Anda di halaman 1dari 55

RIBA DALAM PERSPEKTIF AGAMA DAN SEJARAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perbankan Syariah


Yang Dibimbing Oleh: Armiwinsih, SE., MM

DISUSUN OLEH:
1. ANISA FIRLANA (141.13.034)
2. ARINI MUTIA RAHMAH (141.13.035)
3. DIYANA (141.13.042)
4. NABILA SUCIANA (141.13.052)

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI MADANI BALIKPAPAN

JURUSAN AKUNTANSI
2014

KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat rahmat dan karunia-Nya, karya ilmiah ini dapat terselesaikan
dengan baik serta tepat pada waktunya. Adapun tujuan penulisan karya
ilmiah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Perbankan Syariah
pada semester 3, dengan judul Riba dalam Persepsi Agama dan Sejarah.
Dengan membuat tugas ini kami diharapkan dapat lebih memahami materi
mengenai riba.
Dalam penyelesaian karya ilmiah ini, kami banyak mengalami
kesulitan, terutama disebabkan oleh kurangnya ilmu pengetahuan yang
menunjang. Namun, berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak,
akhirnya karya ilmiah ini dapat terselesaikan dengan cukup baik. Karena
itu, sudah sepantasnya jika kami mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu kami.
Harapan kami, semoga karya ilmiah yang sederhana ini, dapat
membantu orang lain untuk memahami tentang riba. Kami sadar, sebagai
mahasiswa yang masih dalam proses pembelajaran, penulisan karya ilmiah
ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna
penulisan karya ilmiah yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.

Tim Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................
i
DAFTAR ISI............................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang Masalah..............................................................................

1.2.

1
Rumusan Masalah........................................................................................

1.3.

2
Metode Penulisan.........................................................................................

1.4.

2
Sistematika Penulisan..................................................................................

2
BAB II PEMBAHASAN
2.1.
Definisi dan Jenis-Jenis Riba.......................................................................
4
2.1.1. Definisi Riba....................................................................................
........................................................................................................4
2.1.2. Jenis-Jenis Riba................................................................................

2.2.

........................................................................................................6
Jenis-Jenis Barang Ribawi...........................................................................

2.3.

7....................................................................................................................
Konsep Riba dalam Perspektif Nonmuslim.................................................
8

2.4.

Larangan Riba dalam Al-Quran dan As-Sunnah........................................


18
2.4.1....................................................Larangan Riba dalam Al-Quran
..........................................................................................................
......................................................................................................18
2.4.2....................................................Larangan Riba dalam As-Hadits
..........................................................................................................
......................................................................................................22

2.5.

Alasan Pembenaran Pengambilan Riba.......................................................

2.6.

28
Perbedaan antara Investasi dan Membungakan Uang..................................

2.7.

35
Berbagai Fatwa Tentang Riba......................................................................

2.8.

36
Dampak Negatif Riba...................................................................................
45
2.8.1

Dampak Ekonomi............................................................................

......................................................................................................45
2.8.2 Sosial Kemasyarakatan....................................................................
......................................................................................................46
BAB III PENUTUP
3.1.

Kesimpulan..................................................................................................

3.2.

48
Saran.............................................................................................................
48
3

DAFTAR PUSTAKA

...............................................49

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Alam semesta ini adalah milik Allah SWT sedangkan manusia adalah
penerima kepercayaan dari Allah yang harus dipeliharanya. Dengan
berkembangnya peradaban manusia, manusia banyak melakukan kegiatan
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Mulai dari
menabung, meminjam uang, dan sampai kepada yang menggunakan jasa
untuk mngirim uang dari berbagai kota dan negara. Dalam menjalankan
kegiatan ekonominya, Islam telah memberi ketetapan bahwa riba hukumnya
adalah haram.
Riba berarti menetapkan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat
pengembalian berdasarkan presentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok
yang telah dibebankan kepada peminjam. Secara umum, riba adalah
pengambilan tambahan baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam
meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam
Islam.
Mengenai riba, Islam bersikap keras dalam persoalan ini karena sematamata demi melindungi kemslahatan manusia baik dari segi akhlak,
masyarakat maupun perekonomiannya. Karena, pada hakekatnya riba
(kredit lunak berbunga besar), atau pinjaman yang salah penerapannya akan
berakibat meningkatnya harga barang yang normal menjadi sangat tinggi,

atau berpengaruh besar terhadap neraca pembayaran antar bangsa, kemudian


berakibat melejitnya laju inflasi, akibatnya akan dirasakan pada semua
orang pada semua tingkah penghidupan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah definisi riba?
2. Sebutkan jenis-jenis riba
3. Sebutkan jenis-jenis barang ribawi?
4. Jelaskan konsep riba dalam perspektif nonmuslim!
5. Apa saja alasan pembenaran pengambilan riba?
6. Apakah perbedaan antara investasi dan membungakan uang?
7. Sebutkan berbagai fatwa mengenai riba!
8. Apakah dampak negatif riba?
1.3 Metode Penulisan
Untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan, penulis mencari
bahan dan sumber-sumber dari buku dan media masa elektronik yang
berjangkauan internasional, yaitu internet.
1.4 Sistematika Penulisan
Makalah ini akan dijelaskan dimulai dari bab pendahuluan. Bab ini
meliputi latar belakang masalah, perumusan masalah, metode penulisan dan
sistematika penulisan. Dilanjutkan dengan bab ke dua yang berisi
pembahasan tentang perencanaan penulisan karangan ilmiah.
Bab ketiga merupakan bab penutup dalam makalah ini. Pada bagian ini,
penulis menyimpulkan uraian yang sebelumnya sudah disampaikan.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi dan Jenis-Jenis Riba


2.1.1 Definisi
Riba ( )secara bahasa bermakna: ziyadah ( - tambahan).
Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan
membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti
pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil.
Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara
umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah
pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun
pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip
muamalat dalam Islam.
Mengenai hal ini Allah mengingatkan dalam firman-Nya:


"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan
harta sesamamu dengan jalan bathil." (Q.S. An Nisa: 29)
Dalam kaitannya dengan pengertian al bathil dalam ayat
tersebut, Ibnu Al Arabi Al Maliki, dalam kitabnya Ahkam Al
Quran, menjelaskan:

Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang


dimaksud riba dalam ayat Quran yaitu setiap penambahan yang
diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang
yang dibenarkan syariah.
Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu
transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya
penambahan tersebut secara adil. Seperti transaksi jual-beli, gadai,
sewa, atau bagi hasil proyek. Dalam transaksi sewa, si penyewa
membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati,
termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena
penggunaan si penyewa. Mobil misalnya, sesudah dipakai nilai
ekonomisnya pasti menurun, jika dibandingkan sebelumnya. Dalam hal
jual-beli si pembeli membayar harga atas imbalan barang yang
diterimanya. Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para peserta
pengkongsian berhak mendapat keuntungan karena di samping
menyertakan modal juga turut serta menanggung kemungkinan
risiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat.
Dalam transaksi simpan-pinjam dana, secara konvensional si
pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa
adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali
kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman
tersebut. Yang tidak adil di sini adalah si peminjam diwajibkan
untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti untung

dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut.


