Anda di halaman 1dari 10

KOMPLEMEN

Sistem komplemen adalah protein dalam serum darah yang bereaksi


berjenjang sebagai enzim untuk membantu sistem kekebalan selulardan sistem
kekebalan humoraluntuk melindungi tubuh dari infeksi. Protein komplemen tidak
secara khusus bereaksi terhadap antigen tertentu, dan segera teraktivasi pada proses
infeksi awal dari patogen. Oleh karena itu sistem komplemen dianggap merupakan
bagian dari sistem kekebalan turunan. Walaupun demikian, beberapa antibodi dapat
memicu beberapa protein komplemen, sehingga aktivasi sistem komplemen juga
merupakan bagian dari sistem kekebalan humoral. Sistem komplemen adalah suatu
sistem yang terdiri dari seperangkat kompleks protein yang satu dengan lainnya
sangat berbeda. Pada kedaan normal komplemen beredar di sirkulasi. darah dalam
keadaan tidak aktif, yang setiap saat dapat diaktifkan melalui dua jalur yang tidak
tergantung satu dengan yang lain, disebut jalur klasik dan jalur alternatif. Aktivasi
sistem komplemen menyebabkan interaksi berantai yang menghasilkan berbagai
substansi biologik aktif yang diakhiri dengan lisisnya membran sel antigen. Aktivasi
sistem komplemen tersebut selain bermanfaat bagi pertahanan tubuh, sebaliknya juga
dapat membahayakan bahkan mengakibatkan kematian, hingga efeknya disebut
seperti pisau bermata dua. Bila aktivasi komplemen akibat endapan kompleks
antigen-antibodi pada jaringan berlangsung terus-menerus, akan terjadi kerusakan
jaringan dan dapat menimbulkan penyakit.
Di akhir abad ke 19, serum darah telah diketahui mengandung suatu faktor
atau cara yang dapat digunakan untuk membunuh bakteri. Pada tahun 1896, Jules
Bordet, ilmuwan muda Belgia dari Pasteur Institute, Paris, mendemonstrasikan bahwa
prinsip ini bisa dianalisis menggunakan dua komponen: komponen panas-tetap dan
komponen panas-labil. Panas-labil menunjukkan bahwa komponen akan kehilangan
kemampuannya jika serum dipanaskan. Komponen panas-tetap ada untuk
memberikan kekebalan melawan mikroorganisme spesifik, sedangkan komponen
panas-labil bertanggung jawab terhadap aktivitas mikrobial non-spesifik yang
dimiliki serum. Komponen panas-labil ini adalah yang disebut komplemen.
Istilah komplemen diperkenalkan oleh Paul Ehrlich di akhir tahun 1980an,
sebagai bagian dari teorinya mengenai sistem kekebalan. Menurut teorinya, sistem
kekebalan terdiri dari berbagai sel yang memiliki reseptor spesifik pada
permukaannya untuk mengenali antigen. Pasca imunisasi dengan antigen, lebih
banyak reseptor terbentuk, lalu reseptor itu mengalir dari sel ke aliran sirkulasi darah.
Reseptor ini, yang saat ini kita kenal dengan nama antibodi, disebut oleh Ehrlich
sebagai amboceptor untuk menekankan fungsi ganda reseptor dalam melakukan

pengikatan. Reseptor tesebut mampu mengenali dan mengikat antigen spesifik,


namun mereka juga mampu mengenali dan mengikat komponen antimikrobial panaslabil dari serum. Ehrlich lalu menamakan komponen panas-labil ini komplemen
karena ini adalah sesuatu dalam darah yang menjadi komplemen sel pada sistem
kekebalan.
Ehrlich percaya bahwa setiap amboceptor antigen spesifik memiliki
komplemen yang spesifik, di mana Bordet percaya bahwa sebenarnya hanya ada satu
tipe komplemen. Di awal abad ke 20, kontroversi ini terselesaikan ketika ditemukan
bahwa komplemen bisa beraksi berpasangan dengan antibodi spesifik atau secara
sendirian secara non-spesifik.
Komplemen

Unsur pokok sistem komplemen diwujudkan oleh sekumpulan komponen


protein yang terdapat di dalam serum. Protein-protein ini dapat dibagi menjadi
protein fungsional yang menggambarkan elemen dari berbagai jalur, dan
protein pengatur yang menunjukkan fungsi pengendalian.

