PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Menurut Mukminan (1997) Belajar merupakan suatu proses usaha sadar yang dilakukan
oleh individu untuk suatu perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak memiliki sikap
menjadi bersikap benar, dari tidak terampil menjadi terampil melakukan sesuatu. Belajar
tidak hanya sekedar memperoleh suatu pengetahuan atau informasi yang disampaikan saja.
Namun, juga melibatkan individu secara aktif membuat ataupun merevisi hasil belajar yang
diterimanya untuk dirinya.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Suwito(2012), bahwa tugas guru tidak hanya
menyampaikan informasi kepada peserta didik, tetapi harus menjadi fasilitator yang bertugas
memberikan kemudahan belajar (facilitate of learning) kepada seluruh peserta didik. Proses
pembelajaran yang akan disampaikan oleh seorang guru hendaknya terlebih dahulu harus
memperhatikan teori-teori yang melandasinya, dan bagaimana implikasinya dalam proses
pembelajaran kimia. Sehingga seorang guru harus berupaya mendesain pembelajaran kimia
yang menarik melalui teori-teori yang dikembangkan oleh para ahli.
Berikut ini kita akan membahas teori-teori belajar dan implikasinya dalam proses
pembelajaran kimia, diantaranya: teori belajar Gagne, Bruner, Oppul, Ausubel, Eggen,
Piaget, Vygotsky dan teori belajar tertentu dalam belajar.
Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan agar mahasiswa mampu memahami teori belajar yang
sesuai dengan karakteristik pembelajaran kimia, yakni :
1.3.1 Untuk mengetahui teori belajar Gagne
1.3.2 Untuk mengetahui teori belajar Brunner
1.3.3 Untuk mengetahui teori belajar Ausubel
1.3.4 Untuk mengetahui teori belajar Eggen
1.3.5 Untuk mengetahui teori belajar Piaget
1.3.6 Untuk mengetahui teori belajar Vygotsky
1.3.7 Untuk mengetahui teori belajar tententu dalam belajar
1.4 Metode Penulisan
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.
3.
4.
5.
Hasil dari tipe belajar ini adalah kemampuan untuk membeda-bedakan antar objek-objek
yang terdapat dalm lingkungan fisik.Misalnya : Menyebutkan macam-macam larutan
yang bersifat asam
6.
Tipe belajar konsep (Concept Learning)
Belajar pada tipe ini terutama dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman atau
pengertian tentang suatu yang mendasar. Misalnya: Manusia, kera,kucing adalah
makhluk menyusui.
7.
Tipe belajar kaidah (RuleLearning)
Tipe belajar ini menghasilkan suatu kaidah yang terdiri atas penggabungan beberapa
konsep. Misalnya : benda bulat berguling pada bidang yang miring.
8.
Tipe belajar pemecahan masalah (Problem solving)
Tipe belajar ini menghasilkan suatu prinsip yang dapat digunakan untuk memecahkan
suatu permasalahan.Misalnya:menemukan cara memperoleh energi dari tenaga atom
tanpa mencemarkan lingkungan hidup.
Dalam teorinya, Gagne mengemukakan delapan fase dalam suatu tindakan belajar
(Dahar, 1991:141-143). Fase-fase itu merupakan kejadian-kejadian eksternal yang dapat
distruktur oleh siswa. Kedelapan fese yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Fase Motivasi
Siswa (yang belajar) harus diberi motivasi untuk belajar dengan harapan, bahwa
belajar akan memperoleh hadiah. Misalnya, siswa-siswa dapat mengharapkan bahwa
informasi akan memenuhi keingintahuan merekatentang suatu pokok bahasan, akan
berguna bagi mereka atau dapat menolong mereka untuk memperoleh angka yang
lebih baik.
2. Fase Pengenalan
Siswa harus memberi perhatian pada bagian-bagian yang esensial dari suatu kajian
instruksional, jika belajar akan terjadi. Misalnya, siswa memperhatikan aspek-aspek
yang relevan tentang apa yang dikatakan guru, atau tentang gagasan-gagasan utama
dalam buku teks.
3. Fase Perolehan
Bila siswa memperhatikan informasi yang relevan, maka ia telah siap untuk menerima
pelajaran. Informasi tidak langsung terserap dalam memori ketika disajikan, informasi
itu di ubah kedalam bentuk yang bermakna yang dihubungkan dengan materi yang
telah ada dalam memori siswa.
4. Fase Retensi
Informasi baru yang diperoleh harus dipindahkan dari memori jangka pendek ke
memori jangka panjang. Ini dapat terjadi melalui pengulangan kembali (rehearsal),
praktek (practice), elaborasi atau lain-lainnya.
5. Fase Pemanggilan
Mungkin saja kita dapat kehilangan hubungan dengan informasi dalam memori
jangka-panjang. Jadi bagian penting dalam belajar adalah belajar memperoleh
hubungan dengan apa yang telah dipelajari, untuk memangil informasi yang telah
dipelajari sebelumnya.
