Anda di halaman 1dari 9

METODE PENGECORAN LOST FOAM MENJAWAB TANTANGAN DUNIA

INDUSTRI PENGECORAN LOGAM


Sutiyoko
Jurusan Teknik Pengecoran Logam
Politeknik Manufaktur Ceper Klaten
E-mail : yoko_styk@yahoo.com
Abstract
Lost foam casting is a method of metal casting using polystyrene foam pattern. The pattern is glued
with gating system, coated and embedded in unbounded sand. The mold is vibrated and liquid metal is
poured on the gating system. Polystyrene foam will escape and is relpaced with liquid metal.
The lost foam casting has many advantages. This method is capable to product a complex-shape
object that difficult in sand mold casting. The mold does not require cup, drag and cores to make holes in
casting. This method suitable in production of prototype product. The sand can be reused directly because
the sand without a binder. The lost foam casting also has disadvantages. Porosity is higher than sand casting
because of gas that resulted in decomposition of poltstyrene foam. Unbounded sand can fall into the liquid
metal.
Quality of the casting with the lost foam casting method is influenced by many factors. Temperature
and filling speed, density of polystyrene foam, time of mold vibration, thickness of coating, size of sand and
level of vacuum. The mold will be more solid if it is vibrated for longer time. The casting surface will be
smoother if use the smaller size of sand.
Key word: lost foam casting, polystyrene foam, sand mold

A. PENDAHULUAN
Pengecoran lost foam merupakan
langkah baru dalam memproduksi bendabenda dengan metode pengecoran. Pada saat
ini belum banyak industri pengecoran logam
yang menggunakan metode ini dalam
memproduksi benda cor. Sedikitnya industri
yang menerapkan metode pengecoran ini
mungkin dikarenakan mereka belum banyak
mengetahui seluk beluk metode pengecoran
lost foam. Usaha penelitian dan perbaikan
pada metode pengecoran lost foam telah
banyak dilakukan oleh para peneliti baik
dengan melakukan eksperimen langsung atau
dengan pendekatan metode numerik untuk
mensimulasi proses pengecoran ini. Penulis
dalam makalah ini berusaha untuk
merangkum hasil penelitian yang berkaitan
dengan pengecoran lost foam. Dunia industri
diharapkan dapat mengenal lebih jauh
tentang pengecoran lost foam dan pengaruh
dari vaiabel-variabel yang digunakan dalam
pengecoran lost foam. Dengan uraian ini,
metode pengecoran lost foam diharapkan
semakin banyak digunakan oleh kalangan
industri dalam memproduksi benda-benda
cor.

PENGECORAN LOST FOAM


Pengecoran lost foam (evaporative
casting) adalah salah satu metode logam
dengan menggunakan pola polystyrene foam.
Metode ini ditemukan dan dipatenkan oleh
Shroyer pada tahun 1958 (Shroyer, 1958).
Pada tahun 1964, konsep penggunaan
cetakan pasir kering tanpa pengikat telah
dikembangkan dan dipatenkan oleh Smith
(Smith, 1964). Proses pengecoran lost foam
dilakukan dalam beberapa tahap (Gambar 1).
Pengecoran lost foam yang dikombinasikan
dengan pemvakuman cetakan (V-Proses)
menjadikan jenis pengecoran ini sebagai
salah satu teknologi manufaktur yang sangat
baik dan memiliki biaya yang cukup efektif
dalam memproduksi benda yang mendekati
bentuk bendanya dibanding pengecoran
konvesional (Liu dkk, 2002). Vakum proses
telah dikembangkan di Jepang pada tahun
1971 dan diperkenalkan pada pengecoran
logam saat pertemuan musim semi tahun
1972 (Kumar dan Ghaindhar, 1998).
Pengecoran lost foam dimulai dengan
membuat pola polystyrene foam (styrofoam)
B.

21

dengan kerapatan / massa jenis tertentu


sesuai yang direncanakan. Dalam beberapa
aplikasi, bagian-bagian pola dilem untuk
mendapatkan bentuk keseluruhan dari benda
yang komplek. Sistem saluran dirangkai
dengan cara dilem menyatu dengan rangkaian
pola. Beberapa pola dapat dilakukan
pengecoran dengan dirangkai dalam satu
sistem saluran. Pola yang telah terangkai
dengan sistem saluran diistilahkan dengan
cluster (Brawn, 1992). Sistem saluran
memiliki pengaruh besar terhadap adanya
cacat pada benda cor misalnya saluran masuk
bawah akan menyebabkan porositas dan
cacat lipatan (folded) paling sedikit dibanding
saluran samping atau atas (Shahmiri dan
Karrazi, 2007).

mengeraskan cetakan dan kekerasan cetakan


diatas 85 dapat tercapai (Kumar dkk, 2007).
Logam cair dimasukkan melalui saluran
tuang dan pola akan terurai karena panas
logam cair saat masuk ke pola. Hasil uraian
pola akan melewati lapisan dan keluar
melalui pasir. Setelah cukup dingin, benda
cor diambil dan dilakukan perlakuan panas
jika diperlukan (Matson dkk, 2007).
Perkembangan penggunaan metode
pengecoran
lost
foam
mengalami
peningkatan cukup besar sejak tahun 1990
(Gambar 2). Pada tahun 1997 sebanyak
140.700 ton aluminium, besi cor dan baja
sudah diproduksi dengan proses pengecoran
lost foam (Hunter, 1998).

