Anda di halaman 1dari 7

UNIVERSITAS INDONESIA

TUGAS PENGANTAR HUKUM BISNIS


HUKUM PERJANJIAN

RESUME KELOMPOK 4

DISUSUN OLEH:
GLADYS N. RACHMANDA
HANIYAH
INDRA GHANA R.
KHAIRUNNISA L.
OCTI NURHUSNA

PROGRAM EKSTENSI
BIDANG STUDI AKUNTANSI
JAKARTA
MARET 2015

A. Pengertian Perjanjian

Definisi perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Pasal 1313, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Menurut
pendapat yang banyak dianut (communis opinion cloctortinz) perjanjian adalah perbuatan
hukum berdasarkan

kata

sepakat untuk menimbulkan

suatu akibat hukum. Hal itu

sependapat pula dengan Sudikno, "perjanjian merupakan hubungan hukum antara dua pihak
atau lebih berdasar kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum". Berikut adalah
pengertian perjanjian dari berbagai ahli:
1. Prof. Subekti SH. : suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seseorang
berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal.
2. R. Setiawan : menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu perbuatan hukum dimana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih.
3. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan : perjanjian merupakan perbuatan hukum dimana
seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih.
Dari pendapat-pendapat di atas, maka pada dasamya perjanjian adalah proses interaksi atau
hubungan hukum dan dua perbuatan hukumya itu penawaran oleh pihak yang satu dan
penerimaan oleh pihak yang lainnya sehingga tercapai kesepakatan untuk menentukan isi
perjanjian yang akan mengikat kedua belah pihak. Ada dua pihak, di mana satu pihak adalah
pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas
prestasi tersebut (kreditor). Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 BW).
B. Syarat Syarat Sahnya Suatu Perjanjian
Menurut Pasal 1320 Undang-Undang Hukum Perdata, sahnya suatu perjanjian diperlukan
empat syarat, yaitu:
1.
2.
3.
4.

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;


Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
Mengenai suatu hal tertentu;
Suatu sebab yang halal.

Untuk dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subjektif karena syarat tersebut
mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang melakukan perjanjian, sedangkan dua syarat

terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena mengenai perjanjian itu sendiri atau objek
dari perbuatan hukum yang dilakukan tersebut.
i. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Sepakat dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian dikehendaki
oleh pihak lainnya. Seperti seorang penjual yang menginginkan sejumlah uang,
sedangkan pembeli menginginkan suatu barang dari si penjual.
ii. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
Orang yang membuat perjanjian haruslah cakap menurut hukum. Setiap orang yang sudah
dewasa dan akilbaliq dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Menurut Pasal
1330 Undang-Undang Hukum Perdata, orang-orang yang tidak dapat cakap dalam
membuat suatu perjanjian adalah:
1) Orang-orang yang belum dewasa;
2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
3) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang, dan semua
orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian
tertentu.
iii. Mengenai suatu hal tertentu
Syarat yang ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu,
artiya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu
perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam suatu perjanjian paling tidak harus
ditentukan jenisnya. Perlu dijelaskan juga bahwa apakah barang itu sudah ada atau sudah
berada di pihak yang berutang pada waktu perjanjian, tidak

diharuskan

diatur

oleh

undang-undang. Juga jumlahnya harus dapat dihitung atau ditetapkan.


iv. Suatu sebab yang halal
Syarat keempat untuk suatu perjanjian yang sah adalah adanya suatu sebab yang halal.
Dengan sebab ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian. Bahwa sebab itu adalah
sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat suatu perjanjian. Sesuatu yang
menyebabkan seseorang membuat perjanjian pada dasarnya tidak dihiraukan oleh
undang-undang. Namun, yang diperhatikan oleh hukum atau undang-undang adalah
tindakan orang-orang dalam masyarakat. Jadi, yang dimasudkan dengan sebab atau causa
dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri.
C. Asas-asas hukum perjanjian
1. Konsensualitas

salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah
pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak
diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua
belah pihak.
2. Kebebasan Berkontrak
Setiap orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja asal tidak melanggar ketertiban
umum atau kesusilaan. Orang tidak saja leluasa untuk mebuat perjanjian apa saja, bahkan
pada umumnya juga diperbolehkan mengeyampingkan peraturan-peraturan yang termuat
dalam KUH Perdata.
3. Dilaksanakan dengan itikad baik
setiap orang yang membuat suatu perjanjian jual beli harus dilakukan dengan itikad baik.
Asas itikad baik ini dapat dibedakan atas itikad baik yang subyektif dan itikad baik yang
obyektif. Itikad baik dalam pengertian yang subyektif dapat diartikan sebagai kejujuran
seseorang atas dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada
sikap bathin seseorang pada saat diadakan suatu perbuatan hukum. Sedang Itikad baik
dalam pengertian yang obyektif dimaksudkan adalah pelaksanaan suatu perjanjian yang
harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa yang dirasakan patut dalam suatu
masyarakat.
4. Keterikatan
Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan
didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan
oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang
5. Syarat batal berlaku surut
Syarat telah terpenuhi, maka syarat itu berlaku surut hingga saat lahirnya perikatan. Jika
si berpiutang meninggal sebelum terpenuhinya syarat, maka hak-haknya karena itu
berpindah kepada ahli warisnya. Pengertian dalam berlaku surut, adalah dalam hal syarat
batal terjadi, maka kekuatan berlaku surut itu mempunyai daya kerja kebendaan.
6. Bersifat pribadi
Suatu perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya. Pada asasnya semua
perjanjian itu hanya berlaku bagi para pihak, pihak ke tigapun tidak bisa mendapat
keuntungan karena adanya suatu perjanjian tersebut, kecuali yang telah diatur dalam
undang-undang.

