Otonomi Daerah
Otonomi Daerah
PEMBANGUNAN DAERAH:
CERITA SUKSES TIGA KOTA (PURBALINGGA,
MAKASSAR, DAN BANJARBARU)
Tim Peneliti
Tirta Nugraha Mursitama, Ph.D
Desy Hariyati, S.Sos
Sigit Indra Prianto, S.Sos
2010
Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah
suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut perundang-undangan
yang berlaku.
Ketentuan Pidana
Pasal 72
1.
2.
Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak untuk melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
denistoruan@gmail.com
Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagian atau seluruh isi buku tanpa
izin tertulis dari Penerbit
KATA PENGANTAR
Sepuluh tahun otonomi daerah menjadi momen penting untuk mengetahui apa saja yang telah
dicapai bangsa ini dalam melaksanakannya. Sesuai dengan fakta bahwa pemberian otonomi oleh
beberapa daerah ditanggapi dengan semangat yang berbeda, maka hasilnya pun juga berbeda.
Daerah yang memandang otonomi sebagai jalan untuk memperbaiki kehidupan masyarakatnya,
memanfaatkan kewenangan yang diterima untuk sebaik mungkin menggali potensi yang ada.
Sebaliknya, daerah yang memandang otonomi secara picik, yaitu pemberian kekuasaan sebesarbesarnya, maka yang terjadi justru eksploitasi yang pada akhirnya merugikan masyarakat luas.
Berbagai kajian menunjukkan bahwa beberapa daerah justru mengalami kemunduran
setelah adanya otonomi. Pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan bukan semakin
baik, tapi justru sebaliknya. Begitu pun masyarakatnya, tidak dapat mengenyam hasil otonomi
yang diterima. Terlepas dari masih banyaknya daerah yang belum dapat memahami otonomi
secara utuh, buku yang dihasilkan dari penelitian ini mencoba melihat dan melakukan kajian di
daerah yang dapat dikatakan berhasil dalam melaksanakan otonominya. Ada daerah yang mampu
memanfaatkan kewenangan yang dimiliki untuk memperbaiki penyelenggaraan pemerintahan
dan pelayanan publiknya, serta daerah yang juga mampu menggali potensinya untuk
menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Berfokus pada analisis terhadap pelaksanaan reformasi pelayanan publik pada bidang
perizinan usaha, kami berusaha untuk memetakan strategi yang dilakukan daerah, dan hasilnya
terhadap pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Penelitian dilakukan di tiga daerah
sebagai studi kasus, yaitu Kabupaten Purbalingga, Kota Makassar, dan Kota Banjar Baru.
Pemilihan ketiga daerah tersebut didasari oleh beberapa alasan. Pertama, mewakili wilayah
kabupaten dan kota. Kedua, mewakili wilayah Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian
timur. Ketiga, mewakili karakteristik daerah kaya dan miskin akan potensi investasi.
Dari cerita sukses penyelenggaraan pelayanan perizinan usaha di tiga daerah ini, kami
menemukan tiga tipologi penyelenggaraan pelayanan perizinan usaha. Karakteristik tipologi ini
kemudian menghasilkan model integratif perizinan usaha. Model ini menggambarkan strategi
4
bagaimana suatu daerah dapat terus eksis melakukan pembangunan daerah melalui
penyelenggaraan pelayanan perizinan usaha yang akuntabel dan responsif, serta mengutamakan
prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Dinamika lingkungan eksternal organisasi
pemerintah daerah yang dinamis membutuhkan kebijakan komprehensif untuk menarik minat
investor ke daerah sekaligus mengelola iklim penyelenggaraan kegiatan usaha di daerah tetap
kondusif dan menarik. Harapannya, eksternalitas dari kegiatan usaha di daerah akan mengungkit
ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat ke arah yang lebih baik.
Buku ini merupakan hasil proyek penelitian Divisi Reformasi Birokrasi dan Otonomi
Daerah Masyarakat Transparansi Indonesia yang berjudul Refleksi Sepuluh Tahun Otonomi
Daerah. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi pemerintah,
baik pusat maupun daerah untuk penyelenggaran pemerintah yang lebih baik. Kami juga
berharap kajian ini dapat menjadi rujukan bagi daerah lain yang berkomitmen untuk melakukan
perubahan bagi daerahnya. Selain itu, kami juga berharap temuan ini dapat berkontribusi secara
teoris dalam kajian ilmu sosial yang lainnya, seperti ilmu ekonomi, ekonomi manajemen,
administrasi negara, dan hubungan internasional.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
PERIZINAN SEBAGAI UJUNG TOMBAK
I
BAGAIMANA PERIZINAN DI DAERAH?
Kualitas Layanan Perizinan pada Era Otonomi Daerah
II
TINJAUAN NORMATIF PERATURAN PERIZINAN INVESTASI
III
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
IV
REFORMASI PERIZINAN USAHA DI DAERAH
V
ANALISIS DAMPAK
VI
DIMENSI PERIZINAN
VII
TIPOLOGI PENYELENGGARAAN PELAYANAN PERIZINAN
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
7
Penyelenggaraan pemerintahan saat ini bukan lagi semata-mata menjadi tanggung jawab
pemerintah, melainkan seluruh aktor dalam sebuah negara. Meskipun demikian, peran
pemerintah tentunya masih sangat dibutuhkan terkait dengan penyediaan pelayanan publik. Pada
dasarnya, pelayanan publik mencakup tiga aspek, yaitu pelayanan barang, jasa, dan administratif.
Wujud pelayanan administratif adalah layanan berbagai perizinan, baik yang bersifat
nonperizinan maupun perizinan.
Perizinan merupakan salah satu aspek penting dalam pelayanan publik, demikian juga
perizinan yang terkait dengan kegiatan usaha. Proses perizinan, khususnya perizinan usaha,
secara langsung akan berpengaruh terhadap keinginan dan keputusan calon pengusaha maupun
investor untuk menanamkan modalnya. Demikan pula sebaliknya, jika proses perizinan tidak
efisien, berbelit-belit, dan tidak transparan baik dalam hal waktu, biaya, maupun prosedur akan
berdampak terhadap menurunnya keinginan orang untuk mengurus perizinan usaha, dan mereka
mencari tempat investasi lain yang prosesnya lebih jelas dan transparan. Hal ini tentu saja
selanjutnya akan berdampak terhadap ketersediaan lapangan kerja dan masalah-masalah
ketenagakerjaan lainnya.
Penerapan otonomi daerah memberikan ruang yang cukup besar bagi daerah untuk
mengatur dan mengurus pelayanan publiknya, termasuk dalam hal perizinan. Implikasinya,
sebagian daerah menggunakan kesempatan ini untuk melakukan inovasi demi menarik investor,
namun sebagian lain justru menggunakannya untuk menarik retribusi sebesar mungkin dari
proses perizinan yang diterapkan, semata-mata demi meningkatkan penerimaan pendapatan
daerah setempat (PAD).
Pada era otonomi daerah yang telah menginjak satu dasawarsa, banyak daerah otonomi
yang cukup berhasil membangun daerahnya yang diawali dengan pemberian layanan perizinan
investasi yang mudah dan murah. Dengan tujuan untuk menarik investor, upaya pembangunan
daerah dilakukan dengan menciptakan multiplier effects dari penanaman investasi di daerah yang
bersangkutan. Investasi yang masuk menjadi salah satu driving forces dalam percepatan
pembangunan daerah.
Tulisan ini mengekplorasi penerapan best practice pelayanan perizinan usaha yang
dilakukan oleh daerah serta dampak yang ditimbulkan bagi percepatan pembangunan daerah.
Tim penulis akan menggunakan tiga daerah sebagai site penelitian, yaitu Kabupaten Purbalingga,
Kota Makassar, dan Kota Banjar Baru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masing-masing
daerah memiliki inovasi yang berbeda dan karakteristik berpengaruh terhadap berhasil atau
tidaknya pelaksanaan sistem perizinan yang dibangun. Secara umum, Kabupaten Purbalingga
dapat dinilai sebagai daerah yang paling berhasil di antara dua lainnya, baik dalam hal sistem
perizinan maupun dampaknya terhadap pembangunan daerah.
Tulisan ini memiliki keunggulan, yakni analisis yang dilakukan tidak hanya terkait
dengan dampak langsung dari perizinan yang biasa dilakukan secara kuantitatif, tetapi juga
menyentuh aspek politik, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat setempat yang turut
berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan sistem perizinan. Gambaran tipologi pelayanan
perizinan yang ditemukan dalam penelitian ini turut memberikan perspektif baru bagi
masyarakat luas. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi referensi bagi semua stakeholder
untuk mengapresiasi penyelenggaraan pelayanan perizinan sebagai instrumen pembangunan
daerah.
I
BAGAIMANA PERIZINAN DI DAERAH?
10
seperti korupsi, budaya permisif, serta budaya masyarakat elitis yang masih mengedepankan
kedekatan dengan pengambil kebijakan.
Situasi ini tentunya akan berimplikasi pada proses pelayanan publik, khususnya
pelayanan perizinan di daerah akibat terbentuknya budaya masyarakat elitis. Jika melihat
perkembangan skor integritas pelayanan publik selama tiga tahun terakhir, penurunan kualitas
pelayanan publik tampaknya memang terjadi. Indikasi ini tidak hanya menjadi salah satu
parameter kegagalan penyelenggaraan otonomi daerah, lebih dari itu masalah penurunan indeks
integritas pelayanan publik juga akan menjadi salah satu faktor penting bagi para investor untuk
melakukan kegiatan usaha di daerah.
Grafik 1.1
Perkembangan Skor Integritas Pelayanan Publik Tahun 2007-2009
11
Grafik di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2008 ke 2009 telah terjadi penurunan indeks
integritas pelayanan publik, baik di tingkat pusat maupun daerah. Di tingkat daerah, indeks
mengalami penurunan dari 6.69 menjadi 6.46. Penurunan skor ini menunjukkan bahwa kualitas
pelayanan publik di daerah secara umum semakin buruk.
Kualitas pelayanan publik di bidang perizinan usaha memainkan peranan penting dalam
menarik investor untuk menanamkan modalnya di suatu daerah. Kualitas pelayanan perizinan
sendiri juga dapat diidentifikasi dari peraturan pemerintah daerah dalam mendukung sekaligus
memberikan legitimasi lembaga perizinan di daerah untuk memberikan pelayanan secara lebih
efisien dan efektif. Survei yang diselenggarakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas) dan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia
(LPEM UI) memberikan laporan bahwa peraturan daerah (termasuk peraturan yang mendukung
reformasi lembaga pelayanan perizinan) memberikan pengaruh terhadap iklim usaha. Survei
yang dilakukan pada tahun 2008 ini mengidentifikasi ada enam faktor yang memengaruhi iklim
investasi. Urutan faktor dari mulai yang paling besar pengaruhnya sampai yang paling kecil yaitu
Prosedur Ekspor-Impor, Kondisi Makro, Infrastruktur, Tenaga Kerja, Peraturan lokal, dan
Perpajakan.
Walaupun tidak menjadi faktor terpenting, peraturan lokal yang pro terhadap perbaikan
pelayanan perizinan usaha menjadi salah satu kunci bagi kelangsungan iklim usaha. Sayangnya,
reformasi perizinan di beberapa daerah tidak berjalan maksimal. Pembaruan regulasi melalui
Sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu atau biasa disebut dengan One Stop Service juga
belum mampu menjadi solusi utama dalam memperbaiki pelayanan perizinan di Indonesia secara
umum. Melihat perkembangan iklim investasi Indonesia di tingkat dunia, sebenarnya dalam lima
tahun terakhir peringkat Indonesia mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari peringkat
Doing Business Indonesia yang terus mengalami perbaikan. Namun, faktanya peringkat yang
terus membaik ini tidak diimbangi realisasi investasi Penanaman Modal Asing (PMA) dan
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang terus menguat dari tahun ke tahun.
12
Tabel 1.1
Peringkat Doing Business Negara-Negara ASEAN
Ketidaksinergisan terlihat antara peringkat Indonesia yang terus membaik dan penanaman modal
dan kredit PMDN dan PMA yang nilai realisasi investasinya pada rentang waktu 2004-2009 di
mana terjadi pasang-surut. Pasang-surut yang terjadi tidak hanya dari sektor PMDN saja, sektor
PMA juga mengalami pasang surut dalam hal nilai realisasi investasi. Adapun untuk jumlah izin
usaha, kenaikan kuantitas jumlah izin secara konsisten hanya terlihat pada sektor PMA. Untuk
sektor PMDN sendiri, jumlah kenaikan izin usaha tidak terlihat konsisten.
13
Tabel 1.2
Penanaman Modal dan Penyaluran Kredit di Sektor Industri
Tahun 20042009
Keterangan
2004
96
2005
149
2006
96
2007
101
2008
189
2009
128
10.5
21.0
13.0
26.3
15.9
16.0
248
335
363
390
495
356
2.8
3.5
3.6
4.7
4.5
2.8
143.6
169.7
182.4
203.8
269.1
237.9
(Rp triliun)
PMA*)
(USD miliar)
Penyaluran Kredit (Rp triliun) **)
Keterangan:
*) Badan Koordinasi Penanaman Modal : 2009 (JanuariSeptember)
**) Bank Indonesia
: 2009 (JanuariOktober)
Data di atas memberikan wacana untuk kita bahwa, dari sisi konsistensi, pertumbuhan industri
secara umum memang belum dapat berjalan sesuai harapan. Ada banyak faktor yang
memengaruhi, mulai dari waktu perizinan yang tidak efisien sampai dengan mekanisme yang
14
masih tumpang tindih antara pusat dan daerah sehingga turut menjadi penghambat dalam
memajukan iklim investasi yang kompetitif.
Mengapa Perizinan?
Komitmen pemerintah pusat untuk memperbaiki iklim investasi faktanya menunjukkan bahwa
dari sisi waktu dan biaya, Indonesia masih menjadi negara yang belum proinvestasi. Meskipun
dari sisi potensi investasi di Indonesia sangat besar, termasuk potensi pasarnya, namun jika hal
ini tidak diimbangi dengan pelayanan perizinan yang responsif, maka investasi usaha pun tidak
akan maksimal. Diterbitkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Perdagangan, Menteri
Dalam Negeri, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Hukum dan HAM, serta Kepala
BKPM untuk mempercepat proses pembuatan izin usaha dari 60 hari menjadi 17 hari mulai awal
Januari 2010 menjadi angin segar bagi para pelaku bisnis, apalagi bagi para calon investor.
Apabila kita mengacu pada data International Finance Corporation Indonesia justru memiliki
jumlah hari yang lebih banyak (76 hari), 17 hari lebih banyak dari klaim pemerintah saat ini (60
hari).
15
Tabel 1.3
Perbandingan Jumlah Hari untuk Memulai Usaha
(Starting A Business)
Tahun
No
Negara
2005
2006
2007
2008
2009
Singapore
Thailand
33
33
33
33
Malaysia
30
30
30
24
13
Philippines
50
48
48
58
15
Vietnam
56
50
50
50
50
Indonesia
151
151
97
105
76
Cambodia
94
86
86
86
85
Laos
198
198
192
103
103
Walaupun dalam lima tahun terakhir, jumlah hari untuk memulai usaha di Indonesia terus
mengalami penurunan, tetap saja masih kalah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN
utama. Indonesia masih kalah dari Singapura dan Thailand yang menduduki peringkat satu dan
dua sebagai negara yang paling cepat memberikan pelayanan untuk memulai usaha. Bahkan,
Indonesia masih kalah dari Filipina dan Vietnam yang menempati peringkat empat dan lima.
16
Pemangkasan waktu yang sangat besar (17 hari) memang layak diapresiasi. Selain akan
menjadi daya tarik bagi investor, pemangkasan ini juga akan meningkatkan peringkat Indonesia
sebagai negara tujuan investasi yang potensial di dunia. Akan tetapi, yang perlu diingat juga
adalah saat ini masih banyak perizinan yang menimbulkan biaya tinggi. Ada sekitar 70 perizinan
yang dapat dipangkas agar proses memulai usaha di Indonesia dapat lebih efisien dan murah.
Munculnya konsep sistem pelayanan perizinan satu atap elektronik untuk perizinan usaha
diharapkan dapat memangkas 70 perizinan yang tidak perlu karena seluruh proses perizinan
dapat dilakukan di satu atap.
Di tingkat daerah, upaya untuk mewujudkan perizinan satu atap masih banyak mengalami
kendala. Selain membutuhkan dana yang tidak sedikit, untuk pembiayaan fisik dan nonfisik,
political will dari kepala daerah juga menjadi kunci utama keberhasilan daerah dalam
menyelenggarakan pelayanan perizinan usaha. Terselenggaranya pelayanan perizinan yang baik
akan menjadi driving force bagi kemajuan ekonomi daerah. Hubungan ini yang sebenarnya
belum terlihat di semua daerah karena pada tataran implementasi hanya beberapa daerah yang
mampu
memanfaatkan
momentum
otonomi
daerah
untuk
mereformasi
sekaligus
17
Bagan 1.1 selanjutnya akan memberikan gambaran bahwa rendahnya investasi di sebuah
negara, termasuk juga di tingkat lokal memengaruhi pendapat rill masyarakat, perkembangan
teknologi, permintaan yang turun, sampai dengan potensi sumber daya daerah yang tidak
terkelola secara maksimal. Domain inilah yang seharusnya dicermati oleh daerah dalam
membangun dan mengembangkan potensi. Investasi menjadi salah satu pintu strategis dalam
menyejahterakan masyarakat daerah. Perda-Perda yang proinvestasi tentunya yang akan
menjawab permasalahan belum maksimalnya kegiatan investasi yang masuk ke daerah pada
masa otonomi daerah.
Ragnar Nurske dalam Kunarjo memberikan pemahaman bahwa kemiskinan di negara
berkembang ibarat lingkaran setan karena berbagai penjelasan kemiskinan tidak banyak
menjelaskan kenapa mereka menjadi miskin. Dikatakan Kunarjo bahwa dalam lingkaran setan
kemiskinan, pokok pangkal kemiskinan adalah pendapatan yang rendah. Pendapatan yang rendah
bukan hanya memengaruhi tingkat tabungan yang rendah, tetapi juga memengaruhi tingkat
pendidikan, kesehatan yang rendah sehingga produktivitas sumber daya yang ada juga menjadi
rendah. Semuanya ini akan memengaruhi pendapatan masyarakat yang rendah pula. Investasi
rendah dalam lingkaran setan ini menjadi aspek penting dalam memunculkan permasalahan
turunan tersebut. Di sinilah diperlukan peraturan daerah sekaligus penyelenggaraan pelayanan
perizinan daerah yang mampu memperbaiki rendahnya investasi di suatu daerah. Deregulasi
perizinan usaha menjadi solusi untuk mengurai masalah kemiskinan sekaligus proses
pembangunan daerah yang stagnan dewasa ini.
18
Bagan 1.1
Hubungan Investasi dalam Lingkaran Kemiskinan
Perkembangan
teknologirendah
Produktivitas
rendah
Kesehatan
menurun
Butahuruf
tinggi
Permintaan
rendah
Pendapatan
riilrendah
Tabungan
rendah
Investasi
rendah
Banyaksumberdaya
alamyangtidak
dieksploitasi
Terlepas dari lingkaran setan kemiskinan di negara berkembang di atas, salah satu solusi
untuk meminimalisasi disparitas pembangunan antardaerah, yaitu melalui deregulasi perizinan
usaha. Langkah ini dapat diambil guna meningkatkan masuknya investasi ke daerah sebagai
faktor utama dalam menciptakan efek ganda dalam pemerataan kesejahteraan. Hal ini senada
dengan pendapat Brutton yang menyatakan bahwa untuk menanggulangi kemiskinan yaitu
dengan cara meningkatkan tabungan dan salah satunya adalah dengan memperluas kesempatan
berinvestasi. Deregulasi perizinan usaha akan menumbuhkan iklim investasi di daerah, baik dari
segi waktu, transparansi biaya, sampai kepastian hukum dalam melakukan investasi. Adanya
investasi juga akan menjadi katalis dalam mengoptimalkan sumber daya lokal agar dapat
memiliki nilai tambah yang lebih tinggi.
19
Atas dasar pemikiran tersebut, Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) sebagai bagian
dari civil society mengambil inisiatif untuk melakukan kajian khusus terkait kebijakan otonomi
daerah yang difokuskan pada aspek penyelenggaraan pelayanan perizinan di daerah pada era
otonomi daerah. Dengan kajian tersebut, kita semua mengharapkan akan munculnya pemahaman
yang komprehensif terhadap apa yang sesungguhnya terjadi dengan kebijakan otonomi daerah,
terutama aspek pelayanan publik dalam pemberian izin usaha berikut permasalahan yang
melingkupinya. Selain itu, hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi solusi yang mungkin
menjadi alternatif dalam formulasi dan implementasi kebijakan perizinan usaha di daerah lain.
Berdasarkan paparan di atas, buku ini berupaya untuk menganalisis beberapa pertanyaan
sebagai berikut:
1. Bagaimana penyelenggaraan layanan perizinan usaha di daerah setelah diterapkannya
otonomi daerah?
2. Bagaimana penerapan best practice dalam layanan perizinan usaha pada era otonomi daerah?
3. Bagaimana pengaruh penerapan best practice layanan perizinan usaha terhadap terciptanya
multiplier effect yang mendukung percepatan pembangunan daerah?
20
Dari berbagai tujuan di atas, output yang diharapkan dari penelitian ini adalah
tersusunnya buku hasil penelitian yang dapat dijadikan referensi bagi daerah lain yang ingin
melakukan inovasi penyelenggaraan pelayanan perizinan usaha. Hasil penelitian juga diharapkan
dapat memberikan masukan kepada pemerintah pusat dalam penyusunan peraturan, baik berupa
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, atau lain-lainnya di bidang perizinan usaha.
Secara akademik, hasil buku ini bermanfaat sebagai pengembangan teori mengenai
pelayanan publik, khususnya pelayanan di bidang perizinan. Secara praktis, penelitian ini
memberikan masukan dan alternatif best practice mengenai pemberian layanan perizinan usaha
baik untuk pemerintah pusat maupun daerah.
Konsep Desentralisasi
Konsep desentralisasi pemerintahan yang menggeser kekuasaan pemerintahan dari pusat ke
daerah, termasuk pelimpahan sebagian kewenangan terhadap aparat pemerintahan dari
kekuasaan pemerintah pusat ke pemda merupakan upaya memfungsikan peran elit daerah yang
dinilai lebih memerhatikan permasalahan dan potensi daerah otonom agar diurus secara mandiri.
Instrumennya tentu saja menggunakan sumber daya lokal yang berimplikasi pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat lokal.
Artikulasi otonomi daerah sendiri secara umum merupakan wewenang untuk mengatur
urusan pemerintahan yang bersifat lokalitas, menurut prakarsa sendiri, dan berdasarkan aspirasi
masyarakat setempat. Dengan demikian, desentralisasi sebenarnya penjelmaan otonomi
masyarakat setempat untuk memecahkan berbagai masalah dan pemberian layanan yang bersifat
lokalitas demi kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan. Menurut Davey, makna
desentralisasi memiliki pengertian yang lebih luas karena desentralisasi tidak hanya mencakup
aspek administratif semata, namun juga desentralisasi politik. Penjabaran yang lebih kompleks
dan luas disampaikan juga oleh Chema dan Rondinelli (1993) yang mengartikulasikan
desentralisasi sebagai the transfer or delegating of planning, decision making, or management
authority from the central government and its agencies to field organizations, subordinate units
21
partisipatif,
persamaan
perlakuan/tidak
diskriminatif,
keterbukaan,
akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok, rentan, ketepatan waktu, serta
kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
Sebagai bagian dari respons terhadap tantangan global, telah terjadi pergeseran
paradigma dalam pelayanan publik. Tiga pergeseran yang dicatat oleh Edi Suharto adalah:
1. Dari problem-based services ke right-based services
Pelayanan publik yang dulunya diberikan hanya untuk merespons masalah atau
kebutuhan masyarakat, kini diselenggarakan untuk memenuhi hak-hak masyarakat
sebagaimana telah diamanatkan konstusi nasional maupun konvensi internasional;
2. Dari rules-based approaches ke outcome-oriented approaches
22
Pelayanan Publik cenderung bergeser dari yang semata didasari peraturan normatif
menjadi pendekatan yang berorientasi pada hasil; dan
3. Dari public management ke public governance
Menurut Bovaird dan Loffler (2003), dalam manajemen publik masyarakat dianggap
sebagai klien, pelanggan, atau sekadar pengguna layanan sehingga merupakan bagian
dari market contract.
23
sebab itu, dalam hal ini instansi tersebut tidak dapat menyediakan semua bentuk perizinan yang
diperlukan dalam pelbagai tingkat administrasi sehingga harus bergantung pada otoritas lain.
Pelayanan perizinan dengan sistem terpadu satu pintu (one stop service) membuat waktu
pembuatan izin menjadi lebih singkat. Pasalnya, dengan pengurusan administrasi berbasis
teknologi informasi, input data cukup dilakukan sekali, dan administrasi bisa dilakukan secara
simultan. Dengan adanya kelembagaan pelayanan terpadu satu pintu, seluruh perizinan dan
nonperizinan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota dapat terlayani dalam satu lembaga.
Harapan yang ingin dicapai adalah mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan
investasi dengan memberikan perhatian yang lebih besar pada peran usaha kecil dan menengah,
dan bertujuan meningkatkan kualitas layanan publik.
Pelayanan Terpadu pada dasarnya telah diatur melalui Permendagri No.24 Tahun 2006
mengenai Pedoman Penyelenggaran Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Dalam peraturan ini,
pelayanan atas permohonan perizinan dan nonperizinan dilakukan oleh Perangkat Daerah
Penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP), yaitu perangkat pemerintah daerah yang
memiliki tugas pokok dan fungsi mengelola semua bentuk pelayanan perizinan dan nonperizinan
di daerah dengan sistem satu pintu.
Konsep Investasi
Perdagangan bebas merupakan salah satu dampak dari adanya globalisasi. Tarik-menarik antara
kekuatan yang mendorong terjadinya multilateralisme di satu sisi dan regionalisme di sisi yang
lain merupakan sebuah karakteristik dari globalisasi yang tidak terelakkan. Negara berusaha
mendapatkan keuntungan dari kedua tarikan tersebut, demikian halnya dengan perdagangan
bebas yang diharapkan menghasilkan keuntungan yang bersifat dinamik maupun statik. Terkait
dengan paradigma regionalisme, penelitian ini akan menitikberatkan pada analisis di tingkat
daerah yang dibagi dalam tiga kajian yaitu perizinan, iklim investasi, dan pengembangan industri
lokal.
Desentralisasi perizinan merupakan format kebijakan pemerintahan untuk menata sistem
investasi sebagai pilar perekomonian. Perizinan merupakan bagian dari pendekatan command
24
and control, yaitu pendekatan kebijakan investasi dari sudut kewenangan regulasi pemerintah.
Perizinan selalu berkaitan dengan kegiatan pengawasan terhadap aktivitas yang menjadi obyek
perizinan. Hal itu mencakup tiga aspek, yaitu pemberi izin (aparat perizinan), pelaku investasi
(subyek perizinan), dan aktivitas investasi (obyek perizinan). Ketiga aspek ini masing-masing
akan dikaji sebagai indikator penelitian.
