Anda di halaman 1dari 219

REFORMASI PELAYANAN PERIZINAN DAN

PEMBANGUNAN DAERAH:
CERITA SUKSES TIGA KOTA (PURBALINGGA,
MAKASSAR, DAN BANJARBARU)

Tim Peneliti
Tirta Nugraha Mursitama, Ph.D
Desy Hariyati, S.Sos
Sigit Indra Prianto, S.Sos

2010

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta


Lingkup Hak Cipta
Pasal 2
1.

Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah
suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut perundang-undangan
yang berlaku.

Ketentuan Pidana
Pasal 72
1.

2.

Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak untuk melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

2010 Tim Peneliti MTI


Tirta N. Mursitama, Ph.D; Desy Hariyati, S.Sos.; Sigit Indra Prianto, S.Sos.
Editor: Denis L. Toruan

denistoruan@gmail.com

Desain Grafis dan Perwajahan: ______________


Desain Sampul: _________________

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang


All rights reserved

Diterbitkan pertama kali oleh _________________


Jakarta 2010

1 + 219 hlm; 15,5 cm x 23 cm


ISBN: .............................................

Cetakan Pertama: Oktober 2010

Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagian atau seluruh isi buku tanpa
izin tertulis dari Penerbit

Dicetak oleh percetakan , Jakarta


Isi di luar tanggung jawab percetakan

KATA PENGANTAR

Sepuluh tahun otonomi daerah menjadi momen penting untuk mengetahui apa saja yang telah
dicapai bangsa ini dalam melaksanakannya. Sesuai dengan fakta bahwa pemberian otonomi oleh
beberapa daerah ditanggapi dengan semangat yang berbeda, maka hasilnya pun juga berbeda.
Daerah yang memandang otonomi sebagai jalan untuk memperbaiki kehidupan masyarakatnya,
memanfaatkan kewenangan yang diterima untuk sebaik mungkin menggali potensi yang ada.
Sebaliknya, daerah yang memandang otonomi secara picik, yaitu pemberian kekuasaan sebesarbesarnya, maka yang terjadi justru eksploitasi yang pada akhirnya merugikan masyarakat luas.
Berbagai kajian menunjukkan bahwa beberapa daerah justru mengalami kemunduran
setelah adanya otonomi. Pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan bukan semakin
baik, tapi justru sebaliknya. Begitu pun masyarakatnya, tidak dapat mengenyam hasil otonomi
yang diterima. Terlepas dari masih banyaknya daerah yang belum dapat memahami otonomi
secara utuh, buku yang dihasilkan dari penelitian ini mencoba melihat dan melakukan kajian di
daerah yang dapat dikatakan berhasil dalam melaksanakan otonominya. Ada daerah yang mampu
memanfaatkan kewenangan yang dimiliki untuk memperbaiki penyelenggaraan pemerintahan
dan pelayanan publiknya, serta daerah yang juga mampu menggali potensinya untuk
menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Berfokus pada analisis terhadap pelaksanaan reformasi pelayanan publik pada bidang
perizinan usaha, kami berusaha untuk memetakan strategi yang dilakukan daerah, dan hasilnya
terhadap pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Penelitian dilakukan di tiga daerah
sebagai studi kasus, yaitu Kabupaten Purbalingga, Kota Makassar, dan Kota Banjar Baru.
Pemilihan ketiga daerah tersebut didasari oleh beberapa alasan. Pertama, mewakili wilayah
kabupaten dan kota. Kedua, mewakili wilayah Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian
timur. Ketiga, mewakili karakteristik daerah kaya dan miskin akan potensi investasi.
Dari cerita sukses penyelenggaraan pelayanan perizinan usaha di tiga daerah ini, kami
menemukan tiga tipologi penyelenggaraan pelayanan perizinan usaha. Karakteristik tipologi ini
kemudian menghasilkan model integratif perizinan usaha. Model ini menggambarkan strategi
4

bagaimana suatu daerah dapat terus eksis melakukan pembangunan daerah melalui
penyelenggaraan pelayanan perizinan usaha yang akuntabel dan responsif, serta mengutamakan
prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Dinamika lingkungan eksternal organisasi
pemerintah daerah yang dinamis membutuhkan kebijakan komprehensif untuk menarik minat
investor ke daerah sekaligus mengelola iklim penyelenggaraan kegiatan usaha di daerah tetap
kondusif dan menarik. Harapannya, eksternalitas dari kegiatan usaha di daerah akan mengungkit
ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat ke arah yang lebih baik.
Buku ini merupakan hasil proyek penelitian Divisi Reformasi Birokrasi dan Otonomi
Daerah Masyarakat Transparansi Indonesia yang berjudul Refleksi Sepuluh Tahun Otonomi
Daerah. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi pemerintah,
baik pusat maupun daerah untuk penyelenggaran pemerintah yang lebih baik. Kami juga
berharap kajian ini dapat menjadi rujukan bagi daerah lain yang berkomitmen untuk melakukan
perubahan bagi daerahnya. Selain itu, kami juga berharap temuan ini dapat berkontribusi secara
teoris dalam kajian ilmu sosial yang lainnya, seperti ilmu ekonomi, ekonomi manajemen,
administrasi negara, dan hubungan internasional.

Jakarta, 8 Oktober 2010

Tirta Nugraha Mursitama, Ph.D


Direktur Eksekutif
Masyarakat Transparansi Indonesia

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
PERIZINAN SEBAGAI UJUNG TOMBAK

I
BAGAIMANA PERIZINAN DI DAERAH?
Kualitas Layanan Perizinan pada Era Otonomi Daerah

II
TINJAUAN NORMATIF PERATURAN PERIZINAN INVESTASI

III
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV
REFORMASI PERIZINAN USAHA DI DAERAH

V
ANALISIS DAMPAK

VI
DIMENSI PERIZINAN

VII
TIPOLOGI PENYELENGGARAAN PELAYANAN PERIZINAN

PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
7

PERIZINAN SEBAGAI UJUNG TOMBAK

Penyelenggaraan pemerintahan saat ini bukan lagi semata-mata menjadi tanggung jawab
pemerintah, melainkan seluruh aktor dalam sebuah negara. Meskipun demikian, peran
pemerintah tentunya masih sangat dibutuhkan terkait dengan penyediaan pelayanan publik. Pada
dasarnya, pelayanan publik mencakup tiga aspek, yaitu pelayanan barang, jasa, dan administratif.
Wujud pelayanan administratif adalah layanan berbagai perizinan, baik yang bersifat
nonperizinan maupun perizinan.
Perizinan merupakan salah satu aspek penting dalam pelayanan publik, demikian juga
perizinan yang terkait dengan kegiatan usaha. Proses perizinan, khususnya perizinan usaha,
secara langsung akan berpengaruh terhadap keinginan dan keputusan calon pengusaha maupun
investor untuk menanamkan modalnya. Demikan pula sebaliknya, jika proses perizinan tidak
efisien, berbelit-belit, dan tidak transparan baik dalam hal waktu, biaya, maupun prosedur akan
berdampak terhadap menurunnya keinginan orang untuk mengurus perizinan usaha, dan mereka
mencari tempat investasi lain yang prosesnya lebih jelas dan transparan. Hal ini tentu saja
selanjutnya akan berdampak terhadap ketersediaan lapangan kerja dan masalah-masalah
ketenagakerjaan lainnya.
Penerapan otonomi daerah memberikan ruang yang cukup besar bagi daerah untuk
mengatur dan mengurus pelayanan publiknya, termasuk dalam hal perizinan. Implikasinya,
sebagian daerah menggunakan kesempatan ini untuk melakukan inovasi demi menarik investor,
namun sebagian lain justru menggunakannya untuk menarik retribusi sebesar mungkin dari
proses perizinan yang diterapkan, semata-mata demi meningkatkan penerimaan pendapatan
daerah setempat (PAD).
Pada era otonomi daerah yang telah menginjak satu dasawarsa, banyak daerah otonomi
yang cukup berhasil membangun daerahnya yang diawali dengan pemberian layanan perizinan
investasi yang mudah dan murah. Dengan tujuan untuk menarik investor, upaya pembangunan
daerah dilakukan dengan menciptakan multiplier effects dari penanaman investasi di daerah yang

bersangkutan. Investasi yang masuk menjadi salah satu driving forces dalam percepatan
pembangunan daerah.
Tulisan ini mengekplorasi penerapan best practice pelayanan perizinan usaha yang
dilakukan oleh daerah serta dampak yang ditimbulkan bagi percepatan pembangunan daerah.
Tim penulis akan menggunakan tiga daerah sebagai site penelitian, yaitu Kabupaten Purbalingga,
Kota Makassar, dan Kota Banjar Baru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masing-masing
daerah memiliki inovasi yang berbeda dan karakteristik berpengaruh terhadap berhasil atau
tidaknya pelaksanaan sistem perizinan yang dibangun. Secara umum, Kabupaten Purbalingga
dapat dinilai sebagai daerah yang paling berhasil di antara dua lainnya, baik dalam hal sistem
perizinan maupun dampaknya terhadap pembangunan daerah.
Tulisan ini memiliki keunggulan, yakni analisis yang dilakukan tidak hanya terkait
dengan dampak langsung dari perizinan yang biasa dilakukan secara kuantitatif, tetapi juga
menyentuh aspek politik, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat setempat yang turut
berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan sistem perizinan. Gambaran tipologi pelayanan
perizinan yang ditemukan dalam penelitian ini turut memberikan perspektif baru bagi
masyarakat luas. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi referensi bagi semua stakeholder
untuk mengapresiasi penyelenggaraan pelayanan perizinan sebagai instrumen pembangunan
daerah.

I
BAGAIMANA PERIZINAN DI DAERAH?

Kualitas Layanan Perizinan pada Era Otonomi Daerah


Rekonstruksi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah di Indonesia mengalami perubahan
yang signifikan pasca-terselenggaranya otonomi daerah. Instrumen desentralisasi turut
mengubah pengelolaan sumber daya lokal sebagai bentuk pendelegasian wewenang dari pusat
pada daerah otonom untuk lebih mandiri. Pelayanan pendukung dari aktivitas usaha seperti izin
usaha, kepastian hukum, dan iklim usaha yang kondusif pun peranannya tidak lagi terfragmentasi
pada pemerintah pusat semata. Pemerintah daerah kini diharapkan menjadi aktor lokal dalam
menciptakan sistem perizinan yang mendukung mekanisme kegiatan usaha dan pengelolaan
sumber daya daerah bagi kemaslahatan masyarakat lokal.
Setelah sebelas tahun kebijakan desentralisasi bergulir sebagai wahana perubahan bagi
daerah, gradasi tingkat kesejahteraan dan efektivitas pelayanan di daerah otonomi masih belum
merata. Tujuan otonomi daerah yang diharapkan mampu menjadi katalis dalam mendekatkan
pelayanan kepada masyarakat lokal tidak tercipta secara komprehensif, justru cenderung berjalan
parsial (tidak sama di setiap tempat). Indikasi ini antara lain terlihat dari ketidaksiapan beberapa
pemerintah daerah untuk menciptakan mekanisme pelayanan perizinan usaha sebagai gerbang
utama penyelenggaraan kegiatan usaha di daerah. Alhasil, tidak responsifnya pemda untuk
menciptakan pelayanan perizinan yang akuntabel dan responsif saat ini menjadi penghambat
utama dalam melakukan pengelolaan sumber daya daerah. Gambaran ini setidaknya tercermin
dari hasil survei yang dilakukan oleh Komite Pengawas Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD)
pada tahun 2006 di mana penyelenggaraan pelayanan perizinan di daerah masih jauh dari
harapan ideal. Identifikasi ini terlihat dari segi waktu yang belum ideal dan biaya tidak resmi
yang semakin besar dalam proses berinvestasi. Masalah turunan yang turut mengebiri
berjalanannya reformasi pelayanan perizinan di daerah tidak lepas dari perilaku moral hazard

10

seperti korupsi, budaya permisif, serta budaya masyarakat elitis yang masih mengedepankan
kedekatan dengan pengambil kebijakan.
Situasi ini tentunya akan berimplikasi pada proses pelayanan publik, khususnya
pelayanan perizinan di daerah akibat terbentuknya budaya masyarakat elitis. Jika melihat
perkembangan skor integritas pelayanan publik selama tiga tahun terakhir, penurunan kualitas
pelayanan publik tampaknya memang terjadi. Indikasi ini tidak hanya menjadi salah satu
parameter kegagalan penyelenggaraan otonomi daerah, lebih dari itu masalah penurunan indeks
integritas pelayanan publik juga akan menjadi salah satu faktor penting bagi para investor untuk
melakukan kegiatan usaha di daerah.

Grafik 1.1
Perkembangan Skor Integritas Pelayanan Publik Tahun 2007-2009

Sumber: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2010

11

Grafik di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2008 ke 2009 telah terjadi penurunan indeks
integritas pelayanan publik, baik di tingkat pusat maupun daerah. Di tingkat daerah, indeks
mengalami penurunan dari 6.69 menjadi 6.46. Penurunan skor ini menunjukkan bahwa kualitas
pelayanan publik di daerah secara umum semakin buruk.
Kualitas pelayanan publik di bidang perizinan usaha memainkan peranan penting dalam
menarik investor untuk menanamkan modalnya di suatu daerah. Kualitas pelayanan perizinan
sendiri juga dapat diidentifikasi dari peraturan pemerintah daerah dalam mendukung sekaligus
memberikan legitimasi lembaga perizinan di daerah untuk memberikan pelayanan secara lebih
efisien dan efektif. Survei yang diselenggarakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas) dan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia
(LPEM UI) memberikan laporan bahwa peraturan daerah (termasuk peraturan yang mendukung
reformasi lembaga pelayanan perizinan) memberikan pengaruh terhadap iklim usaha. Survei
yang dilakukan pada tahun 2008 ini mengidentifikasi ada enam faktor yang memengaruhi iklim
investasi. Urutan faktor dari mulai yang paling besar pengaruhnya sampai yang paling kecil yaitu
Prosedur Ekspor-Impor, Kondisi Makro, Infrastruktur, Tenaga Kerja, Peraturan lokal, dan
Perpajakan.
Walaupun tidak menjadi faktor terpenting, peraturan lokal yang pro terhadap perbaikan
pelayanan perizinan usaha menjadi salah satu kunci bagi kelangsungan iklim usaha. Sayangnya,
reformasi perizinan di beberapa daerah tidak berjalan maksimal. Pembaruan regulasi melalui
Sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu atau biasa disebut dengan One Stop Service juga
belum mampu menjadi solusi utama dalam memperbaiki pelayanan perizinan di Indonesia secara
umum. Melihat perkembangan iklim investasi Indonesia di tingkat dunia, sebenarnya dalam lima
tahun terakhir peringkat Indonesia mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari peringkat
Doing Business Indonesia yang terus mengalami perbaikan. Namun, faktanya peringkat yang
terus membaik ini tidak diimbangi realisasi investasi Penanaman Modal Asing (PMA) dan
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang terus menguat dari tahun ke tahun.

12

Tabel 1.1
Peringkat Doing Business Negara-Negara ASEAN

Sumber: Laporan International Finance Corporation, 2010

Ketidaksinergisan terlihat antara peringkat Indonesia yang terus membaik dan penanaman modal
dan kredit PMDN dan PMA yang nilai realisasi investasinya pada rentang waktu 2004-2009 di
mana terjadi pasang-surut. Pasang-surut yang terjadi tidak hanya dari sektor PMDN saja, sektor
PMA juga mengalami pasang surut dalam hal nilai realisasi investasi. Adapun untuk jumlah izin
usaha, kenaikan kuantitas jumlah izin secara konsisten hanya terlihat pada sektor PMA. Untuk
sektor PMDN sendiri, jumlah kenaikan izin usaha tidak terlihat konsisten.

13

Tabel 1.2
Penanaman Modal dan Penyaluran Kredit di Sektor Industri
Tahun 20042009
Keterangan

2004

PMDN*) Jumlah izin usaha tetap


Nilai realisasi investasi

96

2005

149

2006

96

2007

101

2008

189

2009

128

10.5

21.0

13.0

26.3

15.9

16.0

Jumlah Izin Usaha Tetap

248

335

363

390

495

356

Nilai realisasi investasi

2.8

3.5

3.6

4.7

4.5

2.8

143.6

169.7

182.4

203.8

269.1

237.9

(Rp triliun)
PMA*)

(USD miliar)
Penyaluran Kredit (Rp triliun) **)
Keterangan:
*) Badan Koordinasi Penanaman Modal : 2009 (JanuariSeptember)
**) Bank Indonesia

: 2009 (JanuariOktober)

Sumber: RPJMN 2010, Bappenas

Data di atas memberikan wacana untuk kita bahwa, dari sisi konsistensi, pertumbuhan industri
secara umum memang belum dapat berjalan sesuai harapan. Ada banyak faktor yang
memengaruhi, mulai dari waktu perizinan yang tidak efisien sampai dengan mekanisme yang

14

masih tumpang tindih antara pusat dan daerah sehingga turut menjadi penghambat dalam
memajukan iklim investasi yang kompetitif.

Mengapa Perizinan?
Komitmen pemerintah pusat untuk memperbaiki iklim investasi faktanya menunjukkan bahwa
dari sisi waktu dan biaya, Indonesia masih menjadi negara yang belum proinvestasi. Meskipun
dari sisi potensi investasi di Indonesia sangat besar, termasuk potensi pasarnya, namun jika hal
ini tidak diimbangi dengan pelayanan perizinan yang responsif, maka investasi usaha pun tidak
akan maksimal. Diterbitkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Perdagangan, Menteri
Dalam Negeri, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Hukum dan HAM, serta Kepala
BKPM untuk mempercepat proses pembuatan izin usaha dari 60 hari menjadi 17 hari mulai awal
Januari 2010 menjadi angin segar bagi para pelaku bisnis, apalagi bagi para calon investor.
Apabila kita mengacu pada data International Finance Corporation Indonesia justru memiliki
jumlah hari yang lebih banyak (76 hari), 17 hari lebih banyak dari klaim pemerintah saat ini (60
hari).

15

Tabel 1.3
Perbandingan Jumlah Hari untuk Memulai Usaha
(Starting A Business)
Tahun
No

Negara
2005

2006

2007

2008

2009

Singapore

Thailand

33

33

33

33

Malaysia

30

30

30

24

13

Philippines

50

48

48

58

15

Vietnam

56

50

50

50

50

Indonesia

151

151

97

105

76

Cambodia

94

86

86

86

85

Laos

198

198

192

103

103

Sumber: International Finance Corporation, dalam RPJMN 2010-Bappenas

Walaupun dalam lima tahun terakhir, jumlah hari untuk memulai usaha di Indonesia terus
mengalami penurunan, tetap saja masih kalah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN
utama. Indonesia masih kalah dari Singapura dan Thailand yang menduduki peringkat satu dan
dua sebagai negara yang paling cepat memberikan pelayanan untuk memulai usaha. Bahkan,
Indonesia masih kalah dari Filipina dan Vietnam yang menempati peringkat empat dan lima.

16

Pemangkasan waktu yang sangat besar (17 hari) memang layak diapresiasi. Selain akan
menjadi daya tarik bagi investor, pemangkasan ini juga akan meningkatkan peringkat Indonesia
sebagai negara tujuan investasi yang potensial di dunia. Akan tetapi, yang perlu diingat juga
adalah saat ini masih banyak perizinan yang menimbulkan biaya tinggi. Ada sekitar 70 perizinan
yang dapat dipangkas agar proses memulai usaha di Indonesia dapat lebih efisien dan murah.
Munculnya konsep sistem pelayanan perizinan satu atap elektronik untuk perizinan usaha
diharapkan dapat memangkas 70 perizinan yang tidak perlu karena seluruh proses perizinan
dapat dilakukan di satu atap.
Di tingkat daerah, upaya untuk mewujudkan perizinan satu atap masih banyak mengalami
kendala. Selain membutuhkan dana yang tidak sedikit, untuk pembiayaan fisik dan nonfisik,
political will dari kepala daerah juga menjadi kunci utama keberhasilan daerah dalam
menyelenggarakan pelayanan perizinan usaha. Terselenggaranya pelayanan perizinan yang baik
akan menjadi driving force bagi kemajuan ekonomi daerah. Hubungan ini yang sebenarnya
belum terlihat di semua daerah karena pada tataran implementasi hanya beberapa daerah yang
mampu

memanfaatkan

momentum

otonomi

daerah

untuk

mereformasi

sekaligus

mengintegrasikan lembaga di tingkat daerah untuk menciptakan pelayanan perizinan yang


berkualitas.
Selama ini, paradigma pemerintah daerah dalam mengembangkan daerah dan memutus
mata rantai kemiskinan warganya lebih banyak bertumpu pada dana alokasi pusat dan kegiatan
pragmatis yang berorientasi pada penerimaan PAD saja. Konsep pembangunan dengan
menempatkan perizinan usaha sebagai kunci sukses dalam menarik investasi ke daerah guna
menciptakan multiplier effect bagi pembangunan daerah secara keseluruhan belum tercipta
secara maksimal. Perubahan paradigma ini yang harus segera dimulai. Beberapa daerah telah
memulainya dan mampu menunjukkan keberhasilannya, sebagai contoh Sragen dan Purbalingga.
Sumber daya yang terbatas di Kabupaten Sragen dan Kabupaten Purbalingga tidak menjadi
kendala dalam memajukan serta memaksimalkan potensi daerah karena dengan pelayanan publik
yang transparan, cepat, mudah, dan murah (terutama pelayanan perizinan) menjadi kunci sukses
meningkatkan kesejahteraan hidup penduduknya.

17

Bagan 1.1 selanjutnya akan memberikan gambaran bahwa rendahnya investasi di sebuah
negara, termasuk juga di tingkat lokal memengaruhi pendapat rill masyarakat, perkembangan
teknologi, permintaan yang turun, sampai dengan potensi sumber daya daerah yang tidak
terkelola secara maksimal. Domain inilah yang seharusnya dicermati oleh daerah dalam
membangun dan mengembangkan potensi. Investasi menjadi salah satu pintu strategis dalam
menyejahterakan masyarakat daerah. Perda-Perda yang proinvestasi tentunya yang akan
menjawab permasalahan belum maksimalnya kegiatan investasi yang masuk ke daerah pada
masa otonomi daerah.
Ragnar Nurske dalam Kunarjo memberikan pemahaman bahwa kemiskinan di negara
berkembang ibarat lingkaran setan karena berbagai penjelasan kemiskinan tidak banyak
menjelaskan kenapa mereka menjadi miskin. Dikatakan Kunarjo bahwa dalam lingkaran setan
kemiskinan, pokok pangkal kemiskinan adalah pendapatan yang rendah. Pendapatan yang rendah
bukan hanya memengaruhi tingkat tabungan yang rendah, tetapi juga memengaruhi tingkat
pendidikan, kesehatan yang rendah sehingga produktivitas sumber daya yang ada juga menjadi
rendah. Semuanya ini akan memengaruhi pendapatan masyarakat yang rendah pula. Investasi
rendah dalam lingkaran setan ini menjadi aspek penting dalam memunculkan permasalahan
turunan tersebut. Di sinilah diperlukan peraturan daerah sekaligus penyelenggaraan pelayanan
perizinan daerah yang mampu memperbaiki rendahnya investasi di suatu daerah. Deregulasi
perizinan usaha menjadi solusi untuk mengurai masalah kemiskinan sekaligus proses
pembangunan daerah yang stagnan dewasa ini.

18

Bagan 1.1
Hubungan Investasi dalam Lingkaran Kemiskinan
Perkembangan
teknologirendah

Produktivitas
rendah

Kesehatan
menurun
Butahuruf
tinggi

Permintaan
rendah
Pendapatan
riilrendah

Tabungan
rendah

Investasi
rendah

Banyaksumberdaya
alamyangtidak
dieksploitasi

Sumber: Kunarjo, 2000

Terlepas dari lingkaran setan kemiskinan di negara berkembang di atas, salah satu solusi
untuk meminimalisasi disparitas pembangunan antardaerah, yaitu melalui deregulasi perizinan
usaha. Langkah ini dapat diambil guna meningkatkan masuknya investasi ke daerah sebagai
faktor utama dalam menciptakan efek ganda dalam pemerataan kesejahteraan. Hal ini senada
dengan pendapat Brutton yang menyatakan bahwa untuk menanggulangi kemiskinan yaitu
dengan cara meningkatkan tabungan dan salah satunya adalah dengan memperluas kesempatan
berinvestasi. Deregulasi perizinan usaha akan menumbuhkan iklim investasi di daerah, baik dari
segi waktu, transparansi biaya, sampai kepastian hukum dalam melakukan investasi. Adanya
investasi juga akan menjadi katalis dalam mengoptimalkan sumber daya lokal agar dapat
memiliki nilai tambah yang lebih tinggi.
19

Atas dasar pemikiran tersebut, Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) sebagai bagian
dari civil society mengambil inisiatif untuk melakukan kajian khusus terkait kebijakan otonomi
daerah yang difokuskan pada aspek penyelenggaraan pelayanan perizinan di daerah pada era
otonomi daerah. Dengan kajian tersebut, kita semua mengharapkan akan munculnya pemahaman
yang komprehensif terhadap apa yang sesungguhnya terjadi dengan kebijakan otonomi daerah,
terutama aspek pelayanan publik dalam pemberian izin usaha berikut permasalahan yang
melingkupinya. Selain itu, hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi solusi yang mungkin
menjadi alternatif dalam formulasi dan implementasi kebijakan perizinan usaha di daerah lain.
Berdasarkan paparan di atas, buku ini berupaya untuk menganalisis beberapa pertanyaan
sebagai berikut:
1. Bagaimana penyelenggaraan layanan perizinan usaha di daerah setelah diterapkannya
otonomi daerah?
2. Bagaimana penerapan best practice dalam layanan perizinan usaha pada era otonomi daerah?
3. Bagaimana pengaruh penerapan best practice layanan perizinan usaha terhadap terciptanya
multiplier effect yang mendukung percepatan pembangunan daerah?

Sementara itu, tulisan ini memiliki tujuan penelitian sebagai berikut:


1. Mengetahui penyelenggaraan layanan perizinan usaha setelah diterapkannya kebijakan
otonomi daerah;
2. Memberikan penjelasan mengenai penerapan best practice dalam layanan perizinan usaha
pada era otonomi daerah; dan
3. Menganalis pengaruh penerapan best practice terhadap terciptanya multiplier effects yang
mendukung percepatan pembangunan di daerah.

20

Dari berbagai tujuan di atas, output yang diharapkan dari penelitian ini adalah
tersusunnya buku hasil penelitian yang dapat dijadikan referensi bagi daerah lain yang ingin
melakukan inovasi penyelenggaraan pelayanan perizinan usaha. Hasil penelitian juga diharapkan
dapat memberikan masukan kepada pemerintah pusat dalam penyusunan peraturan, baik berupa
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, atau lain-lainnya di bidang perizinan usaha.
Secara akademik, hasil buku ini bermanfaat sebagai pengembangan teori mengenai
pelayanan publik, khususnya pelayanan di bidang perizinan. Secara praktis, penelitian ini
memberikan masukan dan alternatif best practice mengenai pemberian layanan perizinan usaha
baik untuk pemerintah pusat maupun daerah.

Konsep Desentralisasi
Konsep desentralisasi pemerintahan yang menggeser kekuasaan pemerintahan dari pusat ke
daerah, termasuk pelimpahan sebagian kewenangan terhadap aparat pemerintahan dari
kekuasaan pemerintah pusat ke pemda merupakan upaya memfungsikan peran elit daerah yang
dinilai lebih memerhatikan permasalahan dan potensi daerah otonom agar diurus secara mandiri.
Instrumennya tentu saja menggunakan sumber daya lokal yang berimplikasi pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat lokal.
Artikulasi otonomi daerah sendiri secara umum merupakan wewenang untuk mengatur
urusan pemerintahan yang bersifat lokalitas, menurut prakarsa sendiri, dan berdasarkan aspirasi
masyarakat setempat. Dengan demikian, desentralisasi sebenarnya penjelmaan otonomi
masyarakat setempat untuk memecahkan berbagai masalah dan pemberian layanan yang bersifat
lokalitas demi kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan. Menurut Davey, makna
desentralisasi memiliki pengertian yang lebih luas karena desentralisasi tidak hanya mencakup
aspek administratif semata, namun juga desentralisasi politik. Penjabaran yang lebih kompleks
dan luas disampaikan juga oleh Chema dan Rondinelli (1993) yang mengartikulasikan
desentralisasi sebagai the transfer or delegating of planning, decision making, or management
authority from the central government and its agencies to field organizations, subordinate units

21

of government, semi-autonomous public corporations, area wide or regional authorities,


functional authorities, or non governmental organizations.
Dalam mendelegasikan transfer otoritas, baik dalam melakukan perencanaan maupun
pelaksanaan otoritas tersebut, Chema dan Rondinelli membagi empat bentuk desentralisasi yakni
Deconcentration (dekonsentrasi), Delegation (delegasi), Devolution (devolusi), dan Privatization
(privatisasi). Salah satu tujuan penyelenggaraan desentralisasi sebenarnya juga representasi dari
kepentingan publik dan transparansi pengelolaan keuangan daerah yang akuntabel dalam rangka
mencapai kesejahteraan masyarakat.

Konsep Pelayanan Publik


Dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik disebutkan bahwa
pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan
pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk
atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara
pelayanan publik. Menurut Pasal 4 UU ini, penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan
kepentingan umum, kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban,
profesionalisme,

partisipatif,

persamaan

perlakuan/tidak

diskriminatif,

keterbukaan,

akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok, rentan, ketepatan waktu, serta
kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
Sebagai bagian dari respons terhadap tantangan global, telah terjadi pergeseran
paradigma dalam pelayanan publik. Tiga pergeseran yang dicatat oleh Edi Suharto adalah:
1. Dari problem-based services ke right-based services
Pelayanan publik yang dulunya diberikan hanya untuk merespons masalah atau
kebutuhan masyarakat, kini diselenggarakan untuk memenuhi hak-hak masyarakat
sebagaimana telah diamanatkan konstusi nasional maupun konvensi internasional;
2. Dari rules-based approaches ke outcome-oriented approaches

22

Pelayanan Publik cenderung bergeser dari yang semata didasari peraturan normatif
menjadi pendekatan yang berorientasi pada hasil; dan
3. Dari public management ke public governance
Menurut Bovaird dan Loffler (2003), dalam manajemen publik masyarakat dianggap
sebagai klien, pelanggan, atau sekadar pengguna layanan sehingga merupakan bagian
dari market contract.

Pelayanan publik pada umumnya memiliki sifat differential information dan


interdependence. Sifat pertama berarti adanya kedudukan yang tidak berimbang antara penyedia
pelayanan dan konsumennya yang disebabkan oleh ketidaksetaraan posisi antara penyedia
pelayanan dan konsumen. Sifat kedua berarti bahwa keberadaan pelayanan publik dapat
memengaruhi aspek-aspek kehidupan dari masyarakat. Pelayanan publik pada dasarnya adalah
bentuk tanggung jawab pemerintah sebagai institusi yang dibentuk guna menjalankan fungsifungsi pemerintahan kepada warga negaranya. Dalam perkembangannya, paradigma pelayanan
publik mengikuti paradigma yang berkembang dalam praktik administrasi negara. Pada masa
administrasi negara klasik, pelayanan publik diarahkan pada pelayanan klien sehingga
memosisikan pemerintah sebagai penyedia pelayanan publik lebih tinggi dari masyarakat,
sebagaimana sifat alamiah pelayanan publik differential information di atas. Pada paradigma ini,
masyarakat berada pada situasi sebagai objek pelayanan publik semata sehingga tidak memiliki
kewenangan untuk mengontrol jumlah, jenis, dan kualitas pelayanan publik yang diberikan.

Konsep Pelayanan Terpadu (One Stop Service)


Dalam pengertian sempit, pelayanan terpadu dapat diartikan sebagai satu instansi pemerintah
yang memiliki semua otoritas yang diperlukan untuk memberi pelbagai perizinan (licenses,
permits, approvals and clearances). Tanpa otoritas yang mampu menangani semua urusan
tersebut instansi pemerintah tidak dapat mengatur pelbagai pengaturan selama proses. Oleh

23

sebab itu, dalam hal ini instansi tersebut tidak dapat menyediakan semua bentuk perizinan yang
diperlukan dalam pelbagai tingkat administrasi sehingga harus bergantung pada otoritas lain.
Pelayanan perizinan dengan sistem terpadu satu pintu (one stop service) membuat waktu
pembuatan izin menjadi lebih singkat. Pasalnya, dengan pengurusan administrasi berbasis
teknologi informasi, input data cukup dilakukan sekali, dan administrasi bisa dilakukan secara
simultan. Dengan adanya kelembagaan pelayanan terpadu satu pintu, seluruh perizinan dan
nonperizinan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota dapat terlayani dalam satu lembaga.
Harapan yang ingin dicapai adalah mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan
investasi dengan memberikan perhatian yang lebih besar pada peran usaha kecil dan menengah,
dan bertujuan meningkatkan kualitas layanan publik.
Pelayanan Terpadu pada dasarnya telah diatur melalui Permendagri No.24 Tahun 2006
mengenai Pedoman Penyelenggaran Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Dalam peraturan ini,
pelayanan atas permohonan perizinan dan nonperizinan dilakukan oleh Perangkat Daerah
Penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP), yaitu perangkat pemerintah daerah yang
memiliki tugas pokok dan fungsi mengelola semua bentuk pelayanan perizinan dan nonperizinan
di daerah dengan sistem satu pintu.

Konsep Investasi
Perdagangan bebas merupakan salah satu dampak dari adanya globalisasi. Tarik-menarik antara
kekuatan yang mendorong terjadinya multilateralisme di satu sisi dan regionalisme di sisi yang
lain merupakan sebuah karakteristik dari globalisasi yang tidak terelakkan. Negara berusaha
mendapatkan keuntungan dari kedua tarikan tersebut, demikian halnya dengan perdagangan
bebas yang diharapkan menghasilkan keuntungan yang bersifat dinamik maupun statik. Terkait
dengan paradigma regionalisme, penelitian ini akan menitikberatkan pada analisis di tingkat
daerah yang dibagi dalam tiga kajian yaitu perizinan, iklim investasi, dan pengembangan industri
lokal.
Desentralisasi perizinan merupakan format kebijakan pemerintahan untuk menata sistem
investasi sebagai pilar perekomonian. Perizinan merupakan bagian dari pendekatan command
24

and control, yaitu pendekatan kebijakan investasi dari sudut kewenangan regulasi pemerintah.
Perizinan selalu berkaitan dengan kegiatan pengawasan terhadap aktivitas yang menjadi obyek
perizinan. Hal itu mencakup tiga aspek, yaitu pemberi izin (aparat perizinan), pelaku investasi
(subyek perizinan), dan aktivitas investasi (obyek perizinan). Ketiga aspek ini masing-masing
akan dikaji sebagai indikator penelitian.
Perizinan yang merupakan ujung tombak dari peranan birokrasi pemerintahan dalam
penataan investasi perlu diskenariokan dalam format desentralisasi perizinan yang dinilai sebagai
salah satu alternatif solusi efektif untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang
menyangkut investasi. Investasi dalam pengertian konsepsional merupakan hasil dari sebuah
proses yang bersifat multidimensional. Pembangunan ekonomi merupakan salah satu fungsi dari
investasi dalam artian penanaman modal atau faktor ekonomi yang paling esensial dan mudah
diukur secara kuantitatif. Akan tetapi, dalam dunia nyata seorang investor yang akan
menanamkan modalnya pada suatu bidang usaha tertentu akan selalu memerhatikan faktor
keamanan lingkungan, kepastian hukum, status lahan investasi dan dukungan pemerintah.
Demikian pula dengan pengembangan industri lokal, selain faktor tersebut juga akan
memerhatikan aspek potensi dan kemampuan masyarakat di daerah.

Konsep Multiplier Effect


Konsep multiplier effect sangat erat kaitannya dengan perkembangan suatu wilayah. Banyaknya
aktivitas yang ditimbulkan secara langsung juga akan memengaruhi kemajuan daerah itu sendiri.
Meningkatnya dinamika kegiatan ekonomi pada akhirnya akan meningkatkan pengembangan
wilayah. Perspektif mengenai konsep multiplier effect antara lain dikemukakan oleh Keynes
melalui model yang diberi nama Incremental Capital Output Ration (ICOR). Teori hubungan
kelipatan pertama kali diperkenalkan oleh Keynes dalam The General Theory of Employment,
Interest and Money yang mengadopsi konsep dari R.F. Kahn. Dalam bukunya, Keynes
menjabarkan konsep multiplier pertama kali diperkenalkan oleh R.F. Kahn melalui tulisannya
The Relation of Home Investment to Undemployment (Economic Journal, Juni 1931).
Argumen Kahn pada prinsipnya menyatakan jika kecenderungan untuk mengonsumsi dalam
pelbagai situasi hipotetik (dengan kondisi tertentu lainnya) dimengerti sebagai sesuatu yang
25

given, dan kita menganggap otoritas moneter atau otoritas publik lainnya menstimulasi atau
memperlambat investasi, maka perubahan jumlah employment akan menjadi fungsi dari hasil
perubahan jumlah investasi (net change of investment). Ini bertujuan untuk mengestimasi
hubungan kuantitatif antara net investment dan kenaikan jumlah employment yang terhubung
dengannya. Akan tetapi, sebelum ke multiplier, akan lebih baik untuk mengerti konsep marginal
propensity to consume (Keyness, 1957: 113-114).
Konsep multiplier pada prinsipnya menjelaskan bahwa ada hubungan antara tingkat
investasi (I) dan permintaan pendapatan (Y). Atau, dengan bahasa sederhananya, bila terdapat
tambahan investasi, maka akan bertambah pula tingkat permintaan pendapatan dengan kelipatan
sebesar kebalikan dari marginal propensity to save (mps), atau angka koefisien yang
menunjukkan berapa kenaikan tingkat tabungan jika permintaan pendapatan meningkat dengan
jumlah tertentu, dengan nilai angka pecahan kurang dari 1. Model ini diperkaya dengan model
Incremental Capital Output Ration (ICOR) dari Sir Harrod yang menyebutkan bahwa investasi
harus diartikan sebagai pertambahan kapasitas produksi (Kunarjo: 2000).

Bagaimana Buku ini Disusun


Tulisan ini menggunakan metode kualitatif. Metode ini memungkinkan tim peneliti untuk secara
induktif tidak terikat pada sistematika penelitian untuk memperoleh data-data lapangan yang
memerhatikan konteks tertentu. Untuk meneliti situasi problematis yang terjadi dalam
penyelenggaraan otonomi daerah di seluruh Indonesia, tentu diperlukan sumber daya yang tidak
sedikit. Oleh karena itu, penelitian hanya diarahkan dan bertempat pada lokasi-lokasi tertentu
yang telah ditentukan. Fokus yang akan dikaji yaitu aspek pelayanan publik, khususnya dalam
hal perizinan usaha. Adapun lokasi penelitian yang dipilih adalah Kota Makassar (Sulawesi
Selatan), Kabupaten Purbalingga (Jawa Tengah), dan Kota Banjarbaru (Kalimantan Selatan).
Meski tidak secara menyeluruh bersifat representatif atas kualitas penyelenggaraan pelayanan
perizinan usaha dalam kerangka otonomi daerah, pemilihan lokasi penelitian tersebut didasarkan
pada keberlangsungan pemerintahan pascaotonomi daerah serta keterwakilan wilayah.

26

Teknik pengumpulan data dilaksanakan melalui wawancara mendalam dan diskusi


kelompok terarah (focused group discussion/FGD) dengan berbagai pemangku kepentingan
terkait, yakni Kementerian dalam Negeri, Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi, Pemerintah Daerah beserta instansi yang terkait, akademisi, serta pelaku
usaha di daerah. Dalam penelitian ini juga terdapat tinjauan secara cermat terhadap dokumendokumen, khususnya terkait dengan aspek penting yang akan dikaji berikut laporan atau hasil
evaluasi pelaksanaannya, serta prosedur administrasi dalam penyelenggaraan otonomi daerah.
Selain menilai dari perangkat organisasi, sistem administrasi, dan prosedur penyelenggaraan
pelayanan izin investasi diperlukan observasi lapangan untuk melihat langsung keberlakuan
prosedur administrasi pada tataran praktik, apakah mencerminkan prinsip-prinsip sistem tata
pemerintahan yang baik atau belum. Tahap-tahap penelitian yang akan ditempuh adalah sebagai
berikut:
Tahap pertama: Mengumpulkan informasi awal mengenai penyelenggaraan perizinan di
Indonesia secara umum dan di masing-masing daerah yang telah ditentukan. Informasi ini dapat
berupa laporan dan hasil evaluasi pemeringkatan daerah, pemberitaan di media massa, serta
penelitian-penelitian terkait yang relevan.
Tahap kedua: Melakukan studi dokumen (desk research) untuk menganalisis aspek-aspek
normatif pelayanan perizinan usaha di daerah dalam prosedur administrasi penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
Tahap ketiga: Melakukan pendekatan kepada seluruh pemangku kepentingan untuk kemudian
dilakukan wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap mereka, sejauh yang
bersangkutan dianggap kompeten selain pelaksanaan diskusi kelompok terarah (FGD).
Tahap keempat: Melakukan observasi lapangan untuk melihat langsung keberlakuan prosedur
dalam proses pelaksanaan layanan perizinan usaha pada tataran praktik di daerah.
Tahap kelima: Melakukan analisis perbandingan antara daerah yang menjadi setting penelitian.
Analisis ini menggunakan satuan variabel dengan masing-masing indikatornya.

27

Tahap keenam: Menyelenggarakan diseminasi hasil riset sementara, seperti dalam bentuk
seminar, sekaligus melakukan verifikasi atas hasil riset ini terhadap para stakeholders (pemangku
kepentingan) dan para pakar yang berkompeten.
Tahap ketujuh: Melakukan analisis menyeluruh terhadap hasil temuan serta penulisan laporan
peneltitian.

28

II
TINJAUAN NORMATIF PERATURAN PERIZINAN INVESTASI

Tinjauan Normatif
Perbaikan pelayanan perizinan sejatinya dilakukan secara komprehensif. Salah satu aspek
fundamental dari legitimasi pelayanan perizinan usaha adalah adanya aturan main yang dibuat
oleh institusi pemerintah, baik pusat maupun daerah. Sebelum adanya otonomi daerah,
pemerintah pusatlah yang intens dalam mengeluarkan paket kebijakan investasi bagi para
investor yang menanamkan modalnya di Indonesia. Selain untuk keseragaman aturan main,
paket kebijakan juga memiliki banyak kelebihan karena satu peraturan dengan peraturan lainnya
sudah diintegrasikan. Strategi ini cukup berhasil melihat dampak dan respons dari para pelaku
usaha yang positif. Bagian ini mencoba menggambarkan beberapa ilustrasi paket kebijakan
kegiatan investasi sebelum era otonomi daerah.

Peraturan Perizinan Sebelum Otonomi Daerah


Paket Deregulasi Tahun 1993 (Pakto 1993) dan Tahun 1994
Keluarnya Paket deregulasi 23 Oktober tahun 1993 tidak lepas dari paham neoliberalisme,
terutama dari aspek keuangan dan ekonomi pada tahun 1980-an. Sejak saat itu, munculah
berbagai paket kebijakan deregulasi di bidang investasi. Pembuatan paket tahun 1993 pada
prinsipnya merupakan aturan yang dibuat untuk memudahkan investor asing menanamkan
modalnya di Indonesia. Insentif lain dari paket kebijakan Pakto tahun 1993 adalah penghapusan
berbagai surat dan persetujuan. Secara umum, kebijakan ini mengatur lima bidang usaha, yaitu:
a. Bidang ekspor;
b. Bidang penanaman modal asing;
c. Bidang perizinan untuk investasi;
29

d. Bidang Kesehatan; dan


e. Bidang penyederhaaan prosedur Amdal.

