Anda di halaman 1dari 2

catatan singkat dalam bentuk butir-butir sebagai berikut.

Tugas & kewenangan Kemendagri dalam "koordinasi" pembinaan & pengawasan


penyelenggaraan urusan pemerintahan secara nasional disebutkan secara jelas dalam Pasal 8 ayat
3 dan diulang lagi pada Pasal 373 ayat 1. Sementara itu, Pasal 16 ayat 3 & 4 menyebutkan bahwa
pembinaan & pengawasan penyelenggaraan urusan pemerintahan "dilaksanakan" oleh
kementerian & LPNK terkait. "Unik"-nya, di Pasal 374 ayat 2, muncullah daftar bidang-bidang
"umum" yang pembinaannya "dilakukan" oleh Mendagri, yang kalau mau ditafsirkan bisa jadi
akordeon, mengembang-mengkerut tergantung keinginan Kemendagri. Ini kemungkinan besar
akan melestarikan kerancuan yang selama ini terjadi di pemda, yaitu ada aturan teknis dari
kementerian/lembaga, tapi kemudian ada lagi aturan dari Kemendagri. Kasihan Pemda kalau
begini terus.
Keberadaan Muspida yang banyak dicurigai jadi ajang kongkalikong pimpinan daerah dipertegas
dengan nama Forkopimda (Pasal 26). Semoga implikasi keuangannya ngga signifikan.
Parameter pembentukan daerah (Pasal 36) belum exhaustive. Dalam parameter demografi,
misalnya, distribusi penduduk yang dimaksud berdasarkan apa? Usia, ketenagakerjaan, atau
semata-mata kewilayahan? Contoh lainnya di parameter ekonomi yang hanya melihat
pertumbuhan ekonomi dan potensi unggulan. Isu semisal soal kesenjangan, ketenagakerjaan,
kesiapan prasarana moneter apa nggak juga penting? Di parameter lainnya juga sama. Menurut
saya sih nggak akan pernah exhaustive karena tergantung kebutuhan zaman, jadi sebaiknya ngga
perlu disebutkan seperti ini dalam UU.
4. Sebaliknya, terkait penggabungan daerah, ketentuan normatif yang penting justru hilang dalam
Pasal 47, yaitu periodisasi "evaluasi kemampuan menyelenggarakan otonomi daerah". Apakah
penilaian/evaluasi itu dilakukan tahunan sehingga menghasilkan data series (setelah 3-5 tahun
gagal lalu digabungkan) atau dilakukan sewaktu-waktu. Hilangnya ketentuan soal ini membuat
kesan kondisi status quo akan lestari, yaitu daerah yang sudah mekar ngga akan digabung.
Pasal 68 memungkinkan pemerintah bisa memberhentikan kepala daerah/wakil kepala daerah
yang tidak menjalankan program strategis nasional. Ini bisa dilakukan kalau sudah ditegur tertulis
2x dan diskors 3 bulan si kepala daerah/wakil kepala daerah tetap ngga juga menjalankan program
itu. Menarik ditunggu gimana kiprah pasal ini.
Pembatalan produk hukum pemerintah kabupaten/kota (perda/perbup/perwali) bisa dilakukan
langsung oleh Gubernur (Pasal 91 ayat 3). Ini bisa dibilang bagus karena mempertegas kedudukan
gubernur selaku wakil pemerintah pusat. Yang saya masih belum jelas adalah manakala terjadi
keberatan pemkab/kota atas pembatalan produk hukum mereka oleh gubernur. Disebutkan di pasal
251 ayat 8 bahwa bupati/walikota bisa mengajukan keberatan kepada Mendagri selambatlambatnya 14 hari sejak perda dibatalkan. Tapi nggak ada kelanjutan lagi soal prosesnya. Apakah
keberatan itu langsung dikabulkan Mendagri atau sekadar diarsipkan? Nggak jelas.
Perimpitan daerah otonom/wilayah administrasi di tingkat provinsi ternyata berimbas pada jabatan
Sesda yang juga berimpit sebagai Sesgub. Di Pasal 93 disebutkan bahwa Sekretariat gubernur
terdiri dari paling banyak 5 unit kerja (mari asumsikan setingkat Biro). Apakah ini biro yang
terpisah dari biro-biro yang ada di Sekretariat Daerah? Kalau iya, makin ramailah PNS di pemda
(silakan interpretasikan sendiri kalimat ini).
Buyar sudah impian Ahok untuk memiliki kepala dinas/badan/camat dari non-PNS (Pasal 234 ayat
1).
Saya kurang paham makna Pasal 234 ayat 4. Disebutkan bahwa "pengangkatan kepala perangkat