Perizinan yang merupakan ujung tombak dari peranan birokrasi pemerintahan dalam
penataan investasi perlu diskenariokan dalam format desentralisasi perizinan yang dinilai sebagai
salah satu alternatif solusi efektif untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang
menyangkut investasi. Investasi dalam pengertian konsepsional merupakan hasil dari sebuah
proses yang bersifat multidimensional. Pembangunan ekonomi merupakan salah satu fungsi dari
investasi dalam artian penanaman modal atau faktor ekonomi yang paling esensial dan mudah
diukur secara kuantitatif. Akan tetapi, dalam dunia nyata seorang investor yang akan
menanamkan modalnya pada suatu bidang usaha tertentu akan selalu memerhatikan faktor
keamanan lingkungan, kepastian hukum, status lahan investasi dan dukungan pemerintah.
Demikian pula dengan pengembangan industri lokal, selain faktor tersebut juga akan
memerhatikan aspek potensi dan kemampuan masyarakat di daerah.
given, dan kita menganggap otoritas moneter atau otoritas publik lainnya menstimulasi atau
memperlambat investasi, maka perubahan jumlah employment akan menjadi fungsi dari hasil
perubahan jumlah investasi (net change of investment). Ini bertujuan untuk mengestimasi
hubungan kuantitatif antara net investment dan kenaikan jumlah employment yang terhubung
dengannya. Akan tetapi, sebelum ke multiplier, akan lebih baik untuk mengerti konsep marginal
propensity to consume (Keyness, 1957: 113-114).
Konsep multiplier pada prinsipnya menjelaskan bahwa ada hubungan antara tingkat
investasi (I) dan permintaan pendapatan (Y). Atau, dengan bahasa sederhananya, bila terdapat
tambahan investasi, maka akan bertambah pula tingkat permintaan pendapatan dengan kelipatan
sebesar kebalikan dari marginal propensity to save (mps), atau angka koefisien yang
menunjukkan berapa kenaikan tingkat tabungan jika permintaan pendapatan meningkat dengan
jumlah tertentu, dengan nilai angka pecahan kurang dari 1. Model ini diperkaya dengan model
Incremental Capital Output Ration (ICOR) dari Sir Harrod yang menyebutkan bahwa investasi
harus diartikan sebagai pertambahan kapasitas produksi (Kunarjo: 2000).
26
27
Tahap keenam: Menyelenggarakan diseminasi hasil riset sementara, seperti dalam bentuk
seminar, sekaligus melakukan verifikasi atas hasil riset ini terhadap para stakeholders (pemangku
kepentingan) dan para pakar yang berkompeten.
Tahap ketujuh: Melakukan analisis menyeluruh terhadap hasil temuan serta penulisan laporan
peneltitian.
28
II
TINJAUAN NORMATIF PERATURAN PERIZINAN INVESTASI
Tinjauan Normatif
Perbaikan pelayanan perizinan sejatinya dilakukan secara komprehensif. Salah satu aspek
fundamental dari legitimasi pelayanan perizinan usaha adalah adanya aturan main yang dibuat
oleh institusi pemerintah, baik pusat maupun daerah. Sebelum adanya otonomi daerah,
pemerintah pusatlah yang intens dalam mengeluarkan paket kebijakan investasi bagi para
investor yang menanamkan modalnya di Indonesia. Selain untuk keseragaman aturan main,
paket kebijakan juga memiliki banyak kelebihan karena satu peraturan dengan peraturan lainnya
sudah diintegrasikan. Strategi ini cukup berhasil melihat dampak dan respons dari para pelaku
usaha yang positif. Bagian ini mencoba menggambarkan beberapa ilustrasi paket kebijakan
kegiatan investasi sebelum era otonomi daerah.
Ketentuan investasi minimum bagi bagi PMA ditiadakan. Jumlah investasi yang
ditanamkan dalam rangka PMA diterapkan berdasarkan kelayakan ekonomi kegiatan
usahanya;
Perusahaan PMA yang sudah berproduksi komersil dapat mendirikan perusahaan baru
dan/atau membeli saham perusahaan yang didirikan berdasarkan PMDN dan/atau bukan
30
PMDN melalui pemilikan langsung, sepanjang bidang usaha dari perusahaan yang
sahamnya dibeli tersebut dinyatakan terbuka bagi PMA;
Kegiatan usaha PMA dapat berlokasi diseluruh Indonesia, namun bagi daerah yang telah
memiliki
Izin usaha PMA berlaku untuk jangka 30 tahun dihitung sejak produksi komersil, dan
dapat diperpanjang bila perusahaan yang dimaksud masih tetap menjalankan usahanya
yang bermanfaat bagi perekonomian dan pembangunan nasional.
31
fasilitas penanaman modal kepada BKPM, tetapi merupakan prakondisi bagi proses
resentralisasi.
Perihal kewenangan daerah di bidang penanaman modal ditegaskan kemudian dalam UU
No.32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah bahwa lingkup kewenangan daerah di bidang
penanaman modal adalah dalam penyelenggaraaan pelayanan administrasi penananaman modal.
Tidak ada penjelasan detail tentang ketentuan tersebut, demikian pula belum ada kebijakan
turunan untuk menjabarkan ketentuan dimaksud. Namun demikian, penggunaan istilah
administrasi tampaknya merupakan pembatasan terhadap kewenangan daerah di bidang
penanaman modal. Dengan pembatasan kewenangan ini, daerah tidak lagi memiliki kewenangan
terkait dengan pengambilan keputusan strategik seperti pemberian izin persetujuan penanaman
modal, izin pelaksanaan, dan fasilitas penanaman modal. Dengan demikian, berdasarkan UU
No.32/2004 Pemerintah Pusat dapat mengembalikan kewenangan daerah di bidang penanaman
modal pada kondisi sebelum ditetapkannya UU No.22/1999, yakni kewenangan dalam
pemberian perizinan: Izin Lokasi, Izin Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pengelolaan,
IMB, dan Izin UUG/HO.
lainnya. Segala penerimaan yang timbul dari pemberian penyelenggaraan Pelayanan Satu Atap
oleh BKPM, baik itu terkait pemberian pelayanan persetujuan, perizinan, dan fasilitas
penanaman modal diserahkan pada instansi yang membidangi usaha penanaman modal.
Keppres yang ditandatangani pada masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri ini
memang masih terlihat ada sisi kelemahannya. Pertama, BKPM selaku instansi penyelenggara
tidak diberikan kebijakan penuh untuk menyelenggarakan Pelayanan Satu Atap di bidang
penanaman modal. BKPM harus selalu bekerja sama dengan instansi lain seperti Departemen
Perindustrian dan Perdagangan sebelum memutuskan layaknya tidaknya izin yang akan
diberikan kepada calon investor. Hal ini membuat keberadaan BKPM hanya sebagai koodinator
saja dalam penyelenggaraan Pelayanan Satu Atap. Tidak ada pasal yang mengatur secara jelas
adanya pendelegasian wewenang dari instansi lain terkait otoritas perizinan investasi kepada
BKPM. Selain itu, otoritas perizinan lokal yang juga tidak memiliki keharusan untuk
mendelegasikan kewenangannya kepada BKPM terkait penanaman modal tentunya tidak akan
sukarela memberikan kewenangannya. Dalam pasal 4 Keppres No.25 Tahun 2004,
Gubernur/Bupati/Walikota sesuai kewenangannya dapat melimpahkan kewenangannya kepada
otoritas penyelenggara Pelayanan Satu Atap (BKPM) jika memang diperlukan. Tidak ada pasal
yang mengikat otoritas lokal wajib mendelegasikan kewenangannya kepada BKPM. Otoritas
daerah dalam menyelenggarakan perizinan juga memiliki dasar hukum berdasarkan Peraturan
No.22 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2000. Tidak ada perubahan yang
berarti di tingkat lokal, kecuali ada pendelegasian kewenangan perizinan dari otoritas lokal
kepada BKPM.
Banyak pihak yang melihat Keppres No.29 Tahun 2004 Atap ini masih memiliki
kelemahan, baik regulatif maupun koordinatif. Kelemahan pada aspek regulatifnya bahwa
Keputusan No.29 Tahun 2004 merupakan contoh lain dari regulasi legal yang gagal
menyediakan dasar hukum yang jelas dan tidak bermakna ambigu dalam masalah yang hendak
ditangani. Keputusan ini memang mengklarifikasi bahwa bagi pemerintah pusat, Pelayanan Satu
Atap (One Stop Service) merupakan pendekatan yang dianjurkan untuk berhubungan dengan
aplikasi investasi, dan bahwa BPKM merupakan agen pemerintah yang dianjurkan untuk
menjalankan pelayanan OSS tersebut. Namun demikian, dalam melaksanakan peran itu BPKM
terus bergantung pada delegasi otoritas untuk meluluskan investasi dari agen yang bersangkutan.
33
Adapun kelemahan dari sisi koordinatif, Keppres No.29 Tahun 2004 masih terkait
dengan konsekuensi dari otoritas yang berbelit dan tumpang tindih, seringkali dalam bentuk
pengambilalihan kewenangan pelayanan yang bukan kewenangannya oleh BKPM selaku
otoritas penyelenggara pelayanan Perizinan Satu Atap, dan dapat memengaruhi kurang
maksimalnya kualitas pelayanan dan adanya derajat perbedaan kualitas pelayanan pada berbagai
tingkat investasi yang ada mengingat banyaknya investasi yang harus diurus secara nasional.
Secara eksplisit, Keppres No.29 Tahun 2004 juga membawa implikasi pada
berkurangnya kewenangan daerah perihal pemberian persetujuan izin dan fasilitas penanaman
modal karena dilimpahkan kembali ke pemerintah pusat, termasuk proses pelayanan
administrasinya.
Daerah
hanya
menyelenggarakan
pelayanan
administrasi
di
daerah
(Kabupaten/Kota) terkait penyelenggaraan penanaman modal seperti Izin Lokasi, IMB, Izin
Gangguan (HO). Ketentuan ini diatur mengikuti Instruksi Mendagri No.25 tahun 1998 Tentang
Pelayanan Perizinan Satu Atap di Daerah. Selain tiga izin di atas (Izin Lokasi, IMB, dan Izin
Gangguan (HO), Instruksi Mendagri juga mengatur penyelenggaraan pelayanan perizinan
lainnya, seperti Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Izin Trayek, Izin Peruntukan Penggunaan
Tanah, Kartu Tanda Penduduk, dan Akta Catatan Sipil.
Pelaksanaan Pelayanan Sistem Satu Atap setelah keluarnya Inpres No.29 Tahun 2004
dari sisi kuantitas di Kabupaten dan Kota pasca-diimplementasikannya memang kurang
mendapat sambutan yang meriah dari pemerintah daerah. Data dari Kementrian PAN dan
Reformasi Birokrasi tahun 2009 memberikan gambaran pada tahun 2004 tidak ada sistem
Pelayanan Satu Atap yang dibangun pada tahun 2004. Pada tahun berikutnya (2005),
pembangunan sistem Pelayanan Satu Atap di tingkat Kabupaten/Kota juga belum memberikan
hasil yang menggembirakan karena hanya enam sistem Pelayanan Satu Atap yang terbangun.
Ironisnya, Dari enam One Stop Service yang terbangun, lima berada di level Kabupaten dan satu
di level Kota.
Karakteristik pelayanan satu atap yang terjadi pada masa ini juga tidak berbeda jauh
dengan patron birokrasi yang sangat Webberian dan terlihat tidak efektif dan efisien. Asropi
mengidentikasi
permasalahan
penyelenggaraan
sistem
Pelayanan
Satu
Atap
34
Pada umumnya, daerah kurang perhatian terhadap standar waktu dan biaya untuk proses
pelayanan administrasi penanaman modal di daerah. Sebagai akibatnya, waktu yang
diperlukan bagi calon penanam modal untuk menyelesaikan perizinan penanaman modal
di daerah sulit diperkirakan. Penyelesaian perizinan penanaman modal di daerah
seringkali membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit;
Meskipun terdapat instansi tertentu di daerah yang menangani bidang penanaman modal,
tetapi kewenangan instansi tersebut tidak memadai untuk meningkatkan kualitas
pelayanan dalam perizinan penanaman modal. Hal ini karena kewenangan pelayanan
perizinan masih dimiliki oleh masing-masing instansi yang secara tradisional
menerbitkan Izin Lokasi, IMB, dan Izin UUG/HO.
Gambaran pelayanan Sistem Pelayanan Satu Atap yang demikian ini tentunya memberikan
implikasi pada iklim investasi di daerah. Ironisnya, tidak jarang terciptanya kondisi yang tidak
kondusif di bidang pelayanan perizinan usaha dikaitkan dengan desentralisasi. Jika demikian,
tujuan dari desentralisasi menjadi sangat kontraproduktif yang tadinya ingin mendekatkan
pelayanan kepada stakeholder, tapi justru menghambat iklim investasi.
Namun demikian, kondisi iklim penanaman modal di daerah tersebut sebenarnya tidak
memiliki relevansi yang kuat dengan kebijakan otonomi daerah karena proses pelayanan
administrasi penanaman modal pada dasarnya telah dilaksanakan oleh daerah sebelum daerah
menerima kewenangan dari pusat dalam bidang penanaman modal. Pelayanan administrasi
penanaman modal di daerah sejak sebelum diberlakukannya UU No.22/1999 adalah bagian dari
sistem pelayanan dan perizinan di daerah. Dalam sistem ini tidak ada kejelasan apakah kasus
permohonan perizinan tertentu merupakan bagian dari kegiatan penanaman modal atau bukan,
semua kasus permohonan perizinan diperlakukan sama.
35
peremajaan
peraturan
sebelumnya
(Keppres
No.29
Tahun
2004)
tentang
penyelenggaraan Pelayanan Satu Atap (One Stop Service). Dalam rangka mendorong
pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi, khususnya dalam memberikan peran yang
lebih besar kepada usaha mikro, kecil, dan menengah, maka diperlukan penyederhanaan
penyelenggaraan pelayanan terpadu sesuai Instruksi Presiden No.3 Tahun 2006 tentang Paket
Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi. Tujuan penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu ini
adalah meningkatkan kualitas layanan publik serta memberikan akses yang lebih luas kepada
masyarakat untuk memperoleh pelayanan publik. Sasaran yang ingin dicapai dari pelayanan satu
pintu ini adalah terwujudnya pelayanan publik yang cepat, murah, mudah, transparan, pasti dan
terjangkau yang pada akhirnya akan meningkatkan hak-hak masyarakat terhadap pelayanan
publik, khususnya pelayanan perizinan.
Beberapa perbaikan yang dilakukan pemerintah pusat terkait penyelenggaraan Pelayanan
Satu Pintu memang cukup jelas dibandingkan dengan Keppres No.29 Tahun 2004 tentang
penyelenggaraan Pelayanan Satu Atap. Beberapa penyederhanaan yang dilakukan antara lain
menyangkut waktu, perangkat lembaga, biaya, prosedur pelayanan perizinan, penanganan
pengaduan, sumber daya aparatur pemberi layanan, dan keterbukaan informasi. Dalam Pasal 4
ayat 2 penyederhaan perizinan meliputi:
1. Pelayanan atas permohonan perizinan dan nonperizinan dilakukan oleh PPTSP;
2. Percepatan waktu proses penyelesaian pelayanan tidak melebihi standar waktu yang telah
ditetapkan dalam peraturan daerah;
3. Kepastian biaya pelayanan tidak melebihi dari ketentuan yang telah ditetapkan dalam
peraturan daerah;
4. Kejelasan prosedur pelayanan dapat ditelusuri dan diketahui setiap tahapan proses
pemberian perizinan dan nonperizinan sesuai dengan urutan prosedurnya;
36
5. Mengurangi berkas kelengkapan permohonan perizinan yang sama untuk dua atau Lebih
permohonan perizinan;
6. Pembebasan biaya perizinan bagi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang ingin
memulai usaha baru sesuai dengan peraturan yang berlaku; dan
7. Pemberian hak kepada masyarakat untuk memperoleh informasi dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan pelayanan.
38
Pada prinsipnya, substansi kebijakan iklim investasi, reformasi sektor keuangan, dan
percepatan pembangunan merupakan lanjutan dari paket kebijakan investasi sebelumnya. Inpres
No.6 tahun 2007 ini menugaskan Menko Bidang perekonomian dan 19 Menteri lainnya, 3
Kepala LPND serta seluruh gubernur, bupati dan walikota untuk melaksanakan Kebijakan
Percepatan Pengembangan Sektor Rill dan Pemberdayaan UMKM. Khusus mengenai
pemberdayaan UMKM, sebenarnya programnya merupakan perluasan dari beberapa program
dalam Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi sebelum Inpres No.6 Tahun 2006.
Menengok ke belakang pembuatan paket-paket stimulus kebijakan investasi ekonomi
selama ini memang bagian dari strategi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang
menitikberatkan triple track strategy sebagai basis utama pembangunan ekonomi. Pengungkit
kebijakan yang mampu memaksimalkan strategi yang pro-growth, pro-job, pro-poor salah
satunya adalah Inpres No.6 tahun 2007 ini. Paket kebijakan ini selain memperkuat paket
kebijakan investasi sebelumnya, diharapkan juga dapat menjadi katalisator dalam mengatasi
persoalan kemiskinan dan pengangguran.
Namun, tampaknya Inpres No.6 tahun 2007 ini sama nasibnya dengan paket kebijakan
investasi lainnya yang berjalan kurang maksimal. Selain jangka waktu yang sangat singkat antara
satu kebijakan dengan kebijakan yang lain, tumpang tindih kebijakan dan tidak terintegrasinya
kebijakan-kebijakan yang dibuat justru menimbulkan hambatan baru. Respons dari sektor riil dan
kalangan dunia usaha sendiri tidak maksimal terkait permasalahan tersebut. Walaupun setiap
paket kebijakan ini selalu membuat program, tindakan, keluaran, dan sasaran yang terukur
dengan jelas serta target waktu, tetapi tidak mampu diimplementasikan secara maksimal.
Sampai dengan akhir Maret 2008, dari semua program kebijakan yang telah dirancang (141
rencana tindakan ssesuai Inpres No.6 tahun 2007) ternyata hanya 107 tindakan yang selesai
dilakukan. Dengan kata lain, hanya 75,9% tindakan yang selesai, adapun sisanya masih berlanjut
atau belum tuntas.
39
40
Sinyalemen positif dari respons PMA terhadap Pakto 1993 adalah adanya kenaikan investasi
yang dipublikasikan oleh BPKN sebesar 14% dari tahun sebelumnya.
Tahun berikutnya (1994), pemerintah kembali mengeluarkan Paket Deregulasi kebijakan
untuk lebih meningkatkan realisasi investasi di Indonesia dengan memperbaiki beberapa
kelemahan, seperti kemudahan izin usaha dari sisi lokasi, minimum modal, sampai jangka waktu
berinvestasi. Deregulasi yang dilakukan pemerintah pusat memang terbukti positif. Hal ini dapat
dilihat dari jumlah masuknya PMA yang terus meningkat sejak tahun 1994.
Grafik 2.1
Pertumbuhan Arus Masuk Net PMA ke Indonesia tahun 1984-2006 (sebagai % PDB)
Semakin baiknya pelayanan perizinan investasi melalui paket deregulasi kebijakan oleh
pemerintah pusat, semakin mengukuhkan Indonesia sebagai salah satu negara investasi yang
terbaik. Berdasarkan laporan OECD rentang waktu 1990-1997, Indonesia masuk dalam daftar
peringkat 20 besar dunia kategori negara dengan arus PMA terbanyak dengan nilai USD23.684
juta. Prestasi Indonesia ini hanya mampu diungguli oleh Singapura dan Malaysia yang berada di
peringkat 11 dan 14.
41
Ilustrasi ini membuktikan bahwa sentralisasi pelayanan perizinan untuk investasi asing
sebenarnya tidak akan menimbulkan resistensi terhadap kuantitas realisasi investasi jika
pengelolaan dan deregulasi kebijakan dilakukan dengan baik. Tidak dapat dipungkiri,
pembangunan ekonomi masa orde baru memang sangat tergantung pada peran investasi PMA, di
samping belanja negara dari pinjaman luar negeri untuk infrastruktur dan pembiayaan ekonomi
lainnya.
Korelasi antara pertumbuhan investasi PMA di Indonesia dengan peningkatan
pertumbuhan PDB yang pesat dengan rata-rata 7-8%. Dengan pertumbuhan PDB yang cukup
tinggi, rata-rata pendapatan nasional per kapita masyarakat Indonesia naik sangat pesat.
Berdasarkan laporan BPS, pada tahun 1993 pendapatan masyarakat Indonesia sudah melewati
800 USD, jauh dari nilai pendapatan per kapita pada tahun 1968 di bawah 60 USD.
Grafik 2.2
Pertumbuhan PDB Indonesia Tahun 1965-1996 (dalam %)
Selain membawa cerita manis terhadap peningkatan perekonomian masyarakat secara umum dan
penguatan posisi Indonesia dari sisi geoekonomi, sentralisasi perizinan investasi sebelum era
otonomi daerah ternyata juga membawa cerita miring. Sudah menjadi rahasia umum bahwa
kebijakan perizinan lebih bermuatan kepentingan elit-elit pusat sehingga yang terjadi justru
42
inefisiensi sebagai akibat proses birokrasi yang sangat panjang dan tidak transparan. Kedekatan
pemilik modal dengan elite pengambil kebijakan sebelum era orde baru berlangsung menjadi
nilai penting dalam mendapatkan kemudahan akses investasi. Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme
(KKN) menjadi trade mark kegiatan usaha dan menjadi rahasia umum masyarakat. Local voice
dan local action yang kurang dari daerah untuk ikut serta dalam proses pengambilan kebijakan
investasi ikut melanggengkan praktik rent seeking kegiatan investasi di Indonesia.
43
Grafik 2.3
Masalah-Masalah Utama Melakukan Bisnis di Indonesia (2007-2008)
Sejak penerapan Undang-Undang Otonomi Daerah tahun 1999 dan 2004, resistensi yang
ditimbulkan terkait perizinan usaha masih berada para ranah birokrasi. Survei World Economic
Forum pada tahun 2007 menunjukkan bahwa birokrasi menempati peringkat kedua setelah
infrastruktur yang buruk terkait masalah utama melakukan kegiatan bisnis di Indonesia.
Gambaran ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan otonomi daerah yang dimulai pada tahun
2010 memang belum mampu menciptakan birokrasi yang responsif terhadap penyelenggaraan
kegiatan investasi di daerah.
Dalam praktiknya, ranah perizinan usaha sebagai bagian dari pelayanan publik pada era
otonomi daerah memiliki dua sisi yang saling bertolak belakang. Sisi pertama dapat dilihat
sebagai ruang inovasi kebijakan bagi pemerintah daerah untuk menarik calon investor sehingga
berbagai kemudahan yang ditawarkan agar roda investasi dapat berputar. Namun, sebaliknya sisi
kedua dilihat sebagai peluang daerah untuk memperbesar PAD-nya melalui berbagai retribusi
44
yang mungkin dikenakan dari proses perizinan yang dilakukan. Dapat kita simpulkan bahwa
iklim perizinan yang tercipta di daerah tergantung dari kebijakan yang diambil oleh masingmasing pemerintah daerah, apakah kewenangan perizinan dimanfaatkan untuk memperluas akses
usaha masyarakat atau untuk memperbesar PAD-nya semata-mata.
Deregulasi dan debirokratisasi perizinan usaha merupakan kebijakan yang diambil untuk
memperbarui proses penyelenggaraan pelayanan usaha kepada masyarakat oleh pemerintah, dan
selama ini kita yang rasakan menghambat atau tersendat, untuk disempurnakan melalui proses
percepatan pelayanan dengan memotong mata rantai pengaturan pelayanan dan unit organisasi
yang terlibat. Proses penyempurnaannya harus terpadu, lintas instansi, lintas sektor, dan
dikoordinasikan oleh satu instansi pemerintah yang memiliki kompetensi dan kewenangan untuk
mengambil keputusan final kebijakan yang tumpang tindih, mengurangkan aturan prosedur, dan
rasionalisasi kelembagaan pemerintah. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk menciptakan iklim
investasi yang berdaya saing global dan mencapai sasaran pembangunan ekonomi nasional dan
kesejahteraan rakyat.
Penerapan otonomi daerah berkolerasi terhadap pemberian kewenangan yang lebih luas
kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Demikian halnya dalam
perizinan di mana kewenangan perumusan dan pemberian izin yang sebelumnya ada pada
pemerintah pusat kini bergeser kepada pemerintah daerah. Perizinan pada dasarnya memiliki
fungsi strategis dalam pelaksanaan pembangunan daerah. Namun, kembali pada cara pandang
daerah terhadap kewenangan yang diterimanya, maka hal ini pun juga dapat disikapi secara
berbeda. Pelaksanaan otonomi yang terkesan setengah matang menciptakan ketidakpastian
biaya dan lamanya waktu berurusan dengan perizinan dan birokrasi. Beberapa studi
menunjukkan bahwa kebijakan otonomi daerah sejak tahun 2001 secara tidak langsung telah
memperburuk iklim investasi di Indonesia (Hofman, et.al. 2003; SMERU 2001; Ray, 2003,
2002). Pelayanan publik yang dikeluhkan terutama terkait dengan ketidakpastian biaya dan
lamanya waktu berurusan dengan perizinan dan birokrasi. Ini diperparah dengan masih
berlanjutnya berbagai pungutan, baik resmi maupun liar yang harus dibayar perusahaan kepada
para petugas, pejabat, dan preman.
45
46
Tabel 2.1
Tinjauan Literatur Penelitian Iklim Investasi
Reformasi Perizinan
Reformasi birokrasi yang tengah dilakukan oleh pemerintah dewasa ini menuai berbagai
tanggapan dari masyarakat. Sebagian mengatakan reformasi itu masih jalan di tempat, sebagian
lagi memvonis bahwa apa pun namanya yang tengah dilakukan ini hanyalah perjuangan untuk
mendapatkan tunjangan kesejahteraan yang meningkat, dan lain sebagainya. Deregulasi
perizinan di Indonesia pasca-otonomi daerah sebenarnya telah dilakukan melalui berbagai
instrumen kebijakan. Akan tetapi, patron birokrasi Indonesia yang sangat Webberian dan
hierarkis menimbulkan inkonsistensi reformasi perizinan itu sendiri. Di dalam tubuh birokrasi,
khususnya menyangkut unit pelaksana pelayanan perizinan ada beberapa identifikasi
permasalahan yang ditemukan ditengarai menjadi penghambat reformasi perizinan. Berdasarkan
47
48
Kelima, moral hazard yang sangat kental dalam proses pelayanan perizinan usaha juga
menjadi penghambat responsitas pemberi layanan kepada penerima layanan. Praktik suap,
budaya permisif, menggunakan pendekatan individu tanpa melalui mekanisme yang ada ketika
membuat izin menjadi identifikasi umum praktik moral hazard dalam pelayanan perizinan.
Keenam, ketiadaan grand design penyelenggaraan pelayanan perizinan juga menjadi
permasalahan mendasar dalam menciptakan perizinan usaha yang responsif. Selama ini tumpang
tindih kebijakan pusat dan daerah serta cepatnya perubahan peraturan yang dibuat oleh pembuat
kebijakan membingungkan pemda dalam mengimplementasikan instruksi pemerintah pusat.
Belum lagi kecepatan responsitas daerah yang berbeda semakin memperjelas disparitas kualitas
pelayanan perizinan usaha.
Ketujuh, pelayanan perizinan usaha saat ini belum menerapkan prinsip good governance
secara komprehensif. Ada di satu daerah yang telah menerapkan salah satu prinsip good
governance namun di satu sisi, prinsip lainnya belum berjalan maksimal. Ketimpangan untuk
menerapkan prinsip good governance antardaerah memberikan gambaran bahwa peran kepala
daerah sangat penting dalam mendorong terciptanya tata kelola pelayanan perizinan. Daerahdaerah yang maju pelayanan perizinannya ditopang oleh semangat kepala daerahnya untuk
mereformasi bawahannya. Salah satu instrumen perubahannya dengan prinsip good governance.
