Sejak pengalamanku dgn Mbak Wulan aku telah melakukan kegiatan seks dgn beberapa
wanita lain. Berkat bimbingan Mbak Wulan aku jadi lumayan ahli dlm hal seks untuk
anak seumurku (20 thn-an) pada waktu itu. Aku pun jadi percaya diri dlm berhubungan
dgn wanita.
Setelah berhubungan seks dgn bbrp wanita aku jadi menarik kesimpulan bahwa ada dua
jenis manusia dlm urusan syahwat ini. Yg pertama adalah yg menurut istilahku sendiri
aku sebut "pelahap seks" dan yg kedua adalah "penikmat seks".
Pelahap seks dan penikmat seks sebetulnya adalah sangat mirip, keduanya sama sangat
menyukai seks. Bedanya, pelahap seks biasanya melakukan kegiatan seks hanya untuk
memenuhi birahinya saja. Ibarat orang makan itu tujuan utamanya adalah mencari
kenyang, kurang mementingkan rasa dari apa yg dia makan. Jangan salah, pelahap seks
tidak harus orang yg hyper-sex, nafsu birahi dia bisa biasa saja.
Sebaliknya, seorang penikmat seks melakukan kegiatan seks dgn tujuan utama menikmati
seks itu sendiri. Ibarat orang makan itu dia lebih mementingkan cita rasa makanannya.
Kadang sekalipun dia tidak makan kenyang tapi bisa menikmati apa yg dia makan. Agak
susah memang menerangkan hal ini, tapi itu lah yg aku simpulkan.
Mbak Wulan (dan aku) adalah para penikmat seks. Kami sangat menikmati apa yg kami
lakukan tanpa harus berbuat berlebihan.
Berbeda dgn para wanita lain yg pernah berhubungan seks dgnku, mereka semua masuk
kategori pelahap seks. Memang selama melakukan kegiatan seks dgn mereka aku selalu
"kenyang" tapi hampir tidak bisa menikmatinya secara lahir bathin. Semuanya berlalu
tanpa kesan. Aku sampai agak pesimis apakah aku akan menjumpai seorang wanita
penikmat seks seperti Mbak Wulan. Sampai satu saat aku bercinta dgn Yuni.
Maaf kepada para pembaca kalau pendahuluanku terlampau panjang dan berlarut. Semata aku hanya ingin memberikan gambaran bathin apa yg aku rasakan sehingga para
pembaca bisa lebih memahami apa yg aku rasakan dalam cerita pengalaman nyataku
berikut ini.
Hubunganku dgn Yuni sebetulnya cukup dekat. Kami adalah teman kuliah satu angkatan
dan satu jurusan. Jadi hampir setiap hari kami bertemu. Kami sering mengerjakan tugas
bersama. Saling menceritakan kehidupan pribadi kami bukan hal yg asing antara aku dan
Yuni. Kami sudah menjadi sahabat yg cukup akrab. Aku juga tahu bahwa Yuni sudah
punya pacar sejak SMA dan mereka sudah merencanakan untuk menikah setelah Yuni
lulus nanti. Saat itu kami masih di semester 6.
Secara fisik Yuni cukup menarik. Wajahnya berbentuk oval dan manis. Tidak terlalu
cantik tapi jelas tidak bisa dikatakan jelek. Tingginya sekitar 160 cm, beratnya seimbang.
Rambutnya dipotong pendek dgn poni di dahinya. Kulitnya cukup putih untuk ukuran
orang Indonesia. Pokoknya tidak memalukan lah kalau kita ajak jalan dia di tempat
umum. Sayang ada satu kekurangannya, Yuni kurang bisa bersolek, kesannya malah agak
tomboy. Ke-mana dia hampir selalu pakai celana jeans dgn kemeja agak longgar.
Padahal perilakunya sangat feminin, jadi agak kontras dan kurang cocok.
Sore itu aku sedang mengerjakan tugas di perpustakaan kampus. Yuni juga kebetulan ada
disana, tapi dia di meja lain dgn beberapa teman. Aku asyik mengerjakan tugasku sendiri
sehingga aku tidak memperhatikannya. Tiba ada orang yg duduk di seberang meja. Aku
lihat ternyata Yuni.
"Ngerjain apa Ben? Kok asyik banget"
"Eh ... ini tugas makalah metodologi. Kamu udah selesai Yun?"
"Yuni mah udah kelar kemarin."
"Enak dong udah bisa santai, aku juga udah hampir selesai kok."
"Ben ke kantin yuk ... haus nih."
Aku bereskan kertas tugasku lalu aku kembalikan buku referensi ke raknya. Kami
berdua berjalan bareng ke kantin. Obrolan kami lanjutkan di kantin sambil minum.