Perkembangan mengenai paket kebijakan investasi kemudian dilanjutkan satu tahun


berikutnya (1994). Pemerintah memperbarui paket kebijakan investasi untuk lebih menarik
investor masuk ke Indonesia. Salah satu insentif yang diberikan pemerintah dari PP No.20 Tahun
1994 di mana kepemilikan modal asing diperbolehkan hingga 95-100%, termasuk penguasaan
atas sarana hidup orang banyak seperti pelabuhan, tenaga listrik, kereta api, pembangkit tenaga
nuklir, dan media massa.
Beberapa hal yang penting sehubungan dengan dikeluarkannya deregulasi tersebut, yaitu:

Penanaman modal asing dapat dilakukan dalam bentuk:


a. Usaha patungan antara modal asing dan modal modal dalam negeri atau badan hukum
Indonesia, dengan ketentuan peserta Indonesia harus memiliki paling sedikit 5% dari
jumlah modal disetor sejak pendirian perusahaan PMA;
b. Atau investasi langsung dalam arti seluruh modalnya dimiliki oleh warga negara dan
atau badan hukum asing, dengan ketentuan dalam waktu paling lama 15 tahun sejak
produksi komersil sebagian saham asing harus dijual kepada warga negara dan/atau
badan hukum Indonesia melalui pemilikan langsung berdasarkan kesepakatan
masing-masing pihak dan/atau melalui pasar modal. Dengan demikian, persyaratan
pemilikan saham lokal mayoritas yang berlaku sebelum deregulasi telah dihapus.

Ketentuan investasi minimum bagi bagi PMA ditiadakan. Jumlah investasi yang
ditanamkan dalam rangka PMA diterapkan berdasarkan kelayakan ekonomi kegiatan
usahanya;

Perusahaan PMA yang sudah berproduksi komersil dapat mendirikan perusahaan baru
dan/atau membeli saham perusahaan yang didirikan berdasarkan PMDN dan/atau bukan

30

PMDN melalui pemilikan langsung, sepanjang bidang usaha dari perusahaan yang
sahamnya dibeli tersebut dinyatakan terbuka bagi PMA;

Kegiatan usaha PMA dapat berlokasi diseluruh Indonesia, namun bagi daerah yang telah
memiliki

Kawasan Berikat (Kawasan Industri, lokasi

kegiatan PMA tersebut

diutamakan didalam kawasan tersebut); dan

Izin usaha PMA berlaku untuk jangka 30 tahun dihitung sejak produksi komersil, dan
dapat diperpanjang bila perusahaan yang dimaksud masih tetap menjalankan usahanya
yang bermanfaat bagi perekonomian dan pembangunan nasional.

Peraturan Perizinan Setelah Otonomi Daerah


Otonomi daerah sejatinya mendekatkan penyelenggaraan pelayanan publik kepada masyarakat.
Dalam bidang perizinan, pendelegasian otoritas kewenangan sebenarnya juga telah diatur dalam
peraturan otonomi daerah. Berdasarkan Keppres No.117/1999, keterlibatan daerah dalam bidang
penanaman modal, khususnya pelayanan perizinan yaitu penerbitan Izin Lokasi, Izin Mendirikan
Bangunan (IMB), dan Izin Gangguan (HO). Izin-izin ini sebenarnya diperlukan oleh pemilik
modal (investor) yang akan melakukan kegiatan usaha di daerah. Nantinya, setelah izin-izin
selesai dibuat, maka investor akan mendapatkan Izin Usaha Tetap. Pascatahun 1999,
kewenangan daerah menguat dalam penerbitan izin penanaman modal di daerah. Kewenangan
perizinan penanaman modal yang tadinya hanya dimiliki oleh pemerintah pusat, pada akhirnya
dapat menangani dan menerbitkan izin yang terkait dengan penanaman modal.
Iklim penanaman modal di daerah yang demikian kemudian menjadi pijakan pusat untuk
menarik kembali kewenangan di bidang penanaman modal yang telah didesentralisasikan ke
daerah. Melalui Keppres No.29/2004, pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman
modal dalam rangka PMA dan PMDN kembali dilaksanakan terpusat pada BKPM melalui
Sistem Pelayanan Satu Atap. Keppres No.29/2004 tersebut memang bukan Keppres pencabutan
kewenangan daerah dalam pelayanan perizinan penanaman modal hanya menyebutkan bahwa
gubernur/bupati/walikota dapat melimpahkan kewenangan pelayanan persetujuan, perizinan, dan

31

fasilitas penanaman modal kepada BKPM, tetapi merupakan prakondisi bagi proses
resentralisasi.
Perihal kewenangan daerah di bidang penanaman modal ditegaskan kemudian dalam UU
No.32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah bahwa lingkup kewenangan daerah di bidang
penanaman modal adalah dalam penyelenggaraaan pelayanan administrasi penananaman modal.
Tidak ada penjelasan detail tentang ketentuan tersebut, demikian pula belum ada kebijakan
turunan untuk menjabarkan ketentuan dimaksud. Namun demikian, penggunaan istilah
administrasi tampaknya merupakan pembatasan terhadap kewenangan daerah di bidang
penanaman modal. Dengan pembatasan kewenangan ini, daerah tidak lagi memiliki kewenangan
terkait dengan pengambilan keputusan strategik seperti pemberian izin persetujuan penanaman
modal, izin pelaksanaan, dan fasilitas penanaman modal. Dengan demikian, berdasarkan UU
No.32/2004 Pemerintah Pusat dapat mengembalikan kewenangan daerah di bidang penanaman
modal pada kondisi sebelum ditetapkannya UU No.22/1999, yakni kewenangan dalam
pemberian perizinan: Izin Lokasi, Izin Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pengelolaan,
IMB, dan Izin UUG/HO.

a. Keputusan Presiden No.29 Tahun 2004


Keluarnya Keppres ini merupakan bagian dari kebijakan pemerintah pusat dalam memberikan
kemudahan bagi para investor sekaligus sebagai daya tarik untuk menarik investasi ke Indonesia.
Pertimbangan utama lahirnya Keppres ini dalam rangka meningkatkan efektivitas menarik
investor berinvestasi di Indonesia. Banyaknya survei dan kajian yang memberikan gambaran
tidak responsifnya aparatur pemerintah dalam memberikan pelayanan perizinan turut membentuk
lahirnya pendekatan Sistem Pelayanan Satu Pintu (One Stop Services) untuk pelayanan
perizinan. Selain itu, perlunya penyederhanaan pelayanan penyelenggaraan penanaman modal
turut menguatkan implementasi pola Pelayanan Satu Atap.
Sistem Pelayanan Satu Atap ini berdasarkan Pasal 6 Kepres No.29 Tahun 2004
dilaksanakan oleh Kepala BKPM pusat dan berkoordinasi dengan instansi yang membina bidang
usaha penanaman modal, seperti Departemen Perindustrian dan Perdagangan atau instansi terkait
32

lainnya. Segala penerimaan yang timbul dari pemberian penyelenggaraan Pelayanan Satu Atap
oleh BKPM, baik itu terkait pemberian pelayanan persetujuan, perizinan, dan fasilitas
penanaman modal diserahkan pada instansi yang membidangi usaha penanaman modal.
Keppres yang ditandatangani pada masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri ini
memang masih terlihat ada sisi kelemahannya. Pertama, BKPM selaku instansi penyelenggara
tidak diberikan kebijakan penuh untuk menyelenggarakan Pelayanan Satu Atap di bidang
penanaman modal. BKPM harus selalu bekerja sama dengan instansi lain seperti Departemen
Perindustrian dan Perdagangan sebelum memutuskan layaknya tidaknya izin yang akan
diberikan kepada calon investor. Hal ini membuat keberadaan BKPM hanya sebagai koodinator
saja dalam penyelenggaraan Pelayanan Satu Atap. Tidak ada pasal yang mengatur secara jelas
adanya pendelegasian wewenang dari instansi lain terkait otoritas perizinan investasi kepada
BKPM. Selain itu, otoritas perizinan lokal yang juga tidak memiliki keharusan untuk
mendelegasikan kewenangannya kepada BKPM terkait penanaman modal tentunya tidak akan
sukarela memberikan kewenangannya. Dalam pasal 4 Keppres No.25 Tahun 2004,
Gubernur/Bupati/Walikota sesuai kewenangannya dapat melimpahkan kewenangannya kepada
otoritas penyelenggara Pelayanan Satu Atap (BKPM) jika memang diperlukan. Tidak ada pasal
yang mengikat otoritas lokal wajib mendelegasikan kewenangannya kepada BKPM. Otoritas
daerah dalam menyelenggarakan perizinan juga memiliki dasar hukum berdasarkan Peraturan
No.22 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2000. Tidak ada perubahan yang
berarti di tingkat lokal, kecuali ada pendelegasian kewenangan perizinan dari otoritas lokal
kepada BKPM.
Banyak pihak yang melihat Keppres No.29 Tahun 2004 Atap ini masih memiliki
kelemahan, baik regulatif maupun koordinatif. Kelemahan pada aspek regulatifnya bahwa
Keputusan No.29 Tahun 2004 merupakan contoh lain dari regulasi legal yang gagal
menyediakan dasar hukum yang jelas dan tidak bermakna ambigu dalam masalah yang hendak
ditangani. Keputusan ini memang mengklarifikasi bahwa bagi pemerintah pusat, Pelayanan Satu
Atap (One Stop Service) merupakan pendekatan yang dianjurkan untuk berhubungan dengan
aplikasi investasi, dan bahwa BPKM merupakan agen pemerintah yang dianjurkan untuk
menjalankan pelayanan OSS tersebut. Namun demikian, dalam melaksanakan peran itu BPKM
terus bergantung pada delegasi otoritas untuk meluluskan investasi dari agen yang bersangkutan.
33

Adapun kelemahan dari sisi koordinatif, Keppres No.29 Tahun 2004 masih terkait
dengan konsekuensi dari otoritas yang berbelit dan tumpang tindih, seringkali dalam bentuk
pengambilalihan kewenangan pelayanan yang bukan kewenangannya oleh BKPM selaku
otoritas penyelenggara pelayanan Perizinan Satu Atap, dan dapat memengaruhi kurang
maksimalnya kualitas pelayanan dan adanya derajat perbedaan kualitas pelayanan pada berbagai
tingkat investasi yang ada mengingat banyaknya investasi yang harus diurus secara nasional.
Secara eksplisit, Keppres No.29 Tahun 2004 juga membawa implikasi pada
berkurangnya kewenangan daerah perihal pemberian persetujuan izin dan fasilitas penanaman
modal karena dilimpahkan kembali ke pemerintah pusat, termasuk proses pelayanan
administrasinya.

Daerah

hanya

menyelenggarakan

pelayanan

administrasi

di

daerah

(Kabupaten/Kota) terkait penyelenggaraan penanaman modal seperti Izin Lokasi, IMB, Izin
Gangguan (HO). Ketentuan ini diatur mengikuti Instruksi Mendagri No.25 tahun 1998 Tentang
Pelayanan Perizinan Satu Atap di Daerah. Selain tiga izin di atas (Izin Lokasi, IMB, dan Izin
Gangguan (HO), Instruksi Mendagri juga mengatur penyelenggaraan pelayanan perizinan
lainnya, seperti Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Izin Trayek, Izin Peruntukan Penggunaan
Tanah, Kartu Tanda Penduduk, dan Akta Catatan Sipil.
Pelaksanaan Pelayanan Sistem Satu Atap setelah keluarnya Inpres No.29 Tahun 2004
dari sisi kuantitas di Kabupaten dan Kota pasca-diimplementasikannya memang kurang
mendapat sambutan yang meriah dari pemerintah daerah. Data dari Kementrian PAN dan
Reformasi Birokrasi tahun 2009 memberikan gambaran pada tahun 2004 tidak ada sistem
Pelayanan Satu Atap yang dibangun pada tahun 2004. Pada tahun berikutnya (2005),
pembangunan sistem Pelayanan Satu Atap di tingkat Kabupaten/Kota juga belum memberikan
hasil yang menggembirakan karena hanya enam sistem Pelayanan Satu Atap yang terbangun.
Ironisnya, Dari enam One Stop Service yang terbangun, lima berada di level Kabupaten dan satu
di level Kota.
Karakteristik pelayanan satu atap yang terjadi pada masa ini juga tidak berbeda jauh
dengan patron birokrasi yang sangat Webberian dan terlihat tidak efektif dan efisien. Asropi
mengidentikasi

permasalahan

penyelenggaraan

sistem

Pelayanan

Satu

Atap

pascapenyelenggaraan Inpres No.29 Tahun 2004 sebagai berikut.

34

Pada umumnya, daerah kurang perhatian terhadap standar waktu dan biaya untuk proses
pelayanan administrasi penanaman modal di daerah. Sebagai akibatnya, waktu yang
diperlukan bagi calon penanam modal untuk menyelesaikan perizinan penanaman modal
di daerah sulit diperkirakan. Penyelesaian perizinan penanaman modal di daerah
seringkali membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit;

Lemahnya koordinasi antara instansi-instansi yang terkait dan pelayanan administrasi


penanaman modal di daerah. Tidak ada hubungan kerja yang jelas antara instansi yang
menerbitkan Izin Lokasi, instansi yang menerbitkan IMB, dan instansi yang menerbitkan
Izin UUG/HO. Masing-masing instansi bekerja sendiri-sendiri;

Meskipun terdapat instansi tertentu di daerah yang menangani bidang penanaman modal,
tetapi kewenangan instansi tersebut tidak memadai untuk meningkatkan kualitas
pelayanan dalam perizinan penanaman modal. Hal ini karena kewenangan pelayanan
perizinan masih dimiliki oleh masing-masing instansi yang secara tradisional
menerbitkan Izin Lokasi, IMB, dan Izin UUG/HO.

Gambaran pelayanan Sistem Pelayanan Satu Atap yang demikian ini tentunya memberikan
implikasi pada iklim investasi di daerah. Ironisnya, tidak jarang terciptanya kondisi yang tidak
kondusif di bidang pelayanan perizinan usaha dikaitkan dengan desentralisasi. Jika demikian,
tujuan dari desentralisasi menjadi sangat kontraproduktif yang tadinya ingin mendekatkan
pelayanan kepada stakeholder, tapi justru menghambat iklim investasi.
Namun demikian, kondisi iklim penanaman modal di daerah tersebut sebenarnya tidak
memiliki relevansi yang kuat dengan kebijakan otonomi daerah karena proses pelayanan
administrasi penanaman modal pada dasarnya telah dilaksanakan oleh daerah sebelum daerah
menerima kewenangan dari pusat dalam bidang penanaman modal. Pelayanan administrasi
penanaman modal di daerah sejak sebelum diberlakukannya UU No.22/1999 adalah bagian dari
sistem pelayanan dan perizinan di daerah. Dalam sistem ini tidak ada kejelasan apakah kasus
permohonan perizinan tertentu merupakan bagian dari kegiatan penanaman modal atau bukan,
semua kasus permohonan perizinan diperlakukan sama.
35

b. Peraturan Menteri dalam Negeri No.24 Tahun 2006


Peraturan yang ditandatangani oleh Mendagri Moh. Maruf pada tahun 2006 ini boleh dikatakan
sebagai

peremajaan

peraturan

sebelumnya

(Keppres

No.29

Tahun

2004)

tentang

penyelenggaraan Pelayanan Satu Atap (One Stop Service). Dalam rangka mendorong
pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi, khususnya dalam memberikan peran yang
lebih besar kepada usaha mikro, kecil, dan menengah, maka diperlukan penyederhanaan
penyelenggaraan pelayanan terpadu sesuai Instruksi Presiden No.3 Tahun 2006 tentang Paket
Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi. Tujuan penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu ini
adalah meningkatkan kualitas layanan publik serta memberikan akses yang lebih luas kepada
masyarakat untuk memperoleh pelayanan publik. Sasaran yang ingin dicapai dari pelayanan satu
pintu ini adalah terwujudnya pelayanan publik yang cepat, murah, mudah, transparan, pasti dan
terjangkau yang pada akhirnya akan meningkatkan hak-hak masyarakat terhadap pelayanan
publik, khususnya pelayanan perizinan.
Beberapa perbaikan yang dilakukan pemerintah pusat terkait penyelenggaraan Pelayanan
Satu Pintu memang cukup jelas dibandingkan dengan Keppres No.29 Tahun 2004 tentang
penyelenggaraan Pelayanan Satu Atap. Beberapa penyederhanaan yang dilakukan antara lain
menyangkut waktu, perangkat lembaga, biaya, prosedur pelayanan perizinan, penanganan
pengaduan, sumber daya aparatur pemberi layanan, dan keterbukaan informasi. Dalam Pasal 4
ayat 2 penyederhaan perizinan meliputi:
1. Pelayanan atas permohonan perizinan dan nonperizinan dilakukan oleh PPTSP;
2. Percepatan waktu proses penyelesaian pelayanan tidak melebihi standar waktu yang telah
ditetapkan dalam peraturan daerah;
3. Kepastian biaya pelayanan tidak melebihi dari ketentuan yang telah ditetapkan dalam
peraturan daerah;
4. Kejelasan prosedur pelayanan dapat ditelusuri dan diketahui setiap tahapan proses
pemberian perizinan dan nonperizinan sesuai dengan urutan prosedurnya;

36

5. Mengurangi berkas kelengkapan permohonan perizinan yang sama untuk dua atau Lebih
permohonan perizinan;
6. Pembebasan biaya perizinan bagi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang ingin
memulai usaha baru sesuai dengan peraturan yang berlaku; dan
7. Pemberian hak kepada masyarakat untuk memperoleh informasi dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan pelayanan.

c. Instruksi Presiden No.3 Tahun 2006


Guna mendukung peningkatan ekspor dan peningkatan investasi untuk pemulihan ekonomi
nasional, pemerintah memandang perlu mengambil langkah-langkah yang mendukung
peningkatan ekspor dan peningkatan investasi. Salah satunya dengan membentuk Tim Nasional
Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi. Instruksi ini ditujukan kepada seluruh jajaran
pembantu presiden (menteri dalam kabinet) dan seluruh pemangku kebijakan di tingkat lokal
untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan
masing-masing dalam rangka pelaksanaan Paket Kebijakan Iklim Investasi.
Salah satu paket kebijakan yang disasar dari Instruksi Presiden ini adalah memperkuat
kelembagaan pelayanan investasi. Program-program yang dibuat antara lain mempercepat
perizinan kegiatan usaha dan penanaman modal, serta pembentukan perusahaan. Tindakan yang
dilakukan guna mengefektifkan program di antaranya dengan melakukan peninjauan sejumlah
ketentuan-ketentuan perizinan di bidang perdagangan, pembentukan sekaligus pengaktifan forum
diskusi dengan dunia usaha, penyederhanaan proses pembentukan perusahaan dan izin usaha,
serta merealisasikan sistem pelayanan terpadu untuk penanaman modal dengan pembagian
kewenangan antara pusat dan daerah yang jelas.
Instruksi Presiden ini juga mengatur sinkronisasi peraturan pusat dan peraturan daerah
dengan cara melakukan peninjauan Perda-Perda yang menghambat investasi. Bidang kepabeanan
dan cukai juga diatur dalam instruksi ini agar dapat mendukung pelaksanaan kegiatan investasi
agar lebih baik.
37

d. Inpres No.6 Tahun 2007


Perjalanan paket deregulasi kegiatan investasi pada pemerintahan SBY berlanjut pada tahun
2007 di mana pemerintah pusat kembali mengeluarkan Instruksi Presiden tentang Paket
Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Rill dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah (UMKM). Keputusan yang diambil pemerintah ini tampaknya ingin mendorong
pelaku ekonomi menengah ke bawah (UMKM) untuk ikut berpartisipasi dalam percepatan
pembangunan ekonomi. Sektor UMKM tidak dapat dipungkiri sebagai instrumen pelaku
ekonomi yang tidak mudah digocang oleh krisis dan instabilitas ekonomi lainnya.
Banyak yang menduga bahwa paket kebijakan ekonomi jilid II ini (sebelumnya adalah
Paket Kebijakan Inpres No.3 Tahun 2006 berisi serangkaian program dan tindakan untuk
perbaikan iklim investasi) tidak disambut baik oleh para pengusaha walau kehadiran paket
kebijakan ini sangat penting untuk memacu perekonomian. Apatisme ini wajar karena belajar
dari kebijakan paket deregulasi ekonomi sebelumnya hanya ramai dibicarakan pada saat awal
implementasi, adapun target dan realisasi paket kebijakan ini masih jauh dari harapan. Menilik
lebih jauh tidak terintegrasinya harapan dan kenyataan dari paket kebijakan ekonomi ternyata
terletak pada inkonsistensi dan tidak tuntasnya paket kebijakan yang dibuat. Seringkali jangka
waktu yang sangat sempit antara paket kebijakan satu dengan yang lain menimbulkan
kontraproduktif sekaligus overlapping kebijakan.
Paket investasi kebijakan yang dilegitimasi melalui Inpres No.6 tahun 2007 ini mencakup
beberapa isu, seperti perbaikan iklim investasi, paket reformasi sistem keuangan, pemberdayaan
UMKM, dan percepatan infrastruktur atau pembangunan. Substansi paket kebijakan ini terdiri
atas paket perbaikan iklim investasi (terdiri dari 41 kebijakan), reformasi sektor keuangan (terdiri
dari 43 kebijakan), percepatan pembangunan infrastruktur (28 kebijakan), dan pemberdayaan
UMKM (29 kebijakan). Dari semua departemen yang mengambil peran kebijakan dalam paket
kebijakan investasi ini, Departemen Keuangan memiliki porsi kebijakan paling banyak karena
mengeluarkan 60 tindakan kebijakan. Inpres No.6 tahun 2007 ini secara umum merinci 141
tindakan yang akan dilakukan untuk empat isu utama dengan penanggung jawabnya adalah 19
menteri di bawah koordinasi Menteri bidang Perekonomian.

38

Pada prinsipnya, substansi kebijakan iklim investasi, reformasi sektor keuangan, dan
percepatan pembangunan merupakan lanjutan dari paket kebijakan investasi sebelumnya. Inpres
No.6 tahun 2007 ini menugaskan Menko Bidang perekonomian dan 19 Menteri lainnya, 3
Kepala LPND serta seluruh gubernur, bupati dan walikota untuk melaksanakan Kebijakan
Percepatan Pengembangan Sektor Rill dan Pemberdayaan UMKM. Khusus mengenai
pemberdayaan UMKM, sebenarnya programnya merupakan perluasan dari beberapa program
dalam Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi sebelum Inpres No.6 Tahun 2006.
Menengok ke belakang pembuatan paket-paket stimulus kebijakan investasi ekonomi
selama ini memang bagian dari strategi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang
menitikberatkan triple track strategy sebagai basis utama pembangunan ekonomi. Pengungkit
kebijakan yang mampu memaksimalkan strategi yang pro-growth, pro-job, pro-poor salah
satunya adalah Inpres No.6 tahun 2007 ini. Paket kebijakan ini selain memperkuat paket
kebijakan investasi sebelumnya, diharapkan juga dapat menjadi katalisator dalam mengatasi
persoalan kemiskinan dan pengangguran.
Namun, tampaknya Inpres No.6 tahun 2007 ini sama nasibnya dengan paket kebijakan
investasi lainnya yang berjalan kurang maksimal. Selain jangka waktu yang sangat singkat antara
satu kebijakan dengan kebijakan yang lain, tumpang tindih kebijakan dan tidak terintegrasinya
kebijakan-kebijakan yang dibuat justru menimbulkan hambatan baru. Respons dari sektor riil dan
kalangan dunia usaha sendiri tidak maksimal terkait permasalahan tersebut. Walaupun setiap
paket kebijakan ini selalu membuat program, tindakan, keluaran, dan sasaran yang terukur
dengan jelas serta target waktu, tetapi tidak mampu diimplementasikan secara maksimal.
Sampai dengan akhir Maret 2008, dari semua program kebijakan yang telah dirancang (141
rencana tindakan ssesuai Inpres No.6 tahun 2007) ternyata hanya 107 tindakan yang selesai
dilakukan. Dengan kata lain, hanya 75,9% tindakan yang selesai, adapun sisanya masih berlanjut
atau belum tuntas.

39

Tinjauan Objektif Perizinan di Daerah


Pada bagian ini, penulis mencoba memberikan gambaran mengenai kondisi objektif pelayanan
perizinan di daerah. Deskripsi yang dipaparkan bersifat umum, dan tidak mewakili kondisi
perizinan daerah tertentu. Berikut ulasan selengkapnya.
a.

Sebelum Era Otonomi Daerah

Fenomena di berbagai daerah menunjukkan bahwa perizinan berpengaruh terhadap terciptanya


iklim investasi di suatu wilayah, baik lingkup nasional maupun daerah. Di Indonesia, sebelum
diterapkannya asas desentralisasi yang diwujudkan melalui pemberian otonomi kepada daerah,
segala hal terkait dengan kebijakan perizinan bersifat sentralistis di mana pemerintah pusat
adalah pembuat keputusan yang mutlak. Begitu pula dalam hal penetapan izinnya, semua harus
melalui persetujuan pemerintah pusat.
Faktor utama tumbuhnya penyelenggaraan investasi di Indonesia tidak lepas dari dua hal
utama, yaitu stabilitas politik dan sosial. Peran penting investor, khususnya PMA sebagai salah
satu penggerak pembangunan ekonomi di tengah keterpurukan kondisi ekonomi orde lama tidak
dapat disangkal. Akselerasi pertumbuhan PMA mencapai puncaknya pada rentang tahun 1980-an
sampai dengan tahun 1995. Pertumbuhan yang sangat pesat ini didorong oleh stabilitas politik,
kepastian hukum, dan kebijakan ekonomi yang kondusif untuk para investor. Kenyamanan ini
yang ditawarkan ini selalu menjadi jualan pemerintah orde baru, dan terbukti berhasil.
Selain faktor kondisi politik dan sosial yang kondusif, semakin nyamannya para PMA
menanamkan modalnya di Indonesia tidak lepas dari strategi kebijakan Paket Deregulasi yang
dibuat pemerintah pusat. Sebagai contoh, pada tahun 1993 pemerintah memberikan kemudahan
perizinan investasi yang memudahkan para investor meliputi lima bidang, yaitu bidang ekspor,
bidang penanaman modal asing, bidang perizinan untuk investasi, bidang kesehatan, dan bidang
penyederhanaan prosedur Amdal (Iklim investasi di Indonesia). Paket kebijakan perizinan yang
lebih disederhanakan berimplikasi pada masuknya PMA ke Indonesia. Hal ini terbukti dari
masuknya tiga perusahaan besar dari Jepang, Korea dan Korindo Group yang merealisasikan
investasinya di Indonesia sebesar USD40 juta untuk membangun pabrik kimia di Jawa Barat.

40

Sinyalemen positif dari respons PMA terhadap Pakto 1993 adalah adanya kenaikan investasi
yang dipublikasikan oleh BPKN sebesar 14% dari tahun sebelumnya.
Tahun berikutnya (1994), pemerintah kembali mengeluarkan Paket Deregulasi kebijakan
untuk lebih meningkatkan realisasi investasi di Indonesia dengan memperbaiki beberapa
kelemahan, seperti kemudahan izin usaha dari sisi lokasi, minimum modal, sampai jangka waktu
berinvestasi. Deregulasi yang dilakukan pemerintah pusat memang terbukti positif. Hal ini dapat
dilihat dari jumlah masuknya PMA yang terus meningkat sejak tahun 1994.

Grafik 2.1
Pertumbuhan Arus Masuk Net PMA ke Indonesia tahun 1984-2006 (sebagai % PDB)

Sumber: Database ADB dan BKPM

Semakin baiknya pelayanan perizinan investasi melalui paket deregulasi kebijakan oleh
pemerintah pusat, semakin mengukuhkan Indonesia sebagai salah satu negara investasi yang
terbaik. Berdasarkan laporan OECD rentang waktu 1990-1997, Indonesia masuk dalam daftar
peringkat 20 besar dunia kategori negara dengan arus PMA terbanyak dengan nilai USD23.684
juta. Prestasi Indonesia ini hanya mampu diungguli oleh Singapura dan Malaysia yang berada di
peringkat 11 dan 14.
41

Ilustrasi ini membuktikan bahwa sentralisasi pelayanan perizinan untuk investasi asing
sebenarnya tidak akan menimbulkan resistensi terhadap kuantitas realisasi investasi jika
pengelolaan dan deregulasi kebijakan dilakukan dengan baik. Tidak dapat dipungkiri,
pembangunan ekonomi masa orde baru memang sangat tergantung pada peran investasi PMA, di
samping belanja negara dari pinjaman luar negeri untuk infrastruktur dan pembiayaan ekonomi
lainnya.
Korelasi antara pertumbuhan investasi PMA di Indonesia dengan peningkatan
pertumbuhan PDB yang pesat dengan rata-rata 7-8%. Dengan pertumbuhan PDB yang cukup
tinggi, rata-rata pendapatan nasional per kapita masyarakat Indonesia naik sangat pesat.
Berdasarkan laporan BPS, pada tahun 1993 pendapatan masyarakat Indonesia sudah melewati
800 USD, jauh dari nilai pendapatan per kapita pada tahun 1968 di bawah 60 USD.

Grafik 2.2
Pertumbuhan PDB Indonesia Tahun 1965-1996 (dalam %)

Sumber: IMF, IMF Database

Selain membawa cerita manis terhadap peningkatan perekonomian masyarakat secara umum dan
penguatan posisi Indonesia dari sisi geoekonomi, sentralisasi perizinan investasi sebelum era
otonomi daerah ternyata juga membawa cerita miring. Sudah menjadi rahasia umum bahwa
kebijakan perizinan lebih bermuatan kepentingan elit-elit pusat sehingga yang terjadi justru
42

inefisiensi sebagai akibat proses birokrasi yang sangat panjang dan tidak transparan. Kedekatan
pemilik modal dengan elite pengambil kebijakan sebelum era orde baru berlangsung menjadi
nilai penting dalam mendapatkan kemudahan akses investasi. Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme
(KKN) menjadi trade mark kegiatan usaha dan menjadi rahasia umum masyarakat. Local voice
dan local action yang kurang dari daerah untuk ikut serta dalam proses pengambilan kebijakan
investasi ikut melanggengkan praktik rent seeking kegiatan investasi di Indonesia.

Era Otonomi Daerah


Permasalahan umum yang terjadi di Indonesia terkait dengan desentralisasi adalah kesiapan
daerah dalam menerima kewenangan yang dilimpahkan dari pusat. Ketiadaksiapan hampir
sebagian besar daerah ketika otonomi daerah dilaksanakan menimbulkan resistensi terhadap
kualitas pelayanan sampai inefisiensi pengelolaan sumber daya lokal. Pemetaan permasalahan
utama kegiatan investasi di Indonesia menurut survei KPPOD tahun 2002 adalah faktor daya
tarik investasi daerah, kondisi sosial politik, infrastruktur fisik, kondisi ekonomi daerah, dan
produktivitas tenaga kerja.
Laporan World Bank pada tahun 2004 menambah catatan buruk kendala kegiatan
investasi di Indonesia, khususnya di bidang perizinan. Pelayanan perizinan yang sangat
dikeluhkan oleh pelaku usaha lebih banyak terkait dengan ketidakpastian biaya dan lamanya
waktu berurusan dengan perizinan dan birokrasi. Faktor penghambat ini masih diikuti oleh
berbagai permasalahan turunan seperti adanya pungutan, baik resmi dan tidak resmi dari
perorangan atau institusi. Lebih lanjut, World Bank menegaskan alasan utama investor sangat
khawatir untuk berinvestasi di Indonesia selain karena faktor birokrasi perizinan adalah
ketidakstabilan ekonomi makro, ketidakpastian kebijakan, korupsi oleh pemda dan pemerintah
pusat, dan regulasi pasar tenaga kerja.

43

Grafik 2.3
Masalah-Masalah Utama Melakukan Bisnis di Indonesia (2007-2008)

Sumber: World Economic Forum, 2007

Sejak penerapan Undang-Undang Otonomi Daerah tahun 1999 dan 2004, resistensi yang
ditimbulkan terkait perizinan usaha masih berada para ranah birokrasi. Survei World Economic
Forum pada tahun 2007 menunjukkan bahwa birokrasi menempati peringkat kedua setelah
infrastruktur yang buruk terkait masalah utama melakukan kegiatan bisnis di Indonesia.
Gambaran ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan otonomi daerah yang dimulai pada tahun
2010 memang belum mampu menciptakan birokrasi yang responsif terhadap penyelenggaraan
kegiatan investasi di daerah.
Dalam praktiknya, ranah perizinan usaha sebagai bagian dari pelayanan publik pada era
otonomi daerah memiliki dua sisi yang saling bertolak belakang. Sisi pertama dapat dilihat
sebagai ruang inovasi kebijakan bagi pemerintah daerah untuk menarik calon investor sehingga
berbagai kemudahan yang ditawarkan agar roda investasi dapat berputar. Namun, sebaliknya sisi
kedua dilihat sebagai peluang daerah untuk memperbesar PAD-nya melalui berbagai retribusi
44

yang mungkin dikenakan dari proses perizinan yang dilakukan. Dapat kita simpulkan bahwa
iklim perizinan yang tercipta di daerah tergantung dari kebijakan yang diambil oleh masingmasing pemerintah daerah, apakah kewenangan perizinan dimanfaatkan untuk memperluas akses
usaha masyarakat atau untuk memperbesar PAD-nya semata-mata.
Deregulasi dan debirokratisasi perizinan usaha merupakan kebijakan yang diambil untuk
memperbarui proses penyelenggaraan pelayanan usaha kepada masyarakat oleh pemerintah, dan
selama ini kita yang rasakan menghambat atau tersendat, untuk disempurnakan melalui proses
percepatan pelayanan dengan memotong mata rantai pengaturan pelayanan dan unit organisasi
yang terlibat. Proses penyempurnaannya harus terpadu, lintas instansi, lintas sektor, dan
dikoordinasikan oleh satu instansi pemerintah yang memiliki kompetensi dan kewenangan untuk
mengambil keputusan final kebijakan yang tumpang tindih, mengurangkan aturan prosedur, dan
rasionalisasi kelembagaan pemerintah. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk menciptakan iklim
investasi yang berdaya saing global dan mencapai sasaran pembangunan ekonomi nasional dan
kesejahteraan rakyat.
Penerapan otonomi daerah berkolerasi terhadap pemberian kewenangan yang lebih luas
kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Demikian halnya dalam
perizinan di mana kewenangan perumusan dan pemberian izin yang sebelumnya ada pada
pemerintah pusat kini bergeser kepada pemerintah daerah. Perizinan pada dasarnya memiliki
fungsi strategis dalam pelaksanaan pembangunan daerah. Namun, kembali pada cara pandang
daerah terhadap kewenangan yang diterimanya, maka hal ini pun juga dapat disikapi secara
berbeda. Pelaksanaan otonomi yang terkesan setengah matang menciptakan ketidakpastian
biaya dan lamanya waktu berurusan dengan perizinan dan birokrasi. Beberapa studi
menunjukkan bahwa kebijakan otonomi daerah sejak tahun 2001 secara tidak langsung telah
memperburuk iklim investasi di Indonesia (Hofman, et.al. 2003; SMERU 2001; Ray, 2003,
2002). Pelayanan publik yang dikeluhkan terutama terkait dengan ketidakpastian biaya dan
lamanya waktu berurusan dengan perizinan dan birokrasi. Ini diperparah dengan masih
berlanjutnya berbagai pungutan, baik resmi maupun liar yang harus dibayar perusahaan kepada
para petugas, pejabat, dan preman.

45

Dengan dalih untuk meningkatkan PAD, pemerintah daerah menerapkan beberapa


pungutan, pajak, sumbangan sukarela, dan pembatasan-pembatasan yang ditujukan kepada
investor dan kegiatan bisnis. Meski demikian, desentralisasi juga memungkinkan sejumlah
pemda memperkenalkan mekanisme pemberian layanan yang inovatif, seperti penyediaan
pelayanan terpadu satu pintu (PTSP). Inovasi-inovasi tersebut ditiru pemerintah daerah yang lain
dan menciptakan suatu persaingan sehat. Namun, laporan setebal 95 halaman itu juga mencatat
bahwa desentralisasi bukan tanpa masalah dalam suatu perekonomian yang besar dan rumit.
Ilustrasi masalah desentralisasi itu ditampilkan dengan mengutip laporan Komite
Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) dan The Asia Foundation (TAF) tentang
Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah yang dirilis Oktober 2008. Riset yang berhasil mensurvei
pelaku usaha dari 243 kabupaten-kota di Indonesia menunjukkan temuan yang mengejutkan.
Ditemukan sekitar 85% peraturan daerah tidak sejalan dengan peraturan di tingkat pusat, dan
tidak lengkap atau mengganggu kegiatan ekonomi. Biaya-biaya dan retribusi meningkat pesat
karena para pemerintah daerah menggunakan wewenang pengaturannya sebagai sebuah
mekanisme untuk menaikkan pendapatan asli daerah (PAD). Dengan kata lain, saat ini
pemerintah daerah berperan sangat signifikan terhadap baik-buruknya kondisi berusaha atau
iklim investasi di Indonesia. Berikut ini gambaran beberapa tinjauan literatur penelitian
mengenai iklim investasi yang pernah dilakukan sebelumnya.

46

Tabel 2.1
Tinjauan Literatur Penelitian Iklim Investasi

Reformasi Perizinan
Reformasi birokrasi yang tengah dilakukan oleh pemerintah dewasa ini menuai berbagai
tanggapan dari masyarakat. Sebagian mengatakan reformasi itu masih jalan di tempat, sebagian
lagi memvonis bahwa apa pun namanya yang tengah dilakukan ini hanyalah perjuangan untuk
mendapatkan tunjangan kesejahteraan yang meningkat, dan lain sebagainya. Deregulasi
perizinan di Indonesia pasca-otonomi daerah sebenarnya telah dilakukan melalui berbagai
instrumen kebijakan. Akan tetapi, patron birokrasi Indonesia yang sangat Webberian dan
hierarkis menimbulkan inkonsistensi reformasi perizinan itu sendiri. Di dalam tubuh birokrasi,
khususnya menyangkut unit pelaksana pelayanan perizinan ada beberapa identifikasi
permasalahan yang ditemukan ditengarai menjadi penghambat reformasi perizinan. Berdasarkan

47

Laporan Pendahuluan Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian


yang disusun oleh Prof. Eko Prasojo et.al., kerja sama antara Menpan-RB dan PKPADK FISIP
UI menggambarkan identifikasi permasalahan perizinan di Indonesia yang cukup kompleks.
Pertama, penyelenggaraan perizinan selama ini belum mampu menciptakan servis yang
baik. Hal ini tidak terlepas dari adanya ketimpangan sumber daya manusia dalam birokrasi yang
masih terbatas di level daerah. Gradasi kecukupan sumber daya antardaerah saat ini masih terjadi
sehingga penyelenggaraan pelayanan perizinan usaha mengalami perbedaan di setiap daerah
otonom.
Kedua, pelaksanaan perizinan usaha di Indonesia masih identik dengan biaya yang tidak
pasti. Transparansi biaya yang tidak pasti menjadi alasan utama bagi calon investor untuk
menanamkan modalnya. Biaya yang tidak pasti dapat timbul karena aturan main yang tidak
mengatur transparansi biaya, atau moral hazard yang dilakukan aparatur negara dengan pembuat
izin. Hasil penelitian di Kota Makassar memberikan gambaran bahwa perilaku seperti ini masih
muncul dalam proses perizinan. Selain karena faktor budaya lokal, kesempatan kompromi antara
pemberi dan penerima layanan turut menimbulkan biaya yang tidak seperti pungutan liar di luar
tarif resmi yang ditetapkan.
Ketiga, budaya elitis lokal yang mengedepankan kedekatan kekuasaan juga menjadi
ranah terjadinya inkonsistensi penyelenggaraan perizinan. Pada era otonomi daerah, kedekatan
dengan penguasa menjadi jurus ampuh dalam mendapatkan proyek dan berbagai kemudahan
usaha lainnya. Kedekatan ini didasari atas kepentingan kelompok, individu, dan kekerabatan
keluarga. Seringkali, proses transparansi perizinan tidak terjadi jika melibatkan permohonan izinizin yang berafiliasi dengan elit lokal.
Keempat, ketimpangan kompetensi dalam pelayanan perizinan usaha dari sisi SDM serta
sarana dan prasarana turut memengaruhi keberhasilan penyelenggaraan pelayanan perizinan.
Keterbatasan jumlah dan kualitas SDM akan memengaruhi kinerja organisasi secara umum.
Minimnya sarana dan prasarana juga menjadi permasalahan mendasar yang hampir ditemui di
daerah. Hal ini tidak lepas dari dukungan dana dan political will dari kepala daerah untuk
mereformasi pelayanan perizinan usaha sebagai katub masuknya investasi ke daerah.

48

Kelima, moral hazard yang sangat kental dalam proses pelayanan perizinan usaha juga
menjadi penghambat responsitas pemberi layanan kepada penerima layanan. Praktik suap,
budaya permisif, menggunakan pendekatan individu tanpa melalui mekanisme yang ada ketika
membuat izin menjadi identifikasi umum praktik moral hazard dalam pelayanan perizinan.
Keenam, ketiadaan grand design penyelenggaraan pelayanan perizinan juga menjadi
permasalahan mendasar dalam menciptakan perizinan usaha yang responsif. Selama ini tumpang
tindih kebijakan pusat dan daerah serta cepatnya perubahan peraturan yang dibuat oleh pembuat
kebijakan membingungkan pemda dalam mengimplementasikan instruksi pemerintah pusat.
Belum lagi kecepatan responsitas daerah yang berbeda semakin memperjelas disparitas kualitas
pelayanan perizinan usaha.
Ketujuh, pelayanan perizinan usaha saat ini belum menerapkan prinsip good governance
secara komprehensif. Ada di satu daerah yang telah menerapkan salah satu prinsip good
governance namun di satu sisi, prinsip lainnya belum berjalan maksimal. Ketimpangan untuk
menerapkan prinsip good governance antardaerah memberikan gambaran bahwa peran kepala
daerah sangat penting dalam mendorong terciptanya tata kelola pelayanan perizinan. Daerahdaerah yang maju pelayanan perizinannya ditopang oleh semangat kepala daerahnya untuk
mereformasi bawahannya. Salah satu instrumen perubahannya dengan prinsip good governance.
Dari semua permasalahan di atas, semuanya memiliki andil dalam mengebiri proses
reformasi perizinan usaha. Permasalahan yang satu dan yang lain saling terkait, dan tidak dapat
dipisahkan. Identifikasi permasalahan ini akan memberikan resistensi yang semakin besar
kepada pemberi layanan jika tidak diperbaiki. Dampaknya bukan hanya pada menurunnya
kepercayaan dunia usaha pada satu daerah, namun di sisi yang lain pelayanan perizinan usaha
sebagai salah satu gerbang investasi daerah justru menjadi beban bagi penyelenggaraan
pelayanan.
Perihal proses reformasi perizinan usaha di daerah itu sendiri, hambatan terbesar selama
penelitian dilakukan di Kabupaten Purbalingga, Kota Makassar, dan Kota Banjarbaru memang
sangat dipengaruhi oleh keinginan dan visi misi kepala daerah setempat. Hampir semua daerah
yang sukses melakukan deregulasi pelayanan perizinan usaha adalah daerah-daerah dengan ciri
memiliki kepemimpinan yang kuat. Melakukan mutasi pegawai dan membuang peraturan49

peraturan daerah yang menghambat proses pemberian izin bukanlah perkara yang mudah. Ada
begitu banyak resistensi dari bawahan yang menganggap perubahan akan membahayakan posisi
dirinya.
Reformasi perizinan yang dilakukan oleh pemerintah daerah secara umum juga masih
parsial di mana reformasi dilandasi atas dasar kebutuhan dan desakan peraturan pusat. Orientasi
penyelenggaraan pelayanan perizinan juga hanya terbatas pada aspek normatif semata.
Mengintegrasikan kemudahan pelayanan perizinan dengan peningkatan kesejahteraan daerah
masih jarang ditemui walau wacana ke arah itu semakin nyata. Masih menggantungkan badan
pelayanan perizinan usaha untuk Pendapatan Asli Daerah menjadi cermin bahwa orientasi jangka
pendek reformasi perizinan masih dirasakan cukup kuat. Masuknya investasi ke daerah hanya
dimaknai dengan semakin meningkatnya retribusi dan pajak daerah yang masuk ke kas daerah.
Aspek multiplier effect terhadap tingkat kesejahteraan daerah ketika perizinan usaha sebagai
bagian dari grand design pelayanan perizinan masih belum terlaksana dengan baik.