Dari semua permasalahan di atas, semuanya memiliki andil dalam mengebiri proses
reformasi perizinan usaha. Permasalahan yang satu dan yang lain saling terkait, dan tidak dapat
dipisahkan. Identifikasi permasalahan ini akan memberikan resistensi yang semakin besar
kepada pemberi layanan jika tidak diperbaiki. Dampaknya bukan hanya pada menurunnya
kepercayaan dunia usaha pada satu daerah, namun di sisi yang lain pelayanan perizinan usaha
sebagai salah satu gerbang investasi daerah justru menjadi beban bagi penyelenggaraan
pelayanan.
Perihal proses reformasi perizinan usaha di daerah itu sendiri, hambatan terbesar selama
penelitian dilakukan di Kabupaten Purbalingga, Kota Makassar, dan Kota Banjarbaru memang
sangat dipengaruhi oleh keinginan dan visi misi kepala daerah setempat. Hampir semua daerah
yang sukses melakukan deregulasi pelayanan perizinan usaha adalah daerah-daerah dengan ciri
memiliki kepemimpinan yang kuat. Melakukan mutasi pegawai dan membuang peraturan49
peraturan daerah yang menghambat proses pemberian izin bukanlah perkara yang mudah. Ada
begitu banyak resistensi dari bawahan yang menganggap perubahan akan membahayakan posisi
dirinya.
Reformasi perizinan yang dilakukan oleh pemerintah daerah secara umum juga masih
parsial di mana reformasi dilandasi atas dasar kebutuhan dan desakan peraturan pusat. Orientasi
penyelenggaraan pelayanan perizinan juga hanya terbatas pada aspek normatif semata.
Mengintegrasikan kemudahan pelayanan perizinan dengan peningkatan kesejahteraan daerah
masih jarang ditemui walau wacana ke arah itu semakin nyata. Masih menggantungkan badan
pelayanan perizinan usaha untuk Pendapatan Asli Daerah menjadi cermin bahwa orientasi jangka
pendek reformasi perizinan masih dirasakan cukup kuat. Masuknya investasi ke daerah hanya
dimaknai dengan semakin meningkatnya retribusi dan pajak daerah yang masuk ke kas daerah.
Aspek multiplier effect terhadap tingkat kesejahteraan daerah ketika perizinan usaha sebagai
bagian dari grand design pelayanan perizinan masih belum terlaksana dengan baik.
50
Gambar 2.1
Kerangka Kerja Reformasi Perizinan
lahan korupsi dan proses yang berbelit-belit. Reformasi perizinan di tingkat nasional ditandai
dengan terbitnya Keputusan Presiden No.29 tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman
Modal dalam Rangka PMA dan PMDN melalui Sistem Pelayanan Satu Atap. Sedangkan di
tingkat daerah, pemberlakuan otonomi daerah telah melahirkan berbagai bentuk inovasi dalam
penyelenggaraan pelayanan perizinan usaha. Meskipun inovasi yang dilakukan juga mengacu
pada peraturan di tingkat pusat, dalam pelaksanaannya antara daerah yang satu dan yang lain
memiliki interpretasi yang berbeda-beda.
Pada era otonomi daerah dewasa ini, menggantungkan fungsi perizinan hanya dari sisi
budgeter, yaitu menjadikan pelayanan perizinan sebagai pendapatan bagi kas daerah semata
tampak sangat naf. Pendelegasian sebagian kewenangan pemerintah pusat ke daerah harus
dijadikan momentum untuk melakukan diversifikasi fungsi pelayanan perizinan. Perizinan usaha
saat ini harus menjadi tools sekaligus instrumen rekayasa pembanginan. Artinya, izin yang
dikeluarkan harus dapat menstimulasi perekonomian daerah. Hal ini terkait dengan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Proporsi pemberian izin usaha untuk para calon investor juga harus
proporsional dan seimbang.
Khusus untuk daerah yang memiliki kompetensi unggulan untuk satu jenis usaha,
proporsionalitas pemberian izin mungkin tidak terjadi karena investasi yang masuk justru tertarik
dengan kompetensi daerah yang dituju. Kabupaten Purbalingga menjadi bukti di mana jenis
usaha yang sangat dominan adalah industri rambut. Alokasi izin yang didominasi oleh industri
rambut tidak menghambat perekonomian masyarakat lokal karena usaha turunan dari industri
rambut turut tumbuh di masyarakat. Namun, keseimbangan ekonomi idealnya juga menggali
potensi lain selain kompetensi industri utama. Perizinan usaha juga harus menjadi instrumen
pengaturan tindakan dan perilaku masyarakat. Harus ada keterkaitan antara tujuan pemberian
pelayanan perizinan dengan syarat-syarat yang ditetapkan.
Terkait dengan korelasi proses reformasi perizinan usaha yang dilakukan daerah pada era
otonomi daerah, berdasarkan Laporan Pendahuluan Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana
Perizinan Bidang Perekonomian yang disusun oleh Prof Eko Prasojo dkk, kerja sama antara
Menpan-RB dan PKPADK FISIP UI memberikan gambaran parameter tata alur pembenahan
perizinan. Gambar yang terlihat dalam gambar 2.1 memberikan acuan bahwa arah reformasi,
52
debirokrastisasi, dan deregulasi harus dilakukan secara bersama dan terintegrasi antara pusat dan
daerah. Selama ini, ketidakmampuan dan ketidakharmonisan daerah dalam menangkap
keinginan dan implementasi aturan main yang dibuat oleh pemerintah pusat dilatarbelakangi oleh
kebijakan pusat dan daerah yang tidak sejalan.
Pembenahan perizinan usaha pada era desentralisasi tidak hanya memerlukan
kesinambungan perizinan usaha antara pusat dan daerah, namun juga memerlukan dukungan dari
kelembagaan, personil, teknologi, dan pembiayaan. Kelemahan aspek kelembagaan dalam
penyelenggaraan pelayanan perizinan usaha tidak lepas dari resistensi dinas teknis. Sinergitas
dinas teknis, baik dalam hal koordinasi pembagian tugas dan tanggung jawab lainnya harus
diselaraskan. Media teknologi informasi yang akan memegang peranan penting untuk
mengurangi rentang kendali kantor/badan pelayanan perizinan dengan dinas teknis dari sisi jarak
dan waktu.
Alih teknologi yang tepat guna juga akan mengurangi praktik bad governance karena
kontak langsung pemberi dan pengakses layanan dapat diminimalisir. Penggunaan teknologi
selain mengefisienkan pelayanan perizinan usaha, juga akan meminimalisir ongkos pemberian
layanan publik. Dukungan personil, baik dari kuantitas dan kualitas juga harus diperhatikan
karena proporsi SDM dan beban kerja yang baik akan berimplikasi dengan kualitas layanan.
Terakhir, dukungan political will (dana dan kebijakan yang proinvestasi) akan menentukan
keberhasilan dari proses perbaikan pelayanan perizinan usaha.
Idealnya, pelayanan perizinan usaha juga harus mengedepankan aspek formal pembuatan
izin untuk menjadi acuan bagi pelaksana dalam menjalankan tugasnya. Pembuatan izin usaha
sebaiknya harus dibuat oleh pejabat yang memang menangani pelayanan perizinan. Dari tiga
tempat yang menjadi site penelitian, secara umum keputusan terakhir pemberian izin
didelegasikan kepada kepala kantor/badan pelayanan perizinan setempat. Namun, untuk izin
industri besar, seperti di Kabupaten Purbalingga, proses izin ditentukan oleh Bupati sebagai
administrator tertinggi di lingkup daerah. Keputusan perizinan usaha juga harus menjabarkan
dengan jelas hak dan tanggung jawab pemberi dan penerima izin. Substansi keputusan harus
mengikuti kaidah peraturan dinas terkait dan juga peraturan yang lebih tinggi.
53
54
55
Gambar 2.1
Tata Alur Pembenahan Perizinan di Indonesia Deregulasi dan Debirokrasi
56
III
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Kabupaten Purbalingga
a. Geografis
Kabupaten Purbalingga temasuk ke dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah. Posisi Kabupaten
Purbalingga sendiri berada di sebelah bagian barat daya, tepatnya pada posisi 109 11' BT - 109
35' BT. Luas daerahnya 77.764,122 ha/777,64 km2. Berdasarkan batas administratif, di sebelah
utara Kabupaten Purbalingga berbatasan dengan Kabupaten Pemalang; sebelah Timur berbatasan
dengan kabupaten Banjarnegara; sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Banjarnegara dan
Banyumas; dan di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Banyumas. Secara administratif,
Kabupaten Purbalingga terbagi ke dalam 18 kecamatan, 224 desa, dan 15 Kelurahan. Bagian
Utara, meliputi Kecamatan Karangreja, Bobotsari, Karanganyar, Rembang, sebagian wilayah
Kecamatan Kutasari, Bojongsari dan Mrebet. Bagian Selatan meliputi wilayah Kecamatan
Kalimanah, Padamara, Purbalingga, Kemangkon, Bukateja, Kejobong, Pengadegan. Sebagian
Wilayah Kecamatan Kutasari, Bojongsari dan Mrebet.
57
Gambar 3.1
Peta Kabupaten Purbalingga
Sumber: http://my.opera.com
b. Demografi
Pada tahun 2008, jumlah penduduk Kabupaten Purbalingga berjumlah 917.176 jiwa. Persentase
untuk penduduk laki-laki adalah 50,4%, sementara persentase perempuan adalah 49,6%. Secara
umum, penduduk Kabupaten Purbalingga bersuku Jawa. Perkembangan kota yang semakin pesat
seiring dengan kegiatan ekonominya membuat pertambahan penduduk tidak dapat dihindari.
Dari mulai tahun 2003 sampai dengan 2008, perkembangan penduduk selalu meningkat. Berikut
gambaran perkembangan jumlah penduduk Kabupaten Purbalingga sejak tahun 2003 sampai
dengan 2008.
58
Tabel 3.1
Perkembangan Jumlah Penduduk Kabupaten Purbalingga
Tahun
2003
2004
855.472
863.818
2005
2006
2007
2008
Jumlah
Penduduk
(jiwa)
875.794 882.330
880.015 917.176
c. Potensi Daerah
Sebagai kota yang tidak memiliki sumber daya yang melimpah serta prasarana pendukung
investasi yang mumpuni seperti pelabuhan, lapangan udara, dan prasarana lainnya, tapi itu tidak
membuat Kabupaten Purbalingga miskin potensi investasi. Sebagai daerah yang masih
didominasi oleh sektor primer kegiatan ekonominya, ada beberapa potensi unggulan yang dapat
digali. Selain industri rambut yang memang sudah menjadi potensi unggulan, berikut ini
gambaran potensi daerah yang dimiliki Kabupaten Purbalingga.
1. Pertanian
Sektor petanian di Kabupaten Purbalingga masih mendominasi struktur ekonomi secara
umum. Persentase sektor pertanian saat ini mencapai 33,06%. Meski demikian, ada
kecenderungan terjadi pergeseran dan kenaikan peran beberapa sektor sekunder dan
tertier, meski belum signifikan. Subsektor pertanian saat ini meliputi komoditi tanaman
bahan makanan seperti padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat, kacang tanah, kacang
kedelai, kacang hijau, sayur-sayuran, buah-buahan, dan hasil-hasil produk turunannya.
2. Industri manufaktur, kerajinan, dan makanan olahan
59
Industri manufaktur di Kabupaten Purbalingga saat ini cukup beragam. Akan tetapi,
industri UMKM yang cukup terkenal dan sudah diakui keunggulannya adalah pembuatan
knalpot. Sentra industri knalpot berada di Kecamatan Purbalingga. Selain knalpot,
industri kerajinan tangan yang bahan bakunya dari bambu, tempurung kelapa, serta
pembuatan mebel ukir dan kerajinan kayu juga menjadi industri unggulan. Adapun
makanan olahan yang menjadi ciri khas Kabupaten Purbalingga adalah emping mlinjo,
kacang goreng (klithik), sale pisang, rengginang, mie Ganyong, dan sebagainya.
3. Perdagangan dan jasa
Sektor perdagangan di Kabupaten Purbalingga saat ini berorientasi pada pemenuhan
kebutuhan dasar masyarakat. Perdagangan sandang sangat mendominasi kegiatan usaha
di sentral perdagangan, seperti pasar dan pusat keramaian kota. Selain itu, sektor
perdagangan kuliner juga cukup dominan di mana pusat kegiatannya dilakukan di alunalun Kota Purbalingga. Perdagangan untuk hasil industri UMKM juga sangat pesat, baik
untuk pasar domestik maupun ekspor untuk negara Asia Timur seperti Jepang dan Korea.
4. Pariwisata
Pengembangan objek pariwisata di Kabupaten Purbalingga selama kepemimpinan Bupati
yang terakhir saat ini juga tidak kalah dengan pengembangan di sektor industri. Objek
wisata Owabong menjadi objek wisata terpopuler di Kabupaten Purbalingga, dan menjadi
contoh sukses pengembangan kepariwisataan di Kabupaten Purbalingga. Tempat ini
merupakan pemandian bertaraf internasional yang berada di pedesaan lengkap dengan
nuansa sekitar yang alami dan tradisional. Rindangnya pepohonan di sekitar Owabong
juga semakin menambah suasana sejuk, dan segarnya mata air yang sudah ribuan tahun
menghidupi warga sekitar. Selain Owabong, wisata alam juga dikembangkan oleh
Pemerintah Daerah Purbalingga seperti Munjulluhur, Adventures Zone, River World
Purbasari, dan Desa Wisata Karangbanjar.
5. Ketenagakerjaan
Potensi ketenagakerjaan dalam menunjang investasi di Kabupaten Purbalingga memiliki
peranan penting. Tenaga kerja yang ada di Kabupaten Purbalingga lebih didominasi
60
tenaga kerja terampil. Sebagian besar penyerapan tenaga terampil ini diserap oleh indusri
rambut dan industri turunannya. Selain itu, tenaga kerja informal yang bergerak di bidang
industri rumahan juga sangat banyak, terutama industri unggulan seperti pembuatan
knalpot, makanan olahan, dan kerajinan tangan. Tenaga kerja di sektor pertanian juga
sangat mendominasi karena kegiatan perekonomian Kabupaten Purbalingga saat ini
persentase terbesarnya bidang pertanian.
Tabel 3.2
Tabulasi Peluang Investasi di Purbalingga
No.
Komoditi
Batu Gamping
Lokasi
Kec. Karangmoncol
Volume
530.000 m3
Pemanfaatan
Kec. Rembang
Kalsit
Kec. Rembang
1.226.000 ton
Bahan baku keramik
12 Ha
Lempung (aluvial)
Kec. Bojongsari
15.000 m3
Kec. Bukateja
17.500 ton
Kec. Kaligondang
16 Ha
Kec. Kalimanah
Kec. Kemangkon
109.080.000 m3
Kec. Kutasari
193.500.000 ton
7.095 Ha
Lantai Keramik
4
Lempung (sedimen)
Kec. Bobotsari
54.525.000 m3
61
Kec. Kaligondang
101.170.000 ton
Kec. Karanganyar
7095 Ha
Kerajinan keramik
Kec. Karangmoncol
Kec. Rembang
Batu Mulia
Kec. Bobotsari
16.200 m3
Gomestone
(sekunder)
Kec. Kaligondang
60.000 ton
Precious stone
Kec. Karanganyar
745 Ha
Ornamental stone
Kec. Karangmoncol
Furnitural stone
Kec. Purbalingga
Toolkit
Kec. Rembang
Electronic microchip
Batu Mulia
Kec. Rembang
105.000 m3
Gomestone
(primer)
Kec. Karangmoncol
250.000 ton
Precious stone
Kec. Karangreja
70 Ha
Ornamental stone
Furnitural stone
Toolkit
Batu Tras
Kec. Karangreja
11.505.000 m3
Kec. Karangmoncol
16.750.570 ton
Kec. Rembang
450 Ha
Electronic microchip
Granit
Kec. Rembang
57.400.000 m
Bahan bangunan
Sabut Kelapa
Kec. Karangmoncol
43.393 ton
Lantai Granit
Kec. Kejobong
Kec. Pengadegan
Kec. Bukateja
Kec. Kemangkon
62
Kec. Kutasari
10
Hortikultura
Kec. Karangreja
275 ton
(kentang, wortel,
kubis, dll)
Lada
11
Lada bubuk
Kec. Kejobong
Bahan baku industri jamu
Sumber: http://www.purbalinggakab.go.id
B. Kota Makassar
a. Geografis
Kota Makassar merupakan ibukota provinsi Sulawesi Selatan. Secara geografis, Kota Makassar
terletak pada koordinat 119 derajat bujur timur dan 5,8 derajat lintang selatan dengan ketinggian
yang bervariasi antara 1-25 meter dari permukaan laut. Adapun luas wilayah Kota Makassar
seluruhnya berjumlah kurang lebih 175.77 km2. Di sebelah utara dan timur, kota Makassar
berbatasan dengan Kabupaten Maros, di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Gowa,
dan di sebelah barat berbatasan dengan selat Makassar.
63
Gambar 3.2
Peta Kota Makassar
Sumber: http://ahts.wordpress.com
Secara administratif, Kota Makassar terbagi atas 14 kecamatan, dan memiliki 143
kelurahan. Di antara kecamatan tersebut, ada tujuh kecamatan yang berbatasan dengan pantai,
yaitu kecamatan Tamalate, Mariso, Wajo, Ujung Tanah, Tallo, Tamalanrea, dan Biringkanaya.
Kecamatan Panakkukang memiliki luas terluas dengan 48,22 km2, sedangkan Kecamatan Mariso
memiliki luas terkecil, yaitu 1,82 km2. Berikut gambaran komposisi jumlah dan luas wilayah
kecamatan Kota Makassar selengkapnya.
64
Tabel 3.3
Luas Wilayah dan Persentase Terhadap Luas Wilayah
Menurut Kecamatan di Kota Makassar
Kecamatan
Luas
Persentase
(km2)
(%)
Mariso
1.82
1.04
Mamajang
2.25
1.28
Tamalate
20.21
12.07
Rappocini
2.52
1.43
Makassar
2.63
1.50
Ujung Pandang
1.99
1.13
Wajo
2.10
1.19
Bontoala
5.94
3.38
Ujung Tanah
5.83
3.32
Tallo
17.05
9.70
Panakkukang
48.22
27.43
Manggala
9.23
5.25
Biringkanaya
24.14
13.73
Talamanrea
31.84
18.11
Makassar
175.77
100.00
b. Demografi
Berdasarkan data dari Dinas Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil jumlah penduduk
Kota Makassar mencapai 1,5 juta jiwa. Adapun hasil sensus Badan Pusat Statistik Kota
Makassar pada tahun 2009, jumlah penduduk sebanyak 1, 2 juta jiwa. Pertumbuhan penduduk
dari tahun 2008 ke 2009 versi Dinas Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil sebesar
200.000 orang, sedangkan BPS Kota Makassar memprediksi pertumbuhan penduduk hanya
berkisar 70.000 jiwa.
Tabel 3.4
Jumlah Penduduk Dirinci Menurut Kecamatan di Kota Makassar
Laju
Kecamatan
Tahun
Penduduk
2000
2000-
Penduduk
Pertumbuhan
Penduduk
Laju
Pertumbuhan
Penduduk
2000-2006
2007
2008
2007-2008
2006
Mariso
52.803
0,74
0,74
53.852
54.616
0,86
Mamajang
58.875
0,03
0,03
59.533
60.394
0,32
Tamalate
144.458
2,47
2,47
150.014
152.197
2,16
Rappocini
136.725
1,78
1,78
140.822
142.958
1,64
Makassar
80.383
0,15
0,15
81.645
82.907
0,43
Ujung Pandang
27.921
0,11
0,11
28.206
28.637
0,39
Wajo
34.137
0,03
0,03
34.504
35.011
0,32
Bontoala
56.991
0,97
0,97
60.850
61.809
1,05
66
Ujung Tanah
45.801
1,18
1,18
47.723
48.382
1,18
Tallo
128.141
2,27
2,27
133.426
135.315
2,00
Panakkukang
129.967
0,97
0,97
132479
134.548
1,21
Manggala
92.524
3,83
3,83
97.556
99.008
2,91
Biringkanaya
119.818
4,71
4,71
126.839
128.731
3,45
Talamanrea
84.890
1,07
1,07
87.817
89.134
1,55
Makassar
1.193.434
1,79
1,79
1.235.239
1.253.656
1,65
Keterangan:
1. Jumlah penduduk tahun 2004 (Hasil Susenas BPS Kota Makassar adalah 1.179.023; Tahun 2005
adalah 1.193.434 jiwa;
2. Jumlah penduduk tahun 2009 (Hasil Susenas BPS Kota Makassar 1,2 juta jiwa, versi Dinas
Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil 1,5 juta jiwa)
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Makassar, Makassar dalam Angka 2007
Tabel 3.5
Gambaran Potensi Investasi Kota Makassar
Jenis Sektor
Potensi Investasi
Perhubungan
68
Perdagangan
Pariwisata
C. Kota Banjarbaru
a. Geografi
Kota Banjarbaru terletak antara 30 25 40 sampai dengan 30 28 37 lintang selatan dan 1140
41 22 sampai dengan 1140 54 25 bujur timur. Di sebelah utara Kota Banjarbaru berbatasan
dengan kecamatan Martapura Kabupaten Banjar, di sebelah selatan berbatasan dengan
Kabupaten Tanah Laut, di sebelah Timut berbatasan dengan kecamatan Karang Intan Kabupaten
Banjar, dan di sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Gambut Kabupaten Banjar. Luas
wilayahnya sendiri mencapai 371,38 km2.
69
Gambar 3.3
Peta Administratif Kota Banjarbaru
Tabel.
Sumber: http://id.banjarbarukota.go.id/posisi_geografis.html
70
Tabel 3.6
Jumlah Kecamatan dan Kelurahan Kota Banjarbaru
Kecamatan
Kelurahan
Guntung Payung
Syamsudin Noor
Guntung Manggis
Landasan Ulin Tengah
Liang Anggang
Cempaka
Bangkal
Sungai Tiung
Cempaka
Loktabat Utara
Banjarbaru Utara
Mentaos
Komet
Sungai Ulin
71
Loktabat Selatan
Banjarbaru Selatan
Kemuning
Guntung Paikat
Sungai Besar
Tabel 3.7
Jumlah dan Proporsi Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin
di Kota Banjarbaru 2009
72
73
c. Pembangunan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Mini dengan Kapasitas Ton TBS per jam
Pendirian PKS berkapasitas 5 ton TBS/Jam membutuhkan modal investasi sebesar
Rp690.000.000,00 dengan modal kerja untuk satu bulan sebesar Rp117.941.250,00 hasil
perhitungan Net Present Value (NPV) berdasarkan aliran kas pada proyek arus kas PKS
dengan equity 100% dengan discount factor (DF) 20% menghasilkan jumlah
Rp2.212.316.727,00. Nilai IRR ini untuk PKS persen ton/jam adalah 29,04%. Masa
pengembalian modal (PBP) akan tercapai selama periode 3,29 tahun. Nilai net B/C yang
akan diperoleh PKS ini adalah 1,29, maka investasi ini layak diperhitungkan.
d. Pengelolaan Air Minum
Kebutuhan air di Kota Banjarbaru saat ini semakin besar. Ironisnya, PDAM Kabupaten
Banjar sebagai pengelola air hanya mampu melayani 31,63% dari masyarakat
Banjarbaru. Untuk itulah pemerintah daerah membuka kesempatan kepada swasta yang
berminat dalam pengelolaan air minum. Sumber air baku Kota Banjarbaru berasal dari
irigasi Riam Kanan dan air bawah tanah (ground water).
e. Pembangunan Kawasan Industri
Untuk kegiatan industri, Pemda setempat telah merencanakan dan membangun kawasan
industri sesuai dengan RUTR Propinsi (sebagai pusat industri skala regional). Pada tahun
2003 disusun site plan Kawasan Industri di atas lahan 200 Ha, dan tahun 2004 telah
dibangun Gudang Transito dan Grosir. Pembangunan ini memadukan industri dalam satu
kawasan sehingga mudah dalam suplai listrik, air, jaringan dan pengolahan limbah.
Pemda juga berencana membangun pembangunan Depo Petikemas di Kecamatan
Landasan Ulin untuk menunjang kegiatan industri.
f. Getah Pepaya
Kota Banjarbaru juga memiliki potensi getah pepaya (papain), apalagi saat ini produksi
getah pepaya sudah memasuki wilayah perdagangan antarnegara seperti Swedia, Jerman,
dan Amerika yang menjadi tujuan rutin dalam bentuk enzim (kristal hasil ekstrakisasi).
Kebanyakan di negara tujuan ekspor itu, getah pepaya dipakai untuk industri pembuatan
74
kosmetik, farmasi (obat-obatan), makanan dan minuman, maupun pakan ternak. Potensi
daerah ini dapat dijadikan peluang untuk investor yang berorientasikan ekspor.
g. Pembangunan Jasa Perhotelan, Retail, dan Waralaba
Kota Banjarbaru yang berada pada pada pertemuan terminal regional, Bandara
Syamsudin Noor, dan pelabuhan Bandarmasih Trisakti Banjarmasin dengan Kalimantan
Tengah dan Timur menjadikannya sebagai kota yang strategis. Kebutuhan penginapan
yang modern dan representatif sangat diperlukan. Wacana bahwa wilayah Banjarbaru
akan diproyeksikan sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Selatan juga menjadi alasan
penting akan potensi kebutuhan jasa perhotelan dan retail, baik sekarang dan pada masa
datang.
h. Budidaya Penggemukan Sapi Terpadu
Peluang usaha di bidang ini juga masih besar. Lokasi yang direkomendasikan Pemda
setempat berada di Kecamatan Cempaka karena banyak lahan padang rumput dan
berdirinya pabrik tahu sebagai penghasil konsentrat. Dua potensi ini menjadikannya
pertimbangan utama dalam memenuhi kebutuhan asupan ternak sapi.
i. Pembangunan Pusat Pembibitan Ikan
Pemenuhan bibit ikan di Kota Banjarbaru yang masih sangat minim membuat peluang ini
patut dicoba. Selama ini, permintaan yang tinggi tidak dapat dipenuhi seluruhnya.
Akibatnya, masyarakat petani ikan mendatangkan bibit ikan dari pulau Jawa. Jenis ikan
yang diminta adalah patin dan bawal air tawar. Pemda menyediakan lahan bagi
pengembangan bibit ikan di Kecamatan Banjarbaru Utara.
j. Rumah Sakit Berskala Regional
Keterbukaan Pemda kepada swasta untuk mengembangkan rumah sakit di Kota
Banjarbaru dapat ditangkap sebagai peluang bisnis. Masih minimnya rumah sakit yang
representatif dengan kualitas memadai memberikan kesempatan bagi investor. Letak
strategis serta potensi pasar dari daerah lain seperti Martapura, Banjarmasin, dan
Kabupaten lain juga menjadi pertimbangan dalam mendirikan rumah sakit. Adanya
75
rumah sakit yang baik akan mendekatkan pelayanan kesehatan masyarakat Kalimantan
Selatan karena banyak masyarakat yang berobat ke luar Kalimantan karena keterbatasan
saran dan prasarana kesehatan.
k. Pengolahan Keramik
Potensi deposit bahan baku keramik (kaolin) yang cukup besar di Kecamatan Cempaka
menjadi potensi investasi yang juga layak diperhitungkan. Hal ini dipertegas dengan studi
kelayakan kaolin untuk pembuatan gerabah untuk cinderamata dan bentuk lainnya.
