Anda di halaman 1dari 20

BAB II

ISI DAN PEMBAHASAN


Tujuan pengobatan TB adalah:3
1.
2.
3.
4.
5.

Menyembuhkan pasien dan mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas.


Mencegah kematian karena penyakit TB aktif atau efek lanjutannya.
Mencegah kekambuhan.
Mengurangi transmisi atau penularan kepada yang lain.
Mencegah terjadinya resistensi obat serta penularannya.

Pengobatan TB terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif dan fase lanjutan. Pada umumnya
lama pengobatan adalah 6-8 bulan.
International Standards for Tuberculosis Care (ISTC) merupakan standar yang melengkapi
guidelines program penanggulangan TB nasional yang konsisten dengan rekomendasi WHO.
Menurut ISTC terdapat 7 standar dalam pengobatan TB (standar 7-13).
STANDAR 7
Setiap praktisi yang mengobati pasien TB mengemban tanggung jawab kesehatan
masyarakat yang penting untuk mencegah penularan infeksi lebih lanjut dan terjadinya
resistensi obat. Untuk memenuhi tanggung jawab ini praktisi tidak hanya wajib memberikan
panduan obat yang memadai tapi juga memanfaatkan pelayanan kesehatan masyarakat lokal
dan sarana lain, jika memungkinkan, untuk menilai kepatuhan pasien serta dapat menangani
ketidakpatuhan bila terjadi.3,4
STANDAR 8
Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati harus
diberi paduan obat yang disepakati secara internasional menggunakan obat yang
bioavailabilitasnya telah diketahui. Fase inisial seharusnya terdiri dari isoniazid, rifampisin,
pirazinamid, dan etambutol. Fase lanjutan seharusnya terdiri dari isoniazid dan rifampisin
yang diberikan selama 4 bulan. Dosis obat anti TB yang digunakan harus sesuai dengan
rekomendasi internasional. Kombinasi dosis tetap yang terdiri dari kombinasi 2 obat
(isoniazid), 3 obat (isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid), dan 4 obat (isoniazid, rifampisin,
pirazinamid, dan etambutol) sangat direkombinasikan.3,4
Menurut Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, pengobatan tuberkulosis dilakukan
dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:2
1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT
tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung
(DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
3) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap Awal (Intensif)

Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

Tahap Lanjutan

Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama.
Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan.

Tabel 1. Pengelompokan OAT2

Tabel 2. Jenis, Sifat, dan OAT Lini Pertama2


Paduan OAT yang Digunakan di Indonesia

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di


Indonesia:
o Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
o Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
o Kategori Anak: 2HRZ/4HR
o Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di Indonesia
terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu kanamycin, capreomisin, levofloksasin,
ethionamide, sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and
etambutol.
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau
4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien.
Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari isoniasid, rifampisin, pirazinamid dan
etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program
untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk
memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai
selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan. KDT
mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat
dan mengurangi efek samping.
2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi
obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep.
3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.
Paduan OAT Lini Pertama dan Peruntukannya
A. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

Pasien baru TB paru BTA positif.


Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif.
Pasien TB ekstra paru

Tabel 3. Dosis untuk Paduan OAT KDT untuk Kategori 12

Tabel 4. Dosis Paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 12


B. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:

Pasien kambuh
Pasien gagal
Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Tabel 5. Dosis untuk Paduan OAT KDT Kategori 22

Tabel 6. Dosis Paduan OAT Kombipak untuk Kategori 22


Catatan:

Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin
adalah 500 mg tanpa memperhatikan berat badan.

Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.


Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest
sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml.(1ml = 250mg).

C. OAT Sisipan (HRZE)


Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1
yang diberikan selama sebulan (28 hari).

Tabel 7. Dosis KDT untuk Sisipan2

Tabel 8. Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan2


Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin)
dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi
yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama.
Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lini
kedua.
STANDAR 9
Untuk meningkatkan serta mengevaluasi kepatuhan terhadap pengobatan, dilakukan
pendekatan yang berfokus pada pasien, didasari oleh kebutuhan pasien serta adanya
hubungan yang saling menghargai di antara pasien dan penyedia layanan kesehatan.
Supervisi dan dukungan yang dilakukan seharusnya menaruh perhatian khusus pada gender
dan kelompok usia, serta harus pula sesuai dengan intervensi yang dianjurkan, termasuk di
dalamnya edukasi dan konseling pasien.
Elemen yang utama pada pendekatan ini adalah penggunaan pengukuran untuk menilai,
meningkatkan kepatuhan berobat, dan mendeteksi ketidakpatuhan. Adapun pengukuran ini
dibuat secara khusus sesuai keadaan masing masing individu dan dapat diterima oleh baik
pasien maupun pemberi pelayanan. Salah satu metode yang dipakai adalah pengawasan