D. Macam-macam perikatan
Menurut ilmu Pengetahuan Hukum Perdata, perikatan dibagi dalam beberapa macam yakni:
1. Perikatan Sipil
Perikatan sipil atau civiele verbintenissen merupakan perikatan yang apabila tidak
dipenuhi dapat dilakukan gugatan.
Contoh: sewa menyewa.
2. Perikatan wajar
Perikatan wajar atau natuurlijke verbintenissen merupakan Perikatan yang tak
mempunyai hak tagihan, tetapi apabila sudah dipenuhi tidak dapat diminta kembali.
Contoh: Hutang judi atau hutang karena pertaruhan dan perjanjian kepailitan.
3. Perikatan yang dapat dibagi
Perikatan yang dapat dibagi atau deelbare verbintenissenmerupakan Perikatan yang
menurut sifat dan maksudnya dapat dibagi-bagi dalam memenuhi prestasinya.
Contoh: Perjanjian kerja harian
4. Perikatan yang tidak dapat dibagi
Perikatan yang tidak dapat dibagi atau ondeelbare verbintenissen merupakan perikatan
yang menurut sifat dan maksudnya tidak dapat dibagi-bagi
dalam memenuhi prestasinya.
Contoh: perjanjian menyanyi atau rekaman.
5. Perikatan pokok
Perikatan pokok atau hoof-dverbintenissen merupakan perikatannyang dapat berdiri
sendiri dan tidak bergantung pada perikatan-perikatan lainnya.
Contoh: hutang piutang pada transaksi jual beli.
6. Perikatan tambahan
Perikatan tambahan atau neverbintenissen merupakan perikatan yang merupakan
tambahan dari perikatan lainnya dan tidak dapat berdiri sendiri.
Contoh: perjanjian gadai, fidusia, dan hak tanggungan.
7. Perikatan murni / seketika
Perikatan murni atau Zuivere verbintenis merupakan perikatan yang prestasinya seketika
itu juga harus dipenuhi.
Contoh: Pembelian makanan/minuman instan di restoran.
8. Perikatan bersyarat
Perikatan bersyarat atau voorwaardelijke verbintenis merupakan perikatan dimana
debitur memberikan syarat atas pemenuhannya, yaitu keadaan-keadaan yang pasti
terjadi. Apabila pemenuhan dalam suatu perikatan masih digantungkan pada waktu
tertentu, maka disebut perikatan dengan penentuan waktu (verbintenis met tijdsbepaling).
Contoh: Pinjam uang baru akan dibayar kalau penjualan barang dan si debitor laku.
9. Perikatan sederhana

Perikatan sederhana atau eenvoudige verbintenissen merupakan perikatan yang


prestasinya terdiri dari satu prestasi.
Contoh: Perjanjian mengecat sebagian rumah saja.
E. Berakhirnya Perikatan
Dalam KUH Perdata (BW) dijelaskan mengenai hapusnya perikatan. Pasal 1381 secara tegas
menyebutkan sepuluh cara hapusnya perikatan. Cara-cara tersebut adalah:
1. Pembayaran.
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan (konsignasi).
3. Pembaharuan utang (novasi).
4. Perjumpaan utang atau kompensasi.
5. Percampuran utang (konfusio).
6. Pembebasan utang.
7. Musnahnya barang terutang.
8. Batal/ pembatalan.
9. Berlakunya suatu syarat batal.
10. Dan lewatnya waktu (daluarsa).
Terkait dengan Pasal 1231 perikatan yang lahir karena undang-undang dan perikatan yang
lahir karena perjanjian, maka berakhirnya perikatan juga demikian. Ada perikatan yang
berakhir karena perjanjian seperti pembayaran, novasi, kompensasi, percampuran utang,
pembebasan utang, pembatalan dan berlakunya suatu syarat batal. Sedangkan berakhirnya
perikatan karena undangundang diantaranya; konsignasi, musnahnya barang terutang dan
daluarsa.
Menurut Subekti, sepuluh cara di atas belum lengkap, karena masih ada cara-cara yang belum
disebutkan, misalnya berakhirnya suatu ketetapan waktu dalam suatu perjanjian atau
meninggalnya salah satu pihak dalam beberapa macam perjanjian, seperti meninggalnya

seorang persero dalam suatu perjanjian firma dan pada umumnya dalam perjanjian-perjanjian
dimana prestasi hanya dapat dilaksanakan oleh si debitur sendiri dan tidak oleh seorang lain.

Anda mungkin juga menyukai