76
IV
REFORMASI PERIZINAN USAHA DI DAERAH
Pelaksanaan otonomi daerah yang telah digulirkan oleh pemerintah sejak tahun 1999 membawa
perubahan dalam pelaksanaan pemerintahan dan hubungan antara pusat dan daerah. Salah satu
perubahan itu adalah pemberian wewenang yang lebih luas dalam penyelenggaraan beberapa
bidang pemerintahan. Seiring dengan bertambah luasnya kewenangan ini, maka aparat birokrasi
pemerintahan di daerah dapat mengelola dan menyelenggaraan pelayanan publik dengan lebih
baik sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Namun, hingga sekarang ini kualitas pelayanan
publik masih diwarnai oleh pelayanan yang sulit untuk diakses, prosedur yang berbelit-belit
ketika harus mengurus suatu perizinan tertentu, biaya yang tidak jelas, serta terjadinya praktik
pungutan liar (pungli). Ini semua merupakan indikator rendahnya kualitas pelayanan publik di
Indonesia. Hal ini juga sebagai akibat dari berbagai permasalahan pelayanan publik yang belum
dirasakan oleh rakyat.
Di samping hal di atas, ada kecenderungan adanya ketidakadilan dalam pelayanan publik
di mana masyarakat yang tergolong miskin sulit mendapatkan pelayanan. Sebaliknya, bagi
mereka yang memiliki uang bisa mendapatkan segala yang diinginkannya dengan mudah. Untuk
itu, bila ketidakmerataan dan ketidakadilan ini terus-menerus terjadi, maka pelayanan yang
berpihak ini akan memunculkan potensi yang bersifat berbahaya dalam kehidupan berbangsa.
Potensi ini antara lain terjadinya disintegrasi bangsa, perbedaan yang lebar antara yang kaya dan
miskin dalam konteks pelayanan, peningkatan ekonomi yang lamban, dan pada tahapan tertentu
dapat meledak dan merugikan pemda setempat.
Untuk mengatasi permasalahan di atas pemerintah Kabupaten Purbalingga, Kota
Makassar, dan Kota Banjarbaru berusaha melakukan berbagai upaya agar menghasilkan
pelayanan yang lebih cepat, tepat, manusiawi, murah, tidak diskriminatif, dan transparan. Selain
berpatokan dari kebijakan pemerintah pusat terkait pelaksanaan pelayanan perizinan satu atap
(One Stop Service), masing-masing daerah juga melakukan berbagai penyempurnaan dan inovasi
untuk menyempurnakan proses pelayanan perizinan yang lebih responsif dan akuntabel.
77
Peningkatan pelayanan perizinan ini diharapkan akan menjadi katalisator bagi pengembangan
potensi dan peluang investasi daerah terutama yang bertumpu pada sumber daya lokal. Berikut
gambaran singkat kantor atau badan perizinan di Kabupaten Purbalingga, Kota Makassar, dan
Kota Banjarbaru.
A. Kabupaten Purbalingga
a. Tujuan
Kantor yang kali pertama dibangun dan bertugas secara khusus memberikan layanan perizinan di
Kabupaten Purbalingga adalah Kantor Pelayanan Perizinan dan Investasi (KPPI), yang kemudian
pada tahun 2003 berubah nama menjadi Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KPPT). Maksud
dibentuknya KPPI adalah dalam rangka merespons anggapan negatif dari masyarakat terkait
pengurusan perizinan. Pelayanan perizinan yang ditangani oleh banyak instansi mempunyai
kesan berbelit-belit dan menyulitkan masyarakat. Hal ini disebabkan dalam proses
penyelesaiannya memakan waktu yang lama, persyaratan yang rumit, biaya yang tidak pasti, dan
rawan terhadap pungutan liar. Selama ini, pelayanan terkesan tidak efektif dan efisien. Tujuan
dibentuknya KPPI adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan
perizinan
pelayanan
sehingga
lebih
investasi
daerah
78
79
secara
professional;
dan
siap
80
konstruktif.
Gambar atas. Visi KPPT Kab Purbalingga
Prosedur pelayanan perizinan dibuat sesederhana mungkin agar mudah dipahami oleh
masyarakat atau pemohon yang ingin mengurus izin yang diperlukannya. Adapun jenis perizinan
yang dilayani oleh KPPT Kabupaten Purbalingga dibagi dalam dua kelompok, yaiu kelompok
perizinan terstruktur dan tidak terstruktur. Berikut gambaran singkat mekanisme perizinan di
KPPT Kabupaten Purbalingga.
81
Gambar 4.1
Perizinan Terstruktur KPPT Kab. Purbalingga
CUSTEMOR
SERVICE
PEMOHON
KASIR
PERTAMA
Bag.InformasidanAdministrasi
Pendaftaran
RapatTimTeknis
dilanjutkanDengan
cekLapangan
DITERIMA
KEPALA
KANTOR
KASI
PERIZINAN
AreaFrontOffice
DITOLAK
Bag.Adm
Pemprosesann
AreaBackOffice
informasi
untuk
83
Gambar atas. Salah satu tahapan prosedur perizinan di KPPT Kab Purbalingga
Gambar 4.2
Permohononan tidak Terstruktur KPPT Kab. Purbalingga
PEMOHON
CUSTEMOR
SERVICE
KASIR
PERTAMA
Bag.InformasidanAdministrasi
Pendaftaran
AreaFrontOffice
DITOLAK
DITERIMA
KEPALA
KANTOR
KASI
PERIZINAN
Bag.Adm
Pemprosesann
AreaBackOffice
bila
hasilnya
setelah
dikonsultasikan
dengan
pimpinan
terkait
direkomendasikan untuk ditolak, maka pemohon tidak perlu membayar biaya retribusi
perizinan;
3. Setelah itu, petugas bagian administrasi pendaftaran menyerahkan semua berkas
permohonan kepada petugas bagian pemrosesan untuk dilakukan pencetakan berupa surat
keputusan dan pendataan yang langsung masuk dalam database perizinan KPPT;
4. Setelah dilakukan pemrosesan, petugas menyerahkan surat keputusan beserta semua
berkas permohonan kepada kepala seksi perizinan untuk dilakukan verifikasi. Bila semua
persyaratan telah lengkap, benar, dan sah menurut aturan yang berlaku, maka kepala
seksi akan membubuhkan parafnya pada surat keputusan;
5.
Setelah itu, surat keputusan tersebut diserahkan kepada kepala kantor untuk
ditandatangani; dan
6. Surat keputusan yang telah ditandatangi tesebut diserahkan kepada petugas di bagian
informasi untuk diserahkan kepada pemohon yang bersangkutan.
85
Tabel 4.1
Jenis Izin Usaha di Kabupaten Purbalingga
Proses
No.
Jenis Usaha
(hari)
Berlaku
Izin Lokasi
12
Selamanya
Izin Pengeringan
12
Selamanya
10
5 Tahun
10
Selamanya
Selamanya
5 Tahun
Selamanya
Izin Reklame
Selamanya
Selamanya
10
5 Tahun
11
Selamanya
12
3 Tahun
86
tentang
KPPT
dapat
diakses
melalui
situs
internet
dengan
www.kpptpurbalingga.com.
alamat
Dukungan
dapat
mengakses
informasi
87
Purbalingga
menerbitkan
pembebasan
retribusi
izin
88
Selain tiga inovasi di atas, KPPT juga melakukan berbagai terobosan di bidang lainnya,
seperti penetapan Standar Pelayanan publik, Penetapan Perda Pelayanan Publik, standar
operasional pelayanan publik dan manajemen pengaduan, sosialisasi di berbagai media (tatap
muka, leaflet, spanduk, komputer layar sentuh, website, radio, koran, dan televisi). Inovasi dalam
hal pelayanan perizinan juga menyentuh aspek penerapan sistem informasi manajemen.
Penerapan manajemen di KPPT Kabupaten Purbalingga sudah berstandar ISO 9001-2000.
Pendelegasian wewenang pelayanan perizinan IMB tertentu kepada Camat juga mulai dilakukan
sebagai bentuk solusi untuk mengurangi rentang kendali yang terlalu panjang dalam proses
pengurusan izin usaha.
konstelasi wilayah yang lebih luas, dan permasalahan internal yang diakibatkan oleh hal-hal
yang berasal dari dalam kota.
Permasalahan eksternal
Kota
Purbalingga
memiliki
keterhubungan
dengan
wilayah-wilayah
bawahannya. Kebutuhan prasarana yang memadai ini penting karena peran Kota
Purbalingga saat ini sudah menjadi wilayah pendukung kota bagi wilayah sekitarnya,
terutama
Kabupaten
Banyumas
yang
tergabung
dalam
kerja
sama
regional
BARLINGMASCAKEB.
3. Perkembangan
Kabupaten
Purbalingga
mengarahkan
kecenderungan
orientasi
Sampai saat ini, kegiatan industri seperti bulu mata palsu, wig, kuas kosmetik, manekin,
serta kayu olahan keramik lokasinya masih menyebar di berbagai kota dan bercampur
dengan kawasan permukiman. Alasan utama mengenai diperbolehkannya lokasi industri
di areal permukiman dalam rangka untuk mengembangkan industri kecil. Namun, jika
industri kecil ini nantinya berkembang menjadi industri besar, bahkan berkualitas ekspor
konflik antarkepentingan dua kawasan yang berbeda akan terjadi.
B. Kota Makassar
Instansi yang memberikan layanan perizinan di Kota Makassar disebut dengan Kantor Pelayanan
Administrasi Perizinan (KPAP). KPAP Kota Makassar sebagai instansi yang memberikan jasa
pelayanan publik di sektor perizinan sangat menyadari adanya kebutuhan dan tuntutan
masyarakat akan pentingnya iklim perizinan yang lebih kondusif. Sebagai bentuk komitmen
Pemerintah Kota Makassar dalam meningkatkan sistem pelayanan di sektor perizinan, maka
Walikota Makassar menetapkan KPP Kota Makassar sebagai tempat pelayanan perizinan dengan
sistem satu atap ditandai dengan dikeluarkannya Peraturan Walikota Makassar No.14 Tahun
2005 tentang tata cara pemberian izin.
Perubahan sistem pelayanan menjadi satu atap berimplikasi juga terhadap perubahan
nama Kantor Pelayanan Perizinan Kota Makassar menjadi Kantor Pelayanan Administrasi
Perizinan (KPAP). Perubahan nama ini didasari atas keluarnya Peraturan Daerah Kota Makassar
No.13 Tahun 2005 Tentang pembentukan susunan organisasi dan tata cara kerja Kantor
Administrasi Perizinan.
Maksud dan tujuan pembentukan KPAP Kota Makassar adalah untuk mengoptimalkan
pelayanan
kepada
masyarakat
secara
perizinan
dapat
terpenuhi.
itu adalah dalam rangka mewujudkan pelayanan prima dan good governace sebagai pilar
penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik.
Gambar atas. Suasana Pelayanan KPAP Kota Makassar
Dengan dilaksanakannya pelayanan perizinan yang prima melalui KPAP, maka secara
bertahap diharapkan legalitas usaha bagi UKM semakin meningkat yang pada akhirnya
memberikan multiplier effect, seperti berkembangnya sektor riil, akses ke lembaga pembiayaan,
kondusifnya perdagangan dan investasi, selain juga peningkatan penerimaan PAD Kota
Makassar secara umum.
b. Tugas
KPAP Kota Makassar mempunyai tugas merumuskan, membina, dan mengendalikan kebijakan
pelayanan administrasi perizinan. Lingkup tugas ini meliputi perumusan kebijakan, koordinasi,
dan pengendalian layanan administrasi penelitian dan penerbitan izin, penerimaan, dan
pembukuan, serta pelaporan.
93
c. Fungsi
Adapun fungsi KPAP Kota Makassar meliputi, anra lain penyusunan rumusan kebijaksanaan
pelaksanaan bidang pelayanan administrasi perizinan dan peningkatan pelayanan izin-izin
kepada masyarakat; perumusan kebijaksanaan teknis pelaksanaan bidang penerbitan izin-izin
yang telah mendapat rekomendasi dari instansi terkait; penyusunan rumusan kebijaksanaan
pelaksanaan pengelolaan pungutan biaya perizinan dan pembukuan; penyusunan rumusan
kebijaksanaan pelaksanaan pengelolaan pungutan biaya perizinan dan pembukuan; penyusunan
bimbingan dan pengendalian pelaksanaan pengoordinasian dan penyusunan program pendataan
izin dan pembuatan laporan izin yang telah diterbitkan; dan pengelolaan administrasi urusan
tertentu.
94
Gambar 4.3
Bagan Alur Prosedur Perizinan KPAP Kata Makassar
model
layanan
yang
tadinya
sampai penerimaan izin setelah membayar retribusi dilakukan ditempat yang sama.
Gambar atas. Inovasi Scan Dokumen KPAP Kota Makassar
Dari sisi penyediaan informasi mengenai layanan dan jenis perizinan yang diberikan,
KPAP Kota Makassar juga melakukan sosialisasi informasi kepada masyarakat terkait dengan
alur proses, retribusi, dan waktu penyelesaian perizinan. Penggunaan sistem teknologi informasi
juga diterapkan pada KPAP Kota Makassar. Pada saat ini,
kondisi penggunaan sistem informasi pelayanan perizinan
berbasis teknologi informasi menyajikan informasi tentang
layanan
mulai
regulasi
perizinan
mencakup
seluruh
96
Tabel 4.2
Perkembangan Jumlah Izin Kota Makassar Tahun 2001-2009
Tahun
Jumlah Izin
2002
7086
2003
12857
2004
17492
2005
18812
2006
18619
2007
21492
2008
23492
2009
24769
97
Tabel 4.3
Lama Waktu Pelayanan Perizinan Kota Makassar
No.
Jenis Perizinan
SIUP Besar
SIUP Menengah
SIUP Kecil
TDP Koperasi
TDP Perorangan
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Maksimal 12 hari
Budaya daerah setempat yang cenderung ingin instan, tapi tidak dapat diimbangi oleh
KPAP. Akibatnya, timbul praktik rent seeker yang memanfaatkan gap responsitas
layanan permintaan izin. Kolusi, suap, dan bentuk penyuapan lainnya tidak dapat
dipungkiri oleh KPAP dan para pelaku usaha terkait.
5. Masalah lain yang turut menjadi penghambat proses berinvestasi di Kota Makassar
adalah masih rendahnya insentif investasi dan kepastian hukum bagi investor. Walau ada
beberapa kebijakan deregulasi insentif izin oleh pemerintah kota setempat, tapi
pengusaha masih merasakan belum maksimal. Kelemahan ini sebenarnya juga telah
terindentifikasi, dan menjadi prioritas pembangunan Kota Makassar tahun 2009-2014.
C. Kota Banjarbaru
a. Latar Belakang
Kelembagaan penyelenggaraan pelayanan perizinan di Kota Banjarbaru dimulai pada tahun 2004
ketika Pemerintah Kota Banjarbaru mendirikan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KP2T).
Sebelumnya, bentuk pelayanan perizinan masih diserahkan kepada masing-masing dinas teknis.
Pendirian KP2T tidak lepas dari kebutuhan pelayanan perizinan yang cepat dan transparan, serta
meminimalkan praktik bad governance yang terjadi antara aparatur pemberi layanan dan
pelanggan/pemohon izin. Pada awal dibentuknya, KP2T memiliki kewenangan delapan jenis
perizinan. Perubahan dinamika yang semakin kompleks di Kota Banjarbaru dari segi
penyelenggaraan pelayanan perizinan melatarbelakangi perubahan status kantor menjadi badan
dari keberadaan KP2T.
Political will yang cukup kuat dari Walikota setempat serta dukungan dari para pegawai
menjadi awal untuk membenahi KP2T.
Kegiatan-kegiatan benchmarking dilakukan
demi menyempurnakan fungsi dan kapasitas
KP2T. Komparasi dilakukan kepada daerah
yang dinilai berhasil dalam penyelenggaraan
100
pelayanan perizinan, seperti Kabupaten Sragen, Jembrana, Malang, Yogyakarta, dan Cimahi.
Dari semua daerah, tim KP2T mengambil best practice yang dapat diambil dan diaplikasikan.
Gambar atas. Tampak Depan BP2T Kota Banjarbaru
Demi menciptakan pelayanan yang responsif, berdasarkan surat peraturan Walikota
Banjarbaru No.9 Tahun 2008, berdirilah Badan Penanaman Modal dan Perizinan (BPMP).
Penambahan aspek penanaman modal ditujukan agar proses penanaman modal dan pengurusan
izin
dapat
dilakukan
lebih
mudah
jika
menjadi
Terpadu
Badan
(BP2T).
Pelayanan
Adapun
Perjinan
pengelolaan
c. Misi
Meningkatkan
kompetensi
sumber
daya
aparatur;
102
Tabel 4.4
Jenis Pelayanan Perizinan BP2T Kota Banjarbaru
104
dibantu
oleh
Suzuki
mendapatkan
sendiri
izin
untuk
izin
yang
semua
telah
proses
dan
perpanjangan izin.
Gambar atas. Suasana pelayanan perizinan di BP2T
105
Tabel 4.5
Sistem Pengaduan dari Masyarakat kepada BP2T Kota Banjarbaru
106
Prosedur pengaduan ini juga dijabarkan secara umum dalam Peraturan Walikota
Banjarbaru No.9 Tahun 2008 mengenai Prosedur Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu di
Kota Banjarbaru. Pada pasal 10 dijelaskan bahwa pemohon dapat menyampaikan pengaduan
melalui petugas pengaduan bila penyelenggaraan pelayanan perizinan tidak memuaskan.
Mekanisme pengaduan juga dapat ditempuh melalui berbagai cara, seperti melalui loket ataupun
media lain yang disediakan oleh BP2T Kota Banjarbaru. Konten pengaduan dapat disampaikan
secara lisan maupun tulisan. Respons pengaduan masyarakat atas layanan oleh petugas BP2T
dalam pasal 10 juga harus ditindaklanjuti selambat-lambatnya tiga hari setelah pengaduan
masuk.
Tabel 4.6
Sistem dan Prosedur Pengurusan Perizinan Paralel BP2T Kota Banjarbaru
107
Tabel 4.7
Sistem dan Prosedur Pengurusan Perizinan Fungsional BP2T Kota Banjarbaru
108
Tabel 4.7
Sistem dan Prosedur Pengurusan Nonperizinan Fungsional BP2T Kota Banjarbaru
109
langsung juga dipengaruhi oleh dana yang dianggarkan dari PDA. Pola sistem tenaga
kerja kontrak yang dipakai dalam merekrut pegawai sebenarnya tidak menjadi masalah
jika BP2T ingin menambah personil. Namun, minimnya dana dan pegawai negeri untuk
dapat ditempatkan di BP2T turut menjadi kendala proses pengadaan pegawai yang ideal.
5. Pola pembayaran retribusi izin yang masih menggunakan kasir turut menjadi persoalan
dalam efektivitas pelayanan. Idealnya, proses pembayaran bekerja sama adalah dengan
bank daerah atau lembaga keuangan lainnya. Dengan mengandalkan kasir semata,
pembuat izin hanya memiliki alternatif membayar izin hanya satu loket kasir yang ada di
BP2T.
6. Regulasi hukum, khususnya perizinan yang masih lambat dengan dinamika masyarakat
secara umum turut menjadi kendala proses responsitivitas pelayanan yang diberikan
BP2T kepada masyarakat. Kendala peraturan ini turut menghambat pemberian izin itu
sendiri. Idealnya, hukum atau peraturan perizinan harus deret ukur dengan dinamika yang
terjadi.
7. Dari sisi koordinasi dan perencanaan dengan instansi lain, khususnya Bappeda ikut
menghambat pengambangan BP2T sebagai pengungkit pembangunan investasi.
Perencanaan yang masih memukul rata program yang akan dijalankan pemkot Banjarbaru
menyebabkan tidak ada prioritas program yang ingin dikejar. Idealnya, perencanaan yang
dilakukan harus rasional. Selama ini prioritas untuk pengembangan BP2T masih belum
maksimal. Perencanaan pukul rata ini pun berimbas pada komitmen pemerintah kota
setempat untuk mengembangkan BP2T menjadi lebih baik.
111
V
DAMPAK PENERAPAN INOVASI LAYANAN PERIZINAN
Hakikat otonomi daerah adalah revitalisasi pemberdayaan daerah sehingga di sana yang
penting adalah mengelola kewenangan dan potensi yang ada dengan berbagai inovasi, tidak
bisa hanya monoton. Kalau hanya begitu, sampai kapan pun akan begitu-begitu saja. Tak ada
bedanya ada otonomi atau tidak. (Bupati Purbalingga, Triyono Budi Sasongko)
Reformasi birokrasi pelayanan perizinan usaha di setiap daerah pada hakikatnya adalah
menciptakan pelayanan yang baik, transparan, dan responsif guna mendukung proses
pembangunan. Pelayanan perizinan merupakan salah satu komponen dalam mendorong
pembangunan daerah. Adanya perizinan yang responsif akan menjadi daya tarik investor untuk
masuk ke daerah. Berdirinya industri-industri PMA dan PMDN di suatu daerah secara langsung
atau tidak langsung akan memengaruhi gerak percepatan pembangunan di daerah. Penulis
mencoba memaparkan gambaran perkembangan di tiga wilayah penelitian, yaitu Kabupaten
Purbalingga, Kota Makassar, dan Kota Banjarbaru. Dampak deregulasi perizinan usaha terhadap
perekonomian di daerah akan dilihat melalui tiga aspek utama, yaitu tingkat pertumbuhan usaha,
ekonomi, dan sosial. Berikut gambaran selengkapnya.
A. Kabupaten Purbalingga
a.
Sejak reformasi pelayanan perizinan usaha dicanangkan di Kabupaten Purbalingga pada tahun
2003, pertumbuhan perizinan usaha tampak terlihat dari rentang tahun 2004-2009. Tren
perkembangan usaha kecil, menengah, dan besar juga mengalami pertumbuhan secara umum.
Insentif yang diberikan dalam proses perizinan usaha membuat banyak masyarakat
memformalkan usaha yang mereka miliki. Selain dari kemauan masyarakat, gerak jemput bola
dari KPPT Kabupaten Purbalingga untuk membantu masyarakat melakukan pengurusan izin
112
Tabel 5.1
Rekapitulasi Jumlah Penerbitan SIUP KPPT Kabupaten Purbalingga
Tahun 2004-2009
Tahun
Bentuk
Jumlah
2004
Perusahaan Kecil
2005
2006
2007
2008
2009 *)
586
565
980
754
762
350
3.997
Perusahaan Menengah
93
56
70
55
92
29
395
Perusahaan Besar
22
24
15
24
41
13
139
701
645
1.065
833
895
392
4531
Jumlah
*)Data sampai bulan Juli
2009
Dari sisi perkembangan PMA, proses reformasi perizinan yang dilakukan di Kabupaten
Purbalingga secara umum memberikan dampak yang cukup signifikan, baik dampak langsung
maupun tidak langsung. Kuantitas jumlah investor
asing yang masuk ke Kabupaten Purbalingga naik
pascareformasi perizinan dilakukan. Dari sisi
pelayanan yang diberikan oleh pihak KPPT
113
memberikan
dampak
ekonomi
bagi
114
Tabel 5.2
Daftar Perusahaan PMA dan Non-PMA di Kabupaten Purbalingga
Nama Perusahaan
PMA
PMDN
6. PT. Majapura
7. PT. Purbayasa
8. PT. Narayana
115
Sumber: Bahan presentasi Bupati Purbalingga dalam acara Sidang Panel Kab/Kota Proinvestasi
Pemprov Jawa Tengah tahun 2009, Semarang
Berdirinya
pabrik-pabrik
pengolahan
rambut
di
Kabupaten
Purbalingga
juga
menimbulkan multiplier effect kepada penduduk di sekitar pabrik. Terbukanya lahan pekerjaan
baru seperti penyediaan kontrakan atau kos-kosan bagi pekerja pabrik banyak ditemui.
Banyaknya pekerja pabrik yang berada di Kabupaten Purbalingga saat ini bukan hanya berasal
dari penduduk lokal saja, dari daerah sekitar seperti Kabupaten Purwokerto, Kabupaten Cilacap,
dan Kabupaten sekitar lainnya. Permintaan yang tidak seimbang antara kebutuhan pekerja dan
jumlah tenaga kerja lokal membuat arus ekspansi pekerja di luar daerah masuk ke Kabupaten
Purbalingga. Munculnya pekerja di luar Kabupaten Purbalingga selain berdampak pada
melonjaknya permintaan tempat tinggal sewa, juga meningkatkan usaha warung makan dan jenis
usaha sejenis lainnya, terutama di lokasi pabrik. Jenis usaha-usaha baru ini jelas meningkatkan
pendapatan penduduk sekitar.
116
Tabel 5.3
Kinerja Pembangunan Bidang Ekonomi
Tahun
Jumlah
Perkembangan
Jumlah (Juta
Perkembangan
(juta/Rp)
(%)
Rp)
(%)
2003
2.297.491,47
143,10
1.784.728,21
111,17
2004
2.564.007,54
159,71
1.844.532,07
114,89
2005
2.912.447,31
181,41
1.921.653,92
119,69
2006
3.408.083,,52
212,28
2.018.808,10
125,75
2007
3.887.240,54
243,13
2.143.746,23
133,53
c. Pertumbuhan Ekonomi
Banyaknya sektor usaha kecil, menengah, dan besar yang ada di Kabupaten Purbalingga turut
memengaruhi pertumbuhan ekonomi, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Pertumbuhan
ini sejalan dengan perkembangan PDRB dalam lima tahun terakhir yang terus meningkat.
Terbukanya lapangan kerja menciptakan daya beli bagi masyarakat setempat. Capaian
pertumbuhan ekonomi dalam dua-tiga tahun terakhir (2007-2008) menunjukkan tren yang
meningkat. Rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 5,7% selama dua tahun terakhir itu
menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi terjadi. Hal ini tentu saja tidak lepas dari banyak
berdirinya PMA, khsusnya rambut di Kabupaten Purbalingga.
117
Tabel 5.4
Pertumbuhan Sektor Ekonomui Tahun 2003-2007
Tahun
Sektor
2003
2004
2005
2006
2007
Pertanian
2,16
1,01
2,78
3,07
4,23
1,52
10,55
9,73
8,47
8,82
Industri Pengolahan
3,25
4,23
5,37
6,42
6,59
10,59
9,33
9,28
12,42
0,32
Bangunan
4,57
6,74
8,36
6,82
6,93
Perdag, Hotel&Restoran
2,61
2,26
3,72
4,60
7,16
Pengangkutan& Komunikasi
4,12
2,69
1,45
2,04
5,33
Keu. Persew&Jasa
8,00
7,82
4,15
8,04
12,10
Jasa-Jasa
3,29
6,33
6,33
7,83
7,06
PDRB
3,14
3,35
4,18
5,06
6,19
Perusahaan
juga dipengaruhi oleh berdirinya usaha yang ada di Kabupaten Purbalingga. Peningkatan jenis
usaha di Kabupaten Purbalingga dari tahun ke tahun secara tidak langsung juga memengaruhi
tingkat pendapatan penduduk. Dari rentang waktu tujuh tahun (2000-2007) peningkatan
pendapatan per kapita naik sebesar 123,52% atau 2,24 kali lipat pertumbuhan dibanding
sebelumnyanya. Tahun 2003 adalah awal di mana reformasi perizinan usaha dilakukan oleh
Pemerintah Kabupaten Purbalingga.