langsung minum obat oleh seorang PMO yang dapat diterima oleh pasien dan sistem
kesehatan serta bertanggung jawab kepada pasien dan sistem kesehatan.3,4
Kepatuhan Berobat dan Faktor yang Mempengaruhinya
Esensi yang secara jelas diungkapkan pada standar ini adalah pentingnya hubungan seorang
pasien dengan penyedia layanan kesehatan untuk berkolaborasi dan berusaha meningkatkan
kepatuhan pengobatan. Dengan mengasumsikan tatalaksana telah diresepkan secara tepat, hal
ini adalah salah satu faktor kritikal untuk keberhasilan terapi.
Akan tetapi, pada kenyataannya, kepatuhan sering menjadi sebuah masalah besar dalam
perjalanan terapi mengingat durasi pengobatan yang umumnya panjang (minimal 6 bulan).
Tanpa dilakukannya sistem dukungan yang baik, seringkali pasien menghentikan pengobatan,
terutama dengan alasan telah merasa sembuh ataupun karena adanya efek samping obat.
Sebagai akibatnya, justru terjadi infeksi yang berkepanjangan, perburukan penyakit, atau
bahkan resistensi obat.
Kepatuhan pasien untuk menjalani pengobatan tuberkulosis berkaitan dengan banyak hal,
misalnya penyedia layanan kesehatan, interpretasi dan persepsi pasien mengenai konsep sehat
dan sakit, beban ekonomi, pengetahuan, sikap, dan tingkah laku, hukum dan kebijakan yang
berlaku, efek samping pengobatan, keluarga dan lingkungan sekitar, serta beragam faktor
lainnya.4
Bila ditelaah lebih lanjut, kepatuhan pada dasarnya adalah sebuah fenomena multi
dimensional yang mencakup 5 faktor utama, yaitu:

Faktor terkait sosial ekonomi.


Beberapa kondisi sosial ekonomi yang diketahui dapat mempengaruhi kepatuhan pada
pengobatan tuberkulosis antara lain tidak adanya sistem dukungan yang efektif,
lingkungan tidak stabil, faktor budaya sekitar, stigma, mahalnya biata medikasi,
mahalnnya biaya transportasi, dan lain lain.
Untuk mengatasinya, diperlukan sistem dukungan sosial yang baik, disediakannya
sarana transportasi yang memadai untuk keperluan terapi, dikembangkannya
organisasi berbasis komunitas, dukungan rekan sebaya, dukungan pada keluarga dan
komunitas, serta edukasi pada komunitas dan penyedia layanan kesehatan untuk
mengurangi stigma.

Faktor terkait sistem layanan kesehatan.


Bila ternyata pelayanan kesehatan sangat buruk, tidak terdapat hubungan yang baik
antara pasien dengan penyedia layanan kesehatan, petugas yang kurang terlatih, serta
ketidakberadaan ahli, kepatuhan pasien juga dapat berubah.

Oleh karena itu, masalah di atas diatasi dengan memperbaiki availabilitas petugas,
melakukan pelatihan dan manajemen untuk meningkatkan kualitas penyedia layanan,
supervisi intensif pada petugas, dan pelayanan yang multidisipliner.

Faktor terkait kondisi.


Beberapa kondisi khusus yang dialami oleh pasien dapat memberikan pengaruh buruk
pada kepatuhan meminum obat, misalnya kasus asimtomatik, penurunan kesadaran
akibat penyalahgunaan obat, stres psikologis, dan depresi.
Di lain pihak, bila seorang pasien memiliki pengetahuan yang komprehensif
mengenai TB serta pengobatannya, nilai kepatuhan pun akan membaik.
Oleh karenanya, pemberian edukasi mengenai penyakit maupun tatalaksana yang
akan dilakukan baik jangka pendek maupun jangka panjang pada dasarnya adalah
wajib.

Faktor terkait terapi.


Terapi pada TB dapat dikatakan kompleks, tidak jarang menimbulkan efek samping,
dan dapat pula menimbulkan efek toksik sebagai akibat dari seringnya konsumsi.
Terkait dengan faktor terapi ini, usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
kepatuhan adalah penjelasan mengenai setiap obat dan efek sampingnya, penggunaan
preparat kombinasi fixed dose, pengobatan yang disesuaikan dengan kondisi pasien /
tailored, dan monitor serta penilaian secara ketat.

Faktor terkait pasien.


Pada dasarnya, seluruh aspek kepatuhan dikembalikan kembali pada sifat dari
pasiennya. Kepatuhan yang buruk akan ditemui pada pasien pelupa, pasien dengan
penyalahgunaan obat, depresi, stres, maupun pasien yang terasingkan sebagai akibat
dari stigma yang ada. Kondisi berbeda akan ditemui pada pasien yang telah telah
mendapatkan motivasi yang cukup ataupun percaya benar pada efektivitas terapi.
Untuk mengatasinya, dibutuhkan adanya tenaga yang siap mengingatkan pasien baik
dengan cara kunjungan langsung maupun pengingat melalui telepon.4