Komplemen sebagian besar disintesis di dalam hepar oleh sel hepatosit, dan
juga oleh sel fagosit mononuklear yang berada dalam sirkulasi darah.
Komplemen C l juga dapat di sintesis oleh sel epitel lain diluar hepar.
Komplemen yang dihasilkan oleh sel fagosit mononuklear terutama akan
disintesis ditempat dan waktu terjadinya aktivasi.

Sebagian dari komponen protein komplemen diberi nama dengan huruf C:


Clq, Clr, CIs, C2, C3, C4, C5, C6, C7, C8 dan C9 berurutan sesuai dengan
urutan penemuan unit tersebut, bukan menurut cara kerjanya

Komponen C3 mempunyai fungsi sangat penting pada aktivasi komplemen,


baik melalui jalur klasik maupun jalur alternatif. Konsentrasi C3 jauh lebih
besar dibandingkan dengan fraksi lainnya, hal ini menempatkan C3 pada
kedudukan yang penting dalam pengukuran kadar komplemen di dalam
serum. Penurunan kadar C3 di dalam serum dapat dianggap menggambarkan
keadaan konsentrasi komplemen yang menurun. Juga penurunan kadar C3
saja dapat dipakai sebagai gambaran adanya aktivasi pada sistem komplemen.

Fungsi Komplemen
1. Mencerna sel, bakteri, dan virus

2. Opsonisasi, yaitu memicu fagositosis antigen partikulat


3. Mengikat reseptor komplemen spesifik pada sel pada sistem kekebalan,
memicu fungsi sel spesifik, inflamasi, dan beberapa molekul imunoregulator
4. Pembersihan imun, yaitu memindahkan sisa-sisa bahan imunitas dari sistem
kekebalan dan menimbunnya di limpa dan hati
Protein dan glikoprotein yang merupakan penyusun dari sistem komplemen
disintesis di hepatosit hati. Namun, sejumlah besar sistem penyusun sistem
komplemen juga diproduksi di jaringan makrofaga, monosit dalam darah, dan sel
epitel dari saluran kelamin dan pencernaan.
Sistem komplemen memiliki kemungkinan untuk memberi kerusakan parah
kepada jaringan milik sendiri, yang berarti bahwa aktivasi sistem komplemen harus
dilakukan dengan tepat. Sistem komplemen diatur oleh protein kontrol komplemen,
yang terdapat di dalam plasma darah dalam konsentrasi yang lebih besar dari pada
protein komplemen itu sendiri. Beberapa protein kontrol komplemen berada di
membran sel untuk mencegah penyerangan oleh sistem komplemen.
Dipercaya bahwa sistem komplemen memiliki peran dalam mengakibtkan
berbagai penyakit seperti sindrom Barraquer-Simmons, lupus erythematosus,
glomerulonephritis, berbagai arthritis, penyakit jantung autoimun, multiple sklerosis,
penyakit bowel inflamatori, dan luka ischemia-reperfusion. Sistem komplemen juga
dapat berimplikasi pada penyakit sistem syaraf seperti Alzheimer dan kondisi
degeneratif syaraf lainnya.Penelitian terbaru menunjukkan bahwa virus HIV dapat
memanipulasi sistem komplemen untuk mengakibatkan kerusakan lebih lanjut.
Protein komplemen di dalam serum darah merupakan prekursor enzim yang
disebut zimogen. Zimogen pertama kali ditemukan pada saluran pencernaan, sebuah
protease yang disebut pepsinogen dan bersifat proteolitik. Pepsinogen dapat teriris
sendiri menjadi pepsin saat terstimulasi derajat keasaman pada lambung.
Protein hasil irisan zimogen berguna bagi:

peningkatan respon antibodi dan memori imunologis

proses lisis

pembersihan kompleks imun dan sel apoptotik

proses kemotaksis

Mediator peradangan seperti mastosit untuk memicu proses degranulasi antibodi IgE.
melalui lintasan yang disebut:

Lintasan klasik : C1qrs, C2, C3, C4, C1-INH, C4-BP

Lintasan MBL : MBL, MASP, MASP2

Lintasan alternatif : C3, Faktor B, Faktor D, Properdin, Faktor I, Faktor H,


Faktor DA, CR1

Lintasan litik : C5, C6, C7, C8, C9, Protein

AKTIVASI KOMPLEMEN
Sistem komplemen dapat diaktifkan melalui dua jalur, yaitu jalur klasik dan
jalur alternatif. Aktivasi tersebut melalui suatu proses enzimatik yang terjadi secara
berantai, berarti produk yang timbul pada satu reaksi akan merupakan enzim untuk
reaksi berikutnya. Caranya ialah dengan dilepaskannya sebagian atau mengubah
bangunan kompleks protein tersebut (pro enzim) yang tidak aktif menjadi bentuk
aktif (enzim). Satu molekul enzim yang aktif mampu mengakibatkan banyak molekul
komplemen berikutnya. Cara kerja semacam ini disebut the one hit theory.
Secara garis besar aktivasi komplemen baik melalui jalur klasik maupun jalur
alternatif terdiri atas tiga mekanisme, a) pengenalan dan pencetusan, b) penguatan
(amplifikasi), dan c) pengakhiran kerja berantai dan terjadinya lisis serta
penghancuran membran sel (mekanisme terakhir ini seringkali juga disebut kompleks
serangan membran) .
Aktivasi jalur klasik dicetuskan dengan berikatannya C1 dan kompleks
antigen-antibodi, sedangkan aktivasi jalur alternatif dimulai dengan adanya ikatan
antara C3b dengan berbagai zat aktivator seperti dinding sel bakteri. Kedua jalur
bertemu dan memacu terbentuknya jalur serangan membran yang akan mengkibatkan
lisisinya dinding sel antigen.
Aktivasi komplemen jalur klasik
Seperti telah dibutkan diatas, aktivasi komplemen melalui jalur klasik atau disebut
pula jalur intrinsik, dibagi menjadi 3 tahap.

1. Regulasi jalur klasik Regulasi jalur klasik terutama terjadi melalui 2 fase,
yaitu melalui aktivitas C1 inhibitor dan penghambatan C3 konvertase.
2. Aktivitas C1 inhibitor. Aktivitas proteolitik C1 dihambat oleh C1 inhibitor (C1
INH). Sebagian besar C1 dalam peredaran darah terikat pada C1 INH. Ikatan
antara C1 dengan kompleks antigen-antibodi akan melepaskan C1 dari
hambatan C1 INH.
3. Penghambatan C3 konvertase Pembentukan C3 konvertase dihambat oleh
beberapa regulator.
C4 binding protein (C4bp) dan reseptor komplemen tipe 1 (CR1) dapat berikatan
dengan C4b sehingga mencegah terbentuknya C4b2b (C3 konvertase). Disamping itu
kedua reseptor ini bersama dengan membrane cofaktor protein (MCP) juga dapat
meningkatkan potensi faktor I dalam merusak C4b. Decay accelerating faktor (DAF)
dapat berikatan dengan C4b sehingga mencegah terbentulmya C4b2b.
Aktivasi komplemen jalur alternatif . Aktivasi jalur alternatif atau disebut pula jalur
properdin, terjadi tanpa melalui tiga reaksi pertama yang terdapat pada jalur klasik
(C1 ,C4 dan C2) dan juga tidak memerlukan antibodi IgG dan IgM.
Pada keadaan normal ikatan tioester pada C3 diaktifkan terus menerus dalam
jumlah yang sedikit baik melalui reaksi dengan H2O2 ataupun dengan sisa enzim
proteolitik yang terdapat sedikit di dalam plasma. Komplemen C3 dipecah menjadi
frclgmen C3a dan C3b. Fragmen C3b bersama dengan ion Mg++ dan faktor B
membentuk C3bB. Fragmen C3bB diaktifkan oleh faktor D menjadi C3bBb yang
aktif (C3 konvertase). Pada keadaan normal reaksi ini berjalan terus dalam jumlah
kecil sehingga tidak terjadi aktivasi komplemen selanjutnya. Lagi pula C3b dapat
diinaktivasi oleh faktor H dan faktor I menjadi iC3b, dan selanjutnya dengan
pengaruh tripsin zat yang sudah tidak aktif ini dapat dilarutkan dalam plasma.
Tetapi bila pada suatu saat ada bahan atau zat yang dapat mengikat dan
melindurlgi C3b dan menstabilkan C3bBb sehingga jumlahnya menjadi banyak,
maka C3b yang terbentuk dari pemecahan C3 menjadi banyak pula, dan terjadilah
aktivasi komplemen selanjutnya. Bahan atau zat tersebut dapat berupa
mikroorganisme, polisakarida (endotoksin, zimosan), dan bisa ular. Aktivasi
komplemen melalui cara ini dinamakan aktivasi jalur alternatif. Antibodi yang tidak
dapat mengaktivasi jalur klasik misalnya IgG4, IgA2 dan IgE juga dapat
mengaktifkan komplemen melalui jalur alternatif.

