Anda di halaman 1dari 29

PORTOFOLIO

APPENDISITIS AKUT

Penulis:
Annisa Rahmi Insani, dr

Pendamping:
dr. Alvin Noor Hidayat

RUMAH SAKIT UMUM CICALENGKA


2015

KETERANGAN UMUM
Nama

:Rafli

Jenis kelamin

: laki-laki

Usia

: 15 tahun

Alamat

: dusun seke 02/07 cikahuripan.

Pekerjaan

: pelajar

Agama

: islam

Suku

: sunda

Tanggal pemeriksaan : 04 Februari 2015


ANAMNESA
Keluhan utama :
Pasien mengeluh nyeri perut kanan bawah
Anamnesa tambahan :
RPS:
Pasien mengeluh terdapat nyeri perut kanan sejak 3 hari yang lalu. Nyeri terasa hilang
timbul. Nyeri bermula dari ulu hati dan menyebar ke pinggang kanan. Nyeri perut lebih terasa
ketika pasien berubah posisi dan bergerak. Rasa nyeri semakin bertambah tiap harinya.
Pasien mengeluhkan adanya demam. Keluhan disertai adanya mual, muntah dan penurunan
nafsu makan. Buang Air Kecil (BAK) dan Buang Air Besar (BAB) normal. Pasien
menyangkal terdapat benjolan di selangkangan yang hilang timbul, dan pasien belum pernah
mengeluhkan hal yang sama. Pasien belum berobat untuk keluhannya kali ini.
RPD:
- Pasien menyangkal memiliki jatuh
- Pasien belum pernah dioperasi sebelumnya
Pemeriksaan fisik :
Keadaan umum: CM
a. Status generalis :
Pasien tampak sadar
Tampak kesakitan, lemas
Vital sign : tekanan darah = 120/80 mmHg
: nadi = 88 x / menit
: pernafasan = 20 x / menit
: suhu = 37,6o C
Kepala
: konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik

Leher
: tidak ada pembesaran KGB.
Thorax
: Pergerakan dada dan bentuk dada simetris
- Paru
: sonor, VSB normal kanan=kiri, wheezing -/-, ronchi -/- Jantung : Bunyi jantung S1 dan S2 murni, regular, murmur (-)
Abdomen : Status Lokalis
Nyeri di daerah kanan bawah.
- a/r right lower quadrant (RLQ)
- Inspeksi
Perut datar
Tidak tampak kemerahan/luka/bekas operasi
- Auskultasi: BU (+)
- Perkusi: pekak pindah (-), pekak samping (-)
- Palpasi
NT (+) dan NL (+) di McBurney
NTE (+)
DM (-)
Rovsings sign (+); psoas sign (+); obturator sign (+)

Ekstremitas :
acral hangat, edema -/-, CRT <2
Colok dubur :
- Sphincter ani
kuat
- Ampula collaps (-)
- Mukosa licin
- Massa (-)
- Nyeri tekan jam 9 & jam 11
- Feses (+)
ALVARADO SCALE

Symptoms
Sign
Laboratory

Manifestation
Value
Migration of pain
1
Anorexia
1
Nausea/vomit
1
RLQ tenderness
2
Rebound
1
Elevated temperature
1
Leucocytosis
2
Left shift
1
Total point 10

Pasien dengan score:


9-10 : Pasien didiagnosis appendicitis, dianjurkan untuk operasi

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium:
Darah

Hb
: 14,3 mg/dl
Leukosit : 15.200 mm3
Hct
: 37%
PLT : 352.000
GDS: : 112
Ureum 27
Kreatinin 1,1

Urin
Makroskopis:

Warna kuning jernih


Berat Jenis > 1,030
pH 5,5
nitrit urin (-)
protein (-)
glukosa (-)
keton urin (-)
Urobilinogen 3,2
Bilirubin (-)

Mikroskopis

Erirosit 1-2
Leukosit 6-8
Sel epitel (-)
Bakteri (+)
Kristal (-)
Silinder (-)

Diagnosa: Apependicitis akut


DD :
-

Appendicitis kronis eksaserbasi akut


limfadenitis iliocaecal
Batu ureter

Usulan pemeriksaan :
-

Rotgen thorax dan abdomen 3 posisi


USG

Penatalaksanaan :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Konsul bedah untuk dilakukan appendectomy


Pct 3x500mg (po)
Infus RL 20 tpm
Ranitidin 2x1 (iv)
Ketorolac 2x1 (iv)
Ceftriaxone 2x1 (iv)
Konsul anestesi

Prognosis :
Quo at vitam : at bonam
Quo at functionam : at bonam

Anatomi Appendix

Appendix vermivormis berupa pipa buntu yang berbentuk seperti cacing berukuran 6-10
cm timbul dari posteriomedial aspect bagaian inferior caecum terhadap ileocecal junction.
Letak Appendix vermiformis bervariasi, tetapi biasanya terletak retrosekal. Letak pangkal
Appendix lebih ke dalam dari titik batas antara 1/3 lateral dan 2/3 medial garis miring antara
spina iliaca anterior superior dan annulus umbilicalis (titik mc burney). Appendix memiliki
meso-appendix yang menggantung pada mesenterium bagian akhir ileum. Meso-appendix
melekat terhadap caecum dan bagian proksimal dari appendix vermiformis.
Vaskularisasi :

Arteri : Abdominal aorta bercabang superior mesenteric arteri bercabang menjadi


ileocolic arteri bercabang menjadi appendicularis arteri

Vena

: Caecum dan appendix menuju ileocolica vena menuju ke superior mesenteric

vena
Persarafan caecum dan appendix vermiformis:

Simpatis

Parasimpatis : berasal dari kedua nervus vagus.

