Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS GINEKOLOGI

SUSPECT CARSINOMA OVARIUM

Adi Kurniawan
H1A 010 040

Pembimbing :
dr. Dewi Wijayanti, Sp.OG

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DI SMF KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RSUD PRAYA NTB
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini tepat pada
waktunya. Laporan kasus yang berjudul Suspect Carsinoma Ovarium ini disusun
dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Obstetri dan
Ginekologi Rumah Sakit Umum Daerah Praya.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan kepada
penulis.
1. Dr. I Ketut Puspa Ambara, Sp.OG, selaku Ketua SMF Obstetri dan
Ginekologi RSUD Praya.

2.
3.
4.
5.

Dr. Dewi Wijayanti, Sp.OG selaku supervisor sekaligus pembimbing.


Dr. G.N. Sutama, Sp.OG, selaku supervisor.
Dr. Yuaris Widyo Utomo, Sp.OG selaku supervisor.
Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan
bantuan kepada penulis.
Akhirnya penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih

banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun
sangat penulis harapkan demi kesempurnaan laporan kasus ini.
Semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat dan tambahan
pengetahuan khususnya kepada penulis dan kepada pembaca dalam menjalankan
praktek sehari-hari sebagai dokter. Terima kasih.
Praya, Maret 2015

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Kanker Ovarium adalah penyakit keenam sebagai salah satu penyakit
berbahaya yang memiliki insidens dan kematian yang tinggi didunia pada wanita.
Lebih dari 200.000 kematian yang tercatat setiap tahun, yang dominan diantara
perempuan dengan ekonomi lemah di masing-masing negara berkembang dan
maju. Negara yang memiliki angka tertinggi adalah sub sahara Afrika, termasuk
Afrika Selatan (40/100.000). Di Afrika, kebanyakan penderita dengan kanker
Ovarium umumnya terdeteksi pada stadium penyakit yang tinggi (59,3%
stadium III). Dimana penurunan insidens dan kematian kanker Ovarium
terdokumentasi di negara maju seperti Amerika, Kanada, dan Skandinavia, trend ini
tidak nyata terlihat pada negara berkembang dikarenakan kurangnya atau kurang
efisiennya program screening. Namun data terbaru menunjukkan bahwa kanker
ovarium merupakan penyebab kematian kanker dikalangan perempuan di

Amerika Serikat dan Eropa Barat dan memiliki angka kematian tertinggi dari
semua kanker ginekologis.1
Kanker ini berdasarkan atas sel-sel penyusun ovarium dapat dibagi menjadi
tiga tipe utama yaitu: kanker ovarium tipe epithelial, germinal, dan stromal, dimana
mayoritas kanker ovarium adalah yang berasal dari jenis epithelial. Kebanyakan
kasus kanker ovarium yang berhasil ditemukan sudah mengalami metastase
keluar

ovarium

sehingga

mengakibatkan

kanker

ovarium

sulit

untuk

disembuhkan dengan operasi ataupun kemoterapi. 2


Hingga saat ini penyebab pasti dari kanker ovarium belum diketahui
secara jelas, namun didapatkan beberapa faktor yang dianggap dapat menjadi
penyebab timbulnya kanker ovarium antara lain: faktor lingkungan (diet, virus,
atau limbah industri) adanya riwayat keluarga penderita kanker ovarium, mamae, dan
kolon, mutasi pada berbagai gen (seperti pada gen supresor BRCA1 dan
BRCA2 pada kromosom 17 dan 13, umur di atas 50 tahun, wanita yang tidak
memiliki anak atau nullipara, riwayat pemakaian terapi atau kontrasespsi
hormonal, dan obesitas.2
Berdasarkan laporan dari Badan Registrasi Kanker (BRK) Departemen
Kesehatan Republik Indonesia tahun 2005 yang diperoleh dari 13 laboratorium
pusat patologik anatomik di seluruh indonesia menunjukkan bahwa frekuensi
relatif kanker ovarium menempati urutan ke 4 diantara 10 tumor tersering menurut
tumor primer yang terjadi pada pria dan wanita (4401 kasus) dan menempati urutan
ke 6 tumor tersering menurut tumor primer yang terjadi pada wanita di jakarta (871
kasus).1
Selama rentan waktu lima tahun (2001-2005) terdapat 432 kasus kanker
ginekologik di Rumah Sakit Umum Wahidin Sudirohusodo, dimana kanker
ovarium menempati urutan ketiga sebanyak 23,45%. Sedangkan kejadian kanker
ovarium

di

rumah

sakit

umum

pusat

nasional

(RSUPN)

Dr.

Cipto

Mangunkusumo Jakarta selama tahun 2002 sampai 2006 juga menunjukkan


proporsi tertinggi diantara jenis kanker ginekologik, dan kematian yang diakibatkan
oleh kanker ovarium juga menunjukkan angka yang cukup tinggi, yaitu 34,1%
dari 327 kasus kematian akibat kanker ginekologik yang terjadi tahun 2002 sampai
2006.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Ovarium

Gambar 1 : Anatomi Ovarium dan Tuba


Wanita pada umumnya memiliki dua indung telur kanan dan kiri,
dengan penggantung mesovarium di bagian belakang ligamentum latum, kiri
dan kanan. Ovarium adalah kurang lebih sebesar ibu jari tangan dengan
ukuran panjang kira-kira 4 cm, lebar dan tebal kira-kira 1,5 cm.5
Hilusnya berhubungan dengan mesovarium tempat ditemukannya
pembuluh-pembuluh darah dan serabut-serabut saraf untuk ovarium. Pinggir
bawahnya bebas. Permukaan belakangnya pinggir keatas dan belakang,
sedangkan permukaan depannya ke bawah dan depan. Ujung yang dekat
dengan tuba terletak lebih tinggi dari pada ujung yang dekat pada uterus, dan
tidak jarang diselubungi oleh beberapa fimbria dari infundibulum.5