6. Fase Generalisasi
Biasanya informasi itu kurang nilainya jika tidak dapat diterapkan di luar konteks
dimana informasi itu dipelajari. Jadi, generalisasiatau transfer informasi pada situasi4
situasi baru merupakan fase kritis dalam belajar. Transfer dapat ditolong dengan
memintapara siswa untuk menggunakan informasi dalam keadaan baru.
7. Fase Penampilan
Siswa harus memperhatikan bahwa mereka telah belajar sesuatu melalui penampilan
yang tampak.
8. Fase Umpan Balik
Para siswa memperoleh umpan balik tentang penampilan mereka yang menunjukkan
apakah mereka telah atau belum mengerti tentang apa yang diajarkan.
Berdasarkan analisisnya tentang kejadian-kejadian belajar, Gagne (Dahar, 1991:143145) menyarankan adanya kejadian-kejadian instruksi yang ditujukan pada guru dalam
menyajikan suatu pelajaran pada sekelompok siswa. Kejadian-kejadian instruksi itu adalah:
1. Mengaktifkan Motivasi
Langkah pertama dalam pembelajaran adalah memotivasi para siswa untuk belajar.
Kerap kali ini dilakukan dengan membangkitkan perhatian mereka dalam isi pelajaran, dan
mengemukakan kegunaannya.
2. Memberitahu Tujuan-tujuan Belajar
Kejadian instruksi kedua ini sangat erat kaitannya dengan kejadian instruksi pertama.
Sebagiandari mengaktifkan motivasi para siswa ialah dengan memberitahu mereka tentang
mengapa mereka belajar, apa yang mereka pelajari, dan apa yang akan mereka pelajari.
Memberi tahu tujuan belajar juga menolong memusatkan perhatian para siswa terhadap
aspek-aspek yang relevan tentang pelajaran.
3. Mengarahkan Perhatian
Gagne mengemukakan dua bentuk perhatian. Bentuk perhatian pertama berfungsi
untuk membuat siswa siap menerima stimulus-stimulus. Bentuk kedua dari perhatian disebut
persepsi selektif. Dengan cara ini siswa memperoleh informasi yang mana yang akan
diteruskan ke memori jangka pendek, cara ini dapat ditolong dengan cara mengeraskan suara
pada suatu kata atau menggaris bawah suatu kata atau beberapa kata dalam satu kalimat.
4. Merangsang Ingatan
Menurut Gagne bagian yang paling kritis dalam proses belajar adalah pemberian kode
pada informasi yang berasal darimemori jangka pendek yang disimpan dalam memori jangka
panjang. Guru dapat berusaha untuk menolong siswa-siswa dalam mengingat atau
mengeluarkan pengetahuan yang disimpan dalam memori jangka panjang itu. Cara menolong
ini dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaanpada siswa, yang merupakan
suatu cara pengulangan.
5. Menyediakan Bimbingan Belajar
Untuk memperlancar masuknya infomasi ke memori jangka panjang, diperlukan
bimbingan langsung dalam pemberian kode pada informasi. Untuk mempelajari informasi
verbal, bimbingan itu dapat diberikan dengan cara mengkaitkan informasi baru itu dengan
pengalaman siswa.
6. Meningkatkan Retensi
Retensi atau bertahannya materi yang di pelajari (jadi tidak terlupakan) dapat
diusahakan oleh guru dan siswa itu sendiri dengan cara sering mengulangi pelajaran itu. Cara
lain adalah dengan memberi banyak contoh, menggunakan tabel-tabel, menggunakan
diagram-diagram dan gambar-gambar.
5
menghubungkan atau mengaitkan informasi baru itu dengan struktur kognitifnya maka yang
terjadi adalah belajar bermakna.
Menurut Suwito (2012) Empat Tipe Belajar Menurut Ausubel:
1. Belajar dengan penemuan yang bermakna
Informasi yang dipelajari, ditentukan secara bebas oleh peserta didik. Peserta didik itu
kemudian menghubungkan pengetahuan yang baru itu dengan struktur kognitif yang dimiliki.
Misalnya peserta didik diminta menemukan sifat-sifat suatu bujur sangkar. Dengan
mengaitkan pengetahuan yang sudah dimiliki, seperti sifat-sifat persegi panjang, peserta didik
dapat menemukan sendiri sifat-sifat bujur sangkar tersebut.
2. Belajar dengan penemuan tidak bermakna
Informasi yang dipelajari, ditentukan secara bebas oleh peserta didik, kemudian ia
menghafalnya. Misalnya, peserta didik menemukan sifat-sifat bujur sangkar tanpa bekal
pengetahuan sifat-sifat geometri yang berkaitan dengan segiempat dengan sifat-sifatnya, yaitu
dengan penggaris dan jangka. Dengan alat-alat ini diketemukan sifat-sifat bujur sangkar dan
kemudian dihafalkan.
