Anda di halaman 1dari 7

PENGGUNAAN INOKULUM ANTAGONIS (TRICHODERMA DAN GLIOCLADIUM)

DALAM MENEKAN PENYAKIT BUSUK PELEPAH PADA JAGUNG


Soenartiningsih, M.S. Pabbage dan Nurasiah Djaenuddin
Balai Penelitian Tanaman Serealia
ABSTRAK
Penyebab penyakit busuk pelepah pada tanaman jagung adalah cendawan
patogen Rhizoctonia solani dan salah satu cara pengendalian penyakit ini
adalah dengan penggunaan cendawan antagonis, yaitu Trichoderma dan
Gliocladium. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium dan Rumah kaca
Balitsereal di Maros pada bulan Februari sampai Juni 2011. Penelitian di
Laboratorium secara in vitro dengan uji ganda dan hasil pengujian yang
bersifat antagonistik > 50% dilanjutkan di rumah kaca. Penelitian di rumah
kaca menggunakan rancangan acak lengkap secara faktorial dengan 3 ulangan,
faktor pertama Trichoderma dan Gliocladium dan faktor kedua perbedaan
waktu inokulasi R. solani yaitu bersamaan tanam, 2 minggu setelah tanam, dan
4 minggu setelah tanam. Tiga jenis Trichoderma mempunyai daya hambat >
50%, yaitu isolat TT1 dari Tumpang dan isolat TM dari Maros, sedangkan
Gliocladium yang mempunyai daya hambat > 50% hanya isolat GM yang
berasal dari Maros dengan daya hambat 50,75% . Hasil penelitian di rumah
kaca menunjukkan cendawan antagonis Trichoderma dapat menurunkan
intensitas penularan penyakit busuk pelepah 29,1137,17% (yang diinokulasi
R. solani bersamaan tanam), sedangkan yang diinokulasi R. solani pada 2 MST
penurunan intensitas 42,3546,62 % dan yang diinokulasi R. solani 4 MST
penurunan intensitas serangan 63,3169,7%. Pada cendawan antagonis
Gliocladium sp dapat menekan penyakit busuk pelepah 23,34-54,29 %.
Kata kunci: Rhizoctonia solani, Trichoderma, dan Gliocladium

PENDAHULUAN
Salah satu cara pengendalian
penyakit yang ramah lingkungan dan
berpotensi untuk dikembangkan ialah
secara hayati dengan menggunakan
mikrobia yang hidup di sekitar akar
tanaman sebagai agen biopestisida,
secara langsung maupun tidak langsung,
untuk mengontrol penyakit terutama
patogen tular tanah. Beberapa jenis
mikrobia
yang
sudah
banyak
dikembangkan dan diaplikasi sebagai
bahan
baku
biofungisida
adalah
Trichoderma harzianum, Gliocladium sp
dan Aspergillus niger, sedang bakteri
yang banyak dikembangkan adalah
Bacillus subtilis, Bacillus polymyxa,
Bacillus
thuringiensis,
Bacillus
478

pantotkenticus, Burkholderia cepacia dan


Pseudomonas fluorescens (Anonymous
2004).
Pengendalian
hayati
dengan
menggunakan
mikroorganisme
merupakan pendekatan alternatif yang
perlu dikaji dan dikembangkan, sebab
relatif aman serta bersifat ramah
lingkungan. Telah banyak dilaporkan
beberapa mikroorganisme antagonis
memiliki daya antagonisme yang tinggi
terhadap patogen tanaman dan dapat
menekan perkembangan patogen tular
tanah (soil borne pathogen). Berdasarkan
keadaan ini maka eksplorasi dan skrining
agen hayati harus dilakukan dalam
rangka untuk menemukan gen-gen baru
yang
berpotensi
sebagai
agen
pengendalian hayati penyakit tanaman