Jalur alternatif mulai dapat diaktifkan bila molekul C3b menempel pada sel
sasaran. Dengan menempelnya C3b pada permukaan sel sasaran tersebut, maka
aktivasi jalur alternatif dimulai; enzim pada permukaan C3Bb akan lebih diaktifkan,
untuk selanjutnya akan mengaktifkan C3 dalam jumlah yang besar dan akan
menghasilkan C3a dan C3b dalam jumlah yang besar pula. Pada reaksi awal ini suatu
protein lain, properdin dapat ikut beraksi menstabilkan C3Bb; oleh karena itu
seringkali jalur ini juga disebut sebagai jalur properdin. Juga oleh proses aktivasi ini
C3b akan terlindungi dari proses penghancuran oleh faktor H dan faktor I.
Tahap akhir jalur alternatif adalah aktivasi yang terjadi setelah lingkaran
aktivasi C3. C3b yang dihasilkan dalam jumlah besar akan berikatan pada permukaan
membran sel. Komplemen C5 akan berikatan dengan C3b yang berada pada
permukaan membran sel dan selanjutnya oleh fragmen C3bBb yang aktif akan
dipecah menjadi C5a dan C5b. Reaksi selanjutnya seperti yang terjadi pada jalur
altematif (kompleks serangan membran).

FUNGSI BIOLOGIK PROTEIN KOMPLEMEN


Fungsi sistem komplemen pada pertahanan tubuh dapat dibagi dalam dua
golongan besar, 1) lisis sel sasaran oleh kompleks serangan membran, dan 2) sifat
biologik aktif fragmen yang terbentuk selama aktivasi.
1.

Sitolisis Pada aktivasi sitolisis ini (kompleks serangan membran) yang berfungsi

adalah C5-C9. Mekanisme ini sangat penting bagi pertahanan tubuh melawan
mikrooorganisme. Proses lisis ini dapat melalui jalur alternatif maupun jalur klasik.
2.

Sifat biologik aktif

Opsonisasi dan peningkatan fungsi fagositosis


Fagositosis yang diperkuat oleh proses opsonisasi C3b dan iC3b mungkin
merupakan mekanisme pertahanan utama terhadap infeksi bakteri dan jamur secara
sistemik Fagositosis ini juga lebih meningkat bilamana bakteri disamping berikatan
dengan komplemen juga berikatan dengan antibodi IgG atau IgM. Melekatnya
antibodi dan fragmen komplemen pada reseptor spesifik yang terdapat pada sel
fagosit tidak hanya menyebabkan opsonisasi, tetapi juga memacu untuk terjadinya
fagositosis.
Anafilaksis dan kemotaksis

C3a, C4a dan C5a disebut anafilatoksin oleh karena dapat memacu sel mast
dan sel basofil untuk melepaskan mediator kimia yang dapat meningkatkan
permeabilitas dan kontraksi otot polos vaskular. Reseptor C3a dan C4a terdapat pada
permukaan sel mast, sel basofil, otot polos dan limfosit. Reseptor C5a terdapat pada
permukaan sel mast, basofil, netrofil, monosit, makrofag, dan sel endotelium.
Melekatnya anafilatoksin pada reseptor yang terdapat pada otot polos
menyebabkan kontraksi otot polos tersebut. Untuk mekanisme ini C5a adalah yang
paling poten dan C4a adalah yang paling lemah.
C5a juga mempunyai sifat yang tidak dimiliki oleh C3a dan C4a; oleh karena
C5a juga mempunyai reseptor yang spesifik pada permukaan sel-sel fagosit maka C5a
dapat menarik sel-sel fagosit tersebut bergerak ke tempat mikroorganisme, benda
asing atau jaringan yang rusak; proses ini disebut kemotaksis. Juga setelah melekat
C5a dapat merangsang metabolisme oksidatif dari sel fagosit tersebut sehingga dapat
meningkatkan daya untuk memusnahkan mikroorganisme atau benda asing tersebut

