Anda di halaman 1dari 5

Degung

Degung adalah kumpulan alat musik dari sunda.


Ada dua pengertian tentang istilah degung:

degung sebagai nama perangkat gamelan

degung sebagai nama laras bagian dari laras salendro ( berdasarkan teori
Raden Machjar Angga Koesoemadinata).

Degung sebagai unit gamelan dan degung sebagai laras memang sangat
lain. Dalam teori tersebut, laras degung terdiri dari degung dwiswara
(tumbuk: (mi) 2 (la) 5) dan degung triswara: 1 (da), 3 (na), dan 4 (ti).
Gamelan Degung
Ada beberapa gamelan yang pernah ada dan terus berkembang di
Jawa Barat, antara lain Gamelan Salendro, Pelog dan Degung. Gamelan
salendro biasa digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang, tari,
kliningan, jaipongan dan lain-lain. Gamelan pelog fungsinya hampir sama
dengan gamelan salendro, hanya kurang begitu berkembang dan kurang
akrab di masyaraka dan jarang dimiliki oleh grup-grup kesenian di
masyarakat. Hal ini menandakan cukup terwakilinya seperangkat gamelan
dengan keberadaan gamelan salendro, sementara gamelan degung
dirasakan cukup mewakili kekhasan masyarakat Jawa Barat. Gamelan
lainnya adalah gamelan Ajeng berlaras salendro yang masih terdapat di
kabupaten Bogor, dan gamelan Renteng yang ada di beberapa tempat,
salah satunya di Batu Karut, Cikalong kabupaten Bandung. Melihat bentuk
dan interval gamelan renteng, ada pendapat bahwa kemungkinan besar
gamelan degung yang sekarang berkembang, berorientasi pada gamelan
Renteng.
Ada gamelan yang sudah lama terlupakan yaitu KOROMONG yang ada di
Kp. Lamajang Desa Lamajang Kec. Pangalengan Kab. Bandung. Gamelan
ini sudah tidak dimainkan sejak kira-kira 35 - 40 tahun dan sudah tidak
ada yang sanggup untuk menabuhnya karena gamelan KOROMONG ini
dianggap mempunyai nilai mistis. Gamelan KOROMONG ini sekarang
masih ada dan terpelihara dengan baik. Untuk supaya gamelan
KOROMONG ini dapat ditabuh, maka kata yang memegang dan merawat
gamelan tersebut harus dibuat Duplikatnya.
Sejarah

Degung merupakan salah satu gamelan khas dan asli hasil


kreativitas masyarakat Sunda. Gamelan yang kini jumlahnya telah
berkembang dengan pesat, diperkirakan awal perkembangannya sekitar
akhir abad ke-18/awal abad ke-19. Jaap Kunst yang mendata gamelan di
seluruh Pulau Jawa dalam bukunya Toonkunst van Java (1934) mencatat
bahwa degung terdapat di Bandung (5 perangkat), Sumedang (3
perangkat), Cianjur (1 perangkat), Ciamis (1 perangkat), Kasepuhan (1
perangkat), Kanoman (1 perangkat), Darmaraja (1 perangkat), Banjar (1
perangkat), dan Singaparna (1 perangkat).
Masyarakat Sunda dengan latar belakang kerajaan yang terletak di
hulu sungai, kerajaan Galuh misalnya, memiliki pengaruh tersendiri
terhadap kesenian degung, terutama lagu-lagunya yang yang banyak
diwarnai kondisi sungai, di antaranya lagu Manintin, Galatik Manggut,
Kintel Buluk, dan Sang Bango. Kebiasaan marak lauk masyarakat Sunda
selalu diringi dengan gamelan renteng dan berkembang ke gamelan
degung.
Dugaan-dugaan masyarakat Sunda yang mengatakan bahwa
degung merupakan musik kerajaan atau kadaleman dihubungkan pula
dengan kirata basa, yaitu bahwa kata degung berasal dari kata
"ngadeg" (berdiri) dan agung (megah) atau pangagung (menak;
bangsawan), yang mengandung pengertian bahwa kesenian ini digunakan
bagi kemegahan (keagungan) martabat bangsawan. E. Sutisna, salah
seorang nayaga Degung Parahyangan, menghubungkan kata degung
dikarenakan gamelan ini dulu hanya dimiliki oleh para pangagung
(bupati). Dalam literatur istilah degung pertama kali muncul tahun
1879, yaitu dalam kamus susunan H.J. Oosting. Kata "De gong" (gamelan,
bahasa Belanda) dalam kamus ini mengandung pengertian penclonpenclon yang digantung.
Gamelan yang usianya cukup tua selain yang ada di keraton
Kasepuhan (gamelan Dengung) adalah gamelan degung Pangasih di
Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang. Gamelan ini merupakan
peninggalan Pangeran Kusumadinata (Pangeran Kornel), bupati Sumedang
(17911828).
Perkembangan
Dulu gamelan degung hanya ditabuh secara gendingan
(instrumental). Bupati Cianjur RT. Wiranatakusumah V (19121920)
melarang degung memakai nyanyian (vokal) karena membuat suasana
kurang serius (rucah). Ketika bupati ini tahun 1920 pindah menjadi bupati
Bandung, maka perangkat gamelan degung di pendopo Cianjur juga turut