daerah yang menduduki jabatan administrator dilakukan melalui seleksi sesuai dengan proses
seleksi bagi jabatan pimpinan tinggi pratama". Padahal, administrator bukanlah JPT. Ini
maksudnya kasubdis, kabag & camat akan diisi lewat seleksi terbuka? Kalau ya, ketentuan ini
harus diapresiasi.
Soal keuangan daerah pemahaman saya masih rendah banget, jadi silakan cari referensi lain.
Kelihatan sepintas sih udah lebih baik dibandingkan UU 32/2004, tapi tetap harus melihat UU
Perimbangan Keuangannya dulu.
Di Pasal 347 disebutkan bahwa informasi pelayanan publik bla bla bla dituangkan dalam
maklumat pelayanan publik. Selanjutnya disebutkan juga soal detail dari maklumat pelayanan
publik. Kalau dilihat-lihat, yang dimaksud maklumat pelayanan publik di pasal ini adalah yang
disebut dengan "Standar pelayanan publik" menurut UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik,
meskipun definisi maklumat pelayanan publik di penjelasan pasal ini sudah sesuai dengan UU
25/2009. Aturan di Pasal 348 soal sanksi bagi kepala daerah yang pemerintah daerahnya yang
ngga memuat standar pelayanan publik juga relatif ringan, karena hanya berupa "pembinaan" oleh
Kemendagri. Padahal, di PP 96/2012 disebutkan bahwa penyelenggara & pelaksana pelayanan
publik yang tidak memiliki standar pelayanan publik dikenakan sanksi pemberhentian dengan
hormat tidak atas permintaan sendiri. Kalau bawahannya aja diberhentikan, harusnya kepala
daerah juga dikenakan sanksi yang cukup berat dibandingkan "sekadar dibina"
Kemendagri menyelenggarakan "Pendidikan Kepamongprajaan", yang isinya akan memberikan
keahlian dan keterampilan teknis penyelenggaraan pemerintahan (Pasal 376). Penjelasan ayat 1
dari pasal ini menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah "pendidikan tinggi kepamongprajaan"
(dengan kata lain IPDN). Sebelumnya, di Pasal 233 ayat 2 disebutkan bahwa untuk menduduki
jabatan kepala perangkat daerah harus memiliki kompetensi teknis penyelenggaraan
pemerintahan. Ini artinya pasal 376 ini menjustifikasi bahwa hanya orang-orang yang lulus IPDN
yang bisa menjadi kepala perangkat daerah di Pemda. Lalu bagaimana dengan PNS di
kementerian/lembaga yang mau masuk pemda, atau bahkan PNS di pemda yang bukan lulusan
IPDN? Pasal ini sangat berpotensi bertentangan dengan asas keterpaduan yang dianut UU 5/2014
(Pasal 2 huruf d). Dalam penjelasan pasal 376 ini, disebutkan bahwa "perguruan tinggi dapat
menyelenggarakan pendidikan tinggi kepamongprajaan". Menurut saya, untuk menghindari
konflik dengan UU lain dan menjaga semangat NKRI, sebaiknya penjelasan pasal ini diperluas
maknanya. Jadi misalnya, perguruan tinggi bisa membuat executive education bidang
kepamongprajaan, let's say part-time 3-4 bulan (1 semester aktif). Selain itu, Lembaga
Administrasi Negara (LAN) juga dapat membuat pendidikan & pelatihan sejenis itu.
Konsekuensinya, PNS bergelar Sarjana yang lulus executive education ataupun diklat setara dari
LAN ini akan disetarakan dengan lulusan IPDN dalam hal kompetensi teknis pemerintahan. Ini
akan jadi jalan tengah yang terbaik, yah kecuali memang ada maksud tertentu di balik gramatikal
pasal ini.
Yang patut diapresiasi adalah Bab XXI soal Inovasi Daerah. Disebutkan bahwa inovasi bisa
berasal dari kepala daerah atau dari perangkat daerah. Ini berarti akan mendorong bukan saja
walikota/bupati/gubernur untuk berinovasi, tapi juga ASN di daerah untuk mengembangkan
gagasan inovatif.

Anda mungkin juga menyukai