2.1.2 Jenis-Jenis Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Masingmasing adalah riba hutang-piutang dan riba jual-beli. Kelompok
pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah.
Sedangkan kelompok kedua, riba jual-beli, terbagi menjadi riba
fadhl dan riba nasiah.
1. Riba Qardh ( )
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan
terhadap yang berhutang (muqtaridh).
2. Riba Jahiliyyah ()
Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak
mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
3. Riba Fadhl ()
Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang
berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk
dalam jenis barang ribawi.
4. Riba Nasiah ( )
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang
dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam
nasiah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau

tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang


diserahkan kemudian.

2.2 Jenis-Jenis Barang Ribawi


Para ahli fiqih Islam telah membahas masalah riba dan jenis barang
ribawi dengan panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam
kesempatan ini akan disampaikan kesimpulan umum dari pendapat mereka
yang intinya bahwa barang ribawi meliputi:
1) Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk
lainnya.
2) Bahan makanan pokok seperti beras, gandum, dan jagung serta bahan
makanan tambahan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.

Dalam kaitan dengan perbankan syariah implikasi ketentuan tukarmenukar antarbarang-barang ribawi dapat diuraikan sebagai berikut:
1.

Jual-beli antara barang-barang ribawi sejenis hendaklah dalam

jumlah dan kadar yang sama. Barang tersebut pun harus diserahkan
saat transaksi jual-beli. Misalnya rupiah dengan rupiah hendaklah Rp
5.000,00 dengan Rp 5.000,00 dan diserahkan ketika tukar-menukar.
2.

Jual beli antara barang-barang ribawi yang berlainan jenis

diperbolehkan dengan jumlah dan kadar yang berbeda dengan syarat


barang diserahkan pada saat akad jual-beli. Misalnya Rp 5.000,00
dengan 1 dollar Amerika.
7

3.

Jual-beli barang ribawi dengan yang bukan ribawi tidak

disyaratkan untuk sama dalam jumlah maupun untuk diserahkan pada


saat akad. Misalnya mata uang (emas, perak, atau kertas) dengan
pakaian.
4.

Jual beli antara barang-barang yang bukan ribawi diperbolehkan tanpa

persamaan dan diserahkan pada waktu akad, misalnya pakaian dengan


barang elektronik.

2.3 Konsep Riba dalam Perspektif Nonmuslim


Riba bukan hanya merupakan persoalan masyarakat Islam, tetapi
berbagai kalangan di luar Islam pun memandang serius persoalan ini.
Karenanya, kajian terhadap masalah riba dapat dirunut mundur hingga lebih
dari 2.000 tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahan bahasan kalangan
Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi. Kalangan Kristen dari masa ke
masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba.
Maka, sepantasnya bila kajian tentang riba pun melihat perspektif
dari kalangan non-Muslim tersebut. Ada beberapa alasan mengapa pandangan
dari kalangan non-Muslim tersebut perlu pula dikaji.
Pertama, agama Islam mengimani dan menghormati Nabi Ibrahim, Ishak,
Musa, dan Isa. Nabi-nabi tersebut diimani juga oleh orang Yahudi dan
Nasrani. Islam juga mengakui kedua kaum ini sebagai Ahli Kitab karena
kaum Yahudi dikaruniai Allah SWT kitab Taurat sedangkan kaum Kristen
dikaruniai kitab Injil.
8

Kedua, pemikiran kaum Yahudi dan Kristen perlu dikaji karena sangat
banyak tulisan mengenai bunga yang dibuat para pemuka agama tersebut.
Ketiga, pendapat orang-orang Yunani dan Romawi juga perlu di-perhatikan
karena mereka memberikan kontribusi yang besar pada peradaban manusia.
Pendapat mereka juga banyak mempengaruhi orang-orang Yahudi dan
Kristen serta Islam dalam memberikan argumentasi sehubungan dengan
riba.
1

Konsep Bunga di Kalangan Yahudi

Orang-orang Yahudi dilarang mempraktekkan pengambilan bunga.


Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old
Testament (Perjanjian Lama) maupun undang-undang Talmud.
Kitab Exodus (Keluaran) pasal 22 ayat 25 menyatakan:
"Jika engkau meminjamkan uang kapada salah seorang
ummatku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau
berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau
bebankan bunga terhadapnya."
Kitab Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19 menyatakan:
"Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang
maupun bahan makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan."
Kitab Levicitus (Imamat) pasal 35 ayat 7 menyatakan:
"Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya,
melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudara-mu bisa

hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uang-mu kepadanya


dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan
dengan meminta riba."

2) Konsep Bunga di Kalangan Yunani dan Romawi


Pada masa Yunani, sekitar abad VI Sebelum Masehi hingga I Masehi,
telah terdapat beberapa jenis bunga. Besarnya bunga tersebut bervariasi
tergantung kegunaannya. Secara umum, nilai bunga tersebut
dikategorikan sebagai berikut:

Pinjaman biasa

6 % - 18, %

Pinjaman properti

6 % - 12 %

Pinjaman antarkota

7 % - 12 %

Pinjaman perdagangan dan industri

12 % - 18 %

Pada masa Romawi, sekitar abad V Sebelum Masehi hingga IV


Masehi, terdapat undang-undang yang membenarkan penduduknya
mengambil bunga selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan tingkat
maksimal yang dibenarkan hukum' (maximum legal rate). Nilai
suku bunga ini berubah-ubah sesuai dengan berubahnya waktu.
Meskipun undang-undang membenarkan pengambilan bunga, tetapi
pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga-berbunga (double
countable).

10

Bunga maksimal yang dibenarkan

8 12 %

Bunga pinjaman biasa di Roma

4 12 %

Bunga untuk wilayah (daerah taklukan Roma)

6 100 %

Pada
masa

Bunga khusus Byzantium


4 12 %
pemerintahan Genucia (342 SM) kegiatan pengambilan bunga tidak
diperbolehkan. Tetapi, pada masa Unciaria (88 SM) praktik tersebut
diperbolehkan kembali seperti semula. Terdapat empat jenis tingkat bunga
pada zaman Romawi yaitu:

Meskipun demikian, praktik pengambilan bunga dicela oleh para ahli filsafat. Dua
orang ahli filsafat Yunani terkemuka, Plato (427 347 SM) dan Aristoteles
(384 322 SM), mengecam praktik bunga. Begitu juga dengan Cato (234
149 SM) dan Cicero (106 43 SM). Para ahli filsafat tersebut mengutuk orangorang Romawi yang mempraktekkan pengambilan bunga.
Plato mengecam sistem bunga berdasarkan dua alasan. Pertama, bunga
menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat.
Kedua, bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi
golongan

miskin.

Sedangkan

Aristoteles, dalam menyatakan

keberatannya mengemukakan bahwa fungsi uang adalah sebagai alat


tukar atau medium of exchange. Ditegaskannya, bahwa uang bukan alat
untuk menghasilkan tambahan melalui bunga. Ia juga menyebut
bunga sebagai uang yang berasal dari uang yang keberadaannya dari
sesuatu yang belum tentu pasti terjadi. Dengan demikian,

11

pengambilan bunga secara tetap merupakan sesuatu yang tidak


adil.
Penolakan

para

ahli

filsafat

Romawi

terhadap

praktik

pengambilan bunga mempunyai alasan yang kurang lebih sama dengan


yang dikemukakan ahli filsafat Yunani. Cicero memberi nasihat kepada
anaknya agar menjauhi dua pekerjaan, yakni memungut cukai dan
memberi pinjaman dengan bunga. Cato memberikan dua ilustrasi
untuk melukiskan perbedaan antara perniagaan dan memberi pinjaman.
i.Perniagaan adalah suatu pekerjaan yang mempunyai risiko
sedangkan memberi pinjaman dengan bunga adalah sesuatu
yang tidak pantas.
ii.