Soenartiningsih, M.S. Pabbage dan Nurasiah Djaenuddin : Penggunaan Inokulum Antagonis (Trichoderma
dan Gliocladium) dalam Menekan Penyakit Busuk Pelepah Pada Jagung

yang ramah lingkungan. Mekanisme


antagonis yang dilakukan adalah berupa
persaingan hidup, parasitisme, antibiosis
dan lisis (Trianto dan Gunawan Sumantri
2003).
Penyakit busuk pelepah pada
tanaman jagung, merupakan salah satu
penyakit utama selain penyakit bulai.
Penyakit ini disebabkan oleh cendawan
R.solani, sebagian besar genotip jagung
koleksi Balitsereal rentan terhadap
penyakit ini. Potensi penurunan hasil
tertinggi adalah pada tanaman yang
terinfeksi lebih awal atau tanaman muda,
sedangkan jamur R. solani merupakan
patogen tular tanah (soil borne pathogen)
dan patogen ini bertahan di tanah dalam
bentuk sklerotium dan miselium
sehingga sulit ditekan penyebarannya
(Smith et al. 2003). Faktor yang
mendukung perkembangan penyakit
busuk pelepah selain kelembaban yang
tinggi dan drainase yang kurang baik
juga varietas yang digunakan. Sedangkan
penggunaan varietas tahan terhadap
pengendalian penyakit busuk pelepah
merupakan cara yang paling baik karena
aman terhadap lingkungan dan mudah
dilakukan, tetapi varietas yang tahan
terhadap beberapa penyakit sulit
didapatkan karena seringkali ketahanan
dari hasil persilangan hanya bersifat
vertikal yaitu hanya mempunyai satu
atau dua gen ketahanan sehingga cepat
sekali mengalami penurunan ketahanan.
Menurut Sudjono (1995),
beberapa
varietas jagung hasil introduksi dari
CYMMYT
ketahanannya
menurun,
sehingga intensitas serangan penyakit
busuk pelepah bisa mencapai 100% dan
yang berpengaruh terhadap produksi
karena biji mengalami pembusukan,
sehingga
diharapkan
dengan
pembentukan genotip unggul jagung
khusus dapat menekan perkembangan
penyakit bulai dan busuk pelepah di
lapangan.
BAHAN DAN METODE
Penelitian
dilakukan
di
Laboratorium Hama /penyakit dan
rumah kaca di Balitsereal Februari
479

Seminar Nasional Serealia 2011

sampai Juni 2011. Penelitian dilakukan


dalam dua tahap, yaitu di Laboratorium
(secara in-vitro) dan di rumah kaca
(secara in-vivo). Agen pengendali hayati
diisolasi dari tanah sekitar perakaran
tanaman jagung Tumpang (jawa timur)
dan Maros (Sulawesi selatan) dengan
metode pengenceran. Isolat yang
diperoleh kemudian dimurnikan dalam
medium PDA.
Percobaan
di
laboratorium,
dilakukan uji biakan ganda yaitu
menumbuhkan isolat mikroorganisme
yang diperoleh bersama-sama dengan
patogen pada satu cawan petri.
Tujuannya ialah untuk melihat reaksi
antagonisme dari isolat-isolat yang di
peroleh terhadap Rhizoctonia solani, dan
dihitung persentase penghambatannya.
uji kultur ganda dengan menggunakan
rancangan acak lengkap dengan tiga kali
ulangan dan diuji daya hambatnya
terhadap
R.
solani,
dengan
menumbuhkan cendawan antagonis
tersebut bersama-sama dengan jamur R.
solani dalam satu cawan petri.
Selanjutnya
dihitung
persentase
penghambatan pada 7 hari setelah
pengujian kultur ganda, cara menghitung
persentase penghambatan menggunakan
Rumus :
P = R1 R2 x 100 %
R1
Keterangan:
R1 = Jarak pertumbuhan koloni R. solani
yang tumbuh berlawanan dengan
mikroorganisme antagonis
R2 = Jarak pertumbuhan koloni R. solani
yang
tumbuh
kearah
mikroorganisme antagonis
Setelah dilakukan uji kultur ganda
diambil isolat yang efektif dengan
persentase penghambatan terhadap R.
solani. lebih dari 50% kemudian
dilanjutkan penelitian di rumah kaca
menggunakan rancangan acak lengkap
secara faktorial dengan dua faktor, yaitu
macam agen pengendali hayati dan
waktu inokulasi R. solani yang berbeda.
Ulangan dilakukan sebanyak tiga kali.
Jagung varietas pulut harapan ditanam

sebanyak dua tanaman per polibag.