"Yun, aku kok udah lama ndak liat kamu sama Mas Robby. Kemana dia?"
Mas Robby adalah pacar Yuni. Dia sudah bekerja tapi biasanya suka menjemput Yuni di
kampus. Aku tidak terlalu kenal dia cuman sebatas "say hello" saja.
Mendengar pertanyaanku tadi Yuni cuma menghela napas panjang. Wajahnya yg manis
tiba tampak muram. Dgn agak lirih dia menjawab,
"Kami sudah putus Ben."
"Oh ... sorry Yun. Kalau boleh tahu, kenapa Yun?"
Yuni kembali menghela napas panjang. Aku tahu mereka sudah pacaran cukup lama,
mungkin ada lebih dari 3 thn. Jadi aku tahu bagaimana perasaan Yuni saat itu. Pasti berat
buat dia.
Akhirnya Yuni bercerita kalau Mas Robby ternyata dekat dgn wanita lain. Ketika Yuni
minta penjelasan dari dia ternyata Mas Robby malah marah. Akhirnya dua minggu yg
lalu Yuni tidak mau lagi ketemu dgn dia. Sungguh malang nasib Yuni, padahal mereka
sudah begitu dekat dan mereka sudah melakukan hubungan layaknya suami istri. Secara
eksplisit memang Yuni tdk pernah bicara ttg hal ini kepadaku, tapi dari gelagatnya aku
yakin itu.
Pembicaraan kami sore itu jadi melankolis dan kelabu. Seperti mendung kelabu yg
menggelayut di langit. Satu hal yg aku kagumi dari Yuni, dia begitu tegar menerima
kenyataan ini. Tak ada setitik air mata pun yg mengambang di matanya saat menceritakan
perpisahannya dgn Mas Robby.
Langit sudah agak gelap pertanda datangnya senja ketika kami keluar dari kantin untuk
pulang. Aku tawarkan Yuni untuk mengantarnya pulang dan dia setuju. Dalam perjalanan
pulang, Yuni yg duduk di boncengan motorku tak berkata sepatah pun. Kami pun sampai
di rumah Yuni.
"Masuk dulu yuk Ben," ajak Yuni sambil membuka kunci pintu rumahnya.
Beberapa kali aku pernah mengantar pulang Yuni tapi aku tidak pernah mampir ke rumah
Yuni. Kali ini kebetulan aku kebelet kencing, jadi aku mau diajak masuk rumahnya.
"Aku mau numpang ke kamar mandi Yun."
"Disitu Ben," Yuni menunjuk ke salah satu pintu.
Aku segera menuntaskan urusanku di kamar mandi. Rumah Yuni sangat sederhana tapi
sangat bersih dan tertata rapi. Keluarga Yuni memang bukan golongan orang yg berada.
Senja itu suasana rumah Yuni sepi saja.
"Kok ndak ada orang Yun. Orangtuamu kemana?"
"Sudah 2 hari di rumah Mbak Dewi di Solo. Dia kan baru saja melahirkan anak pertama."
Yuni pernah cerita kalau dia hanya dua bersaudara. Kakaknya, Mbak Dewi, sudah
menikah dan tinggal di Solo. Jadi saat itu Yuni sendirian di rumah.
Aku baru saja hendak berpamitan dgn Yuni ketika tiba mendung tebal yg sedari tadi
menggantung di langit turun menjadi hujan yg cukup lebat.
"Pulang ntar aja Ben, Hujan tuh. Yuni bikinin kopi ya."
Tanpa menunggu jawabanku Yuni segera ke dapur dan aku dengar detingan cangkir
beradu dgn sendok. Aku duduk di sofa di ruang tamu yg sekaligus berfungsi sebagai
ruang keluarga itu. Tak berapa lama Yuni muncul dgn secangkir kopi yg masih mengebul
di tangannya.
"Kamu ngopi dulu Ben. Yuni mau mandi dulu bentar."
Yuni kembali ke dalam dan sejenak kemudian aku dengar deburan air di kamar mandi.
Aku duduk santai sambil menghirup kopi hangat yg dibuatkan Yuni. Di luar hujan
semakin bertambah lebat sambil sesekali terdengar bunyi guruh di kejauhan. Suasana
sudah bertambah gelap, apalagi lampu rumah belum dihidupkan.
Tiba lampu jadi hidup terang benderang menerangi ruang tamu itu. Ternyata Yuni yg
telah selesai mandi menghidupkan lampu. Aku menatap Yuni dgn pangling. Sekarang dia
mengenakan kaos ketat berwarna biru tua dipadu dgn celana pendek yg sewarna. Aku
melihat Yuni yg lain dari yg aku kenal. Kaos ketatnya memperlihatkan lekuk tubuhnya yg
nyaris sempurna yg biasanya tersembunyi di balik kemeja longgarnya. Kulit pahanya yg
putih mulus biasanya terbungkus celana jeans. Tanpa aku sadari dari mulutku terlontar
kata,
"Kamu cakep dan seksi sekali Yun."