3. Belajar menerima yang bermakna
Informasi yang telah tersusun secara logis di sajikan kepada peserta didik dalam
bentuk final/ akhir, peserta didik kemudian menghubungkan pengetahuan yang baru itu
dengan struktur kognitif yang dimiliki. Misalnya peserta didik akan mempelajari akar-akar
persamaan kuadrat. Pengajar mempersiapkan bahan-bahan yang akan diberikan yang
susunannya diatur sedemikian rupa sehingga materi persamaan kuadrat tersebut dengan
mudah tertanam kedalam konsep persamaan yang sudah dimiliki peserta didik. Karena
pengertian persamaan lebih inklusif dari pada persamaan kuadrat, materi persamaan tersebut
dapat dipelajari peserta didik secara bermakna.
4. Belajar menerima yang tidak bermakna
Dari setiap tipe bahan yang disajikan kepada peserta didik dalam bentuk final. Peserta
didik tersebut kemudian menghafalkannya. Bahan yang disajikan tadi tanpa memperhatikan
pengetahuan yang dimiliki peserta didik.
Prasyarat Belajar Bermakna
a. Kondisi dan sikap peserta didik terhadap tugas, hendaknya bersesuaian dengan intensi
peserta didik. Apabila peserta didik melaksanakan tugas dengan sikap bahwa ia ingin
memahami bahan pelajaran dan mengaplikasikan bahan baru serta menghubungkan
bahan pelajaran yang terdahulu, dikatakan peserta didik itu belajar bahan baru dengan
cara yang bermakna. Sebaliknya bila peserta didik itu tidak berkehendak mengaitkan
bahan yang dipelajari dengan informasi yang dimiliki, maka belajar itu tidak bermakna.
Demikianlah banyak peserta didik yang tidak berusaha mengerti matematika, cenderung
mengalami kegagalan dan akhirnya membenci matematika.
b. Tugas-tugas yang diberikan kepada peserta didik harus sesuai dengan struktur kognitif
peserta didik sehingga peserta didik tersebut dapat mengasimilasi bahan baru secara
bermakna. Belajar bermakna pada tahap mula-mula memberikan pengertian kepada
bahan baru sehingga bahan baru itu akan terserap dan kemudian diingat peserta didik. Ia
tidak menghafal asosiasi stimulus-respon yang terpisah-pisah.
9
10
Kemandirian yang positif akan berhasil dengan baik apabila setiap anggota kelompok
merasa sejajar dengan anggota yang lain. Artinya satu orang tidak akan berhasil kecuali
anggota yang lain merasakan juga keberhasilannya. Apapun usaha yang dilakukan oleh
masing-masing anggota tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri tetapi untuk semua
anggota kelompok. Kemandirian yang positif merupakan inti pembelajaran kooperatif.
b.
Peningkatan interaksi
Pada saat guru menekankan kemandirian yang positif, selayaknya guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk saling mengenal, tolong menolong, saling bantu, saling
mendukung, memberi semangat dan saling memberi pujian atas usahanya dalam belajar.
Aktivitas kognitif dan dinamika kelompok terjadi pada saat siswa diikutsertakan untuk
belajar mengenal satu sama lain. Termasuk dalam hal ini menjelaskan bagaimana
memecahkan masalah, mendiskusikan konsep yang akan dikerjakan, menjelaskan pada
teman sekelas dan menghubungkan dengan pelajaran yang terakhir dipelajari.
c.
Pertanggungjawaban individu
Tujuan kelompok dalam pembelajaran kooperatif adalah agar masing-masing anggota
menjadi lebih kuat pengetahuannya. Siswa belajar bersama sehingga setelah itu mereka
dapat melakukan yang lebih baik sebagai individu. Untuk memastikan bahwa masingmasing anggota lebih kuat, siswa harus membuat pertanggungjawaban secara individu
terhadap tugas yang menjadi bagiannya dalam bekerja. Pertanggungjawaban individu
akan terlaksana jika perbuatan masing-masing individu dinilai dan hasilnya
diberitahukan pada individu dan kelompok.
Dalam proses belajar mengajar, para siswa perlu dilatih untuk bekerja sama dengan
rekan-rekan sebayanya. Ada kegiatan belajar tertentu yang akan lebih berhasil jika dikerjakan
secara bersama-sama, misalnya dalam kerja kelompok, daripada jika dikerjakan sendirian
oleh masing-masing siswa. Latihan kerja sama sangatlah penting dalam proses pembentukan
kepribadian anak. Pembelajaran kooperatif mengajarkan kepada siswa keterampilan
kerjasama dan kolaborasi. Keterampilan ini amatlah penting untuk dimiliki siswa dalam
rangka memahami konsep-konsep yang sulit, berpikir kritis dan kemampuan membantu
teman.