Tabel 5.5
Jumlah Pendapatan Perkapita Penduduk Kabupaten Purbalingga
Tahun
Pendapatan Per
Pertumbuhan
Kapita
2003
2.298.211
11,22
2004
2.527.544
9,98
2005
2.820.181
11,58
2006
3.275.670
16,15
2007
3.727.398
13,79
2008
5.03.000
Sumber: Bahan Presentasi Bupati Purbalingga dalam acara sidang panel Kab/Kota Proinvestasi
Pemprov Jawa Tengah tahun 2009, Semarang
119
Tabel 5.6
Rekapitulasi Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Banjarbaru
Capaian Kinerja
No
Indikator
2007
2008
2,099
2,261
3,982
4,527
Pertumbuhan Ekonomi
5,5
5,85
Inflasi
6,52
6,50
4,61
5,03
Pengangguran Terbuka
3,1
3,0
pengusaha, data yang disampaikan kurang lebih sama dengan apa yang disampaikan pemerintah
daerah. Jumlah tenaga kerja ini belum termasuk penyerapan tenaga kerja informal dari kegiatan
plasma rambut yang disentralkan di desa-desa. Jumlah penyerapan tenaga kerja dari plasma juga
cukup tinggi.
Tabel 5.7
Penyerapan Tenaga Kerja Perusahaan yang Berorientasi Ekspor Tahun 2008
No.
Jenis Industri
PMA
26.722
PMDN
13.289
Plasma PMA
11.183
Keterangan:
PMA: Penanaman Modal Asing
PMDN: Penanaman Modal Dalam Negeri
Sumber: Bahan presentasi Bupati Purbalingga dalam acara sidang panel Kab./Kota Proinvestasi
Pemprov Jawa Tengah tahun 2009, Semarang
121
f. Tumbuhnya Plasma
Pola industri padat karya yang ada di Kabupaten Purbalingga memang menjadi solusi ampuh
dalam mengatasi pengangguran terbuka. Lapangan kerja yang tersedia sekarang ini tidak hanya
terkonsentrasi di lingkup pabrik semata sebagai kegiatan produksi utama. Multiplayer effect juga
dilihat dengan diikutsertakannya masyarakat (ibu rumah tangga pada umumnya) dalam proses
produksi. Sistem ini disebut plasma. Saat ini, plasma sudah menyebar ke luar Kabupaten
Purbalingga. Wilayah Banyumas dan Purwodadi saat ini juga sudah mulai banyak tumbuh
plasma rambut. Penghasilan yang didapat masyarakat dari berdirinya plasma cukup besar. Bagi
penduduk yang sudah terbiasa dan ahli mengerjakan plasma rambut, pengahasilannya mencapai
satu juta rupiah. Jika masih pemula, penghasilan yang didapatkan hanya berkisar Rp100 ribu.
Besarnya pendapatan masyarakat tergantung dari banyaknya produksi yang dihasilkan.
Pada prinsipya, konsep plasma adalah pola kemitraan antara pabrik dan masyarakat lokal.
Kemitraan ini membuat pabrik tidak perlu merekrut tenaga tetap di pabrik. Konsep plasma
berusaha mendekatkan diri pada pasar tenaga kerja nonformal. Masyarakat tidak perlu
mengeluarkan biaya transportasi karena pengelolaan plasma disentralkan di desa-desa. Salah satu
penduduk desa hanya menyediakan tempat, rumahnya, atau tempat lain untuk proses produksi.
Pemilik tempat ini nantinya akan mendapatkan fee dari pabrik untuk penyewaan tempat. Di
tempat inilah para penduduk melakukan kegiatan produksi yang disebut plasma. Jika pekerjaan
belum dapat diselesaikan di tempat plasma tersebut, pekerjaan yang belum terselesaikan dapat
dibawa pulang ke rumah.
Bahan baku untuk proses produksi plasma diberikan oleh pabrik. Setiap satu atau dua
minggu sekali, pabrik akan mengambil hasil produksinya. Jadi, plasma seperti sistem borongan.
Kapasitas produksi plasma tidak dibatasi oleh pabrik. Target juga tidak dibebankan kepada
pekerja plasma. Berapa pun yang dihasilkan dari plasma diterima oleh pabrik. Namun, jika hasil
produksi plasma tidak sesuai dengan kualitas yang ditentukan pabrik, hasil produksi itu akan
dikembalikan dan tidak dibayar. Akan tetapi, pada dasarnya cacat produksi selama ini sangat
jarang terjadi karena selain sudah terbiasa dengan pekerjaannya. Selain itu, penduduk Kabupaten
Purbalingga memang sudah mewarisi keahlian industri rambut secara turun-temurun.
122
Gambar 5.1
Proses Kerja Plasma Kabupaten Purbalingga
Pabrik
Pengolahan
Rambut
Mengambil
hasilproduksi
(12minggu)
Menyuplai
bahanbaku
Inti
Plasma
(Ketua)
Plasma
(Penduduk)
Plasma
(Penduduk)
Plasma
(Penduduk)
Kegiatan plasma saat ini diberdayakan di sekitar desa. Tidak tertampungnya seluruh
kegiatan pengolahan rambut di pabrik membuat perusahaan PMA di purbalingga memanfaatkan
tenaga kerja lokal, khususnya ibu rumah tangga. Fungsi plasma secara umum sebenarnya adalah
relokasi kegiatan tahap awal produksi
industri rambut yang tadinya dikerjakan
di dalam pabrik, kemudian dialihkan ke
masyarakat.
berlangsung,
plasma
Selama
penulis
memberikan
penelitian
melihat
multiplier
konsep
effect
123
kepada ibu-ibu rumah tangga karena tersedianya lapangan kerja dan pendapatan tambahan.
Konsep plasma juga mendekatkan proses produksi dari pabrik ke masyarakat. Ongkos produksi
dapat ditekan karena biaya transportasi dan makan tidak ditanggung oleh perusahaan.
Sampai saat ini, hampir seluruh industri penanaman modal asing di Kabupaten
Purbalingga menjalin kerja sama dengan industri plasma pedesaan yang hampir tersebar di
seluruh wilayah Kabupaten Purbalingga. Bahkan, ada beberapa plasma yang terdapat di luar
wilayah Kabupaten Purbalingga. Ini membuktikan bahwa multiplier effects adanya industri
pengolahan rambut tidak hanya dirasakan oleh masyarakat lokal semata. Masyarakat sekitar
Kabupaten Purbalingga juga ikut menikmati dari berdirinya plasma industri rumah tangga ini.
Berikut ini gambaran kemitraan beberapa perusahaan penanaman modal asing dengan industri
plasma pedesaan di Kabupaten Purbalingga.
Tabel 5.8
Gambaran Kemitraan PMA dan Plasma Rambut di Kabupaten Purbalingga
Nama PMA
PT Midas Indonesia
Jumlah
Jumlah
Keterangan
Plasma
Tenaga Kerja
131
4.438
280
Proses gunting
19
565
Proses tempel
129
10
540
Proses gunting
42
Proses tanam
809
124
15
832
Tabel 5.9
Kinerja Pengurangan Penduduk Miskin
(Perbandingan di Eks Karesidenan Banyumas/Barlingmascakeb)
No
Kabupaten
Jumlah RTS
Persentase RTS
2005
2008
Turun
2005
2008
Turun
Banyumas
172.581
141.183
31.398
43,1
34,1
9,0
Cilacap
170.433
150.721
19.712
40,0
34,2
5,8
125
Banjarnegara
112.851
85.420
27.431
50,1
36,5
13,7
Kebumen
131.465
122.209
9.256
42,2
38,5
3,7
Purbalingga
104.705
63.313
36.392
47,0
29,8
17,2
Sumber: Bahan Presentasi Bupati Purbalingga dalam acara Sidang Panel Kab./Kota Proinvestasi
Pemprov Jawa Tengah Tahun 2009, Semarang
126
Tabel 5.10
Perkembangan Pendanaan Kegiatan Pembangunan Sarana Prasarana Jalan
Tahun
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Ruas
25
37
33
34
34
24
27
Panjang
27.000
46.253
33.960
30.314
40.000
36.264
15.073
Jumlah
187
232.864
Sumber: Bahan paparan Bupati Kab. Purbalingga pada Rakor Forum Pengendalian Pelaksanaan
Pembangunan Kab/Kota Eks Karisedenan Banyumas Tahun anggaran 2009.
Tabel 5.11
Kinerja Pembangunan Bidang Infrastruktur
Sumber: Bahan presentasi Bupati Purbalingga dalam acara sidang panel Kab/Kota Proinvestasi
Pemprov Jawa Tengah tahun 2009, Semarang
127
Tabel 5.12
Produksi Listrik danAir Minum
Kabupaten Purbalingga Tahun 2003-2007
128
j. Aspek Sosial
Berkembangnya penanaman PMA di Kabupaten Purbalingga, khususnya industri rambut turut
memberikan dampak kepada kehidupan sosial masyarakat. Setidaknya aktivitas kota Purbalingga
sepanjang penulis amati cukup ramai, baik siang hari ataupun pada malam hari. Sebelum di
bawah kepemimpinan Bupati sekarang ini, Kota Purbalingga dijuluki sebagai kota mati.
Julukan ini bukan tanpa alasan karena suasana kota ketika memasuki malam hari sudah mulai
sepi, dan jarang ada interaksi antarpenduduk. Pusat-pusat kegiatan malam hari, baik tempat
hiburan atau sentra kuliner juga tidak seramai saat ini. Namun, dengan perkembangan
pembangunan yang terjadi di Kabupaten Purbalingga, mulai ada perubahan perilaku sosial.
Ketika malam hari tiba, sekarang ini banyak muncul pusat-pusat hiburan dan kuliner. Areanya
masih berada di alun-alun depan Pendopo Dipokusumo Kabupaten Purbalingga. Banyak pusat
jajanan menjamur di sepanjang alun-alun. Berbagai macam kuliner dijual. Masyarakat setempat
memanfaatkan pusat keramaian untuk berinteraksi dengan masyarakat lain. Tidak jarang ada
juga keluarga yang memanfaatkan ramainya alun-alun kota untuk bercengkerama dan wisata
malam.
Wisata kuliner malam juga disentralkan di beberapa ruas jalan utama. Ketika malam hari,
ada ruas jalan utama yang disulap menjadi sentra makanan dengan bercirikan ornamen khas
Cina. Nama pusat kuliner ini adalah Mayong Kya-Kya. Pusat kuliner ini hanya dibuka pada
malam hari. Masyarakat dapat memanfaatkan
Mayong Kya-Kya sebagai alternatif hiburan
dan kuliner selain sentra makanan di sepanjang
alun-alun utama.
129
Perubahan
warna
dinamika
kehidupan
Selain pusat kuliner, pusat-pusat pertokoan yang buka sampai malam hari ikut
memberikan denyut nadi keramaian pada malam hari. Menjamurnya toko pakaian, minimarket,
supermarket, dan toko kelontong lainnya memberikan alternatif bagi masyarakat setempat untuk
berbelanja selain ke pasar tradisional. Geliat aktivitas kota yang semakin dinamis di Kabupaten
Purbalingga juga tidak lepas dari naiknya daya beli masyarakat setempat. Berdirinya pabrikpabrik PMA di Kabupaten Purbalingga memang positif bagi penduduk setempat.
membangun WC atau kamar mandi untuk buang air besar. Berdirinya kos-kosan di sepanjang
area pabrik juga menjadi alasan warga pemilik kos untuk membangun WC atau kamar mandi
sebagai salah satu fasilitas. Partisipasi masyarakat Kabupaten Purbalingga untuk membangun
sanitasi cukup tinggi, walaupun masih ada beberapa penduduk yang memanfaatkan sungai
sebagai tempat buang air besar.
Tabel 5.13
Kinerja Pembangunan Bidang Infrastruktur
Sumber: Bahan presentasi Bupati Purbalingga dalam acara sidang panel Kab/Kota Proinvestasi
Pemprov Jawa Tengah tahun 2009, Semarang
131
Perkembangan lapangan kerja yang tumbuh di Kabupaten Purbalingga selama ini bukan
tanpa mengenai kendala. Saat ini, kebutuhan pekerja di Kabupaten Purbalingga lebih berorientasi
pada tenaga kerja wanita. Akibatnya, penyerapan tenaga kerja untuk laki-laki sangat kurang.
Persentase pengangguran dari kaum laki-laki yang begitu besar memberikan dampak sosial, yaitu
berubahnya fungsi pencari nafkah dari kaum laki-laki dialihkan ke kaum perempuan. Banyak
rumah tangga di Kabupaten Purbalingga yang pencari nafkah utamanya adalah kaum perempuan.
Ketika buruh perempuan harus bekerja di
pabrik-pabrik rambut, suami menggantikan
peran seorang istri untuk mengurusi rumah
tangga mereka. Peran suami untuk menunjang
mobilitas istri dalam bekerja juga terlihat ketika
jam masuk dan pulang pabrik. Ketika pagi dan
sore tiba, para suami mengantar dan menjemput
istri mereka di tempat pabrik.
Gambar atas. Suasana kemacetan di depan prabrik rambut
Setiap hari ketika jam masuk dan pulang buruh pabrik berlangsung kemacetan jalan di
sepanjang area pabrik yang tidak dapat terelakkan. Banyaknya buruh pabrik yang masuk dan
pulang menjadi fenomena sosial tersendiri saat pagi
serta sore tiba. Kemacetan ini berdampak pada
semua ruas jalan di Kabupaten Purbalingga, dan
menghambat mobilitas aktivitas kota sejenak.
Kemacetan diakibatkan banyaknya bus pabrik yang
mengangkut para buruh yang berangkat dan pulang.
Banyaknya para suami yang mengantar dan
menjemput istrinya dengan menggunakan sepeda
motor turut menambah kemacetan karena mereka biasanya parkir tepat di depan pabrik, serta
membentuk pola memanjang di sepanjang badan jalan sekitar pabrik. Belum lagi supir angkot
132
dan bus kota yang turut mengetem di sekitar areal pabrik sehingga menambah kesemrawutan lalu
lintas kota.
B. Kota Makassar
a. Tumbuhnya Jumlah Usaha
Peningkatan Jumlah perizinan usaha di Kota Makassar yang sangat besar dari tahun ke tahun
tidak lepas dari potensi daerah yang dimiliki. Letaknya yang strategis serta dukungan sarana
infrastruktur yang baik membuat banyak investor bersedia menanamkan modalnya di Kota
Makassar. Sebagai pintu masuk wilayah Indonesia Timur, Kota Makassar memang menjelma
menjadi wilayah yang potensial bagi dunia usaha. Bukan hanya itu saja, peran wilayah sebagai
lokomotif utama pembangunan di kawasan Indonesia Timur membuat eksistensi Kota Makassar
semakin menguat. Dari tahun 2002 sampai 2009, jumlah kuantitas perizinan usaha semakin
meningkat. Selama rentang waktu tujuh tahun tersebut, jumlah permintaan izin mencapai lebih
dari tiga kali lipat. Saat ini, Kota Makassar merupakan daerah dengan permintaan izin paling
tinggi di Indonesia. Ini membuktikan bahwa gerak perekonomiannya berlangsung dengan baik.
Penetapan Kota Makassar sebagai gerbang emas Indonesia Timur bukan tidak mungkin akan
semakin mengukuhkan wilayah ini menjadi basis investasi utama di Indonesia selain pulau Jawa.
Tabel 5.14
Perkembangan Izin SIUP Kota Makassar Tahun 2006-2009
Kota Makassar sebagai pusat pembangunan kawasan Indonesia Timur memiliki kegiatan
investasi dan aktivitas ekonomi yang sangat dinamis. Berdirinya kawasan industri seperti PT
KIMA memberikan kemudahan bagi para investor untuk mendirikan usaha. Tren peningkatan
industri menengah dan besar pun terjadi dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dilihat dari rentang
tahun 2005 sampai 2008 di mana jumlah perusahaan menengah dan besar terus mengalami
peningkatan. Namun, peningkatan industri menengah dan besar di Kota Makassar tidak lepas
dari beberapa fasilitas pendukung yang cukup representatif. Fasilitas dan pemusatan Industri ini
kepemilikan saham dan pengoperasiannya juga lebih banyak dilakukan oleh pemerintah pusat.
Pengelolaan PT Kawasan Industri Makassar (PT KIMA) misalnya, peran pemerintah pusat
dalam mengelola kegiatan investasi masih sangat dominan. Kepemilikan saham pemerintah
pusat 60%, sedangkan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan Pemerintah Kota Makassar
hanya memiliki 30% dan 10% kepemilikan saham. Minimnya kepemilikan dan peran Pemkot
Makassar juga berimplikasi pada proses pembuatan izin usaha dan izin kelengkapan lainnya
sebagai prasyarat berdirinya usaha baru. Proses penanaman modal oleh PMA dan PMDN
ditangani langsung oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) atau Badan Koordinasi
Penanaman Modal Daerah (BKMD). Namun demikian, peran Pemkot Makassar dalam
penerbitan izin juga masih diberikan seperti Izin Lokasi, Sertifikat Hak Atas Tanah, IMB, Izin
Gangguan (HO) di luar kawasan Industri dan Izin kerja bagi WNA.
Pada prinsipnya, Proses pengelolaan kawasan industri dan penerbitan izin yang tidak
hanya dilakukan oleh Pemkot Makassar, tapi juga melibatkan pemerintah pusat itu tidak
menghambat tumbuhnya industri PMA dan PMDN. Potensi yang sangat menggiurkan dan sarana
fisik investasi yang sangat menunjang menjadi posisi tawar bagi Kota Makassar kepada investor.
Selama tahun 2005-2008, tercatat kenaikan industri menengah dan besar terus mengalami
kenaikan dengan nilai investasi terakhir pada tahun 2008 di atas satu triliun rupiah. Jumlah
kegiatan industri menengah dan besar ini tidak hanya berada pada lokasi kawasan industri PT
KIMA, tapi juga industri PMA dan PMDN yang dilakukan di luar area PT KIMA. Berikut ini
gambaran jumlah kenaikan industri menengah dan besar di Kota Makassar pada tahun 20052008.
134
Tabel 5.15
Perkembangan Industri Menengah dan Besar Kota Makassar Tahun 2005-2008
Tabel 5.16
Pertumbuhan Industri Kecil Kota Makassar Tahun 2004-2008
b. Perkembangan Ekonomi
Perkembangan jumlah PDRB per kapita yang cukup berarti pada tahun 2008 di atas Rp20 juta
memberikan sinyalemen bahwa perekonomian Kota Makassar memiliki pertumbuhan yang
cukup baik. Kegiatan perekonomian ini tidak hanya disentralkan pada satu struktur
perekonomian semata, tapi didukung juga oleh struktur perekonomian yang lain. Struktur utama
yang menjadi penggerak utama perekonomian kota Makassar didominasi oleh sektor
135
perdagangan, restoran, dan hotel. Berikut gambaran struktur perekonomian Kota Makassar
selengkapnya.
Gambar 5.2
Struktur Ekonomi Kota Makassar Tahun 2008
Industri
Pengolahan
23,71%
Pertambang
andan
Penggalian
0,01%
Listrik,Gas
danAir
1,98 %
Bangunan
7,61%
Pertanian
1,02%
JasaJasa
11,78%
Bankdan
Lap
Keuangan
10,26%
Angkutan
Perdagangan
dan
,
Komunikasi
Restoran&
15,49%
Hotel
28,14%
136
Tabel 5.16
Pertumbuhan Tenaga Kerja Industri Kecil, Menengah, dan Besar Kota Makassar
Tahun
Bidang Industri
2004
2005
2006
2007
2008
32.417
32.925
33.220
33.648
33.907
0,9
1,2
0,7
Industri Menengah-Besar
11.980
12.742
13.209
13.515
6,3
3,6
2,3
Industri Kecil
d. Infrastruktur
Perkembangan fisik yang sangat menonjol di Kota Makassar terkait peningkatan aktivitas
kegiatan ekonomi adalah perkembangan pembangunan jalan yang sangat cepat. Berdasarkan
pengamatan penelitian di lapangan, pertumbuhan jalan dan sarana fisik seperti gedung dan
prasarana lainnya memang tampak terlihat. Berdasarkan data terakhir yang diambil dari bidang
penanaman modal Kota Makassar, panjang jalan di Kota Makassar adalah 1.593,46 km. Dilihat
dari pengelompokan jalan menurut kelasnya, jalan di Kota Makassar dibagi menjadi 7 kelompok.
137
Tabel 5.17
Gambaran Kelompok Jalan dan Fungsinya
Kelompok Jalan
Panjang Jalan
Fungsi jalan
(km)
Panjang Jalan
(km)
Jalan Kelas I
221,61
42,29
Jalan Kelas II
600,78
34,23
173,75
83,29
121,67
Jalan Kolektor
297,69
Jalan Kelas IV
125,32
Jalan Lokal
Jalan Kelas V
185,68
164,65
1.117,83
15,13
Pada tahun 2009, konfigurasi jaringan jalan di Kota Makassar direncanakan akan
bertambah dengan 2 radial road dan 3 ring road. Radial Road yang dimaksud terdiri dari Center
Radial Road, yaitu jalan terusan dari Jl. Mongisnsidi ke arah timur dan South Radial Road yaitu
terusan Jl. Veteran ke selatan. Sementara ketiga ring road terdiri dari Inner Ring Road (IRR),
Middle Ring Road (MRR), dan Outer Ring Road (CRR). Gambar segmen jalan di bawah ini
menunjukkan struktur jalan utama tersebut. Setiap jalan tersebut dibagi dalam beberapa segmen
jalan dan Fungsi jaringan jalan Inner Ring Road, Midle Ring Road, Outer Ring Road, Central
Radial Road, dan South Radial Road menurut Master Plan JICA.
138
Gambar 5.3
Segmen Jalan di Kota Makassar
Adapun fungsi jalan disesuaikan dengan fungsi jaringan jalan yang sudah dibuat.
Namun, secara umum jalan diperuntukan untuk beberapa aktivitas utama, yaitu mendistribusikan
lalu lintas kargo dari dan ke kota, dari lokasi industri KIMA dan terminal kargo, serta
139
Tabel 5.18
Panjang Jalan dan Kondisinya pada Tahun 2007-2008 (km)
Kondisi Jalan
2007
2008
Baik
645,35
830,38
Sedang
486,02
195,07
Rusak
374,45
97,70
Rusak Ringan
87,64
470,30
1.593,46
1.593,46
Jumlah
Peningkatan pembangunan fisik Kota Makassar selain jalan juga sangat dirasakan.
Pertumbuhan bangunan ini lebih banyak berfungsi sebagai kegiatan perniagaan dan usaha jasa.
Aktivitas perbelanjaan ditunjang dengan bangunan mal atau pusat perbelanjaan baru dan lebih
representatif. Ekspansi pembangunan aktivitas pariwisata dan perbaikan sarana umum juga
dilakukan oleh Pemkot Makassar. Berdirinya Trans Studio dan reklamasi Pantai Losari, serta
perbaikan dan penambahan bangunan fisik pantai mengindikasikan komitmen Pemkot Kota
Makassar pada industri pariwisata. Kenaikan konsumsi di atas tujuh persen dari tahun 2006
menunjukkan pembangunan fisik kota memang sangat pesat. Pertumbuhan bangunan fisik ini
dapat menjadi potensi sekaligus posisi tawar yang menggiurkan bagi para investor. Sekarang pun
140
masuknya investasi ke Kota Makassar juga dilatarbelakangi tersedianya sarana jalan dan fisik
kota yang semakin berkembang. Namun, di sisi yang lain, jika pertumbuhan fisik bangunan tidak
mampu diimbangi dengan pasokan energi yang cukup, bukan tidak mungkin malah menjadi
faktor penghambat bagi kelangsungan pembangunan Kota Makassar.
Tabel 5.19
Nilai PDRB Sektor Lapangan Usaha Bangunan
Lapangan
Harga
Tahun
Usaha
2006
Konstan (Miliar Rp)
Bangunan
Berlaku (%)
2007
2008
885,130
962,053
1,130,758
7,540
7,700
8,090
Sumber: Dinas Perindustrian Perdagangan dan Penanaman Modal Kota Makassar, 2009
energy listrik mandiri juga sudah diwacanakan. Namun, pesatnya permintaan energi listrik dari
rumah tangga dan tumbuhnya pelaku usaha semakin menguatkan ketimpangan supply and
demand. Permasalahan ini sebenarnya juga dialami oleh Kabupaten Purbalingga. Ketimpangan
pasokan listrik dengan permintaan industri sangat terasa. Masalah ini dapat mengganggu
peningkatan produksi industri di Makassar, dan secara tidak langsung juga mengurangi posisi
tawar kota itu yang dikenal sebagai daerah yang proinvestasi. Berikut ini kondisi dan proyeksi
tingkat cakupan listrik Kota Makassar.
Tabel 5.20
Kondisi dan Proyeksi Tingkat Cakupan Pelayanan Listrik
Kota Makassar Tahun 2008-2014
Tahun
Uraian
2008
Kapasitas
160,4
2009
173,0
2010
216,9
2011
302,5
2012
365,9
2013
480,1
2014
535,6
tersedia (MW)
Jumlah
Terlayani
(Pelanggan)
Tingkat
87,00
87,80
88,94
90,48
92,56
95,08
98,07
Cakupan
Pelayanan (%)
Sumber: PLN Makassar dalam RPJMD Kota Makassar, 2009
142
Kondisi yang kurang hampir sama juga terjadi pada kebutuhan air bersih. Meningkatnya
kegiatan industri, baik sektor pengolahan dan jasa membuat permintaan air bersih sangat besar.
Ketimpangan antara kebutuhan air bersih dan tingkat cakupan pelayanan yang dapat diberikan
hampir mencapai 25%. Artinya, hanya kurang lebih 75% kebutuhan air bersih yang dapat
dilayani oleh PDAM Kota Makassar. Pengurangan kemampuan penyediaan air bersih ini
sebenarnya juga disadari oleh Pemkot Makassar sebagai masalah mendasar dalam pembangunan
infrastruktur Kota. Masalah abrasi pantai juga menyebabkan kualitas air tanah di Kota Makassar
juga semakin buruk.
Berdirinya banyak industri jasa seperti hotel dan rumah makan di Kota Makassar harus
diimbangi dengan pasokan listrik dan air bersih yang memadai. Berdasarkan data Bappeda Kota
Makassar pada tahun 2007 jumlah hotel di Kota Makassar sebanyak 91 hotel. Pada tahun 2008,
peningkatan jumlah bangunan hotel sudah mencapai 127 buah.
Tabel 5.21
Kondisi dan Proyeksi Tingkat Cakupan Pelayanan Air Bersih (PDAM)
Kota Makassar Tahun 2008-2014
Tahun
Uraian
2008
Jumlah Produksi
2.340
2009
2.340
2010
2.340
2011
2.340
2012
2013
2.300
2.300
2014
2.840
Air (L/dtk)
Jumlah Terlayani 140.457 147.957 152.157 157.960 165.457 171.957 180.457
(Pelanggan aktif)
Tingkat Cakupan
73,4
74,1
75,5
76,2
77,1
78,5
81,1
Pelayanan (%)
Sumber: PDAM dalam RPJMD Kota Makassar, 2009
143
Tabel 5.22
Tingkat Konsumsi Energi Listrik Kota Makassar
Lapangan Usaha
Tahun
2006
2007
2008
220,642
236,384
269,478
Meningkatnya permintaan energi listrik sebenarnya diakui oleh pelaku usaha. Ketua
Kadin Kota Makassar memberikan penjelasan bahwa saat ini selain permintaan energi listrik
yang tidak dapat dipenuhi seluruhnya, tumbuhnya usaha baru juga turut memicu peningkatan
konsumsi listrik dan air di Kota Makassar secara umum. Gambaran ini sebenarnya menunjukkan
peningkatan aktivitas masyarakat dalam melakukan kegiatan ekonomi. Meningkatnya konsumsi
listrik dan air mencerminkan kegiatan aktivitas ekonomi tumbuh. Namun di sisi yang lain,
permasalahan daya listrik ini juga mengganggu kinerja pelayanan publik secara umum. Ketika
tim penulis melakukan penelitian di Kota Makassar, dalam beberapa hari dalam satu minggu,
pemadaman bergilir rutin dilakukan. Pemadaman ini terjadi pada siang hari. KP2T Kota
Makassar juga menanggung imbas dari pemadaman bergilir ini. Selain mengganggu proses
pengurusan izin usaha, tidak berfungsinya komputer dan sarana penunjang lainnya menimbulkan
dampak inefisiensi dari sisi waktu dan responsitas pelayanan perizinan. Dampak ini tentunya
dialami langsung oleh pelaku usaha. Berhentinya kegiatan usaha tentu memengaruhi omset dan
ketepatan produksi.