Gambar 1. Tahap proses pengecoran lost


foam (www.sfsa.org)

Gambar 2. Perkembangan pasar pengecoran


lost foam (Anonim, 1998)

Pola dan sistem saluran dilakukan


pelapisan (coating) dengan cara dimasukkan
ke larutan pelapis dari bahan tahan panas
(refractory) atau larutan refractory tersebut
langsung dicatkan pada pola dan sistem
saluran lalu dikeringkan. Penambah, pengalir
dan saluran masuk ditempatkan pada tempat
yang diperlukan (Butler, 1964). Cluster yang
telah kering diletakkan pada wadah dan pasir
silika dimasukkan di sekeliling pola. Pasir
yang menimbun pola dipadatkan dengan cara
digetarkan pada frekuensi dan amplitudo
tertentu. Pasir yang dipadatkan dengan
penggetaran densitas pasir meningkat 12,5%
dibandingkan tanpa digetarkan (Butler,
1964). Pasir dengan ukuran AFS (Average
Fineness Number) grain fineness number
tertentu akan mengisi bagian-bagian yang
kosong dari cluster dan akan menahan cluster
saat pengisian logam cair. Pola tersebut
dapat dibungkus/ dikapsul dengan dua lapis
plastik dan pasirnya divakum. Vakum akan

C. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN


LOST FOAM CASTING
Pengecoran lost foam memiliki
banyak keuntungan. Cetakan dari pola
berbahan polystyrene foam mudah dibuat dan
murah (Barone, 2005). Pasir yang digunakan
dapat dengan mudah digunakan lagi karena
tidak menggunakan pengikat (Behm dkk,
2003).
Penggunaan
cetakan
foam
meningkatkan keakuratan dimensi dan
memberikan peningkatan kualitas coran
dibandingkan dengan cetakan konvensional
(Monroe, 1992). Sudut-sudut kemiringan draf
dapat dikurangi atau dieliminasi (Barone,
2005). Pengecoran lost foam dapat
memproduksi benda yang kompleks/
bentuknya rumit, tidak ada pembagian
cetakan, tidak memakai inti, mengurangi
tenaga
kerja
dalam
pengecorannya
(Monroe,1992) sehingga cepat untuk
membuat benda-benda prototip. Pengecoran
lost foam dapat memproduksi benda-benda
22

ringan (Kim dan Lee, 2005) dan penambah


pada dasarnya tidak diperlukan untuk
mengontrol penyusutan saat pembekuan
(Askeland, 2001). Proses perbersihan dan
pemesinan dapat dikurangi secara dramatis
(Kumar dkk, 2007). Pencemaran lingkungan
karena emisi bahan-bahan pengikat dan
pembuangan pasir dapat dikurangi karena
tidak menggunakan bahan pengikat dan pasir
dapat langsung digunakan kembali (Kumar
dkk, 2007).
Pengecoran lost foam juga memiliki
beberapa kekurangan. Pasir yang tidak diikat
akan memicu terjadinya cacat pada benda cor
karena pasir yang jatuh ke logam cair (Kumar
dkk, 2007). Usaha untuk mengikat cetakan
lost foam adalah dengan membuat cetakan
tersebut vakum dimana cetakan dilapisi
dengan lapisan polietilen dimana proses ini
menghasilkan emisi ke gas hasil pembakaran
polystyrene foam yang dapat membahayakan
lingkungan dan kesehatan pekerja (Behm
dkk, 2003). Porositas dalam pengecoran
aluminium dengan pola polystyrene foam
lebih tinggi dibandingkan dengan cetakan
CO2. Hal ini menunjukkan bahwa sulit untuk
mendapatkan kekuatan mekanik yang lebih
baik pada pengecoran aluminium tanpa
perlakuan tertentu (Kim dan Lee, 2007).
D. DEKOMPOSISI
POLYSTYRENE
FOAM
Polystyrene yang digunakan dalam
pengecoran lost foam terdiri dari 92% C dan
8% H (Niemann, 1980). Rantai benzena C6H5
dalam polystyrene relatif stabil sedangkan
rantai -CH=CH2- cenderung terurai pertama
kali. Rantai benzena bertahan dalam bentuk
cair dan bereaksi dengan cairan logam yang
dapat menyebabkan cacat cor. polystyrene
co-polymer
dan
polymethylmetacrylate
(PMMA) dikembangkan untuk mengurangi
karbon yang berhubungan dengan cacat cor
pada pengecoran logam ferro (Shivkumar,
1993). PMMA sebagian besar (sekitar 80%)
terdekomposisi menjadi fase gas pada suhu
700 oC sedangkan polystyrene hanya sekitar
40% pada suhu yang sama (Moilbog dan
Littleton,
2001).
Hasil
dekomposisi
polystyrene foam akan menghalangi logam
jika tidak segera keluar dari cetakan (Walling
dan Dantzig, 1994). Analisa dan pemodelan
tentang dekomposisi polystyrene foam telah
diteliti oleh beberapa peneliti. Tsai dan Chen