Para ahli psikologi umumnya sependapat bahwa siswa-siswa mudah memahami
konsep-konsep yang rumit dan abstrak jika disertai dengan contoh-contoh konkret dan
dikerjakan secara bersama-sama. Dalam ranah pengembangan kepribadian dan konsep diri
siswa, konselor di sekolah dapat menerapkan pembelajaran kooperatif dalam konseling
melalui teknik sebagai berikut:
1. Bimbingan kelompok
Dalam bimbingan kelompok sebaiknya dibentuk kelompok-kelompok kecil yang
lebih kurang terdiri dari 4-5 orang. Murid-murid yang telah tergabung dalam kelompokkelompok kecil itu mendiskusikan bersama sebagai permasalahan termasuk didalamnya
permasalahan belajar.
2. Peer Konseling
Melalui peer konseling, hubungan sosial dan kecerdasan emosional siswa meningkat
dan menjadi lebih baik. Dalam hal ini siswa bisa saling bekerjasama untuk
menyelesaikan permasalahan.
3. Organisasi murid dan kegiatan bersama
11
Kegiatan bersama merupakan teknik bimbingan yang baik, karena dengan melakukan
kegiatan bersama mendorong anak saling membantu sehingga relasi sosial positif dapat
dikembangkan dengan baik. Organisasi siswa dapat membantu dalam proses
pembentukan anak, baik secara pribadi maupun secara sebagai anggota masyarakat.
4. Sosiodrama
Sosiodrama adalah suatu cara dalam bimbingan yang memberikan kesempatan pada
murid-murid untuk mendramatisasikan sikap, tingkah laku atau penghayatan seseorang.
Maka dari itu sosiadrama dipergunakan dalam pemecahan-pemecahan masalah.
2.5 Teori Belajar Menurut Piaget
Jean Piaget meneliti dan menulis subjek perkembangan kognitif ini dari tahun 1927
sampai 1980. Berbeda dengan para ahli-ahli psikologi sebelumnya, Piaget menyatakan bahwa
cara berpikir anak bukan hanya kurang matang dibandingkan dengan orang dewasa karena
kalah pengetahuan , tetapi juga berbeda secara kualitatif. Menurut penelitiannya juga bahwa
tahap-tahap perkembangan individu /pribadi serta perubahan umur sangat mempengaruhi
kemampuan belajar individu.
Jean Piaget menyebut bahwa struktur kognitif ini sebagai skemata (Schemas), yaitu
kumpulan dari skema-skema. Seseorang individu dapat mengikat, memahami, dan
memberikan respons terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya skemata ini. Skemata
ini berkembang secara kronologis, sebagai hasil interaksi antara individu dengan
lingkungannya. Dengan demikian seorang individu yang lebih dewasa memiliki struktur
kognitif yang lebih lengkap dibandingkan ketika ia masih kecil.
Piaget memakai istilah scheme secara interchangeably dengan istilah struktur. Scheme
adalah pola tingkah laku yang dapat diulang . Scheme berhubungan dengan :
1. Refleks-refleks pembawaan ; misalnya bernapas, makan, minum.
2. Scheme mental ; misalnya scheme of classification, scheme of operation. ( pola tingkah
laku yang masih sukar diamati seperti sikap, pola tingkah laku yang dapat diamati.
Jika schemas / skema / pola yang sudah dimiliki anak mampu menjelaskan hal-hal
yang dirasakan anak dari lingkungannya, kondisi ini dinamakan keadaan ekuilibrium
(equilibrium), namun ketika anak menghadapi situasi baru yang tidak bisa dijelaskan dengan
pola-pola yang ada, anak mengalami sensasi disekuilibrium (disequilibrium) yaitu kondisi
yang tidak menyenangkan.
Sebagai contoh karena masih terbatasnya skema pada anak-anak : seorang anak yang
baru pertama kali melihat buaya ia menyebutnya sebagai cecak besar, karena ia baru memiliki
konsep cecak yang sering dilihat dirumahnya. Ia memiliki konsep cecak dalam skemanya dan
ketika ia melihat buaya untuk pertama kalinya, konsep cecaklah yang paling dekat dengan
stimulus. Peristiwa ini pun bisa terjadi pada orang dewasa. Hal ini terjadi karena kurangnya
perbendaharaan kata atau dalam kehidupan sehari-harinya konsep tersebut jarang ditemui.
Misalnya : seringkali orang menyebut kuda laut itu sebagai singa laut, padahal kedua
binatang itu jauh berbeda cara hidupnya, lingkungan kehidupan, maupun bentuk tubuhnya
dengan kuda ataupun singa. Asosiasi tersebut hanya berdasarkan sebagian bentuk tubuhnya
yang hampir sama.