Ujung ovarium yang lebih rendah berhubungan dengan uterus dengan


ligamentum ovarii proprium tempat ditemukannya jaringan otot yang menjadi
satu dengan yang ada di ligamentum rotundum. Embriologik kedua
ligamentum berasal dari gubernakulu.5

Gambar 2 : Anatomi Ovarium


Secara histologik, ovarium dilapisi oleh

epitelium germinalis dan

tunika albugenia. Sisi dalam ovarium terdiri dari sel-sel folikel dan jaringan
ikat yang sangat sensitif terhadap hormon seks. Ovarium diperdarahi oleh
arteri ovarica kanan dan kiri yang merupakan cabang dari aorta desendens.
Vena sebagai drainase mengikuti perjalanan arteri ovarica sebagai vena
ovarica kanan dan kiri.5
2.2. Epidemiologi
Kanker ovarium merupakan keganasan ketiga terbanyak pada saluran
genitalia wanita. Kanker ovarium sangat sukar terdiagnosa pada stadium awal,

sehingga sebagian besar kasus baru ditemukan pada stadium yang telah lanjut.
Kanker ovarium jarang terjadi pada wanita dengan usia di bawah 40 tahun, sebagian
besar terjadi pada wanita umur 40 sampai 65 tahun. Angka kejadian kanker
ovarium lebih dari

16 kasus per 100.000 wanita umur 40 sampai 44 tahun

meningkat menjadi 57 kasus per 100.000 wanita umur 70 sampai 74 tahun.


World Health Organization (WHO) pada tahun 2002 melaporkan bahwa kanker
ovarium di Indonesia menempati urutan ke empat terbanyak dengan angka insiden
mencapai 15 kasus per 100.000 wanita setelah kanker payudara, korpus uteri, dan
kolorektal.4
Di Amerika serikat, sekitar 1 dari 70 wanita terkena kanker ovarium,
dimana kanker ovarium merupakan 4% dari semua kanker pada wanita dengan
jumlah kasus baru dan angka mortalitas kanker ovarium meningkat setiap tahunnya,
dimana pada tahun 2002 diperoleh sebanyak 23.300 kasus, dengan angka kematian
sebesar 56,29% dari kasus tersebut, tahun 2003 meningkat menjadi 25.400 kasus,
dengan angka kematian sebesar 59,66% dari kasus, dan tahun 2007 menjadi 22.430
kasus baru dengan angka kematian meningkat mencapai 68,12%.6

2.3. Faktor Risiko


Sampai saat ini penyebab pasti dari kanker ovarium belum diketahui
dengan jelas namun ditemukan beberapa faktor risiko yang dianggap dapat menjadi
penyebab timbulnya kanker ovarium.4
2.3.1. Faktor lingkungan
Insidens kanker ovarium tinggi pada negara-negara industri. Penyakit ini tidak
ada hubungannya dengan obesitas, minum alkohol, merokok, maupun minum kopi.
Juga tidak ada kaitannya dengan penggunaan bedak talkum ataupun intake lemak
yang berlebihan.5

2.3.2. Faktor reproduksi


Makin meningkat siklus haid berovulasi ada hubungannya dengan
meningkatnya risiko timbulnya kanker ovarium. Hal ini dikaitkan dengan
pertumbuhan aktif permukaan ovarium setelah ovulasi. Induksi siklus ovulasi
mempergunakan klomifen sitrat meningkatkan risiko 2 sampai 3 kali. Kondisi yang
menyebabkan turunnya siklus ovulasi menurunkan risiko kanker seperti pada
pemakaian pil Keluarga Berencana menurunkan risiko sampai 50%, bila pil
dipergunakan 5 tahun atau lebih, Multiparitas, dan riwayat pemberian air susu ibu
termasuk menurunkan risiko kanker ovarium.5
2.3.3. Faktor genetik
Riwayat keluarga dengan kanker ovarium, diperoleh resiko sebesar 5% pada
penderita yang memiliki satu saudara dengan kanker ovarium dan meningkat
menjadi 7% bila mempunyai dua saudara dengan kanker ovarium.
Kanker ovarium diduga berhubungan dengan terjadinya mutasi pada gen
supresor BRCA 1 dan BRCA 2, dimana diketahui kedua gen tersebut mempunyai
predisposisi genetic dominan auto somal. Gen BRCA 1 adalah suatu gen yang
terletak di kromosom 17q12-21,wanita dengan gen BRCA1 yang telah bermutasi
berisiko 40-60% terkena kanker ovarium dan berisiko hampir 90% terkena
kanker payudara, selain itu risiko menderita kanker tuba falopi dan kanker
peritoneum primer juga meningkat jika dibandingkan dengan wanita yang bukan
pembawa/carier gen tersebut. Gen BRCA-2 terletak di kromosom 13q12, resiko
pembawa gen BRCA2 yang telah mengalami mutasi untuk menderita kanker
ovarium lebih rendah dibanding pada pembawa gen BRCA1.2,3