Hal yang penting untuk diingat adalah setiap terapi dan dukungan yang akan dilakukan
kembali harus disesuaikan karena kombinasi kelima faktor tadi akan berbeda untuk setiap
individu, atau dengan kata lain dijalankan terapi yang bersifat tailor made / berfokus pada
pasien. Melihat adanya kelima faktor tersebut, maka jelaslah bahwa kepatuhan bukanlah
semata mata berurusan hanya dengan pasien, akan tetapi merupakan persoalan kompleks
yang juga harus ditinjau dari berbagai faktor lainnya.
Directly Observed Therapy
Meskipun masih menjadi kontroversi karena bervariasinya temuan hasil penelitian, salah satu
strategi terkini yang diyakini dapat berdampak positif pada tatalaksana tuberkulosis adalah

pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung (Directly Observed Therapy /
DOT), sesuai dengan poin ke tiga pada DOTS.3,4
Pengawasan pada pasien dengan tuberkulosis dapat dilakukan pada saat rawat jalan oleh
seorang paramedis bila pasien dapat datang secara rutin atau oleh seorang petugas rumah
sakit bila pasien dirawat. Di samping itu, orang lain seperti kader maupun tokoh masyarakat
dapat saja berperan menjadi seorang Pengawas Minum Obat (PMO) asalkan memenuhi
persyaratan:

Bersedia dengan sukarela membantu pasien tuberkulosis hingga sembuh selama


pengobatan dengan OAT, serta menjaga kerahasiaan penderita HIV / AIDS.
Diutamakan seorang petugas kesehatan, tetapi dapat pula kader kesehatan ataupun
anggota keluarga yang disegani oleh pasien.3

Dalam pelaksanaan DOT, sebelum pengobatan pertama kali dimulai, pasien diberikan
penjelasan bahwa alasan ditunjuk seorang PMO, yang harus pula hadir pada kesempatan
tersebut. Adapun secara umum tugas dari seorang PMO ke depannya antara lain:

Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik


Melakukan pengawasan minum obat terhadap pasien
Mengingatkan pasien untuk memeriksa ulang dahaknya sesuai dengan jadwal yang
telah ditentukan
Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratur hingga selesai
Mengenai efek samping minor akibat obat dan menasihati pasien agar tetap mau
meminum obat
Merujuk pasien bila efek samping berat muncul
Melakukan kunjungan rumah
Menganjurkan anggota keluarga lain untuk memeriksa dahak bila ditemui gejala
untuk tuberkulosis.3

Poin yang membuat strategi ini digemari adalah keberadaan supervisi yang ketat. Dengan
adanya jaminan bahwa obat telah secara pasti diminum oleh pasien, dengan kembali
mengasumsikan bahwa tidak terdapat kesalahan diagnosis ataupun pemilihan regimen, maka
tentu hasil akhir dari terapi yang diberikan akan memuaskan dan hanya terdapat risiko
minimal untuk resistensi. Bila terjadi efek samping, dapat pula dilakukan deteksi dini. Di
samping itu, pendekatan yang berfokus pada pasien ini juga dapat meminimalisir terjadinya
stigma dan faktor psikologis lain yang juga dapat mempengaruhi kepatuhan.4
STANDAR 10
Respon terhadap terapi pada pasien TB paru harus dimonitor dengan pemeriksaan dahak
mikroskopik berkala (dua spesimen) waktu fase inisial selesai (dua bulan). Jika apus dahak
positif pada akhir fase inisial, apus dahak harus diperiksa kembali pada tiga bulan dan, jika
positif, biakan dan uji resistensi terhadap isoniazid dan rifampisin harus dilakukan. Pada
pasien TB ekstra paru dan pada anak, penilaian respons pengobatan terbaik adalah secara
klinis.3,4

STANDAR 11
Penilaian pada kecenderungan resistensi obat, berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya, paparan pada organisme yang mungkin menyebabkan resistensi, dan prevalensi
resistensi pada komunitas harus dilakukan pada seluruh pasien. Tes efektivitas obat harus
dilakukan pada awal terapi bagi seluruh pasien.
Pada pasien yang masih menunjukkan hasil BTA positif setelah tiga bulan pengobatan, gagal
berobat, atau kambuh, harus dilakukan penilaian resistensi obat. Bila kecurigaan terhadap
resistensi besar, maka dilakukan kultur dan tes resistensi untuk isoniazid dan rifampisin.
Konseling serta edukasi pasien harus dimulai sesegera mungkin untuk meminimalisir potensi
transmisi. Demikian pula dengan pengendalian infeksi.3,4
Resistensi obat pada dasarnya adalah salah satu konsekuensi serius yang dapat muncul
sebagai akibat dari regimen dan tatalaksana yang suboptimal.4 Pada kasus resistensi, terdapat
setidaknya lima faktor yang saling berkolaborasi, yaitu:

Faktor mikrobiologik
Resistensi dapat terjadi secara natural maupun didapat, sebagai akibat dari virulensi
kuman yang tinggi, serta penularan kuman yang telah resisten. 3 Pasien dengan
resistensi obat dapat menularkan kuman yang telah resisten tersebut kepada orang lain
yang berkontak dengan dirinya, seperti yang ditemui pada banyak penderita TB
dengan HIV, sesama yang tinggal dalam penjara, atau tempat penampungan lainnya.4