Dalam tradisi mereka terdapat perbandingan antara seorang

pencuri dengan seorang pemakan bunga. Pencuri akan didenda


dua kali lipat sedangkan pemakan bunga akan didenda empat
kali lipat.
Ringkasnya, para ahli filsafat Yunani dan Romawi mengang-gap bahwa
bunga adalah sesuatu yang hina dan keji. Pandangan demikian itu juga
dianut oleh masyarakat umum pada waktu itu. Kenyataan bahwa bunga
merupakan praktik yang tidak sehat dalam masyarakat merupakan
akar kelahiran pandangan tersebut.
1

Konsep Bunga di Kalangan Kristen


Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara
jelas. Namun, sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat

12

yang terdapat dalam Lukas 6:34-5 sebagai ayat yang mengecam


praktek pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan:
"Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena
kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah
jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang
berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi,
kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan
dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan
kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Mahatinggi, sebab Ia
baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan
terhadap orang-orang jahat."
Ketidaktegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya ber-bagai
tanggapan dan tafsiran dari para pemuka agama Kristen tentang boleh
atau tidaknya orang Kristen mempraktekkan pengambilan bunga.
Berbagai pandangan di kalangan pemuka agama Kristen dapat
dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para
pendeta awal Kristen (abad I hingga XII) yang mengharamkan
bunga, pandangan para sarjana Kristen (abad XIIXVI) yang
berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan pandangan para reformis
Kristen (abad XVItahun 1836) yang menyebabkan agama Kristen
menghalalkan bunga.
a. Pandangan Para Pendeta Awal Kristen (Abad I XII)
Pada masa ini, umumnya pengambilan bunga dilarang. Mereka merujuk

13

masalah pengambilan bunga kepada Kitab Perjanjian Lama yang


juga diimani oleh orang Kristen.

St. Basil (329 379) menganggap mereka yang memakan


bunga sebagai orang yang tidak berperi-kemanusiaan.
Baginya, mengambil bunga adalah mengambil keuntungan
dari orang yang memerlukan. Demikian juga mengumpulkan
emas dan kekayaan dari air mata dan kesusahan orang miskin.

St. Gregory dari Nyssa (335 395) mengutuk praktek bunga


karena menurutnya pertolongan melalui pinjaman adalah palsu.
Pada awal kontrak seperti membantu tetapi pada saat menagih dan
meminta imbalan bunga bertindak sangat kejam.

St. John Chrysostom (344 407) berpendapat bahwa larangan


yang terdapat dalam Perjanjian Lama yang ditujukan bagi
orang-orang Yahudi juga berlaku bagi penganut Perjanjian
Baru.

St. Ambrose mengecam pemakan bunga sebagai penipu dan


pembelit (rentenir).

St. Augustine berpendapat pemberlakuan bunga pada orang


miskin lebih kejam dibandingkan dengan perampok yang
merampok

orang

kaya.

Karena

dua-duanya

sama-sama

merampok, satu terhadap orang kaya dan lainnya terhadap orang


miskin.

14

St. Anselm dari Centerbury (10331109) menganggap bunga


sama dengan perampokan.
Larangan praktek bunga juga dikeluarkan oleh gereja dalam bentuk

undang-undang (Canon):

Council of Elvira (Spanyol tahun 306) mengeluarkan Canon 20


yang

melarang

para

pekerja

gereja

mem-praktekkan

pengambilan bunga. Barangsiapa yang melanggar, maka


pangkatnya akan diturunkan.

Council of Arles (tahun 314) mengeluarkan Canon 44 yang juga


melarang para pekerja gereja mempraktekkan pengambilan
bunga.

First Council of Nicaea (tahun 325) mengeluarkan Canon 17


yang mengancam akan memecat para pekerja gereja yang
mempraktekkan bunga.

Larangan

pemberlakuan

bunga

untuk

umum

baru

dikeluarkan pada Council of Vienne (tahun 1311) yang


menyatakan barangsiapa menganggap bahwa bunga itu
adalah sesuatu yang tidak berdosa maka ia telah keluar dari
Kristen (murtad).
Pandangan para pendeta awal Kristen dapat disimpulkan sebagai
berikut:

15

Bunga adalah semua bentuk yang diminta sebagai imbalan


yang melebihi jumlah barang yang dipinjamkan.

Mengambil bunga adalah suatu dosa yang dilarang, baik


dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.

Keinginan atau niat untuk mendapat imbalan melebihi apa yang


dipinjamkan adalah suatu dosa.

Bunga harus dikembalikan kepada pemiliknya.

Harga barang yang ditinggikan untuk penjualan secara kredit


juga merupakan bunga yang terselubung.

b. Pandangan Para Sarjana Kristen (Abad XII XVI)


Pada masa ini terjadi perkembangan yang sangat pesat di bidang
perekonomian dan perdagangan. Pada masa tersebut, uang dan
kredit menjadi unsur yang penting dalam masyarakat. Pinjaman untuk
memberi modal kerja kepada para pedagang mulai digulirkan pada
awal Abad XII. Pasar uang perlahan-lahan mulai terbentuk. Proses
tersebut mendorong terwujudnya suku bunga pasar secara meluas.
Para sarjana Kristen pada masa ini tidak saja membahas
permasalahan bunga dari segi moral semata yang merujuk
kepada ayat-ayat Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru,
mereka juga mengaitkannya dengan aspek-aspek lain. Di
antaranya, menyangkut jenis dan bentuk undang-undang, hak
seseorang terhadap harta, ciri-ciri dan makna keadilan, bentuk-bentuk

16

keuntungan, niat dan perbuatan manusia, serta per-bedaan antara


dosa individu dan kelompok.
Mereka dianggap telah melakukan terobosan baru sehubungan dengan
pendefinisian bunga. Dari hasil bahasan mereka untuk tujuan
memperhalus dan melegitimasi hukum, bunga dibedakan menjadi
interest dan usury. Menurut mereka, interest adalah bunga yang
diperbolehkan, sedangkan usury adalah bunga yang berlebihan.
Para tokoh sarjana Kristen yang memberikan kontribusi pendapat
yang sangat besar sehubungan dengan bunga ini adalah Robert of
Courcon (1152-1218), William of Auxxerre (1160-1220), St.
Raymond of Pennaforte (1180-1278), St. Bonaventure (12211274), dan St. Thomas Aquinas (1225-1274).
Kesimpulan hasil bahasan para sarjana Kristen periode tersebut
sehubungan dengan bunga adalah sebagai berikut:

Niat atau perbuatan untuk mendapatkan keuntungan dengan


memberikan pinjaman adalah suatu dosa yang bertentangan
dengan konsep keadilan.

