudian ke faring, berpindah ke aeosepagus dan
tertelan melalui saliva atau merayap melalui epiglottis masuk kedalam traktus
digestivus. Terakhir larva sampai kedalam usus halus bagian atas, larva
berganti kulit lagi menjadi cacing dewasa. Umur cacing dewasa kira-kira satu
tahun, dan kemudian keluar secara spontan.
Siklus hidup cacing ascaris mempunyai masa yang cukup panjang, dua bulan
sejak infeksi pertama terjadi, seekor cacing betina mulai mampu mengeluarkan
200.000 250.000 butir telur setiap harinya, waktu yang diperlukan adalah 3
4 minggu untuk tumbuh menjadi bentuk infektif. Menurut penelitian stadium
ini merupakan stadium larva, dimana telur tersebut keluar bersama tinja
manusia dan diluar akan mengalami perubahan dari stadium larva I sampai
stadium III yang bersifat infektif. Telur-telur ini tahan terhadap berbagai
desinfektan dan dapat tetap hidup bertahun-tahun di tempat yang lembab.
Didaerah hiperendemik, anak-anak terkena infeksi secara terus-menerus
sehingga jika beberapa cacing keluar, yang lain menjadi dewasa dan
menggantikannya. Jumlah telur ascaris yang cukup besar dan dapat hidup
selama beberapa tahun maka larvanya dapat tersebar dimana-mana, menyebar
melalui tanah, air, ataupun melalui binatang. Maka bila makanan atau
minuman yang mengandung telur ascaris infektif masuk kedalam tubuh maka
siklus hidup cacing akan berlanjut sehingga larva itu berubah menjadi cacing.
Jadi larva cacing ascaris hanya dapat menginfeksi tubuh melalui makanan yang
tidak dimasak ataupun melalui kontak langsung dengan kulit.
4. ASPEK KLINIS
pernapasan
penderita. Ada
kalanya
askariasis
menimbulkan
Bila sejumlah besar cacing menggumpal menjadi suatu bolus yan menyumbat
rongga usus dan menyebabkan gejala abdomen akut.
2.
Bila cacing masuk ke dalam saluran empedu, terjadi kolik yang berat disusul
kolangitis supuratif dan abses multiple. Peradangan terjadi karena desintegrasi
cacing yang terjebak dan infeksi sekunder. Desintegrasi betina menyebabkan
dilepaskannya telur dalam jumlah yang besar yang dapat dikenali dalam
5. EPIDEMIOLOGI ASCARIASIS
Pada umumnya frekuensi tertingi penyakit ini diderita oleh anak-anak sedangkan
orang dewasa frekuensinya rendah. Hal ini disebabkan oleh karena kesadaran
anak-anak akan kebersihan dan kesehatan masih rendah ataupun mereka tidak
berpikir sampai ke tahap itu. Sehinga anak-anak lebih mudah diinfeksi oleh larva
cacing Ascaris misalnya melalui makanan, ataupun infeksi melalui kulit akibat
kontak langsung dengan tanah yang mengandung telur Ascaris lumbricoides.
Faktor host merupakan salah satu hal yang penting karena manusia sebagai sumber
infeksi dapat mengurangi kontaminasi ataupun pencemaran tanah oleh telur dan
larva cacing, selain itu manusia justru akan menambah polusi lingkungan
sekitarnya. Di pedesan kasus ini lebih tinggi prevalensinya, hal ini terjadi karena
buruknya sistem sanitasi lingkungan di pedesaan, tidak adanya jamban sehingga
tinja manusia tidak terisolasi sehingga larva cacing mudah menyebar. Hal ini juga
terjadi pada golongan masyarakat yang memiliki tingkat social ekonomi yang
rendah, sehingga memiliki kebiasaan membuang hajat (defekasi) ditanah, yang
kemudian tanah akan terkontaminasi dengan telur cacing yang infektif dan larva
cacing yang seterusnya akan terjadi reinfeksi secara terus menerus pada daerah
endemik (Brown dan Harold, 1983).
Perkembangan telur dan larva cacing sangat cocok pada iklim tropik dengan suhu
optimal adalah 230 C sampai 300 C. Jenis tanah liat merupakan tanah yang sangat
cocok untuk perkembangan telur cacing, sementara dengan bantuan angin maka
telur cacing yang infektif bersama dengan debu dapat menyebar ke lingkungan.
Berdasarkan kepada siklus hidup dan sifat telur cacing ini, maka upaya
pencegahannya dapat dilakukan sebagai berikut :
6.1 Penyuluhan kesehatan
Penyuluhan kesehatan tentang sanitasi yang baik dan tepat guna, Hygiene
keluarga dan hygiene pribadi seperti :
- Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman.
- Sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan, tangan dicuci
terlebih dahulu dengan menggunkan sabun.
- Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar (mentah) sebagai lalapan, hendaklah
dicuci bersih dan disiram lagi dengan air hangat.
Karena telur cacing Ascaris dapat hidup dalam tanah selama bertahuntahun,
pencegahan dan pemberantasan di daerah endemik adalah sulit. Adapun upaya
yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit ini adalah sebagai berikut :
1. Mengadakan kemotrapi massal setiap 6 bulan sekali didaerah endemik
ataupun daerah yang rawan terhadap penyakit askariasis.
2. Memberi penyuluhan tentang sanitasi lingkungan.
3.
Melakukan usaha aktif dan preventif untuk dapat mematahkan siklus hidup
cacing misalnya memakai jamban/WC.
4.
Pada waktu yang lalu obat yang sering dipakai seperti : piperazin, minyak
chenopodium, hetrazan dan tiabendazol. Oleh karena obat tersebut menimbulkan
efek samping dan sulitnya pemberian obat tersebut, maka obat cacing sekarang ini
berspektrum luas, lebih aman dan memberikan efek samping yang lebih kecil dan
mudah pemakaiannya (Soedarto, 1991)
2. Pirantel Pamoat.
Dosis tunggal sebesar 10 mg/kg berat badan adalah efektif untuk
menyembuhkan kasus lebih dari 90 %. Gejala sampingan, bila ada adalah
ringan dan obat ini biasanya dapat diterima (welltolerated). Obat ini
mempunyai keunggulan karena efektif terhadap cacing kremi dan cacing
tambang. Obat berspekturm luas ini berguna di daerah endemik dimana infeksi
multipel berbagai cacing Nematoda merupakan hal yang biasa.
3. Levamisol Hidroklorida.
Obat ini agaknya merupakan obat anti-askaris yang paling efektif yang
menyebabkan kelumpuhan cacing dengan cepat. Obat ini diberikan dalam
dosis tunggal yaitu 150 mg untuk orang dewasa dan 50 mg untuk orang dengan
berat badan <10 kg. Efek sampingan lebih banyak dari pada pirantel pamoat
dan mebendazol.
4. Garam Piperazin.
Obat ini dipakai secara luas, karena murah dan efektif, juga untuk Enterobius
vermicularis, tetapi tidak terhadap cacing tambang. Piperazin sitrat diberikan
dalam dosis tunggal sebesar 30 ml (5 ml adalah ekuivalen dengan 750 mg
piperazin). Reaksi sampingan lebih sering daripada pirantel pamoat dan
mebendazol. Ada kalanya dilaporkan gejala susunan syaraf pusat seperti
berjalan tidak tetap (unsteadiness) dan vertigo.
Akibat dari infeksi parasit dapat disebabkan oleh tidak adanya reaksi imun
sehingga terjadi superinfeksi berat di satu pihak dan di pihak lain terjadi reaksi
imunopatologik yang berlebihan sehingga mengancam jiwa. Parasit harus berada
di antara kedua ekstrem ini untuk menghindari kematian pejamu dan pada saat
yang sama menghindar dari reaski imun, supaya ia sendiri tetap hidup. Pada
kenyataannya, setiap parasit mempunyai mekanisme yang sangat kompleks sampai
terjadinya kematian.
Dalam perjalananya, protein utama pembentuk inti dari granula eosinofil padat
elektron dilepaskan ke parasit dan mengakibatkan kerusakan. Peran imunitas
seluler tampak menonjol karena eosinofil dapat mengekspresikan MHC kelas II
dan IgG-mediated ADCC ditingkatkan oleh GM-CSF dan TNF. Bukti lain tentang
keterlibatan sel ini terlihat dari penelitian bahwa proteksi menggunakan transfer
pasif dengan antiserum in vivo dapat dihambat dengan pemberian serum
antieosinofil sebelumnya. Reaksi yang diperantarai IgE mungkin penting dalam
penyembuhan dari infeksi, sedangkan resisitensi pada iundividu yang telah
divaksinasi mungkin lebih tergantung pada adanya antibodi IgG dan IgA.
Selanjutnya kemampuan untuk mengatasi cacing tertentu dapat diarahkan kepada
produksi limfokin tipe Th1 seperti IFN dari TH2 yang menghasilkan IgE (Roit,
2002).
terlibat
dalam
proses
terjadinya
peradangan.