144
C. Kota Banjarbaru
a. Struktur Ekonomi
Kota Banjarbaru adalah kota yang memisahkan diri dari Kabupaten Martapura. Setelah berdiri,
kegiatan ekonomi masyarakat tidak lagi bersandar pada sumber daya alam seperti kebanyakan
daerah Kalimantan lainnya. Batu bara, intan, dan jenis sumber daya lain tidak dimiliki oleh Kota
Banjarbaru. Masyarakat pun mengandalkan kegiatan ekonomi pada sektor jasa sejak pemisahan
daerah dilakukan dari Kabupaten Martapura. Bergantungnya masyarakat Kota Banjarbaru
terhadap sektor sekunder dan tertier berdampak juga pada sumbangan PAD yang didominasi
oleh kedua sektor ini. Sejak tahun 2004, sektor sekunder dan tertier memang menjadi pengungkit
utama kegiatan ekonomi masyarakat Kota Banjarbaru. Persentase dari mulai tahun 2004 sampai
dengan 2007 menunjukkan bahwa kedua sektor ini secara keseluruhan mencapai di atas 45%. Ini
membuktikan bahwa dari tahun ke tahun dominasi kedua sektor ini memegang peranan penting
dalam keseluruhan kegiatan ekonomi. Adapun persentase untuk sektor primer pada tahun 2008
mulai mengalami peningkatan. Peningkatan sektor primer ini terjadi karena peran pemerintah
yang menggalakkan budidaya tanaman sayuran yang cukup intensif sehingga mampu
meningkatkan sektor pertanian. Walaupun demikian, sektor primer di Kota Banjarbaru masih
didominasi oleh sektor pertambangan dan penggalian.
145
Gambar 5.4
Struktur Perekonomian Kota banjarbaru
Pada kelompok sekunder sendiri, sektor yang paling banyak mendominasi dan
memberikan kontribusi adalah sektor bangunan. Wacana pemindahan ibukota provinsi
Kalimantan Selatan ke Kota Banjarbaru sebenarnya turut memengaruhi penetrasi pengembang
untuk membangun perumahan bagi warga setempat. Selain untuk dihuni sendiri, saat ini sektor
perumahan juga mulai dipakai untuk kegiatan investasi bisnis. Dengan relokasi ibukota provinsi
ke Kota Banjarbaru, nantinya diharapkan harga bangunan akan naik. Para investor pun akan
mendapat keuntungan dari naiknya harga properti. Pemilik bangunan seperti perumahan dan
gedung perkantoran dalam skala kecil yang semakin meningkat tidak lepas dari wacana relokasi
pemindahan ibukota provinsi, selain juga peningkatan aktivitas masyarakat Kota Banjarbaru
secara umum. Naiknya sektor bangunan ternyata tidak diikuti oleh sektor industri pengolahan.
Sejak tahun 2007, jenis industri ini mengalami penurunan kinerja. Diperkirakan pada tahun 2009
penurunan pada industri ini juga akan terjadi. Sedangkan untuk sektor listrik dan air yang
memang sangat diperlukan dalam kegiatan usaha kenaikan yang dicatat tidak terlalu signifikan.
146
Peningkatan yang cukup konsisten justru tergambarkan dari kelompok industri tertier.
Sebagaimana tim penulis sebutkan sebelumnya, kelompok tertier memang mendominasi kegiatan
perekonomian masyarakat Kota Banjarbaru secara keseluruhan. Dominasi sektor tertier ini dapat
dilihat dari aktivitas perdagangan yang cukup meningkat. Aktivitas perdagangan ini terutama
terjadi di pasar-pasar yang telah dibangun oleh Pemkot setempat. Konsep pengembangan pasar
moderen juga mulai dibuat dalam rangka mengakomodasi peningkatan kegiatan perdagangan.
Saat ini Pemkot setempat sudah melakukan beberapa perbaikan dan relokasi pasar agar lebih
strategis dan tidak mengganggu kemacetan jalan raya. Konsep pembangunan kota yang juga
mengedepankan dimensi perdagangan dan perindustrian membuat pemerintah setempat
melakukan perbaikan dan peningkatan sarana penunjang kegiatan ekonomi.
Kelompok tertier lainnya yang juga mengalami peningkatan yang cukup pesat adalah
sektor restoran dan perhotelan. Peningkatan usaha restoran dapat ditemui hampir di sepanjang
jalan utama Kota Banjarbaru. Usaha rumah makan menjadi sangat berkembang, dan terus
mengalami peningkatan dilatarbelakangi dari tingginya permintaan masyarakat setempat.
Komposisi mata pencaharian penduduk Kota Banjarbaru adalah pegawai negeri sipil, pedagang,
baru disusul oleh petani. Penduduk Kota Banjarbaru yang mayoritas pegawai ini lebih suka
untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka seperti makan dengan membeli di luar rumah. Sisi
kepraktisan ini membuat banyak usaha makanan dan restoran menjamur di sepanjang sudut kota.
Peningkatan jumlah bangunan hotel walau tidak terlalu signifikan, namun juga mulai
menggeliat. Strategisnya Kota Banjarbaru yang dekat dengan bandara, terminal, dan dilewati
jalan utama trans Kalimantan membuat permintaan hunian hotel mengalami peningkatan. Saat
ini, sudah ada investor yang akan membangun hotel di Kota Banjarbaru. BP2T memberikan
penjelasan bahwa investor yang berminat menanamkan modal di bidang perhotelan selain karena
potensinya yang cukup besar, ketersediaan bangunan hotel yang representatif masih minim.
Faktor lain yang turut memengaruhi para investor untuk membangun hotel adalah wacana
relokasi ibukota Kalimantan Selatan dan letak strategis Kota Banjarbaru di pulau Kalimantan.
147
Tabel 5.23
Perkembangan Jumlah Hotel/Penginapan
Kota Banjarbaru Tahun 2004-2008
Tahun
Hotel/
Jumlah
Penginapan
Kamar
2004
19
380
2005
20
387
2006
21
454
2007
21
454
2008
21
454
Selain sektor perdagangan, restoran, dan hotel saat ini perkembangan sektor perbankan di
Kota Banjarbaru mengalami kenaikan yang cukup siginifikan. Dukungan sektor keuangan dan
kemudahan dalam bertransaksi untuk kegiatan ekonomi kelompok jasa sangat penting.
Munculnya perbankan nasional di Kota Banjarbaru untuk berekspansi bisnis memberikan
indikasi bahwa potensi yang ada memang cukup menjanjikan. Pada tahun 2007, perkembangan
sektor perbankan dan lembaga keuangan lainnya memiliki kecenderungan meningkat. Akses
kredit dari bank swasta nasional maupun lembaga keuangan lainnya yang semakin mudah dan
banyak variasi membuat nilai tambah bagi kegiatan usaha. Banyak masyarakat Kota Banjarbaru
yang memformalkan izin usahanya ke BP2T untuk mendapatkan legitimasi usaha sebagai syarat
pengajuan kredit. Meningkatnya formalisasi izin usaha oleh masyarakat untuk peningkatan
permodalan usaha juga tidak lepas dari dukungan BP2T kepada sektor usaha kecil untuk mandiri
148
dan berdikari. Caranya dengan memperpendek waktu proses formalisasi izin SIUP. Dampaknya
cukup berhasil karena dari sisi kuantitas jumlah izin yang dikeluarkan untuk usaha kecil
cenderung meningkat.
149
Tabel 5.24
Perkembangan Jumlah Surat Keputusan Izin
dan Penerimaan Retribusi BP2T Kota Banjarbaru
Tahun dan Jumlah
SK
2004
2005
2006
2007
2008
2009
536
1.823
2.138
2.454
3.184
2.352
Perizinan
Retribusi
172.926.150
(Rp)
Dari sisi perdagangan, data menunjukkan dari tahun 2007 tren secara umum peningkatan
perizinan usaha kecil masih mendominasi. Peningkatan untuk memformalkan dari
masyarakat setempat, selain kemudahan dan perbaikan yang terus dilakukan untuk
menyempurnakan pelayanan perizinan, program insentif juga menjadi pengungkit utama
untuk mengurus perizinan.
150
Tabel 5.25
Jumlah Izin Perdagangan Pengusaha Besar, Menengah, dan Kecil Kota Banjarbaru
Tahun
Jenis Pengusaha
2007
2008
2009
Kecil
359
383
252
Menengah
141
150
100
Besar
88
109
64
Total Izin SK
588
642
416
61.170.000
68.965.000
43.960.000
Total Retribusi
151
Gambar 5.4
Perkembangan Nominal PDRB atas Dasar Harga Berlaku Kota Banjarbaru
Tahun 2004-2008 (miliar rupiah)
d. Pertumbuhan Ekonomi
Tren perkembangan PDRB Kota Banjarbaru yang terus meningkat selama lima tahun terakhir
juga berimplikasi pada peningkatan pertumbuhan ekonomi Kota Banjarbaru secara umum. Ratarata peningkatan pertumbuhan ekonomi lima tahun terakhir sekitar 13,52%. Pertumbuhan yang
cukup besar ini menjadi indikator bahwa perkembangan Kota Banjarbaru sendiri relatif masif
dengan pertumbuhan ekonomi dua digit.
152
Gambar 5.5
Pertumbuhan Ekonomi Kota Banjarbaru Periode 2004-2008
menaikkan pendapatan masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan pendapatan per
kapita masyarakat akan memperbaiki kualitas hidup masyarakat itu sendiri. Dengan naiknya
pendapatan, daya beli masyarakat pasti naik.
PDRB per kapita masyarakat Kota Banjarbaru selama periode 2004-2008 meningkat
sekitar 50%. Kenaikan ini seiring dengan semakin majunya aktivitas perekonomian, khususnya
kelompok sekunder dan tertier. Jika dilihat dari struktur mata pencaharian, mayoritas masyarakat
Kota Banjarbaru adalah pegawai negeri dan swasta, namun perkembangan usaha kecil yang
cukup pesat, serta usaha menengah dan besar yang juga mengalami kenaikan turut menyerap
tenaga kerja dari sektor nonformal. Berdasarkan data survei tahun 2009 oleh BPS, masyarakat
Kota Banjarbaru yang bekerja di sektor UKM mencapai 45%.
Tabel 5.25
Jumlah UKM Menurut Kelompok Sektor Di Kota Banjarbaru Tahun 2006-2008
154
Korelasi perizinan yang mudah dengan meningkatnya pendapatan memang tidak dapat
dilihat langsung seperti Kabupaten Purbalingga. Namun, secara tidak langsung banyak berdiri
usaha nonformal yang kemudian dikonversi menjadi formal melalui BP2T kemudian
memberikan lapangan kerja baru bagi masyarakat setempat. Permintaan kredit yang semakin
marak ikut memperluas usaha yang telah dimiliki saat ini. Pemilik modal tentunya membutuhkan
tenaga kerja tambahan untuk membantu perluasan usaha yang dilakukan. Responsitas BP2T
dalam memberikan izin sebenarnya ikut memengaruhi realisasi pengembangan usaha atau
terbentuknya usaha baru. Adanya pelayanan perizinan usaha yang akuntabel dan responsif
memberikan efek positif bagi dunia usaha untuk berkembang, seperti penambahan modal.
Tabel 5.26
Perkembangan PDRB Per Kapita Kota Banjarbaru Tahun 2004-2008
Tahun
PDRB Perkapita
Per Tahun
Per Bulan
2004
5.981.843
498.487
2005
6.616.994
551.416
2006
7.525.497
627.152
2007
8.118.764
676.564
2008
8.950.185
745.849
Ukuran tingkat kesejahteraan masyarakat pada umumnya, dan Kota Banjarbaru pada
khususnya sebenarnya tidak hanya diukur melalui kuantitas kenaikan pendapatan per kapita
semata. Aspek pemerataan pendapatan yang diterima oleh masyarakat juga mesti diperhatikan.
155
Pendapatan yang hanya tersentralisasi pada golongan tertentu saja tidak ada artinya walaupun
nilainya tinggi. Adapun pemerataan pendapatan di Kota Banjarbaru rentang waktu 2004-2008
memang mengalami fluktuasi ketimpangan. Namun, pada tahun 2008 pendapatannya cenderung
merata. Hal ini terlihat dari nilai Indeks Gini Kota Banjarbaru yang berada pada nilai 0,2.
Tabel 5.27
Pertumbuhan Jumlah Usaha dan Pekerja Kota Banjarbaru
Tahun
Jumlah
Jumlah
Usaha
Pekerja
2004
1407
2615
2005
1511
2874
2006
2879
4960
2007
3067
6306
2008
3266
6533
Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh BPS Kota Banjarbaru, saat ini tercatat usaha
nonformal yang tidak berbadan hukum sebanyak 17.665 usaha. Mayoritas usaha bergerak di luar
sektor pertanian. Penyerapan tenaga kerja dari sektor UKM ini juga cukup tinggi, yaitu sebanyak
30.135 pekerja. Penyerapan tenaga kerja dari sektor UKM ini sangat besar karena dari total
tenaga kerja yang ada, sebanyak 44,83% penyerapan tenaga kerja berasal dari sektor UKM. Saat
ini, jumlah tenaga kerja yang ada di Kota Banjarbaru menurut Sakernas 2008 sebanyak 65.543
orang.
Data yang dipublikasikan oleh BPS Kota Banjarbaru menunjukkan bahwa untuk Tingkat
Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) menunjukkan peningkatan yang cukup positif. Artinya,
partisipasi dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Fenomena yang cukup menarik dari
Kota Banjarbaru bahwa TPAK menunjukkan persentase penduduk aktif secara ekonomi
dibandingkan dengan penduduk usia kerja.
Tabel 5.28
TPAK dan TPT Kota Banjarbaru Tahun 2004-2008
Tahun
Tingkat Partisipasi
Tingkat
Angkatan Kerja
Pengangguran
2004
53,78
8,71
2005
59,50
9,38
2006
58,17
9,83
2007
61,68
9,41
2008
63,47
11,54
157
Krisis global yang menghantam dunia pada akhir tahun 2008 ikut memengaruhi tingkat
pengangguran di Kota Banjarbaru. Pada tahun 2008, pengangguran di Kota Banjarbaru memang
yang tertinggi nilainya dibandingkan tahun sebelumnya. Bertambahnya angka pengangguran di
pada tahun 2008 disebabkan ada beberapa perusahaan yang tutup ketika krisis keuangan dunia
terjadi. Salah satu perusahaan besar yang telah tutup adalah pabrik pengolahan kayu yang cukup
besar di daerah Landasan Ulin. Perusahaan ini cukup banyak menyerap tenaga kerja masyarakat
sekitar. Ketika pabrik itu berhenti beroperasi banyak pekerja yang terkena PHK. Situasi ini
berdampak pada angka pengangguran yang tinggi. Selain krisis keuangan dunia, berhentinya
pabrik besar seperti pengolahan kayu dan pengolahan intan juga tidak lepas dari faktor
lingkungan yang cukup mengganggu. Resistensi yang timbul dari situasi ini adalah
meningkatnya angka pengangguran.
158
Gambar 5.5
Perkembangan Garis Kemiskinan Tahun 2003-2007
159
Tabel 5.29
Perkembangan Tingkat Kemiskinan Tahun 2003-2007 Kota Banjarbaru
Tahun
Jumlah
Persentase
Penduduk
Penduduk
Miskin
Miskin
2003
8,1
5,85
2005
6,6
4,53
2007
6,6
4,08
160
Tabel 5.30
Panjang Jalan Negara, Provinsi, dan Kota Menurut Kondisi Jalan Tahun 2008 (km)
Kondisi Jalan
Baik
Negara
Propinsi
Kota
26,500
2,000
383,556
Sedang
6,500
29,899
Sedang/Rusak
Rusak
10,500
80,53
Rusak Berat
11,967
26,500
19,000
515,175
Jumlah
Panjang jalan di Kota Banjarbaru sampai dengan tahun 2008 secara keseluruhan adalah
26,5 km dengan kondisi baik. Panjang jalan ini dimiliki oleh pemerintah pusat, pemerintah
provinsi, dan terakhir adalah Pemkot Banjarbaru. Partisipasi masyarakat terhadap pentingnya
jalan bagi sarana pembangunan cukup tinggi. Ketika pemerintah kota membangun jalan, tidak
ada alokasi dana khusus untuk proses ganti rugi tanah yang akan dijadikan jalan. Tingginya
partisipasi dan kerelaan masyarakat tanahnya digunakan untuk pembangunan jalan secara cumacuma menjadi indikasi peran masyarakat dalam menyukseskan pembangunan jalan. Kesadaran
untuk membangun jalan muncul karena multiplier effect yang ditimbulkan sangat besar. Muncul
usaha-usaha baru di sepanjang jalan ketika ruas itu mulai beroperasi. Munculnya ruas jalan baru
oleh Bappeda Kota Banjarbaru nantinya akan dibangun juga rumah kantor (ruko) di sepanjang
jalan. Hal ini dilakukan selain karena industri yang dominan di Kota Banjarbaru adalah sekunder
dan tertier, lanskap kota yang akan dijadikan sebagai kota metropolitan di kawasan Kalimantan
161
membuat Bappeda Kota Banjarbaru melakukan perencanaan ruas jalan dan sarana pendukungnya
sejak dini.
Terkait dengan penataan fungsi jalan, Pemkot Banjarbaru juga sudah mulai merelokasi
jalan untuk angkutan batubara dengan membangun jalan baru. Sebelum dibangunnya jalan
khusus untuk angkutan batubara, pengangkutan batubara masih menggunakan jalan kota. Selain
menimbulkan kemacetan dan kerusakan jalan dalam jangka panjang, kemacetan juga
ditimbulkan dari aktivitas kendaraan angkutan batubara. Langkah relokasi ini menguntungkan
kedua belah pihak, selain lebih cepat dari sisi waktu, kegiatan perekonomian dan sosial kota juga
tidak terganggu. Dibangunnya jalan khusus untuk angkutan batubara dan komoditas lainnya juga
menjadi komitmen pemerintah setempat terhadap kelancaran aktivitas ekonomi dan penanaman
modal usaha di sektor tambang.
162
Tabel 5.31
Pertumbuhan Ekonomi Kota Banjarbaru Tahun 2002-2008
Sektor Ekonomi
Tahun
2004
2005
2006
2007
2008
Rata-Rata
2004-2008
21,33
15,69
22,05
17,58
17,82
j. Aspek Sosial
Karakteristik masyarakat Kota Banjarbaru yang mayoritas pendatang memang memberikan ciri
tersendiri dibanding daerah lainnya di Kalimantan. Perbedaan keberagaman suku di Kota
Banjarbaru tidak mengurangi kerukunan dan harmonisasi kehidupan ekonomi masyarakat
setempat. Pelaku usaha informal di Kota Banjarbaru juga tidak hanya didominasi oleh
masyarakat asli Kalimantan saja, masyarakat pendatang dari suku Jawa dan lintas perbatasan
daerah lain juga banyak yang bekerja di Kota Banjarbaru. Karakteristik penduduk ini juga
memengaruhi bentuk kegiatan usaha informal seperti kuliner yang cukup lengkap di Kota
Banjarbaru. Bentuk usaha yang didominasi kuliner sebenarnya hampir sama dengan Kabupaten
Purbalingga. Namun, perbedaan antara dua daerah ini terletak pada bahan dasar yang dipakai.
Kota Banjarbaru banyak menggunakan ikan sebagai bahan utama kuliner, sedangkan Kabupaten
Purbalingga lebih banyak menggunakan ayam sebagai bahan baku utama kuliner.
Sebagai kota jasa, munculnya kegiatan usaha informal penjualan makanan tidak lepas
dari mata pencaharian penduduk Kota Banjarbaru yang didominasi pegawai. Mayoritas
penduduk setempat (khususnya perempuan) lebih suka menyediakan makanan untuk keluarga
163
dengan cara membeli di luar rumah daripada memasak di dapur. Selain lebih praktis, dari sisi
waktu dan pekerjaan yang harus dijalani tidak memungkinkan bagi sebagian ibu rumah tangga
untuk memasak di rumah.
Kepedulian dunia usaha terhadap kemajuan pendidikan juga tampak dari adanya
partisipasi dunia usaha pada pembangunan sarana infrastuktur pendidikan. Perusahaan Pupuk
Kaltim sebagai salah satu perusahaan besar memberikan bantuan pembangunan perpustakaan
untuk tingkat sekolah dasar di Kota Banjarbaru. Kepedulian ini tentu saja menggambarkan
bahwa keseimbangan hubungan antarstakeholder cukup terjalin dengan baik. Namun demikian,
penguatan peran yang masih lemah dari kalangan dunia usaha, khususnya keberadaan KADIN di
Kota Banjarbaru menjadi pekerjaan rumah yang mesti dibenahi oleh pemerintah dan dunia
usaha. Selain berimplikasi pada penguatan peran masing-masing dalam pembangunan, kegiatan
CSR yang dilakukan oleh pelaku usaha dapat diintegrasikan dengan rencana pembangunan yang
dibuat Pemkot Banjarbaru. Saat ini, penguatan peran dunia usaha dalam pembangunan sosial
kemasyarakatan di Kota Banjarbaru masih belum maksimal.
Semakin berkembangnya dinamika perekonomian Kota Banjarbaru juga membawa
dampak terhadap aktivitas kegiatan sosial ekonomi masyarakat pada malam hari. Bahkan, Kota
Banjarbaru pada saat malam hari juga hidup karena kegiatan usaha informal seperti kuliner justru
ramai pada malam hari. Hal ini turut memacu ide gagasan Walikota setempat untuk membangun
pernak-pernik lampu hias dan taman kota sebagai alternatif wisata lokal. Pada malam hari,
lampu-lampu hias yang dipasang di sepanjang jalan utama kota semakin menambah hidup
suasana Kota Banjarbaru pada malam hari.
164
VI
DIMENSI PERIZINAN DAN KOMPARASI ANTARDAERAH
Perizinan pada dasarnya bukan sekadar urusan administratif semata, namun lebih dari itu
menyangkut aspek sosial budaya dan politik masyarakat di sekitarnya (Rustiani, 2001).
Setidaknya terdapat tiga dimensi yang terkait dalam upaya membedah fenomena perizinan di
Indonesia, yaitu sosial budaya, politik, dan ekonomi. Berikut penjabaran dari masing-masing
dimensi tersebut.
keempat prinsip tersebut diakui oleh pegawai menjadi semangat dalam memberikan pelayanan
yang lebih baik kepada masyarakat, terutama kalangan pengusaha. Selain dari pihak pemerintah
sebagai pemberi layanan, masyarakat sebagai pemohon dan penerima izin turut mendukung
berjalannya sistem dan prosedur yang telah ditetapkan. Secara umum terlihat karakteristik
masyarakat Purbalingga yang taat dengan aturan dan sistem yang berlaku. Fenomena yang mirip
terjadi di Kota Banjarbaru di mana jika dilihat dari dimensi sosial budaya, pemerintah maupun
masyarakat memberikan dukungan bagi penerapan sistem layanan perizinan yang telah
direformasi. Bahkan, bukan sekadar patuh pada prosedur, masyarakat dalam hal ini pengusaha
juga turut memberikan masukan dan secara bersama-sama mencari solusi permasalahan terkait
dengan perizinan usaha. Namun, yang masih kurang adalah akses pengusaha untuk terlibat dalam
pengambilan keputusan yang terkait dengan dunia usaha.
Kondisi sosial budaya yang agak berbeda terjadi di Kota Makassar. Sebagai salah satu
kota yang memiliki potensi besar di bidang usaha, Pemkot Makassar dapat dikatakan kurang
berhasil dalam melakukan reformasi layanan izin usahanya. Penyebabnya antara lain karena
budaya aparatur pemerintah dan masyarakat yang belum secara proaktif menjalankan sistem
yang telah dibentuk. Meskipun telah berupaya mereformasi layanan perizinannya, namun praktik
suap masih terjadi dalam proses perizinan. Hal ini diakui, baik oleh aparat pemberi layanan izin
maupun pengusaha yang mengurus izin. Fenomena ini menunjukkan adanya perilaku moral
hazard yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah.
Dimensi Politik
Dimensi kedua dalam perizinan usaha adalah dimensi politik. Dimensi ini terkait dengan faktor
kekuasaan dan kebijakan pemerintah. Dari sisi politik, perizinan dapat berubah menjadi suatu hal
yang negatif ketika pemerintah sebagai pihak pemberi layanan memanfaatkan layanan ini
sebagai kesempatan untuk memupuk PAD melalui pengenaan tarif yang terlalu tinggi. Ditambah
lagi diskriminasi yang sering dilakukan dengan menyegerakan pihak-pihak yang mampu
membayar suap untuk mendapatkan layanan tersebut. Hal ini terjadi ketika tidak adanya
transparansi dalam hal sistem, prosedur, biaya, dan waktu pengurusan izin. Pada layanan
birokrasi termasuk perizinan, Sjaifudian dkk melihat beberapa kendala, yakni lemah dalam
166
konsistensi dan kemauan politik, tidak disusun secara sistemik dan cenderung reaktif, tindakan
politis semata, ekspresi kedermawanan dan mengandung banyak bias. Secara keseluruhan,
kelemahan dalam koordinasi dan sistem informasi ini menyebabkan layanan birokrasi menjadi
tidak efisien dan membuka peluang kebocoran.
Pelayanan publik yang diberikan pemerintah dewasa ini perlu diarahkan pada
pemberdayaan masyarakat dan bukan untuk menyuburkan ketergantungan. Dalam situasi di
mana sumber-sumber publik semakin langka keberadaannya, perlu dikembangkan pemberdayaan
di kalangan masyarakat dan aparatur karena dapat mengurangi beban pemerintah dalam
pelayanan publik. Sebagaimana dikatakan oleh Thoha .... Peran dan posisi birokrasi dalam
pelaksanaan pelayanan publik harus diubah. Peran yang selama ini suka mengatur dan minta
dilayani, menjadi suka melayani, suka mendengarkan tuntutan, kebutuhan, dan harapanharapan masyarakat. Buruknya layanan birokrasi perizinan salah satunya ditunjukkan oleh
persepsi pelaku usaha kecil menengah yang negatif terhadap layanan yang diberikan. Secara
umum layanan birokrasi dalam hal perizinan dianggap menjadi faktor paling menentukan dalam
penciptaan iklim yang tidak kondusif untuk berusaha.
Dimensi Ekonomi
Dimensi ketiga dalam perizinan usaha kecil adalah dimensi ekonomi. Pada era otonomi daerah
dewasa ini, pelayanan perizinan masih dibebankan target untuk menarik pungutan dalam
menyelenggarakan pelayanan perizinan. Di beberapa daerah, pungutan pelayanan perizinan
memang dilakukan karena melihat potensinya yang besar. Namun demikian, pungutan yang
besar dan target yang tinggi akan memengaruhi kinerja dan proses pelayanan itu sendiri.
Beberapa daerah yang telah melakukan deregulasi dan debirokratisasi pelayanan perizinan sudah
tidak menempatkan target pungutan kepada badan atau kantor pelayanan perizinan. Alasannya
karena selain memengaruhi persepsi calon investor yang akan masuk ke daerah, biaya tinggi
yang ditetapkan juga tidak menjamin praktik budaya permisif tidak akan terjadi.