Faktor klinik, sebagai akibat dari penyelenggara kesehatan, obat, maupun pasien.
Faktor penyelenggara kesehatan yang berperan adalah terjadinya keterlambatan
diagnosis, pengobatan yang tidak mengikuti pedoman, penggunaan OAT yang tidak
adekuat baik dari jenis obat atau telah terjadinya resistensi, tidak adanya pedoman
yang tersedia, buruknya organisasi program nasional TB, tidak adanya pelatihan TB,
tidak ada supervisi, serta fenomena addition syndrome, yaitu suatu obat yang
ditambahkan pada satu paduan yang telah gagal sehingga memperpanjang deretan
jumlah obat yang resisten.3
Faktor klinik dari obat adalah lamanya pengobatan yang harus dijalankan sehingga
cenderung membosankan, munculnya efek samping/efek toksik, kegagalan
penyerapan obat akibat kesalahan waktu meminum obat atau diare, kualitas obat
kurang baik, serta dosis yang tidak tepat.3,4
Faktor pasien yang berperan adalah tidak optimalnya atau bahkan tidak adanya PMO,
kurangnya informasi atau penyuluhan, ketidakpatuhan berobat, kurangnya dana untuk
obat, kesulitan sarana dan prasarana transportasi, dan masalah sosial.3

Faktor program, di antaranya tidak ada fasilitas untuk biakan dan uji kepekaan,
keterbatasan stok obat, harga obat yang tidak terjangkau, pengadaan obat yang
terputus, tidak dijalankannya program atau tidak maksimalnya program yang berjalan.

Faktor HIV / AIDS dan kondisi komorbid lainnya, antara lain malabsorbsi, diare,
infeksi HIV, penggunaan obat anti jamur.
Faktor kuman, terutama untuk kuman dengan sifat super strain, yang biasanya sangat
virulen dan memiliki daya tahan hidup lebih tinggi.3

Dari seluruh kemungkinan yang ada, faktor terkuat yang dapat menyebabkan adanya
resistensi obat adalah pengobatan anti tuberkulosis sebelumnya.4 Secara umum, resistensi
pada obat TB dapat diklasifikan menjadi:

Resistensi primer, bila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan OAT
atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan
Resistensi inisial, bila tidak diketahui pasti apakah telah terdapat riwayat pengobatan
OAT sebelumnya atau memang belum pernah sebelumnya
Resistensi sekunder, bila pasien telah mempunyai riwayat pengobatan OAT lebih dari
1 bulan.3

Resistensi obat TB ini kembali dapat diklasifikasikan ke dalam lima jenis resistensi, yaitu:

Mono resisten, bila hanya kebal terhadap satu jenis OAT.


Poli resisten, bila terdapat kekebalan pada lebih dari satu OAT selain kombinasi
isoniazid dan rifampisin.
Resistensi obat ganda (multi drug resistance), didefinisikan dengan kuman yang telah
resisten minimal terhadap rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya.3
Resistensi obat ekstensif (extensive drug resistance), yaitu kriteria MDR ditambah
kekebalan terhadap satu obat golongan fluorokuinolon, dan setidaknya salah satu dari
OAT injeksi lini ke dua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin).3,4
Resistensi obat total, baik dengan lini pertama maupun ke dua, sehingga tidak ada lagi
obat yang dapat dipakai.3

Adapun secara umum penilaian untuk resistensi obat perlu dilakukan bila terdapat kondisi
berikut:

Pasien TB paru yang gagal pengobatan kategori 1.


Pasien TB paru dengan gagal pengobatan pada kategori 2 dibuktikan dengan rekam
medis sebelumnya dan riwayat penyakit dahulu.
Pasien TB paru dengan gagal konversi setelah sisipan dengan kategori 1.
Pasien TB paru dengan gagal konversi setelah sisipan dengan kategori 2.
Pasien TB yang pernah mendapatkan terapi dari fasilitas non DOTS, termasuk pada
penggunaan terapi lini ke dua seperti kuinolon dan kanamisin.
TB paru kasus kambuh setelah dinyatakan sukses terapi.
Pasien TB yang kembali setelah lalai / default pada pengobatan kategori 1 maupun 2
Suspek TB dengan keluhan, yang sering berkontak atau tinggal dekat dengan pasien
TB MDR yang telah terkonfirmasi.
TB-HIV.3,4