50

Gambar 2.1
Kerangka Kerja Reformasi Perizinan

Sumber: Menpan-RB dan PKPADK FISIP UI, 2009. Diolah kembali

Mengandalkan kemampuan pemerintah daerah semata bukanlah pilihan yang bijaksana


mengingat masih banyak kekurangan internal dan eksternal jika melihat kinerja pemerintah
selama ini. Reformasi dapat dilakukan mulai dari perbaikan pada sistem dan prosedur perizinan
untuk membuka peluang investasi dan menciptakan daya tarik yang kuat bagi investor.
Reformasi perizinan sebagai bagian dari reformasi birokrasi memiliki peran strategis demi
menciptakan iklim usaha yang sehat bagi pertumbuhan perekonomian daerah. Tingkat
perekonomian daerah tentunya berkolerasi dengan daya saing daerah, baik di tingkat regional
maupun di tingkat nasional.
Langkah nyata yang dapat dilakukan adalah pembenahan sistem beserta organisasi
termasuk aparat sebagai pemberi layanan. Pembenahan sistem diawali dari penyusunan berbagai
kebijakan yang proinvestasi untuk memperbaiki citra layanan perizinan yang identik dengan
51

lahan korupsi dan proses yang berbelit-belit. Reformasi perizinan di tingkat nasional ditandai
dengan terbitnya Keputusan Presiden No.29 tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman
Modal dalam Rangka PMA dan PMDN melalui Sistem Pelayanan Satu Atap. Sedangkan di
tingkat daerah, pemberlakuan otonomi daerah telah melahirkan berbagai bentuk inovasi dalam
penyelenggaraan pelayanan perizinan usaha. Meskipun inovasi yang dilakukan juga mengacu
pada peraturan di tingkat pusat, dalam pelaksanaannya antara daerah yang satu dan yang lain
memiliki interpretasi yang berbeda-beda.
Pada era otonomi daerah dewasa ini, menggantungkan fungsi perizinan hanya dari sisi
budgeter, yaitu menjadikan pelayanan perizinan sebagai pendapatan bagi kas daerah semata
tampak sangat naf. Pendelegasian sebagian kewenangan pemerintah pusat ke daerah harus
dijadikan momentum untuk melakukan diversifikasi fungsi pelayanan perizinan. Perizinan usaha
saat ini harus menjadi tools sekaligus instrumen rekayasa pembanginan. Artinya, izin yang
dikeluarkan harus dapat menstimulasi perekonomian daerah. Hal ini terkait dengan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Proporsi pemberian izin usaha untuk para calon investor juga harus
proporsional dan seimbang.
Khusus untuk daerah yang memiliki kompetensi unggulan untuk satu jenis usaha,
proporsionalitas pemberian izin mungkin tidak terjadi karena investasi yang masuk justru tertarik
dengan kompetensi daerah yang dituju. Kabupaten Purbalingga menjadi bukti di mana jenis
usaha yang sangat dominan adalah industri rambut. Alokasi izin yang didominasi oleh industri
rambut tidak menghambat perekonomian masyarakat lokal karena usaha turunan dari industri
rambut turut tumbuh di masyarakat. Namun, keseimbangan ekonomi idealnya juga menggali
potensi lain selain kompetensi industri utama. Perizinan usaha juga harus menjadi instrumen
pengaturan tindakan dan perilaku masyarakat. Harus ada keterkaitan antara tujuan pemberian
pelayanan perizinan dengan syarat-syarat yang ditetapkan.
Terkait dengan korelasi proses reformasi perizinan usaha yang dilakukan daerah pada era
otonomi daerah, berdasarkan Laporan Pendahuluan Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana
Perizinan Bidang Perekonomian yang disusun oleh Prof Eko Prasojo dkk, kerja sama antara
Menpan-RB dan PKPADK FISIP UI memberikan gambaran parameter tata alur pembenahan
perizinan. Gambar yang terlihat dalam gambar 2.1 memberikan acuan bahwa arah reformasi,

52

debirokrastisasi, dan deregulasi harus dilakukan secara bersama dan terintegrasi antara pusat dan
daerah. Selama ini, ketidakmampuan dan ketidakharmonisan daerah dalam menangkap
keinginan dan implementasi aturan main yang dibuat oleh pemerintah pusat dilatarbelakangi oleh
kebijakan pusat dan daerah yang tidak sejalan.
Pembenahan perizinan usaha pada era desentralisasi tidak hanya memerlukan
kesinambungan perizinan usaha antara pusat dan daerah, namun juga memerlukan dukungan dari
kelembagaan, personil, teknologi, dan pembiayaan. Kelemahan aspek kelembagaan dalam
penyelenggaraan pelayanan perizinan usaha tidak lepas dari resistensi dinas teknis. Sinergitas
dinas teknis, baik dalam hal koordinasi pembagian tugas dan tanggung jawab lainnya harus
diselaraskan. Media teknologi informasi yang akan memegang peranan penting untuk
mengurangi rentang kendali kantor/badan pelayanan perizinan dengan dinas teknis dari sisi jarak
dan waktu.
Alih teknologi yang tepat guna juga akan mengurangi praktik bad governance karena
kontak langsung pemberi dan pengakses layanan dapat diminimalisir. Penggunaan teknologi
selain mengefisienkan pelayanan perizinan usaha, juga akan meminimalisir ongkos pemberian
layanan publik. Dukungan personil, baik dari kuantitas dan kualitas juga harus diperhatikan
karena proporsi SDM dan beban kerja yang baik akan berimplikasi dengan kualitas layanan.
Terakhir, dukungan political will (dana dan kebijakan yang proinvestasi) akan menentukan
keberhasilan dari proses perbaikan pelayanan perizinan usaha.
Idealnya, pelayanan perizinan usaha juga harus mengedepankan aspek formal pembuatan
izin untuk menjadi acuan bagi pelaksana dalam menjalankan tugasnya. Pembuatan izin usaha
sebaiknya harus dibuat oleh pejabat yang memang menangani pelayanan perizinan. Dari tiga
tempat yang menjadi site penelitian, secara umum keputusan terakhir pemberian izin
didelegasikan kepada kepala kantor/badan pelayanan perizinan setempat. Namun, untuk izin
industri besar, seperti di Kabupaten Purbalingga, proses izin ditentukan oleh Bupati sebagai
administrator tertinggi di lingkup daerah. Keputusan perizinan usaha juga harus menjabarkan
dengan jelas hak dan tanggung jawab pemberi dan penerima izin. Substansi keputusan harus
mengikuti kaidah peraturan dinas terkait dan juga peraturan yang lebih tinggi.

53

Deregulasi pelayanan perizinan sejatinya menyasar pada bagaimana menerapkan prinsip


tata kelola perizinan yang baik agar dapat memberikan pelayanan perizinan yang maksimal
kepada pemohon izin. Tata cara pelayanan perizinan harus dapat memuat prosedur yang jelas
dan sederhana. Standar pelayanan minimal sebagai acuan pemberian pelayanan publik harus
diterapkan dengan baik. Upaya penerapan e-government di Kabupaten Purbalingga dan Kota
Makassar yang masih sederhana patut diapresiasi karena dalam praktiknya cukup membantu
masyarakat untuk mendapatkan izin usaha.
Syarat-syarat administratif untuk mengajukan permohonan izin juga harus dijabarkan dan
dikomunikasikan dengan baik agar transparansi dan akuntabilitas dapat tercipta. Dengan
demikian, pemohon izin dapat mengetahui apa yang mesti dipersiapkan, termasuk biaya dan
lama waktu proses izin yang akan diajukan. Biayanya pun juga harus dijabarkan dengan jelas
komponennya, dan tidak boleh overlapping dengan biaya yang lain. Berdasarkan dari hasil
penelitian di tiga daerah ini, komponen besaran biaya memang berbeda satu daerah dengan
daerah lain. Namun, besaran dan komponen biaya ikut dipengaruhi juga oleh apakah kantor atau
badan perizinan diberikan beban PAD dalam menarik retribusi. Bukti pembayaran idealnya harus
dibuat dan harus sesuai dengan retribusi yang dibayar oleh pemohon izin.
Pengawasan dan pemberian reward and punishment sebagai bagian dari penerapan
prinsip good governance harus dijalankan dengan maksimal. Pengawasan tidak hanya terfokus di
ranah internal semata, namun juga melibatkan pihak luar seperti masyarakat dan organisasi civil
society. Forum formal dan informal yang mempertemukan pemerintah daerah dan pelaku usaha
juga menjadi ranah yang baik dalam menyinergiskan hambatan dan kendala yang ditemui para
pemohon izin. Aspek pengawasan tidak hanya terkait dengan rutinitas kinerja dari
penyelenggaraan pelayanan perizinan apakah sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
evaluasi laporan kinerjanya juga harus dilakukan agar arah deregulasi dan debirokratisasi
penyelenggaraan pelayanan perizinan berjalan sesuai dengan arah yang ditentukan pada awal
perencanaan serta dapat dipertanggungjawabkan. Apa yang dilakukan oleh Badan Perizinan
Terpadu Kabupaten Sragen dengan membuat indeks kepuasan pelanggan dapat menjadi
cerminan bahwa evaluasi dan persepsi masyarakat sangat penting dalam menyempurnakan
penyelenggaraan pelayanan perizinan.

54

Guna mewujudkan pelayanan perizinan yang akuntabel dan responsif, memperbaiki


aturan main dan sistem kerja tampaknya tidak cukup. Dukungan aparatur pemerintah dan
perangkat kerja lain juga harus dimaksimalkan dalam mendapatkan pelayanan yang berkualitas.
Ketimpangan daerah satu dengan daerah yang lain dalam mewujudkan pelayanan perizinan yang
berkualitas tidak hanya karena faktor minimnya dana semata, tapi kemauan untuk berubah dalam
diri aparatur Pemda yang didukung oleh political will dari pimpinan menjadi hal terpenting.
Pengembangan kapasitas SDM pegawai untuk menerapkan prinsip pelayanan yang baik dan
good governance sangat diperlukan, di samping juga independensi pegawai dalam memberikan
pelayanan. Pengembangan pelayanan dengan berbasis kompetensi dan merit sistem harus terus
dilaksanakan guna memastikan pegawai yang bekerja adalah orang yang mengerti tugas dan
tanggung jawabnya. Hal yang tidak kalah penting adalah integrasi dan dukungan dari dinas
teknis untuk menciptakan pelayanan yang responsif. Berdasarkan pengamatan di tiga daerah
penelitian ini, resistensi dinas teknis terhadap kantor atau badan pelayanan perizinan sangat
memengaruhi waktu pemberian izin.

55

Gambar 2.1
Tata Alur Pembenahan Perizinan di Indonesia Deregulasi dan Debirokrasi

Sumber: Menpan-RB dan PKPADK FISIP UI, 2009, diolah kembali

56

III
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Kabupaten Purbalingga
a. Geografis
Kabupaten Purbalingga temasuk ke dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah. Posisi Kabupaten
Purbalingga sendiri berada di sebelah bagian barat daya, tepatnya pada posisi 109 11' BT - 109
35' BT. Luas daerahnya 77.764,122 ha/777,64 km2. Berdasarkan batas administratif, di sebelah
utara Kabupaten Purbalingga berbatasan dengan Kabupaten Pemalang; sebelah Timur berbatasan
dengan kabupaten Banjarnegara; sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Banjarnegara dan
Banyumas; dan di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Banyumas. Secara administratif,
Kabupaten Purbalingga terbagi ke dalam 18 kecamatan, 224 desa, dan 15 Kelurahan. Bagian
Utara, meliputi Kecamatan Karangreja, Bobotsari, Karanganyar, Rembang, sebagian wilayah
Kecamatan Kutasari, Bojongsari dan Mrebet. Bagian Selatan meliputi wilayah Kecamatan
Kalimanah, Padamara, Purbalingga, Kemangkon, Bukateja, Kejobong, Pengadegan. Sebagian
Wilayah Kecamatan Kutasari, Bojongsari dan Mrebet.

57

Gambar 3.1
Peta Kabupaten Purbalingga

Sumber: http://my.opera.com
b. Demografi
Pada tahun 2008, jumlah penduduk Kabupaten Purbalingga berjumlah 917.176 jiwa. Persentase
untuk penduduk laki-laki adalah 50,4%, sementara persentase perempuan adalah 49,6%. Secara
umum, penduduk Kabupaten Purbalingga bersuku Jawa. Perkembangan kota yang semakin pesat
seiring dengan kegiatan ekonominya membuat pertambahan penduduk tidak dapat dihindari.
Dari mulai tahun 2003 sampai dengan 2008, perkembangan penduduk selalu meningkat. Berikut
gambaran perkembangan jumlah penduduk Kabupaten Purbalingga sejak tahun 2003 sampai
dengan 2008.

58

Tabel 3.1
Perkembangan Jumlah Penduduk Kabupaten Purbalingga
Tahun

2003

2004

855.472

863.818

2005

2006

2007

2008

Jumlah
Penduduk
(jiwa)

875.794 882.330

880.015 917.176

Sumber: Bappeda Kab Purbalingga, diolah

c. Potensi Daerah
Sebagai kota yang tidak memiliki sumber daya yang melimpah serta prasarana pendukung
investasi yang mumpuni seperti pelabuhan, lapangan udara, dan prasarana lainnya, tapi itu tidak
membuat Kabupaten Purbalingga miskin potensi investasi. Sebagai daerah yang masih
didominasi oleh sektor primer kegiatan ekonominya, ada beberapa potensi unggulan yang dapat
digali. Selain industri rambut yang memang sudah menjadi potensi unggulan, berikut ini
gambaran potensi daerah yang dimiliki Kabupaten Purbalingga.
1. Pertanian
Sektor petanian di Kabupaten Purbalingga masih mendominasi struktur ekonomi secara
umum. Persentase sektor pertanian saat ini mencapai 33,06%. Meski demikian, ada
kecenderungan terjadi pergeseran dan kenaikan peran beberapa sektor sekunder dan
tertier, meski belum signifikan. Subsektor pertanian saat ini meliputi komoditi tanaman
bahan makanan seperti padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat, kacang tanah, kacang
kedelai, kacang hijau, sayur-sayuran, buah-buahan, dan hasil-hasil produk turunannya.
2. Industri manufaktur, kerajinan, dan makanan olahan

59

Industri manufaktur di Kabupaten Purbalingga saat ini cukup beragam. Akan tetapi,
industri UMKM yang cukup terkenal dan sudah diakui keunggulannya adalah pembuatan
knalpot. Sentra industri knalpot berada di Kecamatan Purbalingga. Selain knalpot,
industri kerajinan tangan yang bahan bakunya dari bambu, tempurung kelapa, serta
pembuatan mebel ukir dan kerajinan kayu juga menjadi industri unggulan. Adapun
makanan olahan yang menjadi ciri khas Kabupaten Purbalingga adalah emping mlinjo,
kacang goreng (klithik), sale pisang, rengginang, mie Ganyong, dan sebagainya.
3. Perdagangan dan jasa
Sektor perdagangan di Kabupaten Purbalingga saat ini berorientasi pada pemenuhan
kebutuhan dasar masyarakat. Perdagangan sandang sangat mendominasi kegiatan usaha
di sentral perdagangan, seperti pasar dan pusat keramaian kota. Selain itu, sektor
perdagangan kuliner juga cukup dominan di mana pusat kegiatannya dilakukan di alunalun Kota Purbalingga. Perdagangan untuk hasil industri UMKM juga sangat pesat, baik
untuk pasar domestik maupun ekspor untuk negara Asia Timur seperti Jepang dan Korea.
4. Pariwisata
Pengembangan objek pariwisata di Kabupaten Purbalingga selama kepemimpinan Bupati
yang terakhir saat ini juga tidak kalah dengan pengembangan di sektor industri. Objek
wisata Owabong menjadi objek wisata terpopuler di Kabupaten Purbalingga, dan menjadi
contoh sukses pengembangan kepariwisataan di Kabupaten Purbalingga. Tempat ini
merupakan pemandian bertaraf internasional yang berada di pedesaan lengkap dengan
nuansa sekitar yang alami dan tradisional. Rindangnya pepohonan di sekitar Owabong
juga semakin menambah suasana sejuk, dan segarnya mata air yang sudah ribuan tahun
menghidupi warga sekitar. Selain Owabong, wisata alam juga dikembangkan oleh
Pemerintah Daerah Purbalingga seperti Munjulluhur, Adventures Zone, River World
Purbasari, dan Desa Wisata Karangbanjar.
5. Ketenagakerjaan
Potensi ketenagakerjaan dalam menunjang investasi di Kabupaten Purbalingga memiliki
peranan penting. Tenaga kerja yang ada di Kabupaten Purbalingga lebih didominasi
60

tenaga kerja terampil. Sebagian besar penyerapan tenaga terampil ini diserap oleh indusri
rambut dan industri turunannya. Selain itu, tenaga kerja informal yang bergerak di bidang
industri rumahan juga sangat banyak, terutama industri unggulan seperti pembuatan
knalpot, makanan olahan, dan kerajinan tangan. Tenaga kerja di sektor pertanian juga
sangat mendominasi karena kegiatan perekonomian Kabupaten Purbalingga saat ini
persentase terbesarnya bidang pertanian.

Tabel 3.2
Tabulasi Peluang Investasi di Purbalingga
No.

Komoditi

Batu Gamping

Lokasi

Kec. Karangmoncol

Volume

530.000 m3

Pemanfaatan

Bahan baku semen portland, semen alam,


keramik, industri kimia

Kec. Rembang

Bahan aditif obat-obatan


2

Kalsit

Kec. Rembang

1.226.000 ton
Bahan baku keramik
12 Ha

Bahan baku keramik


3

Lempung (aluvial)

Kec. Bojongsari

15.000 m3

Kec. Bukateja

17.500 ton

Kec. Kaligondang

16 Ha

Kec. Kalimanah
Kec. Kemangkon

109.080.000 m3

Kec. Kutasari

193.500.000 ton
7.095 Ha

Lantai Keramik
4

Lempung (sedimen)

Kec. Bobotsari

54.525.000 m3

61

Kec. Kaligondang

101.170.000 ton

Kec. Karanganyar

7095 Ha

Kerajinan keramik

Kec. Karangmoncol
Kec. Rembang

Batu Mulia

Kec. Bobotsari

16.200 m3

Gomestone

(sekunder)

Kec. Kaligondang

60.000 ton

Precious stone

Kec. Karanganyar

745 Ha

Ornamental stone

Kec. Karangmoncol

Furnitural stone

Kec. Purbalingga

Toolkit

Kec. Rembang

Electronic microchip

Batu Mulia

Kec. Rembang

105.000 m3

Gomestone

(primer)

Kec. Karangmoncol

250.000 ton

Precious stone

Kec. Karangreja

70 Ha

Ornamental stone
Furnitural stone
Toolkit

Batu Tras

Kec. Karangreja

11.505.000 m3

Kec. Karangmoncol

16.750.570 ton

Kec. Rembang

450 Ha

Electronic microchip

Granit

Kec. Rembang

57.400.000 m

Bahan bangunan

Sabut Kelapa

Kec. Karangmoncol

43.393 ton

Lantai Granit

Kec. Kejobong

Aksesoris rumah tangga

Kec. Pengadegan
Kec. Bukateja
Kec. Kemangkon

62

Kec. Kutasari

10

Hortikultura

Kec. Karangreja

275 ton

(kentang, wortel,
kubis, dll)

Bahan baku jok mobil (eksport)


Alat rumah tangga
Produk olahan segar
Produk olahan kering (industri aneka
snak)

Lada
11

Lada bubuk
Kec. Kejobong
Bahan baku industri jamu

Sumber: http://www.purbalinggakab.go.id
B. Kota Makassar
a. Geografis
Kota Makassar merupakan ibukota provinsi Sulawesi Selatan. Secara geografis, Kota Makassar
terletak pada koordinat 119 derajat bujur timur dan 5,8 derajat lintang selatan dengan ketinggian
yang bervariasi antara 1-25 meter dari permukaan laut. Adapun luas wilayah Kota Makassar
seluruhnya berjumlah kurang lebih 175.77 km2. Di sebelah utara dan timur, kota Makassar
berbatasan dengan Kabupaten Maros, di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Gowa,
dan di sebelah barat berbatasan dengan selat Makassar.

63

Gambar 3.2
Peta Kota Makassar

Sumber: http://ahts.wordpress.com

Secara administratif, Kota Makassar terbagi atas 14 kecamatan, dan memiliki 143
kelurahan. Di antara kecamatan tersebut, ada tujuh kecamatan yang berbatasan dengan pantai,
yaitu kecamatan Tamalate, Mariso, Wajo, Ujung Tanah, Tallo, Tamalanrea, dan Biringkanaya.
Kecamatan Panakkukang memiliki luas terluas dengan 48,22 km2, sedangkan Kecamatan Mariso
memiliki luas terkecil, yaitu 1,82 km2. Berikut gambaran komposisi jumlah dan luas wilayah
kecamatan Kota Makassar selengkapnya.

64

Tabel 3.3
Luas Wilayah dan Persentase Terhadap Luas Wilayah
Menurut Kecamatan di Kota Makassar

Kecamatan

Luas

Persentase

(km2)
(%)
Mariso

1.82

1.04

Mamajang

2.25

1.28

Tamalate

20.21

12.07

Rappocini

2.52

1.43

Makassar

2.63

1.50

Ujung Pandang

1.99

1.13

Wajo

2.10

1.19

Bontoala

5.94

3.38

Ujung Tanah

5.83

3.32

Tallo

17.05

9.70

Panakkukang

48.22

27.43

Manggala

9.23

5.25

Biringkanaya

24.14

13.73

Talamanrea

31.84

18.11

Makassar

175.77

100.00

Sumber: Buku Saku Kota Makassar, 2009


65

b. Demografi
Berdasarkan data dari Dinas Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil jumlah penduduk
Kota Makassar mencapai 1,5 juta jiwa. Adapun hasil sensus Badan Pusat Statistik Kota
Makassar pada tahun 2009, jumlah penduduk sebanyak 1, 2 juta jiwa. Pertumbuhan penduduk
dari tahun 2008 ke 2009 versi Dinas Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil sebesar
200.000 orang, sedangkan BPS Kota Makassar memprediksi pertumbuhan penduduk hanya
berkisar 70.000 jiwa.

Tabel 3.4
Jumlah Penduduk Dirinci Menurut Kecamatan di Kota Makassar
Laju
Kecamatan

Tahun

Penduduk

2000

2000-

Penduduk

Pertumbuhan
Penduduk

Laju
Pertumbuhan
Penduduk

2000-2006

2007

2008

2007-2008

2006
Mariso

52.803

0,74

0,74

53.852

54.616

0,86

Mamajang

58.875

0,03

0,03

59.533

60.394

0,32

Tamalate

144.458

2,47

2,47

150.014

152.197

2,16

Rappocini

136.725

1,78

1,78

140.822

142.958

1,64

Makassar

80.383

0,15

0,15

81.645

82.907

0,43

Ujung Pandang

27.921

0,11

0,11

28.206

28.637

0,39

Wajo

34.137

0,03

0,03

34.504

35.011

0,32

Bontoala

56.991

0,97

0,97

60.850

61.809

1,05

66

Ujung Tanah

45.801

1,18

1,18

47.723

48.382

1,18

Tallo

128.141

2,27

2,27

133.426

135.315

2,00

Panakkukang

129.967

0,97

0,97

132479

134.548

1,21

Manggala

92.524

3,83

3,83

97.556

99.008

2,91

Biringkanaya

119.818

4,71

4,71

126.839

128.731

3,45

Talamanrea

84.890

1,07

1,07

87.817

89.134

1,55

Makassar

1.193.434

1,79

1,79

1.235.239

1.253.656

1,65

Keterangan:
1. Jumlah penduduk tahun 2004 (Hasil Susenas BPS Kota Makassar adalah 1.179.023; Tahun 2005
adalah 1.193.434 jiwa;
2. Jumlah penduduk tahun 2009 (Hasil Susenas BPS Kota Makassar 1,2 juta jiwa, versi Dinas
Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil 1,5 juta jiwa)

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Makassar, Makassar dalam Angka 2007

c. Potensi Kota Makassar


Secara umum, potensi Kota Makassar sebagai tujuan investasi memang cukup beragam.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam kajian Ekonomi Regional
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat memetakan cluster unggulan Kota Makassar.
Komoditi/produk/jenis usaha di Kota Makassar yang sangat dominan, antara lain perhotelan,
restoran, fotokopi, penjualan tekstil, dan perdagangan umum. Pemerintah Kota Makassar
memetakan sektor potensial yang layak untuk dijadikan investasi bagi para PMA dan PMDN.
67

Tabel 3.5
Gambaran Potensi Investasi Kota Makassar
Jenis Sektor

Potensi Investasi

Agroindustri Pengolahan cokelat, jagung, kopi, dan beras


Industri Pengolahan Kayu
Industri Tekstil dan Garmen
Industri Kimia dan Farmasi
Industri

Industri Logam, Mesin dan Komponen (mesin industri, alat


rumah tangga, alat-alat mesin pertanian)
Industri Elektronik dan Peralatan Listrik (perakitan
komponen
elektronik dan peralatan listrik rumah tangga)
Aneka Industri dan Perbengkelan
Industri Air bersih
Pembangunan Jalan Midle & Outer ring road
Pembangunan Jalan dan Jembatan Layang

Perhubungan

Angkutan Massal Kota (Bus & Metro Mini)


Pengembangan Pelabuhan Makassar
Pengembangan Pelabuhan Perikanan Nusantara

68

Perdagangan

Pembangunan & Pengembangan Pasar Tradisional


Pembangunan Pasar Induk Beras
Pengembangan Pariwisata Bahari dan Pulau-Pulau Kecil

Pariwisata

Pengembangan Fasilitas Akomodasi (Hotel)


Restaurant
Pengembangan Rumah Potong Hewan

Perikanan dan Kelautan

Pengembangan Perikanan Tangkap


Usaha Pengolahan Hasil Perkebunan

Sumber: Investment Guidelines Kota Makassar, diolah

C. Kota Banjarbaru
a. Geografi
Kota Banjarbaru terletak antara 30 25 40 sampai dengan 30 28 37 lintang selatan dan 1140
41 22 sampai dengan 1140 54 25 bujur timur. Di sebelah utara Kota Banjarbaru berbatasan
dengan kecamatan Martapura Kabupaten Banjar, di sebelah selatan berbatasan dengan
Kabupaten Tanah Laut, di sebelah Timut berbatasan dengan kecamatan Karang Intan Kabupaten
Banjar, dan di sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Gambut Kabupaten Banjar. Luas
wilayahnya sendiri mencapai 371,38 km2.

69

Gambar 3.3
Peta Administratif Kota Banjarbaru

Tabel.

Sumber: http://id.banjarbarukota.go.id/posisi_geografis.html

70

Tabel 3.6
Jumlah Kecamatan dan Kelurahan Kota Banjarbaru
Kecamatan

Kelurahan

Landasan Ulin Timur


Landasan Ulin

Guntung Payung
Syamsudin Noor
Guntung Manggis
Landasan Ulin Tengah

Liang Anggang

Landasan Ulin Utara


Landasan Ulin Barat
Landasan Ulin Selatan
Palam

Cempaka

Bangkal
Sungai Tiung
Cempaka
Loktabat Utara

Banjarbaru Utara

Mentaos
Komet
Sungai Ulin

71

Loktabat Selatan
Banjarbaru Selatan

Kemuning
Guntung Paikat
Sungai Besar

Sumber: Banjarbaru dalam Angka, 2010


b. Demografi
Berdasarkan data proyeksi penduduk dan hasil survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2008
jumlah penduduk Kota Banjarbaru adalah 164.216 orang dengan komposisi 83.735 laki-laki dan
80.481 perempuan, atau dengan sex ratio 104 yang berarti jumlah laki-laki lebih banyak daripada
jumlah perempuan. Adapun jumlah rumah tangga di Kota Banjarbaru mencapai 43.889 RT.

Tabel 3.7
Jumlah dan Proporsi Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin
di Kota Banjarbaru 2009

Sumber: BPS Kota Banjarbaru, 2010

72

c. Potensi Investasi Kota Banjarbaru


Sebagai kota yang mengusung sektor jasa, industri, dan perdagangan sebagai dimensi utama
pembangunan, Kota Banjarbaru juga memiliki potensi investasi sebagai daya tarik untuk
mengundang investor lokal, nasional, atau internasional untuk menanamkan modalnya. Berikut
gambaran peluang investasi potensial di Kota Banjarbaru.
a. Pembangunan Agrowisata sayur dan buah
Sebagai kota yang menggantungkan kehidupan ekonomi dari sektor jasa sekunder dan
tertier, Banjarbaru mulai membangun potensi jasa agrowisatanya sebagai potensi utama
investasi daerah. Hal ini tidak lepas dari peran Banjarbaru sebagai daerah penyuplai
kebutuhan sayur-mayur kurang lebih 60% untuk masyarakat Banjarbaru, Banjarmasin,
serta sebagian Kota Martapura. Studi kelayakan telah diadakan untuk menggali potensi
ini. Pemda setempat dan Pemerintah Provinsi juga telah menetapkan kesediaan lahannya.
Studi kelayakan dan penyediaan lahan juga disesuaikan dengan RUTR Propinsi, yaitu
sebagai pusat rekreasi sehingga nantinya tidak tumpang tindih dengan RUTR lainnya.
Pembangunan agrowisata buah dan sayuran saat ini difokuskan di Kelurahan Guntung
Payung Kecamatan Landasan Ulin.
b. Pengambangan Tanaman Hias
Potensi sektor pertanian khususnya tanaman hias juga menjadi potensi investasi yang
menjanjikan. Seiring meningkatnya daya minat masyarakat terhadap tanaman hias untuk
memperindah penataan taman rumah dan interior bangunan ini merupakan peluang yang
menjanjikan dalam pengembangan tanaman hias di Kota Banjarbaru. Daya minat
masyarakat Banjarbaru terhadap tanaman hias ditandai dengan sering diadakannya
pameran-pameran tanaman hias. Peningkatan kebutuhan tanaman hias sendiri di
Banjarbaru juga tidak lepas dari menjamurnya sektor pemukiman dan perkantoran yang
semakin banyak. Ketersediaan dan penataan taman menjadi potensi pasar yang patut
dikembangkan.

73

c. Pembangunan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Mini dengan Kapasitas Ton TBS per jam
Pendirian PKS berkapasitas 5 ton TBS/Jam membutuhkan modal investasi sebesar
Rp690.000.000,00 dengan modal kerja untuk satu bulan sebesar Rp117.941.250,00 hasil
perhitungan Net Present Value (NPV) berdasarkan aliran kas pada proyek arus kas PKS
dengan equity 100% dengan discount factor (DF) 20% menghasilkan jumlah
Rp2.212.316.727,00. Nilai IRR ini untuk PKS persen ton/jam adalah 29,04%. Masa
pengembalian modal (PBP) akan tercapai selama periode 3,29 tahun. Nilai net B/C yang
akan diperoleh PKS ini adalah 1,29, maka investasi ini layak diperhitungkan.
d. Pengelolaan Air Minum
Kebutuhan air di Kota Banjarbaru saat ini semakin besar. Ironisnya, PDAM Kabupaten
Banjar sebagai pengelola air hanya mampu melayani 31,63% dari masyarakat
Banjarbaru. Untuk itulah pemerintah daerah membuka kesempatan kepada swasta yang
berminat dalam pengelolaan air minum. Sumber air baku Kota Banjarbaru berasal dari
irigasi Riam Kanan dan air bawah tanah (ground water).
e. Pembangunan Kawasan Industri
Untuk kegiatan industri, Pemda setempat telah merencanakan dan membangun kawasan
industri sesuai dengan RUTR Propinsi (sebagai pusat industri skala regional). Pada tahun
2003 disusun site plan Kawasan Industri di atas lahan 200 Ha, dan tahun 2004 telah
dibangun Gudang Transito dan Grosir. Pembangunan ini memadukan industri dalam satu
kawasan sehingga mudah dalam suplai listrik, air, jaringan dan pengolahan limbah.
Pemda juga berencana membangun pembangunan Depo Petikemas di Kecamatan
Landasan Ulin untuk menunjang kegiatan industri.
f. Getah Pepaya
Kota Banjarbaru juga memiliki potensi getah pepaya (papain), apalagi saat ini produksi
getah pepaya sudah memasuki wilayah perdagangan antarnegara seperti Swedia, Jerman,
dan Amerika yang menjadi tujuan rutin dalam bentuk enzim (kristal hasil ekstrakisasi).
Kebanyakan di negara tujuan ekspor itu, getah pepaya dipakai untuk industri pembuatan
74

kosmetik, farmasi (obat-obatan), makanan dan minuman, maupun pakan ternak. Potensi
daerah ini dapat dijadikan peluang untuk investor yang berorientasikan ekspor.
g. Pembangunan Jasa Perhotelan, Retail, dan Waralaba
Kota Banjarbaru yang berada pada pada pertemuan terminal regional, Bandara
Syamsudin Noor, dan pelabuhan Bandarmasih Trisakti Banjarmasin dengan Kalimantan
Tengah dan Timur menjadikannya sebagai kota yang strategis. Kebutuhan penginapan
yang modern dan representatif sangat diperlukan. Wacana bahwa wilayah Banjarbaru
akan diproyeksikan sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Selatan juga menjadi alasan
penting akan potensi kebutuhan jasa perhotelan dan retail, baik sekarang dan pada masa
datang.
h. Budidaya Penggemukan Sapi Terpadu
Peluang usaha di bidang ini juga masih besar. Lokasi yang direkomendasikan Pemda
setempat berada di Kecamatan Cempaka karena banyak lahan padang rumput dan
berdirinya pabrik tahu sebagai penghasil konsentrat. Dua potensi ini menjadikannya
pertimbangan utama dalam memenuhi kebutuhan asupan ternak sapi.
i. Pembangunan Pusat Pembibitan Ikan
Pemenuhan bibit ikan di Kota Banjarbaru yang masih sangat minim membuat peluang ini
patut dicoba. Selama ini, permintaan yang tinggi tidak dapat dipenuhi seluruhnya.
Akibatnya, masyarakat petani ikan mendatangkan bibit ikan dari pulau Jawa. Jenis ikan
yang diminta adalah patin dan bawal air tawar. Pemda menyediakan lahan bagi
pengembangan bibit ikan di Kecamatan Banjarbaru Utara.
j. Rumah Sakit Berskala Regional
Keterbukaan Pemda kepada swasta untuk mengembangkan rumah sakit di Kota
Banjarbaru dapat ditangkap sebagai peluang bisnis. Masih minimnya rumah sakit yang
representatif dengan kualitas memadai memberikan kesempatan bagi investor. Letak
strategis serta potensi pasar dari daerah lain seperti Martapura, Banjarmasin, dan
Kabupaten lain juga menjadi pertimbangan dalam mendirikan rumah sakit. Adanya
75

rumah sakit yang baik akan mendekatkan pelayanan kesehatan masyarakat Kalimantan
Selatan karena banyak masyarakat yang berobat ke luar Kalimantan karena keterbatasan
saran dan prasarana kesehatan.
k. Pengolahan Keramik
Potensi deposit bahan baku keramik (kaolin) yang cukup besar di Kecamatan Cempaka
menjadi potensi investasi yang juga layak diperhitungkan. Hal ini dipertegas dengan studi
kelayakan kaolin untuk pembuatan gerabah untuk cinderamata dan bentuk lainnya.

76

IV
REFORMASI PERIZINAN USAHA DI DAERAH

Pelaksanaan otonomi daerah yang telah digulirkan oleh pemerintah sejak tahun 1999 membawa
perubahan dalam pelaksanaan pemerintahan dan hubungan antara pusat dan daerah. Salah satu
perubahan itu adalah pemberian wewenang yang lebih luas dalam penyelenggaraan beberapa
bidang pemerintahan. Seiring dengan bertambah luasnya kewenangan ini, maka aparat birokrasi
pemerintahan di daerah dapat mengelola dan menyelenggaraan pelayanan publik dengan lebih
baik sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Namun, hingga sekarang ini kualitas pelayanan
publik masih diwarnai oleh pelayanan yang sulit untuk diakses, prosedur yang berbelit-belit
ketika harus mengurus suatu perizinan tertentu, biaya yang tidak jelas, serta terjadinya praktik
pungutan liar (pungli). Ini semua merupakan indikator rendahnya kualitas pelayanan publik di
Indonesia. Hal ini juga sebagai akibat dari berbagai permasalahan pelayanan publik yang belum
dirasakan oleh rakyat.
Di samping hal di atas, ada kecenderungan adanya ketidakadilan dalam pelayanan publik
di mana masyarakat yang tergolong miskin sulit mendapatkan pelayanan. Sebaliknya, bagi
mereka yang memiliki uang bisa mendapatkan segala yang diinginkannya dengan mudah. Untuk
itu, bila ketidakmerataan dan ketidakadilan ini terus-menerus terjadi, maka pelayanan yang
berpihak ini akan memunculkan potensi yang bersifat berbahaya dalam kehidupan berbangsa.
Potensi ini antara lain terjadinya disintegrasi bangsa, perbedaan yang lebar antara yang kaya dan
miskin dalam konteks pelayanan, peningkatan ekonomi yang lamban, dan pada tahapan tertentu
dapat meledak dan merugikan pemda setempat.
Untuk mengatasi permasalahan di atas pemerintah Kabupaten Purbalingga, Kota
Makassar, dan Kota Banjarbaru berusaha melakukan berbagai upaya agar menghasilkan
pelayanan yang lebih cepat, tepat, manusiawi, murah, tidak diskriminatif, dan transparan. Selain
berpatokan dari kebijakan pemerintah pusat terkait pelaksanaan pelayanan perizinan satu atap
(One Stop Service), masing-masing daerah juga melakukan berbagai penyempurnaan dan inovasi
untuk menyempurnakan proses pelayanan perizinan yang lebih responsif dan akuntabel.
77

Peningkatan pelayanan perizinan ini diharapkan akan menjadi katalisator bagi pengembangan
potensi dan peluang investasi daerah terutama yang bertumpu pada sumber daya lokal. Berikut
gambaran singkat kantor atau badan perizinan di Kabupaten Purbalingga, Kota Makassar, dan
Kota Banjarbaru.

A. Kabupaten Purbalingga
a. Tujuan
Kantor yang kali pertama dibangun dan bertugas secara khusus memberikan layanan perizinan di
Kabupaten Purbalingga adalah Kantor Pelayanan Perizinan dan Investasi (KPPI), yang kemudian
pada tahun 2003 berubah nama menjadi Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KPPT). Maksud
dibentuknya KPPI adalah dalam rangka merespons anggapan negatif dari masyarakat terkait
pengurusan perizinan. Pelayanan perizinan yang ditangani oleh banyak instansi mempunyai
kesan berbelit-belit dan menyulitkan masyarakat. Hal ini disebabkan dalam proses
penyelesaiannya memakan waktu yang lama, persyaratan yang rumit, biaya yang tidak pasti, dan
rawan terhadap pungutan liar. Selama ini, pelayanan terkesan tidak efektif dan efisien. Tujuan
dibentuknya KPPI adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan
perizinan

pelayanan

sehingga

lebih

mudah, cepat, transparan, dan


pasti;
2. Tercapainya target pendapatan
asli daerah (PAD); dan
3. Mengembangkan potensi dan
peluang

investasi

daerah

terutama yang tertumpu pada


sumber daya lokal.

78

Gambar atas. Kantor KPPT Kab Purbalingga


b. Dasar Hukum Pembentukan KPPT
Pendirian Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Purbalingga diawali dari terbitnya
Surat Keputusan Bupati Purbalingga No.44 Tahun 2003. Pada prinsipnya, keputusan ini
mengalihkan pengelolaan Pelayanan Perizinan dan Investasi kepada KPPI Kabupaten
Purbalingga. Keputusan ini diperkuat dengan keluarnya Peraturan Daerah Kabupaten
Purbalingga No.21 Tahun 2003 Tentang pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Kantor
Pelayanan Perizinan dan Investasi (KPPI). Kemudian terjadi penyempurnaan dengan munculnya
Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga No.30 Tahun 2005 Tentang Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Kantor Pelayanan Perizinan dan Investasi. Perubahan kembali dilakukan oleh
Pemerintah Kabupaten Purbalingga dengan keluarnya Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga
No.7 Tahun 2008 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja dan Lembaga
lain.
KPPT merupakan unsur pendukung tugas bupati dalam penyusunan dan pelaksanaan
kebijakan daerah di bidang perizinan dan investasi yang dipimpin oleh kepala kantor yang
bertanggung jawab kepada bupati melalui sekda. KPPT mempunyai tugas pokok membantu
bupati dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang perizinan dan investasi
berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh bupati. Fungsi KPPT sevara lengkapnya adalah
sebagai berikut:
1. Penetapan kebijakan teknis di bidang perizinan dan investasi;
2. Perumusan rencana pengembangan dan penetapan program kerja;
3. Pengoordinasian pelaksanaan kebijakan teknis, pemberian bimbingan, pembinaan, dan
pengawasan di bidang perizinan dan investasi;
4. Pelaksanaan pelayanan perizinan dan investasi sesuai dengan kewenangannya;
5. Pengelolaan informasi dan data di bidang perizinan, peluang usaha, dan investasi;

79

6. Pelaksanaan fasilitasi pengembangan kerja sama perbankan dan perusahaan daerah


dalam rangka peningkatan penanaman modal;
7. Pelaksanaan fasilitasi pembinaan pengembangan dunia usaha;
8. Pelaksanaan pengembangan pola kemitraan dalam pengembangan dunia usaha di daerah;
9. Fasilitasi pembinaan pengembangan perkreditan dalam rangka penanaman modal dan
pengembangan dunia usaha, serta pengembangan lembaga keuangan nonbank;
10. Pelaksanaan urusan ketatausahaan dan kerumahtanggaan; dan
11. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati.

c. Visi dan Misi KPPT Kabupaten Purbalingga


KPPT Kabupaten Purbalingga memiliki visi terciptanya pelayanan perizinan prima untuk
mewujudkan Purbalingga menarik bagi investor. Adapun misinya, yaitu meningkatkan kualitas
pelayanan perizinan yang mudah, tepat, cepat, transparan, dan pasti, meningkatkan kepuasan
pemohon karyawan dan pemerintah serta fungsi organisasi sebagai penyumbang PAD, dan
mengembangkan potensi dan peluang investasi daerah terutama yang bertumpu pada sumber
daya lokal.
Kerja keras untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat membuat KPPT
mendapatkan sertifikasi ISO 9001. Pengakuan
yang diberikan ini tidak terlepas dari janjijanji layanan yang dibuat oleh KPPT untuk
siap melayani dengan prima (cepat, tepat,
mudah, transparan, dan pasti); siap melayani
dengan sopan, ramah, dan sepenuh hati; siap
melayani

secara

professional;

dan

siap

menerima kritik dan saran yang bersifat

80

konstruktif.
Gambar atas. Visi KPPT Kab Purbalingga

d. Prosedur Kerja KPPT Kabupaten Purbalingga


KPPT adalah lembaga berbentuk kantor dimana pola
pelayanan yang diberikan adalah dengan mekanisme satu
pintu (One Stop Service). Dengan pola ini,pelayanan
perizinan dimulai dari penerimaan berkas permohonan,
pemprosesan sampai dengan penandatanganan dokumen izin,
ditangani langsung oleh KPPT. Hal tersebut dilakukan agar
masyarakat memperoleh pelayanan yang prima.