(1988), Hirt dan Barkhudarov (1998), Liu


dkk
(2002)
menentukan
koefisien
perpindahan panas konstan pada pertemuan
antara logam cair dan polystyrene foam.
Mereka menghitung kecepatan aliran cairan
muka dengan menghubungkan fluks panas
yang diperloleh terhadap energi dekomposisi
polystyrene foam . Wang dkk (1993) dan
Gurdogan dkk (1996) mengasumsikan
kecepatan aliran muka cairan sebagai fungsi
linier terhadap temperatur dan tekanan logam
dengan suatu koefisien empiris yang
diperoleh dalam percobaan pengisian cairan
satu dimensi. Shivkumar (1994) menetapkan
kecepatan logam cair secara langsung
berdasarkan data pengisian satu arah.
Pendekatan-pendekatan
ini
mampu
mendiskripsikan aliran logam cair dalam
cetakan namun tetap belum mampu
menjelaskan
mekanisme
fisik
yang
menghubungkan antara pengisian logam cair
dengan
porositas
karena
mekanisme
dekomposisi polystyrene foam masih belum
jelas. Untuk mendapatkan hasil yang baik,
dekomposisi harus dimodelkan dalam proses
fisis yang terpisah (Barone, 2005).
Pola polystyrene foam yang dituang
cairan logam dapat membentuk gap (adanya
ruang pemisah) antara logam cair dan pola
yang belum terkena cairan. Pada pengecoran
aluminium, pola terurai menjadi cair dan gas
(Zhao dkk, 2003). Polystyrene foam
terdekomposisi menjadi hidrogen dan karbon
saat penuangan cairan. Sebagian karbon
masih tersisa pada pori-pori dalam benda cor
yang dibuktikan dari analisis WDS pada
pengecoran ingot aluminium A 356.2 (Kim
dan Lee, 2007). Gas hasil penguraian keluar
dari cetakan dengan berdifusi melalui coating
(pelapis). Coating menyerap cairan yang
terurai dari polystyrene foam dan sisanya
tertinggal dipermukaan dalam coating.
Cairan logam langsung menyusul cairan yang
tersisa tersebut dan menguapkannya menjadi
gelembung-gelembung
gas
kecil.
Gelembung-gelembung gas dari seluruh
bagian cetakan akan bergerak naik ke bagian
atas. Gelembung-gelembung ini akan
mengalir dan saling bertemu pada bagian
yang lebih tinggi dari cetakan dan
membentuk gap/ pemisah antara cairan
logam dan polystyrene foam (Gambar 3).
Dengan
membesarnya
ukuran
gap,
perpindahan panas konduksi dari logam cair

23

ke polystyrene foam berkurang dan kecepatan


pengisian cairan berkurang sehingga
polystyrene foam mengalami pengurangan
lebih banyak dengan cara mencair daripada
dengan cara terbakar (ablation). Ketika hal
ini terjadi, kita katakan polystyrene foam
terdekomposisi pada daerah gap. Gap yang
terbentuk ini pada kenyataannya tidak terjadi
pada satu tempat saja karena gelembunggelembung gas ini terjadi pada seluruh
permukaan cairan logam dalam cetakan
(Caulk, 2006). Dekomposisi polystyrene
foam akan menghasilkan tekanan balik yang
berlawanan dengan aliran logam sehingga
menghasilkan gaya tekan yang menahan
cetakan tetap berada pada tempatnya
(Ballmann, 1988).