dibawa bersama nayaganya, dipimpin oleh Idi. Sejak itu gamelan degung
yang bernama Pamagersari ini menghiasi pendopo Bandung dengan lagulagunya.
Melihat dan mendengarkan keindahan degung, salah seorang
saudagar Pasar Baru Bandung keturunan Palembang, Anang Thayib,
merasa tertarik untuk menggunakannya dalam acara hajatan yang
diselenggarakannya. Kebetulan dia sahabat bupati tersebut. Oleh karena
itu dia mengajukan permohonan kepada bupati agar diijinkan
menggunakan degung dalam hajatannya, dan diijinkannya. Mulai saat
itulah degung digunakan dalam hajatan (perhelatan) umum. Permohonan
semacam itu semakin banyak, maka bupati memerintahkan supaya
membuat gamelan degung lagi, dan terwujud degung baru yang
dinamakan Purbasasaka, dipimpin oleh Oyo.
Sebelumnya waditra (instrumen) gamelan degung hanya terdiri atas
koromong (bonang) 13 penclon, cempres (saron panjang) 11 wilah,
degung (jenglong) 6 penclon, dan goong satu buah. Kemudian
penambahan-penambahan waditra terjadi sesuai dengan tantangan dan
kebutuhan musikal, misalnya penambahan kendang dan suling oleh bapak
Idi. Gamelan degung kabupaten Bandung, bersama kesenian lain
digunakan sebagai musik gending karesmen (opera Sunda) kolosal
Loetoeng Kasaroeng tanggal 18 Juni 1921 dalam menyambut
Cultuurcongres Java Institut. Sebelumnya, tahun 1918 Rd. Soerawidjaja
pernah pula membuat gending karesmen dengan musik degung, yang
dipentaskan di Medan. Tahun 1926 degung dipakai untuk illustrasi film
cerita pertama di Indonesia berjudul Loetoeng Kasaroeng oleh L.
Heuveldrop dan G. Kruger produksi Java Film Company, Bandung. Karya
lainnya yang menggunakan degung sebagai musiknya adalah gending
karesmen Mundinglaya dikusumah oleh M. Idris Sastraprawira dan Rd.
Djajaatmadja di Purwakarta tahun 1931.
Setelah
Idi
meninggal
(tahun
1945)
degung
tersendat
perkembangannya.
Apalagi
setelah
itu
revolusi
fisik
banyak
mengakibatkan penderitaan masyarakat. Degung dibangkitkan kembali
secara serius tahun 1954 oleh Moh. Tarya, Ono Sukarna, dan E. Tjarmedi.
Selain menyajikan lagu-lagu yang telah ada, mereka menciptakan pula
lagu-lagu baru dengan nuansa lagu-lagu degung sebelumnya. Tahun 1956
degung mulai disiarkan secara tetap di RRI Bandung dengan
mendapatkan sambutan yang baik dari masyarakat. Tahun 1956 Enoch
Atmadibrata membuat tari Cendrawasih dengan musik degung dengan
iringan degung lagu palwa. Bunyi degung lagu Palwa setiap kali terdengar