Mengambil bunga dari pinjaman diperbolehkan, namun haram


atau tidaknya tergantung dari niat si pemberi hutang.

c. Pandangan Para Reformis Kristen (Abad XVI Tahun 1836)


Pendapat para reformis telah mengubah dan membentuk
pandangan baru mengenai bunga. Para reformis itu antara lain adalah

17

John Calvin (1509-1564), Charles du Moulin (1500 1566), Claude


Saumaise (1588-1653), Martin Luther (1483-1546), Melanchthon
(1497-1560), dan Zwingli (1484-1531).
Beberapa pendapat Calvin sehubungan dengan bunga antara
lain:
Dosa apabila bunga memberatkan.
Uang dapat membiak (kontra dengan Aristoteles).
Tidak menjadikan pengambil bunga sebagai profesi.
Jangan mengambil bunga dari orang miskin.
Du Moulin mendesak agar pengambilan bunga yang seder-hana
diperbolehkan

asalkan

bunga

tersebut

digunakan

untuk

kepentingan produktif. Saumise, seorang pengikut Calvin,


membenarkan semua pengambilan bunga, meskipun ia berasal dari
orang miskin. Menurutnya, menjual uang dengan uang adalah
seperti perdagangan biasa, maka tidak ada alasan untuk melarang
orang yang akan menggunakan uangnya untuk membuat uang.
Menurutnya pula, agama tidak perlu repot-repot mencampuri urusan
yang berhubungan dengan bunga.
2.4 Larangan Riba dalam Al-Quran dan As-Sunnah
Ummat Islam dilarang mengambil riba apa pun jenisnya. Larangan
supaya ummat Islam tidak melibatkan diri dengan riba bersumber dari
berbagai surat dalam Al Quran dan hadits Rasulullah.
18

2.4.1

Larangan Riba dalam Al Quran


Larangan riba yang terdapat dalam Al Quran tidak ditu-runkan
sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap.
Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang
pada zhahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan
sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah .







"Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta manusia. Maka riba itu tidak menambah pada
sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat
demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)."
(Q.S. Ar Rum: 39).
Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah
mengancam memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi
yang memakan riba.

19

"Maka

disebabkan

kezhaliman

orang-orang

Yahudi,

Kami

haramkan atas mereka yang (memakan makanan) yang baik-baik


(yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka
banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan
mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah
dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang
dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orangorang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih." (Q.S. An
Nisa: 160-161)
Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu
tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat, bahwa
pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan
fenomena yang banyak dipraktekkan pada masa tersebut. Allah
berfirman:



"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat-ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah
supaya kamu mendapat keberuntungan." (Q.S. Ali Imran: 130).
Ayat ini turun pada tahun ke 3 hijriyah. Secara umum ayat ini harus
dipahami bahwa kriteria berlipat-ganda bukanlah merupakan syarat
dari terjadinya riba (jikalau bunga berlipat ganda maka riba tetapi
jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari
praktek pembungaan uang pada saat itu.
20

Demikian juga ayat ini harus dipahami secara komprehensif dengan


ayat 278-279 dari Surat al Baqarah yang turun pada tahun ke 9
Hijriyah.
Tahap terakhir, Allah dengan jelas dan tegas mengharam-kan apa
pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat
terakhir yang diturunkan menyangkut riba.

{278}


{279}
"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa-sisa (dari berbagai jenis) riba jika kamu orang-orang
yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa
riba) maka

ketahuilah,

bahwa Allah

dan

rasul-Nya akan

memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),


maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula
dianiaya." (Q.S. Al Baqarah: 278-279)
Ayat ini baru akan sempurna kita pahami jikalau kita cermati bersama
asbabun nuzulnya. Abu Jafar Muhammad bin Jarir Ath Thabary
meriwayatkan bahwa

.

21


.
.) (
) :
( )
- :

Kaum Tsaqif, penduduk kota Thaif, telah membuat suatu
kesepakatan dengan Rasulullah SAW bahwa semua hutang
mereka, demikian juga piutang (tagihan) mereka yang berdasarkan riba agar dibekukan dan dikembalikan hanya
pokoknya saja. Setelah Fathul Makkah, Rasulullah menunjuk Itab bin
Usaid sebagai Gubernur Makkah yang juga meliputi kawasan Thaif
sebagai daerah administrasinya. Adalah Bani Amr bin Umair bin Auf
yang senantiasa meminjamkan uang secara riba kepada Bani
Mughirah dan sejak zaman jahiliyah Bani Mughirah senantiasa
membayarnya dengan tambahan riba. Setelah kedatangan Islam,
mereka tetap memiliki kekayaan dan asset yang banyak. Maka
datanglah Bani Amr untuk menagih hutang dengan tambahan
(riba) dari Bani Mughirah - seperti sediakala - tetapi Bani
Mughirah setelah memeluk Islam menolak untuk memberikan
tambahan (riba) tersebut. Maka dilaporkanlah masalah tersebut
kepada Gubernur Itab bin Usaid. Menanggapi masalah ini Gubernur

22

Itab langsung menulis surat kepada Rasulullah SAW dan turunlah ayat
di atas. Rasulullah SAW lantas menulis surat balasan kepada
Gubernur Itab jikalau mereka ridha dengan ketentuan Allah di atas
maka

itu

baik,

tetapi

jikalau

mereka

menolaknya

maka

kumandangkanlah ultimatum perang kepada mereka.


2.4.2 Larangan Riba dalam Hadits
Pelarangan riba dalam Islam tak hanya merujuk pada Al Quran
melainkan juga Al Hadits. Sebagaimana posisi umum hadits yang
berfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut aturan yang telah
digariskan melalui Al Quran, pelarangan riba dalam hadits lebih terinci.
Dalam amanat terakhirnya pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10
Hijriyah, Rasulullah SAW masih menekankan sikap Islam yang
melarang riba.
"Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu, dan Dia pasti
akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil
riba, oleh karena itu hutang akibat riba harus di-hapuskan. Modal
(uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita
ataupun mengalami ketidakadilan."
Selain itu, masih banyak lagi hadits yang menguraikan masalah
riba. Di antaranya adalah:




23


Diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifa, Ayahku membeli
seorang budak yang pekerjaannya membekam (mengeluarkan darah
kotor dari kepala), ayahku kemudian memusnahkan peralatan
bekam si budak tersebut. Aku bertanya kepada ayah mengapa beliau
melakukannya. Ayahku

menjawab,

bahwa Rasulullah SAW

melarang untuk menerima uang dari transaksi darah, anjing, dan


kasab budak perempuan, beliau juga melaknat pekerjaan
pentato dan yang minta ditato, me-nerima dan memberi riba serta
beliau melaknat para pembuat gambar. (H.R. Bukhari no. 2084
kitab Al Buyu)













Diriwayatkan oleh Abu Said Al Khudri bahwa pada suatu ketika Bilal
membawa barni (sejenis kurma berkualitas baik) ke hadapan
Rasulullah SAW dan beliau bertanya kepadanya, "Dari mana engkau
mendapatkannya?" Bilal menjawab, "Saya mem-punyai sejumlah

24

kurma dari jenis yang rendah mutunya dan menukar-kannya dua


sha untuk satu sha kurma jenis barni untuk dimakan oleh
Rasulullah SAW", selepas itu Rasulullah SAW terus berkata, "Hatihati! Hati-hati! Ini sesungguhnya riba, ini sesungguhnya riba. Jangan
berbuat begini, tetapi jika kamu membeli (kurma yang mutunya
lebih

tinggi),

juallah

kurma

yang mutunya rendah untuk

mendapatkan uang dan kemudian gunakanlah uang tersebut untuk


membeli kurma yang bermutu tinggi itu." (H.R. Bukhari no. 2145, kitab
Al Wakalah)




Diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abu Bakr bahwa
ayahnya berkata, Rasulullah SAW melarang penjualan emas
dengan emas dan perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan
membolehkan kita menjual emas dengan perak dan begitu juga
sebaliknya sesuai dengan keinginan kita." (H.R. Bukhari no. 2034,
kitab Al Buyu).