Inokulasi Cendawan antagonis dilakukan
5 hari sebelum penanaman, sedangkan
inokulasi R. solani bersamaan tanam, 2
minggu setelah tanam dan 4 minggu
setelah tanam.
Data yang diamati
Pengamatan
penyakit
busuk
pelepah dilakukan sejak benih ditanam
sampai gejala penyakit muncul (masa
inkubasi) dan intensitas serangan
penyakit busuk pelepah digunakan
rumus menurut Meyee dan Datar (1986)
:
I=

(n x V)

X 100%

Skor
2,0

Skor
2,5

Skor
3,0

Skor
3,5

Skor
4,0

Skor
4,5

Skor
5,0

ZN
Keterangan :
I = intensitas serangan
n = jumlah tanamn dalam nilai
katergori tertentu
v = nilai kategori serangan
Z = nilai kategori serangan tertinggi
N = jumlah tanaman yang diamati.
Nilai kategori serangan :
Skor
1,0

Skor
1,5

480

Gejala hanya pada satu


pelepah daun paling bawah
dengan lesio sangat kecil
dan sedikit.
Gejala pada dua pelepah
daun bagian bawah dengan
lesio yang melebar

Gejala sudah sampai pada


pelepah daun keempat dari
bawah, lesio banyak dan
menyatu.
Sama dengan skor 2,0
hanya
saja
terjadi
perubahan
warna
dengan lesio yang kecilkecil.
Gejala pada semua pelepah,
kecuali dua ruas di bawah
tongkol.
Gejala penyakit sudah
sampai pada satu ruas di
bawah tongkol.
Gejala penyakit sudah
sampai
pada
tempat
melekatnya
tongkol,
tetapi
tongkol
belum
terinfeksi.
Gejala penyakit sudah
sampai pada tongkol dan
permukaan daun memutih
seperti pita, ukuran tongkol
tidak normal dan beberapa
tanaman ada yang sudah
mati.
Sama skor 4,5, dimana
batang mengerut, bentuk
tongkol tidak normal, dan
susunan biji tidak teratur,
umumnya tanaman mati
sebelum waktunya. Pada
skor ini sklerosia banyak
dijumpai pada tongkol, dan
rambut.

Soenartiningsih, M.S. Pabbage dan Nurasiah Djaenuddin : Penggunaan Inokulum Antagonis (Trichoderma
dan Gliocladium) dalam Menekan Penyakit Busuk Pelepah Pada Jagung

HASIL DAN PEMBAHASAN

gliotoksin dan viridian yang dapat


melindungi tanaman bibit dari serangan
penyakit rebah kecambah (De La Cruz et
al. 1995).
Pada Gliocladium yang diambil
dari
daerah
Tumpang
(Jatim)
mempunyai daya hambat 44,82 %,
sedangkan jenis Gliocladium yang
diambil dari daerah Maros mempunyai
daya hambat 50,75 (Tabel 1). Hal ini
menunjukkan bahwa mikroorganisme
yang
diisolasi
daerah
rhizosfer
mempunyai daya hambat yang berbeda
setiap jenisnya. Menurut Lorito (1998),
yang mengatakan bahwa Gliocladium sp
adalah
cendawan
yang
dapat
mengeluarkan gliovirin dan viridian
merupakan zat antibiotik yang bersifat
fungistatik pada patogen. pada uji
antagonisme ini adalah antibiosis. Hal ini
dapat diketahui dengan terbentuknya
zone penghambatan di sekitar koloni
jamur antagonis.