Gambar kiri. Sapta Pesona Industri

Prosedur pelayanan perizinan dibuat sesederhana mungkin agar mudah dipahami oleh
masyarakat atau pemohon yang ingin mengurus izin yang diperlukannya. Adapun jenis perizinan
yang dilayani oleh KPPT Kabupaten Purbalingga dibagi dalam dua kelompok, yaiu kelompok
perizinan terstruktur dan tidak terstruktur. Berikut gambaran singkat mekanisme perizinan di
KPPT Kabupaten Purbalingga.

81

Gambar 4.1
Perizinan Terstruktur KPPT Kab. Purbalingga

CUSTEMOR
SERVICE

PEMOHON
KASIR
PERTAMA

Bag.InformasidanAdministrasi
Pendaftaran

RapatTimTeknis
dilanjutkanDengan
cekLapangan

DITERIMA

KEPALA
KANTOR

KASI
PERIZINAN

AreaFrontOffice

DITOLAK

Bag.Adm
Pemprosesann
AreaBackOffice

Sumber: KPPT Kabupaten Purbalingga, diolah kembali

e. Prosedur pelayanan perizinan terstruktur


Untuk mendapatkan izin di Kabupaten Purbalingga berikut prosedur yang harus dilalui oleh
pemohon:
1. Pemohon yang datang diterima oleh petugas di bagian informasi untuk diberi penjelasan
mengenai prosedur dan persyaratan yang diperlukan;
2. Bagi pemohon yang telah membawa semua persyaratan tersebut di atas, dapat langsung
menemui petugas di bagian administrasi pendaftaran untuk mengisi formulir pendaftaran
yang telah disediakan dengan melengkapi persyaratan yang diperlukan. Kemudian
82

petugas administrasi pendaftaran memeriksa keabsahan dari semua berkas persayaratan


tersebut;
3. Setelah itu, petugas bagian administrasi pendaftaran menyerahkan semua berkas
permohonan kepada tim teknis perizinan melalui petugas bagian pemrosesan untuk
melakukan kunjungan lapangan yang dilanjutkan dengan rapat pengambilan keputusan.
Hasilnya dituangkan dalam suatu berita acara;
4. Apabila hasil rapat tersebut merekomendasikan untuk menerima permohonan, maka
pemohon diwajibkan untuk membayar biaya retribusi perizinan kepada kasir. Sebaliknya,
bila hasilnya merekomendasikan untuk ditolak, maka pemohon tidak perlu membayar
biaya retribusi perizinan;
5. Kemudian tim teknis menyerahkan semua berkas permohonan beserta berita acara, baik
yang merekomendasikan diterima, maupun yang merekomendasikan ditolak kepada
petugas di bagian pemrosesan untuk dilakukan pencetakan berupa surat keputusan dan
pendataan yang langsung masuk dalam database perizinan KPPI;
6. Setelah dilakukan pemrosesan, petugas menyerahkan surat keputusan beserta semua
berkas permohonan kepada kepala seksi perizinan untuk dilakukan verifikasi. Apabila
sudah lengkap dan disetujui, maka kepala seksi itu akan membubuhkan parafnya pada
surat keputusan; dan
7. Setelah itu, surat keputusan tersebut diserahkan kepada kepala kantor untuk
ditandatangani. Surat keputusan
yang telah ditandatangi tesebut
diserahkan kepada petugas di
bagian

informasi

untuk

diserahkan kepada pemohon yang


bersangkutan.

83

Gambar atas. Salah satu tahapan prosedur perizinan di KPPT Kab Purbalingga

Gambar 4.2
Permohononan tidak Terstruktur KPPT Kab. Purbalingga

PEMOHON

CUSTEMOR
SERVICE

KASIR
PERTAMA
Bag.InformasidanAdministrasi
Pendaftaran

AreaFrontOffice

DITOLAK
DITERIMA

KEPALA
KANTOR

KASI
PERIZINAN

Bag.Adm
Pemprosesann
AreaBackOffice

Sumber: KPPT Kabupaten Purbalingga, diolah kembali

f. Perizinan tidak Terstruktur


Untuk perizinan yang tidak terstruktur, prosedur yang ditempuh adalah pemohon yang datang
diterima oleh petugas di bagian informasi untuk diberi penjelasan mengenai prosedur dan
persyaratan yang diperlukan, berikut langkah-langkahnya:
1. Bagi pemohon yang telah membawa semua persyaratan tersebut di atas, dapat langsung
menemui petugas di bagian administrasi pendaftaran untuk mengisi formulir pendaftaran
84

yang telah disediakan dengan melengkapi persyaratan yang diperlukan. Kemudian


petugas administrasi pendaftaran memeriksa kelengkapan dan keabsahan dari semua
berkas persyaratan tersebut;
2. Apabila hasil pemeriksaan tersebut merekomendasikan untuk menerima permohonan,
maka pemohon diwajibkan untuk membayar biaya retribusi perizinan kepada kasir.
Sebaliknya,

bila

hasilnya

setelah

dikonsultasikan

dengan

pimpinan

terkait

direkomendasikan untuk ditolak, maka pemohon tidak perlu membayar biaya retribusi
perizinan;
3. Setelah itu, petugas bagian administrasi pendaftaran menyerahkan semua berkas
permohonan kepada petugas bagian pemrosesan untuk dilakukan pencetakan berupa surat
keputusan dan pendataan yang langsung masuk dalam database perizinan KPPT;
4. Setelah dilakukan pemrosesan, petugas menyerahkan surat keputusan beserta semua
berkas permohonan kepada kepala seksi perizinan untuk dilakukan verifikasi. Bila semua
persyaratan telah lengkap, benar, dan sah menurut aturan yang berlaku, maka kepala
seksi akan membubuhkan parafnya pada surat keputusan;
5.

Setelah itu, surat keputusan tersebut diserahkan kepada kepala kantor untuk
ditandatangani; dan

6. Surat keputusan yang telah ditandatangi tesebut diserahkan kepada petugas di bagian
informasi untuk diserahkan kepada pemohon yang bersangkutan.

g. Jenis layanan Izin KPPT Kabupaten Purbalingga


Sebagai pintu gerbang dalam berinvestasi, KPPT Kabupaten Purbalingga memiliki peranan
penting dalam mengeluarkan layanan izin. Berikut jenis layanan izin yang diberikan oleh KPPT
Kabupaten Purbalingga.

85

Tabel 4.1
Jenis Izin Usaha di Kabupaten Purbalingga
Proses
No.

Jenis Usaha

(hari)

Berlaku

Izin Lokasi

12

Selamanya

Izin Pengeringan

12

Selamanya

Izin Gangguan (HO)

10

5 Tahun

Izin Mendirikan Bangunan (IMB)

10

Selamanya

Izin Usaha Perdagangan (IUP)

Selamanya

Izin Usaha Industri/Tanda Daftar Industri

5 Tahun

Tanda Daftar Perusahaan (TDP)

Selamanya

Izin Reklame

Selamanya

Izin Pertambangan Daerah

Selamanya

10

Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK)

5 Tahun

11

Izin Usaha Pengangkutan

Selamanya

12

Izin Penggunaan Tanah Pengairan

3 Tahun

Sumber: KPPT Kabupaten Purbalingga

86

h. Akses dan Data Informasi


Inovasi yang dilakukan oleh KPPT Kabupaten Purbalingga dalam memberikan layanan kepada
masyarakat tidak hanya terfokus pada aspek kemudahan dan kecepatan waktu semata. Dari sisi
layanan akses informasi dan dukungan teknologi informasi sebagai tools dalam meningkatkan
kualitas layanan, KPPT Kabupaten Purbalingga juga melakukan perubahan. Akses informasi
lengkap

tentang

KPPT

dapat

diakses

melalui

situs

internet

dengan

www.kpptpurbalingga.com.

alamat

Dukungan

teknologi informasi seperti touch screen (layar


sentuh) untuk akses informasi tentang KPPT
juga disediakan. Selain itu, untuk mendapatkan
informasi lebih lengkap mengenai KPPT dapat
juga diakses melalui media CD interactive.
Dengan dukungan infrastruktur ini, diharapkan
masyarakat

dapat

mengakses

informasi

mengenai KPPT menjadi lebih mudah dan


beragam.
Gambar atas. Loket KPPT Kab Purbalingga
Di samping penguatan infrastruktur dari sisi akses informasi, KPPT Kabupaten
Purbalingga juga melakukan pembenahan untuk sistem informasi. Pengembangan Sistem
Informasi Manajemen Perizinan (SIM) sudah dimulai sejak awal berdirinya KPPT tahun 2003
dengan menggunakan bahasa Visual Basic. Pada tahun 2006, dengan tuntutan pengurusan izin
yang semakin banyak dan perkembangan teknologi informasi yang cepat, sistem informasi lama
di-upgrade menggunakan bahasa Vbnet (aspnet berbasis web dan belum diunggah/upload). Ini
sebagai bentuk komitmen KPPT Purbalingga untuk memberikan pelayanan yang cepat dan
mudah kepada masyarakat dengan cara memanfaatkan perkembangan teknologi informasi.

87

i. Best Practice KPPT Kabupaten Purbalingga


Sebagai pintu gerbang investasi di Kabupaten Purbalingga, KPPT dituntut untuk selalu maksimal
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Keberadaan KPPT sendiri selama ini
dimaknai sebagai bagian dari proses reformasi birokrasi sehingga mampu menopang visi dan
misi kepala daerah yang menjadikan Kabupaten Purbalingga sebagai kota yang proinvestasi.
Beragam inovasi dimunculkan sebagai bentuk keseriusan KPPT sebagai pemimpin dalam proses
investasi di Kabupaten Purbalingga. Berikut penulis gambarkan beberapa inovasi yang dilakukan
oleh KPPT Kabupaten Purbalingga.
Kebijakan one stop service telah diterapkan di Purbalingga tiga tahun lebih awal sebelum
konsep tersebut digulirkan Mendagri dengan Permen No.24 2006 Tentang Pembentukan PPTSP.
Hal ini merupakan komitmen dari pemerintah daerah setempat untuk memudahkan para investor
yang ingin menanamkan modalnya di Kabupaten Purbalingga. Pengurangan, Keringanan, dan
Penghapusan Retribusi Perizinan di Bidang Penanaman Modal telah diterbitkan oleh Pemerintah
Daerah Purbalingga pada tahun 2005 melalui Peraturan Bupati No.56 Tahun 2005. Tiga tahun
kemudian tepatnya tahun 2008, pemerintah pusat baru melakukan kebijakan yang sama dengan
terbitnya Peraturan Pemerintah No.48
Tahun 2008. Pada tahun 2007, pemerintah
Kabupaten

Purbalingga

menerbitkan

Peraturan Bupati No.53 Tahun 2007


Tentang

pembebasan

retribusi

izin

gangguan, Tanda Daftar Industri, Izin


Usaha Perdagangan, dan Wajib Daftar
Perusahaan bagi usaha kecil mikro.

Gambar atas. Moto Pelayanan KPPT Kab Purbalingga

88

Selain tiga inovasi di atas, KPPT juga melakukan berbagai terobosan di bidang lainnya,
seperti penetapan Standar Pelayanan publik, Penetapan Perda Pelayanan Publik, standar
operasional pelayanan publik dan manajemen pengaduan, sosialisasi di berbagai media (tatap
muka, leaflet, spanduk, komputer layar sentuh, website, radio, koran, dan televisi). Inovasi dalam
hal pelayanan perizinan juga menyentuh aspek penerapan sistem informasi manajemen.
Penerapan manajemen di KPPT Kabupaten Purbalingga sudah berstandar ISO 9001-2000.
Pendelegasian wewenang pelayanan perizinan IMB tertentu kepada Camat juga mulai dilakukan
sebagai bentuk solusi untuk mengurangi rentang kendali yang terlalu panjang dalam proses
pengurusan izin usaha.

j. Hambatan Perizinan di KPPT Kabupaten Purbalingga


Reformasi yang dilakukan oleh KPPT Kabupaten Purbalingga untuk memperbaiki kualitas
perizinan tidak lepas dari kelemahan. Kelamahan yang ada selama ini memamg tidak terlalu
menonjol, baik di lingkungan internal maupun eksternal organisasi. Hanya saja para pengusaha
yang ingin membuat izin atau pun memperpanjang izin kadangkala kurang mendapatkan
informasi terbaru perihal kebijakan Pemda setempat. Ekspektasi masyarakat kadangkala ketika
sudah berada di KPPT Kabupaten Purbalingga berubah karena peraturannya sudah berubah. Hal
ini tentu saja berdampak pada biaya dan waktu yang harus disesuaikan dengan peraturan baru.
Kelemahan ini memang tidak lepas dari masih belum sempurnanya sosialisasi peraturanperaturan baru perizinan usaha di Kabupaten Purbalingga.

k. Hambatan Umum Iklim Investasi di Kabupaten Purbalingga


Pada bagian ini, penulis mencoba memaparkan permasalahan-perrmasalahan kota yang nampak
saat penelitian dilakukan. Permasalahan ini dikelompokkan menjadi dua kategori umum, yaitu
permasalahan yang mendapat perhatian tinggi, dan permasalahan yang walaupun mendapat
perhatian, namun memiliki prioritas yang rendah. Dari dua kategori permasalahan tersebut
kemudian diidentifikasi permasalahan eksternal, yaitu permasalahan pembangunan yang
diakibatkan oleh kondisi eksternal kota beserta peran dan fungsi Kota Purbalingga dalam
89

konstelasi wilayah yang lebih luas, dan permasalahan internal yang diakibatkan oleh hal-hal
yang berasal dari dalam kota.

Permasalahan eksternal

1. Perkembangan Pelimpahan Penduduk dan Kegiatan Wilayah


Kegiatan roda perekonomian yang terus menggeliat serta penguatan orientasi pelayanan
dan perkembangan Kabupaten Purbalingga yang semakin pesat juga meningkatkan
potensi terjadinya limpahan penduduk ke Kota Purbalingga yang menjadi pusat
pelayanan dan pertumbuhan secara umum. Apabila tidak dikelola dan dimanfaatkan
dengan baik pemanfaatan ruang dan lingkungan, limpahan penduduk tersebut akan
menimbulkan potensi-potensi masalah kota dengan peningkatan kepadatan penduduk,
meningkatnya beban kota dalam penyediaan sarana dan prasarana kebutuhan penduduk,
meningkatnya intensitas pemanfaatan ruang dan lingkungan, menurunnya kualitas
lingkungan, dan lain-lain.
2. Ketersediaan sarana dan prasarana pelayanan kota yang tidak sesuai dengan peran dan
fungsi kota
Semakin berkembangnya peran dan fungsi dari Kota Purbalingga dalam konstelasi
pengembangan wilayah regional dari provinsi Jawa Tengah membuat peran kota semakin
besar. Akan tetapi, peran ini tidak diimbangi dengan prasarana transportasi di mana
idealnya

Kota

Purbalingga

memiliki

keterhubungan

dengan

wilayah-wilayah

bawahannya. Kebutuhan prasarana yang memadai ini penting karena peran Kota
Purbalingga saat ini sudah menjadi wilayah pendukung kota bagi wilayah sekitarnya,
terutama

Kabupaten

Banyumas

yang

tergabung

dalam

kerja

sama

regional

BARLINGMASCAKEB.
3. Perkembangan

Kabupaten

Purbalingga

mengarahkan

kecenderungan

orientasi

pemenuhan pelayanan masyarakatnya yang akan semakin menguat ke Kota Purbalingga


Saat ini, berkembangnya kegiatan-kegiatan dan jasa-jasa pelayanan di Kabupaten
Purbalingga terutama di kawasan kota, orientasi pemenuhan jasa dan pelayanan
90

masyarakat Kabupaten Purbalingga cenderung mengarah ke kota. Dikhawatirkan,


perkembangan Kabupaten Purbalingga yang semakin pesat akan menguatkan
kecenderungan orientasi pelayanan tersebut. Hal ini akan berimplikasi pada kurang
berkembangnya kegiatan-kegiatan dan jasa-jasa pelayanan di tingkat kecamatan.

Permasalahan Utama yang bersifat internal

Selain permasalahan yang bersifat eksternal, kompleksitas permasalahan pembangunan Kota


Purbalingga secara umum juga muncul dari dalam kota. Penulis mencoba memetakan
permasalahan utama yang bersifat eksternal sebagai berikut:
1. Kegiatan Industri yang menyebar di beberapa penjuru kota
Pembangunan kota di Kabupaten Purbalingga, terutama dari sisi pertumbuhan industri
terkait dengan masih belum tertatanya kawasan industri dengan baik. Banyak lahan
pertanian yang dikonversi sebagai tempat untuk memproduksi hasil industri tersebut yang
menyebabkan terganggunya pemandangan dan polusi di lingkungan sekitarnya. Selain
itu, dengan adanya kegiatan industri yang masih dilakukan di pusat kota menyebabkan
kemacetan saat jam masuk dan keluar buruh pabrik berlangsung. Menyebarnya kegiatan
industri yang menyebar di beberapa penjuru kota dapat terjadi karena tidak digunakannya
Rencana Umum Tata Ruang Kota secara maksimal sebagai dasar pembangunan Kota
Purbalingga. Kawasan yang direncanakan untuk lokasi industri pada mulanya, ternyata
hanya sebagian kecil yang digunakan untuk kegiatan industri, dan lokasi lainnya belum
dibangun sesuai dengan arahan rencana.
2. Belum dibangunnya jalan lingkar
Minimnya sarana jalan lingkar di bagian utara dan tenggara Kota Purbalingga membuat
penyelesaian masalah kemacetan dan mengurangi kepadatan lalu lintas menjadi
terkendala. Selain itu, keterlambatan pembangunan jalan lingkar ini ikut menghambat
pembukaan wilayah di bagian selatan, khususnya pengembangan berbagai fasilitas di
desa sekitar area itu.
3. Bercampurnya kegiatan industri dengan kawasan permukiman
91

Sampai saat ini, kegiatan industri seperti bulu mata palsu, wig, kuas kosmetik, manekin,
serta kayu olahan keramik lokasinya masih menyebar di berbagai kota dan bercampur
dengan kawasan permukiman. Alasan utama mengenai diperbolehkannya lokasi industri
di areal permukiman dalam rangka untuk mengembangkan industri kecil. Namun, jika
industri kecil ini nantinya berkembang menjadi industri besar, bahkan berkualitas ekspor
konflik antarkepentingan dua kawasan yang berbeda akan terjadi.

B. Kota Makassar
Instansi yang memberikan layanan perizinan di Kota Makassar disebut dengan Kantor Pelayanan
Administrasi Perizinan (KPAP). KPAP Kota Makassar sebagai instansi yang memberikan jasa
pelayanan publik di sektor perizinan sangat menyadari adanya kebutuhan dan tuntutan
masyarakat akan pentingnya iklim perizinan yang lebih kondusif. Sebagai bentuk komitmen
Pemerintah Kota Makassar dalam meningkatkan sistem pelayanan di sektor perizinan, maka
Walikota Makassar menetapkan KPP Kota Makassar sebagai tempat pelayanan perizinan dengan
sistem satu atap ditandai dengan dikeluarkannya Peraturan Walikota Makassar No.14 Tahun
2005 tentang tata cara pemberian izin.
Perubahan sistem pelayanan menjadi satu atap berimplikasi juga terhadap perubahan
nama Kantor Pelayanan Perizinan Kota Makassar menjadi Kantor Pelayanan Administrasi
Perizinan (KPAP). Perubahan nama ini didasari atas keluarnya Peraturan Daerah Kota Makassar
No.13 Tahun 2005 Tentang pembentukan susunan organisasi dan tata cara kerja Kantor
Administrasi Perizinan.
Maksud dan tujuan pembentukan KPAP Kota Makassar adalah untuk mengoptimalkan
pelayanan

kepada

masyarakat

secara

umum. Kemudian dengan adanya KPAP


Kota Makassar ini, penyederhanaan proses,
efisiensi, dan ketepatan waktu setiap
pelayanan

perizinan

dapat

terpenuhi.

Kemudian tujuan umum dari semua proses


92

itu adalah dalam rangka mewujudkan pelayanan prima dan good governace sebagai pilar
penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik.
Gambar atas. Suasana Pelayanan KPAP Kota Makassar

Dengan dilaksanakannya pelayanan perizinan yang prima melalui KPAP, maka secara
bertahap diharapkan legalitas usaha bagi UKM semakin meningkat yang pada akhirnya
memberikan multiplier effect, seperti berkembangnya sektor riil, akses ke lembaga pembiayaan,
kondusifnya perdagangan dan investasi, selain juga peningkatan penerimaan PAD Kota
Makassar secara umum.

1. Kedudukan dan Fungsi KPAP Kota Makassar


a. Kedudukan
Adapun kedudukan KPAP Kota Makassar merupakan unsur pendukung dalam pelaksanaan tugas
tertentu. KPAP Kota Makassar dipimpin oleh seorang kepala kantor yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah.

b. Tugas
KPAP Kota Makassar mempunyai tugas merumuskan, membina, dan mengendalikan kebijakan
pelayanan administrasi perizinan. Lingkup tugas ini meliputi perumusan kebijakan, koordinasi,
dan pengendalian layanan administrasi penelitian dan penerbitan izin, penerimaan, dan
pembukuan, serta pelaporan.

93

c. Fungsi
Adapun fungsi KPAP Kota Makassar meliputi, anra lain penyusunan rumusan kebijaksanaan
pelaksanaan bidang pelayanan administrasi perizinan dan peningkatan pelayanan izin-izin
kepada masyarakat; perumusan kebijaksanaan teknis pelaksanaan bidang penerbitan izin-izin
yang telah mendapat rekomendasi dari instansi terkait; penyusunan rumusan kebijaksanaan
pelaksanaan pengelolaan pungutan biaya perizinan dan pembukuan; penyusunan rumusan
kebijaksanaan pelaksanaan pengelolaan pungutan biaya perizinan dan pembukuan; penyusunan
bimbingan dan pengendalian pelaksanaan pengoordinasian dan penyusunan program pendataan
izin dan pembuatan laporan izin yang telah diterbitkan; dan pengelolaan administrasi urusan
tertentu.

d. Mekanisme Pelayanan Perizinan Kota Makassar


Mekanisme pelayanan perizinan yang dilakukan di KPAP Kota Makassar sesuai dengan
Peraturan Walikota Makassar No.14 Tahun 2005 Tentang tata cara pemberian izin pemkot
Makassar. Keluarnya peraturan ini mengubah mekanisme perizinan menjadi sistem satu atap atau
lazim dikenal dengan istilah One Stop Services (OSS). Dengan sistem ini masyarakat pemohon
izin tidak lagi harus menempuh birokrasi yang panjang. Pemohon izin hanya berhubungan
dengan petugas yang ada di loket front office. Dengan sistem ini, pihak KPAP Kota Makassar
mengklaim segala permasalahan perizinan seperti transparansi biaya, kepastian waktu, serta
memungkinkannya masyarakat untuk mengajukan komplain dapat diakomodasi. Komplain dapat
dilakukan melalui kotak saran atau unit layanan informasi dan keluhan masyarakat yang
disediakan. Perubahan mekanisme perizinan menjadi One Stop Service di KPAP Kota Makassar
juga berdampak pada perubahan mekanisme keseluruhan. Jika sebelum ada OSS pemohon izin
harus mengambil surat izin yang telah jadi di Dinas Teknis terkait, maka setelah ada mekanisme
OSS pemohon izin dapat mengambil surat izin yang telah selesai di KPAP. Oleh karena itu,
muncul jargon baru di KPAP Kota Makassar, yaitu Berawal dan Berakhir di Sini (KPAP).

94

Gambar 4.3
Bagan Alur Prosedur Perizinan KPAP Kata Makassar

Sumber: Peraturan Walikota Makassar No.14 Tahun 2005, diolah

e. Perbaikan yang Dilakukan untuk Memperbaiki Layanan Perizinan Usaha


Dalam rangka memperbaiki kinerja KPAP Kota Makassar agar lebih responsif terhadap
permintaan permohonan perizinan, beberapa perbaikan telah dilakukan oleh KPAP. Perbaikan
utama yang dilakukan pada tahun 2009 adalah
perubahan

model

layanan

yang

tadinya

dilakukan dengan manual menjadi berbasis


teknologi informasi. Salah satunya pengadaan
perangkat komputer untuk layanan front office.
Kebijakan ini diambil karena model layanan
front office saat ini mulai dari permohonan izin
95

sampai penerimaan izin setelah membayar retribusi dilakukan ditempat yang sama.
Gambar atas. Inovasi Scan Dokumen KPAP Kota Makassar

Dari sisi penyediaan informasi mengenai layanan dan jenis perizinan yang diberikan,
KPAP Kota Makassar juga melakukan sosialisasi informasi kepada masyarakat terkait dengan
alur proses, retribusi, dan waktu penyelesaian perizinan. Penggunaan sistem teknologi informasi
juga diterapkan pada KPAP Kota Makassar. Pada saat ini,
kondisi penggunaan sistem informasi pelayanan perizinan
berbasis teknologi informasi menyajikan informasi tentang
layanan

mulai

regulasi

perizinan

mencakup

seluruh

perizinan dari jenis, tata cara, dan prosedur pelayanan


perizinan melalui (info layanan) dan website perizinan Kota
Makassar di alamat www.perizinan.makassarkota.go.id.
Website perizinan ini juga menampilkan forum interaktif
(tanya jawab) yang dapat diakses secara langsung (online)
melalui internet oleh masyarakat.

Gambar atas. Touchscreen Informasi Pelayanan KPAP Kota Makassar

96

Tabel 4.2
Perkembangan Jumlah Izin Kota Makassar Tahun 2001-2009
Tahun

Jumlah Izin

2002

7086

2003

12857

2004

17492

2005

18812

2006

18619

2007

21492

2008

23492

2009

24769

Sumber: KPAP Kota Makassar, 2009

97

Tabel 4.3
Lama Waktu Pelayanan Perizinan Kota Makassar
No.

Jenis Perizinan

Izin Gangguan (HO)

SIUP Besar

SIUP Menengah

SIUP Kecil

TDP Koperasi

TDP Perorangan

TDP Perseroan Terbatas

TDP Perseroan Komenditer

Tanda Daftar Industri (TDI)

10

Izin Usaha Industri (IUI)

11

Izin Operasional Bursa Kerja Khusus

12

Izin Jasa Konstruksi

13

Izin Usaha Percetakan Grafika

14

Izin Usaha Perfilman

15

Izin Usaha Pameran

16

Izin Usaha Kepariwisataan

17

Izin Trayek Angkutan Kota

18

Izin Mendirikan Bangunan (IMB)

Waktu Yang Diperlukan

Rata-rata waktu yang diperlukan enam hari

Maksimal 12 hari

Sumber: KPAP Kota Makassar, 2009


98

Hambatan Perizinan di KPAP Kota Makassar


1. Makassar sebagai kota besar cenderung memiliki jumlah permintaan izin usaha yang
lebih tinggi. Kondisi ini menyebabkan hambatan dan keterlambatan dalam proses
perizinan. Hal ini bisa terjadi karena dalam proses pemberian layanan perizinan usaha
tidak didukung oleh kapasitas dan sumber daya manusia yang cukup. Ketertarikan para
investor untuk membuat izin usaha memang dilatarbelakangi potensi Kota Makassar yang
besar. Sebagai gerbang emas Indonesia Timur, Kota Makassar memang menjanjikan
banyak peluang dan keuntungan dalam berinvestasi. Untuk melakukan investasi tentunya
PMA atau PMDN harus membuat surat izin usaha dan izin turunannya untuk mendirikan
sebuah kegiatan sebagai prasyarat mutlak. Walaupun sulit dan tidak sesuai dengan
ekspektasi yang diharapkan (waktu dan biaya) para investor ini akan tetap berbondongbondong untuk mengurus izin dalam mendapatkan legitimasi yang sah untuk
menjalankan usahanya.
2. Dari sisi lokasi dan tata ruang kantor juga menjadi salah satu kendala dari keberadaan
KPAP Kota Makassar. Petugas KPAP sendiri mengakui akan kurang strategisnya lokasi
KPAP. Pemberian izin idealnya dilakukan di tempat yang strategis, dan mudah dilhat
orang dengan tata ruang yang baik. Kondisi KPAP Kota Makassar saat ini masih belum
sempurna. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan bangunan KPAP yang cenderung tidak
strategis dan kurang mencukupi dari sisi luas bangunan. Letaknya yang kurang baik
karena berada dalam satu area dengan kantor bangunan dinas lain akan membuat sulit
pemohon pembuat izin untuk mendatangi KPAP.
3. Dalam hal kelengkapan personel dan sarana penunjang KPAP mengakui ada kelemahan,
namun perbaikan akan dilakukan secara bertahap. Asumsi ini terlihat setelah KPAP
melakukan studi banding ke daerah (Jembrana dan Gianyar) yang berhasil. Studi banding
diharapkan dapat memperbaiki kelemahan serta gap yang terjadi dalam internal
organisasi KPAP. Perbaikan kelemahan bukan hanya ditekankan pada perbaikan sistem
dan infrastruktur, tapi juga budaya kerja dan peningkatan kapasitas SDM.
4. Kelemahan yang teridentifikasi terkait pelayanan perizinan adalah masih adanya budaya
permisif yang terjadi ketika pemberi layanan dengan pengakses pelayanan bertemu.
99

Budaya daerah setempat yang cenderung ingin instan, tapi tidak dapat diimbangi oleh
KPAP. Akibatnya, timbul praktik rent seeker yang memanfaatkan gap responsitas
layanan permintaan izin. Kolusi, suap, dan bentuk penyuapan lainnya tidak dapat
dipungkiri oleh KPAP dan para pelaku usaha terkait.
5. Masalah lain yang turut menjadi penghambat proses berinvestasi di Kota Makassar
adalah masih rendahnya insentif investasi dan kepastian hukum bagi investor. Walau ada
beberapa kebijakan deregulasi insentif izin oleh pemerintah kota setempat, tapi
pengusaha masih merasakan belum maksimal. Kelemahan ini sebenarnya juga telah
terindentifikasi, dan menjadi prioritas pembangunan Kota Makassar tahun 2009-2014.

C. Kota Banjarbaru
a. Latar Belakang
Kelembagaan penyelenggaraan pelayanan perizinan di Kota Banjarbaru dimulai pada tahun 2004
ketika Pemerintah Kota Banjarbaru mendirikan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KP2T).
Sebelumnya, bentuk pelayanan perizinan masih diserahkan kepada masing-masing dinas teknis.
Pendirian KP2T tidak lepas dari kebutuhan pelayanan perizinan yang cepat dan transparan, serta
meminimalkan praktik bad governance yang terjadi antara aparatur pemberi layanan dan
pelanggan/pemohon izin. Pada awal dibentuknya, KP2T memiliki kewenangan delapan jenis
perizinan. Perubahan dinamika yang semakin kompleks di Kota Banjarbaru dari segi
penyelenggaraan pelayanan perizinan melatarbelakangi perubahan status kantor menjadi badan
dari keberadaan KP2T.
Political will yang cukup kuat dari Walikota setempat serta dukungan dari para pegawai
menjadi awal untuk membenahi KP2T.
Kegiatan-kegiatan benchmarking dilakukan
demi menyempurnakan fungsi dan kapasitas
KP2T. Komparasi dilakukan kepada daerah
yang dinilai berhasil dalam penyelenggaraan

100

pelayanan perizinan, seperti Kabupaten Sragen, Jembrana, Malang, Yogyakarta, dan Cimahi.
Dari semua daerah, tim KP2T mengambil best practice yang dapat diambil dan diaplikasikan.
Gambar atas. Tampak Depan BP2T Kota Banjarbaru
Demi menciptakan pelayanan yang responsif, berdasarkan surat peraturan Walikota
Banjarbaru No.9 Tahun 2008, berdirilah Badan Penanaman Modal dan Perizinan (BPMP).
Penambahan aspek penanaman modal ditujukan agar proses penanaman modal dan pengurusan
izin

dapat

dilakukan

lebih

mudah

jika

ditempatkan dalam satu badan pelayanan. BPMP


bertahan kurang lebih satu tahun karena pada
awal tahun 2009 BPMP kembali diubah. BPMP
diubah

menjadi

Terpadu

Badan

(BP2T).

Pelayanan

Adapun

Perjinan

pengelolaan

penanaman modal diintegrasikan ke dalam


Bappeda Kota Banjarbaru.
Gambar atas. Salah satu sudut ruang BP2T

b. Visi dan Misi

Pelayanan Perizinan Prima Bebas KKN.

c. Misi

Meningkatkan

kompetensi

sumber

daya

aparatur;

Meningkatkan kualitas pelayanan perizinan;

Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam

manajemen pelayanan perizinan; dan

Meningkatkan pengawasan dan akuntabilitas dalam pelayanan perizinan.


101

Gambar atas. Papan Reklame di area BP2T

d. Ikrar Pelayanan BP2T Kota Banjarbaru

Kami karyawan/karyawati Badan Pelayanan Perizinan Terpadu akan melakukan


pelayanan perizinan sesuai dengan indeks kepuasan masyarakat (IKM);

Kami karyawan/karyawati Badan Pelayanan Perizinan Terpadu tidak akan


menerima pemberian, baik berupa uang atau barang yang kami patut menduga
bahwa pemberian ini bersangkut paut dengan proses pelayanan yang kami
berikan;

Kami karyawan/karyawati Badan Pelayanan Perizinan Terpadu siap menerima


sanksi jika secara nyata kami tidak memberikan pelayanan yang memuaskan, dan
terbukti melakukan tindakan koruptif dalam proses pelayanan.

102

Tabel 4.4
Jenis Pelayanan Perizinan BP2T Kota Banjarbaru

Sumber: BP2T Kota Banjarbaru, diolah

e. Beberapa Perbaikan BP2T


1. Dari sisi bangunan gedung, terjadi perluasan wilayah kantor dari 80 m2 menjadi 350
m2. Perluasan luas kantor ini sebagai bukti adanya komitmen pemerintah kota pada
kelayakan kantor perizinan untuk menampung para pemohon yang akan membuat
izin. Sisi tangible adanya kantor yang luas sangat penting karena dari tiga wilayah
yang menjadi site penelitian kantor BP2T menjadi kantor yang paling luas.
2. Reformasi paradigma pola pikir juga dilakukan ketika KP2T berubah menjadi BP2T.
Hal yang dilakukan dalam membentuk pola pikir ini, antara lain dengan merekrut
pegawai dengan sistem kontrak. Pola ini sebenarnya cukup baru dan belum lazim
ditemui dalam penyelenggaraan pelayanan perizinan daerah. Alasan utama ketika
103

rekrutmen pegawai sebagaian besar memakai sistem kontrak agar performance


pegawai dalam bekerja tetap terjaga dan tidak seperti kebanyakan citra PNS yang
selama ini melekat di benak masyarakat. Pegawai kontrak ini akan menggunakan
seluruh kompetensi yang ia miliki agar dapat mendapatkan perpanjangan kontrak
ketika kontrak yang dijalani telah berakhir. Perpanjangan kontrak tidak serta-merta
hanya berpatokan dari performa yang ditunjukkan ketika evaluasi dilakukan. Akan
tetapi, juga menggunakan indikator lainnya dalam menilai pantas tidaknya seorang
pegawai mendapatkan perpanjangan kontrak ataupun kontrak baru.
3. Internalisasi budaya organisasi di BP2T juga dilakukan oleh kepala Badan. Sebelum
melakukan aktivitas pelayanan kepada masyarakat dibuat jadwal sesi diskusi serta
informasi yang layak untuk disampaikan dari seorang Kepala BP2T kepada para
bawahannya. Tidak jarang dalam sesi diskusi ini dibahas kemajuan program kerja
dengan rancangan kerja yang telah dibuat. Selain itu, internalisasi prinsip-prinsip
organisasi swasta juga dilakukan sebagai bentuk penyempurnaan proses pelayanan.
Tidak jarang materi diskusi ini juga mengambil unsur spiritual untuk diterapkan
dalam lingkungan kerja BP2T. Secara tidak langsung learning organization tercipta
dengan pendekatan antarpersonal. Dampaknya bukan hanya menumbuhkan
kekompakan, tapi juga sebagai sarana team building.

f. Inovasi BP2T Kota Banjarbaru


1. Sebagai kota yang bergantung pada industri sekunder dan tertier, terutama sektor
jasa BP2T selalu membantu sektor usaha kecil dalam pengurusan izin. Untuk izin
UKM, waktu yang dibutuhkan untuk memproses izin BP2T hanya empat hari. Ini
sebagai bentuk komitmen BP2T terhadap perkembangan UKM yang cukup
signifikan. Dampaknya cukup signifikan karena banyak UKM yang kemudian
memformalkan izin usahanya. Izin usaha formal diperlukan untuk akses modal ke
lembaga perkreditan seperti bank dan lembaga simpan pinjam lainnya.

104

2. Pemberdayaan sektor swasta dalam meningkatkan kinerja pelayanan juga dilakukan


oleh BP2T. Menggandeng salah satu ATPM sepeda motor nasional, BP2T
membenahi sarana yang ada di lingkungan BP2T. Sarana seperti kursi dan meja
pelayanan

dibantu

oleh

ATPM Suzuki. Keuntungan


yang didapat dari program
kerja sama ini cukup baik
bagi kedua belah pihak.
Pihak

Suzuki

mendapatkan

sendiri

izin

untuk

memasang reklame di pintu


gerbang kantor BP2T.
Gambar atas. Papan Selamat Datang BP2T Kota Banjarbaru
3. Untuk lebih memudahkan para pemilik modal dalam menginvestasikan dananya di
Kota Banjarbaru, BP2T membuat terobosan pembuatan izin yang diberi nama Izin
Paket. Ketika ingin mendirikan usaha masyarakat harus membuat izin lebih dari
satu izin, mulai dari izin SIUP, IMB, sampai Izin Gangguan. Dengan izin paket ini
masyarakat cukup mengajukan izin satu kali saja. Selebihnya, BP2T dengan dinas
teknis akan mengurus semua izin yang diperlukan untuk mendirikan sebuah tempat
usaha. Output surat izin nantinya juga hanya ada satu surat izin, tapi sudah
mengakomodasi
jenis

izin

yang

semua
telah

diajukan. Dengan adanya


satu surat izin nantinya
lebih memudahkan dan
mengefisienkan
pemberian

proses
dan

perpanjangan izin.
Gambar atas. Suasana pelayanan perizinan di BP2T

105

Alur Pengaduan Kualitas Pelayanan BP2T Kota Banjarbaru


Sebagai sebuah badan layanan, BP2T memang memiliki mekanisme pengaduan formal yang
dapat digunakan masyarakat jika pelayanan yang diberikan tidak memuaskan. Namun,
mekanisme ini tidak seluruhnya diketahui oleh masyarakat. Beberapa narasumber memberikan
pendapat ketika mereka memberikan saran dan pengaduan, pada umumnya dilakukan saat terjadi
pertemuan dengan pejabat walikota setempat maupun pegawai BP2T. Rendahnya pengetahuan
masyarakat terhadap mekanisme pengaduan ini juga terlihat dari jumlah pengaduan yang tidak
terlalu signifikan. Berdasarkan pengamatan di lapangan, tidak adanya flowchart proses
mekanisme pengaduan yang terpampang di kantor BP2T semakin mempersulit informasi yang
didapatkan oleh masyarakat ketika mengurus izin.

Tabel 4.5
Sistem Pengaduan dari Masyarakat kepada BP2T Kota Banjarbaru

Sumber: Dokumen BP2T Kota Banjarbaru

106

Prosedur pengaduan ini juga dijabarkan secara umum dalam Peraturan Walikota
Banjarbaru No.9 Tahun 2008 mengenai Prosedur Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu di
Kota Banjarbaru. Pada pasal 10 dijelaskan bahwa pemohon dapat menyampaikan pengaduan
melalui petugas pengaduan bila penyelenggaraan pelayanan perizinan tidak memuaskan.
Mekanisme pengaduan juga dapat ditempuh melalui berbagai cara, seperti melalui loket ataupun
media lain yang disediakan oleh BP2T Kota Banjarbaru. Konten pengaduan dapat disampaikan
secara lisan maupun tulisan. Respons pengaduan masyarakat atas layanan oleh petugas BP2T
dalam pasal 10 juga harus ditindaklanjuti selambat-lambatnya tiga hari setelah pengaduan
masuk.

Tabel 4.6
Sistem dan Prosedur Pengurusan Perizinan Paralel BP2T Kota Banjarbaru

107

Tabel 4.7
Sistem dan Prosedur Pengurusan Perizinan Fungsional BP2T Kota Banjarbaru

108

Tabel 4.7
Sistem dan Prosedur Pengurusan Nonperizinan Fungsional BP2T Kota Banjarbaru

109

g. Hambatan Pengembangan BP2T Kota Banjarbaru


Penyempurnaan penyelenggaraan perizinan di Kota Banjarbaru dalam implementasinya juga
tidak lepas dari beberapa kendala. Masalah yang dihadapi tidak hanya terjadi di dalam
lingkungan organisasi sendiri, dari luar organisasi pun banyak kendala yang dihadapi untuk
memajukan BP2T untuk menjadi lebih responsif dalam melakukan pelayanan. Berikut ini
beberapa identifikasi permasalahan yang dihadapi BP2T.
1. Kurangnya dukungan dana
Sebagai kota yang belum lama berdiri, Banjarbaru memang dihadapkan pada kurangnya
potensi sumber daya alam pada awal berdirinya. Berbeda dengan daerah tetangga dan
juga kebanyakan daerah di Kalimantan yang sangat bergantung dengan sumber daya
alamnya, Banjarbaru tidak demikian. Hal ini berimplikasi pada sumber dana PAD yang
sangat bergantung terhadap retribusi dan pajak. Alokasi dana anggaran untuk
pengembangan BP2T pun juga terbatas. Dari sisi rencana dan hal-hal apa saja yang ingin
diperbaiki sebenarnya sudah ada, namun minimnya dana yang dianggarkan dalam APBD
daerah menjadi kendala utama rencana pengembangan BP2T secara umum.
2. Pemakaian teknologi informasi seperti perangkat IT di BP2T sendiri masih belum
maksimal. Masih minimnya penggunaan komputer dan teknologi informasi turut
mendorong lambatnya penggunaan IT dalam proses pelayanan. Hal ini juga tidak lepas
dari minimnya dana yang diterima BP2T untuk pengadaan IT dan perangkat pendukung
lainnya. Akibatnya, proses pelayanan dan database pengarsipan masih menggunakan
metode manual.
3. Resistensi dari dinas teknis menyangkut proses regulasi pemberian izin juga menjadi titik
lemah kurang maksimalnya kinerja BP2T. Tidak dapat dipungkiri masalah ini sebenarnya
juga terjadi di daerah lain pada umumnya akibat tidak penuhnya otonomi yang diberikan
kepada BP2T membuat pengembangan organisasi BP2T sendiri ikut terganggu, baik
secara langsung atau tidak langsung.
4. Minimnya tenaga SDM untuk mendukung kinerja BP2T juga menjadi kendala utama
dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat. Kurangnya SDM ini secara tidak
110

langsung juga dipengaruhi oleh dana yang dianggarkan dari PDA. Pola sistem tenaga
kerja kontrak yang dipakai dalam merekrut pegawai sebenarnya tidak menjadi masalah
jika BP2T ingin menambah personil. Namun, minimnya dana dan pegawai negeri untuk
dapat ditempatkan di BP2T turut menjadi kendala proses pengadaan pegawai yang ideal.
5. Pola pembayaran retribusi izin yang masih menggunakan kasir turut menjadi persoalan
dalam efektivitas pelayanan. Idealnya, proses pembayaran bekerja sama adalah dengan
bank daerah atau lembaga keuangan lainnya. Dengan mengandalkan kasir semata,
pembuat izin hanya memiliki alternatif membayar izin hanya satu loket kasir yang ada di
BP2T.
6. Regulasi hukum, khususnya perizinan yang masih lambat dengan dinamika masyarakat
secara umum turut menjadi kendala proses responsitivitas pelayanan yang diberikan
BP2T kepada masyarakat. Kendala peraturan ini turut menghambat pemberian izin itu
sendiri. Idealnya, hukum atau peraturan perizinan harus deret ukur dengan dinamika yang
terjadi.
7. Dari sisi koordinasi dan perencanaan dengan instansi lain, khususnya Bappeda ikut
menghambat pengambangan BP2T sebagai pengungkit pembangunan investasi.
Perencanaan yang masih memukul rata program yang akan dijalankan pemkot Banjarbaru
menyebabkan tidak ada prioritas program yang ingin dikejar. Idealnya, perencanaan yang
dilakukan harus rasional. Selama ini prioritas untuk pengembangan BP2T masih belum
maksimal. Perencanaan pukul rata ini pun berimbas pada komitmen pemerintah kota
setempat untuk mengembangkan BP2T menjadi lebih baik.