Perkembangan skemata ini berlangsung terus -menerus melalui adaptasi dengan
lingkungannya. Skemata tersebut membentuk suatu pola penalaran tertentu dalam pikiran
12
a.
b.
c.
d.
anak. Makin baik kualitas skema ini, makin baik pulalah pola penalaran dan tingkat
intelegensi anak itu.
Menurut Piaget, intelegensi itu sendiri terdiri dari tiga aspek,
a. Struktur ; disebut juga scheme seperti yang dikemukakan diatas
b. Isi ; disebut juga content, yaitu pola tingkah laku spesifik tatkala individu menghadapi
sesuatu masalah.
c. Fungsi ; disebut fungtion, yaitu yang berhubungan dengan cara seseorang mencapai
kemajuan intelektul.
Proses terjadinya adaptasi dari skemata yang telah terbentuk dengan stimulus baru
dilakukan dengan dua cara, yaitu :
a. Asimilasi
Asimilasi Adalah proses pengintegrasian secara langsung stimulus baru ke dalam
skemata yang telah terbentuk / proses penggunaan struktur atau kemampuan individu
untuk mengatasi masalah dalam lingkungannya.
b. Akomodasi
Akomodasi Adalah proses pengintegrasian stimulus baru ke dalam skema yang telah
terbentuk secara tidak langsung/ proses perubahan respons individu terhadap stimuli
lingkungan.
Dalam struktur kognitif setiap individu mesti ada keseimbangan antara asimilasi
dengan akomodasi. Keseimbangan ini dimaksudkan agar dapat mendeteksi persamaan dan
perbedaan yang terdapat pada stimulus-stimulus yang dihadapi. Perkembangan kognitif ini
pada dasarnya adalah perubahan dari keseimbangan yang dimiliki ke keseimbangan baru
yang diperolehnya.
Dengan penjelasan diatas maka dapatlah kita ketahui tentang bagaimana terjadinya
pertumbuhan dan perkembangan intelektual. Pertumbuhan intelektual terjadi karena adanya
proses yang kontinu dari adanya equilibrium disequilibrium. Bila individu dapat menjaga
adanya equilibrium, individu akan dapat mencapai tingkat perkembangan intelektual yang
lebih tinggi.
Piaget mengidentifikasi empat faktor yang mempengaruhi transisi tahap perkembangan
anak, yaitu :
Kematangan
Pengalaman fisik / lingkungan
Transmisi social
Equilibrium
Selanjutnya Piaget mengemukakan tentang perkembangan kognitif yang dialami
setiap individu secara lebih rinci, mulai bayi hingga dewasa. Teori ini disusun berdasarkan
studi klinis terhadap anak-anak dari berbagai usia golongan menengah di Swiss.
Berdasarkan hasil penelitiannya, Piaget mengemukakan ada empat tahap
perkembangan kognitif dari setiap individu yang berkembang secara kronologis :
a. Tahap Sensori Motor : 0 2 Tahun
b. Tahap Pra Operasi : 2 7 Tahun
c. Tahap Operasi Konkrit : 7 11 Tahun
d. Tahap Operasi Formal : 11 Keatas
Sebaran umur pada seiap tahap tersebut adalah rata-rata (sekitar) dan mungkin pula
terdapat perbedaan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya, antara
13
individu yang satu dengan individu yang lainnya. Dan teori ini berdasarkan pada hasil
penelitian di Negeri Swiss pada tahun 1950-an.
a. Tahap Sensori Motor (Sensory Motoric Stage)
Bagi anak yang berada pada tahap ini, pengalaman diperoleh melalui fisik (gerakan
anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indra). Pada mulanya pengalaman itu bersatu
dengan dirinya, ini berarti bahwa suatu objek itu ada bila ada pada penglihatannya.
Perkembangan selanjutnya ia mulai berusaha untuk mencari objek yang asalnya terlihat
kemudian menghilang dari pandangannya, asal perpindahanya terlihat. Akhir dari tahap ini ia
mulai mencari objek yang hilang bila benda tersebut tidak terlihat perpindahannya. Objek
mulai terpisah dari dirinya dan bersamaan dengan itu konsep objek dalam struktur
kognitifnya pun mulai dikatakan matang. Ia mulai mampu untuk melambungkan objek fisik
ke dalam symbol-simbol, misalnya mulai bisa berbicara meniru suara kendaraan, suara
binatang, dll.