2.3.4. Umur

Kanker ovarium dapat dijumpai pada semua golongan umur, bahkan pada
kasus yang jarang, juga dapat ditemukan pada bayi bawah lima tahun (balita) dan
anak-anak. Namun angka kejadian baru paling banyak ditemukan pada rentang umur
60 sampai 74 tahun dengan median umur saat terdiagnosis adalah 59 tahun. Resiko
tumor ovarium untuk mengalami keganasan juga meningkat seiring dengan
bertambahnya umur, dimana risiko keganasan didapatkan sebesar 13% pada
wanita pre menopause dan 45% postmenopause. Sebanyak 80% dari kejadian kanker
ovarium ditemukan pada umur wanita lebih dari 45 tahun, namun pada
beberapa kasus kanker ovarium juga dapat ditemukan pada umur relative muda
yakni 20-30 tahun.4
Penelitian yang dilakukan oleh Cancer Research United of Kingdom pada
tahun 2006, didapatkan angka kejadian kanker ovarium yang meningkat seiring
dengan bertambahnya umur, dimana kasus terbanyak kanker ovarium ditemukan
pada kelompok wanita umur 60 sampai 64 tahun.7
2.3.5. Kehamilan dan paritas
Wanita yang sudah pernah hamil beresiko 50% lebih rendah risiko untuk
mengalami kanker ovarium daripada wanita yang belum pernah hamil atau
nullipara. Bahkan, wanita yang telah beberapa kali hamil risiko terjadinya kanker
ovarium menjadi semakin berkurang. Penelitian pada Cancer Research United of
Kingdom tahun 2006 menyimpulkan bahwa semakin tinggi jumlah paritas maka
semakin rendah kemungkinan risiko terjadinya kanker ovarium, bahkan wanita
yang tidak memiliki anak atau nullipara memiliki risiko dua kali lipat lebih besar
untuk terjadinya kanker ovarium daripada wanita dengan paritas tiga atau lebih.7
2.3.6. Penggunaan kontrasepsi oral
Penelitian yang dilakukan oleh Center of Diseases Control (CDC)
diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan obat kontrasepsi oral dapat menurunkan
risiko kejadian kanker ovarium kurang lebih sebesar 40% pada wanita yang

berumur 20 sampai 54 tahun, dengan risiko relatif sebesar 0,6. Penelitian lainnya
melaporkan bahwa penggunaan pil kontrasepsi selama kurang lebih satu tahun
dapat menurunkan risiko kejadian kanker ovarium sebesar 11%, sedangkan jika
penggunaannya mencapai lima tahun maka risiko terjadinya kanker ovarium dapat
semakin berkurang, bahkan mencapai 50%.3
Selain itu penelitian oleh Beral (2008)
penurunan

risiko

relatif

kejadian

juga

menyimpulkan

adanya

kanker ovarium sesuai dengan lamanya

pemakaian kontrasepsi oral, dimana pada wanita yang memakai kontrasepsi oral
selama kurang dari satu tahun memiliki risiko relatif 1, kemudian semakin menurun
mencapai 0,42 pada pemakaian yang lebih dari lima belas tahun. Setelah diteliti
pada jenis hormon pada obat kontrasepsi, diperoleh bahwa hormon yang
berperan dalam menurunkan risiko terjadinya kanker ovarium tersebut adalah
progesteron. Penggunaan obat yang mengandung hormon estrogen saja khususnya
pada wanita pascamenopause justru meningkatkan risiko terjadinya kanker
ovarium.

Sedangkan penggunaan kombinasi progesteron dan estrogen atau

progesteron saja akan menurunkan risiko terjadinya kanker ovarium.3


2.3.7. Obat -obatan yang meningkatkan kesuburan
Obat-obat yang meningkatkan kesuburan atau fertilitas, seperti klomifen
sitrat dan obat-obatan gonadotropin, seperti Follicle Stimulating Hormone (FSH)
dan Luteinizing Hormone (LH), dapat menginduksi terjadinya ovulasi baik tunggal
maupun

multipel.

Penggunaan obat-obatan tersebut dapat meningkatkan risiko

seorang wanita untuk mengalami kanker ovarium. Pada pemakaian klomifensitrat


lebih dari dua belas siklus, dapat meningkatkan risiko relatif sebesar sebelas kali
untuk menjadi kanker ovarium.3

10

2.3.8. Pengikatan atau ligasi tuba


Pengikatan atau ligasi tuba dapat menurunkan risiko angka kejadian
kanker ovarium dengan risiko relatif sebesar 0,3. Mekanisme yang menyebabkan
terjadinya efek protektif tersebut diduga oleh karena terputusnya jalur atau akses
berbagai bahan karsinogen ke ovarium melalui vagina dan tuba.3
2.3.9. Indek Massa Tubuh (IMT)
Beberapa

penelitian

membuktikan

bahwa

peningkatan

IMT

dapat

meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium. Penelitian yang dilakukan oleh


European Prospective Investigation into Cancer and Nutrition

tahun 2006

memperoleh hasil bahwa pada wanita dengan IMT di atas 30 atau obesitas
memiliki risiko relatif sebesar 1,59 untuk terjadinya kanker ovarium dibandingan
dengan wanita dengan IMT normal.9

2.4. Patogenesis Kanker Ovarium


Walaupun penyebab pasti kanker ovarium masih belum ditemukan, beberapa
teori telah dikemukakan oleh para ahli dalam rangka mengungkap patogenesis
terjadinya kanker ovarium, antara lain:
2.4.1. Teori incessant ovulation
Teori