111

V
DAMPAK PENERAPAN INOVASI LAYANAN PERIZINAN

Hakikat otonomi daerah adalah revitalisasi pemberdayaan daerah sehingga di sana yang
penting adalah mengelola kewenangan dan potensi yang ada dengan berbagai inovasi, tidak
bisa hanya monoton. Kalau hanya begitu, sampai kapan pun akan begitu-begitu saja. Tak ada
bedanya ada otonomi atau tidak. (Bupati Purbalingga, Triyono Budi Sasongko)

Reformasi birokrasi pelayanan perizinan usaha di setiap daerah pada hakikatnya adalah
menciptakan pelayanan yang baik, transparan, dan responsif guna mendukung proses
pembangunan. Pelayanan perizinan merupakan salah satu komponen dalam mendorong
pembangunan daerah. Adanya perizinan yang responsif akan menjadi daya tarik investor untuk
masuk ke daerah. Berdirinya industri-industri PMA dan PMDN di suatu daerah secara langsung
atau tidak langsung akan memengaruhi gerak percepatan pembangunan di daerah. Penulis
mencoba memaparkan gambaran perkembangan di tiga wilayah penelitian, yaitu Kabupaten
Purbalingga, Kota Makassar, dan Kota Banjarbaru. Dampak deregulasi perizinan usaha terhadap
perekonomian di daerah akan dilihat melalui tiga aspek utama, yaitu tingkat pertumbuhan usaha,
ekonomi, dan sosial. Berikut gambaran selengkapnya.

A. Kabupaten Purbalingga
a.

Tingkat Pertumbuhan Usaha

Sejak reformasi pelayanan perizinan usaha dicanangkan di Kabupaten Purbalingga pada tahun
2003, pertumbuhan perizinan usaha tampak terlihat dari rentang tahun 2004-2009. Tren
perkembangan usaha kecil, menengah, dan besar juga mengalami pertumbuhan secara umum.
Insentif yang diberikan dalam proses perizinan usaha membuat banyak masyarakat
memformalkan usaha yang mereka miliki. Selain dari kemauan masyarakat, gerak jemput bola
dari KPPT Kabupaten Purbalingga untuk membantu masyarakat melakukan pengurusan izin
112

turut memengaruhi kuantitas pertumbuhan perizinan di Kabupaten Purbalingga. Berikut ini


gambaran perkembangan perusahaan di Kabupaten Purbalingga dari tahun 2004-2009.

Tabel 5.1
Rekapitulasi Jumlah Penerbitan SIUP KPPT Kabupaten Purbalingga
Tahun 2004-2009
Tahun
Bentuk

Jumlah
2004

Perusahaan Kecil

2005

2006

2007

2008

2009 *)

586

565

980

754

762

350

3.997

Perusahaan Menengah

93

56

70

55

92

29

395

Perusahaan Besar

22

24

15

24

41

13

139

701

645

1.065

833

895

392

4531

Jumlah
*)Data sampai bulan Juli
2009

Sumber: Rekapitulasi data pribadi Pejabat KPPT Kab. Purbalingga

Dari sisi perkembangan PMA, proses reformasi perizinan yang dilakukan di Kabupaten
Purbalingga secara umum memberikan dampak yang cukup signifikan, baik dampak langsung
maupun tidak langsung. Kuantitas jumlah investor
asing yang masuk ke Kabupaten Purbalingga naik
pascareformasi perizinan dilakukan. Dari sisi
pelayanan yang diberikan oleh pihak KPPT
113

Kabupaten Purbalingga, hampir seluruh pengusaha yang diwawancarai memberikan penilaian


positif. Penilaian ini terlihat dari bagaimana transparansi biaya proses perizinan sampai dengan
berdirinya unit usaha di. Penilaian ini menunjukkan bahwa reformasi perizinan yang dilakukan
berhasil, dan mendapat apresiasi dari kalangan pengusaha.
Gambar atas. Nama sebuah pabrik rambut di Kab. Purbalingga

Gambar kiri. Pintu gerbang pabrik rambut Boyang


Dampak dari semakin banyak industri yang berdiri
di Kabupaten Purbalingga, khususnya industri
rambut

memberikan

dampak

ekonomi

bagi

masyarakat setempat. Sampai dengan tahun 2009,


terdapat 18 industri PMA yang berdiri di
Kabupaten Purbalingga. Industri PMA paling besar
bergerak di bidang rambut. Dari pengusaha lokal, apreasiasi penanaman modal juga terlihat dari
berkembangnya PMDN yang terdapat di Kabupaten Purbalingga. Tercatat sampai dengan tahun
2009 terdapat 18 perusahaan non-PMA yang berorientasi ekspor. Jenis usaha untuk PMDN lebih
bervariasi, namun pada umumnya industri yang ada di Kabupaten Purbalingga banyak bergerak
di bidang industri rambut dan jenis usaha turunannya. Berikut gambaran jumlah PMA yang ada
di Kabupaten Purbalingga.

114

Tabel 5.2
Daftar Perusahaan PMA dan Non-PMA di Kabupaten Purbalingga
Nama Perusahaan

PMA

PMDN

1. PT. Boyang Industrial

1. PT. Cipta Kreasi Megah

2. PT. NYP Wood Work

2. PT. Tiga Putra Abadi Perkasa

3. PT. Hanmi Hair International

3. PT. Bintang Mas Ceramic

4. PT. Indokores Sahabat

4. PT. Bintang Mas Triasa

5. PT. Yuro Mustika

5. PT. Citra Serayu Mas

6. PT. Sung Shim International

6. PT. Majapura

7. PT. Kesan Baru Sejahtera

7. PT. Purbayasa

8. PT. Milan Indonesia

8. PT. Narayana

9. PT. Hyup Sung Indonesia

9. PT. Braling Albasindo

10. PT. Midas Indonesia

10. PT. Sun Starindo Wirahusada

11. PT. Sun Chang Indonesia

11. PT. Braling Wisnu Satrya

12. PT. International Eyelash

12. PT. Indoprima Makmur Laksana

13. PT. Hasta Pusaka Sentosa

13. PT. Mitra Karya Tri Utama

14. PT. Royal Korindah

14. PT. Slamet Langgeng

15. PT. Wonjin Indonesia

15. CV. Sin Han Timber

115

16. PT. Interwork

16. CV. Surya Prima Yudha

17. PT. Hanjung Bio Energi

17. CV. Wahana Cipta Utama

18. PT. Citra Kreasi Megah

18. CV. Makmur Sejahtera

Sumber: Bahan presentasi Bupati Purbalingga dalam acara Sidang Panel Kab/Kota Proinvestasi
Pemprov Jawa Tengah tahun 2009, Semarang

Berdirinya

pabrik-pabrik

pengolahan

rambut

di

Kabupaten

Purbalingga

juga

menimbulkan multiplier effect kepada penduduk di sekitar pabrik. Terbukanya lahan pekerjaan
baru seperti penyediaan kontrakan atau kos-kosan bagi pekerja pabrik banyak ditemui.
Banyaknya pekerja pabrik yang berada di Kabupaten Purbalingga saat ini bukan hanya berasal
dari penduduk lokal saja, dari daerah sekitar seperti Kabupaten Purwokerto, Kabupaten Cilacap,
dan Kabupaten sekitar lainnya. Permintaan yang tidak seimbang antara kebutuhan pekerja dan
jumlah tenaga kerja lokal membuat arus ekspansi pekerja di luar daerah masuk ke Kabupaten
Purbalingga. Munculnya pekerja di luar Kabupaten Purbalingga selain berdampak pada
melonjaknya permintaan tempat tinggal sewa, juga meningkatkan usaha warung makan dan jenis
usaha sejenis lainnya, terutama di lokasi pabrik. Jenis usaha-usaha baru ini jelas meningkatkan
pendapatan penduduk sekitar.

b. Pertumbuhan PDRB Kabupaten Purbalingga


Dampak tidak langsung dari tumbuhnya industri PMA di Kabupaten Purbalingga juga turut
mendorong kenaikan PDRB Kabupaten Purbalingga. Walaupun tidak langsung menjadi
pengungkit naiknya PDRB secara keseluruhan, peningkatan daya beli dan pendapatan
masyarakat setempat berimplikasi pada kegiatan perekonomian secara umum. Pertumbuhan
PDRB dari mulai tahun 2030 mengalami kenaikan yang cukup positif. Artinya, laju
pembangunan yang terjadi dapat dirasakan dan dilihat secara kuantitatif.

116

Tabel 5.3
Kinerja Pembangunan Bidang Ekonomi
Tahun

PDRB Atas Dasar Harga

Jumlah

Perkembangan

Jumlah (Juta

Perkembangan

(juta/Rp)

(%)

Rp)

(%)

2003

2.297.491,47

143,10

1.784.728,21

111,17

2004

2.564.007,54

159,71

1.844.532,07

114,89

2005

2.912.447,31

181,41

1.921.653,92

119,69

2006

3.408.083,,52

212,28

2.018.808,10

125,75

2007

3.887.240,54

243,13

2.143.746,23

133,53

Sumber: Bappeda Kabupaten Purbalingga, 2009

c. Pertumbuhan Ekonomi
Banyaknya sektor usaha kecil, menengah, dan besar yang ada di Kabupaten Purbalingga turut
memengaruhi pertumbuhan ekonomi, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Pertumbuhan
ini sejalan dengan perkembangan PDRB dalam lima tahun terakhir yang terus meningkat.
Terbukanya lapangan kerja menciptakan daya beli bagi masyarakat setempat. Capaian
pertumbuhan ekonomi dalam dua-tiga tahun terakhir (2007-2008) menunjukkan tren yang
meningkat. Rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 5,7% selama dua tahun terakhir itu
menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi terjadi. Hal ini tentu saja tidak lepas dari banyak
berdirinya PMA, khsusnya rambut di Kabupaten Purbalingga.

117

Tabel 5.4
Pertumbuhan Sektor Ekonomui Tahun 2003-2007
Tahun
Sektor
2003

2004

2005

2006

2007

Pertanian

2,16

1,01

2,78

3,07

4,23

Pertanian & Penggalian

1,52

10,55

9,73

8,47

8,82

Industri Pengolahan

3,25

4,23

5,37

6,42

6,59

10,59

9,33

9,28

12,42

0,32

Bangunan

4,57

6,74

8,36

6,82

6,93

Perdag, Hotel&Restoran

2,61

2,26

3,72

4,60

7,16

Pengangkutan& Komunikasi

4,12

2,69

1,45

2,04

5,33

Keu. Persew&Jasa

8,00

7,82

4,15

8,04

12,10

Jasa-Jasa

3,29

6,33

6,33

7,83

7,06

PDRB

3,14

3,35

4,18

5,06

6,19

Listrik, Gas & Air Minum

Perusahaan

Sumber: Bappeda Kabupaten Purbalingga, 2009

d. PDRB per Kapita


Penilaian dari pembangunan ekonomi di suatu daerah juga dapat dilihat dari pencapaian
pendapatan penduduk. Pertumbuhan pendapatan per kapita secara langsung atau tidak langsung
118

juga dipengaruhi oleh berdirinya usaha yang ada di Kabupaten Purbalingga. Peningkatan jenis
usaha di Kabupaten Purbalingga dari tahun ke tahun secara tidak langsung juga memengaruhi
tingkat pendapatan penduduk. Dari rentang waktu tujuh tahun (2000-2007) peningkatan
pendapatan per kapita naik sebesar 123,52% atau 2,24 kali lipat pertumbuhan dibanding
sebelumnyanya. Tahun 2003 adalah awal di mana reformasi perizinan usaha dilakukan oleh
Pemerintah Kabupaten Purbalingga.

Tabel 5.5
Jumlah Pendapatan Perkapita Penduduk Kabupaten Purbalingga
Tahun

Pendapatan Per

Pertumbuhan

Kapita

2003

2.298.211

11,22

2004

2.527.544

9,98

2005

2.820.181

11,58

2006

3.275.670

16,15

2007

3.727.398

13,79

2008

5.03.000

Sumber: Bahan Presentasi Bupati Purbalingga dalam acara sidang panel Kab/Kota Proinvestasi
Pemprov Jawa Tengah tahun 2009, Semarang

119

Tabel 5.6
Rekapitulasi Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Banjarbaru
Capaian Kinerja
No

Indikator
2007

2008

PDRB Harga Konstan

2,099

2,261

PDRB Harga Berlaku

3,982

4,527

Pertumbuhan Ekonomi

5,5

5,85

Inflasi

6,52

6,50

Pendapatan Per Kapita

4,61

5,03

Pengangguran Terbuka

3,1

3,0

Sumber: Bappeda Kabupaten Purbalingga, 2009

e. Penyerapan Tenaga Kerja


Tidak dapat dipungkiri bahwa kemudahan perizinan usaha di Kabupaten Purbalingga membawa
pengaruh yang sangat signifikan dalam mengatasi pengangguran. Banyaknya pabrik-pabik
industri, khususnya industri rambut sebagai cluster industri unggulan mampu menyerap tenaga
kerja lokal. Berdasarkan data yang ada, saat ini pekerja yang terserap dari industri PMA dan
PMDN yang berorientasi ekspor berjumlah kurang lebih 34.000 tenaga kerja, dengan mayoritas
bekerja di industri rambut. Penyerapan tenaga kerja terbesar masih didominasi oleh berdirinya
PMA, kemudian disusul penyerapan tenaga kerja dari PMDN. Angka 34.000 ini adalah data pada
tahun 2009 yang disampaikan oleh Pemerintah Kabupaten Purbalingga. Dari kalangan
120

pengusaha, data yang disampaikan kurang lebih sama dengan apa yang disampaikan pemerintah
daerah. Jumlah tenaga kerja ini belum termasuk penyerapan tenaga kerja informal dari kegiatan
plasma rambut yang disentralkan di desa-desa. Jumlah penyerapan tenaga kerja dari plasma juga
cukup tinggi.

Tabel 5.7
Penyerapan Tenaga Kerja Perusahaan yang Berorientasi Ekspor Tahun 2008
No.

Jenis Industri

Jumlah Tenaga Kerja


(orang)

PMA

26.722

PMDN

13.289

Plasma PMA

11.183

Keterangan:
PMA: Penanaman Modal Asing
PMDN: Penanaman Modal Dalam Negeri
Sumber: Bahan presentasi Bupati Purbalingga dalam acara sidang panel Kab./Kota Proinvestasi
Pemprov Jawa Tengah tahun 2009, Semarang
121

f. Tumbuhnya Plasma
Pola industri padat karya yang ada di Kabupaten Purbalingga memang menjadi solusi ampuh
dalam mengatasi pengangguran terbuka. Lapangan kerja yang tersedia sekarang ini tidak hanya
terkonsentrasi di lingkup pabrik semata sebagai kegiatan produksi utama. Multiplayer effect juga
dilihat dengan diikutsertakannya masyarakat (ibu rumah tangga pada umumnya) dalam proses
produksi. Sistem ini disebut plasma. Saat ini, plasma sudah menyebar ke luar Kabupaten
Purbalingga. Wilayah Banyumas dan Purwodadi saat ini juga sudah mulai banyak tumbuh
plasma rambut. Penghasilan yang didapat masyarakat dari berdirinya plasma cukup besar. Bagi
penduduk yang sudah terbiasa dan ahli mengerjakan plasma rambut, pengahasilannya mencapai
satu juta rupiah. Jika masih pemula, penghasilan yang didapatkan hanya berkisar Rp100 ribu.
Besarnya pendapatan masyarakat tergantung dari banyaknya produksi yang dihasilkan.
Pada prinsipya, konsep plasma adalah pola kemitraan antara pabrik dan masyarakat lokal.
Kemitraan ini membuat pabrik tidak perlu merekrut tenaga tetap di pabrik. Konsep plasma
berusaha mendekatkan diri pada pasar tenaga kerja nonformal. Masyarakat tidak perlu
mengeluarkan biaya transportasi karena pengelolaan plasma disentralkan di desa-desa. Salah satu
penduduk desa hanya menyediakan tempat, rumahnya, atau tempat lain untuk proses produksi.
Pemilik tempat ini nantinya akan mendapatkan fee dari pabrik untuk penyewaan tempat. Di
tempat inilah para penduduk melakukan kegiatan produksi yang disebut plasma. Jika pekerjaan
belum dapat diselesaikan di tempat plasma tersebut, pekerjaan yang belum terselesaikan dapat
dibawa pulang ke rumah.
Bahan baku untuk proses produksi plasma diberikan oleh pabrik. Setiap satu atau dua
minggu sekali, pabrik akan mengambil hasil produksinya. Jadi, plasma seperti sistem borongan.
Kapasitas produksi plasma tidak dibatasi oleh pabrik. Target juga tidak dibebankan kepada
pekerja plasma. Berapa pun yang dihasilkan dari plasma diterima oleh pabrik. Namun, jika hasil
produksi plasma tidak sesuai dengan kualitas yang ditentukan pabrik, hasil produksi itu akan
dikembalikan dan tidak dibayar. Akan tetapi, pada dasarnya cacat produksi selama ini sangat
jarang terjadi karena selain sudah terbiasa dengan pekerjaannya. Selain itu, penduduk Kabupaten
Purbalingga memang sudah mewarisi keahlian industri rambut secara turun-temurun.

122

Gambar 5.1
Proses Kerja Plasma Kabupaten Purbalingga
Pabrik
Pengolahan
Rambut
Mengambil
hasilproduksi
(12minggu)

Menyuplai
bahanbaku
Inti
Plasma
(Ketua)

Plasma
(Penduduk)

Plasma
(Penduduk)

Plasma
(Penduduk)

Sumber: Penelitian di lapangan, diolah

Kegiatan plasma saat ini diberdayakan di sekitar desa. Tidak tertampungnya seluruh
kegiatan pengolahan rambut di pabrik membuat perusahaan PMA di purbalingga memanfaatkan
tenaga kerja lokal, khususnya ibu rumah tangga. Fungsi plasma secara umum sebenarnya adalah
relokasi kegiatan tahap awal produksi
industri rambut yang tadinya dikerjakan
di dalam pabrik, kemudian dialihkan ke
masyarakat.
berlangsung,
plasma

Selama
penulis

memberikan

penelitian

melihat
multiplier

konsep
effect

123

kepada ibu-ibu rumah tangga karena tersedianya lapangan kerja dan pendapatan tambahan.
Konsep plasma juga mendekatkan proses produksi dari pabrik ke masyarakat. Ongkos produksi
dapat ditekan karena biaya transportasi dan makan tidak ditanggung oleh perusahaan.
Sampai saat ini, hampir seluruh industri penanaman modal asing di Kabupaten
Purbalingga menjalin kerja sama dengan industri plasma pedesaan yang hampir tersebar di
seluruh wilayah Kabupaten Purbalingga. Bahkan, ada beberapa plasma yang terdapat di luar
wilayah Kabupaten Purbalingga. Ini membuktikan bahwa multiplier effects adanya industri
pengolahan rambut tidak hanya dirasakan oleh masyarakat lokal semata. Masyarakat sekitar
Kabupaten Purbalingga juga ikut menikmati dari berdirinya plasma industri rumah tangga ini.
Berikut ini gambaran kemitraan beberapa perusahaan penanaman modal asing dengan industri
plasma pedesaan di Kabupaten Purbalingga.

Tabel 5.8
Gambaran Kemitraan PMA dan Plasma Rambut di Kabupaten Purbalingga
Nama PMA

PT. Royal Korindah

PT Midas Indonesia

PT. Tiga Putra Abadi Perkasa

Jumlah

Jumlah

Keterangan

Plasma

Tenaga Kerja

131

4.438

280

Proses gunting

19

565

Proses tempel

129

Proses tanam dan gulung

10

540

Proses gunting

42

Proses tanam

809

Pengerjaan proses knitting

124

PT. Hyup Sung Indonesia

15

832

Keterangan: Sampai tahun 2009, jumlah plasma adalah 260 plasma.

Sumber: Profil Industri Kabupaten Purbalingga, 2009

g. Menurunnya Penduduk Miskin


Berdirinya banyak industri pabrik di Kabupaten Purbalingga selain memberikan dampak kepada
pertumbuhan lapangan kerja dan multiplier effect yang lainnya, dari sisi pengurangan penduduk
miskin juga turut membantu. Lapangan kerja yang terbuka bagi masyarakat lokal menciptakan
daya beli sehingga masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya. Dari rentang waktu 2005-2008,
penurunan jumlah angka kemiskinan di Kabupaten Purbalingga dibandingkan dengan wilayah
eks Karesidenan Banyumas atau Barlingmascakep lebih cepat. Tren penurunan ini tidak lain
karena aktifitas ekonomi di Kabupaten Purbalingga berjalan.

Tabel 5.9
Kinerja Pengurangan Penduduk Miskin
(Perbandingan di Eks Karesidenan Banyumas/Barlingmascakeb)
No

Kabupaten

Jumlah RTS

Persentase RTS

2005

2008

Turun

2005

2008

Turun

Banyumas

172.581

141.183

31.398

43,1

34,1

9,0

Cilacap

170.433

150.721

19.712

40,0

34,2

5,8

125

Banjarnegara

112.851

85.420

27.431

50,1

36,5

13,7

Kebumen

131.465

122.209

9.256

42,2

38,5

3,7

Purbalingga

104.705

63.313

36.392

47,0

29,8

17,2

Sumber: Bahan Presentasi Bupati Purbalingga dalam acara Sidang Panel Kab./Kota Proinvestasi
Pemprov Jawa Tengah Tahun 2009, Semarang

h. Meningkatnya Pembangunan Infrastruktur


Pembangunan infrastruktur di Kabupaten Purbalingga sebagai sarana penunjang kegiatan
perekonomian juga terlihat pasca munculnya pabrik rambut PMA berdiri. Dalam mendukung
kelancaran arus barang dan jasa, pemerintah kabupaten setempat berkomintmen untuk
membangun sarana dan prasarana untuk menarik investasi ke Kabupaten Purbalingga.
Pembangunan sarana jalan memang menjadi salah satu keunggulan daya tarik investasi di
Kabupaten Purbalingga. Pemerintah berusaha membangun akses jalan ketika pabrik industri
berdiri. Selain daya jual dari sisi tenaga kerja dan kemudahan perizinan usaha, sarana jalan
menjadi insentif yang diberikan dari pemerintah setempat. Meningkatnya lalu lintas perdagangan
barang di Kabupaten Purbalingga sangat penting. Hampir sebagian besar pabrik yang berdiri
berorientasi ekspor. Jalan sebagai sarana penunjang lalu lintas barang sangat penting bagi
kelancaran usaha. Pada tahun 2008, menurut data yang disampaikan Pemkab Purbalingga, jalan
kabupaten dengan kondisi baik mencapai persentase 88,64%. Capaian kinerja pembangunan ini
sama dengan tahun 2007.

126

Tabel 5.10
Perkembangan Pendanaan Kegiatan Pembangunan Sarana Prasarana Jalan
Tahun

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

Ruas

25

37

33

34

34

24

27

Panjang

27.000

46.253

33.960

30.314

40.000

36.264

15.073

Jumlah

187
232.864

Sumber: Bahan paparan Bupati Kab. Purbalingga pada Rakor Forum Pengendalian Pelaksanaan
Pembangunan Kab/Kota Eks Karisedenan Banyumas Tahun anggaran 2009.

Tabel 5.11
Kinerja Pembangunan Bidang Infrastruktur

Sumber: Bahan presentasi Bupati Purbalingga dalam acara sidang panel Kab/Kota Proinvestasi
Pemprov Jawa Tengah tahun 2009, Semarang

127

i. Listrik dan Air


Keluhan yang terjadi di tiga wilayah penelitian terkait infrastruktur energi adalah daya listrik dan
kebutuhan air yang masih kurang mencukupi di hampir semua wilayah. Berkembangnya
ekonomi berimplikasi pada permintaan daya listrik yang meningkat dari tahun ke tahun.
Munculnya industri rambut di Kabupaten Purbalingga memang sangat membutuhkan energi
listrik untuk proses operasional pabrik. Korelasi yang terjadi antara produksi listrik dan
permintaan daya sebenarnya cukup tinggi. Namun, lonjakan permintaan yang semakin besar dari
kalangan dunia usaha tidak berbanding lurus dengan produksi listrik PLN setiap tahunnya. Akan
tetapi, pembangunan infrastruktur listrik tetap menjadi prioritas utama dari semua stakeholder.
Solusi untuk mengatasi krisis listrik juga sudah dibicarakan antara dunia usaha dan pemerintah.

Tabel 5.12
Produksi Listrik danAir Minum
Kabupaten Purbalingga Tahun 2003-2007

Sumber: Bappeda Kabupaten Purbalingga, 2009

128

j. Aspek Sosial
Berkembangnya penanaman PMA di Kabupaten Purbalingga, khususnya industri rambut turut
memberikan dampak kepada kehidupan sosial masyarakat. Setidaknya aktivitas kota Purbalingga
sepanjang penulis amati cukup ramai, baik siang hari ataupun pada malam hari. Sebelum di
bawah kepemimpinan Bupati sekarang ini, Kota Purbalingga dijuluki sebagai kota mati.
Julukan ini bukan tanpa alasan karena suasana kota ketika memasuki malam hari sudah mulai
sepi, dan jarang ada interaksi antarpenduduk. Pusat-pusat kegiatan malam hari, baik tempat
hiburan atau sentra kuliner juga tidak seramai saat ini. Namun, dengan perkembangan
pembangunan yang terjadi di Kabupaten Purbalingga, mulai ada perubahan perilaku sosial.
Ketika malam hari tiba, sekarang ini banyak muncul pusat-pusat hiburan dan kuliner. Areanya
masih berada di alun-alun depan Pendopo Dipokusumo Kabupaten Purbalingga. Banyak pusat
jajanan menjamur di sepanjang alun-alun. Berbagai macam kuliner dijual. Masyarakat setempat
memanfaatkan pusat keramaian untuk berinteraksi dengan masyarakat lain. Tidak jarang ada
juga keluarga yang memanfaatkan ramainya alun-alun kota untuk bercengkerama dan wisata
malam.
Wisata kuliner malam juga disentralkan di beberapa ruas jalan utama. Ketika malam hari,
ada ruas jalan utama yang disulap menjadi sentra makanan dengan bercirikan ornamen khas
Cina. Nama pusat kuliner ini adalah Mayong Kya-Kya. Pusat kuliner ini hanya dibuka pada
malam hari. Masyarakat dapat memanfaatkan
Mayong Kya-Kya sebagai alternatif hiburan
dan kuliner selain sentra makanan di sepanjang
alun-alun utama.

Gambar atas. Suasana Mayong Kya-Kya di malam hari

129

Perubahan

warna

dinamika

kehidupan

masyarakat Purbalingga pada malam hari


menjadi indikasi gerak perekonomian informal
juga berjalan. Selain itu, munculnya aktifitas
malam hari yang mulai banyak ditemui di
sepanjang pusat keramaian juga tidak lepas
dari banyaknya pekerja yang datang dari luar
Kabupaten Purbalingga. Setelah bekerja, para
pekerja biasanya mencari pusat aktivitas
seperti kuliner dan sarana hiburan lainnya.
Gambar atas. Suasana Mayong Kya-Kya pada siang hari

Selain pusat kuliner, pusat-pusat pertokoan yang buka sampai malam hari ikut
memberikan denyut nadi keramaian pada malam hari. Menjamurnya toko pakaian, minimarket,
supermarket, dan toko kelontong lainnya memberikan alternatif bagi masyarakat setempat untuk
berbelanja selain ke pasar tradisional. Geliat aktivitas kota yang semakin dinamis di Kabupaten
Purbalingga juga tidak lepas dari naiknya daya beli masyarakat setempat. Berdirinya pabrikpabrik PMA di Kabupaten Purbalingga memang positif bagi penduduk setempat.

k. Tumbuhnya Kesadaran Sosial


Selain semakin menggeliatnya interaksi sosial masyarakat Kabupaten Purbalingga pada malam
hari, hal positif dari berdirinya pabrik-pabrik PMA juga berdampak bagi kesadaran masyarakat
akan kesehatan. Sebelum adanya pabrik-pabrik industri rambut, pola hidup sanitasi sebagian
masyarakat setempat kurang memerhatikan kesehatan. Sebagian masyarakat masih ada yang
membuang air besar ke sungai, namun kebiasaan itu mulai berubah ketika pabrik-pabrik rambut
mulai didirikan. Untuk buang air besar, masyarakat mulai sadar bahwa mencemari sungai itu
tidak baik untuk dirinya dan kesehatan orang lain. Rasa malu juga mulai tumbuh karena tidak
jarang sungai yang dipakai untuk buang air berdekatan dengan lokasi pabrik. Banyak warga kini
130

membangun WC atau kamar mandi untuk buang air besar. Berdirinya kos-kosan di sepanjang
area pabrik juga menjadi alasan warga pemilik kos untuk membangun WC atau kamar mandi
sebagai salah satu fasilitas. Partisipasi masyarakat Kabupaten Purbalingga untuk membangun
sanitasi cukup tinggi, walaupun masih ada beberapa penduduk yang memanfaatkan sungai
sebagai tempat buang air besar.

Tabel 5.13
Kinerja Pembangunan Bidang Infrastruktur

Sumber: Bahan presentasi Bupati Purbalingga dalam acara sidang panel Kab/Kota Proinvestasi
Pemprov Jawa Tengah tahun 2009, Semarang

Perubahan pola pikir budaya masyarakat sejak kehidupan perekonomian meningkat


pasca-masuknya berbagai industri PMA dan PMDN juga terlihat. Sebelum banyak pabrik PMA
berdiri, sangat sedikit masyarakat Kabupaten Purbalingga yang memiliki kendaraan bermotor.
Jalan-jalan utama Kabupaten juga tidak seramai saat ini. Situasi pada saat itu secara tidak
langsung juga dipengaruhi oleh masih sedikitnya penduduk produktif yang bekerja karena
lapangan pekerjaan yang kurang.

131

Perkembangan lapangan kerja yang tumbuh di Kabupaten Purbalingga selama ini bukan
tanpa mengenai kendala. Saat ini, kebutuhan pekerja di Kabupaten Purbalingga lebih berorientasi
pada tenaga kerja wanita. Akibatnya, penyerapan tenaga kerja untuk laki-laki sangat kurang.
Persentase pengangguran dari kaum laki-laki yang begitu besar memberikan dampak sosial, yaitu
berubahnya fungsi pencari nafkah dari kaum laki-laki dialihkan ke kaum perempuan. Banyak
rumah tangga di Kabupaten Purbalingga yang pencari nafkah utamanya adalah kaum perempuan.
Ketika buruh perempuan harus bekerja di
pabrik-pabrik rambut, suami menggantikan
peran seorang istri untuk mengurusi rumah
tangga mereka. Peran suami untuk menunjang
mobilitas istri dalam bekerja juga terlihat ketika
jam masuk dan pulang pabrik. Ketika pagi dan
sore tiba, para suami mengantar dan menjemput
istri mereka di tempat pabrik.
Gambar atas. Suasana kemacetan di depan prabrik rambut

Setiap hari ketika jam masuk dan pulang buruh pabrik berlangsung kemacetan jalan di
sepanjang area pabrik yang tidak dapat terelakkan. Banyaknya buruh pabrik yang masuk dan
pulang menjadi fenomena sosial tersendiri saat pagi
serta sore tiba. Kemacetan ini berdampak pada
semua ruas jalan di Kabupaten Purbalingga, dan
menghambat mobilitas aktivitas kota sejenak.
Kemacetan diakibatkan banyaknya bus pabrik yang
mengangkut para buruh yang berangkat dan pulang.
Banyaknya para suami yang mengantar dan
menjemput istrinya dengan menggunakan sepeda
motor turut menambah kemacetan karena mereka biasanya parkir tepat di depan pabrik, serta
membentuk pola memanjang di sepanjang badan jalan sekitar pabrik. Belum lagi supir angkot

132

dan bus kota yang turut mengetem di sekitar areal pabrik sehingga menambah kesemrawutan lalu
lintas kota.

B. Kota Makassar
a. Tumbuhnya Jumlah Usaha
Peningkatan Jumlah perizinan usaha di Kota Makassar yang sangat besar dari tahun ke tahun
tidak lepas dari potensi daerah yang dimiliki. Letaknya yang strategis serta dukungan sarana
infrastruktur yang baik membuat banyak investor bersedia menanamkan modalnya di Kota
Makassar. Sebagai pintu masuk wilayah Indonesia Timur, Kota Makassar memang menjelma
menjadi wilayah yang potensial bagi dunia usaha. Bukan hanya itu saja, peran wilayah sebagai
lokomotif utama pembangunan di kawasan Indonesia Timur membuat eksistensi Kota Makassar
semakin menguat. Dari tahun 2002 sampai 2009, jumlah kuantitas perizinan usaha semakin
meningkat. Selama rentang waktu tujuh tahun tersebut, jumlah permintaan izin mencapai lebih
dari tiga kali lipat. Saat ini, Kota Makassar merupakan daerah dengan permintaan izin paling
tinggi di Indonesia. Ini membuktikan bahwa gerak perekonomiannya berlangsung dengan baik.
Penetapan Kota Makassar sebagai gerbang emas Indonesia Timur bukan tidak mungkin akan
semakin mengukuhkan wilayah ini menjadi basis investasi utama di Indonesia selain pulau Jawa.

Tabel 5.14
Perkembangan Izin SIUP Kota Makassar Tahun 2006-2009

Sumber: Disperindag dan Penanaman Modal Kota Makassar, 2009


133

Kota Makassar sebagai pusat pembangunan kawasan Indonesia Timur memiliki kegiatan
investasi dan aktivitas ekonomi yang sangat dinamis. Berdirinya kawasan industri seperti PT
KIMA memberikan kemudahan bagi para investor untuk mendirikan usaha. Tren peningkatan
industri menengah dan besar pun terjadi dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dilihat dari rentang
tahun 2005 sampai 2008 di mana jumlah perusahaan menengah dan besar terus mengalami
peningkatan. Namun, peningkatan industri menengah dan besar di Kota Makassar tidak lepas
dari beberapa fasilitas pendukung yang cukup representatif. Fasilitas dan pemusatan Industri ini
kepemilikan saham dan pengoperasiannya juga lebih banyak dilakukan oleh pemerintah pusat.
Pengelolaan PT Kawasan Industri Makassar (PT KIMA) misalnya, peran pemerintah pusat
dalam mengelola kegiatan investasi masih sangat dominan. Kepemilikan saham pemerintah
pusat 60%, sedangkan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan Pemerintah Kota Makassar
hanya memiliki 30% dan 10% kepemilikan saham. Minimnya kepemilikan dan peran Pemkot
Makassar juga berimplikasi pada proses pembuatan izin usaha dan izin kelengkapan lainnya
sebagai prasyarat berdirinya usaha baru. Proses penanaman modal oleh PMA dan PMDN
ditangani langsung oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) atau Badan Koordinasi
Penanaman Modal Daerah (BKMD). Namun demikian, peran Pemkot Makassar dalam
penerbitan izin juga masih diberikan seperti Izin Lokasi, Sertifikat Hak Atas Tanah, IMB, Izin
Gangguan (HO) di luar kawasan Industri dan Izin kerja bagi WNA.
Pada prinsipnya, Proses pengelolaan kawasan industri dan penerbitan izin yang tidak
hanya dilakukan oleh Pemkot Makassar, tapi juga melibatkan pemerintah pusat itu tidak
menghambat tumbuhnya industri PMA dan PMDN. Potensi yang sangat menggiurkan dan sarana
fisik investasi yang sangat menunjang menjadi posisi tawar bagi Kota Makassar kepada investor.
Selama tahun 2005-2008, tercatat kenaikan industri menengah dan besar terus mengalami
kenaikan dengan nilai investasi terakhir pada tahun 2008 di atas satu triliun rupiah. Jumlah
kegiatan industri menengah dan besar ini tidak hanya berada pada lokasi kawasan industri PT
KIMA, tapi juga industri PMA dan PMDN yang dilakukan di luar area PT KIMA. Berikut ini
gambaran jumlah kenaikan industri menengah dan besar di Kota Makassar pada tahun 20052008.

134

Tabel 5.15
Perkembangan Industri Menengah dan Besar Kota Makassar Tahun 2005-2008

Sumber: Disperindag dan Penanaman Modal Kota Makassar, 2009

Tabel 5.16
Pertumbuhan Industri Kecil Kota Makassar Tahun 2004-2008

Sumber: Disperindag dan Penanaman Modal Kota Makassar, 2009

b. Perkembangan Ekonomi
Perkembangan jumlah PDRB per kapita yang cukup berarti pada tahun 2008 di atas Rp20 juta
memberikan sinyalemen bahwa perekonomian Kota Makassar memiliki pertumbuhan yang
cukup baik. Kegiatan perekonomian ini tidak hanya disentralkan pada satu struktur
perekonomian semata, tapi didukung juga oleh struktur perekonomian yang lain. Struktur utama
yang menjadi penggerak utama perekonomian kota Makassar didominasi oleh sektor

135

perdagangan, restoran, dan hotel. Berikut gambaran struktur perekonomian Kota Makassar
selengkapnya.

Gambar 5.2
Struktur Ekonomi Kota Makassar Tahun 2008

Industri
Pengolahan
23,71%

Pertambang
andan
Penggalian
0,01%

Listrik,Gas
danAir
1,98 %
Bangunan
7,61%

Pertanian
1,02%

JasaJasa
11,78%
Bankdan
Lap
Keuangan
10,26%

Angkutan
Perdagangan
dan
,
Komunikasi
Restoran&
15,49%
Hotel
28,14%

Sumber: RPJMD Kota Makassar, 2009

c. Penyerapan Tenaga Kerja


Berikut gambaran proporsi pertumbuhan tenaga kerja yang terserap oleh kegiatan industri
di Kota Makassar.

136

Tabel 5.16
Pertumbuhan Tenaga Kerja Industri Kecil, Menengah, dan Besar Kota Makassar
Tahun
Bidang Industri
2004

2005

2006

2007

2008

32.417

32.925

33.220

33.648

33.907

Persentase Pertumbuhan (%)

0,9

1,2

0,7

Industri Menengah-Besar

11.980

12.742

13.209

13.515

Persentase Pertumbuhan (%)

6,3

3,6

2,3

Industri Kecil

Sumber: Disperindag dan Penanaman Modal Kota Makassar, 2009

d. Infrastruktur
Perkembangan fisik yang sangat menonjol di Kota Makassar terkait peningkatan aktivitas
kegiatan ekonomi adalah perkembangan pembangunan jalan yang sangat cepat. Berdasarkan
pengamatan penelitian di lapangan, pertumbuhan jalan dan sarana fisik seperti gedung dan
prasarana lainnya memang tampak terlihat. Berdasarkan data terakhir yang diambil dari bidang
penanaman modal Kota Makassar, panjang jalan di Kota Makassar adalah 1.593,46 km. Dilihat
dari pengelompokan jalan menurut kelasnya, jalan di Kota Makassar dibagi menjadi 7 kelompok.

137

Tabel 5.17
Gambaran Kelompok Jalan dan Fungsinya
Kelompok Jalan

Panjang Jalan

Fungsi jalan

(km)

Panjang Jalan
(km)

Jalan Kelas I

221,61

Jalan Arteri Primer

42,29

Jalan Kelas II

600,78

Jalan Arteri Sekunder

34,23

Jalan Kelas III

173,75

Jalan Kolektor Primer

83,29

Jalan Kelas IIIA

121,67

Jalan Kolektor

297,69

Jalan Kelas IV

125,32

Jalan Lokal

Jalan Kelas V

185,68

Jalan Inspeksi Kanal

Kelas tidak dirinci

164,65

1.117,83
15,13

Sumber: Buku Saku Kota Makassar, 2009

Pada tahun 2009, konfigurasi jaringan jalan di Kota Makassar direncanakan akan
bertambah dengan 2 radial road dan 3 ring road. Radial Road yang dimaksud terdiri dari Center
Radial Road, yaitu jalan terusan dari Jl. Mongisnsidi ke arah timur dan South Radial Road yaitu
terusan Jl. Veteran ke selatan. Sementara ketiga ring road terdiri dari Inner Ring Road (IRR),
Middle Ring Road (MRR), dan Outer Ring Road (CRR). Gambar segmen jalan di bawah ini
menunjukkan struktur jalan utama tersebut. Setiap jalan tersebut dibagi dalam beberapa segmen
jalan dan Fungsi jaringan jalan Inner Ring Road, Midle Ring Road, Outer Ring Road, Central
Radial Road, dan South Radial Road menurut Master Plan JICA.

138

Gambar 5.3
Segmen Jalan di Kota Makassar

Sumber: www.makassar.go.id, 2009

Adapun fungsi jalan disesuaikan dengan fungsi jaringan jalan yang sudah dibuat.
Namun, secara umum jalan diperuntukan untuk beberapa aktivitas utama, yaitu mendistribusikan
lalu lintas kargo dari dan ke kota, dari lokasi industri KIMA dan terminal kargo, serta
139

menghubungkan subpusat kegiatan aktivitas industri lainnya. Pembangunan jalan dan


perencanaannya juga sudah disesuaikan dengan tetap memelihara aktivitas urban dan ruang
terbuka.