Kesimpulan pada tahap ini adalah : Bayi lahir dengan refleks bawaan, skema
dimodifikasi dan digabungkan untuk membentuk tingkah laku yang lebih kompleks. Pada
masa kanak-kanak ini, anak beum mempunyai konsepsi tentang objek yang tetap. Ia hanya
dapat mengetahui hal-hal yang ditangkap dengan indranya.
b. Tahap Pra Operasi ( Pre Operational Stage)
Tahap ini adalah tahap persiapan untuk pengorganisasian operasi konkrit. Istilah
operasi yang digunakan oleh Piaget di sini adalah berupa tindakan-tindakan kognitif, seperti
mengklasifikasikan sekelompok objek (classifying), menata letak benda-benda menurut
urutan tertentu (seriation), dan membilang (counting), (mairer, 1978 :24). Pada tahap ini
pemikiran anak lebih banyak berdasarkan pada pengalaman konkrit daripada pemikiran logis,
sehingga jika ia melihat objek-ojek yang kelihatannya berbeda, maka ia mengatakanya
berbeda pula. Pada tahap ini anak masih berada pada tahap pra operasional belum memahami
konsep kekekalan (conservation), yaitu kekekalan panjang, kekekalan materi, luas, dll. Selain
dari itu, cirri-ciri anak pada tahap ini belum memahami dan belum dapat memikirkan dua
aspek atau lebih secara bersamaan.
Kesimpulan pada tahap ini adalah : Anak mulai timbul pertumbuhan kognitifnya, tetapi
masih terbatas pada hal-hal yang dapat dijumpai (dilihat) di dalam lingkungannya saja.
c. Tahap Operasi Konkrit (Concrete Operational Stage)
Anak-anak yang berada pada tahap ini umumnya sudah berada di Sekolah Dasar, dan
pada umumnya anak-anak pada tahap ini telah memahami operasi logis dengan bantuan
benda-benda konkrit. Kemampuan ini terwujud dalam memahami konsep kekekalan,
kemampuan untuk mengklasifikasikan dan serasi, mampu memandang suatu objek dari sudut
pandang yang berbeda secara objek
Anak pada tahap ini sudah cukup matang untuk menggunakan pemikiran logika,
tetapi hanya objek fisik yang ada saat ini (karena itu disebut tahap operasional konkrit).
Namun, tanpa objek fisik di hadapan mereka, anak-anak pada tahap ini masih mengalami
kesulitan besar dalam menyelesaikan tugas-tugas logika.
Kesimpulan pada tahap ini adalah : Anak telah dapat mengetahui symbol-simbol
matematis, tetapi belum dapatt menghadapi hal-hal yang abstrak (tak berwujud).
14
15
Setiap kemampuan seseorang akan tumbuh dan berkembang melewati dua aturan,
yaitu tataran sosial lingkungannya dan tataran psikologis yang ada pada dirinya.
2. Zona Perkembangan Proksimal (Zone of Proximal Development)
Meskipun pada akhirnya anak-anak akan mempelajari sendiri beberapa konsep
melalui pengalaman sehari-hari, Vygotsky percaya bahwa anak akan jauh lebih
berkembang jika berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tidak akan pernah
mengembangkan pemikiran operasional formal tanpa bantuan orang lain. Vygotsky
membedakan antara actual development dan potential development pada anak. Actual
development ditentukan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan
orang dewasa atau guru. Sedangkan potensial development membedakan apakah seorang
anak dapat melakukan sesuatu, memecahkan masalah di bawah petunjuk orang dewasa
atau kerjasama dengan teman sebaya.
3. Mediasi
Mediator yang diperankan lewat tanda maupun lambang adalah kunci utama
memahami proses-proses sosial dan psikologis. Makanya, jika dikaji lebih mendalam
teori perkembangan kognitif Vygotsky akan ditemukan dua jenis mediasi, yaitu
metakognitif dan mediasi kognitif. Media metakognitif adalah penggunaan alat-alat
semiotic yang bertujuan untuk melakukan self regulation (pengaturan diri) yang
mencakup self planning, self monitoring, self checking, dan self evaluation. Media ini
berkembang dalam komunikasi antar pribadi. Sedangkan media kognitif adalah
penggunaan alat-alat kognitif untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan
pengetahuan tertentu. Sehingga media ini dapat berhubungan dengan konsep spontan
(yang mungkin salah) dan konsep ilmiah (yang lebih terjamin kebenarannya).
Vygotsky lebih menekankan pada peran aspek sosial dalam pengembangan intelektual
atau kognitif anak. Vygotsky memandang bahwa kognitif anak berkembang melalui interaksi
sosial. Anak mengalami interaksi dengan orang yang lebih tahu. Secara singkat, teori
perkembangan sosial berpendapat bahwa interaksi sosial dengan budaya mendahului.
Maksudnya dari relasi dengan budaya membuat seorang anak mengalami kesadaran dan
perkembangan kognisi. Jadi intinya Vygotsky memusatkan perhatiannya pada hubungan
dialektik antara individu dan masyarakat dalam pembentukan pengetahuan.
Pengetahuan terbentuk sebagai akibat dari interaksi sosial dan budaya seorang anak.