Yuni tampak tersipu mendengar kataku. Dia sedikit tersenyum, guratan kepedihan sudah
tak tampak lagi di wajahnya.
"Ngerayu apa ngerayu nih ...," Yuni mencoba menutupi ketersipuannya dgn canda.
"Bener kok Yun ... kamu cakep banget."
Yuni duduk di sofa di ujung yg lain. Kebetulan aku duduk di ujung sofa yg dekat dgn
bagian dalam rumah, sedang Yuni di ujung satunya yg dekat pintu. Kami duduk ngobrol
sambil mataku tak hentinya mengagumi kemolekan tubuh Yuni. Yuni pun kayaknya suka
aku perhatikan seperti itu. Entah sengaja atau tidak, kakinya disilangkan sehingga
pahanya yg mulus makin tampak jelas.
Kami masih ngobrol ngalor ngidul ketika kami dikagetkan dgn bunyi guntur yg begitu
keras. Seketika itu pula suasana jadi gelap gulita. Ternyata listrik mati. Secara reflek aku
berdiri. Aku beranjak ke pintu hendak menyalakan lampu motorku yg aku parkir di teras
untuk menerangi sementara. Belum selangkah aku beranjak, aku merasakan tubrukan dgn
tubuh Yuni yg ternyata juga sudah berdiri hendak masuk ke dalam.
Tubrukan itu pelan saja sebenarnya, tapi krn terkejut Yuni jatuh tertelentang di sofa dgn
kakinya menjuntai ke lantai. Aku pun kehilangan keseimbangan dan menindih tubuh
Yuni. Untung siku kiriku masih sempat berjaga di sandaran sofa sehingga Yuni tidak
tertindih seluruh berat tubuhku.
Aku rasakan tubuh hangat Yuni menempel di tubuhku. Tanpa sadar dan semuanya terjadi
begitu tiba, aku peluk Yuni sambil kukecup keningnya dgn lembut. Yuni tidak bereaksi
menolak, dia malah melingkarkan kedua lengannya ke leherku. Aku cium lembut pipi kiri
Yuni, dia pun membalas mencium pipi kananku tak kalah lembutnya. Dalam gelap gulita
itu, secara alami dan terjadi begitu saja, bibir kami saling bertemu.
Aku cium bibir Yuni dgn sangat lembut. Tidak ada penolakan dari Yuni, dia malah
membalas mengulum bibirku. Bibir kami saling berpautan dan melepaskan kemesraan.
Aku mulai berinisiatif menjulurkan lidahku dan membelai gigi seri Yuni. Yuni pun
membuka mulutnya lebih lebar dan menjulurkan lidahnya saling beradu dgn lidahku.
Kami terus berciuman dalam gelap. Petir yg me-nyambar sudah tidak kami hiraukan
lagi. Lidah Yuni yg masih menjulur ke mulutku aku kulum dgn mesra. Sesaat ganti Yuni
yg mengulum lidahku.
Entah berapa lama kami saling menikmati ciuman mesra itu. Rasanya aku sangat ingin
kejadian itu berlangsung selamanya. Perlahan aku alihkan sasaran ciumanku. Aku mulai
menciumi bagian bawah dagu Yuni. Kemudian secara sangat perlahan ciumanku
mengarah ke lehernya yg jenjang itu. Aku tidak bisa melihat reaksi Yuni karena gelap, yg
aku rasakan hanya belaian lembut di rambutku. Belakang telinga kanan Yuni aku ciumi
dgn mesra sambil sesekali aku gigit lembut daun telinganya. Yuni sedikit meronta
kegelian.
Dia bereaksi dgn mendengus pelan di dekat telinga kananku. Hembusan nafasnya
membuat aku kegelian. Lalu aku rasakan benda lembut yg hangat menggelitik lubang
telingaku. Ternyata itu lidah Yuni. Sungguh geli rasanya tapi sangat menggairahkan. Bagi
yg belum pernah mengalaminya sendiri tentu susah menggambarkannya. Kami masih
saling menggelitik telinga dgn lidah.
Aku agak mengangkat tubuh sedikit ketika tangan Yuni aku rasakan mencari ruang untuk
membuka kancing kemejaku. Dalam posisi sulit dan gelap seperti itu Yuni berhasil
membuka dua kancing kemejaku yg paling atas. Dia agak merubah posisi sehingga
kepalanya tepat berada di bawah dadaku yg sudah terbuka sebagian. Dgn lembut Yuni
mulai menciumi dadaku. Tangannya sambil beraksi membuka semua kancing kemejaku.