: Berasal dari medulla spinalis torakal bagian kaudal

Limfe:
Pembuluh limfe dari caecum dan appendix menuju ke kelenjar limfe dalam mesoappendix dan ke nodus limphoidei ileocolici yang teratur sepanjang ileocolica arteri.
Pembuluh Limfe afferent di tamping oleh nodus limphoidei mesenterica superior

HISTOLOGI APPENDIX
a. Mukosa:
i.

Epithelium: simple columnar, shorter microvilli, abundant goblet cells

ii.

Lamina propia: many lymphoid nodules

iii.

Muscularis mucosae: Discontinous

b. Submukosa: lumphoid nodules


c. Muskularis externa: very thin
d. Serosa

FISIOLOGI APPENDIX
Dulu appendix tidak diketahui dengan pasti fungsinya, tapi sekarang:

Ikut berperan penting dalam sekresi immunoglobulin, terutama IgA.

Merupakan komponenn GALT (gut aasociated lymphoid tissue) system

Lymphoid tissue ini pertama kali terlihat pada appendix pada minggu ke 2 setelah
lahir

Jumlah lymphoid tissue meningkat hingga menuju pubertas

Jumlahnya lymphoid tissue menetap untuk satu dekade kemudian dan menurun
jumlahnya sejalan bertambahnya usia.

Pada usia 60 tahun, tidak ada lymphoid tissue yang tersisa dalam appendix.

Kapasitas lumen appendix adalah sekitar 0,1 ml

Pada orang dewasa: letaknya inchi di sebelah anterior spinous process dari ilium.

Dasar dari appendix menetap pada ujung caecum, sedangkan ujungnya terletak
menggantung, sehingga dapat ditemukan di retroceccal, pelvis, subcaecal, preileal,
atau pericoli dextra.

Ketiga taenia col bersatu pada petemuan caecum, denagn appendiks dan menjadi
tanda untuk menentukan letak appendix.

Panjang appendix sangat bervariasi

Mulai dari kurang cm-30cm

Pada umumnya berkisar 6-9/pada literatur lain 6-10.

APPENDICITIS
Definisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks. Apendiks disebut juga umbai cacing.
Kita sering salah kaprah dengan mengartikan apendisitis dengan istilah usus buntu, karena
usus buntu sebenarnya adalah sekum. Organ apendiks pada awalnya dianggap sebagai organ
tambahan yang tidak mempunyai fungsi tetapi saat ini diketahui bahwa fungsi apendiks
adalah sebagai organ imunologik dan secara aktif berperan dalam sekresi immunoglobulin
(suatu kekebalan tubuh). Organ ini cukup sering menimbulkan masalah kesehatan dan
peradangan akut apendiks yang memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah
komplikasi yang umumya berbahaya.

Klasifikasi
Appendicitis terbagi menjadi 2, yaitu:
1. acute appendicitis
2. chronic appendicitis

ACUTE APPENDICITIS
Epidemiologi
Apendisitis paling sering ditemukan pada usia 20 sampai 40 tahun. Penyakit ini jarang
ditemukan pada usia yang sangat muda atau orang tua, dikarenakan bentuk anatomis
apendiks yang berbeda pada usia tersebut.
Sekitar 7 % orang-orang di negara Barat mengalami apendisitis pada suatu waktu
ketika mereka hidup dan sekitar 250.000 apendiktomi pada akut apendisitis dilakukan untuk
tiap-tiap tahun di Amerika. Insidensinya telah menurun secara stabil selama kurun waktu 25
tahun terakhir, hal ini diduga disebabkan oleh meningkatnya pegunaan makanan berserat
dalam menu sehari-hari. Namun insidensi di negara-negara berkembang yang pada kurun
waktu sebelumnya sangat sedikit angka insidensinya tapi sekarang sudah mulai naik sejalan
dengan pertumbuhan ekonomi dan perubahan gaya hidup manusianya (Santacroce, 2005).
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun
jarang dilaporkan. Insidensi meningkat pada anak-anak 6-10 tahun dan mencapai puncak
tertinggi pada kelompok umur 20 tahun, setelah itu menurun. Insidensi pada laki-laki dan

perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidens lelaki lebih tinggi
(De Jong, 2004).
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat
dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikan tekanan
inta sekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya
apensitis akut. Pada bayi apendik berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit
kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis pada
usia itu. Pada 65 % kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan
apendiks bergerak dan ruang geraknya