tatkala pembukaan acara warta berita bahasa Sunda, sehingga dapat


meresap dan membawa suasana khas Sunda dalam hati masyarakat.
Pengembangan lagu degung dengan vokal dilanjutkan oleh grup
Parahyangan pimpinan E. Tjarmedi sekitar tahun 1958. Selanjutnya E.
Tjarmedi dan juga Rahmat Sukmasaputra mencoba menggarap degung
dengan lagu-lagu alit (sawiletan) dari patokan lagu gamelan salendro
pelog. Rahmat Sukmasaputra juga merupakan seorang tokoh yang
memelopori degung dengan nayaga wanita. Selain itu, seperti
dikemukakan Enoch Atmadibrata, degung wanita dipelopori oleh para
anggota Damas (Daya Mahasiswa Sunda) sekitar tahun 1957 di bawah
asuhan Sukanda Artadinata (menantu Oyo).
Tahun 1962 ada yang mencoba memasukkan waditra angklung ke
dalam degung. Tetapi hal ini tidak berkembang. Tahun 1961 RS. Darya
Mandalakusuma (kepala siaran Sunda RRI Bandung) melengkapi degung
dengan waditra gambang, saron, dan rebab. Kelengkapan ini untuk
mendukung gending karesmen Mundinglayadikusumah karya Wahyu
Wibisana. Gamelan degung ini dinamakan degung Si Pawit. Degung ini
juga digunakan untuk pirigan wayang Pakuan. Dari rekaman-rekaman
produksi Lokananta (Surakarta) oleh grup RRI Bandung dan Parahyangan
pimpinan E. Tjarmedi dapat didengarkan degung yang menggunakan
waditra tambahan ini. Lagu-lagu serta garap tabuhnya banyak mengambil
dari gamelan salendro pelog, misalnya lagu Paksi Tuwung, Kembang
Kapas, dsb. Pada tahun 1964, Mang Koko membuat gamelan laras degung
yang nadanya berorientasi pada gamelan salendro (dwi swara). Bentuk
ancak bonanya seperti tapal kuda. Dibanding degung yang ada pada
waktu itu, surupannya lebih tinggi. Keberadaan degung ini sebagai
realisasi teori R. Machyar. Gamelan laras degung ini pernah dipakai untuk
mengiringi gending karesmen Aki Nini Balangantrang (1967) karya Mang
Koko dan Wahyu Wibisana.
Tahun 19701980-an semakin banyak yang menggarap degung,
misalnya Nano S. dengan grup Gentra Madya (1976), lingkung seni Dewi
Pramanik pimpinan Euis Komariah, degung Gapura pimpinan Kustyara,
dan degung gaya Ujang Suryana (Pakutandang, Ciparay) yang sangat
populer sejak tahun 1980-an dengan ciri permainan sulingnya yang khas.
Tak kalah penting adalah Nano S. dengan grup Gentra Madya-nya yang
memasukan unsur waditra kacapi dalam degungnya. Nano S. membuat
lagu degung dengan kebiasaan membuat intro dan aransemen tersendiri.
Beberapa lagu degung karya Nano S. yang direkam dalam kaset sukses di
pasaran, di antaranya Panglayungan (1977), Puspita (1978), Naon
Lepatna (1980), Tamperan Kaheman (1981), Anjeun (1984) dan

Kalangkang yang dinyanyikan oleh Nining Meida dan Barman Syahyana


(1986). Lagu Kalangkang ini lebih populer lagi setelah direkam dalam
gaya pop Sunda oleh penyanyi Nining Meida dan Adang Cengos sekitar
tahun 1987.
Berbeda dengan masa awal (tahun 1950-an) dimana para penyanyi
degung berasal dari kalangan penyanyi gamelan salendro pelog
(pasinden; ronggeng), para penyanyi degung sekarang (sejak 1970-an)
kebanyakan berasal dari kalangan mamaos (tembang Sunda Cianjuran),
baik pria maupun wanita. Juru kawih degung yang populer dan berasal
dari kalangan mamaos di antaranya Euis Komariah, Ida Widawati, Teti
Afienti, Mamah Dasimah, Barman Syahyana, Didin S. Badjuri, Yus
Wiradiredja, Tati Saleh dan sebagainya.
Lagu-lagu degung di antaranya: Palwa, Palsiun, Bima Mobos (Sancang), Sang
Bango, Kinteul Bueuk, Pajajaran, Catrik, Lalayaran, Jipang Lontang, Sangkuratu,
Karang Ulun, Karangmantri, Ladrak, Ujung Laut, Manintin, Beber Layar, Kadewan,
Padayungan, dsb. Sedangkan lagu-lagu degung ciptaan baru yang digarap
dengan menggunakan pola lagu rerenggongan di antaranya: Samar-samar,
Kembang Ligar, Surat Ondangan, Hariring Bandung, Tepang Asih, Kalangkang,
Rumaos, Bentang Kuring, dsb.

Anda mungkin juga menyukai