Sekarang dadaku sudah terbuka lebar tanpa terhalang kemeja yg masih aku pakai. Jari
lembut Yuni mulai menggerayangi punggungku. Bibirnya masih menciumi seluruh
permukaan dadaku.
Aku agak meronta kegelian ketika kedua bibir Yuni mengulum puting kiriku. Aku belum
pernah diperlakukan seperti ini oleh wanita manapun. Biasanya aku yg melakukan ini
terhadap wanita. Sensasinya sungguh sulit di gambarkan. Birahiku mulai bangkit. Tangan
kananku mulai meremas lembut payudara kiri Yuni dari luar kaosnya. Buah dada Yuni
terasa sangat kenyal dan padat.
Yuni terus menciumi, menjilati dan mengulum kedua putingku, menghantarkan kegelian
dan rangsangan ke seluruh tubuhku. Aku masih me-remas buah dada Yuni. Waktu terus
berlalu tanpa kami sadari.
Tiba mata kami dibutakan oleh terang yg menerpa retina kami. Ternyata listrik telah
hidup kembali. Secara reflek kami melepaskan diri satu sama lain. Sambil mengerjapkan
mata aku berdiri dan melihat Yuni masih dalam posisi seperti tadi, telentang di sofa dgn
kaki menjuntai di lantai. Yuni menatapku dgn penuh kemesraan, tatapan yg belum pernah
aku lihat di mata Yuni ditujukan kepadaku. Untuk sesaat aku tak tahu harus berbuat apa.
"Di kamarku aja yuk Ben." Suara Yuni memecah kebuntuanku.
Yuni bangkit menutup pintu depan dan kami berjalan bergandengan tangan masuk kamar
Yuni. Yuni mematikan lampu utama kamarnya lalu ke meja riasnya dan menghidupkan
lampu kecil disana. Suasana jadi agak temaram dan makin syahdu.
Kali ini aku ambil inisiatif. Aku peluk Yuni dari depan, aku cium lembut bibirnya.
Tanganku memeluk punggungnya. Dengan ibu jari dan jari tengah tangan kananku aku
pegang kaitan BH Yuni dari luar kaosnya, dgn gerakan sedikit mengatup dan memelintir
lepaslah kaitan BH Yuni. Sepertinya Yuni cukup terkesan dgn "keahlianku", dia makin
mempererat pelukannya sambil mulut kami masih saling berpagut.
Dengan lembut tangan kiriku aku selipkan di balik tepi bawah kaos Yuni lalu aku raba
punggungnya. Aku belai punggung Yuni yg rata, aku nikmati kehalusan kulitnya yg
seperti sutera itu. Yuni sedikit meronta sehingga aku melepaskan pelukanku. Kesempatan
itu digunakannya untuk melepas kemejaku dgn kedua tangannya. Tak ku sia peluang itu,
aku pun menggamit tepi bawah kaos Yuni menariknya ke atas bersama dgn BH hitam yg
sudah lepas kaitannya. Sedetik kemudian kami berdua sudah bertelanjang dada.
Apa yg aku lihat di hadapanku sungguh luar biasa. Sepasang payudara yg benar indah
bentuknya. Penerangan lampu yg redup makin memepertegas silhouette dari buah dada
yg padat berisi. Putingnya yg kecil dan bulat menyembul di puncak bukit yg menantang
itu. Harus aku akui bahwa sampai saat itu payudara Yuni adalah yg terindah yg pernah
aku lihat. Ukurannya tidak terlalu besar meskipun tidak bisa dikatakan kecil. Tapi
bentuknya sungguh luar biasa. Seperti sepasang mangkuk yg ditangkupkan di dada tanpa
ada kesan melorot sedikit pun.
Rupanya Yuni sadar kalau aku sedang mengagumi payudaranya. Tanpa canggung dia
menyangga buah dada kanannya dgn telapak kirinya sambil lengannya menyangga yg
kakan. Dgn jari yg menangkup di dekatkannya kedua bukit indahnya. Tangan kanannya
terangkat diletakkan di belakang lehernya. Tubuhnya sedikit meliuk ke belakang.
Gerakan ini makin mempertegas keindahan bentuk buah dadanya. Ditambah terpaan sinar
lampu lembut dari arah samping, sungguh pemandangan yg tidak pernah aku lupakan
sampai hari ini. Tanpa sepatah kata pun terucap dari mulut Yuni, tapi aku tahu dalam hati
dia pasti berkata: "Nikmatilah pemandangan indah buah dadaku Ben."