Tabel 5.18
Panjang Jalan dan Kondisinya pada Tahun 2007-2008 (km)
Kondisi Jalan

2007

2008

Baik

645,35

830,38

Sedang

486,02

195,07

Rusak

374,45

97,70

Rusak Ringan

87,64

470,30

1.593,46

1.593,46

Jumlah

Sumber: BPS Kota Makassar, 2009

Peningkatan pembangunan fisik Kota Makassar selain jalan juga sangat dirasakan.
Pertumbuhan bangunan ini lebih banyak berfungsi sebagai kegiatan perniagaan dan usaha jasa.
Aktivitas perbelanjaan ditunjang dengan bangunan mal atau pusat perbelanjaan baru dan lebih
representatif. Ekspansi pembangunan aktivitas pariwisata dan perbaikan sarana umum juga
dilakukan oleh Pemkot Makassar. Berdirinya Trans Studio dan reklamasi Pantai Losari, serta
perbaikan dan penambahan bangunan fisik pantai mengindikasikan komitmen Pemkot Kota
Makassar pada industri pariwisata. Kenaikan konsumsi di atas tujuh persen dari tahun 2006
menunjukkan pembangunan fisik kota memang sangat pesat. Pertumbuhan bangunan fisik ini
dapat menjadi potensi sekaligus posisi tawar yang menggiurkan bagi para investor. Sekarang pun
140

masuknya investasi ke Kota Makassar juga dilatarbelakangi tersedianya sarana jalan dan fisik
kota yang semakin berkembang. Namun, di sisi yang lain, jika pertumbuhan fisik bangunan tidak
mampu diimbangi dengan pasokan energi yang cukup, bukan tidak mungkin malah menjadi
faktor penghambat bagi kelangsungan pembangunan Kota Makassar.

Tabel 5.19
Nilai PDRB Sektor Lapangan Usaha Bangunan
Lapangan

Harga

Tahun

Usaha

2006
Konstan (Miliar Rp)
Bangunan

Berlaku (%)

2007

2008

885,130

962,053

1,130,758

7,540

7,700

8,090

Sumber: Dinas Perindustrian Perdagangan dan Penanaman Modal Kota Makassar, 2009

e. Listrik, Gas, dan Air


Perkembangan Kota Makassar yang semakin pesat membutuhkan dukungan energi yang cukup.
Listrik dan air sebagai energi dasar sangat penting sifatnya karena selama ini listrik menjadi
kendala utama bagi pelaku usaha. Sepenjang pengamatan penulis, sering matinya listik ini sangat
mengganggu kinerja pelaku usaha. Banyaknya industri usaha yang bergantung pada listrik tidak
jarang tidak dapat beroperasi karena matinya listrik. Usaha warnet, fotokopi, hingga hotel
menanggung imbas dari tidak seimbangnya permintaan daya listrik dengan pertumbuhan
pasokan listrik. Berbagai cara memang sudah dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mengatasi
persoalan ini. PLN Cabang Makassar, Pemerintah Kota Makassar, dan pelaku usaha sebenarnya
sudah duduk bersama untuk mencari solusi. Alternatif penggunaan genset untuk menciptakan
141

energy listrik mandiri juga sudah diwacanakan. Namun, pesatnya permintaan energi listrik dari
rumah tangga dan tumbuhnya pelaku usaha semakin menguatkan ketimpangan supply and
demand. Permasalahan ini sebenarnya juga dialami oleh Kabupaten Purbalingga. Ketimpangan
pasokan listrik dengan permintaan industri sangat terasa. Masalah ini dapat mengganggu
peningkatan produksi industri di Makassar, dan secara tidak langsung juga mengurangi posisi
tawar kota itu yang dikenal sebagai daerah yang proinvestasi. Berikut ini kondisi dan proyeksi
tingkat cakupan listrik Kota Makassar.

Tabel 5.20
Kondisi dan Proyeksi Tingkat Cakupan Pelayanan Listrik
Kota Makassar Tahun 2008-2014
Tahun
Uraian
2008
Kapasitas

160,4

2009
173,0

2010
216,9

2011
302,5

2012
365,9

2013
480,1

2014
535,6

tersedia (MW)
Jumlah

240,027 246.252 253.598 262,278 272.763 284.843 298.678

Terlayani
(Pelanggan)
Tingkat

87,00

87,80

88,94

90,48

92,56

95,08

98,07

Cakupan
Pelayanan (%)
Sumber: PLN Makassar dalam RPJMD Kota Makassar, 2009

142

Kondisi yang kurang hampir sama juga terjadi pada kebutuhan air bersih. Meningkatnya
kegiatan industri, baik sektor pengolahan dan jasa membuat permintaan air bersih sangat besar.
Ketimpangan antara kebutuhan air bersih dan tingkat cakupan pelayanan yang dapat diberikan
hampir mencapai 25%. Artinya, hanya kurang lebih 75% kebutuhan air bersih yang dapat
dilayani oleh PDAM Kota Makassar. Pengurangan kemampuan penyediaan air bersih ini
sebenarnya juga disadari oleh Pemkot Makassar sebagai masalah mendasar dalam pembangunan
infrastruktur Kota. Masalah abrasi pantai juga menyebabkan kualitas air tanah di Kota Makassar
juga semakin buruk.
Berdirinya banyak industri jasa seperti hotel dan rumah makan di Kota Makassar harus
diimbangi dengan pasokan listrik dan air bersih yang memadai. Berdasarkan data Bappeda Kota
Makassar pada tahun 2007 jumlah hotel di Kota Makassar sebanyak 91 hotel. Pada tahun 2008,
peningkatan jumlah bangunan hotel sudah mencapai 127 buah.

Tabel 5.21
Kondisi dan Proyeksi Tingkat Cakupan Pelayanan Air Bersih (PDAM)
Kota Makassar Tahun 2008-2014
Tahun
Uraian
2008
Jumlah Produksi

2.340

2009
2.340

2010
2.340

2011
2.340

2012

2013

2.300

2.300

2014
2.840

Air (L/dtk)
Jumlah Terlayani 140.457 147.957 152.157 157.960 165.457 171.957 180.457
(Pelanggan aktif)
Tingkat Cakupan

73,4

74,1

75,5

76,2

77,1

78,5

81,1

Pelayanan (%)
Sumber: PDAM dalam RPJMD Kota Makassar, 2009
143

Tabel 5.22
Tingkat Konsumsi Energi Listrik Kota Makassar
Lapangan Usaha

Listrik, Gas, dan Air

Tahun

2006

2007

2008

220,642

236,384

269,478

Sumber: PDRB Kota Makassar, 2009

Meningkatnya permintaan energi listrik sebenarnya diakui oleh pelaku usaha. Ketua
Kadin Kota Makassar memberikan penjelasan bahwa saat ini selain permintaan energi listrik
yang tidak dapat dipenuhi seluruhnya, tumbuhnya usaha baru juga turut memicu peningkatan
konsumsi listrik dan air di Kota Makassar secara umum. Gambaran ini sebenarnya menunjukkan
peningkatan aktivitas masyarakat dalam melakukan kegiatan ekonomi. Meningkatnya konsumsi
listrik dan air mencerminkan kegiatan aktivitas ekonomi tumbuh. Namun di sisi yang lain,
permasalahan daya listrik ini juga mengganggu kinerja pelayanan publik secara umum. Ketika
tim penulis melakukan penelitian di Kota Makassar, dalam beberapa hari dalam satu minggu,
pemadaman bergilir rutin dilakukan. Pemadaman ini terjadi pada siang hari. KP2T Kota
Makassar juga menanggung imbas dari pemadaman bergilir ini. Selain mengganggu proses
pengurusan izin usaha, tidak berfungsinya komputer dan sarana penunjang lainnya menimbulkan
dampak inefisiensi dari sisi waktu dan responsitas pelayanan perizinan. Dampak ini tentunya
dialami langsung oleh pelaku usaha. Berhentinya kegiatan usaha tentu memengaruhi omset dan
ketepatan produksi.

144

C. Kota Banjarbaru
a. Struktur Ekonomi
Kota Banjarbaru adalah kota yang memisahkan diri dari Kabupaten Martapura. Setelah berdiri,
kegiatan ekonomi masyarakat tidak lagi bersandar pada sumber daya alam seperti kebanyakan
daerah Kalimantan lainnya. Batu bara, intan, dan jenis sumber daya lain tidak dimiliki oleh Kota
Banjarbaru. Masyarakat pun mengandalkan kegiatan ekonomi pada sektor jasa sejak pemisahan
daerah dilakukan dari Kabupaten Martapura. Bergantungnya masyarakat Kota Banjarbaru
terhadap sektor sekunder dan tertier berdampak juga pada sumbangan PAD yang didominasi
oleh kedua sektor ini. Sejak tahun 2004, sektor sekunder dan tertier memang menjadi pengungkit
utama kegiatan ekonomi masyarakat Kota Banjarbaru. Persentase dari mulai tahun 2004 sampai
dengan 2007 menunjukkan bahwa kedua sektor ini secara keseluruhan mencapai di atas 45%. Ini
membuktikan bahwa dari tahun ke tahun dominasi kedua sektor ini memegang peranan penting
dalam keseluruhan kegiatan ekonomi. Adapun persentase untuk sektor primer pada tahun 2008
mulai mengalami peningkatan. Peningkatan sektor primer ini terjadi karena peran pemerintah
yang menggalakkan budidaya tanaman sayuran yang cukup intensif sehingga mampu
meningkatkan sektor pertanian. Walaupun demikian, sektor primer di Kota Banjarbaru masih
didominasi oleh sektor pertambangan dan penggalian.

145

Gambar 5.4
Struktur Perekonomian Kota banjarbaru

Sumber: BPS dan Penanaman Modal Kota Banjarbaru, 2010

Pada kelompok sekunder sendiri, sektor yang paling banyak mendominasi dan
memberikan kontribusi adalah sektor bangunan. Wacana pemindahan ibukota provinsi
Kalimantan Selatan ke Kota Banjarbaru sebenarnya turut memengaruhi penetrasi pengembang
untuk membangun perumahan bagi warga setempat. Selain untuk dihuni sendiri, saat ini sektor
perumahan juga mulai dipakai untuk kegiatan investasi bisnis. Dengan relokasi ibukota provinsi
ke Kota Banjarbaru, nantinya diharapkan harga bangunan akan naik. Para investor pun akan
mendapat keuntungan dari naiknya harga properti. Pemilik bangunan seperti perumahan dan
gedung perkantoran dalam skala kecil yang semakin meningkat tidak lepas dari wacana relokasi
pemindahan ibukota provinsi, selain juga peningkatan aktivitas masyarakat Kota Banjarbaru
secara umum. Naiknya sektor bangunan ternyata tidak diikuti oleh sektor industri pengolahan.
Sejak tahun 2007, jenis industri ini mengalami penurunan kinerja. Diperkirakan pada tahun 2009
penurunan pada industri ini juga akan terjadi. Sedangkan untuk sektor listrik dan air yang
memang sangat diperlukan dalam kegiatan usaha kenaikan yang dicatat tidak terlalu signifikan.
146

Peningkatan yang cukup konsisten justru tergambarkan dari kelompok industri tertier.
Sebagaimana tim penulis sebutkan sebelumnya, kelompok tertier memang mendominasi kegiatan
perekonomian masyarakat Kota Banjarbaru secara keseluruhan. Dominasi sektor tertier ini dapat
dilihat dari aktivitas perdagangan yang cukup meningkat. Aktivitas perdagangan ini terutama
terjadi di pasar-pasar yang telah dibangun oleh Pemkot setempat. Konsep pengembangan pasar
moderen juga mulai dibuat dalam rangka mengakomodasi peningkatan kegiatan perdagangan.
Saat ini Pemkot setempat sudah melakukan beberapa perbaikan dan relokasi pasar agar lebih
strategis dan tidak mengganggu kemacetan jalan raya. Konsep pembangunan kota yang juga
mengedepankan dimensi perdagangan dan perindustrian membuat pemerintah setempat
melakukan perbaikan dan peningkatan sarana penunjang kegiatan ekonomi.
Kelompok tertier lainnya yang juga mengalami peningkatan yang cukup pesat adalah
sektor restoran dan perhotelan. Peningkatan usaha restoran dapat ditemui hampir di sepanjang
jalan utama Kota Banjarbaru. Usaha rumah makan menjadi sangat berkembang, dan terus
mengalami peningkatan dilatarbelakangi dari tingginya permintaan masyarakat setempat.
Komposisi mata pencaharian penduduk Kota Banjarbaru adalah pegawai negeri sipil, pedagang,
baru disusul oleh petani. Penduduk Kota Banjarbaru yang mayoritas pegawai ini lebih suka
untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka seperti makan dengan membeli di luar rumah. Sisi
kepraktisan ini membuat banyak usaha makanan dan restoran menjamur di sepanjang sudut kota.
Peningkatan jumlah bangunan hotel walau tidak terlalu signifikan, namun juga mulai
menggeliat. Strategisnya Kota Banjarbaru yang dekat dengan bandara, terminal, dan dilewati
jalan utama trans Kalimantan membuat permintaan hunian hotel mengalami peningkatan. Saat
ini, sudah ada investor yang akan membangun hotel di Kota Banjarbaru. BP2T memberikan
penjelasan bahwa investor yang berminat menanamkan modal di bidang perhotelan selain karena
potensinya yang cukup besar, ketersediaan bangunan hotel yang representatif masih minim.
Faktor lain yang turut memengaruhi para investor untuk membangun hotel adalah wacana
relokasi ibukota Kalimantan Selatan dan letak strategis Kota Banjarbaru di pulau Kalimantan.

147

Tabel 5.23
Perkembangan Jumlah Hotel/Penginapan
Kota Banjarbaru Tahun 2004-2008
Tahun

Hotel/

Jumlah

Penginapan

Kamar

2004

19

380

2005

20

387

2006

21

454

2007

21

454

2008

21

454

Sumber: Banjarbaru dalam Angka, 2010

Selain sektor perdagangan, restoran, dan hotel saat ini perkembangan sektor perbankan di
Kota Banjarbaru mengalami kenaikan yang cukup siginifikan. Dukungan sektor keuangan dan
kemudahan dalam bertransaksi untuk kegiatan ekonomi kelompok jasa sangat penting.
Munculnya perbankan nasional di Kota Banjarbaru untuk berekspansi bisnis memberikan
indikasi bahwa potensi yang ada memang cukup menjanjikan. Pada tahun 2007, perkembangan
sektor perbankan dan lembaga keuangan lainnya memiliki kecenderungan meningkat. Akses
kredit dari bank swasta nasional maupun lembaga keuangan lainnya yang semakin mudah dan
banyak variasi membuat nilai tambah bagi kegiatan usaha. Banyak masyarakat Kota Banjarbaru
yang memformalkan izin usahanya ke BP2T untuk mendapatkan legitimasi usaha sebagai syarat
pengajuan kredit. Meningkatnya formalisasi izin usaha oleh masyarakat untuk peningkatan
permodalan usaha juga tidak lepas dari dukungan BP2T kepada sektor usaha kecil untuk mandiri

148

dan berdikari. Caranya dengan memperpendek waktu proses formalisasi izin SIUP. Dampaknya
cukup berhasil karena dari sisi kuantitas jumlah izin yang dikeluarkan untuk usaha kecil
cenderung meningkat.

b. Tumbuhnya Izin Usaha


Perkembangan Kota Banjarbaru yang bertumpu pada sektor industri sekunder dan tertier
membuat permintaan untuk memformalkan kegiatan usaha cukup banyak dari sisi kuantitas. Dari
jumlah surat keputusan izin yang dikeluarkan, sebagian besar perizinan masih didominasi oleh
sektor usaha kecil. Berdirinya BP2T Kota Banjarbaru dari beberapa wawancara yang dilakukan
oleh tim peneliti memang ikut memengaruhi berdirinya usaha jasa, seperti warnet, rumah makan,
hotel, dan jenis usaha jasa turunan lainnya. Dari semua proses perizinan yang dilayani oleh BP2T
Kota Banjarbaru, perizinan yang paling dominan adalah izin gangguan (HO) dan Izin
Mendirikan Bangunan (IMB). Dari sisi kontribusi pendapatan untuk PAD, dua izin ini juga
memberikan sumbangan terbesar. Pada tahun terakhir ini, sumbangan dari pengurusan izin HO
dan IMB mencapai dua miliar rupiah. Maraknya izin IMB dan HO juga tidak lepas dari
berkembangnya pembangunan perumahan dan jasa konstruksi lainnya di Kota Banjarbaru.
Peningkatan jumlah izin ini diimbangi dengan jumlah retribusi yang diperoleh BP2T untuk PAD
pemerintah kota Banjarbaru. BP2T memang dibebankan target PAD dalam menyelenggarakan
pelayanan perizinan bagi masyarakat.

149

Tabel 5.24
Perkembangan Jumlah Surat Keputusan Izin
dan Penerimaan Retribusi BP2T Kota Banjarbaru
Tahun dan Jumlah

SK

2004

2005

2006

2007

2008

2009

536

1.823

2.138

2.454

3.184

2.352

Perizinan
Retribusi

172.926.150

1.203.603.173 1.780.721.729 2.092.552.217 2.518.877.502 3.004.958.695

(Rp)

Sumber: BP2T Kota Banjarbaru, 2010

Dari sisi perdagangan, data menunjukkan dari tahun 2007 tren secara umum peningkatan
perizinan usaha kecil masih mendominasi. Peningkatan untuk memformalkan dari
masyarakat setempat, selain kemudahan dan perbaikan yang terus dilakukan untuk
menyempurnakan pelayanan perizinan, program insentif juga menjadi pengungkit utama
untuk mengurus perizinan.

150

Tabel 5.25
Jumlah Izin Perdagangan Pengusaha Besar, Menengah, dan Kecil Kota Banjarbaru
Tahun
Jenis Pengusaha
2007

2008

2009

Kecil

359

383

252

Menengah

141

150

100

Besar

88

109

64

Total Izin SK

588

642

416

61.170.000

68.965.000

43.960.000

Total Retribusi

Sumber: BP2T Kota Banjarbaru, 2010

c. Pertumbuhan PDRB Kota Banjarbaru


Setelah pisah dari Kabupaten Martapura, Kota Banjarbaru memang dituntut untuk mandiri.
Ketergantungan utama pada sektor sekunder dan tertier memang cukup menjadi pengungkit
perkembangan PDRB Kota Banjarbaru secara umum. Reformasi birokrasi yang dilakukan
termasuk proses penyelenggaraan pelayanan perizinan usaha turut memberikan dampak secara
tidak langsung kepada proses aktivitas ekonomi. Rentang waktu periode tahun 2004 sampai
dengan tahun 2008, data yang dikeluarkan BPS Kota Banjarbaru menggambarkan nominal
PDRB atas dasar harga berlaku meningkat sebesar 172%.

151

Gambar 5.4
Perkembangan Nominal PDRB atas Dasar Harga Berlaku Kota Banjarbaru
Tahun 2004-2008 (miliar rupiah)

Sumber: Perkembangan Indikator Pembangunan Kota Banjarbaru Tahun 2004-2008

d. Pertumbuhan Ekonomi
Tren perkembangan PDRB Kota Banjarbaru yang terus meningkat selama lima tahun terakhir
juga berimplikasi pada peningkatan pertumbuhan ekonomi Kota Banjarbaru secara umum. Ratarata peningkatan pertumbuhan ekonomi lima tahun terakhir sekitar 13,52%. Pertumbuhan yang
cukup besar ini menjadi indikator bahwa perkembangan Kota Banjarbaru sendiri relatif masif
dengan pertumbuhan ekonomi dua digit.

152

Gambar 5.5
Pertumbuhan Ekonomi Kota Banjarbaru Periode 2004-2008

Sumber: BPS Kota Banjarbaru, 2010

Sektor yang paling progresif perkembanganya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi


secara umum adalah sektor bangunan. Tidak dapat dipungkiri, penetrasi pembangunan properti,
baik perumahan atau gedung perkantoran memberikan dampak terhadap percepatan
pertumbuhan bangunan. Sektor industri pengolahan mengalami pertumbuhan yang paling kecil
dalam memberikan kontribusi pertumbuhan perekonomian secara keseluruhan. Menurunnya
industri pengolahan sebenarnya dapat dimaklumi karena berdasarkan Rencana Tata Ruang Kota
Banjarbaru sendiri kegiatan industri nantinya tidak akan dilakukan di area kota. Sebagai kota
yang menggantungkan pada industri jasa, penyediaan sarana jasa akan lebih ditekankan dan
merelokasi kegiatan industri pada wilayah tertentu. Relokasi ini nantinya juga akan melibatkan
Pemda sekitar.

e. PDRB Per Kapita


Peningkatan kuantitas PDRB Kota Banjabaru dari tahun ke tahun berbanding lurus dengan
pendapatan perkapita masyarakat setempat. Kegiatan ekonomi yang berjalan selama ini mampu
153

menaikkan pendapatan masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan pendapatan per
kapita masyarakat akan memperbaiki kualitas hidup masyarakat itu sendiri. Dengan naiknya
pendapatan, daya beli masyarakat pasti naik.
PDRB per kapita masyarakat Kota Banjarbaru selama periode 2004-2008 meningkat
sekitar 50%. Kenaikan ini seiring dengan semakin majunya aktivitas perekonomian, khususnya
kelompok sekunder dan tertier. Jika dilihat dari struktur mata pencaharian, mayoritas masyarakat
Kota Banjarbaru adalah pegawai negeri dan swasta, namun perkembangan usaha kecil yang
cukup pesat, serta usaha menengah dan besar yang juga mengalami kenaikan turut menyerap
tenaga kerja dari sektor nonformal. Berdasarkan data survei tahun 2009 oleh BPS, masyarakat
Kota Banjarbaru yang bekerja di sektor UKM mencapai 45%.

Tabel 5.25
Jumlah UKM Menurut Kelompok Sektor Di Kota Banjarbaru Tahun 2006-2008

Sumber: BPS Kota Banjarbaru, 2010

154

Korelasi perizinan yang mudah dengan meningkatnya pendapatan memang tidak dapat
dilihat langsung seperti Kabupaten Purbalingga. Namun, secara tidak langsung banyak berdiri
usaha nonformal yang kemudian dikonversi menjadi formal melalui BP2T kemudian
memberikan lapangan kerja baru bagi masyarakat setempat. Permintaan kredit yang semakin
marak ikut memperluas usaha yang telah dimiliki saat ini. Pemilik modal tentunya membutuhkan
tenaga kerja tambahan untuk membantu perluasan usaha yang dilakukan. Responsitas BP2T
dalam memberikan izin sebenarnya ikut memengaruhi realisasi pengembangan usaha atau
terbentuknya usaha baru. Adanya pelayanan perizinan usaha yang akuntabel dan responsif
memberikan efek positif bagi dunia usaha untuk berkembang, seperti penambahan modal.

Tabel 5.26
Perkembangan PDRB Per Kapita Kota Banjarbaru Tahun 2004-2008
Tahun

PDRB Per Kapita

PDRB Perkapita

Per Tahun

Per Bulan

2004

5.981.843

498.487

2005

6.616.994

551.416

2006

7.525.497

627.152

2007

8.118.764

676.564

2008

8.950.185

745.849

Sumber: Bappeda Kota Banjarbaru, 2010

Ukuran tingkat kesejahteraan masyarakat pada umumnya, dan Kota Banjarbaru pada
khususnya sebenarnya tidak hanya diukur melalui kuantitas kenaikan pendapatan per kapita
semata. Aspek pemerataan pendapatan yang diterima oleh masyarakat juga mesti diperhatikan.
155

Pendapatan yang hanya tersentralisasi pada golongan tertentu saja tidak ada artinya walaupun
nilainya tinggi. Adapun pemerataan pendapatan di Kota Banjarbaru rentang waktu 2004-2008
memang mengalami fluktuasi ketimpangan. Namun, pada tahun 2008 pendapatannya cenderung
merata. Hal ini terlihat dari nilai Indeks Gini Kota Banjarbaru yang berada pada nilai 0,2.

f. Penyerapan Tenaga Kerja


Korelasi perkembangan pendapatan per kapita dengan pertumbuhan jumlah tenaga kerja di Kota
Banjarbaru menunjukkan keselarasan. Pertumbuhan dua variabel ini jika disandingkan dengan
jumlah usaha yang berkembang juga mengalami korelasi yang positif. Artinya, naiknya jumlah
usaha yang ada di Kota Banjarbaru turut memengaruhi bertambahnya jumlah pekerja. Dari
rentang waktu 2004-2008 proporsi kenaikan jumlah usaha dan jumlah pekerja terus mengalami
kenaikan. Jika melihat komposisi jumlah orang yang bekerja, kebanyakan penduduk bekerja di
sektor bangunan. Tumbuhnya sektor usaha kecil dan usaha rumahan ikut menyerap tenaga kerja
baik formal atau nonformal.

Tabel 5.27
Pertumbuhan Jumlah Usaha dan Pekerja Kota Banjarbaru
Tahun
Jumlah
Jumlah
Usaha

Pekerja

2004

1407

2615

2005

1511

2874

2006

2879

4960

2007

3067

6306

2008

3266

6533

Sumber: BPS Kota Banjarbaru, 2010


156

Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh BPS Kota Banjarbaru, saat ini tercatat usaha
nonformal yang tidak berbadan hukum sebanyak 17.665 usaha. Mayoritas usaha bergerak di luar
sektor pertanian. Penyerapan tenaga kerja dari sektor UKM ini juga cukup tinggi, yaitu sebanyak
30.135 pekerja. Penyerapan tenaga kerja dari sektor UKM ini sangat besar karena dari total
tenaga kerja yang ada, sebanyak 44,83% penyerapan tenaga kerja berasal dari sektor UKM. Saat
ini, jumlah tenaga kerja yang ada di Kota Banjarbaru menurut Sakernas 2008 sebanyak 65.543
orang.
Data yang dipublikasikan oleh BPS Kota Banjarbaru menunjukkan bahwa untuk Tingkat
Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) menunjukkan peningkatan yang cukup positif. Artinya,
partisipasi dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Fenomena yang cukup menarik dari
Kota Banjarbaru bahwa TPAK menunjukkan persentase penduduk aktif secara ekonomi
dibandingkan dengan penduduk usia kerja.

Tabel 5.28
TPAK dan TPT Kota Banjarbaru Tahun 2004-2008
Tahun

Tingkat Partisipasi

Tingkat

Angkatan Kerja

Pengangguran

2004

53,78

8,71

2005

59,50

9,38

2006

58,17

9,83

2007

61,68

9,41

2008

63,47

11,54

Sumber: BPS Kota Banjarbaru, 2010

157

Krisis global yang menghantam dunia pada akhir tahun 2008 ikut memengaruhi tingkat
pengangguran di Kota Banjarbaru. Pada tahun 2008, pengangguran di Kota Banjarbaru memang
yang tertinggi nilainya dibandingkan tahun sebelumnya. Bertambahnya angka pengangguran di
pada tahun 2008 disebabkan ada beberapa perusahaan yang tutup ketika krisis keuangan dunia
terjadi. Salah satu perusahaan besar yang telah tutup adalah pabrik pengolahan kayu yang cukup
besar di daerah Landasan Ulin. Perusahaan ini cukup banyak menyerap tenaga kerja masyarakat
sekitar. Ketika pabrik itu berhenti beroperasi banyak pekerja yang terkena PHK. Situasi ini
berdampak pada angka pengangguran yang tinggi. Selain krisis keuangan dunia, berhentinya
pabrik besar seperti pengolahan kayu dan pengolahan intan juga tidak lepas dari faktor
lingkungan yang cukup mengganggu. Resistensi yang timbul dari situasi ini adalah
meningkatnya angka pengangguran.

g. Menurunnya Jumlah Penduduk Miskin


Dampak deregulasi sebuah kebijakan pemerintah daerah dalam melakukan pembangunan salah
satunya adalah menurunnya jumlah penduduk miskin. Melihat perkembangan Kota Banjarbaru
sejak tahun 2003 garis kemiskinan sudah diperbarui selama tiga kali, yaitu pada tahun 2003,
2005, dan 2007. Perubahan standar garis kemiskinan yang terus meningkat dari tahun ke tahun
tidak memengaruhi jumlah penduduk miskin di Kota Banjarbaru. Jika dengan standar garis
kemiskinan yang terus meningkat perkembangan tingkat kemiskinan malah menurun, ini
mengindikasikan bahwa tingkat kesejahteraan dan daya beli masyarakat cukup tinggi.

158

Gambar 5.5
Perkembangan Garis Kemiskinan Tahun 2003-2007

Sumber: BPS Kota Banjarbaru, 2010

Meningkatnya kegiatan ekonomi Kota Banjarbaru terhadap penurunan angka kemiskinan


memang terlihat. Baik langsung maupun tidak langsung, dengan berkembangnya roda
perekonomian terutama di sektor sekunder dan tertier ikut berpengaruh pada pengentasan
kemiskinan. Banyaknya usaha nonformal dan berkembangnya industri konstruksi dan properti
selama lima tahun terakhir turut menjadi pengungkit bagi pengurangan penduduk miskin.
Melihat perbandingan antara rumah tangga sasaran (miskin) dan rumah tangga tidak miskin di
Kota Banjarbaru adalah 10 berbanding 1. Artinya, dari 10 rumah tangga di Kota Banjarbaru
setidaknya hanya terdapat 1 rumah tangga sasaran program layanan dan bantuan sosial.

159

Tabel 5.29
Perkembangan Tingkat Kemiskinan Tahun 2003-2007 Kota Banjarbaru

Tahun

Jumlah

Persentase

Penduduk

Penduduk

Miskin

Miskin

2003

8,1

5,85

2005

6,6

4,53

2007

6,6

4,08

Sumber: BPS Kota Banjarbaru, 2010

h. Meningkatnya Pembangunan Infrastruktur


Sebagai kota yang akan menuju konsep metropolitan, pembangunan sarana infrastruktur menjadi
kebutuhan yang sangat mendasar. Kondisi jalan yang baik dan aman sangat diperlukan dalam
rangka kelancaran pembangunan ataupun untuk menggerakkan roda perekonomian masyarakat.
Ketersediaan jalan yang baik juga untuk mendorong proses lalu lintas barang dan jasa.
Diharapkan dengan jalan yang memadai, investor juga akan masuk ke daerah sebagai mitra
pemerintah dalam melakukan pembangunan lokal.

160

Tabel 5.30
Panjang Jalan Negara, Provinsi, dan Kota Menurut Kondisi Jalan Tahun 2008 (km)
Kondisi Jalan

Baik

Negara

Propinsi

Kota

26,500

2,000

383,556

Sedang

6,500

29,899

Sedang/Rusak

Rusak

10,500

80,53

Rusak Berat

11,967

26,500

19,000

515,175

Jumlah

Sumber: Kota Banjarbaru dalam Angka, 2010

Panjang jalan di Kota Banjarbaru sampai dengan tahun 2008 secara keseluruhan adalah
26,5 km dengan kondisi baik. Panjang jalan ini dimiliki oleh pemerintah pusat, pemerintah
provinsi, dan terakhir adalah Pemkot Banjarbaru. Partisipasi masyarakat terhadap pentingnya
jalan bagi sarana pembangunan cukup tinggi. Ketika pemerintah kota membangun jalan, tidak
ada alokasi dana khusus untuk proses ganti rugi tanah yang akan dijadikan jalan. Tingginya
partisipasi dan kerelaan masyarakat tanahnya digunakan untuk pembangunan jalan secara cumacuma menjadi indikasi peran masyarakat dalam menyukseskan pembangunan jalan. Kesadaran
untuk membangun jalan muncul karena multiplier effect yang ditimbulkan sangat besar. Muncul
usaha-usaha baru di sepanjang jalan ketika ruas itu mulai beroperasi. Munculnya ruas jalan baru
oleh Bappeda Kota Banjarbaru nantinya akan dibangun juga rumah kantor (ruko) di sepanjang
jalan. Hal ini dilakukan selain karena industri yang dominan di Kota Banjarbaru adalah sekunder
dan tertier, lanskap kota yang akan dijadikan sebagai kota metropolitan di kawasan Kalimantan

161

membuat Bappeda Kota Banjarbaru melakukan perencanaan ruas jalan dan sarana pendukungnya
sejak dini.
Terkait dengan penataan fungsi jalan, Pemkot Banjarbaru juga sudah mulai merelokasi
jalan untuk angkutan batubara dengan membangun jalan baru. Sebelum dibangunnya jalan
khusus untuk angkutan batubara, pengangkutan batubara masih menggunakan jalan kota. Selain
menimbulkan kemacetan dan kerusakan jalan dalam jangka panjang, kemacetan juga
ditimbulkan dari aktivitas kendaraan angkutan batubara. Langkah relokasi ini menguntungkan
kedua belah pihak, selain lebih cepat dari sisi waktu, kegiatan perekonomian dan sosial kota juga
tidak terganggu. Dibangunnya jalan khusus untuk angkutan batubara dan komoditas lainnya juga
menjadi komitmen pemerintah setempat terhadap kelancaran aktivitas ekonomi dan penanaman
modal usaha di sektor tambang.

i. Listrik dan Air


Sebagai kota yang baru membangun, kebutuhan energi untuk menunjang kegiatan perekonomian
di Kota Banjarbaru memang sangat vital. Seperti kebanyakan daerah lain, masih kurangnya
pasokan energi, terutama listrik yang menjadi kendala utama untuk mengembangkan iklim
investasi. Kota Banjarbaru sendiri pertumbuhan sektor listrik, gas, dan air mengalami
peningkatan yang fluktuatif. Namun, selama dua tahun terakhir (2007-2008) pertumbuhan
ekonomi untuk sektor energi mengalami kenaikan relatif kecil. Kurang tersedianya energi listrik
menjadi keluhan utama dari pelaku usaha kecil dan pengusaha. Tidak seimbangnya pasokan
dengan permintaan membuat proses kegiatan ekonomi kadangkala terganggu. Usaha seperti
percetakan, warnet, dan usaha lain yang menggantungkan sumber listrik sebagai sumber energi
utama sering mengeluhkan tidak normalnya pasokan listrik.

162

Tabel 5.31
Pertumbuhan Ekonomi Kota Banjarbaru Tahun 2002-2008
Sektor Ekonomi

Tahun

2004

2005

2006

2007

2008

Rata-Rata
2004-2008

Listrik, gas dan Air Minum


12,47

21,33

15,69

22,05

17,58

17,82

Sumber: Bappeda Kota Banjarbaru, 2010

j. Aspek Sosial
Karakteristik masyarakat Kota Banjarbaru yang mayoritas pendatang memang memberikan ciri
tersendiri dibanding daerah lainnya di Kalimantan. Perbedaan keberagaman suku di Kota
Banjarbaru tidak mengurangi kerukunan dan harmonisasi kehidupan ekonomi masyarakat
setempat. Pelaku usaha informal di Kota Banjarbaru juga tidak hanya didominasi oleh
masyarakat asli Kalimantan saja, masyarakat pendatang dari suku Jawa dan lintas perbatasan
daerah lain juga banyak yang bekerja di Kota Banjarbaru. Karakteristik penduduk ini juga
memengaruhi bentuk kegiatan usaha informal seperti kuliner yang cukup lengkap di Kota
Banjarbaru. Bentuk usaha yang didominasi kuliner sebenarnya hampir sama dengan Kabupaten
Purbalingga. Namun, perbedaan antara dua daerah ini terletak pada bahan dasar yang dipakai.
Kota Banjarbaru banyak menggunakan ikan sebagai bahan utama kuliner, sedangkan Kabupaten
Purbalingga lebih banyak menggunakan ayam sebagai bahan baku utama kuliner.
Sebagai kota jasa, munculnya kegiatan usaha informal penjualan makanan tidak lepas
dari mata pencaharian penduduk Kota Banjarbaru yang didominasi pegawai. Mayoritas
penduduk setempat (khususnya perempuan) lebih suka menyediakan makanan untuk keluarga
163

dengan cara membeli di luar rumah daripada memasak di dapur. Selain lebih praktis, dari sisi
waktu dan pekerjaan yang harus dijalani tidak memungkinkan bagi sebagian ibu rumah tangga
untuk memasak di rumah.
Kepedulian dunia usaha terhadap kemajuan pendidikan juga tampak dari adanya
partisipasi dunia usaha pada pembangunan sarana infrastuktur pendidikan. Perusahaan Pupuk
Kaltim sebagai salah satu perusahaan besar memberikan bantuan pembangunan perpustakaan
untuk tingkat sekolah dasar di Kota Banjarbaru. Kepedulian ini tentu saja menggambarkan
bahwa keseimbangan hubungan antarstakeholder cukup terjalin dengan baik. Namun demikian,
penguatan peran yang masih lemah dari kalangan dunia usaha, khususnya keberadaan KADIN di
Kota Banjarbaru menjadi pekerjaan rumah yang mesti dibenahi oleh pemerintah dan dunia
usaha. Selain berimplikasi pada penguatan peran masing-masing dalam pembangunan, kegiatan
CSR yang dilakukan oleh pelaku usaha dapat diintegrasikan dengan rencana pembangunan yang
dibuat Pemkot Banjarbaru. Saat ini, penguatan peran dunia usaha dalam pembangunan sosial
kemasyarakatan di Kota Banjarbaru masih belum maksimal.
Semakin berkembangnya dinamika perekonomian Kota Banjarbaru juga membawa
dampak terhadap aktivitas kegiatan sosial ekonomi masyarakat pada malam hari. Bahkan, Kota
Banjarbaru pada saat malam hari juga hidup karena kegiatan usaha informal seperti kuliner justru
ramai pada malam hari. Hal ini turut memacu ide gagasan Walikota setempat untuk membangun
pernak-pernik lampu hias dan taman kota sebagai alternatif wisata lokal. Pada malam hari,
lampu-lampu hias yang dipasang di sepanjang jalan utama kota semakin menambah hidup
suasana Kota Banjarbaru pada malam hari.

164

VI
DIMENSI PERIZINAN DAN KOMPARASI ANTARDAERAH

Perizinan pada dasarnya bukan sekadar urusan administratif semata, namun lebih dari itu
menyangkut aspek sosial budaya dan politik masyarakat di sekitarnya (Rustiani, 2001).
Setidaknya terdapat tiga dimensi yang terkait dalam upaya membedah fenomena perizinan di
Indonesia, yaitu sosial budaya, politik, dan ekonomi. Berikut penjabaran dari masing-masing
dimensi tersebut.

Dimensi Sosial Budaya


Dilihat dari dimensi sosial budaya, fenomena perizinan usaha ternyata melibatkan banyak relasi,
dan membentuk sebuah sistem tersendiri yang cukup rumit. Pembentukan sistem tersendiri ini
berjalan melalui sebuah proses yang hampir alamiah di mana proses-proses dalam perizinan
usaha, sebagaimana pungutan, dikomunikasikan serta disosialisasikan secara multilevel sehingga
menjadi hal yang wajar dilakukan dalam pengurusan berbagai macam izin. Paling tidak terdapat
dua faktor dominan yang membentuk budaya ini. Faktor pertama berasal dari pemerintah sebagai
pemberi layanan. Etos kerja pegawai pemerintah, terutama pemberi izin yang masih rendah dan
masih jauh dari service oriented. Hal ini berkolerasi terhadap pelayanan yang tidak
menempatkan kepentingan masyarakat sebagai hal utama. Faktor kedua berasal dari masyarakat
sebagai pihak pemohon. Sebagian besar masyarakat masih senang menggunakan cara-cara
kompromis ketika harus berhadapan dengan prosedur birokrasi perizinan.
Layanan perizinan usaha yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Purbalingga
mendapat dukungan positif, baik dari internal yaitu pegawai-pegawainya dan eksternal yaitu
masyarakat sebagai pemohon izin. Dilihat dari dimensi sosial budaya, layanan perizinan usaha di
Kabupaten Purbalingga didukung oleh etos kerja pegawai yang cukup tinggi. Sebagai pihak
pemberi layanan, pegawai di kantor perizinan memiliki prinsip dasar yang diterapkan dalam
pemberian layanan perizinan, yaitu Customer adalah segalanya, Mengubah paradigma
pelayanan, Mengubah sikap mental, dan Mendekatkan diri kepada customer. Penerapan
165

keempat prinsip tersebut diakui oleh pegawai menjadi semangat dalam memberikan pelayanan
yang lebih baik kepada masyarakat, terutama kalangan pengusaha. Selain dari pihak pemerintah
sebagai pemberi layanan, masyarakat sebagai pemohon dan penerima izin turut mendukung
berjalannya sistem dan prosedur yang telah ditetapkan. Secara umum terlihat karakteristik
masyarakat Purbalingga yang taat dengan aturan dan sistem yang berlaku. Fenomena yang mirip
terjadi di Kota Banjarbaru di mana jika dilihat dari dimensi sosial budaya, pemerintah maupun
masyarakat memberikan dukungan bagi penerapan sistem layanan perizinan yang telah
direformasi. Bahkan, bukan sekadar patuh pada prosedur, masyarakat dalam hal ini pengusaha
juga turut memberikan masukan dan secara bersama-sama mencari solusi permasalahan terkait
dengan perizinan usaha. Namun, yang masih kurang adalah akses pengusaha untuk terlibat dalam
pengambilan keputusan yang terkait dengan dunia usaha.
Kondisi sosial budaya yang agak berbeda terjadi di Kota Makassar. Sebagai salah satu
kota yang memiliki potensi besar di bidang usaha, Pemkot Makassar dapat dikatakan kurang
berhasil dalam melakukan reformasi layanan izin usahanya. Penyebabnya antara lain karena
budaya aparatur pemerintah dan masyarakat yang belum secara proaktif menjalankan sistem
yang telah dibentuk. Meskipun telah berupaya mereformasi layanan perizinannya, namun praktik
suap masih terjadi dalam proses perizinan. Hal ini diakui, baik oleh aparat pemberi layanan izin
maupun pengusaha yang mengurus izin. Fenomena ini menunjukkan adanya perilaku moral
hazard yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah.

Dimensi Politik
Dimensi kedua dalam perizinan usaha adalah dimensi politik. Dimensi ini terkait dengan faktor
kekuasaan dan kebijakan pemerintah. Dari sisi politik, perizinan dapat berubah menjadi suatu hal
yang negatif ketika pemerintah sebagai pihak pemberi layanan memanfaatkan layanan ini
sebagai kesempatan untuk memupuk PAD melalui pengenaan tarif yang terlalu tinggi. Ditambah
lagi diskriminasi yang sering dilakukan dengan menyegerakan pihak-pihak yang mampu
membayar suap untuk mendapatkan layanan tersebut. Hal ini terjadi ketika tidak adanya
transparansi dalam hal sistem, prosedur, biaya, dan waktu pengurusan izin. Pada layanan
birokrasi termasuk perizinan, Sjaifudian dkk melihat beberapa kendala, yakni lemah dalam
166

konsistensi dan kemauan politik, tidak disusun secara sistemik dan cenderung reaktif, tindakan
politis semata, ekspresi kedermawanan dan mengandung banyak bias. Secara keseluruhan,
kelemahan dalam koordinasi dan sistem informasi ini menyebabkan layanan birokrasi menjadi
tidak efisien dan membuka peluang kebocoran.
Pelayanan publik yang diberikan pemerintah dewasa ini perlu diarahkan pada
pemberdayaan masyarakat dan bukan untuk menyuburkan ketergantungan. Dalam situasi di
mana sumber-sumber publik semakin langka keberadaannya, perlu dikembangkan pemberdayaan
di kalangan masyarakat dan aparatur karena dapat mengurangi beban pemerintah dalam
pelayanan publik. Sebagaimana dikatakan oleh Thoha .... Peran dan posisi birokrasi dalam
pelaksanaan pelayanan publik harus diubah. Peran yang selama ini suka mengatur dan minta
dilayani, menjadi suka melayani, suka mendengarkan tuntutan, kebutuhan, dan harapanharapan masyarakat. Buruknya layanan birokrasi perizinan salah satunya ditunjukkan oleh
persepsi pelaku usaha kecil menengah yang negatif terhadap layanan yang diberikan. Secara
umum layanan birokrasi dalam hal perizinan dianggap menjadi faktor paling menentukan dalam
penciptaan iklim yang tidak kondusif untuk berusaha.