167
Iklim investasi yang baik tidak lepas dari proses perizinan yang baik, akurat, dan
responsif. Sudah selayaknya pelayanan perizinan sebagai bagian dari pelayanan publik menjadi
pengungkit dalam melakukan proses percepatan pembangunan di daerah. Peran pembangunan
dewasa ini sudah berubah dengan pemerintah yang menjadi aktor utama. Reorientasi
pelaksanaan pembangunan yang mengikutsertakan masyarakat dan dunia usaha mutlak
diperlukan karena beban dan peran negara semakin lama semakin besar.
Dimensi ekonomi adalah kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi dan iklim yang
kondusif. Young (1998) melihat ada dua hal utama guna memperluas kontribusi usaha terhadap
perekonomian nasional. Dari sisi supply yakni memberikan dukungan dan dorongan terhadap
pengintegrasian pada pasar yang lebih luas melalui kemudahan dalam berusaha. Deregulasi
perizinan diperlukan dalam meminimalisir membengkaknya biaya yang tidak pasti. Selama ini
tidak dapat dipungkiri bahwa proses izin di Indonesia, khususnya di daerah masih menjadi
kendala utama bagi para investor untuk menanamkan modalnya. Dari sisi demand, diperlukan
perluasan ukuran usaha atau skala ekonominya. Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk
pengurusan izin pada berbagai tahap ternyata secara signifikan berpengaruh terhadap kesulitan
usaha kecil memperbesar kapasitas produksi dan pasarnya dalam rangka memperbesar skala
ekonominya.
Tidak kompetitifnya iklim investasi di Indonesia terkait ekonomi biaya tinggi terlihat dari
hasil penelitian Kuncoro tahun 2004 pada industri berorientasi ekspor padat karya di 10
Kab./Kota di Indonesia yang menyimpulkan bahwa biaya tambahan karena korupsi mencapai
7,3% dari biaya perusahaan. Sedangkan penelitian Kuncoro 2001 pada 1.736 perusahaan di 285
Kab./Kota di Indonesia menemukan besarnya biaya tambahan sebagai akibat tindakan korupsi
mencapai 10% dari biaya total perusahaan.
Besarnya biaya tambahan ini tentu akan mengurangi keuntungan dan efisiensi
perusahaan. Temuan ini dipertegas kembali penelitian Ari Kuncoro (2008) yang dilakukan di 37
Kab./Kota di Pulau Jawa, dana suap untuk memuluskan sebuah proses bisnis angkanya mencapai
6,5% dari keseluruhan biaya produksi. Artinya, dari setiap Rp100.000,00 biaya produksi, maka
Rp6.500,00 di antaranya merupakan komponen biaya suap. Budaya permisif (korupsi) dan
168
ekonomi biaya tinggi ini bukan hal baru lagi dalam ranah birokrasi, khususnya penyelenggaraan
pelayanan perizinan di Indonesia.
Dilihat dari dimensi ekonomi, layanan perizinan yang diselenggarakan oleh KPPT
Kabupaten Purbalingga menunjukkan biaya yang rendah dan prosedurnya pun cukup transparan.
Semua biaya perizinan telah diatur dengan jelas melalui peraturan daerah dan peraturan bupati.
Praktik korupsi misalnya berupa suap. Reformasi layanan perizinan usaha di Kota Makassar
belum menunjukkan adanya transparansi dan biaya rendah dalam pengurusan izin usaha.
Masyarakat masih berpikir pragmatis untuk mendapatkan pelayanan instan sehingga mau
mengeluarkan biaya berapa pun yang diminta aparat.
169
Makassar, dan Kota Banjarbaru) perihal aspek waktu dan biaya penyelenggaraan pelayanan
perizinan tersebut.
Tabel 6.1
Waktu yang Dibutuhkan untuk Pengurusan Izin pada Tiap Kota
Berdasarkan Jenis Izinnya
Jenis Izin
Kab.
Kota
Kota
Makassar
Banjarbaru
(hari)
(hari)
Purbalingga
(hari)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Izin Reklame
8.
IMB
10
9.
12
3
8
12
11. Gangguan/HO
10
8
6
170
(SIPPAT)
a.
b.
14
4-8
171
34. Izin
Minta
Sumbangan
kepada
Masyarakat
Tabel 6.2
Biaya yang Dibutuhkan untuk Pengurusan Izin pada Tiap Kota
Berdasarkan Jenis Izinnya (dalam Rupiah)
Jenis Izin
1.
2.
Kab. Purbalingga
Kota
Kota
Makassar
Banjarbaru
0-350.000
35.000-200.000
100.000-1.000.000
75.000-150.000
3.
50.000-150.000
35.000-500.000
4.
5.
6.
7.
500/m2
2.500 m2
100.000/hari
Minggu: 3.400-34.000, Bulan: 3.600-
172
IMB
15.000-300.000/m2
9.
350-3.500
8
300-750/m2
300-1.500/m2
400-750/hari, 6.500/
bulan, 55.000/tahun
400.000/titik
(SIPA)
14. Izin Eksplorasi Air Bawah Tanah
500.000/titik
550.000-750.000
(SIPPAT)
c.
250.000
d.
450.000
5.000
150.000 - 300.000
150.000
150.000
300.000
300.000
200.000-300.000
Gigi
23. Izin Praktik Bidan
100.000
173
100.000
50.000 - 100.000
20.000-100.000
25.000-200.000
150.000-1.000.000
10.000-250.000
150.000-1.800.000
50.000-200.000
50.000-500.000
100.000-216.000
150.000-500.000
pelayanan perizinannya adalah 14 hari. Adapun untuk jenis pelayanan perizinan yang paling
banyak dilayani dilakukan oleh Kota Banjarbaru. Jenis izin tidak hanya terkait dengan pelayanan
perizinan saja, tapi nonperizinan juga dilayani. Sedangkan untuk Kabupaten Purbalingga dan
Kota Makassar, jenis pelayanan hanya diberikan untuk perizinan saja.
Dari segi transparansi biaya, Kabupaten Purbalingga dan Kota Banjarbaru sudah
mencantumkan biaya untuk setiap izin. Pembuat izin dapat melihat langsung berapa biaya yang
harus dibayar melalui informasi yang ada di Kantor Pelayanan Perizinan setempat atau
menggunakan media lain, seperti pamflet dan media sejenis lainnya. Adapun di Kota Makassar
sampai dengan penelitian dilakukan tidak mencantumkan biaya perizinan. Besaran biaya izin
ditentukan oleh dinas teknis terkait. Papan informasi mengenai biaya izin tidak tampak di dalam
Kantor Pelayanan Perizinan. Dari sisi pembayaran biaya izin, Kabupaten Purbalingga dan Kota
Banjarbaru memiliki mekanisme pembayaran retribusi izin langsung di kantor pelayanan
perizinan melalui kasir. Jika Kota Makassar tidak ada transparansi biaya izin, untuk mekanisme
pembayaran biaya izin dapat langsung dilakukan di bank daerah setempat (Bank Daerah Sulsel).
Kantor pelyanan perizinan Kota Makassar juga menyediakan loket khusus untuk bank daerah
Sulsel dalam melayani pembayaran izin. Bukti pembayaran izin ini nantinya yang akan dijadikan
legitimasi untuk mengambil izin yang telah selesai diurus. Akses kemudahan pembayaran
retribusi izin ini yang tidak dimiliki oleh Kabupaten Purbalingga dan Kota Banjarbaru. Namun di
sisi lain, transparansi biaya yang ada di Kota Makassar juga menjadi kelemahan sangat mendasar
dalam proses pelayanan perizinan pada era otonomi daerah.
175
Tabel 6.3
Tipologi Pelayanan Perizinan Usaha
Daerah
Kabupaten Purbalingga
Kota Makassar
Kota Banjarbaru
Aspek
bagi investor.
KKN
Misi:
perizinan;
Meningkatkan partisipasi
pelayanan perizinan;
Makassar.
-
176
Figur Pemimpin
Daerah
meningkatkan investasi di
membenahi pelayanan
daerahnya.
investasi di daerahnya.
investasi di daerahnya.
Lokasi Kantor
pelayanan lainnya;
-
representatif.
kurang representative.
177
berlaku;
yang berlaku;
berlaku;
-
Sosial Budaya
munculnya budaya
sampai 12 hari
hari.
Biaya
dipublikasikan.
Rp500,00 s.d. Rp1.800.000,00.
178
sanitasi;
berkembang pesat
Pembangunan perumahan
kurang terlihat;
Masuknya Investor
suara, air.
keluarga.
-
aktif;
Peran Kadin dan
Lembaga lain
dan pengusaha;
masih minim.
-
179
Sumber Daya
terpenuhi
-
terpenuhi;
tercukupi seluruhnya;
Manusia
sipil.
Perwakilan Dinas
Ada
Tidak Ada
Tidak Ada
Teknis di Kantor
Perizinan
Penggunaan
Teknologi
mengenai KPPT;
pengaduan;
dikeluarkan;
-
180
Perizinan
Dukungan Dana
televisi
cetak
industri rambut
Mekanisme
dari APBD
APBD
Dampak Investasi
APBD
Tersedia melalui:
Tersedia melalui:
Tersedia melalui:
Telepon;
Telepon;
Telepon;
Surat menyurat;
Surat menyurat;
Website;
Pengaduan
persiapan);
KPPT.
Surat menyurat;
Website;
Datang langsung ke
pengaduan BP2T.
181
pusat.pengaduan KP2T
Memperhatikan
kelestarian
lingkungan
-
lama
182
Tabel 6.4
Penilaian Aspek Tipologi Perizinan Usaha di Daerah
Tipe
Visi
Figur
Lokasi
Karakter
Misi
Pemimpin
Kantor
Budaya
Waktu
Biaya
Daerah
Dampak
Peran
Sosial
SDM
Perwakilan
Penggunaan
Bentuk
Dukungan
Dampak
Mekanisme
Kadin
Dinas
Teknologi
Sosialisasi
APBD
Investasi
Pengaduan
Masuknya
dan
Teknis
Investor
Lembaga
lain
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Cukup
baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Cukup
Kurang
Cukup
Cukup
Baik
Cukup
Baik
Cukup
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Cukup
Baik
Baik
Baik
Cukup
Cukup
Baik
Baik
Cukup
Baik
Cukup
Cukup
Baik
183
Keterangan
Tipe A: Kab Purbalingga
Tipe B: Kota Makassar
Tipe C: Kota Banjarbaru
184
utama
keberhasilan
Kabupaten
Purbalingga
dalam
menyinergikan
komitmen
penyelenggaraan pelayanan perizinan yang cepat, murah, dan transparan dengan potensi yang
ada.
Visi dan misi yang dicanangkan bupati terpilih juga tercermin dari komitmennya untuk
memperbaiki dan mengembangkan penyelenggaraan pelayanan perizinan usaha. Responsifnya
pelayanan perizinan yang diberikan oleh Pemda setempat tidak lepas dari keinginan Pemda
setempat untuk menjadikan Purbalingga sebagai gerbang kota investasi daerah. Dukungan politik
yang diberikan pemangku kebijakan, dalam hal ini kepala daerah, mampu mengubah
penyelenggaraan pelayanan perizinan yang proinvestasi. Berbagai inovasi layanan perizinan,
baik dalam bentuk insentif atau kemudahan memperoleh izin usaha tidak lepas dari andil
pemangku kebijakan.
Inovasi dari dukungan Pemda kepada Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten
Purbalingga terlihat ketika inovasi yang sudah diimplementasikan lebih cepat dari inovasi
standar pelayanan minimal pelayanan perizinan yang diterbitkan oleh pemerintah pusat. Salah
satu inovasi insentif pelayanan yang cukup fenomenal yang diberikan Pemda Kabupaten
Purbalingga adalah terbitnya pembebasan retribusi izin. Melalui Peraturan Bupati No.53 Tahun
2007 Tentang Pembebasan Retribusi Izin Gangguan (HO), Tanda Daftar Industri, Izin Usaha
185
Perdagangan, dan Wajib Daftar Perusahaan Bagi Usaha Kecil (Mikro) memberikan manfaat dan
apresiasi yang luas oleh para pelaku usaha.
Berbagai daya tarik investasi ini yang kemudian membuat para investor, khususnya
investor asing merasa nyaman melakukan kegiatan usaha di Kabupaten Purbalingga. Di samping
itu, budaya yang tercipta di kalangan pelaku usaha dalam hal pengurusan izin juga sangat
kooperatif karena kemudahan yang diberikan. Metode jemput bola yang dilakukan pegawai
pelayanan perizinan ikut membantu masyarakat sekaligus proses sosialisasi akan pentingnya
pengurusan izin usaha kepada para pelaku usaha.
Faktor kepemimpinan yang sangat menonjol di segala bidang pelayanan, khususnya
pelayanan perizinan usaha memang memberikan implikasi positif bagi kemajuan Kabupaten
Purbalingga secara umum. Para stakeholder, khususnya pengusaha menyatakan hal yang sama.
Dukungan fasilitasi, kemudahan perizinan, ketersediaan infrastruktur, sarana dan prasarana, serta
bentuk interaksi dua arah yang cukup berimbang menjadi benang merah proses transformasi
Kabupaten Purbalingga menjadi kota investasi.
Peran pemimpin daerah dalam menerjemahkan fungsi pemerintah dalam kegiatan usaha
juga cukup baik. Artinya, peran Pemda Purbalingga sebagai aktor dalam melakukan regulasi,
pembinaan, fasilitasi, dan intermediasi cukup terlihat. Sinergitas ini yang coba dibangun oleh
pemangku kebijakan sebagai pondasi utama yang terartikulasi dalam langkah-langkah
pengembangan kegiatan usaha dan investasi.
pelayanan
penyelenggaraan
pelayanan
perizinan
usaha
di
Kota
Makassar,
kecenderungan saat ini persepsi masyarakat memang lebih baik. Masyarakat yang ingin
mengajukan izin menjadi lebih tahu kapan izin selesai. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri,
praktik budaya permisif yang selama ini menjangkiti penyelenggaraan pelayanan publik di
negara ini masih saja ada. Masih ada beberapa orang yang mengurus izin tanpa mengikuti
mekanisme dan prosedur yang berlaku. Alasan umum yang ditemui terkait dengan keinginan
beberapa orang agar mendapatkan izin secara cepat. Mereka pun rela mengeluarkan biaya lebih
tinggi untuk melakukan hal itu. Di samping itu, dalam proses pelayanan perizinan usaha di Kota
Makassar juga masih ada beberapa oknum aparat tidak bertanggung jawab yang menjadi calo
izin, dan menawarkan jasanya untuk mengurus proses izin menjadi lebih cepat dari prosedur
yang ditetapkan.
Jika melihat karakteristik penyelenggaraan pelayanan perizinan di Kota Makassar, tidak
dapat dipungkiri permintaan dari masyarakat untuk mengurus izin sangat tinggi. Data agregat
yang didapatkan dari kantor pelayanan perizinan Kota Makassar menunjukkan pertumbuhan izin
usaha di Kota Makassar dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang signifikan.
Perkembangan ini menjadi salah satu yang tertinggi di Indonesia, di samping juga proses
perbaikan pelayanan yang dilakukan oleh Pemkot setempat. Namun, beberapa keterangan yang
disampaikan oleh narasumber memberikan gambaran bahwa tingginya kuantitas izin usaha di
Kota Makassar disebabkan oleh faktor utama potensi daerahnya. Potensi ini dapat dilihat dari
letak demografis yang strategis dan infrastruktur yang menunjang kegiatan usaha (pelabuhan,
jalan, kawasan industri, dan sebagainya).
Namun demikian, kita juga harus melihat bahwa izin yang masuk ke KPAP Kota
Makassar sebagian besar adalah para investor nasional dan internasional yang sebelumnya telah
membuat izin ke Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) ketika menanamkan
modalnya di Kota Makassar. Kedudukan KPAP Kota Makassar dalam rangkaian perizinan
investasi yang membutuhkan koordinasi dengan pemerintah pusat hanya memiliki kewenangan
untuk memberikan izin pelaksanaan di daerah yang sifatnya teknis. Jadi, jumlah izin yang ada di
187
Kota Makassar tidak dapat direpresentasikan semuanya dikeluarkan oleh KPAP Kota Makassar
dari awal sampai dengan keluarnya izin usaha. Berikut ini gambar alur perizinan investasi yang
melibatkan BKPM (selaku perwakilan pemerintah pusat) dan posisi KPAP Kota Makassar
sebagai perwakilan pemerintah daerah.
Gambar 6.1
Alur Pengajuan Persetujuan/Perizinan dalam Rangka
Pendirian Perusahaan PMDN dan PMA
mengurus izin untuk jenis usaha besar (PMA dan PMDN) sebelumnya sudah melakukan proses
pengajuan izin di tingkat pusat melalui BKPM dan lembaga terkait. KPAP Kota Makassar
kemudian melengkapi proses rangkaian pengurusan izin ini dari sisi teknis perizinan usaha di
tingkat daerah. Hal ini yang kemudian memunculkan praktik rent seeking karena permintaan
investor yang tinggi dan ingin cepat menyelesaikan izin usahanya, tidak mengikuti standar
prosedur di KPAP Kota Makassar.
Signifikansi korelasi antara perbaikan penyelenggaraan pelayanan perizinan usaha yang
dilakukan oleh Pemkot Makassar dan kenaikan jumlah izin usaha dari keterangan berbagai
narasumber (khususnya pelaku usaha) tidak terlalu signifikan. Pengungkit utama berkembangnya
kegiatan usaha justru dipengaruhi oleh potensi daerah yang memicu para pelaku usaha untuk
berlomba-lomba mendirikan usaha di Kota Makassar. Karakteristik ini tentu saja berbeda dengan
yang terjadi di Kabupaten Purbalingga. Berkembangnya jumlah usaha dan kegiatan investasi di
Kabupaten Purbalingga justru sangat dipengaruhi oleh faktor kepemimpinan kepala daerah
sehingga menciptakan berbagai inovasi pelayanan perizinan usaha.
Namun demikian, semangat untuk melaksanakan tata kelola pemerintahan yang baik
penyelenggaraan pelayanan perizinan usaha di Kota Makassar terus ditingkatkan dengan adanya
berbagai perbaikan dan perubahan yang dilakukan Pemkot setempat. Perbaikan infrastruktur
menjadi perhatian utama dari pemangku kebijakan untuk mendukung pelayanan perizinan usaha
yang lebih maksimal. Semangat para pengusaha yang tergabung dalam berbagai forum, baik
resmi atau tidak resmi juga terus meningkatkan hubungan kepada pemerintah selaku regulator,
walaupun prosesnya belum berjalan maksimal.
189
penguatan kapasitas organisasi, dan mekanisme sistem kerja yang ada saat ini masih terus
ditingkatkan sampai dengan tahap ideal yang ingin dicapai.
Wacana relokasi ibukota Kalimantan Selatan dari Banjarmasin ke Banjarbaru ikut
memengaruhi rencana kebijakan Pemkot Banjarbaru untuk berbenah. Walaupun dari sisi alokasi
dana kantor pelayanan perizinan Kota Banjarbaru tidak mendapatkan dukungan yang maksimal
dari Pemkot setempat, proses perbaikan sarana dan prasarana serta mekanisme kerja organisasi
tetap dilaksanakan secara maksimal. Ini terbukti dari masuknya sektor swasta yang membantu
pengadaan sarana dan prasarana kantor pelayanan perizinan Kota Banjarbaru. Dukungan swasta
ini menjadi penting untuk menutupi minimnya alokasi dana dari pemerintah daerah.
Faktor kepemimpinan dari kepala kantor pelayanan perizinan terpadu sangat
memengaruhi budaya organisasi dan pengembangan organisasi. Standar pelayanan minimum dan
pengaturan sumber daya manusia terus diperbaiki dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat. Aktivitas interaksi antara pemimpin dan pegawai di kantor pelayanan perizinan rutin
dilakukan setiap hari, seperti pengarahan kegiatan kerja pegawai, pemberitahuan informasi
organisasi, sampai dengan prosesi pembacaan doa bersama.
Kelemahan utama yang dikeluhkan oleh daerah (Kab. Purbalingga, Kota Makassar, dan
Kota Banjarbaru) ketika proses penelitian ini berlangsung adalah pemerintah pusat memukul rata
semua daerah dalam mengimplementasikan peraturan pelayanan perizinan. Kota Makassar
misalnya, berpendapat peraturan yang dibuat pemerintah pusat sejatinya dapat juga memberikan
ruang bagi daerah agar dapat memodifikasi pelayanan perizinan usahanya. Idealnya, jarak antara
kantor pelayanan perizinan dan dinas teknis terkait tidak terpisah. Dinas-dinas teknis yang
berkontribusi dalam memberikan legitimasi (pertimbangan dan memberikan izin) ketika proses
pengajuan izin berlangsung harus berada dalam satu area dengan kantor pelayanan perizinan.
Selain memangkas waktu, rentang kendali antara kantor pelayanan perizinan dan dinas teknis
akan menjadi lebih mudah.
Format ideal pun ditawarkan dan diwacanakan oleh kantor perizinan usaha Kota
Makassar. Pada prinsipnya, dengan direlokasikannya dinas-dinas teknis pendukung untuk
pelayanan perizinan usaha ke dalam satu areal (kompleks), maka proses koordinasi dan rentang
kendali dapat dilakukan dengan lebih efisien. Waktu pengurusan izin pun akan dapat dipangkas.
Adapun gambaran layout kantor pelayanan perizinan usaha yang dikehendaki oleh KPAP Kota
Makassar adalah sebagai berikut.
191
Gambar 6.2
Format Ideal Komplek Kantor Perizinan Usaha
Usulan KPAP Kota Makassar
Frontliner
DINASTEKNIS
DINASTEKNIS
KANTORPELAYANAN
PERIZINANSATU
PINTU
DINASTEKNIS
(ONESTOPSERVICES)
DINASTEKNIS
C
Sumber: Hasil Olahan Data Lapangan
Apabila format relokasi kantor pelayanan perizinan usaha ideal Kota Makassar msih
sebatas tahap rencana, KPPT Kabupaten Purbalingga sudah menerapkan format yang hampir
sama itu. Benang merahnya adalah saat ini pegawai KPPT Kabupaten Purbalingga juga diisi oleh
pegawai dari dinas teknis yang mendukung proses pembuatan izin. Di dalam KPPT, pegawaipegawai terbaik yang dimiliki oleh masing-masing dinas teknis pendukung (misalnya Dinas
Perindustrian dan Perdagangan dan sebagainya) bekerja di dalam satu kantor yang sama (KPPT).
Tujuannya sama dengan gagasan yang disampaikan oleh KPAP Kota Makassar, yaitu
memperkecil rentang kendali penyelenggaraan izin. Selain memangkas dari sisi waktu dan biaya,
192
koordinasi juga akan berjalan dengan lebih efektif jika seluruh perwakilan dinas teknis tergabung
dalam satu kantor.
Gambar 6.3
Format Layout Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu
Kabupaten Purbalingga
Frontliner
KANTORPELAYANANPERIZINANTERPADU
PERWAKILAN
PEGAWAIDINAS
TEKNIS
PERWAKILAN
PEGAWAIDINAS
TEKNIS
PERWAKILAN
PEGAWAIDINAS
TEKNIS
PERWAKILAN
PEGAWAIDINAS
TEKNIS
B
Sumber: Hasil olahan data lapangan
193
194
Gambar 6.4
Format Ideal Kantor Perizinan BP2T Kota Banjarbaru
Pimpinan kepala BP2T Kota Banjarbaru memberikan pandangan dan impian bahwa
untuk ke depannya fungsi BP2T yang lebih banyak berfungsi sebagai kotak pos harus segera
dibenahi. Kantor dinas teknis idealnya tidak lagi berada terpisah dengan kantor BP2T, tapi
berada dalam satu area kantor sehingga rentang kendali dan proses verifikasi berkas administrasi
bisa dilakukan dalam satu kantor. Jenis izin idealnya juga tidak hanya terfokus pada perizinan
usaha semata, tapi juga diperbanyak dengan memberikan pelayanan selain perizinan usaha. Dari
sisi pendelegasian wewenang dan rentang kendali kewenangan, BP2T dan kantor kecamatan
idealnya juga terkoordinasi dalam satu koridor sehingga nantinya tercipta tahapan proses izin
yang berjenjang dan saling terkait satu sama lainnya. Kelengkapan berkas administrasi yang
melibatkan kepala desa atau lurah selama ini dianggap cukup memperlambat proses pembuatan
izin sehingga diperlukan satu pintu untuk mengakomodasi dan mempercepat kelengkapan berkas
yang dibutuhkan.
195
Karakteristik penyelenggaraan perizinan usaha yang diinginkan oleh BP2T jika berkaca
pada daerah yang berhasil menerapkan pola ini adalah Kabupaten Sragen. Badan layanan ini
bertujuan untuk mewujudkan pelayanan prima dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas kinerja
aparatur pemerintah dalam rangka mendorong kelancaran pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Desentralisasi kewenangan dalam bentuk konsep small management di tingkat kecamatan dan
tingkat desa juga dibuat untuk pengurusan izin-izin yang didesentralisasikan. Badan Pelayanan
Terpadu mengurus 59 perizinan dan 10 nonperizinan. Pelayanan publik yang diberikan oleh
Badan Pelayanan Perizinan Kabupaten Sragen tidak hanya mengurus izin perizinan usaha
semata, tapi juga melayani izin lainnya. Dengan mekanisme pelayanan seperti ini, BP2T
mengharapkan pemberian izin dapat berjalan dengan maksimal, baik pelayanan untuk perizinan
maupun nonperizinan.
Berikut ini pemaparan singkat best practice potret keberhasilan Kabupaten Sragen dalam
melakukan reformasi birokrasi penyelenggarakan pelayanan perizinan. Dipilihnya Kabupaten
Sragen sebagai gambaran keberhasilan pelayanan perizinan usaha tidak lepas dari apresiasi dan
penghargaan pemerintah pusat dan pemda lain. Sebagian besar data yang ditampilkan dalam
pembahasan ini berasal dari bahan presentasi Kegiatan Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana
Perizinan Bidang Perekonomian (Penyusunan Pedoman Deregulasi dan Debirokratisasi Proses
Perizinan di Bidang Perekonomian yang disusun oleh Kantor Kementerian Negara PAN dan RB
dan PKPADK FISIP UI.
Latar belakang proses debirokratisasi penyelenggaraan pelayanan perizinan Kabupaten
Sragen diawali dari Keputusan Menpan No.81 tahun1993 tentang Pedoman Tatalaksana
Pelayanan
Umum.
Maksud
didirikannya
BPT
Kabupaten
Sragen
adalah
untuk
menyelenggarakan pelayanan perizinan dan nonperizinan yang prima dan dalam satu pintu. Hal
tersebut diharapkan dapat mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif bagi penanaman
modal dan investasi dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat Kabupaten Sragen.
Adapun prinsip dari pelayanan prima adalah sebagaimana yang tertuang dalam Keputusan
Menpan No.81 Tahun 1993, antara lain sederhana, jelas, aman, transparan, effisien, ekonomis,
adil dan tepat waktu.
Dibentuknya Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Sragen oleh Pemda setempat bertujuan
untuk mewujudkan pelayanan prima (khususnya pelayanan perizinan), meningkatkan efisiensi
dan efektivitas kinerja aparatur Pemda Sragen, mendorong kelancaran pemberdayaan ekonomi
rakyat, dan yang tidak kalah penting adalah mengubah image dan kepercayaan masyarakat yang
rendah terhadap Pemerintah akibat cara pelayanan yang buruk, diskriminasi pelayanan, serta
pungli yang tidak wajar.