Sebenarnya aku masih ingin terus menikmati pemandangan itu, tapi aku tahu aku harus
mulai berbuat sesuatu. Aku duduk di tepi ranjang Yuni, aku tarik Yuni mendekat sehingga
dadanya tepat ada di hadapanku. Aku ciumi buah dada Yuni secara bergantian. Kadang
aku katupkan kedua bibirku di putingnya dan aku pelintir dgn gerakan bibirku ke kiri dan
kanan. Yuni menggelinjang penuh kenikmatan. Tangannya me-remas rambut di
kepalaku. Dadanya semakin dibusungkan tanda dia menikmati apa yg aku lakukan.
Aku perhatikan ternyata Yuni bukan orang yg "ribut" kala bercinta. Mulutnya tidak
bersuara apa kecuali desahan lembut nafasnya yg semakin cepat.
"sssssshhhhh .... sssshhhhh .... ssssshhhhhh"
Kedua tanganku me-remas kedua buah dada Yuni dan mulutku masih sibuk dgn
putingnya. Liukan tubuh Yuni semakin menggila tanda rangsanganku semakin tak bisa
ditahannya. Sambil masih mengulum putingnya, tanganku menggapai kancing celana
pendeknya. Tanpa banyak kesulitan aku berhasil membuka kancing itu krn Yuni juga
membantu dgn mengecilkan perutnya sehingga tugasku semakin mudah. Perlahan aku
turunkan ritsleting celananya terus aku tarik ke bawah sampai celana pendek Yuni
terlepas dan tersangkut di kedua lututnya.
Ternyata Yuni mengenakan CD model mini berwarna hitam, semakin mempertegas warna
putih mulus paha dan perutnya. Aku raba lembut bagian depan CD nya, rasanya sudah
sangat lembab dgn lendir yg pasti sudah membanjir di kemaluannya. Aku bukan type
orang yg ter-buru. Masih dari luar CD nya, aku belai lembut bukit kecil yg
menggelembung di dalamnya. Aku tekan bagian tengahnya dgn jariku. Yuni semakin
menggelinjang tanpa mengeluarkan suara apa pun. Hanya desah nafasnya semakin keras
dan kuat.
"SSSSHHHHHH .... SSSSSSHHHHHHH .... SSHHHHHHHH ..."
Rupanya Yuni sudah tidak tahan lagi atas rangsanganku. Dengan kedua tangannya dia
renggut CD nya, lalu dia pelorotkan bersama dengan celana pendeknya. Kedua kakinya
melangkah bergantian melepaskan kain terakhir yg menutupi tubuh indahnya. Yuni sudah
berdiri bugil di hadapanku. Dalam keremangan cahaya, aku lihat bukit kemaluan Yuni yg
padat menggembung tanpa sehelai bulu pun disana! Satu lagi pemandangan nan indah yg
belum pernah aku lihat sebelumnya.
Secara naluri, tanganku segera membelai lembut kewanitaan Yuni. Kemudian jariku
mulai menggelitik sekitar lubang kemaluannya. Di sana sudah basah dgn lendir licin
tanda Yuni sudah sangat terangsang. Sekali lagi aku tak mau ter-buru. Perlahan aku
pegang mata kaki kiri Yuni dan aku bimbing untuk di naikkan ke tepi ranjang. Sekarang
Yuni dalam posisi berdiri mengangkang dgn kaki kiri terangkat di tepi ranjang. Perlahan
aku berlutut di hadapan Yuni. Dgn tangan kananku masih membelai kewanitaan Yuni, aku
mulai menciumi bagian dalam paha kanan Yuni pelan ke arah atas sampai ke
selangkangannya.
Aku ulangi lagi dari mulai sekitar lutut terus ke atas sampai pangkal pahanya. Kadang
kulit paha Yuni yg mulus itu aku gigit lembut sehingga Yuni terjingkat kaget.
"Iiiiihh .... ssssshhhhhh .... sssssshhhhhh ..."
Tanganku masih terus membelai bukit kemaluannya sambil sedikit aku tekan dgn gerakan
memutar. Yuni sudah menggelinjang tidak teratur. Kemudian aku ganti dgn pahanya yg
kiri yg terangkat di tepi tempat tidur itu. Seluruh permukaan paha Yuni bagian dalam tak
ada satu inci pun yg luput dari ciuman dan jilatanku.
"ssshhhhhh .... shhhhhh .... ssssssshhhhhhhhh ....."