Proses peradangan
Kombinasi dari semua fungsi yang tersebut diatas mengakibatkan
terkumpulnya sel-sel dan serum protein yang diperlukan untuk terjadinya proses
dalam rangka memusnahkan mikroorganisme atau benda asing tersebut; proses ini
disebut peradangan.
Pelarutan dan eliminasi kompleks imun
Kompleks imun dalam jumlah kecil selalu terbentuk dalam sirkulasi, dan
dapat meningkat secara dramatis bilamana terdapat peningkatan antigen. Kompleks
imun ini bilamana berlebihan dapat membahayakan oleh karena dapat mengendap
pada dinding pembuluh darah, mengaktivasi komplemen dan menimbulkan kerusakan
jaringan. Pembentukan kompleks imun bilamana berlebihan, tidak hanya
membutuhkan Fab dari imunoglobulin tetapi juga interaksi dengan Fc. Oleh karena
itu pengikatan komplemen pada Fc immunoglobulin suatu kompleks imun dapat
membuat ikatan antigen-antibodi yang sudah terbentuk menjadi lemah.
Untuk menetralkan terbentuknya kompleks imun yang berlebihan ini, sistem
komplemen dapat meningkatkan fungsi fagosit. Fungsi ini terutama oleh reseptor
yang terdapat pada permukaan eritrosit. Kompleks imun yang beredar mengaktifkan
komplemen dan mengaktifkan fragmen C3b yang menempel pada antigen. Kompleks
tersebut akan berikatan dengan reseptor pada permukaan eritrosit. Pada waktu

sirkulasi eritrosit melewati hati dan limpa, maka sel fagosit dalam limpa dan hati (sel
Kupffer) dapat membersihkan kompleks imun yang terdapat pada permukaan sel
eritrosit tersebut.
REGULASI
Aktivasi komplemen dikontrol melalui tiga mekanisme utama, yaitu 1)
komponen komplemen yang sudah diaktifkan biasanya ada dalam bentuk yang tidak
stabil sehingga bila tidak berikatan dengan komplemen berikutnya akan rusak, 2)
adanya beberapa inhibitor yang spesifik misalnya C1 esterase inhibitor, faktor I dan
faktor H, 3) pada permukaan membran sel terdapat protein yang dapat merusak
fragmen komplemen yang melekat.
Regulasi jalur klasik Regulasi jalur klasik terutama terjadi melalui 2 fase, yaitu
melalui aktivitas C1 inhibitor dan penghambatan C3 konvertase.
1. Aktivitas C1 inhibitor Aktivitas proteolitik C1 dihambat oleh C1 inhibitor (C1
INH). Sebagian besar C1 dalam peredaran darah terikat pada C1 INH. Ikatan
antara C1 dengan kompleks antigen-antibodi akan melepaskan C1 dari
hambatan C1 INH.
2. Penghambatan C3 konvertase Pembentukan C3 konvertase dihambat oleh
beberapa regulator.
C4 binding protein (C4bp) dan reseptor komplemen tipe 1 (CR1) dapat berikatan
dengan C4b sehingga mencegah terbentuknya C4b2b (C3 konvertase). Disamping itu
kedua reseptor ini bersama dengan membrane cofaktor protein (MCP) juga dapat
meningkatkan potensi faktor I dalam merusak C4b. Decay accelerating faktor (DAF)
dapat berikatan dengan C4b sehingga mencegah terbentulmya C4b2b.
Regulasi jalur alternatif
Jalur altematif juga di regulasi pada berbagai fase oleh beberapa protein dalam
sirkulasi maupun yang terdapat pada permukaan membran. Faktor H berkompetisi
dengan faktor B dan Bb untuk berikatan dengan C3b. Juga CR1 dan DAF dapat
berikatan dengan C3b sehingga berkompetisi dengan faktor B. Dengan adanya
hambatan ini maka pembentukan C3 konvertase juga dapat dihambat. Faktor I,
menghambat pembentukan C3bBb; dalam fungsinya ini faktor I dibantu oleh kofaktor
H, CR1 dan MCP. Faktor I memecah C3b dan yang tertinggal melekat pada
permukaan sel adalah inaktif C3b (iC3b), yang tidak dapat membentuk C3
konvertase, selanjutnya iC3b dipecah menjadi C3dg dan terakhir menjadi C3d.