Sementara
itu,
Infeksi cacing yang kronik akan menimbulkan rangsangan antigen persisten yang
meningkatkan kadar imunoglobulin dalam sirkulasi dan pembentukan kompleks
imun. Antigen-antigen yang dilepas parasit diduga berfungsi sebagai mitogen
poliklonal sel B yang T independen. Pertahanan terhadap banyak infeksi cacing
diperankan oleh aktivasi sel Th2 yang menghasilkan IgE dan aktivasi eosinofil.
IgE yang berikatan dengan permukaan cacing diikat eosinofil. Selanjutnya
eosinofil diaktifkan dan mensekresi granul enzim yang menghancurkan parasit.
Produksi IgE dan eosinofil sering ditemukan pada infeksi cacing. (Baratawijaya,
2004) Produksi IgE disebabkan sifat cacing yang merangsang subset Th2 sel
CD4+, yang melepas IL-4 dan IL-5. IL-4 merangsang produksi IgE dan IL-5
merangsang perkembangan dan aktivasi eosinofil. Eosinofil lebih efektif dibanding
leukosit lain oleh karena eosinofil mengandung granul yang lebih toksik dibanding
enzim proteolitik dan Reactive Oxygen Intermediate yang diproduksi neutrofil dan
makrofag. Cacing dan ekstrak cacing dapat merangsang produksi IgE yang nonspesifik. Reaksi inflamasi yang ditimbulkannya diduga dapat mencegah
menempelnya cacing pada mukosa saluran cerna. (Baratawijaya, 2004)
9. KESIMPULAN
Ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penulisan terhadap tema
ascariasis dan respons IgE ini, antara lain :
1. Peradangan akibat infestasi cacing usus dikendalikan oleh protein pengatur
komplemen PGE2, TGF, glukokortikoid, dan IL-10.
2. Antibodi akibat infeksi cacing biasanya efekstif terhadap bantuk yang ditularkan
melalui darah. Produksi IgE sangat meningkat pada infestasi cacing dan dapat
menyebabkan masuknya Ig dan eosinofil yang diperantarai oleh sel mastoid.
3. Berbagai cacing berbeda dalam besar, struktur, sifat biokimiawi, siklus hidup
dan patogenitasnya. Respons imun berbeda pada setiap infeksi cacing,
4. Infeksi kronik itu akan menimbulkan rangsangan antigen persisten yang
meningkatkan kadar imunoglobulin dalam sirkulasi dan pembentukan kompleks
imun. Antigen-antigen yang dilepas parasit diduga berfungsi sebagai mitogen
poliklonal sel B yang T independen.
5. Respon imun non-spesifik utama terhadap cacing adalah fagositosis.
6. Pertahanan terhadap banyak infeksi cacing diperankan oleh aktivasi sel Th2
yang menghasilkan IgE dan aktivasi eosinofil.
7. Produksi IgE disebabkan sifat cacing yang merangsang subset Th2 sel CD4 +,
yang melepas IL-4 dan IL-5. IL-4 merangsang produksi IgE dan IL-5
merangsang perkembangan dan aktivasi eosinofil.
10. SARAN
Untuk lebih jauh dalam upaya pemecahan masalah seperti tema yang ditulis
dalam
makalah
ini,
perlu
dikembangkan
kajian
mengenai
aspek
DAFTAR PUSTAKA
Faust EC., Beaver PC., and Jung RC, 1975. Animal Agents and Vector of Human
diasease 4th edition, Lea & Febiger, Philadelphia.
Hoeprich, PD, 1977. Infections Diseases. 2nd Edition, Harper and Row, Maryland.
Baratawijaya KG, 2004. Imunologi Dasar. Edisi ke-6, Penerbit FKUI, Jakarta.
Haryanti E, 1993. Helmitologi Kedokteran. Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran
USU, Medan.
Moersintowarti B, 1992. Pengaruh cacingan Pada Tumbuh Kemabang Anak.
Makalah disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Penanggulangan Cacingan.
Fakultas Kedokteran Unair. Surabaya
Roitt I, 2000. Imunologi, Essential Immunology. Edisi 8, Penerbit Widya Medika,
Jakarta.
Viqar Z., Loh AK, 1999. Buku Penuntun Parasitologi Kedokteran. Penerbit
Binacipta.
Rangkuman laporan Penelitian Tentang Anak Indonesia. Dicetak Pusat Dokumentasi
dan Informasi Ilmiah LIPI Jakarta
Soedarto, 1995. Helmintologi Kedokteran. Edisi ke 2. EGC. Jakarta.