Seluruh suspek TB-MDR dalam hal ini akan diperiksa dahaknya di laboratorium yang telah
dijamin mutunya. Kemudian, akan dilakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan untuk
OAT lini pertama.3,4 Bila terdapat riwayat pemakaian obat lini ke-2, dilakukan pula uji
kepekaan untuk OAT lini ke-2 tersebut.3
STANDAR 12
Pasien yang menderita atau kemungkinan besar menderita TB yang disebabkan oleh kuman
resisten obat (khususnya MDR/XDR) seharusnya diobati dengan paduan obat khusus yang
mengandung obat anti TB lini kedua. Paduan obat yang dipilih dapat distandarisasi atau
sesuai pola sensitivitas obat berdasarkan dugaan atau yang telah terbukti. Paling tidak
digunakan empat obat yang masih efektif, termasuk obat suntik, harus diberikan paling tidak
18 bulan setelah konversi biakan. Cara-cara yang berpihak kepada pasien disyaratkan untuk
memastikan kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Konsultasi dengan penyelenggara
pelayanan yang berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan MDR/XDR TB harus
dilakukan.3,4
Penyebab tersering MDR adalah gagal dalam memberikan pengobatan efektif,
ketidakpatuhan minum obat, terlambat mengedukasi pasien yang tidak patuh, dosis obat yang
tidak adekuat, menambahkan satu obat baru dalam pengobatan yang gagal, dan gagal
mengidentifikasi resistensi obat yang ada. Tiga strategi yang direkomendasikan oleh WHO
adalah regimen terstandarisasi, regimen empiris, dan regimen pengobatan untuk masingmasing individu. Pemilihannya harus berdasarkan ketersediaan obat lini kedua, pola resistensi
obat di tempat tersebut, dan riwayat penggunaan obat lini kedua sebelumnya. Penggunaan
minimal adalah 6 hari dalam seminggu dan dosis obat ditentukan oleh berat badan pasien,
penggunaan agen injeksi (aminoglikosida dan kapreomisin). Sambil menunggu hasil DST
(Drug Susceptibility Testing), dapat diberikan terapi empiris untuk mencegah kerusakan dan
transmisi.4
Adapun kelompok OAT yang digunakan dalam pengobatan TB resisten obat adalah:
1. Kelompok 1: OAT lini 1 yaitu isoniazid (H), rifampisin (R), etambutol (E),
pirazinamid (Z), dan rifabutin (Rfb).3
2. Kelompok 2: obat suntik berupa kanamisin (Km), amikasin (A), kapreomisin (Cm),
dan streptomisin (S).3
3. Kelompok 3: Fluorokuinolon berupa moksifloksasin (Mfx),levofloksasin (Lfx), dan
ofloksasin (Ofx). Moksifloksasin memiliki konsentrasi hambat minimal paling
rendah. Sedangkan siprofloksasin harus dihindari pemakaiannya karena menimbulkan
efek samping berat pada kulit berupa fotosensitif. Disamping itu, ditemukan pula
resistensi silang antara etionamid dengan aminoglikosida, fluorokuinolon, sikloserin,
dan terizidon.3
4. Kelompok 4: bakteriostatik OAT lini kedua yaitu etionamid (Eto), protionamid (Pto),
sikloserin (Cs), terzidone (Trd), dan PAS.3
5. Kelompok 5: obat yang belum diketahui efektivitasnya yaitu klozamin (Cfz), linezoid
(lzd), amoksiklav (amx/clv), tiosetazone (Thz), imipenem/ cilastin (Ipm/cln), H dosis
tinggi, dan klartitromisin (Clr).3

Regimen standar TB MDR di Indonesia adalah 6Z-(E)-Kn-Lfx-Eto-Cs/18Z-(E)-Lfx-Eto-Cs.


Z: Pirazinamid, E:etambutol, Kn: Kanamisin, Lfx: Levofloksasin, Eto: Etionamid, Cs:
Sikloserin. Etambutol tidak diberikan jika terbukti resisten.3
Pemberian obat suntik berdasarkan hasil konversi dimana obat suntik diteruskan sekurangkurangnya 6 bulan dan minimal 4 bulan setelah hasil sputum atau kultur pertama menjadi
negative. Disamping itu, keadaan klinis dan foto toraks dapat membantu dalam menentukan
penghentian obat suntik. Namun, berdasarkan rekomendasi, pengobatan harus dilanjutkan
hingga minimal 18 bulan. Pengobatan yang lebih lama hingga 24 bulan dapat diberikan pada
TB kasus kronik.3
Selain pengobatan, tatalaksana tersering TB MDR adalah reseksi. Akan tetapi, pembedahan
tidak direkomendasikan untuk TB dengan gangguan paru luas bilateral. Oleh karena itu,
pembedahan lebih diindikasikan untuk kelainan satu lobus atau paru unilateral. Pembedahan
baru dapat dilakukan setelah 2 bulan menggunakan obat yang bertujuan untuk menurunkan
infeksi paru. Obat tetap diberikan 12-24 bulan pasca pembedahan.3