bentuk gas. Gas yang terbentuk dapat


dikurangi dengan pori-pori pada lapisan
coating. Laju eliminasi gas tergantung pada
beberapa faktor diantaranya jumlah produksi
gas, permeabilitas pada coating dan pasir,
sifat termal dari coating dan pasir serta
temperatur cair (Borg, 1996).
Residu cair terutama terdiri dari
dimer, trimer, tetramer dan oligomer yang
lain (Shivkumar, 1994). Gas atau residu hasil
dekomposisi
polystyrene
foam
yang
terperangkap karena adanya aliran turbulen
ketika pengisian cetakan dalam proses
pengecoran konvensional akan menghasilkan
porositas. Urutan pengisian cetakan pada
pengecoran lost foam berbeda dengan
pengecoran konvesional. Konsekuensinya
porositas pada pengecoran lost foam lebih
tinggi dari pengecoran biasa karena pola
yang terbakar saat cairan dimasukkan (Kim
dan Lee, 2007).
PELAPISAN / COATING
Coating merupakan suatu kesatuan
dalam
pengecoran
logam
karena
menghasilkan permukaan yang halus tanpa
pengeleman dan pembakaran pasir. Coating
memiliki peran penting dalam beberapa hal.
Coating menjamin kekerasan dan kekakuan
pola serta mengontrol pelepasan gas atau
cairan dari dekomposisi polystyrene foam
(Acrimovic, 2000). Coating menentukan
waktu pembongkaran benda cor dan laju
hilangnya panas logam (Zhao, 2006). Seiring
peningkatan
teknologi
pengecoran,
permintaan kualitas coating ditingkatkan
dengan menggunakan jenis bahan refraktrory
baru, suspensi dan binder yang mampu
meningkatkan proses manufaktur (Acrimovic
dkk, 2003). Ballman (1988) menyarankan
bahwa bahwa bahan coating untuk
pengecoran lost foam hendaknya memiliki
beberapa kriteria sebagai berikut:
Coating dengan permeabilitas tinggi
digunakan pasir yang lebih kasar/besar
sedangkan coating dengan permeabilitas
sedang atau rendah digunakan untuk pasir
yang lebih halus/ kecil.
Coating harus cepat kering
Coating harus mudah menempel ke pola
dan mudah untuk mengontrol ketepatan
tebal coating.
Kekuatannya bagus, tahan abrasi, tahan
retak tatkala disimpan, tahan beban

E.

Gambar 3 . Skema terbentuknya gap antara


polystyrene foam dengan cairan logam
(Caulk, 2006)
Salah satu permasalahan unik
dalam produksi cor dengan pengecoran lost
foam adalah terbentuknya cacat pengecoran
yang
berkaitan
dengan
dekomposisi
polystyrene foam. Berbagai macam bentuk
cacat yang disebabkan karena dekomposisi
ini diantaranya porositas di dalam benda cor,
blister (melepuh), fold (lipatan) dan
permukaan yang kasar (Benneth, 2007).
Porositas di dalam benda cor disebabkan
hasil dekomposisi polystyrene foam yang
terjebak dalam logam cair. Logam membeku
sebelum hasil dekomposisi polystyrene foam
keluar melalui pori-pori pada coating (Kim
dan Lee, 2007). Dekomposisi polystyrene
foam juga mempengaruhi waktu pengisian
logam cair (Xao dan Shivkumar, 1997). Pada
pengecoran aluminium, tahap awal terbentuk
residu cair di bagian depan logam dan
menembus pori-pori pada coating dalam

24

lengkung dan perubahan bentuk selama


dibuat cetakan.
Coating seharusnya lebih tebal apabila
untuk pengecoran pada suhu lebih tinggi
dan pasir yang lebih kasar/ besar.
Ada beberapa jenis coating pola
pengecoran lost foam yang memiliki
karakteristik berbeda. Coating ini didesain
untuk memenuhi beberapa tuntutan dalam
pengecoran lost foam (Acimovic, 2003).
Dieter (1965) menggunakan tepung zircon
untuk coating paduan aluminium sementara
Trumbuvolic (2003) menggunakan kaolin
dan talk. Pelapis sodium silikat tidak
direkomendasikan untuk coating karena
permeabilitasnya rendah dan memicu
terjadinya percikan logam saat pengisian
logam cair. Coating untuk pengecoran besi
cor menggunakan coating berbahan dasar
besi mampu menahan permasalahan penetrasi
logam (Clegg, 1978). Kumar dkk (2004)
telah
menganalisi
coating
dengan
menggunakan filler dari material siliminite,
kuarsa,
aluminium
silikat
yang
dikombinasikan dengan zirkon dan binder
untuk mempertimbangkan segi ekonomisnya.
Tepung zirconia dan aluminium silikat
memiliki dielektrik kostan rendah, massa
jenis tinggi, viskositas tinggi dan pH
mendekati bahan refraktorti netral (Kumar
dkk, 2004).
Waktu pengisian cetakan akan lebih
lama jika menggunakan lapisan coating yang
lebih tebal. Jika menggunakan coating maka
tambahan waktu pengisian kurang dari 50%
dibanding waktu yang terukur dalam kondisi
normal di industri. Dalam kondisi ekstrim
dimana cetakan tidak memiliki permeabilitas,
waktu pengisian dapat mencapai 500% lebih
lama dibandingkan pada kondisi normal. Hal
ini dapat terjadi karena coating menutup pola
atau
ada aglomerasi pasir yang
mengkondensasi hasil degradasi polystyrene
foam (Sand dan Shivkumar, 2003).
F.