Incessant

ovulationdikemukakan

oleh

Fatala

(1972)

yang

mengatakan bahwa mekanisme terjadinya kanker ovarium adalah akibat dari


ovulasi yang terus menerus serta adanya trauma berulang pada ovarium selama
proses ovulasi, mengakibatkan epitel ovarium mudah terpajan atau terpapar oleh
berbagai faktor resiko sehingga dapat mengakibatkan terjadinya kelainan atau
abnormalitas genetik. Kerusakan sel epitel ovarium pada waktu terjadinya ovulasi
membutuhkan waktu untuk pemulihan, bila waktu istirahat berkurang maka

11

proses pemulihan ini akan terganggu sehingga dapat terjadi perubahan ke arah
keganasan.2
Berdasarkan teori tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin dini usia
seorang wanita mengalami menstruasi, akan makin lambat mencapai menopause,
dan tidak pernah hamil atau memiliki keturunan merupakan berbagai kondisi yang
dapat meningkatkan frekuensi ovulasi akan meningkatkan risiko terjadinya kanker
ovarium. Sedangkan berbagai kondisi yang menekan frekuensi ovulasi, seperti
kehamilan dan menyusui justru menurunkan risiko terjadinya kanker ovarium.3
Terjadinya ovulasi dan bertambahnya umur seorang wanita meyebabkan
terperangkapnya fragmen epitel permukaan ovarium pada cleft (invaginasi pada
permukaan) dan badan inklusi pada korteks ovarium. Beberapa penelitian telah
membuktikan
neoplasma

bahwa

pada

terdapat

daerah-daerah

hubungan
ovarium

antara
yang

frekuensi

metaplasia

dan

mengalami

invaginasi

dan

terbentuknya badan inklusi.3


2.4.2. Teori inflamasi
Teori ini berdasarkan pada penelitian bahwa angka insiden kanker ovarium
meningkat pada wanita yang mengalami infeksi atau radang pada panggul.
Menurut teori ini, berbagai karsinogen dapat mencapai ovarium melalui saluran
genitalia. Walaupun adanya proteksi terhadap risiko kanker ovarium melalui
ligasi tuba dan histerektomi mendukung teori ini, namun peranan signifikan faktor
reproduksi lainnya tdak dapat dijelaskan dengan teori ini.3
2.4.3. Teori gonadotropin
Teori ini berdasarkan data epidemiologis dan data dari hewan percobaan. Pada
rodentia ditemukan adanya penurunan estrogen dan peningkatan sekresi gonadotropin
hipofisis dapat mengakibatkan perkembangan tumor ovarium. Pada hewan tersebut,
adanya penurunan estrogen dan peningkatan sekresi gonadotropin hipofisis dapat

12

mengakibatkan perkembangan tumor ovarium. Ovarium yang terpapar bahan


karsinogen, seperti Dimethylbenzanthrene (DMBA) akan berkembang menjadi tumor
setelah ditransplantasikan pada tikus yang telah menjalani ooforektomi, namun hal
tersebut tidak ditemukan pada tikus yang sebelumnya dilakukan pengangkatan
kelenjar pituitary.8
2.4.4. Teori Androgen
Berdasarkan penelitian Risch (1988) pada hewan percobaan ditemukan
bahwa adanya reseptor androgen pada sel epitel ovarium babi dapat memacu
pertumbuhan sel ovarium menjadi kista, papiloma ataupun adenoma. Pada kanker
ovarium ditemukan adanya kadar androgen yang meningkat.2
Teori androgen didasarkan pada bukti bahwa epitel ovarium mengandung
reseptor androgen. Epitel ovarium terpapar oleh androgen yang berasal dari ovarium
itu sendiri. Kista inklusi yang berada di dekat folikel yang sedang berkembang
dipicu pertumbuhannya oleh androgen dengan kadar tinggi. Dalam beberapa
penelitian ditemukan bahwa kadar androgen pada dalam darah penderita kanker
ovarium cukup tinggi. Jadi, berdasarkan hipotesis ini menurunnya risiko terjadinya
kanker ovarium pada wanita yang memakai pil kontrasepsi dapat dijelaskan
yaitu dengan terjadinya penekanan kadar androgen.3
2.4.5. Teori Progesteron
Percobaan pada hewan didapatkan penurunan angka insiden kanker
ovarium setelah diberikan makanan yang mengandung pil kontrasepsi, penurunan
insiden ini lebih banyak dengan pemberian makanan yang mengandung
progesterone saja. Pemberian pil yang hanya berisikan estrogen pada wanita pasca
menopause akan

meningkatkan resiko terjadinya

kanker ovarium,

sedangkan

pemberian pil kombinasi dengan progesterone akan menurunkan resikonya, sama


halnya dengan pil yang hanya mengandung progesterone yang dapat menekan
ovulasi sehingga menurunkan resiko kanker ovarium.3