Dimensi Ekonomi
Dimensi ketiga dalam perizinan usaha kecil adalah dimensi ekonomi. Pada era otonomi daerah
dewasa ini, pelayanan perizinan masih dibebankan target untuk menarik pungutan dalam
menyelenggarakan pelayanan perizinan. Di beberapa daerah, pungutan pelayanan perizinan
memang dilakukan karena melihat potensinya yang besar. Namun demikian, pungutan yang
besar dan target yang tinggi akan memengaruhi kinerja dan proses pelayanan itu sendiri.
Beberapa daerah yang telah melakukan deregulasi dan debirokratisasi pelayanan perizinan sudah
tidak menempatkan target pungutan kepada badan atau kantor pelayanan perizinan. Alasannya
karena selain memengaruhi persepsi calon investor yang akan masuk ke daerah, biaya tinggi
yang ditetapkan juga tidak menjamin praktik budaya permisif tidak akan terjadi.

167

Iklim investasi yang baik tidak lepas dari proses perizinan yang baik, akurat, dan
responsif. Sudah selayaknya pelayanan perizinan sebagai bagian dari pelayanan publik menjadi
pengungkit dalam melakukan proses percepatan pembangunan di daerah. Peran pembangunan
dewasa ini sudah berubah dengan pemerintah yang menjadi aktor utama. Reorientasi
pelaksanaan pembangunan yang mengikutsertakan masyarakat dan dunia usaha mutlak
diperlukan karena beban dan peran negara semakin lama semakin besar.
Dimensi ekonomi adalah kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi dan iklim yang
kondusif. Young (1998) melihat ada dua hal utama guna memperluas kontribusi usaha terhadap
perekonomian nasional. Dari sisi supply yakni memberikan dukungan dan dorongan terhadap
pengintegrasian pada pasar yang lebih luas melalui kemudahan dalam berusaha. Deregulasi
perizinan diperlukan dalam meminimalisir membengkaknya biaya yang tidak pasti. Selama ini
tidak dapat dipungkiri bahwa proses izin di Indonesia, khususnya di daerah masih menjadi
kendala utama bagi para investor untuk menanamkan modalnya. Dari sisi demand, diperlukan
perluasan ukuran usaha atau skala ekonominya. Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk
pengurusan izin pada berbagai tahap ternyata secara signifikan berpengaruh terhadap kesulitan
usaha kecil memperbesar kapasitas produksi dan pasarnya dalam rangka memperbesar skala
ekonominya.
Tidak kompetitifnya iklim investasi di Indonesia terkait ekonomi biaya tinggi terlihat dari
hasil penelitian Kuncoro tahun 2004 pada industri berorientasi ekspor padat karya di 10
Kab./Kota di Indonesia yang menyimpulkan bahwa biaya tambahan karena korupsi mencapai
7,3% dari biaya perusahaan. Sedangkan penelitian Kuncoro 2001 pada 1.736 perusahaan di 285
Kab./Kota di Indonesia menemukan besarnya biaya tambahan sebagai akibat tindakan korupsi
mencapai 10% dari biaya total perusahaan.
Besarnya biaya tambahan ini tentu akan mengurangi keuntungan dan efisiensi
perusahaan. Temuan ini dipertegas kembali penelitian Ari Kuncoro (2008) yang dilakukan di 37
Kab./Kota di Pulau Jawa, dana suap untuk memuluskan sebuah proses bisnis angkanya mencapai
6,5% dari keseluruhan biaya produksi. Artinya, dari setiap Rp100.000,00 biaya produksi, maka
Rp6.500,00 di antaranya merupakan komponen biaya suap. Budaya permisif (korupsi) dan

168

ekonomi biaya tinggi ini bukan hal baru lagi dalam ranah birokrasi, khususnya penyelenggaraan
pelayanan perizinan di Indonesia.
Dilihat dari dimensi ekonomi, layanan perizinan yang diselenggarakan oleh KPPT
Kabupaten Purbalingga menunjukkan biaya yang rendah dan prosedurnya pun cukup transparan.
Semua biaya perizinan telah diatur dengan jelas melalui peraturan daerah dan peraturan bupati.
Praktik korupsi misalnya berupa suap. Reformasi layanan perizinan usaha di Kota Makassar
belum menunjukkan adanya transparansi dan biaya rendah dalam pengurusan izin usaha.
Masyarakat masih berpikir pragmatis untuk mendapatkan pelayanan instan sehingga mau
mengeluarkan biaya berapa pun yang diminta aparat.

Komparasi Layanan Perizinan Antardaerah


Kendala utama permasalahan perizinan di daerah sebelum adanya peraturan one stop service
adalah terjadinya inefisiensi di semua lini penyelenggaraan pelayanan. Aspek waktu, biaya, dan
banyaknya meja pelayanan yang harus dilalui dalam pembuatan izin semakin memperlama
proses pembuatan izin. Waktu dan biaya yang tidak jelas, pungutan liar yang dianggap wajar,
serta tidak adanya transparansi biaya perizinan menjadi permasalahan utama yang dihadapi para
pembuat izin.
Pemerintah daerah pun berlomba-lomba membuat model pelayanan perizinan yang
mampu menjawab permasalahan, terutama menyangkut waktu dan biaya dalam proses
pembuatan izin. Pada umumnya, daerah-daerah yang telah berhasil melakukan reformasi
perizinan usaha memiliki indikator-indikator dalam proses pemberian layanan izin. Keputusan
Menpan No.81 Tahun 1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum menjadi rujukan
prinsip dasar dalam pelayanan perizinan. Prinsip sederhana, jelas, aman, transparan, efisien,
ekonomis, adil, dan tepat waktu menjadi landasan dalam menjawab permasalahan
penyelenggaraan perizinan seperti lamanya waktu dan biaya yang tidak transparan. Perbandingan
aspek-aspek pemberian izin usaha pada tiga daerah penelitian hanya akan difokuskan pada aspek
waktu dan biaya. Berikut perbandingan dari tiga daerah penelitian (Kabupaten Purbalingga, Kota

169

Makassar, dan Kota Banjarbaru) perihal aspek waktu dan biaya penyelenggaraan pelayanan
perizinan tersebut.
Tabel 6.1
Waktu yang Dibutuhkan untuk Pengurusan Izin pada Tiap Kota
Berdasarkan Jenis Izinnya
Jenis Izin

Kab.

Kota

Kota

Makassar

Banjarbaru

(hari)

(hari)

Purbalingga
(hari)

1.

Surat izinUsaha Perdagangan/SIUP

2.

Tanda Daftar Perusahaan/TDP

3.

Tanda Daftar Industri/TDI-IUI

4.

Tanda Daftar Gudang/TDG

5.

Izin Penumpukan Barang

6.

Izin Pameran dan Promosi Dagang

7.

Izin Reklame

8.

IMB

10

9.

Izin Peruntukan Penggunaan Tanah/IPPT

12

3
8

10. Izin Lokasi

12

11. Gangguan/HO

10

8
6

12. Izin Pengelolaan Tambang Bahan Galian C

13. Surat Izin Pengeboran Air Bawah Tanah (SIPA)

14. Izin Eksplorasi Air Bawah Tanah

170

15. Izin Perusahaan Pengeboran Air Bawah Tanah

(SIPPAT)
a.

Izin Juru Bor

b.

Izin Pengeboran Air Bawah Tanah

16. Surat Izin Pertambangan Rakyat Daerah

17. Izin Balai Pengobatan/Rumah Bersalin/BKIA

18. Izin Optikal

19. Izin Perdagangan Eceran Obat/TOB

20. Izin Apotik

21. Izin Laboratorium

22. Izin Praktik Spesialis, Dokter Umum, Dokter Gigi

23. Izin Praktik Bidan

24. Izin Praktik Perawat/Perawat Gigi

25. Izin Pengelolaan Tempat Parkir Khusus

26. Izin Pengelolaan Parkir Tepi jalan Umum

27. Izin Trayek

28. Izin Usaha Pengangkutan Orang dan Barang

29. Izin Usaha Jasa Konstruksi

14

30. Izin Penyelenggaraan Kursus&PAUD

31. Izin Penelitian Riset/Survei

32. Izin Peternakan Unggas

33. Izin Undian Berhadiah

4-8

171

34. Izin

Minta

Sumbangan

kepada

Masyarakat

Menindaklanjuti izin yang Dikeluarkan oleh Gubernur


35. Izin Operasional Sekolah

36. Izin Perhotelan

37. Izin Rumah Makan dan Restoran

38. Izin Hiburan Umum (Permanen)


39. Izin Tempat Rekreasi (Permanen)
40. Izin Tempat Olahraga (Permanen)

Sumber: Data Sekunder Penelitian, diolah

Tabel 6.2
Biaya yang Dibutuhkan untuk Pengurusan Izin pada Tiap Kota
Berdasarkan Jenis Izinnya (dalam Rupiah)
Jenis Izin

1.

Surat izinUsaha Perdagangan/SIUP

2.

Kab. Purbalingga

Kota

Kota

Makassar

Banjarbaru

0-350.000

35.000-200.000

Tanda Daftar Perusahaan/TDP

100.000-1.000.000

75.000-150.000

3.

Tanda Daftar Industri/TDI-IUI

50.000-150.000

35.000-500.000

4.

Tanda Daftar Gudang/TDG

5.

Izin Penumpukan Barang

6.

Izin Pameran dan Promosi Dagang

7.

Izin Reklame (/m2)

500/m2
2.500 m2
100.000/hari
Minggu: 3.400-34.000, Bulan: 3.600-

172

1.000.000, Tahun: 9.000-2.500.000


8.

IMB

15.000-300.000/m2

9.

Izin Peruntukan Penggunaan Tanah/IPPT

10. Izin Lokasi


11. Gangguan/HO

350-3.500

8
300-750/m2
300-1.500/m2

400-750/hari, 6.500/
bulan, 55.000/tahun

12. Izin Pengelolaan Tambang Bahan Galian C


13. Surat Izin Pengeboran Air Bawah Tanah

400.000/titik

(SIPA)
14. Izin Eksplorasi Air Bawah Tanah

500.000/titik

15. Izin Perusahaan Pengeboran Air Bawah Tanah

550.000-750.000

(SIPPAT)
c.

Izin Juru Bor

250.000

d.

Izin Pengeboran Air Bawah Tanah

450.000

16. Surat Izin Pertambangan Rakyat Daerah

Umum&Eksplorasi: 500.000, Exploitasi

5.000

Manual: 150.000-625.000, Mekanik:


250.000-1.250.000
17. Izin Balai Pengobatan/Rumah BersalinBKIA

150.000 - 300.000

18. Izin Optikal

150.000

19. Izin Perdagangan Eceran Obat/TOB

150.000

20. Izin Apotik

300.000

21. Izin Laboratorium

300.000

22. Izin Praktik Spesialis, Dokter Umum, Dokter

200.000-300.000

Gigi
23. Izin Praktik Bidan

100.000

173

24. Izin Praktik Perawat/Perawat Gigi

100.000

25. Izin Pengelolaan Tempat Parkir Khusus

50.000 - 100.000

26. Izin Pengelolaan Parkir Tepi jalan Umum


27. Izin trayek

20.000-100.000

28. Izin Usaha Pengangkutan Orang dan Barang

Otobus/Angk Barang: 150.000-700.000,

25.000-200.000

Mobil Penumpang: 100.000-400.000


29. Izin Usaha Jasa Konstruksi

Berd. Kual usaha: 150.000-1.500.000,

150.000-1.000.000

sub bid: 50.000-250.000


30. Izin Penyelenggaraan Kursus&PAUD
31. Izin Penelitian Riset/Survei

5.000/2 lembar (Leges)


3.000 (Leges)

32. Izin Peternakan Unggas

10.000-250.000

33. Izin Undian Berhadiah


34. Izin Minta Sumbangan kepada Masyarakat
Menindaklanjuti izin yang Dikeluarkan oleh
Gubernur
35. Izin Operasional Sekolah
36. Izin Perhotelan

150.000-1.800.000

37. Izin Rumah Makan dan Restoran

50.000-200.000

38. Izin Hiburan Umum (Permanen)

50.000-500.000

39. Izin Tempat Rekreasi (Permanen)

100.000-216.000

40. Izin Tempat Olahraga (Permanen)

150.000-500.000

Sumber: Data Sekunder Penelitian, diolah


Dari gambaran aspek waktu dan biaya perizinan di tiga wilayah penelitian (Kabupaten
Purbalingga, Kota Makassar, dan Kota Banjarbaru), aspek waktu dari yang paling cepat cepat di
antara ketiganya adalah Kabupaten Purbalingga dan Kota Makassar. Batas paling lama waktu
pelayanan perizinan untuk dua wilayah ini adalah 12 hari, sedangkan Kota Banjarbaru batas
174

pelayanan perizinannya adalah 14 hari. Adapun untuk jenis pelayanan perizinan yang paling
banyak dilayani dilakukan oleh Kota Banjarbaru. Jenis izin tidak hanya terkait dengan pelayanan
perizinan saja, tapi nonperizinan juga dilayani. Sedangkan untuk Kabupaten Purbalingga dan
Kota Makassar, jenis pelayanan hanya diberikan untuk perizinan saja.
Dari segi transparansi biaya, Kabupaten Purbalingga dan Kota Banjarbaru sudah
mencantumkan biaya untuk setiap izin. Pembuat izin dapat melihat langsung berapa biaya yang
harus dibayar melalui informasi yang ada di Kantor Pelayanan Perizinan setempat atau
menggunakan media lain, seperti pamflet dan media sejenis lainnya. Adapun di Kota Makassar
sampai dengan penelitian dilakukan tidak mencantumkan biaya perizinan. Besaran biaya izin
ditentukan oleh dinas teknis terkait. Papan informasi mengenai biaya izin tidak tampak di dalam
Kantor Pelayanan Perizinan. Dari sisi pembayaran biaya izin, Kabupaten Purbalingga dan Kota
Banjarbaru memiliki mekanisme pembayaran retribusi izin langsung di kantor pelayanan
perizinan melalui kasir. Jika Kota Makassar tidak ada transparansi biaya izin, untuk mekanisme
pembayaran biaya izin dapat langsung dilakukan di bank daerah setempat (Bank Daerah Sulsel).
Kantor pelyanan perizinan Kota Makassar juga menyediakan loket khusus untuk bank daerah
Sulsel dalam melayani pembayaran izin. Bukti pembayaran izin ini nantinya yang akan dijadikan
legitimasi untuk mengambil izin yang telah selesai diurus. Akses kemudahan pembayaran
retribusi izin ini yang tidak dimiliki oleh Kabupaten Purbalingga dan Kota Banjarbaru. Namun di
sisi lain, transparansi biaya yang ada di Kota Makassar juga menjadi kelemahan sangat mendasar
dalam proses pelayanan perizinan pada era otonomi daerah.

175

Tabel 6.3
Tipologi Pelayanan Perizinan Usaha
Daerah
Kabupaten Purbalingga

Kota Makassar

Kota Banjarbaru

Aspek

Terciptanya pelayanan perizinan prima

Mewujudkan Sulawesi Selatan

untuk mewujudkan Purbalingga menarik

menjadi pintu gerbang promosi,

bagi investor.

investasi, perdagangan dan lain

KKN
Misi:

sebagainya untuk wilayah


Misi:
-

Indonesia bagian timur *)

Pelayanan Perizinan Prima Bebas

Meningkatkan kualitas pelayanan

Meningkatkan kompetensi sumber


daya aparatur;

perizinan yang mudah, cepat, transparan


dan pasti;
Visi dan Misi

*) Karena visi dan misi KPAP

perizinan;

Kota Makassar tidak ditemukan


-

Meningkatkan kepuasan pemohon,


karyawan dan pemerintah serta fungsi
organisasi sebagai penyumbang PAD;

Mengembangkan potensi dan peluang


investasi daerah terutama yang bertumpu

dalam dokumen data sekunder,

Meningkatkan kualitas pelayanan

Meningkatkan partisipasi

maka aspek ini diturunkan dari

masyarakat dalam manajemen

visi dan misi umum Restra Kota

pelayanan perizinan;

Makassar.
-

Meningkatkan pengawasan dan

176

pada sumber daya lokal.

akuntabilitas dalam pelayanan


perizinan.

Berperan sebagai inisitor reformasi,

khususnya dalam bidang perizinan;

Cukup berperan dalam

merubah mekanisme kerja

Cukup berperan dalam


merevitalisasi BP2T;

KPAP untuk memberikan


-

Sangat berperan dalam merevitalisasi

pelayanan perizinan usaha;

KPPT agar lebih responsif dalam


meningkatkan masuknya investasi;

Figur Pemimpin
Daerah

Memiliki visi dan misi membenahi


pelayanan perizinan untuk

Memiliki visi dan misi untuk membenahi

Memiliki visi dan misi untuk

meningkatkan investasi di

membenahi pelayanan

daerahnya.

perizinan untuk meningkatkan

pelayanan perizinan untuk meningkatkan

investasi di daerahnya.

investasi di daerahnya.

Lokasi Kantor

Memiliki kantor tersendiri untuk

melakukan pelayanan perizinan;

Kantor berada dalam satu

kompleks dengan instansi

Memiliki kantor tersendiri untuk


melakukan pelayanan perizinan;

pelayanan lainnya;
-

Lokasi sangat strategis karena berada di

jalan utama kota;

Lokasi kantor kurang strategis;

Luas dan fisik bangunan cukup

Luas dan fisik bangunan

representatif.

kurang representative.

Lokasi kurang strategis karena


tidak berada di jalan utama kota;

Luas dan fisik bangunan cukup


representatif.

177

Pemohon izin mengikuti proses

Pemohon izin ada yang

Pemohon izin mengikuti proses

pembuatan izin sesuai ketentuan yang

mengikuti proses pembuatan

pembuatan izin sesuai ketentuan

berlaku;

izin sesuai ketentuan yang

yang berlaku;

berlaku;
-

Karakter budaya Jawa sangat terasa dalam


proses pemberian pelayanan perizinan.

Sosial Budaya

Karakter budaya Jawa cukup

Karakter budaya Bugis

terasa karena mayoritas

Makassar cukup terasa dengan

masyarakatnya adalah pendatang

munculnya budaya

dari suku Jawa.

instan/cepat dalam proses


pembuatan izin ( kadang tidak
mengikuti proses pembuatan
izin sesuai prosedur kerja).
Waktu

Rata-rata pembuatan izin dilakukan 2

sampai 12 hari

Rata-rata pembuatan izin

dilakukan 6 hari sampai 12

Rata-rata pembuatan izin


dilakukan 2 hari sampai 14 hari

hari.
Biaya

Transparansi biaya pembuatan izin ada;

Tarif pembuatan izin antara

Transparansi biaya pembuatan

izin tidak ada;


Rp0,00 s.d. Rp1.500.000,00.

Tarif pembuatan izin tidak

Transparansi biaya pembuatan izin


ada;

Tarif pembuatan izin antara

dipublikasikan.
Rp500,00 s.d. Rp1.800.000,00.

Terjadi perubahan gaya hidup;

Masyarakat peduli dengan pentingnya

Pembangunan sarana fisik kota


sangat terlihat

Pembangunan sarana fisik kota


cukup maju

178

sanitasi;

Korelasi masuknya investor

berkembang pesat

dengan kesadaran pendidikan


-

Kepemilikan kendaraan bermotor sebagai

Pembangunan perumahan

kurang terlihat;

indikator keberhasilan seseorang;


Dampak Sosial

Masuknya Investor

Adanya peningkatan kesadaran

industri dari pusat kota ke

pentingnya pendidikan untuk anak;


-

Adanya relokasi kegiatan

kawasan industri KIMA guna

Ada perubahan tugas dan fungsi anggota

mengurangi polusi udara,

keluarga (istri) menjadi tulang punggung

suara, air.

keluarga.
-

Kadin tidak aktif;

Kantor Kadin ada;

Kantor Kadin ada;

Asosiasi pengusaha kontraktor (Gapensi)

Ada pertemuan rutin antara

Tidak ada pertemuan rutin antara

dan pengusaha industri rambut berperan

anggota Kadin dengan pemda;

anggota Kadin dengan Pemda;

aktif;
Peran Kadin dan

Lembaga lain

Keterlibatan Kadin dalam

Keterlibatan Kadin dalam

Ada pertemuan rutin antara pemerintah

pembuatan kebijakan dan

pembuatan kebijakan dan kegiatan

dan pengusaha;

kegiatan di bidang investasi

di bidang investasi masih minim.

masih minim.
-

Keterlibatan Asosiasi pengusaha dalam


perumusan kebijakan dan kegiatan di
bidang investasi cukup besar.

Kecukupan jumlah dan kualitas SDM

Kecukupan jumlah dan

Kecukupan jumlah dan kualitas

179

Sumber Daya

Kompetensi SDM tercukupi;

Sistem rekrutmen rata-rata pegawai negeri

SDM belum terpenuhi

kualitas SDM belum terpenihi

terpenuhi
-

Kompetensi SDM belum

terpenuhi;

tercukupi seluruhnya;

Manusia
sipil.

Sistem rekrutmen rata-rata

Sistem rekrutmen rata-rata


pegawai kontrak.

pegawai negeri sipil.

Perwakilan Dinas

Kompetensi SDM belum

Ada

Tidak Ada

Tidak Ada

Penggunaan komputer untuk pelayanan

Penggunaan computer untuk

Penggunaan teknologi belum

Teknis di Kantor
Perizinan
Penggunaan

perizinan dan pengelolaan managemen

Teknologi

pelayanan (front line);

data (front line);

proses pelayanan dan pengelolaan


-

Pengembangan SMS Gate

Teknologi internet, CD interaktif, dan

Way untuk monitoring

layar sentuh untuk akses informasi

pembuatan izin dan

mengenai KPPT;

pengaduan;

Pengelolaan informasi managemen

dilakukan secara maksimal karena

Teknologi Scanning untuk

dengan menggunakan bahasa Vbnet/

database izin yang

aspnet berbasis web.

dikeluarkan;
-

manajemen data masih manual.

Teknologi website dan layar

180

sentuh untuk akses informasi


mengenai KPAP.
Bentuk Sosialisasi

Perizinan

Dukungan Dana

Tatap muka, leaflet, spanduk, komputer

layar sentuh, website, radio, koran, dan

sentuh, website, SMS, Media

televisi

cetak

Cukup memadai dari APBD

Tumbuhnya jenis usaha PMA di bidang

industri rambut

Mekanisme

Anggaran kurang memadai

Leaflet, spanduk, koran

Kurang memadai anggaran dari

dari APBD

APBD
Dampak Investasi

Leaflet, komputer layar

APBD

Tumbuhnya jenis usaha di

Tumbuhnya jenis usaha di bidang

bidang konstruksi dan jasa

konstruksi dan jasa

Tersedia melalui:

Tersedia melalui:

Tersedia melalui:

Telepon;

Telepon;

Telepon;

Surat menyurat;

SMS Gate Way (proses

Surat menyurat;

Website;

Datang langsung ke pusat

Datang langsung ke pusat pengaduan

Pengaduan

persiapan);

KPPT.

Surat menyurat;

Website;

Datang langsung ke

pengaduan BP2T.

181

pusat.pengaduan KP2T
Memperhatikan

Izin yang diberikan tidak mengganggu


lahan pertanian produktif;

kelestarian
lingkungan
-

Adanya musyarawarah untuk mencari

Adanya relokasi kegiatan

Adanya izin-izin reklame yang

industri di dalam kota melalui

tidak boleh melebihi batas

penolakan perpanjangan izin

ketentuan untuk menghindari

lama

kecelakaan dan keindahan kota

solusi dampak polusi (suara, air, limbah)


dari aktivitas usaha.
Koordinasi antara
Pemda dan
pengusaha

Purbalingga Business Forum yang


diadakan setiap tahun

Koordinasi dilakukan sesuai


kebutuhan atau ketika muncul
permasalahan. Tidak ada forum
yang diselenggarakan secara rutin

182

Tabel 6.4
Penilaian Aspek Tipologi Perizinan Usaha di Daerah

Penilaian Aspek Tipologi

Tipe

Visi

Figur

Lokasi

Karakter

Misi

Pemimpin

Kantor

Budaya

Waktu

Biaya

Daerah

Dampak

Peran

Sosial

SDM

Perwakilan

Penggunaan

Bentuk

Dukungan

Dampak

Mekanisme

Kadin

Dinas

Teknologi

Sosialisasi

APBD

Investasi

Pengaduan

Masuknya

dan

Teknis

Investor

Lembaga
lain

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Cukup

baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Cukup

Kurang

Cukup

Cukup

Baik

Cukup

Baik

Cukup

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Cukup

Baik

Baik

Baik

Cukup

Cukup

Baik

Baik

Cukup

Baik

Cukup

Cukup

Baik

183

Keterangan
Tipe A: Kab Purbalingga
Tipe B: Kota Makassar
Tipe C: Kota Banjarbaru

184

Gambaran Tipologi Perizinan Usaha


Berdasarkan penilaian tipologi penyelenggaraan pelayanan perizinan usaha di tiga tempat
(Kabupaten Purbalingga, Kota Makassar, dan Kota Banjarbaru), penelitian ini mencoba
memetakan karakteristik utama dari masing-masing tipologi. Adapun aspek utama yang menjadi
pengungkitnya teridentifikasi antara lain: aspek kepemimpinan, potensi investasi dan peran
pengusaha, serta infrastruktur dan mekanisme kerja.

A. Tipologi Figur Kepemimpinan


Pemerintah Daerah Kabupaten Purbalingga sebagai wilayah yang minim potensi sumber daya
alam, selama penyelenggaraan otonomi daerah mampu menjadikan kegiatan investasi sebagai
pengungkit kesejahteraan masyarakat lokal. Figur kepemimpinan dari bupati terpilih menjadi
faktor

utama

keberhasilan

Kabupaten

Purbalingga

dalam

menyinergikan

komitmen

penyelenggaraan pelayanan perizinan yang cepat, murah, dan transparan dengan potensi yang
ada.
Visi dan misi yang dicanangkan bupati terpilih juga tercermin dari komitmennya untuk
memperbaiki dan mengembangkan penyelenggaraan pelayanan perizinan usaha. Responsifnya
pelayanan perizinan yang diberikan oleh Pemda setempat tidak lepas dari keinginan Pemda
setempat untuk menjadikan Purbalingga sebagai gerbang kota investasi daerah. Dukungan politik
yang diberikan pemangku kebijakan, dalam hal ini kepala daerah, mampu mengubah
penyelenggaraan pelayanan perizinan yang proinvestasi. Berbagai inovasi layanan perizinan,
baik dalam bentuk insentif atau kemudahan memperoleh izin usaha tidak lepas dari andil
pemangku kebijakan.
Inovasi dari dukungan Pemda kepada Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten
Purbalingga terlihat ketika inovasi yang sudah diimplementasikan lebih cepat dari inovasi
standar pelayanan minimal pelayanan perizinan yang diterbitkan oleh pemerintah pusat. Salah
satu inovasi insentif pelayanan yang cukup fenomenal yang diberikan Pemda Kabupaten
Purbalingga adalah terbitnya pembebasan retribusi izin. Melalui Peraturan Bupati No.53 Tahun
2007 Tentang Pembebasan Retribusi Izin Gangguan (HO), Tanda Daftar Industri, Izin Usaha
185

Perdagangan, dan Wajib Daftar Perusahaan Bagi Usaha Kecil (Mikro) memberikan manfaat dan
apresiasi yang luas oleh para pelaku usaha.
Berbagai daya tarik investasi ini yang kemudian membuat para investor, khususnya
investor asing merasa nyaman melakukan kegiatan usaha di Kabupaten Purbalingga. Di samping
itu, budaya yang tercipta di kalangan pelaku usaha dalam hal pengurusan izin juga sangat
kooperatif karena kemudahan yang diberikan. Metode jemput bola yang dilakukan pegawai
pelayanan perizinan ikut membantu masyarakat sekaligus proses sosialisasi akan pentingnya
pengurusan izin usaha kepada para pelaku usaha.
Faktor kepemimpinan yang sangat menonjol di segala bidang pelayanan, khususnya
pelayanan perizinan usaha memang memberikan implikasi positif bagi kemajuan Kabupaten
Purbalingga secara umum. Para stakeholder, khususnya pengusaha menyatakan hal yang sama.
Dukungan fasilitasi, kemudahan perizinan, ketersediaan infrastruktur, sarana dan prasarana, serta
bentuk interaksi dua arah yang cukup berimbang menjadi benang merah proses transformasi
Kabupaten Purbalingga menjadi kota investasi.
Peran pemimpin daerah dalam menerjemahkan fungsi pemerintah dalam kegiatan usaha
juga cukup baik. Artinya, peran Pemda Purbalingga sebagai aktor dalam melakukan regulasi,
pembinaan, fasilitasi, dan intermediasi cukup terlihat. Sinergitas ini yang coba dibangun oleh
pemangku kebijakan sebagai pondasi utama yang terartikulasi dalam langkah-langkah
pengembangan kegiatan usaha dan investasi.

B. Tipologi Potensi Daerah dan Peran Pengusaha


Letaknya yang sangat strategis membuat Kota Makassar memiliki keunggulan demografis dalam
perdagangan di kawasan Indonesia bagian timur. Sebagai gerbang emas Indonesia timur, Kota
Makassar memang memiliki peran penting, sekaligus pusat kegiatan investasi asing dan lokal.
Geliat kegiatan usaha ini dapat dilihat dari kenaikan kuantitas permintaan izin usaha, baik usaha
besar, menengah, dan kecil secara agregat. Letaknya yang strategis serta penyediaan infrastruktur
yang memadai membuat Kota Makassar memiliki peran penting secara langsung maupun tidak
langsung terhadap perkembangan daerah di sekitarnya.
186

Dalam praktiknya, penyelenggaraan pelayanan perizinan di Kota Makassar juga memiliki


peran penting dari sisi legitimasi kegiatan usaha. Jenis usahanya pun tidak hanya terfokus pada
satu jenis usaha tertentu saja, namun memiliki jenis usaha yang beragam. Jika membandingkan
kualitas

pelayanan

penyelenggaraan

pelayanan

perizinan

usaha

di

Kota

Makassar,

kecenderungan saat ini persepsi masyarakat memang lebih baik. Masyarakat yang ingin
mengajukan izin menjadi lebih tahu kapan izin selesai. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri,
praktik budaya permisif yang selama ini menjangkiti penyelenggaraan pelayanan publik di
negara ini masih saja ada. Masih ada beberapa orang yang mengurus izin tanpa mengikuti
mekanisme dan prosedur yang berlaku. Alasan umum yang ditemui terkait dengan keinginan
beberapa orang agar mendapatkan izin secara cepat. Mereka pun rela mengeluarkan biaya lebih
tinggi untuk melakukan hal itu. Di samping itu, dalam proses pelayanan perizinan usaha di Kota
Makassar juga masih ada beberapa oknum aparat tidak bertanggung jawab yang menjadi calo
izin, dan menawarkan jasanya untuk mengurus proses izin menjadi lebih cepat dari prosedur
yang ditetapkan.
Jika melihat karakteristik penyelenggaraan pelayanan perizinan di Kota Makassar, tidak
dapat dipungkiri permintaan dari masyarakat untuk mengurus izin sangat tinggi. Data agregat
yang didapatkan dari kantor pelayanan perizinan Kota Makassar menunjukkan pertumbuhan izin
usaha di Kota Makassar dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang signifikan.
Perkembangan ini menjadi salah satu yang tertinggi di Indonesia, di samping juga proses
perbaikan pelayanan yang dilakukan oleh Pemkot setempat. Namun, beberapa keterangan yang
disampaikan oleh narasumber memberikan gambaran bahwa tingginya kuantitas izin usaha di
Kota Makassar disebabkan oleh faktor utama potensi daerahnya. Potensi ini dapat dilihat dari
letak demografis yang strategis dan infrastruktur yang menunjang kegiatan usaha (pelabuhan,
jalan, kawasan industri, dan sebagainya).
Namun demikian, kita juga harus melihat bahwa izin yang masuk ke KPAP Kota
Makassar sebagian besar adalah para investor nasional dan internasional yang sebelumnya telah
membuat izin ke Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) ketika menanamkan
modalnya di Kota Makassar. Kedudukan KPAP Kota Makassar dalam rangkaian perizinan
investasi yang membutuhkan koordinasi dengan pemerintah pusat hanya memiliki kewenangan
untuk memberikan izin pelaksanaan di daerah yang sifatnya teknis. Jadi, jumlah izin yang ada di
187

Kota Makassar tidak dapat direpresentasikan semuanya dikeluarkan oleh KPAP Kota Makassar
dari awal sampai dengan keluarnya izin usaha. Berikut ini gambar alur perizinan investasi yang
melibatkan BKPM (selaku perwakilan pemerintah pusat) dan posisi KPAP Kota Makassar
sebagai perwakilan pemerintah daerah.

Gambar 6.1
Alur Pengajuan Persetujuan/Perizinan dalam Rangka
Pendirian Perusahaan PMDN dan PMA

Sumber: Investment Guidelines Kota Makassar, 2009

Berdasarkan pengamatan dan keterangan narasumber, izin yang paling banyak


dikeluarkan oleh KPAP Kota Makassar adalah jenis usaha jasa rumahan. Adapun investor yang
188

mengurus izin untuk jenis usaha besar (PMA dan PMDN) sebelumnya sudah melakukan proses
pengajuan izin di tingkat pusat melalui BKPM dan lembaga terkait. KPAP Kota Makassar
kemudian melengkapi proses rangkaian pengurusan izin ini dari sisi teknis perizinan usaha di
tingkat daerah. Hal ini yang kemudian memunculkan praktik rent seeking karena permintaan
investor yang tinggi dan ingin cepat menyelesaikan izin usahanya, tidak mengikuti standar
prosedur di KPAP Kota Makassar.
Signifikansi korelasi antara perbaikan penyelenggaraan pelayanan perizinan usaha yang
dilakukan oleh Pemkot Makassar dan kenaikan jumlah izin usaha dari keterangan berbagai
narasumber (khususnya pelaku usaha) tidak terlalu signifikan. Pengungkit utama berkembangnya
kegiatan usaha justru dipengaruhi oleh potensi daerah yang memicu para pelaku usaha untuk
berlomba-lomba mendirikan usaha di Kota Makassar. Karakteristik ini tentu saja berbeda dengan
yang terjadi di Kabupaten Purbalingga. Berkembangnya jumlah usaha dan kegiatan investasi di
Kabupaten Purbalingga justru sangat dipengaruhi oleh faktor kepemimpinan kepala daerah
sehingga menciptakan berbagai inovasi pelayanan perizinan usaha.
Namun demikian, semangat untuk melaksanakan tata kelola pemerintahan yang baik
penyelenggaraan pelayanan perizinan usaha di Kota Makassar terus ditingkatkan dengan adanya
berbagai perbaikan dan perubahan yang dilakukan Pemkot setempat. Perbaikan infrastruktur
menjadi perhatian utama dari pemangku kebijakan untuk mendukung pelayanan perizinan usaha
yang lebih maksimal. Semangat para pengusaha yang tergabung dalam berbagai forum, baik
resmi atau tidak resmi juga terus meningkatkan hubungan kepada pemerintah selaku regulator,
walaupun prosesnya belum berjalan maksimal.

C. Tipologi Infrastruktur dan Mekanisme Kerja


Sebagai kota yang mengandalkan kegiatan usaha di sektor jasa, masyarakat Banjarbaru memang
cukup banyak berinteraksi dengan pelayanan perizinan usaha. Dari elaborasi data yang
didapatkan di lapangan, karakteristik penyelenggaraan pelayanan perizinan usaha di Kota
Banjarbaru dapat dikatakan masih dalam tahap membangun. Artinya, baik dari sisi infrastruktur,

189

penguatan kapasitas organisasi, dan mekanisme sistem kerja yang ada saat ini masih terus
ditingkatkan sampai dengan tahap ideal yang ingin dicapai.
Wacana relokasi ibukota Kalimantan Selatan dari Banjarmasin ke Banjarbaru ikut
memengaruhi rencana kebijakan Pemkot Banjarbaru untuk berbenah. Walaupun dari sisi alokasi
dana kantor pelayanan perizinan Kota Banjarbaru tidak mendapatkan dukungan yang maksimal
dari Pemkot setempat, proses perbaikan sarana dan prasarana serta mekanisme kerja organisasi
tetap dilaksanakan secara maksimal. Ini terbukti dari masuknya sektor swasta yang membantu
pengadaan sarana dan prasarana kantor pelayanan perizinan Kota Banjarbaru. Dukungan swasta
ini menjadi penting untuk menutupi minimnya alokasi dana dari pemerintah daerah.
Faktor kepemimpinan dari kepala kantor pelayanan perizinan terpadu sangat
memengaruhi budaya organisasi dan pengembangan organisasi. Standar pelayanan minimum dan
pengaturan sumber daya manusia terus diperbaiki dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat. Aktivitas interaksi antara pemimpin dan pegawai di kantor pelayanan perizinan rutin
dilakukan setiap hari, seperti pengarahan kegiatan kerja pegawai, pemberitahuan informasi
organisasi, sampai dengan prosesi pembacaan doa bersama.

Format Ideal Perizinan Usaha


Pelaksanaan otonomi daerah membawa implikasi pada derajat kewenangan daerah untuk
menciptakan dan menyelenggarakan pola perizinan usaha yang mandiri, efisien, dan akuntabel.
Orientasi akhir dari terbentuknya pelayanan perizinan yang ideal adalah menjadi salah satu tools
dalam menarik para investor untuk menanamkan modalnya di daerah. Terselenggaranya kegiatan
usaha akan memberikan dampak terhadap penciptaan lapangan kerja dan sumber dana untuk
APBD dari pajak dan retribusi. Faktanya, pola pelayanan perizinan yang dirumuskan pemerintah
justru menjadi kontraproduktif bagi sebagian daerah. Selain dari sisi reabilitas perizinan yang
tidak pasti karena peraturannya yang terus berubah, karakteristik setiap daerah yang berbeda di
Indonesia membuat implementasi format pelayaan perizinan dari pemerintah pusat tidak dapat
mengakomodasi semua lokalitas daerah. Lokalitas ini dapat diartikulasikan secara luas, baik
sebagai sistem budaya, sistem politik, ekonomi, dan juga sistem sosial.
190

Kelemahan utama yang dikeluhkan oleh daerah (Kab. Purbalingga, Kota Makassar, dan
Kota Banjarbaru) ketika proses penelitian ini berlangsung adalah pemerintah pusat memukul rata
semua daerah dalam mengimplementasikan peraturan pelayanan perizinan. Kota Makassar
misalnya, berpendapat peraturan yang dibuat pemerintah pusat sejatinya dapat juga memberikan
ruang bagi daerah agar dapat memodifikasi pelayanan perizinan usahanya. Idealnya, jarak antara
kantor pelayanan perizinan dan dinas teknis terkait tidak terpisah. Dinas-dinas teknis yang
berkontribusi dalam memberikan legitimasi (pertimbangan dan memberikan izin) ketika proses
pengajuan izin berlangsung harus berada dalam satu area dengan kantor pelayanan perizinan.
Selain memangkas waktu, rentang kendali antara kantor pelayanan perizinan dan dinas teknis
akan menjadi lebih mudah.
Format ideal pun ditawarkan dan diwacanakan oleh kantor perizinan usaha Kota
Makassar. Pada prinsipnya, dengan direlokasikannya dinas-dinas teknis pendukung untuk
pelayanan perizinan usaha ke dalam satu areal (kompleks), maka proses koordinasi dan rentang
kendali dapat dilakukan dengan lebih efisien. Waktu pengurusan izin pun akan dapat dipangkas.
Adapun gambaran layout kantor pelayanan perizinan usaha yang dikehendaki oleh KPAP Kota
Makassar adalah sebagai berikut.

191

Gambar 6.2
Format Ideal Komplek Kantor Perizinan Usaha
Usulan KPAP Kota Makassar

Frontliner

DINASTEKNIS

DINASTEKNIS

KANTORPELAYANAN
PERIZINANSATU
PINTU

DINASTEKNIS

(ONESTOPSERVICES)

DINASTEKNIS

C
Sumber: Hasil Olahan Data Lapangan

Apabila format relokasi kantor pelayanan perizinan usaha ideal Kota Makassar msih
sebatas tahap rencana, KPPT Kabupaten Purbalingga sudah menerapkan format yang hampir
sama itu. Benang merahnya adalah saat ini pegawai KPPT Kabupaten Purbalingga juga diisi oleh
pegawai dari dinas teknis yang mendukung proses pembuatan izin. Di dalam KPPT, pegawaipegawai terbaik yang dimiliki oleh masing-masing dinas teknis pendukung (misalnya Dinas
Perindustrian dan Perdagangan dan sebagainya) bekerja di dalam satu kantor yang sama (KPPT).
Tujuannya sama dengan gagasan yang disampaikan oleh KPAP Kota Makassar, yaitu
memperkecil rentang kendali penyelenggaraan izin. Selain memangkas dari sisi waktu dan biaya,

192

koordinasi juga akan berjalan dengan lebih efektif jika seluruh perwakilan dinas teknis tergabung
dalam satu kantor.

Gambar 6.3
Format Layout Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu
Kabupaten Purbalingga

Frontliner

KANTORPELAYANANPERIZINANTERPADU

PERWAKILAN
PEGAWAIDINAS
TEKNIS

PERWAKILAN
PEGAWAIDINAS
TEKNIS

PERWAKILAN
PEGAWAIDINAS
TEKNIS

PERWAKILAN
PEGAWAIDINAS
TEKNIS

B
Sumber: Hasil olahan data lapangan

193

Adapun format penyelenggaraan pelayanan perizinan usaha di Kota Banjarbaru juga


menitikberatkan pada aspek integrasi dinas-dinas teknis dengan kantor pelayanan perizinan.
Dengan adanya penyatuan kantor atau perwakilan dari masing-masing dinas teknis akan
mengeliminasi jarak dan waktu sehingga pada akhirnya akan meningkatkan efektifitas pelayanan
perizinan usaha. Saat ini, fungsi kantor pelayanan perizinan usaha yang ada di Kota Banjarbaru
kurang lebih sama dengan kantor pos karena hanya mengurus teknis administrasi. Kondisi ini
sama dengan proses penyelenggaraan pelayanan perizinan usaha di Kota Makassar di mana
fungsi kantor pelayanan perizinan usaha dimaknai sebagai tempat berawal dan berakhirnya
berkas administrasi pengajuan izin. Proses verifikasi berkas administrasi masih dilakukan oleh
dinas teknis terkait yang letaknya tidak terintegrasi dengan kantor pelayanan perizinan.

194

Gambar 6.4
Format Ideal Kantor Perizinan BP2T Kota Banjarbaru

Sumber: Hasil Olahan Data Lapangan

Pimpinan kepala BP2T Kota Banjarbaru memberikan pandangan dan impian bahwa
untuk ke depannya fungsi BP2T yang lebih banyak berfungsi sebagai kotak pos harus segera
dibenahi. Kantor dinas teknis idealnya tidak lagi berada terpisah dengan kantor BP2T, tapi
berada dalam satu area kantor sehingga rentang kendali dan proses verifikasi berkas administrasi
bisa dilakukan dalam satu kantor. Jenis izin idealnya juga tidak hanya terfokus pada perizinan
usaha semata, tapi juga diperbanyak dengan memberikan pelayanan selain perizinan usaha. Dari
sisi pendelegasian wewenang dan rentang kendali kewenangan, BP2T dan kantor kecamatan
idealnya juga terkoordinasi dalam satu koridor sehingga nantinya tercipta tahapan proses izin
yang berjenjang dan saling terkait satu sama lainnya. Kelengkapan berkas administrasi yang
melibatkan kepala desa atau lurah selama ini dianggap cukup memperlambat proses pembuatan
izin sehingga diperlukan satu pintu untuk mengakomodasi dan mempercepat kelengkapan berkas
yang dibutuhkan.
195

Karakteristik penyelenggaraan perizinan usaha yang diinginkan oleh BP2T jika berkaca
pada daerah yang berhasil menerapkan pola ini adalah Kabupaten Sragen. Badan layanan ini
bertujuan untuk mewujudkan pelayanan prima dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas kinerja
aparatur pemerintah dalam rangka mendorong kelancaran pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Desentralisasi kewenangan dalam bentuk konsep small management di tingkat kecamatan dan
tingkat desa juga dibuat untuk pengurusan izin-izin yang didesentralisasikan. Badan Pelayanan
Terpadu mengurus 59 perizinan dan 10 nonperizinan. Pelayanan publik yang diberikan oleh
Badan Pelayanan Perizinan Kabupaten Sragen tidak hanya mengurus izin perizinan usaha
semata, tapi juga melayani izin lainnya. Dengan mekanisme pelayanan seperti ini, BP2T
mengharapkan pemberian izin dapat berjalan dengan maksimal, baik pelayanan untuk perizinan
maupun nonperizinan.