Aku singkirkan tanganku dari kemaluan Yuni. Sekarang terlihat bibir bawah Yuni sudah
merekah memperlihatkan liang kenikmatannya yg berwarna merah jambu itu. Aku
dekatkan bibirku lalu aku mulai menciumi sekitar kemaluan Yuni. Baunya sungguh
harum, bau sabun mandi yg dipakainya. Lidahku mulai menjalankan tugasnya. Lendir
licin yg sudah menyelimuti sekitar liang senggama Yuni semakin mempermudah tugasku.
Lidahku mulai menjulur masuk keluar lubang kewanitaannya sambil tanganku me-remas
pantatnya. Sesekali aku ganti variasi dgn menjilat dan mengulum klitoris Yuni yg terlihat
membesar melebihi proporsinya. Desahan nafas Yuni semakin keras dan kadang berubah
menjadi erangan. Goyangan tubuh Yuni semakin tak terkendali.
"SSSSHHHHHH ... SSSSSSSSSSHHHH .... GGGGGGHHHHHHH ....
GGGGGHHHHHH ..."
Dari pengalamanku dgn berbagai wanita, aku tahu sudah saatnya melangkah ke jenjang
selanjutnya. Aku tidak mau menyiksa Yuni lebih lama. Dgn gerakan tangan aku minta
Yuni naik ke tempat tidurnya. Aku pun segera melepas celanaku. Batang kejantananku yg
memang sudah berontak sedari tadi langsung bangkit berdiri. Aku lihat Yuni sudah
telentang di tengah ranjang, kedua kakinya membuka lebar dan lututnya terangkat. Liang
kenikmatannya terlihat mengkilap dengan lendir dan air liurku.
Aku segera naik ke ranjang. Sambil posisi merangkak aku bertumpu pada tangan kiriku
dan kedua lututku. Tubuhku aku turunkan pelan sampai batang kemaluanku persis di atas
selangkangan Yuni. Dengan tangan kananku aku pegang batang penisku lalu dgn lembut
kepalanya aku gosok ke klitoris Yuni yg sudah membengkak itu. Yuni kembali mendesah
dan mengerang.
"Sssssssshhhhh ... eeeeeeegggghhhh ... sssshhhhhhhh ..."
Aku tahu Yuni sudah mendekati klimaksnya. Dari pengalamanku dalam kondisi seperti
ini, sedikit gesekan pada dinding liang senggama pasti akan memicu orgasme yg penuh
kenikmatan. Dgn sangat perlahan aku dekatkan kepala penisku ke lubang kewanitaan
Yuni dan aku turunkan tubuhku sehingga batang kejantananku mulai menerobos masuk
organ kenikmatannya. Aku benamkan seluruh senjataku ke dalam gua Yuni yg sudah
sangat basah itu. Kehangatan segera menyambut batang penisku. Perlahan aku pompa
dgn gerakan naik turun yg teratur.
Tak sampai setengah menit aku rasakan tubuh Yuni mulai menegang. Pelukan tanggannya
di punggungku semakin menguat. Aku memompa semakin cepat dan sesekali aku
miringkan tubuhku sehingga kepala penisku semakin menggesek dinding liang senggama
Yuni. Ternyata dugaanku tak keliru. Pertahanan Yuni ambrol saat itu juga, aku rasakan
cairan hangat membasahi batang kemaluanku yg masih di dalam tubuh Yuni.
"Nikmati saja Yun ... terus Yun .. jangan ditahan .. nikmati Yun ...," aku bisikan dgn mesra
di telinga Yuni.
'SSSSSsssssssssssssssshhhhhhhhhhhhhhhhh ...." Yuni menjawab dgn desahan panjang.
Batang penisku aku benamkan seluruhnya ke dalam lubang kenikmatan Yuni. Aku sudah
berhenti memompa naik turun, sebagai gantinya pantatku aku putar beberapa kali. Aku
bisa rasakan kepala penisku mengorek seluruh dinding liang kewanitaan Yuni. Mulut
Yuni terbuka tanpa mengeluarkan suara apa pun. Matanya terpejam rapat dan tubuhnya
menggigil hebat. Kami dalam kondisi demikian sampai beberapa saat.
Kemudian berangsur Yuni membuka matanya. Dari dekat dipandangnya aku, ada sedikit
senyum tersungging di bibirnya yg manis itu. Di kecupnya pipi kiriku dgn mesra, di dekat
telingaku dia berbisik,
"Ben ... sorry aku duluan ... ndak tahan aku Ben ... makasih .."
Saat itu juga aku rasakan kenikmatan bathin yg tak terperikan. Ungkapan kepuasan tulus
dari Yuni merupakan kenikmatan bagi aku. Dan kenikmatan bathin ini memicu birahiku
semakin kuat.
Aku cium mesra bibir Yuni dgn perasaan lega luar biasa.