Tabel 9. Pengobatan TB Lini Kedua5

Pada pasien non-HIV, konversi terjadi pada sekitar 50% kasus, sedangkan response rate
didapat pada 65% kasus dan kesembuhan pada 56% kasus. Kunci utama dalam pencegahan
MDR adalah pemberian OAT yang benar dan pengawasan yang baik.3
STANDAR 13
Rekaman tertulis tentang pengobatan yang diberikan, respons bakteriologis, dan efek
samping seharusnya disimpan untuk pasien.3,4
Keberlangsungan OAT seperti yang disebutkan pada DOTS poin keempat dimana pengadaan
OAT harus secara berkesinambungan baik untuk lini pertama maupun kedua. Dalam
pengadaan tersebut, dibutuhkan perencanaan yang terstruktur sehingga distribusi obat merata
dan tanggung jawab dari pemerintah daerah maupun pusat. Distribusi obat berdasarkan
tanggal kadaluarsa, atas permintaan dari obat ke gudang kabupaten, kota, atau provinsi sesuai
dengan perencanaan tahunan. Selanjutnya, dengan menggunakan formulir TB 13 diberikan
laporan triwulan mengenai penerimaan dan pemakaian obat OAT. Selanjutnya, dinas
kesehatan provinsi akan merekapitulasi formulir tersebut dan melaporkannya kepada
kementerian kesehatan. Setelah sampai di tempat tujuan, obat harus disimpan dengan baik
untuk memelihara mutu barang, menghindari penggunaan yang tidak bertanggungjawab,
menjaga kelangsungan persediaan, dan memudahkan pengawasan.2
Adapun cara penghitungan kebutuhan OAT adalah:
Kebutuhan OAT= Konsumsi OAT per bulan dalam satuan paket x periode perencanaan dan
pengadaan dalam satuan bulan + (stok dalam satuan paket (stok sekarang dalam satuan
paket + stok dalam pesanan pasti dalam satuan paket)).2
Contoh Alur Permintaan, Distribusi, dan Pelaporan Logistik

Bagan 1. Alur permintaan, Distribusi, dan Pelaporan Logistik2


Dengan kata lain, hal yang perlu dilakukan dalam menjamin keberlangsungan pengobatan
adalah:

Memfasilitasi perusahaan obat lokal dalam proses pra-kualifikasi (white listing).


Memastikan ketersediaan obat dan logistik non-OAT (reagen, peralatan dan suplai
laboratorium) yang kontinyu, tepat waktu dan bermutu di seluruh fasilitas pelayanan
kesehatan yang memberikan pelayanan DOTS, termasuk di fasilitas yang melayani
masyarakat miskin dan rentan.
Menjamin sistem penyimpanan dan distribusi obat TB yang efektif dan efisien,
termasuk kemungkinan untuk bermitra dengan pihak lain.
Menjamin distribusi obat yang efisien dan efektif secara berjenjang sesuai kebutuhan.
Menjamin terlaksananya sistem informasi manajemen untuk obat TB (termasuk
sistem alert elektronik dan laporan pemakaian dan stok OAT).2

OBAT ANTI-TUBERKULOSIS6,7,8
1. ISONIAZID (INH)
Saat ini Isoniazid merupakan obat paling aktif dalam pengobatan penderita TB.
Isoniazid adalah asam isonikotinat hidrazid (INH). Obat ini merupakan molekul
sederhana yang kecil (BM 137) dan bebas larut dalam air. Struktur kimia obat ini
mirip piridoksin.
Aktivitas Antimikobakterium
In vitro, INH menghambat kebanyakan basil tuberkel pada konsentrasi 0,2g/ml atau
kurang. INH juga bersifat bakterisidal untuk basil tuberkel yang tumbuh secara aktif.
Mekanisme kerja INH terlibat dalam penghambatan enzim yang esensial untuk
sintesis asam mikolat dan dinding sel mikobakterium. INH dan piridoksin strukturnya
analog. INH bersifat antagonis kompetitif pada reaksi yang dikatalisis piridoksin.
Petunjuk yang ada memberikan kesan bahwa mekanisme terjadinya resistensi
berhubungan dengan kegagalan obat mencapai kuman atau kuman tidak menyerap
obat. Resistensi tampaknya berkaitan dengan penghapusan suatu gen (katG) yang
memberi kode untuk enzim katalase dan peroksidase mikobakterium. Namun
demikian, penelitian lain menunjukkan bahwa masalah gen tersebut masih tanda
tanya, dan faktor faktor lain mungkin terlibat. Penggunaan INH juga dapat
menyebabkan timbulnya strain baru yang resisten. Perubahan sifat dari sensitif
menjadi resisten biasanya terjadi dalam beberapa minggu setelah pengobatan dimulai.
Farmakokinetik
INH mudah diabsorpsi pada pemberian oral maupun parenteral. Pemberian dosis
biasa (5mg/kg/hari) menghasilkan konsentrasi puncak plasma 3-5 g/ml dalam 1 2
jam. INH berdifusi segera ke dalam seluruh cairan tubuh dan jaringan. Konsentrasi di
SSP dan CSP lebih kurang 1/5 dari kadar plasma. Kadar obat di intraseluler dan
ekstraseluler sama.
Di hati, INH terutama mengalami asetilasi dan pada manusia kecepatan metabolisme
ini dipengaruhi oleh faktor genetik, ada ras yang merupakan asetilator cepat (orang
Eskimo, Jepang), ada pula yang merupakan asetilator lambat (orang Skandinavia,
Kaukasia Afrika Utara). Pada pasien yang tergolong asetilator cepat, kadar INH dalam
sirkulasi berkisar antara 30-50% kadar pada pasien dengan asetilasi lambat. Masa
paruh rata rata pada asetilator cepat hampir 70 menit, sedangkan nilai 2 5 jam
adalah khas untuk asetilator lambat. INH diekskresikan terutama dalam urin
sebagian besar dalam bentuk obat utuh, sebagian dengan bentuk asetilasi, dan
sebagian sebagai konyugat lain.
Efek Samping