PASIR CETAK
Pasir cetak dapat digunakan secara
terus menerus selama masih mampu menahan
temperatur cairan ketika dituangkan (Lal,
1981). Pasir silika, pasir zirkon, pasir olivine
dan kromate dapat digunakan sebagai pasir
cetak
pada pengecoran
lost
foam.
Penggunaan pasir yang mahal seperti pasir

zirkon dan kromite dapat dilakukan untuk


mendapatkan tingkat reklamasi pasir yang
tinggi (Clegg, 1985). Kekuatan cetakan pasir
ditentukan oleh resistansi gesek antar butir
pasir. Kekuatan cetakan pasir akan lebih
tinggi jika menggunakan pasir dengan bentuk
angular walaupun jika menggunakan bentuk
rounded/ bulat akan memberikan densitas
yang lebih tinggi (Dieter, 1967; Green,
1982). Perubahan bentuk pasir dari angular
ke rounded akan menaikkan densitasnya
sekitar 8-10% (Hoyt dkk, 1991). Densitas
pasir cetak dapat ditingkatkan dengan
digetarkan. Pasir leighton buzzard dapat
dinaikkan densitasnya sebesar 12,5% dengan
digetarkan (Butler, 1964).
Waktu pengisian logam cair ke
dalam cetakan akan lebih lama apabila
menggunakan pasir cetak yang memiliki
ukuran lebih kecil. Kecepatan penuangan
semakin besar dengan bertambahnya ukuran
pasir cetak (Sands dan shivkumar, 2003). Hal
ini karena rongga-rongga antar pasir akan
semakin kecil dengan mengecilnya ukuran
pasir sehingga gas hasil degradasi lebih sulit
keluar melalui pasir. Pada pengecoran Al7%Si, ukuran pasir cetak memiliki faktor
dominan dalam menentukan nilai tegangan
tarik dan elongasi benda cor (Kumar dkk,
2008). Pemilihan jenis pasir cetak dan
metode pemadatan sangat penting untuk
mendapatkan permeabilitas yang tepat dan
mencegah deformasi pola. Ukuran butir pasir
yang dipilih tergantung pada kualitas dan
ketebalan lapisan coating. Ukuran butir pasir
AFS 30-45 menjamin permeabilitas yang
baik untuk pola yang terdekomposisi menjadi
gas dan cairan (Acimovic, 1991).
G. POLA POLYSTYRENE FOAM /
STYROFOAM
Massa jenis dan ukuran butiran
polystyrene foam memegang peranan penting
dalam pengecoran lost foam. Massa jenis
yang rendah diperlukan untuk meminimalisir
jumlah gas yang terbentuk pada saat pola
menguap. Gas akan keluar ke atmosfer
melalui coating/ pelapis dan celah-celah
pasir. Jika pembentukan gas lebih cepat
daripada keluarnya gas tersebut ke atmosfer
maka akan terbentuk cacat dalam benda cor.
Pembentukan gas tergantung pada massa
jenis pola polystyrene foam dan temperatur
penuangan. Gas terbentuk makin banyak

25

apabila massa jenis pola dinaikkan pada


temperatur tuang konstan. Jika massa jenis
pola tetap dan temperatur tuang dinaikkan
maka gas akan terbentuk lebih banyak karena
pola akan terurai menjadi molekul-molekul
yang lebih banyak pada temperatur lebih
tinggi. Pengecoran pada baja memerlukan
massa jenis polystyrene foam yang lebih
rendah dibanding pada pengecoran besi cor
kelabu, besi cor bergrafit bulat atau besi cor
mampu tempa. Pengecoran besi cor
memerlukan massa jenis polystyrene foam
lebih rendah dibanding pada pengecoran
tembaga
dan
pengecoran
tembaga
memerlukan massa jenis polystyrene foam
lebih rendah dibanding pada aluminium
(Kumar dkk, 2007).
Perbandingan luas permukaan dan
volume pola harus diperhatikan. Gas yang
terbentuk harus keluar melalui coating
dipermukaan pola. Ukuran butir polystyrene
foam yang lebih kecil akan meningkatkan
kehalusan pola dan mampu untuk mengisi
tempat-tempat yang sempit dari pola (Sikora,
1978). Massa jenis polystyrene foam secara
umum berbanding terbalik dengan massa
jenis hasil benda cor. Hal ini berarti jika
pengecoran menggunakan dengan massa
jenis polystyrene foam lebih rendah maka
massa jenis benda cor akan lebih tinggi (Kim
dan Lee, 2007).
H. PENGGETARAN (VIBRATION)
Kekasaran permukaan Al-7%Si
menurun dengan peningkatan amplitudo
penggetaran sampai 485m. Hal ini terjadi
karena peningkatan amplitudo getaran akan
menyebabkan partikel-partikel pasir yang
lebih halus bergerak mengisi ruangan
diantara butir-butir pasir. Amplitudo yang
lebih besar dari 485 m menyebabkan butirbutir pasir yang lebih besar bergerak dan
gaya antar butir pasir akan menyebabkan
pasir begerak menuju ke permukaan pola.
Hal
ini
menyebabkan
keruncingan
permukaan pola lebih besar dan kekasaran
permukaan benda cor menjadi lebih kasar
(Kumar dkk, 2007).
Peningkatan lama penggetaran
cetakan akan menyebabkan kekasaran
permukaan benda cor Al-7%Si menurun. Hal
ini karena semakin lama waktu penggetaran
akan menyebabkan partikel-partikel yang
lebih kecil berada pada batas antara pola dan