bergantung pada panjang mesoapendiks

penggantungnya.
Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di
belakang kolon asendens, atau di tepi lateral kolon asendens, gejala klinis apendisitis
ditentukan oleh letak apendiks
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri
mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari
nervus thorakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendistis bermula di sekitar
umbilikus.
Pendarahan apendiks berasal dari arteri apendikularis yang merupakan arteri tanpa
kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, apendiks akan
mengalami gangren.
Secara histologis, apendiks mempunyai basis stuktur yang sama seperti usus besar.
Glandula mukosanya terpisahkan dari vascular submucosa oleh mucosa maskularis. Bagian
luar dari submukosa adalah dinding otot yang utama. Apendiks terbungkus oleh tunika serosa
yang terdiri atas vaskularisasi pembuluh darah besar dan bergabung menjadi satu di
mesoapendiks. Jika apendik terletak retroperitoneal, maka apendik tidak terbungkus oleh
tunika serosa.
Mukosa apendik terdiri atas sel-sel dari gastrointestinal endokrin system. Sekresi dari
mukosa ini adalah serotonin dan terkenal dengan nama sel argentaffin. Tumor ganas paling
sering muncul pada apendik dan tumbuh dari sel ini.

Etiologi
Terjadinya apendisitis akut umumnya disebabkan oleh adanya obstruksi yang terjadi
pada lumen apendiks. Pada anak-anak & dewasa muda, obstruksi pada lumen apendiks ini
biasanya disebabkan lymphoid hyperplasia dari submucosal follicle, yang jumlahnya sangat
banyak. Sedangkan pada orang dewasa, penyebab obstruksi lumen ialah karena adanya
timbunan tinja yang keras
(fekalit). Penyebab lainnya dari obstruksi lumen ini adalah penyakit cacing, parasit,
benda asing dalam tubuh, cancer primer dan striktur. Namun yang paling sering
menyebabkan obstruksi lumen apendiks adalah fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid.
Fekalit terbentuk dari feses (tinja) yang terperangkap di dalam saluran apendiks. Selain
fekalit, yang dapat menyebabkan terjadinya sumbatan adalah cacing atau benda asing yang
tertelan. Beberapa penelitian menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat
terhadap timbulnya apendisitis. Kebiasaan makan makanan rendah serat dapat mengakibatkan
kesulitan dalam buang air besar, sehingga akan meningkatkan tekanan di dalam rongga usus
yang pada akhirnya akan menyebabkan sumbatan pada saluran apendiks.
Etiologi appendicitis:
1. Diet & higiene
kebiasaan makan makanan rendah serat
2. Obstruksi

fekalit (dewasa)
hiperplasia limfoid (anak-anak & dewasa muda)
penyakit cacing
parasit
kanker
benda asing dalam tubuh

Patofisiologi
a. Peranan Lingkungan: diet dan higiene
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat
dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan
intrasekal yang berakibat sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan
flora normal kolon.
Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis. Diet memainkan peran utama
pada pembentukan sifat feses, yang mana penting pada pembentukan fekalit. Kejadian
apendisitis jarang di negara yang sedang berkembang, dimana diet dengan tinggi serat dan
konsistensi feses lebih lembek. Kolitis, divertikulitis dan karsinoma kolon adalah penyakit
yang sering terjadi di daerah dengan diet rendah serat dan menghasilkan feses dengan
konsistensi keras.
b. Peranan Obstruksi
Terdapat lima stage apendisitis akut yang disebabkan oleh adanya obstruksi lumen.

Early stage of appendicitis:


Obstruksi lumen merupakan faktor penyebab dominan dalam apendisitis akut. Fekalit

merupakan penyebab terjadinya obstruksi lumen apendiks pada 20% anak-anak dengan
apendisitis, terjadinya fekalit berhubungan dengan diet rendah serat. Frekuensi obstruksi
meningkat sesuai dengan derajat proses inflamasi. Fekalit ditemukan 40% pada kasus
apendisitis sederhana (simpel), sedangkan pada apendisitis akut dengan gangren tanpa ruptur
terdapat 65% dan apendisitis akut dengan gangren disertai ruptur terdapat 90%.
Apendistis di mulai dari obstruksi lumen oleh sumbatan feses atau fekalit. Feses yang
terperangkap dalam lumen apendiks akan menyebabkan obstruksi dan akan mengalami
penyerapan air dan terbentuklah fekolit yang akhirnya sebagai kausa sumbatan.
Selain fekalit, penyebab obstruksi lumen lainnya ialah hiperplasia limfoid. Jaringan
limfoid yang terdapat di submukosa apendiks akan mengalami edema dan hipertrofi sebagai
respon terhadap infeksi virus di sistem gastrointestinal atau sistem respiratorius, yang akan
menyebabkan obstruksi lumen apendiks. Megakolon kongenital terjadi obstruksi pada kolon
bagian distal yang diteruskan ke dalam lumen apendiks dan hal ini merupakan salah satu
alasan terjadinya apendisitis pada neonatus.
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa
apendiks karena parasit seperti Entamoeba hystolityca dan benda asing mungkin tersangkut
di apendiks untuk jangka waktu yang lama tanpa menimbulkan gejala, namun cukup untuk

menimbulkan risiko terjadinya perforasi.