13

2.5. Gejala, Tanda dan Diagnosis


Umumnya gejala kanker ovarium pada stadium awal tidak khas sehingga
lebih dari 70% penderita kanker terdiagnosa pada stadium lanjut. Pada penderita
dalam usia perimenopause didapatkan keluhan haid yang tidak teratur, bila massa
tumor telah mebesar hingga menekan kandung kemih atau rectum akan muncul
keluhan sering berkemih atau konstipasi. Kadang dijumpai gejala distensi perut
bagian

bawah,

rasa

tertekan

hingga

nyeri

pelvis

dalam

derajat

yang

bervariasi.Pada stadium lanjut gejala yang ditemukan berkaitan dengan adanya


asites, metastasis ke omentum ataupun metastasis ke usus.2,3
Pada pasien dengan kanker ovarium heriditer, pengukuran CA-125,
pemeriksaan pelvis, ultrasonografi transvaginal dapat dilakukan setiap 6 bulan. Pada
kelompok yang sangat berisiko tinggi

tersebut

dapat

direkomendasikan

ooforektomia profilaksis pada usia 35 tahun setelah memiliki cukup anak.5


Diagnosis dilaksanakan dengan anamnesis lengkap serta pemeriksaan fisik.
Untuk jenis kanker ovarium jenis epitel penanda tumornya CA-125, tumor sel
germinal LDH, hCG, AFP, dan tumor stroma sex cord, inhibin. 5
Pemeriksaan darah tepi, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, serta biokimia
darah lainnya perlu dilakukan. Perneriksaan radiologik berupa foto paru-paru,
untuk mengevaluasi metastasis paru, efusi pleura serta pemeriksaan CT-scan
abdomen pelvis. Bila ada keluhan simtomatik, perlu dilakukan pielografi inrravena
atau barium enema untuk evaluasi kandung kemih dan perluasan ke usus.5

14

2.6. Stadium
Stadium surgikal pada kanker ovarium (FIGO 1988).5
Stadiu

Kriteria

m
I
Ia

Pertumbuhan tumor terbatas pada ovarium


Pertumbuhan tumor terbatas pada satu ovarium, cairan ascites tidak
mengandung sel-sel ganas, tidak ada pertumbuhan tumor pada

Ib

permukaan luar tumor, kapsul utuh


Pertumbuhan tumor terbatas pada kedua ovarium, cairan ascites
tidak mengandung sel-sel ganas, tidak ada pertumbuhan tumor pada

Ic

permukaan luar tumor, kapsul utuh


Tumor pada stadium Ia atau Ib tetapi dengan pertumbuhan tumor pada
permukaan luar dari satu atau kedua atau kapsul pecah atau cairan

II

ascites atau cairan bilasan peritoneum mengandung sel-sel ganas


Pertumbuhan tumor pada satu atau kedua ovarium dengan perluasan

IIa
IIb
IIc

ke rongga pelvis
Penyebaran dan atau metastasis ke uterus dan atau tuba fallopi
Penyebaran tumor ke organ pelvis lainnya
Tumor dengan stadium IIa atau IIb, tetapi dengan pertumbuhan
tumor pada pemukaan luar dari satu atau kedua ovarium atau
kapsul pecah atau cairan ascites atau cairan bilasan peritoneum

III

mengandung sel-sel ganas


Tumor melibatkan satu atau kedua ovarium dengan implantasi di
luar pelvis dan atau terdapat pembesaran kelenjar limfe inguinal atau
retroperitoneal. Metastasis pada pemukaan liver sesuai dengan stadium
III. Tumor

IIIa

terbatas

pada pelvis, tetapi

pemeriksaan

histologi

menunjukkan penyebaran tumor ke usus halus atau omentum


Tumor secara makroskopis terbatas pada pelvis dan tidak ada
pembesaran kelenjar limfe, tetapi pemeriksaan histologi menunjukkan

IIIb

penyebaran ke permukaan peritoneum abdominal


Tumor pada satu atau kedua ovarium dengan penyebaran di permukaan

15

peritoneum berdiameter tidak lebih dari 2 cm dan didukung oleh


IIIc

hasil pemeriksaan histologi. Tidak ada penyebaran ke kelenjar limfe


Terdapat penyebaran pada peritoneum abdominal dengan diameter
lebih dari 2 cm atau terdapat

IV

penyebaran

ke kelenjar limfe

retroperitoneal atau inguinal atau keduanya


Pertumbuhan tumor meliputi satu atau kedua ovarium dengan metastase
jauh. Bila terdapat efusi pleura, harus ditemukan sel-sel ganas pada
pemeriksaan sitologi. Metastasis pada parenkim liver sesuai dengan
stadium IV

2.7. Histopatologi
Jenis epitel (65% dari kanker ovarium) terdiri dari serosum (20% sampai
50%), musinosum (15% sampai 25%), yang dapat tumbuh sangat besar (permagna),
endometrioid (5%, dan kira-kira 10% bersamaan dengan endometriosis), sel jernih
(5%, prognosis buruk) dan Brenner (2% sampai 3%, sebagian besar jinak). Kira-kira
15% dari kanker jenis epitel menunjukkan potensi keganasan rendah (low potential
malignant).5
Tumor sel germinal (25% dari semua kanker ovarium) dan yang tersering
disgerminoma, diikuti tumor campuran sel germinal. Tipe lainnya adalah teratoma
itnatur, koriokarsinoma, tumor sinus endodermal, dan karsinoma embrional.5
Tumor stroma sex cord (5% dari semua kanker ovarium). Yang tersering
adalah tumor sel granulosa. Tipe lainnya tumor sel Sertoli-Leydig. Jenis lainnya:
sarkoma, tumor metastasis.5
2.8. Pengobatan
Tindakan pembedahan ada dua tujuan yakni pengobatan dan penentuan
stadium surgikal. Terapi pembedahan termasuk histerektomi, salpingo-ooforektomi,
omentektomi, pemeriksaan