Perbandingan dengan Daerah Lain


a. Best Practice Badan Pelayanan Terpadu Kabupaten Sragen
Pelaksanaan otonomi daerah yang telah bergulir selama hampir satu dasawarsa telah
memberikan ruang sekaligus wahana bagi daerah untuk membangun daerahnya dengan lebih
mandiri. Pada praktiknya, ada beberapa daerah yang mampu menangkap desentralisasi menjadi
momentum dalam melakukan reformasi birokrasi terkait penyelenggaraan pelayanan publik,
Kabupaten Sragen salah satunya. Sebagai daerah dengan komitmen kuat dalam melakukan
debirokrasi pelayanan, termasuk penyelenggaraan pelayanan perizinan, Kabupaten Sragen telah
berkembang pesat dan tumbuh menjadi daerah yang kaya akan inovasi.
Keberhasilan dalam mereformasi pelayanan perizinan membuat Kabupaten tersebut
menjadi referensi utama bagi daerah lain untuk mereplikasi inovasi dan bentuk keberhasilan
lainnya yang telah dicapai oleh Kabupaten Sragen. Perbaikan pelayanan perizinan dan komitmen
(political will) Pemda Sragen yang menjadi salah satu pengungkit peningkatan kesejahteraan
masyarakat telah menggugah kesadaran Pemda/Pemkot lain untuk meniru Sragen sebagai salah
satu referensi dalam memperbaiki dan membangun sistem penyelenggaraan pelayanan perizinan
yang lebih representatif.
196

Berikut ini pemaparan singkat best practice potret keberhasilan Kabupaten Sragen dalam
melakukan reformasi birokrasi penyelenggarakan pelayanan perizinan. Dipilihnya Kabupaten
Sragen sebagai gambaran keberhasilan pelayanan perizinan usaha tidak lepas dari apresiasi dan
penghargaan pemerintah pusat dan pemda lain. Sebagian besar data yang ditampilkan dalam
pembahasan ini berasal dari bahan presentasi Kegiatan Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana
Perizinan Bidang Perekonomian (Penyusunan Pedoman Deregulasi dan Debirokratisasi Proses
Perizinan di Bidang Perekonomian yang disusun oleh Kantor Kementerian Negara PAN dan RB
dan PKPADK FISIP UI.
Latar belakang proses debirokratisasi penyelenggaraan pelayanan perizinan Kabupaten
Sragen diawali dari Keputusan Menpan No.81 tahun1993 tentang Pedoman Tatalaksana
Pelayanan

Umum.

Maksud

didirikannya

BPT

Kabupaten

Sragen

adalah

untuk

menyelenggarakan pelayanan perizinan dan nonperizinan yang prima dan dalam satu pintu. Hal
tersebut diharapkan dapat mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif bagi penanaman
modal dan investasi dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat Kabupaten Sragen.
Adapun prinsip dari pelayanan prima adalah sebagaimana yang tertuang dalam Keputusan
Menpan No.81 Tahun 1993, antara lain sederhana, jelas, aman, transparan, effisien, ekonomis,
adil dan tepat waktu.
Dibentuknya Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Sragen oleh Pemda setempat bertujuan
untuk mewujudkan pelayanan prima (khususnya pelayanan perizinan), meningkatkan efisiensi
dan efektivitas kinerja aparatur Pemda Sragen, mendorong kelancaran pemberdayaan ekonomi
rakyat, dan yang tidak kalah penting adalah mengubah image dan kepercayaan masyarakat yang
rendah terhadap Pemerintah akibat cara pelayanan yang buruk, diskriminasi pelayanan, serta
pungli yang tidak wajar.
Berbagai perubahan pun dilakukan oleh Pemda untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Dalam rangka mewujudkan konsep pelayanan terpadu one stop service, Pemda
Sragen mengubah format Kantor Perizinan Terpadu (KPT) menjadi Badan Perizinan Terpadu
(BPT). Proses debirokratisasi ini dilandasi oleh Perda Kab. Sragen No.15 tahun 2003 yang
kemudian diperbaiki dengan keluarnya Perda Kab. Sragen No.4 Tahun 2006. Berikut ini
perubahan dan perbedaan struktur organisasi KPT menjadi BPT di Kabupaten Sragen.

197

Gambar 6.5
Perubahan Format KPT menjadi BPT Kabupaten Sragen
Berdasarkan Perda Kab. Sragen
Nomor 15 Tahun 2003

Berdasarkan Perda Kab. Sragen


Nomor 4 Tahun 2006

Struktur organisasi KPT adalah :


a. Kepala Kantor Pelayanan
Terpadu
b. Kepala Sub Bagian Tata
Usaha
c. Seksi-seksi:
Perizinan
Pelayanan
Bina Program dan
Informasi

Struktur organisasi BPT adalah :


a. Kepala Badan Pelayanan
Terpadu
b. Kepala Bagian Tata Usaha
c. Kepala Bidang:
Pelayanan Umum &
Pengaduan
Perizinan Jasa Usaha
Perizinan Tertentu

Melayani 59 perizinan dan 10 nonperizinan dengan 36 personil


Sumber: http://bpt.sragenkab.go.id

Adapun untuk fungsi dinas dalam pelayanan perizinan yang diselenggarakan oleh BPT
Kabupaten Sragen memiliki empat tugas utama, antara lain:

Memberikan pertimbangan teknis melalui Tim Teknis yang ditunjuk;

Membina dan mengawasi pelaksanaan izin di lapangan;

Bertanggung jawab terhadap PAD; dan

Memberi peringatan dan penindakan pada pelanggaran.

Desentralisasi kewenangan kepada struktur organisasi yang lebih rendah, yaitu untuk
ranah kecamatan dan desa juga diatur dan terintegrasi dengan sistem pelayanan yang
198

diselenggarakan oleh BPT Kabupaten Sragen. Konsep small management ini memberikan
wewenang kepada kecamatan dan desa untuk menyelenggarakan perizinan sendiri. Berikut
pelayanan perizinan yang diselenggarakan di tingkat kecamatan dan desa Kabupaten Sragen.

Tabel 6.6
Daftar Layanan Izin BPT Sragen
Tingkat Kecamatan
1. Pembuatan KTP dengan on line system

Tingkat Desa
1. Penetapan SK Pengangkatan Lurah
Desa Terpilih

2. Izin Perhelatan
2. Penetapan SK Pengangkatan
3. Izin Penggunaan/penutupan jalan
4. Izin Pertunjukan/Hiburan
5. Izin Tempat Usaha (skala kecil)
6. Izin Salon (skala kecil)

Pamong Desa Terpilih


3. Pengaturan dan Penyusunan
Anggaran Desa
4. Pengaturan Kedudukan Keuangan
Lurah & Pamong Desa

7. Izin Mendirikan Bangunan


5. Pengaturan & Pemanfaatan
8. Izin Bahan Galian Golongan C
9. Izin Tebang dan Angkut kayu
10. Izin Rumah Makan
11. Izin Bengkel (skala kecil)

Kekayaan Desa
6. Pembentukan Badan Usaha Milik
Desa
7. Pelaksanaan Pembangunan
Pedesaan

12. Penerbitan KK
8. Pembentukan Satgas Desa
13. Melaksanakan pengawasan proyek-proyek
pembangunan yang ada diwilayah kecamatan.

199

14. Membuat rekomendasi DP3 para Kepala Unit


Kerja dan Satuan Unit Kerja yang ada di
kecamatan.
15. Melantik dan mengambil sumpah Lurah Desa,
Pamong Desa, dan anggota BPD.
16. Melaksanakan ujian tertulis Carik Desa

Dengan adanya semangat perubahan yang sedang dilakukan oleh Pemda Kabupaten
Sragen, perubahan ke arah penerapan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik pun dilakukan.
Salah satunya dengan menyederhakan mekanisme syarat pengajuan izin dan memperbarui
standar waktu pelayananan. Biaya yang dibebankan kepada calon pemohon izin juga disesuaikan
dengan peraturan yang berlaku dan bersifat terbuka. Untuk memberikan kemudahan dalam
kegiatan usaha kepada pengusaha pemula, Kabupaten Sragen juga memberikan keringanan
Pembuatan SIUP dan TDP. Selain itu, bantuan gratis pembuatan SIUP dan TDP juga diberikan
untuk semua perizinan di kawasan Industri: pengusaha kecil, besar, dan kegiatan industri ramah
lingkungan yang menyerap 100 tenaga kerja di zona industri seluas 720 ha. Pola pemberian
subsidi gratis pembuatan SIUP dan TDP untuk pengusaha pemula ini juga dilakukan oleh
Kabupaten Purbalingga, Kota Makassar, dan Kota Banjarbaru, walaupun dengan mekanisme
yang berbeda.
Perbedaan implementasi pelayanan one stop service di Kabupaten sebelum dan sesudah
memang mengalami perbedaan. Pemetaaan masalah yang terjadi sebelum adanya reformasi
perizinan usaha adalah masalah waktu dan biaya yang tidak jelas, pungli yang tidak wajar,
rentang kendali yang panjang karena melalui beberapa instansi, serta pelayanan yang buruk.
Pelayanan perizinan yang dilakukan BPT Kabupaten Sragen secara umum terbagi
menjadi dua, yakni perizinan dan nonperizinan. Adapun waktu untuk mengurus proses izin,
bervariasi antara 1 hari sampai dengan maksimal 12 hari. Berikut deskripsi selengkapnya.
200

Tabel 6.7
Pelayanan Perizinan BPT Kabupaten Sragen
Pelayanan Perizinan BPT Kabupaten Sragen
1. Izin Prinsip

28. Izin Pendirian Toko Obat

2. Izin Lokasi

29. Izin Pengobatan Tradisional

3. Izin Mendirikan Bangunan (IMB)

30. Izin Produksi Makanan&Minuman

4. Izin Gangguan &Izin Tempat Usaha

31. Rekomendasi Pendirian RS. Swasta

(HO/ ITU)
32. Rekomendasi Pendirian Pusat Kebugaran
5. Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)
33. Rekomendasi Pendirian Salon Kecantikan
6. Izin Usaha Industri (IUI)
34. Rekomendasi Pendirian Lembaga Pendidikan
7. Tanda Daftar Perusahaan (TDP)
35. Rekomendasi Praktik Bersama Dokter Spesialis
8. Tanda Daftar Industri (TDI)
36. Tanda Daftar Gudang (TDG)
9. Izin Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum
37. Perizinan Penggunaan Ketel Uap, Minyak untuk
10. Izin Usaha Rumah Makan
11. Izin Usaha Salon Kecantikan

setiap Ketel
38. Perizinan Penggunaan bejana Uap/Pemanas Air atau
ekonomiser yang berdiri sendiri/penguapan

12. Izin Usaha Hotel


39. Perizinan penggunaan Bejana tekan
13. Biro/Agen Perjalanan Wisata
40. Perizinan botol baja
14. Izin Pondok Wisata
41. Perizinan Penggunaan Pesawat Angkat dan Angkut
15. Izin Penutupan Jalan
42. Perizinan Penggunaan Pesawat Tenaga dan Produksi
16. Pajak Reklame
43. Perizinan Penggunaan Instalasi Kebakaran
17. Izin Usaha Huller

201


18. Izin Praktik bersama Dokter umum/Gigi

44. Perizinan Penggunaan Instalasi Listrik

19. Izin Pendirian Rumah Bersalin

45. Perizinan Penggunaan Instalasi Penyalur Petir

20. Izin Pendirian Balai Pengobatan

46. Izin Trayek Tetap

21. Izin Praktik Dokter Spesialis

47. Izin Usaha Angkutan

22. Izin praktik Dokter Umum/Gigi

48. Izin Kursus

23. Izin Praktik Bidan

49. Izin Usaha Peternakan

24. Izin Praktik Perawat

50. Izin Pemotongan Hewan

25. Izin Pendirian Apotik

51. Izin Pendirian Keramba Apung

26. Izin Pendirian Optik

52. Izin Usaha Jasa Kontruksi

27. Izin Praktik Tukang Gigi

53. Izin Praktik Asisten Apoteker


54. Izin Praktik Perawat Gigi
55. Izin Prakek Fisioterapis
56. Izin Praktik Refraksionis Optision
57. Izin Pendirian Depot Air Minum Isi Ulang
58. Izin Pendirian Rumah Sakit Swasta
59. Izin Pendirian Laboratorium Kesehatan

202

Tabel 6.8
Pelayanan Nonperizinan BPT Kabupaten Sragen
Pelayanan Nonperizinan Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Sragen

1. Kartu Keluarga (KK) Kec. Sragen


2. Kartu Penduduk (KTP) Kec. Sragen
3. Pelayanan Akte Kelahiran
4. Pelayanan Akte Kematian
5. Pelayanan Akte Pengangkatan Anak
6. Pelayanan Akte Pengakuan dan Pengasuhan Anak (Khusus WNI Keturunan)
7. Pelayanan Akte Perubahan/Ganti Nama
8. Pelayanan Akte Perkawinan
9. Pelayanan Akte Perceraian
10. Pelayanan informasi dan pengaduan

Laporan materi Presentasi Kegiatan Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan


Bidang Perekonomian (Penyusunan Pedoman Deregulasi dan Debirokratisasi Proses Perizinan di
Bidang Perekonomian) yang disusun oleh Kantor Menteri Negara PAN dan RB dan PKPADK
FISIP UI, setelah penerapan one stop service terdapat perbedaan yang signifikan. Pada
praktiknya, dari sisi waktu dan biaya menjadi lebih pasti. Pungli juga tidak ada. Seluruh izin juga
203

diproses bersamaan, dan selesai di satu tempat. Waktu yang dijanjikan oleh BPT Kabupaten
Sragen untuk mengurus izin juga lebih jelas, yaitu maksimal 12 hari izin sudah selesai semua.
Penyelenggaraan izin juga dirasakan lebih cepat, mudah, nyaman, dan transparan.
Berdasarkan survei kepuasaan pelanggan, score index yang diperoleh nilainya 81 di mana nilai
ini masuk dalam kategori sangat memuaskan. Selain itu, waktu penyelesaian proses izin juga
lebih cepat 30% dari waktu yang ditentukan. Keberhasilan ini menjadi cermin bahwa program
pelayanan prima yang dibangun dan dikemas oleh Kabupaten Sragen berhasil mengurangi
kelemahan yang ada sebelum program one stop service dilaksanakan.
Berdasarkan capaian keberhasilan yang diperoleh Pemda Kabupaten Sragen, terdapat kunci
sukses yang dinilai menjadi pengungkit utama berjalannya reformasi pelayanan perizinan one
stop service. Untuk dapat melayani masyarakat dengan prima, tugas birokrat (BPT) adalah
memberikan pelayanan sebagai berikut:
1. BPT perlu kewenangan yang penuh (menerima, memproses, menandatangani);
2. Dinas teknis tetap berfungsi pada tugas substansinya (membina dan mengawasi perizinan);
3. BPT perlu komitmen kepala daerah, dukungan dinas, dan DPRD;
4. BPT perlu merubah sikap mental sebagaimana tata nilai profesional swasta; dan
5. Ada pengertian dengan mengurus izin masyarakat mendapat banyak manfaat.

b. Dampak Positif Keberadaan PBT Kabupaten Sragen


Dampak keberadaan Badan Pelayanan Terpadu Kabupaten Sragen ternyata menimbulkan
multiplayer effect yang sangat signifikan, antara lain:

204

Tabel 6.9
Multiplayer Effect Keberadaan BPT Sragen
Investasi

Penyerapan

Jumlah

Perkembangan

Pertumbuhan

meningkat

tenaga kerja di

perusahaan yang

jumlah

ekonomi

sektor industri

memiliki

perizinan

meningkat

meningkat

legalitas usaha

meningkat
(%)

2002: 592 M

2002: 40.785

2002: 6.373

2002: 2.027

2003: 703 M

2003: 41.785

2003: 6.280

2004: 926 M

2004: 44.566

2004: 7.425

2005: 955 M

2005: 46.794

2005: 8.105

2006: 5.274

2006: 27%

2007: 4.548

2004: 4,53

2003: 3.170
2005: 5,06
2004: 3.332

2006: 1,2 T

2005: 4.072

2006: 5,83
2007: 6,08

2007: 1,3 T

Ranking I daerah proinvestasi di Jawa Tengah tahun 2005;

Peningkatan potensi fiskal (dari urutan 8 terbawah menjadi di atas rata-rata nasional) pada
tahun 2003, atau naik 250% dibanding sebelumnya;

PAD meningkat dari Rp8,8 M menjadi Rp88,3 M selama 7 tahun;

PDRB tahun 2002 2006 meningkat sebesar 57,46%.

205

Model Best Practice Layanan Perizinan Usaha pada Era Otonomi Daerah

Gambar 6.6
Model Best Practice Perizinan Usaha yang Integratif

Temuan, paparan, dan analisis dalam penelitian ini dapat diabstraksikan ke dalam sebuah
model best practice perizinan usaha yang integratif. Model ini menjelaskan bagaimana best
practice perizinan usaha suatu daerah dapat terbangun pada era otonomi daerah yang memiliki
berbagai permasalahan dan harus menghadapi tantangan kompleks. Model ini terdiri dari tiga
komponen utama, yaitu komponen modal masyarakat dan karakteristik daerah, komponen modal
pemerintahan (governance dalam arti luas), dan komponen model pemerintah pusat.

206

Komponen pertama adalah modal masyarakat dan karakteristik daerah. Letaknya ada di
bagian paling bawah model tersebut. Komponen ini berupa modal, kapasitas, kapabilitas,
karakteristik khas yang dimiliki daerah tersebut dan melekat pada masyarakat setempat. Di
dalamnya terbagi-bagi menjadi enam subkomponen sebagai berikut:
a.

Ketersediaan dan kualitas tenaga kerja, adanya modal finansial, dan sumber daya
alam yang dimiliki daerah tersebut;

b.

Bahan baku yang tersedia dan sejauh mana proses produksi bisa berjalan dengan
baik dalam mendukung rantai produksi perusahaan sehingga menciptakan nilai
tambah (value added);

c.

Kearifan lokal (local wisdom), budaya perusahaan, dan semangat kewirausahaan


para pelaku usaha di daerah tersebut;

d.

Tentu tidak kalah pentingnya adalah terjaganya ketertiban, keamanan, dan cita
rasa keramahan masyarakat;

e.

Komitmen dan kepedulian terhadap lingkungan hidup sehingga setiap aktivitas


bermasyarakat, bekerja, berproduksi dalam perusahaan, maupun dalam sektor lain
pun harus memerhatikan pelestarian lingkungan. Lebih dalam lagi, bagaimana
mampu mewujudkan ekologi hijau (green ecology);

f.

Seberapa besar pasar yang ada di wilayah tersebut dan kemampuan teknologi
yang dimiliki para pelaku usaha.

Komponen kedua adalah modal pemerintahan (governance dalam arti luas). Dalam
komponen kedua yang terpenting adalah bagaimana visi dan misi daerah dapat disusun dengan
mempertimbangkan interpretasi atas modal pemerintah pusat berupa peraturan-peraturan
pemerintah pusat dan intepretasi atas modal masyarakat dan karakteristik kedaerahan yang
dimiliki oleh daerah tersebut. Dua arus intepretasi besar ini sangat dinamis. Di satu sisi,
peraturan-peraturan pusat kadang secara substansi terlalu umum atau melakukan generalisasi
untuk (pukul rata) seluruh wilayah Indonesia. Belum lagi seringnya aturan pusat itu berganti
207

ketika implementasi di daerah belum berjalan dengan sempurna akibatnya minimnya sosialiasi.
Hal ini semakin rumit bila peraturan tersebut merupakan produk pertarungan kepentingankepentingan tertentu demi meraih kekuasaan atau melanggengkannya.
Sedangkan di sisi yang lain, kemampuan intepretasi pemerintah daerah atas modal
masyarakat dan karakteristik wilayah juga tidak kalah penting. Diperlukan kejelian melihat,
menganalisis, lalu akhirnya mengejawantahkan modal tersebut ke dalam bentuk visi dan misi
daerah. Jadi, visi dan misi daerah merupakan produk akhir dari tarikan-tarikan intepretasi atas
peraturan pemerintah pusat dan modal masyarakat dan karakteristik daerah. Hasil akhir visi dan
misi daerah tidak bisa serta merta dikatakan sebagai intepretasi yang lebih berat dari salah satu
sisi saja, misalnya apakah intepretasi atas peraturan-peraturan pemerintah (central government
heavy) atau intepretasi atas masyarakat dan karakteristik daerah (local heavy). Tentu, seberapa
besar komposisi di antara keduanya hanya diketahui dan dipahami oleh pemerintahan daerah
dengan segenap pranata politik, pelaku usaha, dan masyarakat di daerah tersebut.
Ternyata intepretasi atas dua komponen tersebut tidaklah cukup karena dalam
penyusunan visi dan misi daerah faktor-faktor yang memengaruhi sangat kompleks. Merujuk
pada model di atas, di dalam lingkaran penyusunan visi dan misi daerah dipengaruhi juga oleh
subelemen lain yaitu:
a.

Kekuatan dan pengaruh globalisasi yang paling tidak akan menimbulkan tuntutan
pembebasan tarif atau penurunan tarif hingga seminim mungkin, terjadi arus
masuk dan keluar barang (free flow of goods) dan jasa (free flow of services),
hingga sumber daya manusia (free of natural person/skilled-labor);

b.

Adanya perdagangan bebas sehingga ditandatanganinya perjanjian bebas antara


ASEAN dan China (ASEAN China Free Trade Agreement). Daerah harus lebih
lihai dalam menyiasati agar mendapatkan berkah positif dari perdagangan bebas
dan ACFTA ini. Walaupun untuk hal terakhir, Indonesia dalam posisi yang lemah
dan dirugikan. Artinya, keuntungan yang kita dapatkan jauh lebih kecil
dibandingkan yang China dapatkan;

208

c.

Otonomi daerah (power shifting from central to local government) dan pemberian
wewenang yang lebih besar kepada daerah sebenarnya bisa menjadi peluang.
Daerah bisa mengejawantahkan pemikiran-pemikiran mereka sendiri, dan
akhirnya mengimplementasikannya tentu setelah ditetapkan dana visi dan misi
daerah;

d.

Tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) berperan penting untuk
mengatur tata hubungan antarlembaga sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya,
mengatur agar tidak ada penyalahgunaan wewenang (abuse of power) di antara
para aktor yang terlibat. Dengan demikian, ide-ide tersebut dapat disusun tidak
hanya secara sistematis dan secara substantif memenuhi syarat, tetapi juga secara
prosedural dan mekanismenya pun jelas. Akhirnya, dengan adanya tata kelola
yang baik ini menjamin adanya transparansi, akuntabilitas, responsibilitas,
keadilan, dan independensi di dalam proses pemerintahan daerah.

Dari modal pemerintahan (governance dalam arti luas) lahirlah suatu kreativitas,
terobosan-terobosan berupa inovasi yang bertujuan meningkatkan pembangunan daerah. Tidak
lain tidak bukan, inovasi ini lahir dari proses di dalam modal pemerintahan setelah
mempertimbangkan dinamika intepretasi modal pemerintah pusat dan modal daerah dalam
bentuk investasi. Untuk dapat melahirkan inovasi tentunya kita harus melalukan serangkaian
investasi. Ada yang berisiko tinggi dengan imbal yang tinggi (high risk, high return), atau
investasi dengan risiko sedang atau rendah dengan imbal yang tentu tidak setinggi investasi tipe
lainnya.
Serangkaian investasi dalam konteks ini adalah bidang usaha ekonomi yang bertujuan
untuk mendorong penanaman modal yang lebih tinggi lagi baik secara domestik (dari daerah itu
maupun dari luar daerah tersebut) hingga penanaman modal asing dari luar negeri. Inovasi yang
terus-menerus, kadang gagal tapi tak sedikit yang berhasil, akhirnya melahirkan best practice
dalam perizinan usaha (praktik terbaik reformasi perizinan usaha).

209

Hal terakhir yang tidak bisa ditinggalkan adalah langkah yang dilakukan pelaku
pemerintahan.

Pelaku

usaha

di

daerah

(dalam

modal

pemerintahan)

harus

pula

mempertimbangkan atau ditujukan untuk kepentingan stakeholders yang luas. Pemangku


kepentingan ini pada intinya adalah publik, bukan individu-individu atau elit-elit tertentu.
Dengan demikian, fungsi kontrol juga akan berjalan, yakni, apakah produk dari modal
pemerintahan tadi selaras dengan apa yang dicitakan/diharapkan publik. Apabila tidak, bisa
dipastikan investasi-investasi yang dilakukan tidak akan berhasil, dan tidak akan menjadi ceritacerita sukses reformasi perizinan usaha.

210

VII
PENUTUP

Sewindu pelaksanaan otonomi daerah ternyata menimbulkan kompleksitas hubungan dan


pembagian kerja pemerintah pusat dan daerah. Pelimpahan kekuasaan kepada daerah untuk
menyelenggarakan pelayanan perizinan usaha secara umum justru menciptakan ketidakpastian
dalam berusaha di daerah. Birokrasi yang sulit, tidak transparansinya biaya perizinan, banyaknya
praktik rent seeking, waktu pengurusan izin yang lama, sampai biaya tambahan yang harus
dikeluarkan oleh pelaku usaha untuk kelancaran kegiatan usahanya menjadi cermin pelbagai
persoalan turunan yang terjadi dalam proses pelayanan perizinan usaha. Dari tiga daerah yang
menjadi tempat penelitian, masing-masing menghasilkan tipologi karakteristik yang berbeda
dalam hal penyelenggaraan pelayanan perizinan usaha.
Kabupaten Purbalingga sebagai daerah yang tidak memiliki potensi sumber daya yang
memadai serta lokasi yang tidak strategis ternyata mampu menangkap momentum otonomi
daerah sebagai sebuah keuntungan. Peran pemerintah daerah dalam menciptakan iklim investasi
daerah melalui deregulasi pelayanan perizinan mampu menjadi pengungkit kemakmuran bagi
masyarakat Kabupaten Purbalingga ke arah yang lebih baik. Dukungan political will dari Bupati
terpilih dan penyederhanaan proses pelayanan melalui inovasi-inovasi, serta penerapan best
practice telah mengubah proses pemerintahan Kabupaten Purbalingga menjadi lebih hidup.
Insentif dan iklim usaha investasi yang baik menjadi daya tarik Kabupaten Purbalingga bagi para
PMA, khususnya untuk industri pengolahan rambut. Multiplier effect dari berdirinya industri
rambut selain dapat menyerap tenaga kerja formal dan informal dengan mekanisme plasma, yang
tidak kalah pentingnya adalah industri turunan serta usaha informal yang juga ikut tumbuh. Di
Kabupaten Purbalingga, deregulasi perizinan mampu mengikutsertakan pelaku usaha (PMA dan
PMDN) sebagai aktor pembangunan daerah secara langsung.
Kota Makassar sebagai gerbang emas investasi Indonesia bagian timur memiliki potensi
usaha yang sangat besar di mata para investor. Letaknya yang strategis, dukungan sarana dan
prasarana, infrastruktur, dan keaktifan para pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usaha
211

menjadi pengungkit utama tumbuhnya permintaan izin secara kuantitatif. Namun demikian,
korelasi proses deregulasi penyelenggaraan pelayanan perizinan usaha, khususnya dalam
pembenahan infrastruktur kantor pelayanan perizinan usaha dengan naiknya jumlah izin dari
tahun ke tahun tidak terlalu signifikan di mata para pelaku usaha. Ketertarikan para pelaku usaha
untuk melakukan investasi lebih banyak dikarenakan faktor potensi daerah yang sangat
menjanjikan. Tidak jarang, demi mendapatkan sebuah izin para calon investor tidak menaati
mekanisme proses pengajuan izin baku yang ditetapkan oleh Pemkot Makassar, atau melakukan
praktik rent seeking. Adapun terkait dengan pemahaman masyarakat mengenai keterbukaan
dalam proses pengajuan izin usaha (dari sisi waktu dan biaya), masyarakat saat ini lebih jelas dan
tahu kapan izin yang sedang mereka ajukan akan keluar dibanding sebelum terjadinya perbaikan
pelayanan oleh Pemkot Makassar.
Karakteristik Kota Banjarbaru sebagai daerah yang sedang membangun membuat proses
pembangunan infrastruktur sarana dan prasarana serta pembentukan mekanisme kerja yang jelas
sedang dalam tahap pembangunan. Sebagai daerah yang direncanakan akan menjadi ibukota
Kalimantan Selatan menggantikan Banjarmasin, sektor usaha utama yang ada di Kota Banjarbaru
adalah usaha jasa. Dukungan keuangan dari Pemda yang masih terbatas diatasi dengan
mengikutsertakan sektor swasta sebagai mitra potensial. Pengadaan sebagian sarana dan
prasarana yang dimiliki kantor pelayanan perizinan Kota Banjarbaru ikut dibiayai oleh
perusahaan swasta. Namun, independensi kinerja dan pemberian izin untuk perusahaan yang
membantu pengadaan sarana kantor tetap terjaga. Learning organization di dalam pengelolaan
kantor pelayanan perizinan juga tercipta, termasuk peran kepala kantor yang terus melakukan
perbaikan dan inovasi untuk memperbaiki kelemahan dari penyelenggaraan pelayanan perizinan
usaha di Kota Banjarbaru.
Tiga hal utama yang diinginkan para investor dan pengusaha terkait investasi di daerah,
yakni penyederhanaan sistem dan perizinan, penurunan berbagai pungutan yang tumpang tindih,
dan transparansi biaya perizinan. Ketiga hal itu menjadi kunci utama dalam menjadikan
penyelenggaraan pelayanan perizinan sebagai pengungkit utama menjaring masuknya para
pelaku usaha di daerah. Tumpang tindih peraturan pusat dan daerah yang tidak hanya
menghambat arus barang dan jasa, tapi juga menciptakan iklim bisnis yang tidak sehat, perlu
dieliminasi. Komitmen penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik, deregulasi, dan
212

koordinasi berbagai peraturan pusat dan daerah merupakan starting point untuk memfungsikan
penyelenggaraan pelayanan perizinan usaha sebagai pengungkit kesejahteraan masyarakat lokal
melalui kegiatan usaha di daerah.
Buku ini sangat relevan dalam konteks perlunya mengkaji fenomena sosial, politik,
ekonomi, dan budaya dengan pisau kajian ilmu-ilmu sosial multidispliner. Reformasi perizinan
usaha tidak hanya relevan sebagai bagian dari kajian administrasi publik, otonomi daerah, namun
juga sebagai kajian ekonomi pembangunan. Secara khusus, bagaimana percepatan pembangunan
daerah dapat tercapai dengan memperbaiki iklim usaha, infrastruktur, mekanisme, dan faktorfaktor institusional lainnya.
Relevansi hasil kajian ini pun dapat ditarik ke ranah kajian ilmu hubungan internasional,
khususnya dalam melihat pengaruh globalisasi, perdagangan bebas dengan mengaitkannya
dengan investasi asing ke dalam negeri. Kajian ekonomi politik internasional dapat berperan
dengan menganalisis bagaimana hubungan pasar dan negara/pemerintah pusat, maupun daerah
dalam menarik investor asing. Sudah barang tentu, aspek diplomasi internasional dan hukum
internasional pun dapat masuk dalam ranah kajian ini.
Terakhir, tapi tak kalah pentingnya adalah kajian bisnis internasional. Apabila pemerintah
pusat dan daerah mampu bekerja sama dalam menarik investor asing, tentu pranata-pranata
ekonomi dan politik perlu disiapkan bagi kehadiran perusahaan-perusahaan asing. Dalam kondisi
demikian, diperlukan penciptaan lingkungan usaha yang bersabat terhadap investor asing
(investor-friendly environment), tanpa harus terkesan menghamba pada kepentingan asing.
Di sinilah kajian-kajian ini dapat ditindaklanjuti dengan penelitian lain yang lebih dalam
dan spesifik pada fokus yang lain. Pada akhirnya, buku ini dapat memperkaya khasanah ilmu
pengetahuan tentang otonomi daerah ini.

213

REKOMENDASI BUKU INI

Koordinasi antara kementerian Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan


Kementerian dalam Negeri perihal pengaturan penyelenggaraan pelayanan perizinan di
daerah harus diselaraskan. Hal ini penting karena dalam praktiknya kurangnya koordinasi
aturan antara dua instansi tersebut berakibat terhadap munculnya tumpang tindih
(overlapping) pelaksanaan aturan di lapangan.

Diperlukan integrasi dalam memformulasikan peraturan perizinan usaha dan turunan


peraturan lainnya. Harmonisasi peraturan pusat dan daerah akan mengurangi ekonomi
biaya tinggi dan menjamin kepastian hukum dalam berusaha di daerah.

Perlu dilakukan percepatan implementasi pelayanan satu pintu (one stop service) di
semua daerah dalam rangka mencapai standardisasi penyelenggaraan pelayanan perizinan
usaha.

Peningkatan kapasitas aparatur daerah (kualitas dan kuantitas) sangat diperlukan karena
ketimpangan jumlah SDM dan beban kerja yang ditanggung masih belum ideal.
Mekanismenya dapat diatur melalui peraturan di tingkat pusat atau daerah sebagai wujud
political will pemangku kebijakan.

Implementasi format pelayanan perizinan usaha yang dibuat oleh pemerintah pusat tidak
dapat dijalankan dengan baik oleh seluruh daerah. Pemerintah pusat sebaiknya membuat
tipologi atau format perizinan yang sesuai dengan karakteristik wilayah dan kemampuan
daerah.

Terkait dengan koordinasi antarinstansi terkait, terlihat masih ada resistensi dari beberapa
dinas teknis dengan kantor/badan pelayanan perizinan. Untuk itu, perlu dibentuk
koordinasi baik vertikal maupun horizontal antarinstansi dan kesinambungan pembinaan
dinas teknis terkait.

214

Mekanisme kerja pelayanan perizinan (biaya, syarat administrasi, reward and


punishment, pengawasan internal dan eksternal, serta prosedur pengaduan) harus dibuat
dengan jelas untuk memaksimalkan fungsi pelayanan publik.

Penyelenggaraan pelayanan perizinan usaha tidak lagi harus dibebani target penerimaan
PAD karena akan berimplikasi pada mahalnya tarif retribusi dan psikologis aparatur
daerah untuk memenuhi target penerimaan yang dibebankan Pemda/Pemkot.

Debirokratisasi pelayanan perizinan usaha harus diimbangi dengan reformasi hukum


sebagai aturan main pemberian pelayanan publik.

Resistensi antara dinas teknis dan kantor/badan pelayanan perizinan usaha membuat
pemberian pelayanan perizinan usaha tidak kompetitif dan tidak efisien, khususnya dari
segi waktu. Oleh karena itu, integrasi dinas teknis ke dalam kantor/badan pelayanan
perizinan usaha seperti di Kabupaten Purbalingga, atau merelokasi dinas teknis menjadi
satu kompleks sangat diperlukan untuk mengatasi rentang kendali yang masih panjang
dan berbelit-belit.

Partisipasi pihak swasta dalam mendukung penyediaan sarana dan prasarana patut
didorong dan dikembangkan sehingga keterbatasan dukungan dana dari Pemda/Pemkot
tidak menjadi alasan berhentinya proses reformasi pelayanan perizinan di suatu daerah.

Partisipasi juga diperlukan dari pihak masyarakat dan pengusaha terkait dengan
pelaksanaan kajian pemerintah daerah dalam proses analisis pemberian izin kepada calon
pengusaha, terutama perusahaan besar.

Program-program safari investasi dan pertemuan formal maupun informal antara


pemerintah

daerah

dan

pengusaha

harus

digalakkan.

Salah

satunya

dengan

mengikutsertakan kemudahan pelayanan perizinan usaha sebagai daya tarik investasi di


suatu daerah.

Optimalisasi penggunaan teknologi (IT) untuk efisiensi pelayanan dan mengurangi


peluang terjadinya korupsi dalam proses pelayanan. Proses pemberian izin yang masih

215

manual (berinteraksi langsung antara aparatur pemerintah daerah dan calon pemohon
izin) seringkali menimbulkan praktik rent seeking.

Pemerintah

harus

memikirkan

alternatif

solusi

pemberian

izin

usaha

yang

mempertimbangkan keseimbangan permintaan jumlah tenaga kerja pria dan wanita


sehingga tidak terjadi ketimpangan permintaan jumlah pekerja yang tinggi di satu sisi dan
pengangguran di sisi lain.

Perlu disusun Standar Pelayanan Minimum dan Standard Operating Procedure bagi
perizinan untuk menjaga konsisitensi mekanisme kerja yang telah berjalan dengan baik.
Selama ini, konsistensi deregulasi perizinan di beberapa daerah mengalami kemunduran
seiring proses pergantian kepemimpinan.

Proses sosialisasi produk hukum dan inovasi baru dalam penyelenggaraan pelayanan
perizinan usaha harus lebih ditingkatkan melalui pelbagai media komunikasi. Selama ini,
keluhan regulasi baru dari beberapa pelaku usaha terkait dengan minimnya informasi
terbaru, baik dari sisi perubahan regulasi ataupun insentif lain yang mendukung iklim
investasi setempat.

Diperlukan juga penataan tata ruang untuk proses kegiatan industri PMDN dan PMA oleh
pemerintah daerah karena penataan ruang yang di berbagai daerah selama ini masih
kurang komprehensif. Masih banyaknya pabrik-pabrik yang beroperasi di kawasan dalam
kota menimbulkan kemacetan di jalan-jalan utama dan limbah hasil kegiatan usaha.

Pertemuan antara pihak pemerintah dan pengusaha secara rutin merupakan sutau
kebutuhan untuk mewujudkan iklim usaha yang kondusif dan mencari solusi atas
permasalahan usaha yang terjadi di daerah.

216

DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Asropi. 2007. Sistem Pelayanan Terpadu: Strategi Perbaikan Iklim Investasi di Daerah.
Diterbitkan dalam "Bunga Rampai Administrasi Publik". Jakarta: Lembaga Administrasi
Negara.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal Pemerintah Kota Banjarbaru.
2009. Kota Banjarbaru, Kota 4 Dimensi Mandiri dan Terdepan. Banjar Baru: BappedaPM
Bank Indonesia. 2003. Kajian Ekonomi Regional Sulawesi Selatan: Faktor-Faktor Non Ekonomi
Yang Mempengaruhi Iklim Investasi di Sulawesi Selatan. Jakarta: Bank Indonesia
Bovaird, Tony. et.al. 2003. Public management and governance. New York and London:
Routledge.
Cheema, G. Shabbir dan Dennis. A Rondinelli, (Ed). 1983. Decentralization and Development:
Policy Implementation in Developing Countries. London: Sage Publications.
Davey, Kenneth J. 1988. Pembiayaan Pemerintah Daerah: Praktek-Praktek Internasional dan
Relevansinya Bagi Dunia Ketiga. Terjemahan Aminullah dkk. Jakarta: UI Press.
Denhardt, Janet V dan Robert B. Denhardt. 2003. The New Public Services: Serving, Not
Steering. New York & London: M.E. Sharpe.
Dominick, Salvatore. 2004. International Economics. Eight Edition. USA: John Wiley & Sons,
Inc.
Keynes, John Maynard. 1957. The General Theory of Employment Interest and Money. London:
MacMillan & Co.
McKevitt, D. 1998. Managing Core Public Services. Blackwell: Oxford.
Pemerintah Kabupaten Purbalingga. 2001. Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK)
Purbalingga Tahun 2001-2010. Purbalingga: Bappeda
Pemerintah Kota Makassar. 2009. Buku Saku Kota Makassar. Makassar: Bappeda
Prasojo, Eko, dkk. 2007. Deregulasi dan Debirokratisasi Perizinan di Indonesia. Depok:
Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI.
Romora Edward Sitorus. 2007. (Regulasi Sebagai Insentif Bagi Investor) Tinjauan Kelembagaan
Sistem Perijinan Investasi Terpadu (One-Stop Shop) dan Pengaruhnya terhadap
217

Reformasi Administrasi Daerah Pasca Desentralisasi, Tulisan diajukan untuk Lomba


Karya Ilmiah FSDE
Sinaga, Dadjim. Tahun. Iklim Investasi di Indonesia, The 1 st Annual Graduate Student Research
And Creativity Symposium. Kota: Penerbit
Suharto, Edi. 2008. Analisis Kebijakan Publik. Cetakan Keempat. Bandung: Alfabeta
Thoha, Miftah. 1997. Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Perkasa.
Wibawa, Fahmi. 2007. Panduan Praktis Perijinan Usaha Terpadu. Jakarta: PT Grasindo

Artikel:
Beik, Irfan Syauqi. Ekonomi Korupsi, http://www.harian global.com/ 2009.
Hamudy. 2010. Menyoal Pelayanan Terpadu, http://bataviase.co.id/
Iklim Investasi Diharapkan Membaik, Harian Kompas, 17 Desember 2009
Kuncoro, Mudrajad. Diskusi Panel Ahli Kompas. Disajikan dalam Seminar Harian Kompas.
http://www.mudrajad.com / . 2005
Kuncoro, Mudrajad. Sektor Riil dan UMKM Pasca Inpres No.6/2007, http://mudrajad.com/
Kuncoro, Mudrajad dan Anggi Rahajeng. Daya Tarik Investasi dan Pungli di DIY.
http://www.mudrajad.com/
Reformasi Birokrasi. Harian Kontan Laporan Khusus. Edisi Selasa, 28 September 2010.
Rustiani, Frida. Policy Paper Perijinan Usaha Kecil Di Indonesia
Decentralizing Era). http://usaid.gov/ . 2001

(Licensing In the

Salim, Fahruddin. Paket Kebijakan Ekonomi dan Konsolidasi Fiskal, http://www.gp-ansor.org/


Saronto, Mahatmi dan R. Wrihatnolo, Rekonseptualisasi Perencanaan Pembangunan: Suatu
Pemikiran, http://www.bappenas.go.id/
Sinaga, Dadjim. Iklim Investasi di Indonesia, Harian Kompas edisi 27 Oktober 1993
Tambunan, Tulus. Daya Saing Indonesia dalam Menarik Investasi Asing, disampaikan dalam
Seminar Bank Indonesia. 2007.
9 Daerah Bintang. Majalah Tempo No.3826. Edisi Khusus Kemerdekaan 17 23 Agustus
2009. http://bpt.sragenkab.go.id/

218

Peraturan Perundang-undangan:
Republik Indonesia. Lampiran Peraturan Presiden RI No.5 Tahun 2010 tentang RPJMN Tahun
2010-2014, Buku II Memperkuat Sinergi Antarbidang Pembangunan Bab III Ekonomi.
Republik Indonesia. Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Republik Indonesia. Keppres No. 29 Thn 2004 Ttg. Penyelenggaraan Penanaman Modal dalam
rangka PMA dan PMDN Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap
Republik Indonesia. Peraturan Menteri dalam Negeri No.24 Tahun 2006 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Republik Indonesia. Instruksi Presiden Republik Indonesia No.3 Tahun 2006 tanggal 27
Februari 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi
Republik Indonesia. Instruksi Presiden Republik Indonesia No.6 Tahun 2007 Tentang
Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah

219

Anda mungkin juga menyukai