Apendiks menghasilkan mukus 1-2 ml perhari. Mukus itu normalnya dicurahkan ke
dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Obstruksi yang terjadi tersebut
menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus
makin banyak, ia terkumpul selama adanya obstruksi lumen apendiks yang menyebabkan
distensi lumen akut sehingga akan terjadi kenaikkan tekanan intraluminer dan sebagai
akibatnya terjadi obstruksi arterial serta iskemia.
Tekanan tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema,
diapedesis bakteri (perpindahan bakteri dari lumen usus masuk ke dalam submukosa), dan
ulserasi mukosa sampai kerusakan seluruh lapisan dinding apendiks. Pada saat ini terjadi
apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.

Suppurative appendicitis:
Dengan adanya bakteri dalam submukosa maka tubuh akan bereaksi berupa peradangan

supurativa yang menghasilkan pus (disebut juga acute suppurative appendicitis). Peradangan
ini secara cepat meluas melalui submukosa menembus tunika muskularis dan tunika serosa.
Ketika lapisan serosa yang terinflamasi menyentuh peritoneum parietal, maka pasien akan
merasakan nyeri yang berpindah dari periumbilicus ke abdomen kuadran kanan bawah, yang
nyerinya semakin parah dibandingkan dengan nyeri pada awalnya.

Gangrenous appendicitis:
Keluarnya pus dari dinding yang masuk ke dalam lumen apendiks akan mengakibatkan

tekanan intraluminer akan semakin meningkat, sehingga desakan pada dinding apendiks akan
bertambah besar menyebabkan gangguan pada sistem vasa dinding apendiks. Mula-mula
akan terjadi penekanan pada vasa limfatika, kemudian vena dan terakhir adalah arteri.
Akibatnya akan terjadi edema dan iskemia dari apendiks, infark seterusnya melanjut menjadi
gangren. Pada akhirnya, end arteri yang menyuplai apendiks akan terjadi trombosis dan
apendiks yang tersumbat itu dapat menjadi nekrosis atau gangrenosa.

Perforated appendicitis:
Keadaan ini akan terus berlanjut dimana dinding apendiks akan mengalami perforasi,

sehingga pus akan tercurah kedalam rongga peritoneum dengan akibat terjadinya peradangan
pada peritoneum parietal. Hasil akhir dari proses peradangan tersebut sangat tergantung dari
kemampuan organ dan omentum untuk mengatasi infeksi tersebut, jika infeksi tersebut tidak
bisa diatasi akan terjadi peritonitis umum. Pada anak-anak omentum belum berkembang

dengan sempurna, sehingga kurang efektif untuk mengatasi infeksi, hal ini akan
mengakibatkan apendiks cepat mengalami komplikasi.
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding
apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang
memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena
telah ada gangguan pembuluh darah.

Phlegmonous appendicitis or abscess:


Patologi apendisitis dapat mulai di mukosa dan kemudian melibatkan seluruh lapisan

dinding apendik dalam waktu 24-48 jam pertama. Usaha pertahanan tubuh adalah membatasi
proses radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga
terbentuk massa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat apendiks.
Jika perforasi terbungkus oleh omentum atau perlengketan usus halus maka dapat muncul
abses lokal (disebut juga phlegmonous appendicitis or focal abscess). Jika tidak tertutup
maka akan terjadi peritonitis yang menyebar keseluruh cavum peritoneum.
Apendik yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk
jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini
dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini
dapat meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai mengalami eksaserbasi akut.
Morfologi PA
Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas (gold standard) untuk diagnosis
apendisitis akut. Gambaran histopatologi berdasarkan stage:
1. Early acute appendicitis

Terdapat neutrohil di mukosa, submukosa, dan muscularis propria pada


apendiks

Terdapat perivascular neutrophilic infiltrate

Terjadi reaksi inflmasi yang mengubah lapisan serosa yang tadinya normal
menjadi dull, granular, dan red membrane

2. Acute suppurative appendicitis

Ketika proses inflamasi semakin memburuk, terdapat pembentukan abses


dengan ulserasi dan nekrosis supuratif dalam mukosa

3. Acute gangrenous appendicitis

Area ulserasi mukosa menjadi besar

Terdapat green-black gangrenous necrosis di dinding appendiks yang


memanjang sampai lapisan serosa diikuti ruptur dan suppurative peritonitis.