pasir. Keruncingan permukaan pasir pada


perbatasan pola akan berkurang sehingga
permukaan benda cor lebih halus (Kumar
dkk, 2007). Lama penggetaran Pada
pengecoran Al-7%Si memiliki faktor kurang
berpengaruh dalam menentukan nilai
tegangan tarik dan elongasi benda cor
(Kumar dkk, 2008).
I.

PENUANGAN
Suhu penuangan paduan Al-7%Si
yang lebih tinggi akan meningkatkan
kekasaran permukaan benda cor. Superheat
(suhu diatas temperatur cair) yang lebih
tinggi akan menurunkan tegangan permukaan
cairan logam. Hal ini akan menjadikan cairan
logam mudah terserap ke celah-celah diantara
pasir yang menyebabkan kekasaran benda cor
meningkat (Kumar dkk, 2007). Temperatur
tuang memiliki faktor dominan dalam
menentukan nilai tegangan tarik dan elongasi
benda cor (Kumar dkk, 2008).
Kecepatan penuangan logam cair
memiliki pengaruh besar terhadap kualitas
benda cor. Kecepatan penuangan aluminium
cair berkisar 0,015-0,02 m/s untuk
mendapatkan jumlah dan jenis cacat pada
benda cor yang minimal (Bates dkk, 2001).
Kecepatan pengisian logam dan keluarnya
hasil
dekomposisi
polystyrene
foam
tergantung pada banyak faktor diantaranya
massa jenis foam, ikatan foam, ketebalan
coating, temperatur logam dan kecepatan
bagian depan logam cair (Bates dkk, 1995).
Kecepatan aliran logam meningkat dengan
bertambahnya temperatur tuang. Gas tidak
terdeteksi sampai pada suhu 525 oC,
terdeteksi sepanjang 5 mm pada suhu 750 oC
dan lebih panjang dari 2 cm pada suhu 1050
o
C (Shivkumar dkk, 1995). Gas yang
terbentuk meningkat 230% pada temperatur
750 1300 oC (Yao dkk, 1997).
J.

TINGKAT
CETAKAN

KEVAKUMAN

Tingkat kevakuman cetakan lebih


tinggi akan meningkatkan kekasaran
permukaan benda hasil cor. Tekanan vakum
yang dikenakan pada cetakan akan mengisap
cairan logam dan membuat ketajaman pada
batas cetakan. Semakin tinggi tingkat
kevakuman akan meningkatkan penghisapan
ke cairan logam sehingga ketajaman pada

26

Motor Truck / SUV engines, diakses


10
Juni
2011,
http://www.sfsa.org/tutorials/eng_bloc
k/GMBlock_ 13.htm

batas cetakan semakin tinggi dan kekasaran


permukaan benda cor semakin meningkat
(Kumar dkk, 2007).
K. KESIMPULAN
Pengecoran lost foam merupakan
salah satu alternatif manufaktur pengecoran
yang menggunakan polystyrene foam sebagai
bahan membuat pola. Metode ini memiliki
banyak kelebihan dan beberapa kekurangan.
Cetakan tidak memerlukan pembagian
cetakan atas dan bawah, tidak memerlukan
inti dalam pembuatan rongga dalam benda
cor, pola dapat dibuat dengan cepat karena
hanya menggunakan polystyrene foam. Pasir
cetak dapat langsung digunakan lagi karena
tidak memakai pengikat pasir. Di samping itu
metode ini memiliki kekurangan dimana
tingkat porositasnya lebih tinggi karena
pengaruh polystyrene foam yang terbakar.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
kualitas hasil benda cor diantaranya
temperatur penuangan, ukuran dan bentuk
pasir, penggetaran, coating (pelapisan)
cetakan dan lain-lain. Perkembangan
penggunaan metode pengecoran ini mulai
banyak digunakan karena banyak kelebihankelebihan baik dari proses maupun hasil
benda cornya. Perbaikan dan penyempurnaan
terus dilakukan oleh para peneliti dan
perusahaan.