asites, bilasan

peritoneum,

dan

mengupayakan

16

debulking optimal (kurang dari 1 cm tumor residu), limfadenektomi (pengambilan


sampel untuk pemeriksaan histopatologi) pada stadium awal, stadium IA sampai
stadium IB derajat 1 dan 2, atau semua stadium pada jenis tumor potensial rendah
pada ovarium. Kemudian dilakukan observasi dan pengamatan lanjut dengan
pemeriksaan CA-125.5
Pasien dengan Stadium IA derajat 1 dan 2 jenis epitel mempunyai
kesintasan hidup 5 tahun 95% dengan pemberian kemoterapi. Beberapa klinikus
akan memberikan kemoterapi pada kanker ovarium derajat 2 stadium IA dan IB
derajat 3, stadium II sampai IV: Kemoterapi: paclitaxel (taxol) dengan carboplatin
atau cisplatin.5
Setelah

selesai

pengobatan

dengan

kemoterapi, ada 3 pilihan

yang

ditetapkan pada pasien: Observasi, teruskan pengobatan, bila tumor regresi tapi
belum hilang seluruhnya dan terapi konsolidasi dengan kemoterapi lain. Biasanya
diberikan hexamethylmelamine secara terus-menerus untuk menekan agar tidak
timbul residif.5

2.9. Kanker Ovarium Residif


Pasien dengan tersangka residif kanker ovarium bila ada gejala gangguan
gastrointestinal,

obstruksi

partialis,

atau

diketahui ada massa baru dari

pemeriksaan CT-scan. Evaluasi dilakukan dengan melakukan pemeriksaan daerah


abdomen, adanya effuse pleura. Pengobatan untuk kanker ovarium residif dengan
cara operasi (debulking) sangat tidak efektif terutama bila tumor resisten terhadap
kemoterapi. Bila residifnya lebih dari 6 bulan setelah selesai kemoterapi berbasis
platinum, dapat dipertimbangkan pemberian ulang kemoterapi berbasis platinum.
Akan tetapi, bila

residifnya kurang dari 6 bulan setelah kemoterapi

berbasis

platinum, dipertimbangkan kemoterapi topotecan dan doxorubicin, ifosfamid,


cyclofosphamide, atau paclitaxel per minggu.5

17

2.10. Kanker Ovarium Sel Germinal


Kanker ini banyak dijumpai pada usia muda sehingga preservasi fertilitas
perlu dipertimbangkan. Tindakan pembedahan pada jenis tumor sel germinal
berupa laparotomy eksploratif, bilasan peritoneum, salpingo-ooforektomia unilateral,
omentektomi, biopsy kelenjar getah bening pelvis dan para-aorta, biopsi multipel
pada daerah peritoneum (usus diafragma, anterior/posterior kavum Douglasi).
Pastikan biopsi ovarium dengan sediaan beku. Bila biopsi ovarium jenisnya
disgerminoma, maka perlu dibiopsi ovarium sisi kontralateral, karena jenis
disgerminoma 10% bilateral. Di sisi lain tumor sel germal lainnya jarang bilateral
(kurang dari 5%). Bila biopsi sediaan beku menunjukkan bukan disgerminoma, dan
ovarium kontralateral tampaknya normal, maka ovarium yang sehat dapat
ditinggalkan tanpa dibiopsi. Semua

pasien dengan tumor sel germinal perlu

mendapat ajuvan kemoterapi kecuali disgerminoma

stadium

IA, atau teratoma

imatur stadium I derajat 1. Tumor teratoma imatur stadium I derajat 1 kesintasan


hidupnya 85%.5
Standar

pengobatan

pada tumor sel germal adalah pembedahan dan

dilanjutkan dengan kemoterapi bleomycin, etoposid, dan platinum (BEP) untuk


semua stadium. Pertumbuhan tumor sinus endodermal cepat, oleh karena itu, pasien
harus segera mendapatkan pengobatan kemoterapi (BEP) setelah pembedahan.
Ajuvan BEP diberikan tambahan 2 seri setelah penanda tumor AFP normal. Setelah
kemoterapi tumor sel germal residif, dapat diberi gabungan vincristine, dactinomycin,
cyclofosphamide (VAC), atau paclitaxel, ifosfamid. Pengobatan pada tumor ganas
jenis

sex cord stromal

tumor stadium I, setelah pembedahan dan penetapan

stadium surgikal, hanya diobservasi. Bila hanya ovarium yang diangkat, maka
25% pasien dengan tumor sel granulosa juga didapati hiperplasia endometrium
yang berisiko menjadi kanker endometrium. Pasien dengan lebih dari stadium I,

18

pasca pembedahan perlu diberi kemoterapi yang mengandung BEP. Radioterapi dapat
memperbraiki prognosis dan memperpanjang remisi pada pasien dengan persisten
atau residif pada tumor sel granulosa.5

2.11. Faktor Prognosis


Faktor-faktor yang memperbaiki prognosis termasuk derajat diferensiasi
rendah, stadium awal, tumor ganas potensi rendah, debulking optimal, dan usia muda.
Sementara itu faktor yang memperburuk prognosis termasuk karsinoma sel jernih,
jenis serosum, stadium lanjut, adanya asites, debulking yang tidak optimal, derajat
diferensiasi tinggi/buruk, dan usia tua.5

2.12. Rute Penyebaran Penyakit


Kanker menyebar perkontinuetatum/organ di sekitarnya. Sel-sel kanker
menyebar mengikuti aliran cairan peritoneum dan terimplantasi ke organ dalam
rongga peritoneum.5