Hasil isolasi mikroorganisme pada


daerah rhizosfer sekitar perakaran
jagung yang diambil dari Maros (Sulsel)
dan Tumpang (Jatim) yang mempunyai
daya hambat lebih dari 50 % adalah 2
isolat dari jenis Trichoderma dan satu
isolat dari jenis Gliocladium sp (Tabel 1).
Isolat TT1 yang berasal dari
tumpang (Jatim) ternyata mempunyai
daya hambat yang paling tinggi yaitu
mempuyai rata-rata daya hambat
65,67%, sedangkan isolat TT2 hanya
mempunyai daya hambat 46,15%
walaupun diambil dari lokasi yang sama,
sedangkan Trichoderma yang diambil
dari daerah Maros (Sulsel) mempunyai
daya hambat 60,50 %. Daya hambat ini
disebabkan karena Trichoderma sp.
Menghasilkan sejumlah besar enzim
ekstaraseluler b (1,3)-glukanase dan
kitinase yang dapat melarutkan dinding
sel pathogen, selain itu Trichoderma juga
menghasilkan 2 jenis antibiotik yaitu

Tabel 1. Persentase penghambatan pertumbuhan R. solani oleh cendawan antagonis


Tricho- derma dan Gliocladium pada hari ke tujuh.
Mikroorganisme
Antagonis

Asal isolate

Nama isolat

Persentase
Penghambatan (%)

Trichoderma sp

Tumpang (Jatim)

TT1

65,67

TT2

46,15

Maros (Sulsel)

TM

60,50

Tumpang (Jatim)

GT

44,82

Maros (Sulsel)

GM

50,75

Gliocladium sp

Gambar 1. Uji antagonis cendawan Trichoderma dan R. solani (a) dan Gliocladium dengan R.
solani (b)

481

Seminar Nasional Serealia 2011

Tabel 2. Rata-rata intensitas penyakit busuk pelepah diinokulasi dengan cendawan


Trichoderma, Gliocladium dan R. solani dengan waktu yang berbeda
Perlakuan

Intensitas serangan (%)


4MST
6 MST
8MST

Trichoderma
TT1 + R solani (Bersamaan)
TT1 + R solani (2 MST)
TT1 + R solani (4 MST)
TM + R solani (Bersamaan)
TM + R solani (2 MST)
TM + R solani (4 MST)

10,50 ab
8,55 a
11,15 ab
9,20 a
-

22,45 c
15,33 b
10,75 a
25,70 c
18,05 b
12 ,05 a

43,85 c
36,90 b
20,75 a
48,70 c
39,60 b
25,20 a

Gliocladium sp
GM + R solani (Bersamaan)
GM + R solani (2 MST)
GM + R solani (4 MST)

14,75 b
10,33 a
-

29,50 cd
20,60 bc
14,80 ab

52,66 c
40,50 b
31,40 a

Kontrol (R.solani)

18,0 c

35,66 e

68,70 d

Keterangan : Angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf sama tidak
berbeda nyata pada taraf 5% uji Duncan

Dari hasil pengamatan pada 4


minggu setelah tanam ternyata intensitas
serangan cendawan R solani yang
diinokulasi bersamaan saat tanam
mempunyai intensitas serangan lebih
rendah dibanding kontrol (tanpa
diinokulasi dengan cendawan antagonis),
tetapi yang diinokulasi R. solani 2 minggu
setelah tanam terlihat terjadi penekanan
tetapi tidak berbeda nyata dengan yang
diinokulasi bersamaan tanam pada jenis
Trichoderma, sedangkan pada jenis
Gliocladium terlihat berbeda nyata
(Tabel 2). Hal ini disebabkan cendawan
antagonis Trichoderma atau Gliocladium
perkembangannya belum optimal di
dalam tanah pada saat tanam, demikian
pula perkembangan cendawan R. solani
juga belum berkembang optimal pada
pengamatan 4 minggu setelah tanam
sehingga intensitas serangan masih
rendah pada kontrol yang tidak
diinokulasi dengan cendawan antagonis
haanya mencapai 18,0 % (Tabel 2).
Pada pengamatan 6 Minggu setelah
tanam intensitas serangan penyakit
busuk pelepah mulai meningkat pada
kontrol yaitu 35,66% dan yang
diinokulasi dengan cendawan antagonis
dan R.solani bersamaan tanam intensitas
482