Anonim, 1998, Industries of The Future


Approach Advancing State-of The-Art
in Lost Foam Casting Process,
Department of Energy Washington,
D.C, USA.
Ballmann, R.B., 1988, Assembly and coating
of polystyrene foam patterns for the
evaporative pattern casting process,
American
Foundry
Society
Transaction, Vol. 96, pp.465470.
Barone, M. R., Caulk, D. A., 2005, A foam
ablation model for lost foam casting of
aluminum, International Journal of
Heat and Mass Transfer, Vol. 48, pp.
41324149.
Bates, C. E., Littleton, H. E., Askeland, D.,
Griffin, J., Miller, B. A., and Sheldon,
D. S., 1995, Advanced lost foam
casting technology, Summary Report
to DOE, American Foundry Society,
Report No. UAB-MTG-EPC95SUM.
Bates, C., Littleton, H., McMellon, B. and
Stroom, P., 2001, Process of Lost
Foam Casting, American Foundry
Society, Dallas, Texas, Vol.105.

DAFTAR PUSTAKA
Acimovic, Z., Pavlovic, Lj., Andric, Lj.,
2003, Synthesis and characterization of
the
cordierite
ceramics
from
nonstandard
raw
materials for
application in foundry, Mater. Lett.
Vol. 57, pp. 26512656.
Acimovi, Z., 1991, Influence of the relevant
technological parameters on the quality
of the castings obtained by the Lost
foam process, PhD tesis, Faculty of
Technology and Metallurgy, Belgrade.
Acimovic, Z., 2000, EPC Method,
monograph, Faculty of Technology
and Metallurgy, Belgrade.
American Foundry Society and the Steel
Founders' Society of America, 2004, A
design study in lost foam casting
aluminium cylinder block for General

Bennett, S., Moody, T., Vrieze, A., Jackson,


M., Askeland, D. R. and Ramsay, C.
W., 2000, American Foundryman
Society Transaction, Vol. 108, pp.795.
Borg,

C., 1996,
thesis, Worcester
Polytechnic Institute, Worcester, MA.

Brown, J. R., 1992, The lost foam casting


process, Metallurgy Material, Vol. 8,
pp. 550555.
Butler, R. D., 1964, The full mold casting
process, British Foundrymen, pp. 265
273.
Butler, R. D., Pope, R. J., 1964, Some factors
involved in full mold cast-ing with
unbonded
sand
molds,
British
Foundrymann, Vol. 57, pp. 178191.

27

Caulk, D. A., 2006, A foam melting model


for lost foam casting of aluminum,
International Journal of Heat and
Mass Transfer, Vol.49, pp. 21242136
Clegg, A. J., 1978, The full mold processa
review part II: production of castings,
Foundry Trade Journal, Vol.145,
pp.393402
Clegg, A. J., 1985, Expanded polystyrene
molding, Foundry Trade Journal, pp.
177196.
Dieter, H. B., 1965, Aluminum castings from
expanded
polystyrene
pattern,
American
Foundry
Society
Transaction, Vol. 73, pp. 133146.
Dieter, H. B., 1967, Sand without binder for
making full mold castings, Modern
Casting, Vol. 51, pp. 133146.
Green, G. A., 1982, Superior castings and
improved environment from V
process, Castings Vol. 28, pp. 3036.
Gurdogan, O., Huang, H., Akay, H. U.,
Fincher, W. W., Wilson, V. E., 1996,
Mold-filling analysis for ductile iron
lost
foam
castings,
American.
Foundryman Society Transaction, Vol.
104, pp. 451459.
Hirt, C. W., Barkhudarov, M. R., 1998, Lost
foam casting simulation with defect
prediction, in: B.G. Thomas, C.
Beckermann (Eds.), Modeling of
Welding, Casting and Advanced
Solidification Processes VIII, TMS,
Warrendale, pp. 5157.
Hoyt, D. F., Dziekonski, P., 1991, Sand
properties and their relationship to
compaction for the expandable pattern
casting
process,
American.
Foundryman Society Transaction, Vol.
99, pp. 221230.
Hunter, J. H., 1998, Survey indicates bull
market for lost foam foundries,
Modern Casting, pp. 5052.
Kim, K., and Lee, K., 2005, Eect of Pro
cess Parameters on Porosity in
Aluminum Lost Foam Process,