"Kamu belum keluar ya Ben ... keluarin dong .... tapi jangan di dalam ya .."
Yuni tak perlu menjelaskan lebih lanjut, aku sangat mengerti kemana arah
pembicaraannya. Pelan aku cabut penisku yg semakin menegang dari tubuhnya. Tangan
Yuni segera menyambutnya. dibelainya batang penisku dgn lembut. Pelan mulai di
kocoknya. Aku sudah berubah posisi. Aku berlutut sambil duduk dgn ringan di atas perut
Yuni. Berat badanku aku topangkan di kedua lututku supaya tidak memberati Yuni.
Yuni terus mengocok lembut batang kejantananku. Aku makin terhanyut dalam
permainan tangan Yuni. Aku bantu sedikit dengan memajumundurkan pantatku. Entah
berapa lama kami dalam posisi ini. Klimaksku aku rasakan semakin mendekat. Nafasku
semakin memburu, rupanya Yuni juga bukan orang awam dlm permaian seks. Dia bisa
membaca tanda seorang lelaki yg mau mencapai orgasme.
Tangannya membimbing batang penis ke arah lembah di antara kedua bukit dadanya. aku
harus memajukan posisiku beberapa inci. Ketika batang penisku sudah tepat berada di
tengah kedua buah dadanya, kedua tangan Yuni mengatupkan kedua bukitnya yg indah
sehingga batang penisku terjepit. Aku tahu apa yg dikehendaki Yuni. Aku pun segera
mengayun pantatku maju mundur. Batang kejantananku ter-gesek kulit buah dada Yuni
yg padat itu. Sensasi yg aku rasakan tak bisa digambarkan dgn kata. Yuni mengimbangi
dgn remasan dan himpitan pada kedua payudaranya.
Gerakan pantatku semakin kuat. Aku tahu dlm beberapa detik ke depan aku akan
mengalami kenikmatan yg tiada taranya. Pantatku terus maju mundur. Penisku terus
meng-gesek buah dada Yuni. Mata Yuni terus memperhatikan kepala penisku yg hilang
timbul dari antara himpitan buah dadanya. Mulut Yuni terbuka dan lidahnya sudah
terjulur menanti air kenikmatanku. Akhirnya datang juga klimaksku.
"Aaaaaaaarrrrrrgggghhhh .... crotttt croooot crooot"
Air maniku menyembur kuat membasahi wajah Yuni, sebagian masuk ke dalam mulutnya
yg memang menganga lebar, sebagian menetes di lidahnya yg masih terjulur dan sisanya
meleleh di leher dan dada Yuni. Aku merasakan kenikmatan dan sensasi yg luar biasa.
Dgn perlahan aku turun dari atas perut Yuni. Aku lihat Yuni sedang menjilati bibirnya
membersihkan air maniku dgn lidahnya. Tampak beberapa kali Yuni menelan sesuatu.
Matanya terpejam penuh kepuasan. Rupanya dia sangat senang bisa membahagiakan aku.
Aku kecup kening Yuni sambil aku berbaring di sisinya.
"Yun .... aku puas sekali ... makasih ..."
Yuni hanya membalas dgn pandangan mesra dan senyuman tersungging di bibirnya.
Beberapa tetes air maniku masih menghisasi hidung dan pipi Yuni semakin menambah
kecantikannya.
Kami masuk kamar mandi bersama dalam kondisi bugil. Kami saling membersihkan diri
dgn air yg terasa sangat dingin dan sabun. Yuni dgn telaten dan lembut menggosokkan
sabun ke seluruh tubuhku. Aku pun melakukan hal yg sama terhadap Yuni. Di bawah
sinar terang lampu kamar mandi, aku semakin bisa menikmati tubuh putih mulus Yuni yg
betul indah. Putingnya yg sudah tak sekeras tadi ternyata berwarna coklat muda,
lingkaran gelap yg biasa ada di sekitar puting wanita hampir tak terlihat karena sewarna
dgn kulitnya yg putih. Mungkin inilah payudara terindah yg pernah aku jamah.
Kemaluan Yuni yg tidak ditumbuhi selembar rambut pun semakin terlihat menggairahkan
dlm cahaya terang itu. Saat menggosok bagian ini dgn sabun sengaja aku agak ber-lama.
Gairah kami kembali timbul di kamar mandi itu. Sayang hawa dan air mandi yg sangat
dingin membuat kami mengurungkan niat untuk bercinta disitu. Kami segera
membersihkan diri dan mengeringkan badan kami dgn handuk yg dibawa Yuni.
Dalam kamar Yuni kami mengenakan kembali pakaian kami. Aku dipinjami T-shirt
longgar oleh Yuni.
