Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dan dalam membicarakan sejarah Ilmu, dewasa ini umat islam berhadapan
dengan satu tantangan, yaitu ilmu yang ada pada abad sekarang ini berpangkal
dari yunani. Didalam perkembangan selanjutnya, mereka menganggap bahwa
ilmu berasal dari yunani hingga mencapai abad modern, mereka mengakui juga
merupakan pengaruh dari hasil perjuangan Nabi Muhammad S.A.W, tetapi
kalimat yang mereka pakai adalah "jasa orang arab". Yaitu kalimat "Ilmu berasal
dari
"yunani",
diambil
alih
dan
dipraktekkan
oleh
Romawi
yang
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Awal Ilmu
Secara etimologi, ilmu berasal dari akar kata ain-lam-mim yang diambil
dari perkataan alamah, yaitu tanda, petunjuk, atau indikasi yang dengan sesuatu
atau seseorang dikenal. Selain kata ilmu, ada kata lain yang sering disamaartikan
dengan ilmu, yaitu sains. Pada kenyataannya, keduanya seringkali dibedakan
karena sejatinya keduanya memang berbeda. Dalam menjelaskan definisi sains,
dalam Kamus Websters New World Dictionary, sebagai pengetahuan yang
sistematis yang berasal dari observasi, kajian, dan percobaan yang dilakukan
untuk menentukan sifat dasar atau dari sesuatu yang dikaji. Definisi ini dari hari
ke hari semakin mengalami pembatasan yang semakin sempit.
Konsep ilmu menurut para ilmuwan Islam. Di antaranya adalah Ibnu
Khaldun. Beliau memilah ilmu atas dua macam, yaitu ilmu:
1. Naqliyah (ilmu yang berdasarkan pada otoritas atau ada yang menyebutnya
ilmu-ilmu tradisional) seperti ilmu-ilmu al-Quran, hadis, tafsir, ilmu kalam,
tawsawuf, dantabir al-ru`yah.
2. Aqliyah (ilmu yang berdasarkan akal atau dalil rasional). Seperti filsafat
(metafisika), matematika, dan fisika, dengan macam-macam pembagiannya.
Selain Ibnu Khaldun, sebelumnya al-Ghazali juga membagi ilmu pada dua
jebis, ilm syariyyahdan ilm ghair syariyyah. Yang pertama digolongkan
sebagai ilmu fardhu ai untuk menuntutnya, sedangkan yang kedua sebagai
ilmu fardhu kifayah. Sekalipun al-Ghazali membedakan antara keduanya dalam
hal penuntutannya, beliau menggunakan konsep integral dalam memandang ilmu
secara keseluruhan. Setidaknya ini bisa dilihat dari penggolongan kedua ilmu
tersebut dengan fardhu untuk menuntutnya.
Dalam Risalah-nya, al-Attas mengklasifikasikan ilmu berdasarkan hakikat
yang inheren dalam keragaman ilmu manusia dan cara-cara yang mereka tempuh
untuk memperoleh dan menganggap kategorisasi ini sebagai bentuk keadilan
dalam menempatkan ilmu pengetahuan sebagai obyek dan manusia sebagai
subyek. Dalam klasifikasinya tersebut, al-Attas membagi ilmu dalam dua bagian,
yaitu ilmu iluminasi (marifah) dan ilmu sains, dalam bahasa Melayu yang
3
pertama disebut dengan ilmu pengenalan dan yang kedua disebut dengan ilmu
pengetahuan. Dalam konteks ini, ilmu pengetahuan jenis pertama dikategorikan
sebagai ilmu fardhu ain yang bisa dan harus dipelajari oleh setiap umat Islam.
Sedangkan ilmu pengetahuan dalam kategori kedua berkaitan dengan fisik dan
obyek-obyek yang berhubungan dengannya, yang bisa dicapai melalui
penggunaan daya intelektual dan jasmaniah. Ia bersifat fardhu kifayah dalam
perolehannya. Hubungan antara kedua kategori ilmu pengetahuan ini sangat jelas.
Yang pertama menyingkap rahasia Being dan eksistensi, menerangkan dengan
sebenar-benarnya hubungan antara diri manusia dan Tuhan, serta menjelaskan
maksud dari mengetahui sesuatu dan tujuan kehidupan yang sebenarnya.
Konsekuensinya, kategori ilmu pengetahuan yang pertama harus menjadi
pembimbing kategori ilmu yang kedua.