25

Diriwayatkan oleh Abu Said Al Khudri bahwa Rasulullah SAW


bersabda, "Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan
perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma
dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke
tangan (cash). Barangsiapa memberi tambahan atau meminta
tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan denga riba.
Penerima dan pemberi sama-sama bersalah." (H.R. Muslim no.
)2971, dalam kitab Al Masaqqah












Diriwayatkan oleh Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah SAW
bersabda, "Malam tadi aku bermimpi, telah datang dua orang dan
membawaku ke Tanah Suci. Dalam perjalanan, sampailah kami ke
suatu sungai darah, di mana di dalamnya berdiri seorang lakilaki. Di pinggir sungai tersebut berdiri seorang laki-laki lain
dengan batu di tangannya. Laki-laki yang di tengah sungai itu

26

berusaha untuk keluar, tetapi laki-laki yang di pinggir sungai tadi


melempari mulutnya dengan batu dan memaksanya kembali ke
tempat asal. Aku bertanya, Siapakah itu? Aku diberitahu, bahwa
laki-laki yang di tengah sungai itu ialah orang yang memakan riba.
(H.R. Bukhari no. 6525, kitab At Ta`bir)




Jabir berkata bahwa Rasulullah SAW mengutuk orang yang
menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang
mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau
bersabda, "Mereka itu semuanya sama." (H.R. Muslim no. 2995,
kitab Al Masaqqah).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW berkata,
"Pada malam perjalanan miraj, aku melihat orang-orang yang
perut mereka seperti rumah, di dalamnya dipenuhi oleh ular-ular
yang kelihatan dari luar. Aku bertanya kepada Jibril siapakah mereka
itu. Jibril menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang
memakan riba."

:


Al Hakim meriwayatkan dari Ibnu Mas`ud, bahwa Nabi SAW
bersabda: Riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan), yang paling

27

rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang m-lakukan zina


dengan ibunya.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW
bersabda, "Tuhan sesungguhnya berlaku adil karena tidak
membenarkan empat golongan memasuki surga atau tidak
mendapat petunjuk dari-Nya. (Mereka itu adalah) Peminum arak,
pemakan riba, pemakan harta anak yatim, dan mereka yang tidak
bertanggung jawab/menelantarkan ibu bapaknya."
2.5 Alasan Pembenaran Pengambilan Riba
Sekalipun ayat-ayat dan hadits riba sudah sangat jelas dan sharih,
masih saja ada beberapa cendekiawan yang mencoba untuk memberikan
pembenaran atas pengambilan bunga uang. Di antara-nya karena alasan:
1. Dalam keadaan darurat, bunga halal hukumnya.
2. Hanya bunga yang berlipat ganda saja dilarang. Sedangkan suku
bunga yang wajar dan tidak mendzalimi, diperkenankan.
3. Bank, sebagai lembaga, tidak masuk dalam kategori mukallaf. Dengan
demikian tidak terkena khitab ayat-ayat dan hadits riba
1

Darurat
Untuk lebih memahami pengertian, kita seharusnya melakukan
pembahasan yang komprehensif tentang pengertian darurat ini seperti yang
dinyatakan oleh syara (Allah dan rasul-Nya) bukan pengertian seharihari terhadap istilah ini.

28

Imam Suyuti dalam bukunya Al Asybah wan Nadhair (

menegaskan bahwa darurat adalah suatu keadaan

emergency di mana jika seseorang tidak segera melakukan sesuatu


tindakan dengan cepat, maka akan membawanya ke jurang
kehancuran atau kematian.

Dalam literatur klasik keadaan emergency ini sering dicontohkan


dengan seorang yang tersesat di hutan dan tidak ada makanan lain
kecuali daging babi yang diharamkan, maka dalam keadaan
darurat demikian Allah menghalalkan daging babi dengan 2 batasan



Barangsiapa dalam keadaan terpaksa, seraya dia (1) tidak
menginginkan dan (2) tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya
Allah itu Maha Pengampun Maha Penyayang. (Q.S. Al Baqarah:
173)
Pembatasan yang pasti terhadap pengambilan dispensasi darurat ini

harus sesuai dengan metodologi ushul fiqh, terutama penerapan al


qawaid al fiqhiyah seputar kadar darurat.
Sesuai dengan ayat di atas para ulama merumuskan kaidah

Darurat itu harus dibatasi sesuai kadarnya.
Artinya darurat itu ada masa berlakunya serta ada batasan ukuran dan kadarnya.
Contohnya, seandainya di hutan ada sapi atau ayam maka dispensasi untuk
29

memakan daging babi menjadi hilang. Demikian juga seandainya untuk


mempertahankan hidup cukup dengan tiga suap maka tidak boleh
melampaui batas hingga tujuh atau sepuluh suap. Apalagi jika dibawa
pulang dan dibagi-bagikan kepada tetangga.
3) Berlipat Ganda
Pendapat bahwa bunga hanya dikategorikan riba bila sudah berlipatganda dan memberatkan. Sementara bila kecil dan wajar-wajar saja
dibenarkan. Pendapat ini berasal dari pe-mahaman yang keliru atas
Surat Ali Imran ayat 130.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba


dengan berlipat-ganda dan bertaqwalah kalian kepada Allah supaya
kalian mendapat keberuntungan.
Sepintas, surat Ali Imran 130 ini memang hanya melarang riba yang
berlipat-ganda. Namun pemahaman kembali ayat ter-sebut secara cermat,
termasuk

mengaitkannya

dengan

ayat-ayat

riba

lainnya.

Secara

komprehensif, serta pemahaman terhadap fase-fase pelarangan riba secara


menyeluruh, akan sampai pada kesimpulan bahwa riba dalam segala
bentuk dan jenisnya mutlak diharamkan

30

Kriteria berlipat-ganda dalam ayat ini harus dipahami sebagai


hal ( )atau sifat dari riba, dan sama sekali bukan
merupakan syarat.
Syarat artinya kalau terjadi pelipat-gandaan, maka riba, jikalau
kecil tidak riba.

Menanggapi hal ini, Dr. Abdullah Draz, dalam salah satu


konfrensi fiqh Islami di Paris, tahun 1978, me-negaskan
kerapuhan asumsi syarat tersebut. Beliau menjelaskan secara
linguistik ( )arti kelipatan. Sesuatu berlipat minimal 2
kali lebih besar dari semula. Sementara ( )adalah bentuk
jamak dari kelipatan tadi. Minimal jamak adalah 3. Dengan
demikian ( )bararti 3x2=6 kali. Sementara ()
dalam ayat adalah takid ( )untuk penguatan.

Dengan demikian menurut beliau, kalau berlipat-ganda itu dijadikan syarat,


maka sesuai dengan konsekuensi bahasa, minimum harus 6 kali atau bunga
600 %. Secara operasional dan nalar sehat angka itu mustahil terjadi dalam
proses perbankan maupun simpan-pinjam.

Menanggapi pembahasan Q.S. Ali Imran ayat 130 ini Syaikh


Umar bin Abdul Aziz Al Matruk, menegaskan

31





Adapun yang dimaksud dengan ayat 130 Surat Ali Imran,
termasuk redaksi berlipat-ganda dan pengguna-annya sebagai
dalil, sama sekali tidak bermakna bahwa riba harus sedemikian
banyak. Ayat ini menegaskan tentang karakteristik riba
secara umum bahwa ia mempunyai kecenderungan untuk
berkembang dan berlipat sesuai dengan berjalannya waktu.
Dengan demikian redaksi ini (berlipat-ganda) menjadi sifat
umum dari riba dalam terminologi syara (Allah dan rasulNya).