Insiden beratnya efek samping dari INH berkaitan dengan dosis dan lama
pemberiannya.
a. Reaksi Alergi : demam, kulit kemerahan, hepatitis sering terjadi
b. Toksisitas langsung
Efek toksik yang paling sering (10-20%) terjadi pada sistem saraf perifer dan
pusat. Hal tersebut disokong dengan adanya defisiensi piridoksin, mungkin
merupakan hasil kompetisi INH dengan piridoksal fosfat terhadap enzim
apotriptofanase. Reaksi reaksi toksik ini termasuk neuritis perifer, insomnia,
lesu, mulut terasa kering, retensi urin, bahkan konvulsi serta episode psikotik.
Kebanyakan dari komplikasi ini dapat dicegah dengan pemberian piridoksin.
INH berkaitan dengan hepatotoksisitas, dapat menimbulkan ikterus dan kerusakan
hati yang fatal akibat terjadinya nekrosis multilobular. Penggunaan obat ini pada
pasien yang menunjukkan adanya kelainan fungsi hati akan menyebabkan bertambah
parahnya kerusakan hati. Hal ini mungkin disebabkan oleh asetilhidrazin, suatu
metabolit isoniazid, dapat menyebabkan kerusakan hati. Kerusakan hati jarang terjadi
pada pasien yang berumur di bawah 35 tahun. Kelainan yang banyak ditemui adalah
meningkatnya aktivitas enzim transaminase. Pasien yang mendapat INH hendaknya
selalu diamati dan dinilai kemungkinan adanya gejala hepatitis, kalau perlu diperiksa
aktivitas SGOT. Pemberian obat dihentikan bila aktivitas enzim transaminase
melebihi 5 kali normal.
2. RIFAMPIN
Rifampin merupakan obat besar (BM 823), turunan kompleks rifamisin semisintetik,
suatu antibiotika yang dihasilkan oleh Streptomyces mediterranei. In vitro, obat ini
aktif terhadap beberapa kokus gram positif dan negatif.
Aktivitas Antimikobakterial dan Farmakokinetik
Rifampin berikatan secara kuat dengan RNA polimerase yang bergantung pada DNA
serta menghambat sintesis RNA bakteri dan klamidia. RNA polimerase manusia tidak
dipengaruhi. Bila diberikan bersama INH, rifampin selalu bersifat bakterisidal
terhadap mikobakterium dan cendrung mensterilisasi jaringan yang terinfeksi.
Rifampin mempenetrasi sel fagositik dengan baik serta membunuh mikobakterium
intraselular dan organisme lain.
Rifampin diabsorbsi dengan baik setelah pemberian oral dan diekskresikan melalui
hati ke dalam empedu. Obat ini kemudian mengalami resirkulisasi enterohepatik,
dengan sejumlah besar diekskresikan dalam tinja dan sebagian kecil melalui urin.
Dosis biasa menghasilkan kadar obat dalam serum 5 -7 g/ml. Rifampin
didistribusikan secara meluas ke seluruh cairan dan jaringan tubuh.
Efek Samping