serangannya mencapai 22,4529,50%


dan yang diinokulasi R. solani 2 minggu
setelah tanam intensitas serangannya
hanya mencapai 15,33 20,60% dan
yang diinokulasi R. solani 4 minggu
setelah tanam intensitas serangannya
mencapai 10,75 14,80% (Tabel 2).
Pengamatan pada 8 minggu
setelah tanam intensitas serangan yang
tanpa diinokulasi dengan cendawan
antagonis
(kontrol)
mempunyai
intensitas serangan 68,70%, yang
diinokulasi cendwan antagonis dan R.
solani bersamaan tanam intensitas
serangan mencapai 43,85 52,66%, yang
diinokulasi R. solani 2 minggu setelah
tanam intensitas serangannya mencapai
36,90 40,50% dan yang diinokulasi R.
solani 4 minggu setelah tanam intensitas
serangannya mencapai 20,75 31,40%
(Tabel 2).
Dari hasil penelitian di rumah kaca
Trichoderma
dapat
menurunkan
intensitas serangan penyakit busuk
pelepah R. solani yang diinokulasi R.
solani bersamaan tanam yaitu 29,11%
37,17%, sedangkan yang diinokulasi R.
solani pada 2 MST dapat menurunkan
intensitas serangan 42,35 46,62 % dan
yang diinokulasi R. solani 4 MST

Soenartiningsih, M.S. Pabbage dan Nurasiah Djaenuddin : Penggunaan Inokulum Antagonis (Trichoderma
dan Gliocladium) dalam Menekan Penyakit Busuk Pelepah Pada Jagung

penurunan intensitas serangan 63,31


69,7%. Pada cendawan antagonis
Gliocladium sp dapat menekan penyakit
busuk pelepah dari 23,34% 54,29 %
Dari hasil pengamatan dapat
dikatakan bahwa cendawan Trichoderma
sp lebih efektif dibanding Gliocladium
dalam menekan perkembangan R. solani.
Cendawan
Trichoderma
sp
dan
Gliocladium sebagai cendawan antagonis
tidak mematikan secara langsung spora
cendawan R. solani tetapi hanya
menekan perkembangan spora R. solani.
Cendawan Trichoderma dan Gliocladium
lebih cepat berkembang dibandingkan
pertumbuhan spora cendawan R. solani
dan menurut Bruehl (1987) Trichoderma
koningii dan Gliocladium sp. merupakan
kompetitor yang kuat di daerah rhizosfer
pada perakaran dan merupakan jamur
antagonis yang sering digunakan dalam
pengendalian patogen tular tanah.
Trichoderma juga bersifat mikoparasit
dan kompetitor yang aktif pada patogen
dengan cara cendawan antagonis
membelit hifa cendawan patogen (Ilyas
2006).
Menurut Suharna (2003),
Trichoderma adalah kapang yang sering
dikaji
pemanfaatannya
dibanding
Gliocladium dalam pengendalian hayati
cendawan patogen pada tanaman,
diantara
jenis-jenis
Trichoderma,
cendawan
Trichoderma
harzianum
diketahui paling potensial sebagai agen
pengendali hayati terhadap cendawan
patogen tanaman seperti Fusarium,
Rhizoctonia solani, Sclerotium rolfsii dan
Phytium. Menurut Salma dan Gunarto
(1999) dalam Susiana et al. (2008),
bahwa
Trichoderma sp. mempunyai
kemampuan
menghasilkan
enzim
sellulase yang dapat merusak dinding sel
patogen,
sehingga
perkembangan
patogen dapat ditekan. Menurut Bruehl
(1987) Trichoderma koningii dan
Gliocladium sp. merupakan kompetitor
yang kuat di daerah rhizosfer pada
perakaran dan merupakan jamur
antagonis yang sering digunakan dalam
pengendalian patogen tular tanah.