DR. Sami Hasan Hamoud menjelaskan bahwa, bangsa Arab di


samping mela-kukan pinjam-meminjam dalam bentuk uang dan
barang bergerak juga melakukannya dalam ternak. Mereka biasa
meminjamkan ternak berumur 2 tahun (bint makhad) dan
meminta kembalian berumur 3 tahun (bint labun). Kalau
meminjamkan

bint

labun

meminta

kembalian

haqqah

(berumur 4 tahun). Kalau meminjamkan haqqah meminta


kembalian jadzaah (berumur 5 tahun).
Kriteria tahun dan umur ternak terkadang loncat dan tidak harus

32

berurutan tergantung kekuatan supply and demand (permintaan


dan penawaran) di pasar. Dengan demikian, kriteria tahun bisa
berlipat dari ternak berumur 1 ke 2, bahkan ke 3 tahun.
Perlu direnungi pula bahwa penggunaan kaidah maf-hum
mukhalafah dalam konteks Ali Imran 130 sangatlah menyimpang
baik dari siyaqul kalam, konteks antar-ayat, kronologis
penurunan wahyu, dan sabda-sabda Rasulullah seputar
pembungaan uang serta praktek riba pada masa itu.
Secara sederhana, jika kita menggunakan logika maf-hum
mukhalafah yang berarti konsekuensi secara terbalik - jikalau
berlipat ganda dilarang, maka kecil boleh; jikalau tidak sendirian,
maka bergerombol; jikalau tidak di dalam maka di luar dan
seterusnya, kita akan salah kaprah dalam memahami pesan-pesan
Allah SWT.
Sebagai contoh jika ayat larangan berzina kita tafsirkan secara
mafhum mukhalafah

{32}
Dan janganlah kalian mendekati zina; sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang
buruk.

33




Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai, darah, daging
babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain
Allah.
Janganlah mendekati zina! Yang dilarang adalah mendekati,
berarti perbuatan zina sendiri tidak dilarang. Demikian juga
larangan memakan daging babi.
Janganlah memakan daging babi! Yang dilarang memakan
dagingnya, sementara tulang, lemak, dan kulitnya tidak disebutkan
secara eksplisit. Apakah berarti tulang, lemak, dan kulit babi
halal?
Pemahaman pesan-pesan Allah seperti ini jelas sangat
membahayakan karena seperti dikemukakan di atas, tidak
mengindahkan siyaqul kalam, kronologis penurunan wahyu,
konteks antarayat, sabda-sabda Rasulullah seputar subjek
pembahasan, demikian juga disiplin ilmu bayan () , badie (

), dan maanie () .

Di atas itu semua harus pula dipahami sekali lagi bahwa ayat 130
Surat Ali Imran diturunkan pada tahun ke 3 H. Ayat ini harus
dipahami bersama ayat 278-279 dari surat Al Baqarah yang turun

34

pada tahun ke 9 H. Para ulama menegaskan bahwa pada ayat


terakhir tersebut merupa-kan ayat sapu jagat untuk segala
bentuk, ukuran, kadar, dan jenis riba.
4) Badan Hukum dan Hukum Taklif
Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa ketika ayat riba turun dan
disampaikan di Jazirah Arabia, belum ada bank atau lembaga keuangan,
yang ada hanyalah individu-individu. Dengan demikian BCA, Bank
Danamon, atau Bank Lippo, tidak terkena hukum taklif karena pada saat
Nabi hidup belum ada.
Pendapat ini jelas memiliki banyak kelemahan, baik dari sisi historis
maupun teknis
i. Adalah tidak benar pada zaman pra-Rasulullah tidak ada badan hukum
sama sekali. Sejarah Romawi, Persia dan Yunani menunjukkan ribuan
lembaga keuangan yang mendapat pengesahan dari pihak penguasa.
Atau dengan kata lain, perseroan mereka telah masuk ke lembaran
negara.
ii. Dalam tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut sebagai
juridical personality atau syakhsiyah hukmiyah () . Juridical
personality ini secara hukum adalah sah dan dapat mewakili individuindividu secara keseluruhan.

Dilihat dari sisi mudharat dan manfaat, perusahaan dapat melakukan mudharat
jauh lebih besar dari perseorangan. Kemampuan seorang pengedar narkotika
dibandingkan dengan sebuah lembaga mafia dalam memproduksi, mengekspor,

35

dan mendistribusikan obat-obat terlarang tidaklah sama lembaga mafia jauh


lebih besar dan berbahaya. Alangkah naifnya bila kita menyatakan apa
pun yang dilakukan lembaga mafia tidak dapat terkena hukum taklif karena
bukan insan mukallaf. Memang ia bukan insan mukallaf tetapi melakukan
fiil mukallaf yang jauh lebih besar dan berbahaya. Demikian juga dengan
lembaga keuangan, apa bedanya antara seorang rentenir dengan lembaga
rente. Kedua-duanya lintah darat yang mencekik rakyat kecil. Bedanya,
rentenir dalam skala kecamatan atau kabupaten sementara lembaga rente
meliputi propinsi, negara, bahkan global.

2.6 Perbedaan Investasi dengan Membungakan Uang


Ada dua perbedaan mendasar antara investasi dengan membungakan
uang. Perbedaan tersebut dapat ditelaah dari definisi hingga makna
masing-masing.
1 Investasi adalah kegiatan usaha yang mengandung risiko karena
berhadapan

dengan

unsur

ketidakpastian.

Dengan

demikian,

perolehan kembaliannya (return) tidak pasti dan tidak tetap.


2 Membungakan uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung
risiko karena perolehan kembaliannya berupa bunga yang relatif pasti
dan tetap.
Islam mendorong masyarakat ke arah usaha nyata dan produk-tif. Islam
mendorong seluruh masyarakat untuk melakukan investasi dan melarang
membungakan uang. Sesuai dengan definisi di atas, menyimpan uang di bank
36

Islam termasuk kategori kegiatan investasi karena perolehan kembaliannya


(return) dari waktu ke waktu tidak pasti dan tidak tetap. Besar kecilnya
perolehan kembali itu ter-gantung kepada hasil usaha yang benar-benar
terjadi dan dilakukan bank sebagai mudharib atau pengelola dana.
Dengan demikian, bank Islam tidak dapat sekadar menyalurkan uang. Bank
Islam harus terus berupaya meningkatkan kembalian atau return of
investment sehingga lebih menarik dan lebih memberi kepercayaan bagi
pemilik dana.

2.7 Berbagai Fatwa Tentang Riba

Hampir semua majlis fatwa ormas Islam berpengaruh di Indonesia,


seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, telah membahas masalah riba.
Pembahasan itu sebagai bagian dari kepedulian ormas-ormas Islam tersebut
terhadap berbagai masalah yang berkembang di tengah umatnya. Untuk itu,
kedua organisasi tersebut memiliki lembaga ijtihad yaitu Majlis Tarjih
Muhammadiyah dan Lajnah Bahsul Masail Nahdlatul Ulama.
Berikut ini adalah cuplikan dari keputusan-keputusan penting kedua
lembaga ijtihad tersebut yang berkaitan dengan riba dan pembungaan
uang.
1) Majlis Tarjih Muhammadiyah
Majlis

Tarjih

telah

mengambil

keputusan

mengenai

hukum

ekonomi/keuangan di luar zakat, meliputi masalah perbankan (1968 dan

37

1972), keuangan secara umum (1976), dan koperasi simpan-pinjam (1989).