2.13. Pengamatan Lanjut


Pada 2 tahun pasca pengobatan dilakukan evaluasi setiap 3 bulan, dan
sebagian besar tumor residif terjadi pada 2 tahun pertama. Pada tahun ketiga sampai
tahun kelima evaluasi setiap 6 bulan, selanjutnya setelah 5 tahun, evaluasi
dilakukan tiap 1 tahun. Setiap pemeriksaan, termasuk pemeriksaan pelvis, perabaan
kelenjar getah bening, bila perlu pemeriksaan laboratorium, dan CT-scan bila ada
indikasi.5

19

BAB III
LAPORAN KASUS GINEKOLOGI

3.1. Identitas
Nama
Usia
Pekerjaan
Agama
Suku
Alamat
RM
MRS

:
:
:
:
:
:
:
:

Ny. N
35 tahun
IRT
Islam
Sasak
Janapria
893074
27 Februari 2015

3.2. Anamnesis
Keluhan Utama : Benjolan di perut
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD Praya dengan keluhan benjolan di perut bagian
bawah. Benjolan baru dirasakan oleh pasien sejak satu minggu yang lalu.
Benjolan muncul

tiba-tiba dan terasa nyeri bila ditekan. Pasien juga

mengeluhkan gangguan menstruasi beberapa bulan terakhir yaitu siklus


menstruasi yang lebih lama dari biasanya dan perdarahan yang lebih banyak,
siklus menstruasi terakhir berlangsung hingga dua belas hari dan tidak disertai
dengan nyeri. Selain itu pasien mengaku mengalami penurunan berat badan
dalam beberapa bulan terakhir. Beberapa hari terakhir pasien tidak bisa BAB,
namun sekarang pasien sudah bisa BAB. Pasien tidak mengeluhkan adanya
gangguan berkemih.

20

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien pernah mengalami benjolan di perutnya pada tahun 2007 dan sudah di
operasi. Riwayat penyakit jantung, asma, hipertensi dan DM disangkal oleh
pasien.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Menurut pasien tidak ada anggota keluarga yang mempunyai keluhan serupa
maupun penyakit jantung, asma, hipertensi dan DM.
Riwayat Alergi :
Pasien mengatakan tidak mempunyai alergi terhadap obat-obatan dan makanan.
Riwayat Obstetri :
Riwayat haid pertama kali usia 12 tahun : siklus 28 hari teratur, lama haid 6-7
hari. Pernikahan ke-1 : lama menikah 20 tahun, menikah usia 15 tahun.
Pasien memiliki riwayat kehamilan sebagai berikut :
1. Aterm/perempuan/normal/dukun/20 tahun/hidup

3.3. Status Generalis


Keadaan umum : baik
Kesadaran
: compos mentis
Tanda Vital
-

Tekanan darah
Frekuensi nadi
Frekuensi napas
Suhu

:
:
:
:

100/80 mmHg
80 x/menit
20 x/menit
36,2oC

Pemeriksaan Fisik Umum


-

Mata

: anemis (-/-), ikterus (-/-)

21

Jantung
Paru
Ekstremitas

: S1S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)


: vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
: edema - akral teraba hangat + +
- -

+ +

3.4. Status Ginekologi


Abdomen :
Inspeksi
Abdomen tidak tampak mengalami pembesaran, bekas operasi (+)
Palpasi
Teraba massa, berjumlah satu, ukuran 10 x 9 cm, berbatas tegas,

permukaan rata, konsistensi padat keras, tidak dapat digerakkan, terdapat


nyeri pada penekanan.

Scar
Massa

3.5. Diagnosa Kerja


Suspect Ca ovarium stadium Ia
3.6. Diagnosa Banding
Kista Ovarium, Mioma uteri
3.7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Darah Lengkap (27/02/2015) :

Hb
RBC
WBC
PLT
HCT
HbSAg
Urea
Creatinine

:
:
:
:
:
:
:
:

11,1 g/dL
3,97 M/l
19,8 K/l
508 K/l
33,4 %
(-)
16,2 mg/dl
0,52 mg/dl

22

SGOT
SGPT

: 38,6 IU/L
:46,0 IU/L

Pemeriksaan Darah Lengkap (03/03/2015) post op :

Hb
RBC
WBC
PLT
HCT

:
:
:
:
:

8,9 g/dL
3,16 M/l
27,8 K/l
470 K/l
26,6 %

3.8. Diagnosis Pre Operasi


Suspect Ca Ovarium
3.9. Rencana Tindakan

Planning Diagnosa : DL, Rontgen Thoraks, USG, CT-Scan, Ca-125,

Laparotomi Biopsi
Planning Terapi : Histerektomi totalis, salpingo-ooforektomi, kemoterapi
Planning Evaluasi : keadaan umum pasien dan vital sign

KIE pasien dan keluarganya : prosedur terapi, tujuan, resiko, komplikasi

3.10. Laparatomi
Tindakan Operasi : Laparotomi Eksplorasi + Drainase Pus + Biopsi
Penemuan Intra Operasi :

Tampak perlengketan hebat pada cavum abdomen, ditemukan massa

diameter 8 m dengan adnexa usus dari organ lain


Massa kistik dipecahkan keluar pus warna kuning kecoklatan
Organ genitalia interna sulit dievaluasi
Kesan abses tuba ovarial
Diagnosa Post Op : post laparotomi biopsi + drainase pus e.c susp. Abses tuba
ovarial.
Instruksi Post Operasi :

23

Pemeriksaan laboratorium 6 jam post-operatif


Drain < 15 cc
Injeksi cefotaxim 3 x 1 gr
Metronidazol 3 x 1 flash
Gentamisin 2 x 2 ampul
Klnex 3 x 1 gr
Ketorolac 3 x 1 ampul
Alinamin F 3 x 1 ampul
2 Jam Post Operatif
KU
: lemah