483

Seminar Nasional Serealia 2011

KESIMPULAN
Tiga jenis Trichoderma mempunyai
daya hambat > 50%, yaitu isolat TT1 dari
tumpang dan isolat TM dari Maros,
sedangkan Gliocladium yang mempunyai
daya hambat > 50% adalah isolat GM
yang berasal dari Maros dengan daya
hambat 50,75%. Trichoderma dapat
menurunkan
intensitas
penularan
penyakit busuk pelepah R. solani yang
diinokulasi R. solani bersamaan tanam
yaitu 29,1137,17%, sedangkan yang
diinokulasi R. solani pada 2 MST dapat
menurunkan intensitas serangan 42,35
46,62 % dan yang diinokulasi R. solani 4
MST penurunan intensitas penularan
63,3169,7%.
Cendawan
antagonis
Gliocladium sp dapat menekan penyakit
busuk pelepah 23,34-54,29 %.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2004. Mikroba antagonis
sebagai agen hayati pengendalian
penyakit tanaman. Balai Penelitian
Tanaman Hias: Cianjur.
Bruehl, G. W. 1987. Soilborne Plant
Pathogens. Macmillan Publ. Co.
New York.
De La Cruz, J., J.A. Pintor- Toro, T. Benitez
& A. Liobell. 1995. Purification and
characteri-zation ofan edo-1,6
Glucanase
from
Trichoderma
harzianum that is related to its
mycoparasitism J. Bacteriol 177:
1863-1871.
Ilyas, M. 2006. Isolasi dan Identifikasi
Kapang pada Relung Rizosfir
Tanaman di Kawasan Cagar Alam
Gunung Mutis, Nusa Tenggara
Timur. Biodeversitas Vol 7 No 3:
216-220.
Lorito, M. 1998. Chitinolitic Enzymes
and their Genes P 73-79 in
Harman,
G.E.
and
C.P.
Kubicah.
Trichoderma
and
Gliocladium Vol 2 Enzymes,
Biological
control
and
Commercial application taylor and
Francis, London.

Mayee, C. D. And V.V. Datar. 1986.


Phytopathometry
technical
bulletin.
Maratwade
Agricultural Univ., Pabhani India.
Smith, J.D., K.K. Kidwell., M.A. Evans.,
R.J. Cook and R. W. Smiley. 2003.
Assessment of spring wheat
genotypes for disease reaction to
Rhizoconia solani AG 8 in controlled in controlled environment
and
direct-seeded
field
evaluation Crop Science 43:694700.
Sudjono,
M.S.
1995.
Mikroba
antagonistik terhadap penyakit
busuk pelepah dan busuk tongkol
jagung oleh Rhizoconia solani di
lapangan.
Prosiding
Kongres
Nasional XII dan Seminar Ilmiah
Perhimpunan
Fitopatologi
Indonesia. p. 545- 549.

484

Susiana Purwantisari, Rejeki Siti Ferniah


dan
Budi
Raharjo,
2008.
Pengendalian penyakit Lodoh
(Busuk umbi kentang dengan agen
hayati jamur- jamur antagonis
lokal. Bioma Vol 10 No 2. P 13-19.
Suharna, N. 2003. Interaksi antara
Trichoderma
harzianum,
Penicillium sp.dan Pseudomonas
serta kapasitas antagonismenya
terhadap
Phytoptora capsii in
vitro. Berita Biologi 6 (6): 747753.
Trianto dan Gunawan Sumantri. 2003.
Pengembangan
Trichoderma
harzianum untuk pengendalian
OPT Pangan dan Hortikultura.
Makalah. Lab. PHPT Wilayah
Semarang.

Soenartiningsih, M.S. Pabbage dan Nurasiah Djaenuddin : Penggunaan Inokulum Antagonis (Trichoderma
dan Gliocladium) dalam Menekan Penyakit Busuk Pelepah Pada Jagung

Anda mungkin juga menyukai