Majlis Tarjih Sidoarjo (1968) memutuskan:
i

Riba hukumnya haram dengan nash sharih Al Quran dan As Sunnah.

ii Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba
hukumnya halal.
iii Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para
nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara
musytabihat.
iv Menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk meng-usahakan
terwujudnya konsepsi sistem perekonomian, khususnya lembaga
perbankan, yang sesuai dengan kaidah Islam.
Penjelasan keputusan ini menyebutkan bahwa bank negara, secara
kepemilikan dan misi yang diemban sangat berbeda dengan bank
swasta. Tingkat suku bunga bank pemerintah (pada saat itu) relatif lebih
rendah dari suku bunga bank swasta nasional. Meskipun demikian,
kebolehan bunga bank negara ini masih tergolong musytabihat (dianggap
meragukan).
Majlis Tarjih Wiradesa, Pekalongan (1972):
i

Mengamanatkan kepada PP Muhammadiyah untuk segera dapat


memenuhi keputusan Majlis Tarjih di Sidoarjo tahun 1968 tentang
terwujudnya konsepsi sistem perekonomian, khususnya lembaga
perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.

38

ii Mendesak Majlis Tarjih PP Muhammadiyah untuk dapat mengajukan


konsepsi tersebut dalam muktamar yang akan datang.
Masalah keuangan secara umum ditetapkan berdasarkan keputusan
Muktamar Majlis Tarjih Garut (1976). Keputusan tersebut menyangkut
bahasan pengertian uang atau harta, hak milik, dan kewajiban pemilik
uang menurut Islam. Adapun masalah koperasi simpan-pinjam dibahas
dalam Muktamar Majlis Tarjih Malang (1989). Keputusannya: koperasi
simpan-pinjam hukumnya adalah mubah, karena tambahan pembayaran pada
koperasi simpan-pinjam bukan termasuk riba.
Berdasarkan

keputusan

Malang

di

atas,

Majlis

Tarjih

PP

Muhammadiyah mengeluarkan satu tambahan keterangan yakni,


bahwa tambahan pembayaran atau jasa yang diberikan oleh peminjam
kepada

koperasi

simpan-pinjam

bukanlah

riba.

Namun,

dalam

pelaksanaannya, perlu mengingat beberapa hal. Di antaranya, hendaknya


tambahan pembayaran (jasa) tidak melampaui laju inflasi.
2) Lajnah Bahsul Masail Nahdhatul Ulama
Mengenai bank dan pembungaan uang, Lajnah memutuskan masalah
tersebut melalui beberapa kali sidang. Menurut Lajnah, hukum bank
dan hukum bunganya sama seperti hukum gadai. Terdapat tiga
pendapat ulama sehubungan dengan masalah ini:
i

Haram: sebab termasuk hutang yang dipungut rente.

ii Halal: Sebab tidak ada syarat pada waktu aqad, sementara adat yang
berlaku, tidak dapat begitu saja dijadikan syarat.
39

iii Syubhat: (tidak tentu halal-haramnya) sebab para ahli hukum


berselisih pendapat tentangnya.
Meskipun ada perbedaan pandangan, Lajnah memutuskan bahwa
(pilihan) yang lebih berhati-hati ialah pendapat pertama, yakni menyebut
bunga bank adalah haram.
Keputusan Lajnah Bahsul Masail yang lebih lengkap tentang masalah bank
ditetapkan pada sidang di Bandar Lampung (1982). Kesimpulan
sidang yang membahas tema Masalah Bank Islam tersebut antara lain:
i

Para musyawirin masih berbeda pendapat tentang hukum bunga bank


konvensional sebagai berikut :

Ada pendapat yang mempersamakan antara bunga bank dengan riba


secara mutlak, sehingga hukumnya haram.

Ada pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan


riba, sehingga hukumnya boleh.

Ada pendapat yang menyatakan hukumnya syubhat (tidak identik


dengan haram).
Pendapat pertama dengan beberapa variasi keadaan antara lain sebagai
berikut :

Bunga itu dengan segala jenisnya sama dengan riba, sehingga


hukumnya haram.

40

Bunga itu sama dengan riba dan hukumnya haram. Akan tetapi
boleh dipungut sementara sistem per-bankan yang islami atau
tanpa bunga belum ber-operasi.

Bunga itu sama dengan riba, hukumnya haram. Akan tetapi


boleh dipungut sebab ada kebutuhan yang kuat (hajah rajihah).
Pendapat kedua juga dengan beberapa variasi keadaan antara lain
sebagai berikut :

Bunga konsumsi sama dengan riba, hukumnya haram. Bunga


produktif tidak sama dengan riba, hukumnya halal.

Bunga yang diperoleh dari tabungan giro tidak sama dengan riba,
hukumnya halal.

Bunga yang diterima dari deposito yang disimpan di bank,


hukumnya boleh.

Bunga bank tidak haram kalau bank itu menetapkan tarif bunganya
terlebih dahulu secara umum.

ii Menyadari bahwa warga NU merupakan potensi yang sangat besar


dalam pembangunan nasional dan dalam kehidupan sosial
ekonomi, diperlukan adanya suatu lembaga keuangan yang
memenuhi persyaratan sesuai dengan keyakinan warga NU. Maka,
Lajnah memandang perlu mencari jalan keluar menentukan sistem
perbankan yang sesuai dengan hukum Islam, yakni bank tanpa bunga
dengan langkah-langkah sebagai berikut:

41

Sebelum tercapai cita-cita di atas, hendaknya sistem perbankan


yang dijalankan sekarang ini segera diperbaiki.

Perlu diatur :
1) Penghimpunan dana masyarakat dengan prinsip:
i

Al wadiah (simpanan) bersyarat atau dla-man, yang


digunakan untuk menerima giro (current account) dan
tabungan (saving account) serta titipan dari pihak ketiga atau
lembaga keuangan lain yang menganut sis-tem yang sama.

ii Al mudharabah, dalam prakteknya konsep ini disebut sebagai


investment account atau lazim disebut sebagai deposito
berjangka dengan jangka waktu yang berlaku, misal-nya 3
bulan, 6 bulan, dan seterusnya, yang pada garis besarnya dapat
dinyatakan dalam:

General Investment Account (GIA).

Special Investment Account (SIA).

2) Penanaman dana dan kegiatan usaha:


i) Pada dasarnya terbagi atas tiga jenis kegiatan, yaitu
pembiayaan proyek, pembiayaan usaha perdagangan atau
perkongsian, dan pemberian jasa atas dasar upaya melalui usaha
patungan, profit and loss sharing, dan sebagainya.
ii) Untuk membiayai proyek, sistem pembiayaan yang dapat
digunakan

antara

lain

mudharabah,

muqaradhah,

42

musyarakah/syirkah, muraba-hah, pemberian kredit dengan


service charge (bukan bunga), ijarah, baiuddain, termasuk di
dalamnya bai as salam, al qardhul hasan (pinjaman kredit
tanpa bunga, tanpa service charge), dan bai bitsaman aajil.
iii) Bank dapat membuka LC dan menerbitkan surat jaminan.
Untuk mengaplikasikannya, bank dapat menggunakan
konsep wakalah, musyarakah, murabahah, ijarah, sewabeli, bai' as salam, bai' al aajil, kafalah (garansi bank),
working capital financing (pembiayaan modal kerja) melalui
purchase order dengan menggunakan prinsip murabahah.
iv) Untuk jasa-jasa perbankan (banking service) lainnya seperti
pengiriman dan transfer uang, jual-beli mata uang atau valuta,
dan penukaran uang, tetap dapat dilaksanakan dengan dengan
prinsip tanpa bunga.
3) Munas mengamanatkan kepada PBNU agar membentuk
suatu tim pengawas dalam bidang syariah, sehingga dapat
menjamin keseluruhan operasional bank NU tersebut sesuai
dengan kaidah-kaidah muamalah Islam.
4) Para musyawirin mendukung dan menyetujui berdirinya bank
Islam NU dengan sistem tanpa bunga.

3) Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI)


Semua peserta Sidang OKI Kedua yang berlangsung di Karachi,
43

Pakistan, Desember 1970, telah menyepakati dua hal utama yaitu:


i.Praktek bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan
syariah Islam
ii.

Perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalan-kan

operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah


Hasil kesepakatan inilah yang melatar-belakangi didiri-kannya Bank
Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDB).

4) Mufti Negara Mesir


Keputusan Kantor Mufti Negara Mesir terhadap hukum bunga bank
senantiasa tetap dan konsisten. Tercatat sekurang-kurangnya sejak tahun
1900 hingga 1989 Mufti Negara Republik Arab Mesir memutuskan bahwa
bunga bank termasuk salah satu bentuk riba yang diharamkan.
5) Konsul Kajian Islam Dunia
Ulama-ulama besar dunia yang terhimpun dalam Konsul Kajian Islam
Dunia (KKID) telah memutuskan hukum yang tegas terhadap bunga
bank. Dalam Konferensi II KKID yang diselenggarakan di Universitas Al
Azhar, Cairo, pada bulan Muharram 1385 H./ Mei 1965, ditetapkan
bahwa tidak ada sedikit pun keraguan atas keharaman praktek
pembungaan uang seperti yang dilakukan bank-bank konvensional.
Di antara ulama-ulama besar yang hadir pada saat itu antara lain, Syeikh
al Azhar Prof. Abu Zahra, Prof. Abdullah Draz, Prof. Dr. Mustafa

44

Ahmad Zarqa, Dr. Yusuf Qardhawi, dan sekitar 300 ulama besar dunia
lainnya.
Dr. Yusuf Qardhawi, salah seorang peserta aktif dalam konferensi
tersebut mengutarakan langsung kepada penulis pada tanggal 14
Oktober 1999 di Institute Bankir Indonesia, Kemang, Jakarta selatan,
bahwa konferensi tersebut di samping dihadiri oleh para ulama juga
diikuti oleh para bankir dan ekonom dari Amerika, Eropa, dan dunia
Islam. Yang menarik, menurut beliau, bahwa para bankir dan ekonom
justru yang paling semangat menganalisa kemadharatan praktek pembungaan uang melebihi hammasah (semangat) para ustadz dan ahli syariah.
Mereka menyerukan bahwa harus dicari satu bentuk sistem perbankan
alternatif.

6) Fatwa lembaga-lembaga lain


Senada dengan ketetapan dan fatwa dari lembaga-lembaga Islam dunia di
atas, beberapa lembaga tersebut berikut ini juga menyatakan bahwa bunga
bank adalah salah satu bentuk riba yang diharamkan. Lembaga-lembaga
tersebut antara lain
i.

( Akademi

Fiqh Liga Muslim

Dunia)
ii.
(Pimpinan Pusat Dakwah, Penyuluhan, Kajian Islam, dan Fatwa,
Kerajaan Saudi Arabia)

45

Satu hal yang perlu dicermati, keputusan dan fatwa dari lembagalembaga dunia di atas diambil pada saat bank Islam dan lembaga keuangan
syariah belum berkembang seperti saat ini. Atau dengan kata lain, para
ulama dunia tersebut sudah berani menetapkan hukum dengan tegas
sekalipun pilihan-pilihan alternatif belum tersedia. Alangkah malunya
kita di mata Allah dan Rasulullah SAW ketika saat ini sudah berdiri 2 bank
syariah secara penuh (Bank Muamalat dan Bank Syariah Mandiri), 78 Bank
Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), Asuransi Takaful Keluarga, Asuransi
Takaful Umum, Reksa Dana Syariah dan ribuan Baitul Maal wat Tamwil
(dengan segala kekurangan dan kelebihannya) kita masih belum mem-buka
hati untuk bertanggung jawab terhadap ajaran agama kita.

2.8 Dampak Negatif Riba


2.8.1 Dampak Ekonomi
Di antara dampak ekonomi riba adalah dampak inflatoir yang
diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang. Hal tersebut
disebabkan karena salah satu elemen dari penentuan harga adalah
suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga
yang akan ditetapkan pada suatu barang.
Dampak lainnya adalah bahwa hutang, dengan rendahnya tingkat
penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga, akan menjadikan
peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila
bunga atas hutang tersebut dibungakan. Contoh paling nyata adalah

46

hutang negara-negara

berkembang kepada negara-negara maju.

Meskipun disebut pinjaman lunak, artinya dengan suku bunga rendah,


pada akhirnya negara-negara peng-hutang harus berhutang lagi untuk
membayar bunga dan pokoknya. Sehingga, terjadilah hutang yang
terus-menerus. Ini yang menjelaskan proses terjadinya kemiskinan
struktural yang menimpa lebih dari separuh masyarakat dunia.
2.8.2 Sosial Kemasyarakatan
Riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para
pengambil riba menggunakan uangnya untuk memerintah-kan orang lain
agar berusaha dan mengembalikan misalnya, dua puluh lima persen
lebih tinggi dari jumlah yang dipinjam-kannya. Persoalannya, siapa
yang bisa menjamin bahwa usaha yang dijalankan oleh orang itu
nantinya mendapatkan keuntungan lebih dari dua puluh lima persen?
Semua orang, apalagi yang beragama, tahu bahwa siapapun tidak
bisa memastikan apa yang terjadi besok atau lusa. Dan siapapun tahu
bahwa berusaha memiliki dua kemungkinan, berhasil atau gagal.
Dengan menetapkan riba, berarti orang sudah memastikan bahwa
usaha yang yang dikelola pasti untung.

47

48

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian tentang riba yang telah dipaparkan dapat disimpulkan
bahwa:
Riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli
maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip
muamalat dalam Islam. Riba ada 4, yaitu: Riba Fadli, Riba Nasiah, Riba
Qardh dan Riba Jahiliyyah. Bahwasanya riba itu hukumnya haram dan tidak
diperbolehkan dan hukum bunga bank konvensional hukumnya sama
dengan riba dan bank Islam sistemnya bagi hasil yang diperbolehkan agama.
Banyak lembaga Islam yang mengeluarkan fatwa mengenai riba. Larangan
terhadap riba terdapat dalam Al-Quran dan Hadits. Riba mengakibatkan
dampak negatif, baik dari segi ekonomi maupun sosial kemasyarakatan.

3.2 Saran
Agar kita tetap menjadi muslim yang berpegang teguh pada syariat Islam,
kita sebaiknya dapat menahan diri dan menjauhi segala larangan Allah
SWT. Salah satu caranya adalah dengan menghindari riba. Dengan
memperkuat iman kita pada Allah swt, kita dapat hidup dengan tenang,
bahagia di dunia maupun di akhirat.

48

DAFTAR PUSTAKA

Antonio, Muhammad Syafii. Bank Syariah Dari Teori ke Praktek, Jakarta:Gema Insani,
2001

49

Anda mungkin juga menyukai