Pengetahuan tersebut terbagi menjadi dua bentuk, yaitu pengetahuan spontan dan
pengetahuan ilmiah. Pengetahuan spontan mempunyai sifat lebih kurang teridentifikasi secara
jelas, tidak logis, dan sistematis. Sedangkan pengetahuan ilmiah sebuah pengetahuan yang
diperoleh dari pendidikan formal dan sifatnya lebih luas, logis, dan sistematis. Kemudian
proses belajar adalah sebuah perkembangan dari pengertian spontan menuju pengertian yang
lebih ilmiah.
2.7 Teori Pembelajaran Tertentu dalam Belajar
2.7.1 Teori Behavioristik
Menurut aliran behavioristik, belajar pada hakikatnya adalah pembentukan asosiasi
antara kesan yang ditangkap panca indra dengan kecemderungan untuk bertindak atau
hubungan antara stimulus dan respons (R-S). belajar adalah upaya untuk membentuk
hubungan stimulus dan respons sebanyak-banyaknya.
16
behavioristik terhadap binatang, maka dalam konteks pembelajaran ada beberapa prinsip
umum yang harus diperhatikan. Menurut Mukminan (1997: 23), beberapa prinsip tersebut
adalah:
1. Teori ini beranggapan bahwa yang dinamakan belajar adalah perubahan tingkah laku.
Seseorang dikatakan telah belajar sesuatu jika yang bersangkutan dapat menunjukkan
perubahan tingkah laku tertentu.
2. Teori ini beranggapan bahwa yang terpenting dalam belajar adalah adanya stimulus
dan respons, sebab inilah yang dapat diamati. Sedangkan apa yang terjadi di antaranya
dianggap tidak penting karena tidak dapat diamati.
3. Reinforcement, yakni apa saja yang dapat menguatkan timbulnya respons, merupakan
faktor penting dalam belajar. Respons akan semakin kuat apabila reinforcement (baik
positif maupun negatif) ditambah.
Jika yang menjadi titik tekan dalam proses terjadinya belajar pada diri siswa adalah
timbulnya hubungan antara stimulus dengan respons, di mana hal ini berkaitan dengan
tingkah laku apa yang ditunjukkan oleh siswa, maka penting kiranya untuk memperhatikan
hal-hal lainnya di bawah ini, agar guru dapat mendeteksi atau menyimpulkan bahwa proses
pembelajaran itu telah berhasil. Hal yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Guru hendaknya paham tentang jenis stimulus apa yang tepat untuk diberikan kepada
siswa.
2. Guru juga mengerti tentang jenis respons apa yang akan muncul pada diri siswa.
3. Untuk mengetahui apakah respons yang ditunjukkan siswa ini benar-benar sesuai dengan
apa yang diharapkan, maka guru harus mampu :
a. Menetapkan bahwa respons itu dapat diamati (observable)
b. Respons yang ditunjukkan oleh siswa dapat pula diukur (measurable)
c. Respons yang diperlihatkan siswa hendaknya dapat dinyatakan secara eksplisit atau jelas
kebermaknaannya (eksplisit)
d. Agar respons itu dapat senantiasa terus terjadi atau setia dalam ingatan/tingkah laku siswa,
maka diperlukan sekali adanya semacam hadiah (reward).
Aplikasi teori behavioristik dalam proses pembelajaran untuk memaksimalkan
tercapainya tujuan pembelajaran (siswa menunjukkan tingkah laku / kompetensi sebagaimana
telah dirumuskan), guru perlu menyiapkan dua hal, sebagai berikut:
a. Menganalisis Kemampuan Awal dan Karakteristik Siswa
b. Merencanakan materi pembelajaran yang akan dibelajarkan
Sedangkan langkah umum yang dapat dilakukan guru dalam menerapkan teori behaviorisme
dalam proses pembelajaran adalah :
1. Mengidentifikasi tujuan pembelajaran.
2. Melakukan analisis pembelajaran
3. Mengidentifikasi karakteristik dan kemampuan awal pembelajar
4. Menentukan indikator-indikator keberhasilan belajar.
18
Teori Kognitivisme
1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar
dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak
2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru
harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
3. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi
dengan teman-temanya.
2.7.3
Teori Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah integrasi prinsip yang diekplorasi melalui teori chaos,
network, dan teori kekompleksitas dan organisasi diri. Belajar adalah proses yang terjadi
dalam lingkungan samar-samar dari peningkatan elemenelemen inti- tidak seluruhnya
dikontrol oleh individu. Belajar (didefinisikan sebagai pengetahuan yang dapat ditindak)
dapat terletak di luar dirikita (dalam organisasi atau suatu database), terfokus pada hubungan
serangkaian informasi yang khusus, dan hubungan tersebut memungkinkan kita belajar lebih
banyak dan lebih penting dari pada keadaan yang kita tahu sekarang.