KES

: compos mentis

TD

: 100/60 mmHg

Nadi

: 72 x/menit

RR

: 22 x/menit

Suhu

: 36,5oC

1 Hari Post Operatif

KU

: lemah

KES

: compos mentis

TD

: 110/80 mmHg

Nadi

: 80 x/menit

RR

: 20 x/menit

Suhu

: 36,6oC

24

BAB IV
PEMBAHASAN
Kanker ovarium merupakan keganasan ketiga terbanyak pada saluran
genitalia wanita. Kanker ovarium sangat sukar terdiagnosa pada stadium awal,
sehingga sebagian besar kasus baru ditemukan pada stadium yang telah lanjut.
Kanker ovarium jarang terjadi pada wanita dengan usia di bawah 40 tahun, sebagian
besar terjadi pada wanita umur 40 sampai 65 tahun, namun pada beberapa kasus
kanker ovarium juga dapat ditemukan pada umur relative muda yakni 20-30
tahun
Pada laporan kasus berikut diajukan suatu kasus seorang wanita 35 tahun
dengan diagnosis suspect ca ovarium. Sampai saat ini belum diketahui penyebab pasti
ca ovarium dan diduga merupakan penyakit multifactorial. Dari anamnesis ditemukan
beberapa keluhan yang dialami pasien yang mengarah ke keluhan ca ovarium yaitu

25

terdapat benjolan pada perut bagian bawah, yang pada pemeriksaannya didaatkan
konsistensi yang padat keras dan benjolan tersebut tidak dapat digerakkan. Selain itu
juga pasien mengeluhkan adanya penurunan berat badan, gangguan BAB sampai
gangguan siklus haid yang tidak teratur.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan status vital yang baik, yang berarti
hemodinamik pasien masih stabil. Teraba massa, berjumlah satu, ukuran 10 x 9 cm,
berbatas tegas, permukaan rata, konsistensi padat keras, tidak dapat digerakkan,
terdapat nyeri pada penekanan.
Berdasarkan teori, faktor predisposisi pada pasien tersebut dapat dikaitkan
dengan teori Teori Incessant ovulation yang dikemukakan oleh Fatala (1972) yang
mengatakan bahwa mekanisme terjadinya kanker ovarium adalah akibat dari
ovulasi yang terus menerus serta adanya trauma berulang pada ovarium selama
proses ovulasi, mengakibatkan epitel ovarium mudah terpajan atau terpapar oleh
berbagai faktor resiko sehingga dapat mengakibatkan terjadinya kelainan atau
abnormalitas genetik. Kerusakan sel epitel ovarium pada waktu terjadinya ovulasi
membutuhkan waktu untuk pemulihan, bila waktu istirahat berkurang maka
proses pemulihan ini akan terganggu sehingga dapat terjadi perubahan ke arah
keganasan. Kondisi pasien dimana sering terjadi proses ovulasi yang terus menerus
karena tidak adanya proses pembuahan yang menghentikan proses ovulasi. Selain itu,
pasien belum pernah hamil lagi semenjak kehamilan anak pertama 20 tahun yang lalu
dimana faktor multiparitas dapat menjadi salah satu faktor yang dapat mencegah
insidensi terjadinya ca ovarium.
Diagnosis pasti pada pasien tersebut masih belum dapat ditegakkan sebelum
dilakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan patologi anatomi yang
menjadi standar baku dalam menegakkan diagnosis kanker. Penatalaksanaan pasien
ini dilakukan konsul anastesi dan penyakit dalam untuk mengevaluasi keadaan pasien

26

pre-operatif dan dilakukan laparotomi biopsi untuk mendapatkan bahan pemeriksaan


patologi anatomi.

Daftar Pustaka
1. Fachlevy, A. F, Abdullah, Z, Russeng, S. S. Faktor Risiko Kanker Ovarium Di
Rsup Wahidin Sudirohusodo Makassar. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Hasanuddin. Makassar. 2011.
2. Rasjidi, I. Epidemiologi Kanker pada Wanita. 1st ed. Sagung Seto. Jakarta.
2010.
3. Busman, B. Kanker Ovarium, dalam: Aziz, M.F., Andriono, Siafuddin, A.B,
editors. Buku Acuan Nasional Onkologi dan Ginekologi. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2008.
4. Fauzan, R. Gambaran faktor penggunaan kontrasepsi terhadap angka
kejadian kanker ovarium di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

27

berdasarkan pemeriksaan histopatologik tahun 2003-2007 (tesis). Jakarta:


Universitas Indonesia. 2009.
5. Anwar, M. Ilmu Kandungan. 3rd ed. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. 2011.
6. American Cancer Society. Cancer Facts and Figures 2010. Available at
http://documents.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/003130pdf.pdf. Accessed: 4 Maret 2015.
7. Granstrom, C. Population Attributable Fractions for Ovarian Cancer in
Swedish Women by Morphological Type. National Centre for Biotechnology
Information (NCBI) Journal. 98 (1), 199-205. 2008.
8. Choi, J.H., Wong, A.S.T. Huang, H.F., Leung, P.C. Gonadotropins and
Ovarian Cancer, Endocrine Reviews, 28 (4), 440-461. 2007.
9. Lahmann, P.H. Anthropometric Measures and Epithelial Ovarian Cancer Risk
in The European Prospective Investigation into Cancer and Nutrition. NCBI
Journal. Vol 19. 1982-1492. 2009.

28

Anda mungkin juga menyukai