Dari pembagian ini, bisa kita simpulkan bahwa ilmu dalam Islam tidak
hanya meliputi ilmu-ilmuaqidah dan syariah saja. Selain kedua ilmu tersebut,
kita masih berkewajiban untuk menuntut ilmu lainnya. Bisa dikatakan bahwa
dengan
akan
mempelajari
tanda
Allah
dariayat
qauliyyah, yang bisa disebut dengan dzikir, sedangkan dengan ilmu ghair
syraiyyah, kita akan mempelajari ayat kauniyyah Allah yang terbentang pada
jagat raya ini, yang disebut dengantafakkur. Dalam hal ini, kita bisa telaah bahwa
dua aktifitas ini merupakan implementasi dari ayat al-Quran surat Ali Imran ayat
190-191, dengan natijah (buah) penerimaan amal oleh Allah bagi para pelakunya.
Muhammad Iqbal pernah menyatakan bahwa alam tak lain adalah medan
kreativitas Allah. Karena bagi siapapun yang teliti mengadakan kajian terhadap
alam, sebenarnya mereka telah melakukan penelitian terhadap cara Allah bekerja.
Dengan demikian sebuah penelitian ilmiah, sangat mungkin untuk menambah
iman para pelakunya, bukan malah sebaliknya seperti sering terjadi di Baratyang malah menyingkirkan Tuhan dari arena penelitian mereka. Maka di sinilah
letak integralisasi ilmu antara ilmu fisik empiric dengan metafiska- ilmu dalam
Islam.
dan
internal.
Panca
indera
eksternal
terdiri
dari
al-musytarak), indera
yang
benar (khabr
shadiq) berdasarkan otoritas yang terbagi menjadi dua, yaitu otoritas mutlak, yaitu
otoritas ketuhanan, yaitu al-Quran, dan otoritas kenabian. Dan otoritas nisbi, yaitu
kesepakatan alim ulama dan kabar dari orang-orang yang terpercaya secara
umum. Intelek, yang terdiri dari dua bagian, yaitu akal sehat (sound
reason/ratio), dan ilham (intuition). Sebagai penjelasan bahwa Islam tidak pernah
mengecilkan peranan indera, yang dasarnya merupakan saluran yang sangat
penting dalam pencapaian ilmu pengetahuan mengenai realitas empiris. Dalam hal
6
metode
ketiga
adalah
intuisi
atau
yang
disebut
dengan irfani atau dzauqi. Ciri khas dari metode ini adalah sifatnya yang
langsung
tidak
melalui
perantara
sehingga
sering
disebut
dipengaruhi oleh
menganggap bahwa intuisi sebagai pengalaman yang unik, lebih tinggi daripada
persepsi dan pikiran, yang menghasilkan ilmu pengetahuan tertinggi. Menurut alAttas, meskipun pengalaman intuitif ini tidak bisa dikomunikasikan, tetapi
pemahaman mengenai kendungannya atau ilmu pengetahuan yang dihasilkannya
bisa ditransformasikan. Intuisi ini terdiri dari berbagai tingkat, yang terendah
adalah yang dialami oleh para ilmuwan dan sarjana dalam penemuan-penemuan
mereka dan yang tertinggi dialami oleh para nabi. Menurut Iabal, dari intuisi
mengenai sesuatu yang ada di luar dirinya, akhrinya bisa mengalami intuisi
yang
bersumber
pada
yang
satu.
Keduanya
menyingkap
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada dasarnyaa antara ketiga hal; sains, filsafat dan agama dalam suatu
kesatuan, yaitu ilmu pengetahuan. Pertentangan antar ketiganya mulai muncul
berawal pada abad pertengahan, yaitu seiring dengan munculnya gerakan
modernisasi yang terjadi di dunia Barat pada abad 16. Namun yang perlu
digarisbawahi adalah, semua pandangan ini merupakan hasil dari sebuah
pandangan hidup (worldview) sains. Dari sinilah Islamisasi Sains Modern yang
digalakkan oleh para ilmuwan Muslim. Proses ini kemudian berjalan dalam dua
proses, yaitu pembebasan sains dari makna, tafsiran, ideologi, dan prinsip-prinsip
materialisme sekuler (ateis), yang dibarengi dengan penanaman nilai-nilai dan
prinsip ketuhanan yang sesuai dengan ajaran Islam.
3.2 Saran
Berkenaan dengan memahami kesatuan ilmu dalam islam. Khususnya
pendidik harus mampu :
a.
b.
11
DAFTAR PUSTAKA
http://indonesia.faithfreedom.org/forum/sejarah-ilmu-sains-menurutalquran-t41424/
http://msubhanzamzami.wordpress.com/2010/11/11/sejarah-perkembanganilmu-pengetahuan/
http://imtaq.com/definisi-pendidikan-islam/
Hafi Anshari, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional,
1983)
Op.Cit, Mahmud Yunus, At-Tarbiyyah wa Talim
Yusuf Al-Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna, terj.
Prof. H. Bustami A. Gani dan Drs.Zainal Abidin Ahmad (Jakarta: Bulan Bintang,
1980) h.157
Hasan
Langgulung, Beberapa
pemikiran
tentang
pendidikan
12