Penyakit Dalam Sistem Komplemen


Penyakit pada manusia yang berkaitan dengan sistem komplemen dapat terjadi
oleh karena dua keadaan. Pertama adalah adanya defisiensi dari salah satu protein
komplemen atau protein regulator. Kedua, suatu sistem komplemen yang normal
diaktifkan oleh stimulus yang tidak normal seperti mikroorganisme yang persisten
atau suatu reaksi autoimun.

Defisiensi protein regulator Pada beberapa keadaan dapat terjadi defisiensi


protein regulator, baik yang larut maupun yang berikatan pada membran sel.
Edema angioneurotik herediter (HANE) adalah suatu keadaan yang
disebabkan oleh defisiensi C l INH. Manifestasi klinis kelainan ini adalah
edema pada muka, ekstremitas, mukosa laring, dan saluran cerna yang akan
menghilang setelah 24 sampai 72 jam. Pada serangan berat disamping
gangguan saluran cerna juga dapat terjadi obstruksi saluran nafas. Mediator
yang berperan dalam kelainan ini adalah C3a, C4a, dan C5a yang bersifat
sebagai anafiltoksin. Di samping itu oleh karena fungsi C l INH juga
merupakan regulator kalikrein dan faktor XII, maka kemungkinan aktivasi
faktor ini juga memegang peran. Defisiensi regulator jalur alternatif yang larut
(faktor H dan I) sangat jarang terjadi. Akibat defisiensi ini C3 akan diaktifkan
terus menerus. Pasien dengan antibodi ini sering menderita glomerulonefritis
yang mungkin disebabkan oleh kurang adekwatnya pembersihan kompleks
imun dari sirkulasi dan mengendap pada membran glomerulus ginjal.

Defisiensi genetik Defisiensi genetik fragmen jalur klasik dan alternatif


meliputi C1q, C1r, C1s, C4, C2, C3, properdin, dan faktor D. Defisiensi
fragmen awal dari jalur klasik biasanya berhubungan dengan penyakit
autoimun seperti glomerulonefritis dan lupus eritematosus sistemik (LES).
Yang terbanyak dijumpai pada manusia adalah defisiensi C2. Lebih dari
seperdua dari pasien dengan defisiensi C2 dan C4 menderita LES. Pasien
dengan defisiensi C2 dan C4 tidak menunjukkan kenaikan frekuensi terkena
infeksi. Defisiensi C3 biasanya berhubungan dengan sering terjadinya infeksi
bakteri piogen yang fatal. Hal ini mungkin menunjukkan pentingnya peran C3
pada opsonisasi, peningkatan fagositosis, dan penghancuran mikroorganisme.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa kemungkinan fungsi utama dari jalur
klasik adalah untuk eliminasi kompleks imun dan jalur altematif untuk
eliminasi bakteri.

Defisiensi komplemen Defisiensi dalam sistem komplemen dapat terjadi pada


jalur klasik, altematif, kompleks serangan membran, atau pada protein

regulator. Defisiensi ini dapat terjadi sejak lahir, atau didapat setelah lahir oleh
karena terdapatnya mutasi gen.

Defisiensi fragmen kompleks serangan membran Defisiensi fragmen


kompleks serangan membran yang mencakup C5, C6, C7, C8 dan C9
menyebabkan tidak terdapatnya kemampuan untuk melisis organisme asing.
Tetapi kenyataan yang menarik pada pasien dengan defisiensi kompleks
serangan membran, hanya mendapat infeksi sistemik yang berat dengan
bakteri neiseria intraselular termasuk N. meningitidis dali N. gonorrhoeae.
Tetapi oleh karena jumlah sampel pasiennya hanya sedikit, belum dapat
disimpulkan bahwa kompleks serangan membran terutarna penting untuk
pertahanan terhadap organisme tersebut.

Anda mungkin juga menyukai