Manifestasi Klinis
1. Nyeri abdomen
Gejala utama terjadinya apendisitis adalah adanya nyeri perut. Nyeri perut yang klasik
pada apendisitis adalah nyeri yang dimulai dari ulu hati, lalu setelah 4-6 jam akan
dirasakan berpindah ke daerah perut kanan bawah (sesuai lokasi apendiks). Namun pada
beberapa keadaan tertentu (bentuk apendiks yang lainnya), nyeri dapat dirasakan di
daerah lain (sesuai posisi apendiks). Ujung apendiks yang panjang dapat berada pada
daerah perut kiri bawah, punggung, atau di bawah pusar.
2. Mual, muntah, anoreksia
Anoreksia (penurunan nafsu makan) biasanya selalu menyertai apendisitis. Mual dan
muntah dapat terjadi, tetapi gejala ini tidak menonjol atau berlangsung cukup lama,
kebanyakan pasien hanya muntah satu atau dua kali.
3. Demam ringan dan terasa sangat lelah
Demam juga dapat timbul, tetapi biasanya kenaikan suhu tubuh yang terjadi tidak lebih
dari 1oC (37,8 38,8oC). Jika terjadi peningkatan suhu yang melebihi 38,8 oC. Maka
kemungkinan besar sudah terjadi peradangan yang lebih luas di daerah perut (peritonitis).
4. Diare atau konstipasi (pada pasien ini tidak mengalami gangguan bowel habit)
Peradangan pada apendiks dapat merangsang peningkatan peristaltik dari usus sehingga
dapat menyebabkan diare. Infeksi dari bakteri akan dianggap sebagai benda asing oleh
mukosa usus sehingga secara otomatis usus akan berusaha mengeluarkan bakteri tersebut
melalui peningkatan peristaltik. Selain itu, apendisitis dapat juga terjadi karena adanya
feses yang keras ( fekolit ). Pada keadaan ini justru dapat terjadi konstipasi.
5. Frekuensi kencing meningkat (pada pasien ini tidak mengalami gangguan mikturasi)
Rasa sakit semakin meningkat, sehingga pada saat berjalan pun penderita akan
merasakan sakit yang mengakibatkan badan akan mengambil sikap membungkuk pada

saat berjalan. Nyeri yang dirasakan tergantung juga pada letak apendiks, apakah di
rongga panggul atau menempel di kandung kemih sehingga frekuensi kencing menjadi
meningkat.
Apendiks yang mengalami gangren atau perforasi lebih sering terjadi dengan gejala-gejala
sebagai berikut:
a. Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36 jam
b. Demam tinggi lebih dari 38,50C
c. Lekositosis (AL lebih dari 14.000)
d. Dehidrasi dan asidosis
e. Distensi
f. Menghilangnya bising usus
g. Nyeri tekan kuadran kanan bawah
h. Rebound tenderness sign
i. Rovsing sign
j. Nyeri tekan seluruh lapangan abdominal

Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas
maupaun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan sehingga berupa
massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus sering disebut
sebagai massa periapendikuler atau infiltrat.
Apendisitis adalah penyakit yang jarang mereda dengan spontan, tetapi peyakit ini
tidak dapat diramalkan dan mempunyai kecenderungan menjadi progresif dan mengalami
perforasi. Karena perforasi jarang terjadi dalam 8 jam pertama, observasi aman untuk
dilakukan dalam masa tersebut.
Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut kuadran
kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi, ileus, demam,
malaise, leukositosis semakin jelas. Bila perforasi dengan peritonitis umum atau
pembentukan abses telah terjadi sejak klien pertam akali datang, diagnosis dapat ditegakkan
dengan pasti.
Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah operasi untuk

menutup asal perforasi. Sedangkan tindakan lain sebagai penunjang : tirah baring dalam
posisi fowler medium, pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian
penenang, pemberian antibiotik berspektrum luas dilanjutkan dengan pemberian antibiotik
yang sesuai dengan kultur, transfusi utnuk mengatasi anemia, dan penanganan syok septik
secara intensif, bila ada.
Bila terbentuk abses apendiks akan teraba massa di kuadran kanan bawah yang
cenderung menggelembung ke arah rektum atau vagina. Terapi dini dapat diberikan
kombinasi antibiotik (misalnya ampisilin, gentamisin, metronidazol, atau klindamisin).
Dengan sediaan ini abses akan segera menghilang, dan apendiktomi dapat dilakaukan 6-12
minggu kemudian. Pada abses yang tetap progresif harus segera dilakuakn drainase. Abses
daerah pelvis yang menonjol ke arah rektum atau vagina dengan fruktuasi positif juga perlu
dibuatkan drainase.
Tromboflebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi tetapi merupakan komplikasi
yang letal. Hal ini harus dicurigai bila ditemukan demam sepsis, menggigil, hepatomegali,
dan ikterus setelah terjadi perforasi apendiks. Pada keadaan ini diindikasikan pemberian
antibiotik kombinasi dengan drainase. Komplikasi lain yang terjadi ialah abses subfrenikus
dan fokal sepsis intraabdominal lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat
perlengketan. Sedangkan menurut mualai terjadinya komplikasi, komplikasi apendistis dapat
dibagi menjadi tiga yaitu komplikasi segera, intermediate, komplikasi lanjut. Komplikasi
segera diantaranya adalah perdarahan, trombosis, peritonitis, perlengketan, dilatsi lambung
akut. Komplikasi intermediate salah satu contohnya adalah abses di daerah pelvinal,
prerectal, perimetritis, subfrenik, dapat pula terjadi pyelopielitis, hemofilia, tromboflebitis
femoralis, emboli pulmo, fistel luka operasi. Untuk komplikasi lanjut yang dapat terjadi
adalah hernia incisional, perlengketan usus atau streng ileus.