Journal Material Scipta Technology,


Vol. 21 No.5, pp. 681-685.
Kim, K., Lee, K., 2005, Eect of Pro cess
Parameters on Porosity in Aluminum
Lost Foam Process, Journal. Materials
Science Technology, Vol. 21 No.5, pp.
681- 685.
Kumar, P. and Shan, H.S., 2008, Optimation
of Tensile Properties of Evaporative
Casting Process through Taguchis
Method,
Journal
of
Materials
Processing Technology, Vol. 204, pp.
59-69.
Kumar, P., Gaindhar, J. L., 1998, Vacuumsealed molding process a review, In:
Proceeding of 7th National Convention
of
Production
Engineering
Conference, pp. 3540.
Kumar, S., Creese, R. C., Kumar, P., Shan,
H. S., 2004, Investigation of the effect
of process parameters on the
mechanical properties of Al7%Si
alloy
cast-ings
produced
by
evaporative pattern casting process,
Indian Foundry Journal, Vol. 50, pp.
2129.
Kumar, S., Kumar, P., Shan, H. S., 2004,
Effect of filler material in zircon flour
coating used in evaporative pattern
casting process, Indian Foundry
Journal, Vol. 50, pp. 3440.
Kumar, S., Kumar, P., Shan, H. S., 2007,
Effect of evaporative pattern casting
process parameters on the surface
roughness of Al7% Si alloy castings,
Journal of Materials Processing
Technology, Vol. 182, pp. 615623.
Lal, S., Khan, R. H., 1998, Current status of
vacuum sealed molding process,
Indian Foundry Journal, Vol. 27, pp.
1218.
Liu, Y., Bakhtiyarov, S. I., Overfelt, R. A.,
2002, Numerical mod-eling and
experimental verification of mold
filling and evolved gas pressure in lost
foam casting, Journal Materials
Science, Vol. 37, pp. 29973003.

28

Liu, Z., Hu, J., Wang, Q., Ding, W., Zhu, Y.,
Lu, Y., Chen, W., 2002, Evaluation of
the effect of vacuum on mold filling in
the magnesium EPC process, Journal
Material Processing Technology, Vol.
120, pp. 94110.
Matson, D. M., Venkatesh, R. And
Biederman, S., 2007, Expanded
Polystyrene Lost Foam Casting
Modelling Bead Steaming Operation,
Journal of Manufacturing Science and
Engineering, Vol. 129, pp. 429-434.
Moilbog, T. V., Littleton, H., 2001,
Experimental simulation of pattern
degradation in lost foam, American
Foundryman Society Transaction, Vol.
109, pp. 15231555.
Niemann, E. H., 1980, Expandable
polystyrene pattern material for the
lost
foam
process,
American
Foundryman Society Transaction, Vol.
88, pp. 793799.
Sand, S., Shivkumar, S., 2003, Influence of
coating thickness and sand fineness on
mold filling in the lost foam casting
process, Journal of Materials Science,
Vol. 38, pp. 667 673.
Shahmiri, M., and Kharrazi, Y. H. K., 2007,
The effects of gating system on the
soundness of lost foam casting (LFC)
process of Al-Si alloy (A.413.0),
Transactions B: Applications, Vol. 22, pp. 157-166.

Shivkumar, S., Yao, X., Makhlouf, M., 1995,


Polymer Melt Interactions during
Casting Formation in the lost foam
process, Scripta Metallurgica et
Materialia, Vol. 33, pp. 39-46.
Shroyer, H. F., 1958, Cavityless casting mold
and method of making same, American
Foundryman Society Transaction US
Patent No. 2. 2830343.
Sikora, E.J., 1978, Evaporative casting using
expandable polystyrene patterns and
unbonded sand casting techniques,
American
Foundryman
Society
Transaction, Vol. 88, pp. 6568.
Smith, T. R., 1964, Method of casting, US
Patent No.3. 157924.
Tsai, H. L., Chen, T. S., 1988, Modeling of
evaporative pattern process, Part I:
Metal flow and heat transfer during the
filling stage, American. Foundryman
Society Transaction, Vol. 96, pp. 881
890.
Wang, C. M., Paul, A. J., Fincher, W. W.,
Huey, O. J., 1993, Computational fluid
flow and heat transfer during the EPC
process,
American.
Foundryman
Society Transaction, Vol. 101, pp.
897904.
Yao, X., Shivkumar, S., 1997, Molding
filling characteristics in lost foam
casting process, Materials science and
Technology, Vol. 31, pp. 841-846.

Shivkumar, S., 1993, Casting characteristic


of aluminum alloys in the EPC
process,
American
Foundryman
Society Transaction, Vol. 101, pp.
519524.

Zhao, Q., Biederman, S., Flemings, M., 2006,


The Effects of Coating on the Heat
Transfer in Lost Foam Aluminum
Process,
American
Foundryman
Society Transaction, Vol. 114.

Shivkumar, S., 1994, Modelling of


temperature losses in liquid metal
during casting formation in expendable
pattern casting process, Materia Scipta
Technology, Vol. 10, pp. 986992.

Zhao, Q., Gustafson, T.W., Hoover, M.,


Flemings, M. C., 2003, Fold formation
in the lost foam aluminum process, in:
S.K. Das (Ed.), TMS, Warrendale, pp.
121132.

ASteel Founders' Society of America

29

Anda mungkin juga menyukai