Rifampin menimbulkan warna oranye yang tidak berbahaya pada urin, keringat, air
mata, dan lensa mata. Efek samping yang sering terjadi termasuk kulit kemerahan,
trombositopenia, nefritis, dan gangguan fungsi hati. Rifampin biasanya menyebabkan
proteinuria rantai ringan dan mungkin mengganggu respons antibodi. Bila obat ini
diberikan kurang dari 2x seminggu, rifampin dapat menyebabkan flu like syndrome
dan anemia. Rifampin menginduksi enzim mikrosomal, sehingga obat ini dapat
meningkakan eliminasi antikoagulan dan kontrasepsi.
3. ETAMBUTOL
Etambutol merupakan suatu senyawa sintetik, larut dalam air, senyawa yang stabil
dalam keadaan panas. Secara in vitro, banyak strain M. tuberculosis dan mikobakteria
lain dihambat oleh etambutol dengan konsentrasi 1-5 g/ml. Obat ini tetap menekan
pertumbuhan kuman tuberkulosis yang telah resisten terhadap isoniazid dan
streptomisin. Kerjanya menghambat sintesis metabolit sel sehingga metabolisme sel
terhambat dan sel mati. Karena itu obat ini hanya aktif terhadap sel yang bertumbuh
dengan khasiat tuberkulostatik. In vivo, sukar menciptakan resistensi terhadap
etambutol dan timbulnya pun lambat, tetapi resistensi ini timbul bila etambutol
digunakan tunggal.
Farmakokinetik
Etambutol diabsorpsi dengan baik dari usus. Kadar puncak obat dalam darah berkisar
2 - 5 g/ml yang dicapai dalam waktu 2 4 jam. Kadar etambutol dalam eritorsit 1
2 kali kadar dalam plasma. Oleh karena itu, eritrosit dapat berperan sebagai depot
etambutol yang kemudian melepaskannya sedikit demi sedikit ke dalam plasma.
Dalam waktu 24 jam, lebih kurang 20% obat ini diekskresikan dalam tinja dan 50% di
urin dalam bentuk utuh. Etambutol tidak dapat menembus sawar darah-otak.
Efek Samping
Etambutol jarang menimbulkan efek samping. Efek samping yang paling penting
adalah gangguan penglihatan, biasanya bilateral. dapat berupa turunnya tajam
penglihatan, hilangnya kemampuan membedakan warna, mengecilnya lapang
pandang. Insidens efek samping ini makin tinggi sesuai dengan peningkatan dosis,
tetapi bersifat mampu pulih. Selain itu, terapi etambutol menyebabkan peningkatan
kadar asam urat darah pada 50% pasien. Hal ini disebabkah oleh penurunan ekskresi
asam urat melalui ginjal. Efek samping lainnya yaitu ruam kulit, demam, pruritus,
nyeri sendi, halusinasi. Karena jarang menimbulkan efek samping yang berbahaya,
etambutol dalam paduan terapi tuberkulosis mencegah timbulnya resistensi kuman
terhadap antituberkulosis lain.
4. PIRAZINAMID
Pirazinamid adalah analog nikotinamid yang telah dibuat sintetiknya. Obat ini tidak
larut dalam air.

Aktivitas Antibakteri
Pirazinamid di dalam tubuh dihidrolisis oleh enzim pirazinamidase menjadi asam
pirazinoat yang aktif sebagai tuberkulostatik hanya pada media yang bersifat asam. In
vitro, pertumbuhan kuman TB dalam monosit dihambat sempurna pada kadar
pirazinamid 12,5 g/ml.
Farmakokinetik
Pirozinamid mudah diserap di usus dan tersebar luas ke seluruh tubuh. Dosis 1 gram
menghasilkan kadar plasma sekitar 45 g/ml pada 2 jam setelah pemberian obat.
Ekskresinya terutama melalui filtrasi glomerulus. Asam pirazinoat yang aktif
kemudian mengalami hidroksilasi menjadi asam hidropirazinoat yang merupakan
metabolit utama. Masa paruh eliminasi obat ini 10- 16 jam.
Efek Samping
Efek samping yang paling umum dan serius adalah kelainan hati. Gejala pertama
adalah peningkatan SGOT dan SGPT. Jika jelas timbul kerusakan hati, terapi
pirazinamid harus dihentikan. Obat ini menghambat ekskresi asam urat. Efek samping
lain ialah artralgia, anoreksia, mual dan muntah, disuria, dan demam.
5. STREPTOMISIN
Aktivitas Antibakteri
In vitro bersifat bakteriostatik dan bakterisid terhadap kuman TB.
Farmakokinetik
Setelah diserap dari tempat suntikan, hampir semua streptomisin berada dalam
plasma. Hanya sedikit sekali yang masuk ke dalam eritrosit. Streptomisin kemudian
menyebar ke seluruh cairan ekstrasel. Streptomisin diekskresi melalui filtrasi
glomerulus. Kira kira 50-60% streptomisin yang diberikan secara parenteral
diekskresi dalam bentuk utuh dalam waktu 24 jam pertama. Masa paruh obat ini pada
orang dewasa normal antara 2 3 jam, dan dapat sangat memanjang pada gagal
ginjal. Ototoksisitas lebih sering terjadi pada pasien yang fungsi ginjalnya terganggu.
Efek Samping
Umumnya streptomisin dapat diterima dengan baik. Kadang kadang terjadi sakit
kepala sebentar atau malaise. Parestesi di muka terutama di sekitar mulut. Reaksi
hipersensitivitas biasanya terjadi dalam minggu minggu pertama pengobatan.
Streptomisin bersifat neurotoksin pada saraf kranial VIII, bila diberikan dalam dosis
besar dan lama. Obat ini juga bersifat nefrotoksik. Ototoksitas dan nefrotoksisitas ini
sangat tinggi kejadiannya pada kelompok usia di atas 65 tahun, oleh karena itu obat

tidak boleh diberikan pada kelompok usia tersebut. Efek samping lain ialah reaksi
anafilaktik, agranulositosis, anemia aplastik, demam.

EFEK SAMPING OBAT

Tabel 10. Pendekatan Berdasarkan Masalah untuk Penatalaksanaan OAT2

Anda mungkin juga menyukai