Komplikasi appendicitis:
1. Sepsis, severe sepsis, & septic shock
2. Gangrenous appendicitis
3. Perforated appendicitis
4. Perriappendicular phlegmon (mass)
5. Periappendicular abcess
6. Local or diffuse appendicitis
7. Intraabdominal abcess

Pemeriksaan & Diagnosis


1. Anamnesis
a. Nyeri abdomen
Gejala utama apendisitis akut adalah nyeri abdomen. Nyeri abdomen
ditimbulkan oleh karena adanya kontraksi apendiks, distensi dari lumen
apendiks ataupun karena tarikan dinding apendiks yang mengalami
peradangan.
Pada mulanya terjadi nyeri visceral, yaitu nyeri yang sifatnya hilang timbul
seperti kolik yang dirasakan di daerah umbilikus dengan sifat nyeri ringan
sampai berat. Hal tersebut timbul oleh karena apendiks dan usus halus
mempunyai persarafan yang sama, maka nyeri visceral itu akan dirasakan
mula-mula di daerah epigastrium dan periumbilikal.
Secara klasik, nyeri di daerah epigastrium akan terjadi beberapa jam (4-6 jam)
seterusnya lalu menjalar ke Mc.Burney dan akan menetap di kuadran kanan
bawah dan pada keadaan tersebut sudah terjadi nyeri somatik yang berarti
sudah terjadi rangsangan pada peritoneum parietale dengan sifat nyeri yang
lebih tajam, terlokalisir serta nyeri akan lebih hebat bila batuk ataupun
berjalan kaki.
b. Mual, muntah, dan anoreksia
Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam sesudahnya,
merupakan kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat permulaan. Keadaan
anoreksia hampir selalu ada pada setiap penderita apendisitis akut, bila hal ini
tidak ada maka diagnosis apendisitis akut perlu dipertanyakan. Hampir 75%
penderita disertai dengan vomitus, namun jarang berlanjut menjadi berat dan
kebanyakan vomitus hanya sekali atau dua kali. Gejala disuria juga timbul
apabila peradangan apendiks dekat dengan vesika urinaria
c. Panas
Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,5 038,50 C tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.

2. Pemeriksaan fisik
b. Inspeksi
Pasien berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit. Pada
apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada
inspeksi biasa ditemukan distensi perut.
c. Palpasi
Palpasi dengan permukaan dalam (volar) dari ujung-ujung jari tangan, dengan
tekanan yang ringan dapat ditentukan adanya nyeri tekan, ketegangan otot atau
adanya tumor yang superfisial. Pada penderita apendisitis akut di dapat hasil:

Nyeri tekan / tenderness (+)


Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan bawah atau
titik Mc Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis

Nyeri lepas / rebound tenderness (+)


Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah rasa nyeri yang hebat
(dapat dengan melihat mimik wajah) di abdomen kanan bawah saat
tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan
penekanan yang perlahan dan dalam di titik Mc Burney.

Rovsing sign (+)


Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah, apabila
kita melakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini
diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi
peritoneal pada sisi yang berlawanan.

Psoas sign (+)


Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh
peradangan yang terjadi pada apendiks. Ada 2 cara memeriksa :

Obturator sign (+)


Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut
difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam dan luar secara pasif,
hal tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah
hipogastrium

d. Perkusi

Periksa apakah bunyinya timpani atau dullness

e. Auskultasi

Bowel sound menurun. Jika tidak ada bowel sound maka kemungkinan
pasien sudah mengalami peritonitis.

DIAGNOSIS APPENDICITIS
Skor Alvarado adalah sistem skoring sederhana yang bisa dilakukan dengan mudah,
cepat dan kurang invasif. Alfredo Alvarado tahun 1986 membuat sistem skor yang didasarkan
pada tiga gejala , tiga tanda dan dua temuan laboratorium. Klasifikasi ini berdasarkan pada
temuan pra operasi dan untuk menilai derajat keparahan apendisitis. Dalam sistem skor
Alvarado ini menggunakan faktor risiko meliputi migrasi nyeri, anoreksia, nausea dan atau
vomitus, nyeri tekan di abdomen kuadran kanan bawah, nyeri lepas tekan , temperatur lebih
dari 37,20C, lekositosis dan netrofil lebih dari 75%. Nyeri tekan kuadran kanan bawah dan
lekositosis mempunyai nilai 2 dan keenam sisanya masing-masing mempunyai nilai 1,
sehingga kedelapan faktor ini memberikan jumlah skor 10.

ALVARADO SCALE PADA PENEGAKAN DIAGNOSIS APPENDICITIS


Manifestation
Value
Migration of pain
1
Anorexia
1
Nausea/vomit
1
RLQ tenderness
2
Rebound
1
Elevated temperature
1
Leucocytosis
2
Left shift
1
Total point 10

Symptoms
Sign
Laboratory

Pasien dengan score:


9-10

: Pasien didiagnosis appendicitis, dianjurkan untuk operasi

7-8

: Pasien kecenderungan tinggi untuk terdiagnosis appendicitis, perlu imaging

5-6

: Pasien memungkinkan, tetapi bukan terdiagnosis appendicitis, perlu CT scan

0-4

: Pasien tidak didiagnosis appendicitis

Selain itu, ada juga yang menyebutkan klasifikasi lain:


<4

: apendisitis kronik

4-7

: ragu-ragu

>7

: apendisitis akut

Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Pada pasien dengan apendisitis akut, 70-90% hasil laboratorium nilai leukosit
dan neutrofil akan meningkat, pada penderita apendisitis akut ditemukan jumlah
lekosit antara 12.000-20.000/mm3 dan bila terjadi perforasi atau peritonitis jumlah
lekosit antara 20.000-30.000/mm3
2. Radioloic examination
Foto x-ray abdomen dapat mendeteksi adanya fecalith (kotoran yang mengeras
dan terkalsifikasi, berukuran sebesar kacang polong yang menyumbat pembukaan
appendik) pada abdomen sebelah kanan bawah yang sesuai dengan lokasi apendiks,
gambaran ini ditemukan pada 20% kasus.