Berbagai perubahan pun dilakukan oleh Pemda untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Dalam rangka mewujudkan konsep pelayanan terpadu one stop service, Pemda
Sragen mengubah format Kantor Perizinan Terpadu (KPT) menjadi Badan Perizinan Terpadu
(BPT). Proses debirokratisasi ini dilandasi oleh Perda Kab. Sragen No.15 tahun 2003 yang
kemudian diperbaiki dengan keluarnya Perda Kab. Sragen No.4 Tahun 2006. Berikut ini
perubahan dan perbedaan struktur organisasi KPT menjadi BPT di Kabupaten Sragen.
197
Gambar 6.5
Perubahan Format KPT menjadi BPT Kabupaten Sragen
Berdasarkan Perda Kab. Sragen
Nomor 15 Tahun 2003
Adapun untuk fungsi dinas dalam pelayanan perizinan yang diselenggarakan oleh BPT
Kabupaten Sragen memiliki empat tugas utama, antara lain:
Desentralisasi kewenangan kepada struktur organisasi yang lebih rendah, yaitu untuk
ranah kecamatan dan desa juga diatur dan terintegrasi dengan sistem pelayanan yang
198
diselenggarakan oleh BPT Kabupaten Sragen. Konsep small management ini memberikan
wewenang kepada kecamatan dan desa untuk menyelenggarakan perizinan sendiri. Berikut
pelayanan perizinan yang diselenggarakan di tingkat kecamatan dan desa Kabupaten Sragen.
Tabel 6.6
Daftar Layanan Izin BPT Sragen
Tingkat Kecamatan
1. Pembuatan KTP dengan on line system
Tingkat Desa
1. Penetapan SK Pengangkatan Lurah
Desa Terpilih
2. Izin Perhelatan
2. Penetapan SK Pengangkatan
3. Izin Penggunaan/penutupan jalan
4. Izin Pertunjukan/Hiburan
5. Izin Tempat Usaha (skala kecil)
6. Izin Salon (skala kecil)
Kekayaan Desa
6. Pembentukan Badan Usaha Milik
Desa
7. Pelaksanaan Pembangunan
Pedesaan
12. Penerbitan KK
8. Pembentukan Satgas Desa
13. Melaksanakan pengawasan proyek-proyek
pembangunan yang ada diwilayah kecamatan.
199
Dengan adanya semangat perubahan yang sedang dilakukan oleh Pemda Kabupaten
Sragen, perubahan ke arah penerapan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik pun dilakukan.
Salah satunya dengan menyederhakan mekanisme syarat pengajuan izin dan memperbarui
standar waktu pelayananan. Biaya yang dibebankan kepada calon pemohon izin juga disesuaikan
dengan peraturan yang berlaku dan bersifat terbuka. Untuk memberikan kemudahan dalam
kegiatan usaha kepada pengusaha pemula, Kabupaten Sragen juga memberikan keringanan
Pembuatan SIUP dan TDP. Selain itu, bantuan gratis pembuatan SIUP dan TDP juga diberikan
untuk semua perizinan di kawasan Industri: pengusaha kecil, besar, dan kegiatan industri ramah
lingkungan yang menyerap 100 tenaga kerja di zona industri seluas 720 ha. Pola pemberian
subsidi gratis pembuatan SIUP dan TDP untuk pengusaha pemula ini juga dilakukan oleh
Kabupaten Purbalingga, Kota Makassar, dan Kota Banjarbaru, walaupun dengan mekanisme
yang berbeda.
Perbedaan implementasi pelayanan one stop service di Kabupaten sebelum dan sesudah
memang mengalami perbedaan. Pemetaaan masalah yang terjadi sebelum adanya reformasi
perizinan usaha adalah masalah waktu dan biaya yang tidak jelas, pungli yang tidak wajar,
rentang kendali yang panjang karena melalui beberapa instansi, serta pelayanan yang buruk.
Pelayanan perizinan yang dilakukan BPT Kabupaten Sragen secara umum terbagi
menjadi dua, yakni perizinan dan nonperizinan. Adapun waktu untuk mengurus proses izin,
bervariasi antara 1 hari sampai dengan maksimal 12 hari. Berikut deskripsi selengkapnya.
200
Tabel 6.7
Pelayanan Perizinan BPT Kabupaten Sragen
Pelayanan Perizinan BPT Kabupaten Sragen
1. Izin Prinsip
2. Izin Lokasi
(HO/ ITU)
32. Rekomendasi Pendirian Pusat Kebugaran
5. Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)
33. Rekomendasi Pendirian Salon Kecantikan
6. Izin Usaha Industri (IUI)
34. Rekomendasi Pendirian Lembaga Pendidikan
7. Tanda Daftar Perusahaan (TDP)
35. Rekomendasi Praktik Bersama Dokter Spesialis
8. Tanda Daftar Industri (TDI)
36. Tanda Daftar Gudang (TDG)
9. Izin Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum
37. Perizinan Penggunaan Ketel Uap, Minyak untuk
10. Izin Usaha Rumah Makan
11. Izin Usaha Salon Kecantikan
setiap Ketel
38. Perizinan Penggunaan bejana Uap/Pemanas Air atau
ekonomiser yang berdiri sendiri/penguapan
201
18. Izin Praktik bersama Dokter umum/Gigi
202
Tabel 6.8
Pelayanan Nonperizinan BPT Kabupaten Sragen
Pelayanan Nonperizinan Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Sragen
diproses bersamaan, dan selesai di satu tempat. Waktu yang dijanjikan oleh BPT Kabupaten
Sragen untuk mengurus izin juga lebih jelas, yaitu maksimal 12 hari izin sudah selesai semua.
Penyelenggaraan izin juga dirasakan lebih cepat, mudah, nyaman, dan transparan.
Berdasarkan survei kepuasaan pelanggan, score index yang diperoleh nilainya 81 di mana nilai
ini masuk dalam kategori sangat memuaskan. Selain itu, waktu penyelesaian proses izin juga
lebih cepat 30% dari waktu yang ditentukan. Keberhasilan ini menjadi cermin bahwa program
pelayanan prima yang dibangun dan dikemas oleh Kabupaten Sragen berhasil mengurangi
kelemahan yang ada sebelum program one stop service dilaksanakan.
Berdasarkan capaian keberhasilan yang diperoleh Pemda Kabupaten Sragen, terdapat kunci
sukses yang dinilai menjadi pengungkit utama berjalannya reformasi pelayanan perizinan one
stop service. Untuk dapat melayani masyarakat dengan prima, tugas birokrat (BPT) adalah
memberikan pelayanan sebagai berikut:
1. BPT perlu kewenangan yang penuh (menerima, memproses, menandatangani);
2. Dinas teknis tetap berfungsi pada tugas substansinya (membina dan mengawasi perizinan);
3. BPT perlu komitmen kepala daerah, dukungan dinas, dan DPRD;
4. BPT perlu merubah sikap mental sebagaimana tata nilai profesional swasta; dan
5. Ada pengertian dengan mengurus izin masyarakat mendapat banyak manfaat.
204
Tabel 6.9
Multiplayer Effect Keberadaan BPT Sragen
Investasi
Penyerapan
Jumlah
Perkembangan
Pertumbuhan
meningkat
tenaga kerja di
perusahaan yang
jumlah
ekonomi
sektor industri
memiliki
perizinan
meningkat
meningkat
legalitas usaha
meningkat
(%)
2002: 592 M
2002: 40.785
2002: 6.373
2002: 2.027
2003: 703 M
2003: 41.785
2003: 6.280
2004: 926 M
2004: 44.566
2004: 7.425
2005: 955 M
2005: 46.794
2005: 8.105
2006: 5.274
2006: 27%
2007: 4.548
2004: 4,53
2003: 3.170
2005: 5,06
2004: 3.332
2006: 1,2 T
2005: 4.072
2006: 5,83
2007: 6,08
2007: 1,3 T
Peningkatan potensi fiskal (dari urutan 8 terbawah menjadi di atas rata-rata nasional) pada
tahun 2003, atau naik 250% dibanding sebelumnya;
205
Model Best Practice Layanan Perizinan Usaha pada Era Otonomi Daerah
Gambar 6.6
Model Best Practice Perizinan Usaha yang Integratif
Temuan, paparan, dan analisis dalam penelitian ini dapat diabstraksikan ke dalam sebuah
model best practice perizinan usaha yang integratif. Model ini menjelaskan bagaimana best
practice perizinan usaha suatu daerah dapat terbangun pada era otonomi daerah yang memiliki
berbagai permasalahan dan harus menghadapi tantangan kompleks. Model ini terdiri dari tiga
komponen utama, yaitu komponen modal masyarakat dan karakteristik daerah, komponen modal
pemerintahan (governance dalam arti luas), dan komponen model pemerintah pusat.
206
Komponen pertama adalah modal masyarakat dan karakteristik daerah. Letaknya ada di
bagian paling bawah model tersebut. Komponen ini berupa modal, kapasitas, kapabilitas,
karakteristik khas yang dimiliki daerah tersebut dan melekat pada masyarakat setempat. Di
dalamnya terbagi-bagi menjadi enam subkomponen sebagai berikut:
a.
Ketersediaan dan kualitas tenaga kerja, adanya modal finansial, dan sumber daya
alam yang dimiliki daerah tersebut;
b.
Bahan baku yang tersedia dan sejauh mana proses produksi bisa berjalan dengan
baik dalam mendukung rantai produksi perusahaan sehingga menciptakan nilai
tambah (value added);
c.
d.
Tentu tidak kalah pentingnya adalah terjaganya ketertiban, keamanan, dan cita
rasa keramahan masyarakat;
e.
f.
Seberapa besar pasar yang ada di wilayah tersebut dan kemampuan teknologi
yang dimiliki para pelaku usaha.
Komponen kedua adalah modal pemerintahan (governance dalam arti luas). Dalam
komponen kedua yang terpenting adalah bagaimana visi dan misi daerah dapat disusun dengan
mempertimbangkan interpretasi atas modal pemerintah pusat berupa peraturan-peraturan
pemerintah pusat dan intepretasi atas modal masyarakat dan karakteristik kedaerahan yang
dimiliki oleh daerah tersebut. Dua arus intepretasi besar ini sangat dinamis. Di satu sisi,
peraturan-peraturan pusat kadang secara substansi terlalu umum atau melakukan generalisasi
untuk (pukul rata) seluruh wilayah Indonesia. Belum lagi seringnya aturan pusat itu berganti
207
ketika implementasi di daerah belum berjalan dengan sempurna akibatnya minimnya sosialiasi.
Hal ini semakin rumit bila peraturan tersebut merupakan produk pertarungan kepentingankepentingan tertentu demi meraih kekuasaan atau melanggengkannya.
Sedangkan di sisi yang lain, kemampuan intepretasi pemerintah daerah atas modal
masyarakat dan karakteristik wilayah juga tidak kalah penting. Diperlukan kejelian melihat,
menganalisis, lalu akhirnya mengejawantahkan modal tersebut ke dalam bentuk visi dan misi
daerah. Jadi, visi dan misi daerah merupakan produk akhir dari tarikan-tarikan intepretasi atas
peraturan pemerintah pusat dan modal masyarakat dan karakteristik daerah. Hasil akhir visi dan
misi daerah tidak bisa serta merta dikatakan sebagai intepretasi yang lebih berat dari salah satu
sisi saja, misalnya apakah intepretasi atas peraturan-peraturan pemerintah (central government
heavy) atau intepretasi atas masyarakat dan karakteristik daerah (local heavy). Tentu, seberapa
besar komposisi di antara keduanya hanya diketahui dan dipahami oleh pemerintahan daerah
dengan segenap pranata politik, pelaku usaha, dan masyarakat di daerah tersebut.
Ternyata intepretasi atas dua komponen tersebut tidaklah cukup karena dalam
penyusunan visi dan misi daerah faktor-faktor yang memengaruhi sangat kompleks. Merujuk
pada model di atas, di dalam lingkaran penyusunan visi dan misi daerah dipengaruhi juga oleh
subelemen lain yaitu:
a.
Kekuatan dan pengaruh globalisasi yang paling tidak akan menimbulkan tuntutan
pembebasan tarif atau penurunan tarif hingga seminim mungkin, terjadi arus
masuk dan keluar barang (free flow of goods) dan jasa (free flow of services),
hingga sumber daya manusia (free of natural person/skilled-labor);
b.
208
c.
Otonomi daerah (power shifting from central to local government) dan pemberian
wewenang yang lebih besar kepada daerah sebenarnya bisa menjadi peluang.
Daerah bisa mengejawantahkan pemikiran-pemikiran mereka sendiri, dan
akhirnya mengimplementasikannya tentu setelah ditetapkan dana visi dan misi
daerah;
d.
Tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) berperan penting untuk
mengatur tata hubungan antarlembaga sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya,
mengatur agar tidak ada penyalahgunaan wewenang (abuse of power) di antara
para aktor yang terlibat. Dengan demikian, ide-ide tersebut dapat disusun tidak
hanya secara sistematis dan secara substantif memenuhi syarat, tetapi juga secara
prosedural dan mekanismenya pun jelas. Akhirnya, dengan adanya tata kelola
yang baik ini menjamin adanya transparansi, akuntabilitas, responsibilitas,
keadilan, dan independensi di dalam proses pemerintahan daerah.
Dari modal pemerintahan (governance dalam arti luas) lahirlah suatu kreativitas,
terobosan-terobosan berupa inovasi yang bertujuan meningkatkan pembangunan daerah. Tidak
lain tidak bukan, inovasi ini lahir dari proses di dalam modal pemerintahan setelah
mempertimbangkan dinamika intepretasi modal pemerintah pusat dan modal daerah dalam
bentuk investasi. Untuk dapat melahirkan inovasi tentunya kita harus melalukan serangkaian
investasi. Ada yang berisiko tinggi dengan imbal yang tinggi (high risk, high return), atau
investasi dengan risiko sedang atau rendah dengan imbal yang tentu tidak setinggi investasi tipe
lainnya.
Serangkaian investasi dalam konteks ini adalah bidang usaha ekonomi yang bertujuan
untuk mendorong penanaman modal yang lebih tinggi lagi baik secara domestik (dari daerah itu
maupun dari luar daerah tersebut) hingga penanaman modal asing dari luar negeri. Inovasi yang
terus-menerus, kadang gagal tapi tak sedikit yang berhasil, akhirnya melahirkan best practice
dalam perizinan usaha (praktik terbaik reformasi perizinan usaha).
209
Hal terakhir yang tidak bisa ditinggalkan adalah langkah yang dilakukan pelaku
pemerintahan.
Pelaku
usaha
di
daerah
(dalam
modal
pemerintahan)
harus
pula
210
VII
PENUTUP
menjadi pengungkit utama tumbuhnya permintaan izin secara kuantitatif. Namun demikian,
korelasi proses deregulasi penyelenggaraan pelayanan perizinan usaha, khususnya dalam
pembenahan infrastruktur kantor pelayanan perizinan usaha dengan naiknya jumlah izin dari
tahun ke tahun tidak terlalu signifikan di mata para pelaku usaha. Ketertarikan para pelaku usaha
untuk melakukan investasi lebih banyak dikarenakan faktor potensi daerah yang sangat
menjanjikan. Tidak jarang, demi mendapatkan sebuah izin para calon investor tidak menaati
mekanisme proses pengajuan izin baku yang ditetapkan oleh Pemkot Makassar, atau melakukan
praktik rent seeking. Adapun terkait dengan pemahaman masyarakat mengenai keterbukaan
dalam proses pengajuan izin usaha (dari sisi waktu dan biaya), masyarakat saat ini lebih jelas dan
tahu kapan izin yang sedang mereka ajukan akan keluar dibanding sebelum terjadinya perbaikan
pelayanan oleh Pemkot Makassar.
Karakteristik Kota Banjarbaru sebagai daerah yang sedang membangun membuat proses
pembangunan infrastruktur sarana dan prasarana serta pembentukan mekanisme kerja yang jelas
sedang dalam tahap pembangunan. Sebagai daerah yang direncanakan akan menjadi ibukota
Kalimantan Selatan menggantikan Banjarmasin, sektor usaha utama yang ada di Kota Banjarbaru
adalah usaha jasa. Dukungan keuangan dari Pemda yang masih terbatas diatasi dengan
mengikutsertakan sektor swasta sebagai mitra potensial. Pengadaan sebagian sarana dan
prasarana yang dimiliki kantor pelayanan perizinan Kota Banjarbaru ikut dibiayai oleh
perusahaan swasta. Namun, independensi kinerja dan pemberian izin untuk perusahaan yang
membantu pengadaan sarana kantor tetap terjaga. Learning organization di dalam pengelolaan
kantor pelayanan perizinan juga tercipta, termasuk peran kepala kantor yang terus melakukan
perbaikan dan inovasi untuk memperbaiki kelemahan dari penyelenggaraan pelayanan perizinan
usaha di Kota Banjarbaru.
Tiga hal utama yang diinginkan para investor dan pengusaha terkait investasi di daerah,
yakni penyederhanaan sistem dan perizinan, penurunan berbagai pungutan yang tumpang tindih,
dan transparansi biaya perizinan. Ketiga hal itu menjadi kunci utama dalam menjadikan
penyelenggaraan pelayanan perizinan sebagai pengungkit utama menjaring masuknya para
pelaku usaha di daerah. Tumpang tindih peraturan pusat dan daerah yang tidak hanya
menghambat arus barang dan jasa, tapi juga menciptakan iklim bisnis yang tidak sehat, perlu
dieliminasi. Komitmen penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik, deregulasi, dan
212
koordinasi berbagai peraturan pusat dan daerah merupakan starting point untuk memfungsikan
penyelenggaraan pelayanan perizinan usaha sebagai pengungkit kesejahteraan masyarakat lokal
melalui kegiatan usaha di daerah.
Buku ini sangat relevan dalam konteks perlunya mengkaji fenomena sosial, politik,
ekonomi, dan budaya dengan pisau kajian ilmu-ilmu sosial multidispliner. Reformasi perizinan
usaha tidak hanya relevan sebagai bagian dari kajian administrasi publik, otonomi daerah, namun
juga sebagai kajian ekonomi pembangunan. Secara khusus, bagaimana percepatan pembangunan
daerah dapat tercapai dengan memperbaiki iklim usaha, infrastruktur, mekanisme, dan faktorfaktor institusional lainnya.
Relevansi hasil kajian ini pun dapat ditarik ke ranah kajian ilmu hubungan internasional,
khususnya dalam melihat pengaruh globalisasi, perdagangan bebas dengan mengaitkannya
dengan investasi asing ke dalam negeri. Kajian ekonomi politik internasional dapat berperan
dengan menganalisis bagaimana hubungan pasar dan negara/pemerintah pusat, maupun daerah
dalam menarik investor asing. Sudah barang tentu, aspek diplomasi internasional dan hukum
internasional pun dapat masuk dalam ranah kajian ini.
Terakhir, tapi tak kalah pentingnya adalah kajian bisnis internasional. Apabila pemerintah
pusat dan daerah mampu bekerja sama dalam menarik investor asing, tentu pranata-pranata
ekonomi dan politik perlu disiapkan bagi kehadiran perusahaan-perusahaan asing. Dalam kondisi
demikian, diperlukan penciptaan lingkungan usaha yang bersabat terhadap investor asing
(investor-friendly environment), tanpa harus terkesan menghamba pada kepentingan asing.
Di sinilah kajian-kajian ini dapat ditindaklanjuti dengan penelitian lain yang lebih dalam
dan spesifik pada fokus yang lain. Pada akhirnya, buku ini dapat memperkaya khasanah ilmu
pengetahuan tentang otonomi daerah ini.
213
Perlu dilakukan percepatan implementasi pelayanan satu pintu (one stop service) di
semua daerah dalam rangka mencapai standardisasi penyelenggaraan pelayanan perizinan
usaha.
Peningkatan kapasitas aparatur daerah (kualitas dan kuantitas) sangat diperlukan karena
ketimpangan jumlah SDM dan beban kerja yang ditanggung masih belum ideal.
Mekanismenya dapat diatur melalui peraturan di tingkat pusat atau daerah sebagai wujud
political will pemangku kebijakan.
Implementasi format pelayanan perizinan usaha yang dibuat oleh pemerintah pusat tidak
dapat dijalankan dengan baik oleh seluruh daerah. Pemerintah pusat sebaiknya membuat
tipologi atau format perizinan yang sesuai dengan karakteristik wilayah dan kemampuan
daerah.
Terkait dengan koordinasi antarinstansi terkait, terlihat masih ada resistensi dari beberapa
dinas teknis dengan kantor/badan pelayanan perizinan. Untuk itu, perlu dibentuk
koordinasi baik vertikal maupun horizontal antarinstansi dan kesinambungan pembinaan
dinas teknis terkait.
214
Penyelenggaraan pelayanan perizinan usaha tidak lagi harus dibebani target penerimaan
PAD karena akan berimplikasi pada mahalnya tarif retribusi dan psikologis aparatur
daerah untuk memenuhi target penerimaan yang dibebankan Pemda/Pemkot.
Resistensi antara dinas teknis dan kantor/badan pelayanan perizinan usaha membuat
pemberian pelayanan perizinan usaha tidak kompetitif dan tidak efisien, khususnya dari
segi waktu. Oleh karena itu, integrasi dinas teknis ke dalam kantor/badan pelayanan
perizinan usaha seperti di Kabupaten Purbalingga, atau merelokasi dinas teknis menjadi
satu kompleks sangat diperlukan untuk mengatasi rentang kendali yang masih panjang
dan berbelit-belit.
Partisipasi pihak swasta dalam mendukung penyediaan sarana dan prasarana patut
didorong dan dikembangkan sehingga keterbatasan dukungan dana dari Pemda/Pemkot
tidak menjadi alasan berhentinya proses reformasi pelayanan perizinan di suatu daerah.
Partisipasi juga diperlukan dari pihak masyarakat dan pengusaha terkait dengan
pelaksanaan kajian pemerintah daerah dalam proses analisis pemberian izin kepada calon
pengusaha, terutama perusahaan besar.
daerah
dan
pengusaha
harus
digalakkan.
Salah
satunya
dengan
215
manual (berinteraksi langsung antara aparatur pemerintah daerah dan calon pemohon
izin) seringkali menimbulkan praktik rent seeking.
Pemerintah
harus
memikirkan
alternatif
solusi
pemberian
izin
usaha
yang
Perlu disusun Standar Pelayanan Minimum dan Standard Operating Procedure bagi
perizinan untuk menjaga konsisitensi mekanisme kerja yang telah berjalan dengan baik.
Selama ini, konsistensi deregulasi perizinan di beberapa daerah mengalami kemunduran
seiring proses pergantian kepemimpinan.
Proses sosialisasi produk hukum dan inovasi baru dalam penyelenggaraan pelayanan
perizinan usaha harus lebih ditingkatkan melalui pelbagai media komunikasi. Selama ini,
keluhan regulasi baru dari beberapa pelaku usaha terkait dengan minimnya informasi
terbaru, baik dari sisi perubahan regulasi ataupun insentif lain yang mendukung iklim
investasi setempat.
Diperlukan juga penataan tata ruang untuk proses kegiatan industri PMDN dan PMA oleh
pemerintah daerah karena penataan ruang yang di berbagai daerah selama ini masih
kurang komprehensif. Masih banyaknya pabrik-pabrik yang beroperasi di kawasan dalam
kota menimbulkan kemacetan di jalan-jalan utama dan limbah hasil kegiatan usaha.
Pertemuan antara pihak pemerintah dan pengusaha secara rutin merupakan sutau
kebutuhan untuk mewujudkan iklim usaha yang kondusif dan mencari solusi atas
permasalahan usaha yang terjadi di daerah.
216
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Asropi. 2007. Sistem Pelayanan Terpadu: Strategi Perbaikan Iklim Investasi di Daerah.
Diterbitkan dalam "Bunga Rampai Administrasi Publik". Jakarta: Lembaga Administrasi
Negara.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal Pemerintah Kota Banjarbaru.
2009. Kota Banjarbaru, Kota 4 Dimensi Mandiri dan Terdepan. Banjar Baru: BappedaPM
Bank Indonesia. 2003. Kajian Ekonomi Regional Sulawesi Selatan: Faktor-Faktor Non Ekonomi
Yang Mempengaruhi Iklim Investasi di Sulawesi Selatan. Jakarta: Bank Indonesia
Bovaird, Tony. et.al. 2003. Public management and governance. New York and London:
Routledge.
Cheema, G. Shabbir dan Dennis. A Rondinelli, (Ed). 1983. Decentralization and Development:
Policy Implementation in Developing Countries. London: Sage Publications.
Davey, Kenneth J. 1988. Pembiayaan Pemerintah Daerah: Praktek-Praktek Internasional dan
Relevansinya Bagi Dunia Ketiga. Terjemahan Aminullah dkk. Jakarta: UI Press.
Denhardt, Janet V dan Robert B. Denhardt. 2003. The New Public Services: Serving, Not
Steering. New York & London: M.E. Sharpe.
Dominick, Salvatore. 2004. International Economics. Eight Edition. USA: John Wiley & Sons,
Inc.
Keynes, John Maynard. 1957. The General Theory of Employment Interest and Money. London:
MacMillan & Co.
McKevitt, D. 1998. Managing Core Public Services. Blackwell: Oxford.
Pemerintah Kabupaten Purbalingga. 2001. Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK)
Purbalingga Tahun 2001-2010. Purbalingga: Bappeda
Pemerintah Kota Makassar. 2009. Buku Saku Kota Makassar. Makassar: Bappeda
Prasojo, Eko, dkk. 2007. Deregulasi dan Debirokratisasi Perizinan di Indonesia. Depok:
Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI.
Romora Edward Sitorus. 2007. (Regulasi Sebagai Insentif Bagi Investor) Tinjauan Kelembagaan
Sistem Perijinan Investasi Terpadu (One-Stop Shop) dan Pengaruhnya terhadap
217
Artikel:
Beik, Irfan Syauqi. Ekonomi Korupsi, http://www.harian global.com/ 2009.
Hamudy. 2010. Menyoal Pelayanan Terpadu, http://bataviase.co.id/
Iklim Investasi Diharapkan Membaik, Harian Kompas, 17 Desember 2009
Kuncoro, Mudrajad. Diskusi Panel Ahli Kompas. Disajikan dalam Seminar Harian Kompas.
http://www.mudrajad.com / . 2005
Kuncoro, Mudrajad. Sektor Riil dan UMKM Pasca Inpres No.6/2007, http://mudrajad.com/
Kuncoro, Mudrajad dan Anggi Rahajeng. Daya Tarik Investasi dan Pungli di DIY.
http://www.mudrajad.com/
Reformasi Birokrasi. Harian Kontan Laporan Khusus. Edisi Selasa, 28 September 2010.
Rustiani, Frida. Policy Paper Perijinan Usaha Kecil Di Indonesia
Decentralizing Era). http://usaid.gov/ . 2001
(Licensing In the
218
Peraturan Perundang-undangan:
Republik Indonesia. Lampiran Peraturan Presiden RI No.5 Tahun 2010 tentang RPJMN Tahun
2010-2014, Buku II Memperkuat Sinergi Antarbidang Pembangunan Bab III Ekonomi.
Republik Indonesia. Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Republik Indonesia. Keppres No. 29 Thn 2004 Ttg. Penyelenggaraan Penanaman Modal dalam
rangka PMA dan PMDN Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap
Republik Indonesia. Peraturan Menteri dalam Negeri No.24 Tahun 2006 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Republik Indonesia. Instruksi Presiden Republik Indonesia No.3 Tahun 2006 tanggal 27
Februari 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi
Republik Indonesia. Instruksi Presiden Republik Indonesia No.6 Tahun 2007 Tentang
Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah
219