"Pakai ini aja Ben ... bajumu kan sudah kotor dipakai seharian."
Yuni kembali mengenakan kaos ketatnya yg tadi, kali ini dia tdk memakai BH. Bentuk
tubuhnya semakin tampak sempurna.
"Ben ... laper nih ... Yuni gorengin telur ya, kita makan bareng."
Tanpa menunggu persetujuanku Yuni sudah berkelebat keluar kamar. Aku segera
menyusul Yuni ke dapur. Yuni menggoreng telur mata sapi sambil aku rangkul dan
rambutnya aku ciumi. Kami duduk berhimpitan di satu kursi dan makan bersama dari
satu piring. Kalau ingat kejadian itu aku suka tertawa sendiri. Abisnya mirip lagu dangdut
"Sepiring Berdua". Kami saling suap, atau lebih tepatnya Yuni menyuapi aku.
Suasananya sungguh romantis. Sesekali kami saling kecup di pipi.
Selesai makan kami duduk di sofa sambil berdekapan. Kami saling ngobrol
membicarakan pengalaman indah yg baru kami alami bersama. Dlm hal seks Yuni
orangnya cukup terbuka, dia sama sekali tdk canggung membicarakan apa yg dia sukai
saat bercinta. Rupanya kami sama penikmat seks, bukan sekedar pelahap seks. Bagi
kami seks bukan sekedar palampiasan birahi tapi lebih kepada sesuatu yg untuk
dinikmati. Mungkin ada sekitar setengah jam kami ngobrol kemudian Yuni mengajak
berbaring di kamarnya.
Kami meneruskan obrolan kami sambil berbaring berdampingan. Semuanya berjalan
begitu alami dan apa adanya. Tanpa terasa kami sudah saling berpelukan dan berciuman.
Sangat lembut dan mesra jauh dari gelora gejolak birahi. Tanpa kami sadari kami berdua
telinganya. Selangkanganku aku tempelkan ketat ke pantat Yuni dan aku diamkan seperti
itu. Aku rasakan gosokan jari Yuni di klitorisnya semakin menguat dan cepat. Aku tahu
Yuni sudah hampir mencapai klimaksnya. Dgn mesra aku bisikan di telinganya.
"Terus Yun ... nikmati Yun .... ndak usah tunggu aku ... jangan di tahan Yun .. nikmati saja
.. semua ini untuk kamu Yun ..."
Yuni hanya menjawab dgn desahan
"Ssssshhh ... shhhhhh.... shhhhh ..."
Aku mulai menggerakkan pantatku maju mundur, otomatis batang kemaluanku pun
bergerak menggesek dinding liang kenikmatan Yuni. Aku tahu pertahanan Yuni sudah
hampir ambrol. Dugaanku tak keliru. Beberapa detik kemudian aku rasakan tubuh Yuni
menegang, jarinya yg menggosok klitorisnya sendiri pun sudah diam seperti patung.
Kedua kakinya mengatup keras, aku semakin membenamkan senjataku ke tubuh Yuni
dan ....
"Ben! ... Ohhhhhhhh .... shhhh .... shhhhh .. shhhhh ..."
Karet kondom yg aku gunakan menghalangi aku untuk merasakan lendir Yuni yg meleleh
dalam liang kemaluannya. Aku hanya merasakan otot Yuni semakin mencengkeram
penisku dan ada rasa hangat di kemaluanku. Yuni sudah mencapai orgasmenya.
Aku masih terus diam, hanya menciumi balakang leher Yuni sambil sesekali menjilat
telinga Yuni. Beberapa saat kemudian otot Yuni mulai melemas. Cengkeramannya di
penisku sudah tidak terasa lagi.
"Nikmat ya Yun ..... "
"He eh .... Ben .... "
Aku mulai menggerakkan pantatku lagi. Kali ini gerakanku aku atur supaya tidak terlalu
cepat. Tubuh Yuni mulai bereaksi, pantatnya digoyang memutar mengimbangi gerakanku.
Jari Yuni pun kembali memainkan klitorisnya. Entah berapa lama kami dalam posisi ini.
Semakin lama gerakan kami semakin cepat. Pertahananku juga sudah mulai goyah. Kami
semakin giat bergerak. Aku tahu Yuni juga sudah mau mendapat kenikmatannya yg
kedua. Tubuhku semakin aku rapatkan ke punggung Yuni.
"Aku sudah hampir keluar Yun ... ayo Yun ... nikmati lagi ..."
Seperti biasa Yuni hanya menjawab dgn desahan yg menggiurkan
"SSSShhhh ...... ssshhhhhh .... sssshhhhhhh ..."
Namun jawaban itu sudah cukup buatku. Aku memacu selangkanganku semakin kuat dan