Kalau peradangan lebih luas dan membentuk infiltrat maka usus pada bagian kanan
bawah akan kolaps. Dinding usus edematosa, keadaan seperti ini akan tampak pada
daerah kanan bawah abdomen kosong dari udara. Gambaran udara seakan-akan
terdorong ke pihak lain. Proses peradangan pada fossa iliaka kanan akan
menyebabkan kontraksi otot sehingga timbul skoliosis ke kanan. Gambaran ini
tampak pada penderita apendisitis akut.

Pemeriksaan radiologi dengan kontras barium enema hanya digunakan pada


kasus-kasus menahun. Pemeriksaan radiologi dengan barium enema dapat
menentukan penyakit lain yang menyertai apendisitis.
Barium enema adalah suatu pemeriksaan x-ray dimana barium cair
dimasukkan ke kolon dari anus untuk memenuhi kolon. Tes ini dapat seketika
menggambarkan keadaan kolon di sekitar appendik dimana peradangan yang terjadi
juga didapatkan pada kolon. Impresi ireguler pada basis sekum karena edema
(infiltrasi sehubungan dengan gagalnya barium memasuki appendik (20% tak terisi).
Terisinya sebagian dengan distorsi bentuk kalibernya tanda appendisitis akut,terutama
bila ada impresi sekum. Sebaliknya lumen appendik yang paten menyingkirkan
diagnosa appendisitis akut. Bila barium mengisi ujung appendik yang bundar dan ada
kompresi dari luar yang besar dibasis sekum yang berhubungan dengan tak terisinya
appendik tanda abses appendiks. Barium enema juga dapat menyingkirkan masalah-

masalah intestinal lainnya yang menyerupai appendiks, misalnya penyakit Chrons,


inverted appendicel stump, intususepsi, neoplasma benigna/maligna.
3. Ultrasonography
Ultrasound adalah suatu prosedur yang tidak menyakitkan yang menggunakan
gelombang suara untuk mengidentifikasi organ-organ dalam tubuh. Ultrasound dapat
mengidentifikasi appendik yang membesar atau abses. Walaupun begitu, appendik
hanya dapat dilihat pada 50% pasien selama terjadinya appendisitis. Oleh karena itu,
dengan tidak terlihatnya apendiks selama ultrasound tidak menyingkirkan adanya
appendisitis.
Pemeriksaan dengan Ultrasonografi (USG) pada apendisitis akut, ditemukan
adanya fekalit, udara intralumen, diameter apendiks lebih dari 6 mm, penebalan
dinding apendiks lebih dari 2 mm dan pengumpulan cairan perisekal. Apabila
apendiks mengalami ruptur atau perforasi maka akan sulit untuk dinilai, hanya apabila
cukup udara maka abses apendiks dapat diidentifikasi.
Keadaan awal apendisitis akut ditandai dengan perbedaan densitas pada
lapisan apendiks, lumen yang utuh, dan diameter 9 11 mm. Keadaan apendiks
supurasi atau gangrene ditandai dengan distensi lumen oleh cairan, penebalan dinding
apendiks dengan atau tanpa apendikolit. Keadaan apendiks perforasi ditandai dengan
tebal dinding apendiks yang asimetris, cairan bebas intraperitonial, dan abses tunggal
atau multipel.
4. CT Scan
Pada keadaan normal apendiks, jarang tervisualisasi dengan pemeriksaan
skening ini. Gambaran penebalan diding apendiks dengan jaringan lunak sekitar yang
melekat, mendukung keadaan apendiks yang meradang. CT-Scan mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90 100% dan 96 97%, serta akurasi
94 100%. CT-Scan sangat baik untuk mendeteksi apendiks dengan abses atau
flegmn.

Diagnosis Banding
Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis
banding.

Gastroenteritis akut adalah kelainan yang sering dikacaukan dengan apendisitis. Pada
kelainan ini muntah dan diare lebih sering. Demam dan lekosit akan meningkat jelas dan
tidak sesuai dengan nyeri perut yang timbul. Lokasi nyeri tidak jelas dan berpindah-pindah.
Hiperperistaltik merupakan gejala yang khas. Gastroenteritis biasanya berlangsung akut,
suatu observasi berkala akan dapat menegakkan diagnosis.
Adenitis mesenterikum juga dapat menunjukkan gejala dan tanda yang identik dengan
apendisitis. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak-anak, biasanya didahului infeksi
saluran nafas. Lokasi nyeri diperut kanan tidak konstan dan menetap, jarang terjadi true
muscle guarding (De Jong, 2004).
Divertikulitis meckeli juga menunjukkan gejala yang hampir sama. Lokasi nyeri
mungkin lebih ke medial, tetapi ini bukan kriteria diagnosis yang dapat dipercaya. Karena
kedua kelainan ini membutuhkan tindakan operasi, maka perbedaannya bukanlah hal penting.
Enteritis regional, amubiasis, ileitis akut, perforasi ulkus duodeni, kolik ureter, pada
perempuan adalah (PID / pelvic inflamantory disease) salpingitis akut, kehamilan ektopik
terganggu, dan kista ovarium terpuntir juga sering dikacaukan dengan apendisitis.
Peneumonia lobus kanan bawah kadang-kadang juga behubungan dengan nyeri di kuadran
kanan bawah (Santacroce, 2005)

CHRONIC APPENDICITIS
Sangat jarang referensi yang menjelaskan tentang apendisitis kronik, karena
insidensinya lebih rendah daripada apendisitis akut. Apendisitis akut merupakan tipe
apendisitis yang paling umum dan banyak ditemukan. Perkembangannya lebih cepat &
keluhannya pun lebih nyata. Sedangkan keluhan pada apendisitis kronik kadang tidak terlihat.
Progresivitas & intensitas penyakitnya lebih lambat dari apendisitis akut.
Penderita apendisitis kronik dapat ditemukan pada semua jenis usia namun lebih
banyak pada usia 10-30 tahun.
Gejala & keluhan yang menyertai apendisitis ialah letih, nyeri abdomen yang ringan,
dan demam yang tinggi. Pasien akan sulit berjalan dan ketika abdomennya diperiksa terdapat
nyeri di area appendix (titik Mc.Burney). Rasa tidak nyaman pada abdomen berhubungan
dengan masalah gastrointestinal seperti diare atau konstipasi. Pada apendisitis kronik juga
terdapat obstruksi pada apendiks (namun obstruksi parsial) juga infeksi bakteri yang ringan.
Jika apendisitis ini tidak ditangani maka dikhawatirkan perforasi atau ruptur apendiks
yang merusak beberapa bagian dari struktur intestine.
Untuk menegakkan diagnosis apendisitis kronik ialah :
1. Pasien dengan nyeri abdomen di kuadran kanan bawah sekurangnya selama 3
minggu tanpa adanya diagnosis alternatif
2. Setelah appendectomy, keluhan pasien tidak berkurang
3. Pada pemeriksaan histopatologi terdapat inflamasi kronik atau fibrosis di dinding
apendiks
Medikasi Appendicitis
Terapi antibiotik diberikan kepada pasien pada tahap pre-operatif dan dihentikan
apabila pada tahap post-operatif tidak ditemukan tanda-tanda perforasi dari appendicitis.
Selain itu antibiotik yang diberikan harus memiliki kemampuan melawan organisme seperti
E.coli, Bacteroides, Klebsiella, Enterococcus, dan Pseudomonas sp.
Kombinasi yang sering digunakan : Ampicillin, clindamycin (atau metronidazole),
gentamycin
Regimen lain : Cefoxitin, cefotetan, tazobactam, clavulanate, imipenem

Ampicillin
o Golongan -lactam, efektif terhadap bakteri gram + dan gram

o Inhibisi sintesis dinding sel


o 1-2 gr secara intravena/intramuscular

Gentamycin
o Golongan aminoglikosida, efektif terhadap bakteri gram -, bekerja sinergis
bersama golongan -lactam
o Inhibisi sintesis protein dengan mengikat subunit 30s dan 50s
o 1-1.5 mg/kgBB/dosis secara intravena/intramuskular

Clindamycin
o Golongan lincosamide, efektif terhadap bakteri gram + dan anaerobic
o Inhibisi pertumbuhan bakteri dengan cara blokade dissosiasi tRNA dari
ribosom, sehingga sistesis protein RNA-dependent berhenti
o Dosis 600-1.200 mg/hari secara intravena/intramuskular

Cefoxitin, cefotetan
o Golongan cephalopsorin generasi ke-2, efektif terhadap bakteri gram + dan
gram
o Inhibisi sintesis dinding sel
o Dosis 1-2 gr secara intravena

Clavulanate potassium
o Golongan penicillin, efektif terhadap bakteri gram + dan gram o Inhibisi biosintesis dinding sel mukopeptida
o Dosis 3 gr intravena, tidak melebihi 18-24 gr/hari

Imipenem

o Digunakan untuk keadaan multiple infection dan keadaan dimana antibiotik


spektrum luas akan menimbulkan gejala toksisitas pada pasien
o Dosis 250mg-500mg

REFERENSI
1.

Friedman, Mc Quiad, Grendell. Diagnosis and Treatment in

2.
3.

Gastroenterology second edition. Lange McGraw-Hill. 2003


Moore, K.L. Clinical Oriented Anatomy, 4th edition. 1999.
Junquieira LC., Carneiro J., O Kelley R. Basic Histology, 9 th

edition. Appleton & Lange, 1998.


4.
Schwartz, principle of surgery 8th ed.
5.
Harrison, internal medicine 16th ed.
6.
Robbins and Cottran Pathologic Basis of Disease, 7th edition.

Anda mungkin juga menyukai