Konstruktivisme diarahkan oleh pemahaman bahwa keputusan didasarkan pada
perubahan yang cepat. Informasi baru diperoleh secara kontinu, yang penting adalah
kemampuan untuk menentukan antara informasi yang penting dan tidak penting. Yang juga
penting adalah kemampuan mengetahui kapan informasi berganti (baru). Prinsip-prinsip
konstruktivisme sebagaimana yang diungkapkan Siemens (2005) adalah:
1. Belajar dan pengetahuan terletak pada keberagaman opini.
2. Belajar adalah suatu proses menghubungkan (connecting)sumber-sumber informasi
tertentu.
3. Belajar mungkin saja terletak bukan pada alat-alat manusia.
4. Kapasitas untuk mengetahui lebih banyak merupakan hal yang lebih penting dari pada
apa yang diketahui sekarang.
5. Memelihara dan menjaga hubungan-hubungan (connections) diperlukan untuk
memfasilitasi belajar berkelanjutan.
6. Kemampuan untuk melihat hubungan antara bidang-bidang, ide-ide, dan konsep
merupakan inti keterampilan.
7. Saat ini (pengetahuan yang akurat dan up-to-date) adalah maksud dari semua aktivitas
belajar konektivistik.
8. Penentu adalah proses belajar itu sendiri. Pemilihan atas apa yang dipelajari dan
makna dari informasi yang masuk nampak melalui realita yang ada.
2.7.4
mengikut kehendak dan perkembangan emosi pelajar itu. Beliau juga menjelaskan bahawa
setiap individu mempunyai potensi dan keinginan untuk mencapai kecemerlangan kendiri.
Maka, guru hendaklah menjaga kendiri pelajar dan member bimbingan supaya potensi
mereka dapat diperkembangkan ke tahap optimum.
Menurut Teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia.
\proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya
sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambatlaun ia mampu mencapai
aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar
dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.
Tujuan utama teori humanistik adalah pendidik membantu siswa untuk
mengembangkan dirinya, untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan
membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Para ahli
humanistik melihat adanya dua bagian pada proses belajar, ialah :
1. Proses pemerolehan informasi baru,
2. Personalia informasi ini pada individu
Tokoh penting dalam teori belajar humanistik secara teoritik antara lain adalah:
1. Arthur Combs (1912-1999)
2. Maslow
3. Carl Rogers
Implikasi Teori Belajar Humanistik
Guru Sebagai Fasilitator
Psikologi humanistik memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator yang berikut ini
adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas sifasilitator. Ini
merupakan ikhtisar yang sangat singkat dari beberapa guidenes(petunjuk):
1. Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi
kelompok, atau pengalaman kelas
2. Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di
dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
3. Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuantujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam
belajar yang bermakna tadi.
4. Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas
dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
5. Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat
dimanfaatkan oleh kelompok.
6. Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik
isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan
cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok
21
7. Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat berperanan
sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut
menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti siswa yang lain.
8. Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga
pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil
secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa
9. Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan
yang dalam dan kuat selama belajar
Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk menganali dan
menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
22
a. Menurut Gagne, belajar itu merupakan suatu proses yang memungkinkan seseorang
untuk mengubah tingkah lakunya cukup cepat, dan perubahan tersebut bersifat relatif
tetap, sehingga perubahan yang serupa tidak perlu terjadi berulang kali setiap
menghadapi situasi yang baru.ada 8 tipe belajar menurut gagne, diantaranya tipe belajar
tanda, tipe belajar rangsang-reaksi, tipe belajar berangkai, tipe belajar asosiasi verbal,
tipe belajar membedakan, tipe belajar konsep, tipe belajar kaidah, tipe belajar pemecahan
masalah.
b. Menurut Brunner dalam proses belajar dapat dibedakan tiga fase, yaitu, informasi,
trnasformasi, dan evaluasi.
c. Ausubel merupakan pencetus teori belajar bermakna, dimana belajar bermakna
merupakan suatu proses untuk mengaitkan informasi baru dengan konsep-konsep relevan
yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang.
d. Teori belajar menurut Eggen merupakan pembelajaran kooperatif sebagai sekumpulan
strategi mengajar yang digunakan guru agar siswa saling membantu dalam mempelajari
sesuatu.
e. Konsep-konsep teori belajar menurut vygotsky anatara lain, hukum genetik tentang
perkembangan, zona perkembangan proksimal, mediasi.
f. Piaget menyatakan bahwa cara berfikir anak bukan hanya kurang matang dibandingkan
dengan orang dewasa karena kalah pengetahuan, tetapi juga berbeda secara kualitatif,
dimana tahap-tahap perkembangan individu serta perubahan umur sangat mempengaruhi
kemampuan belajar individu
g. Teori belajar tertentu terdiri dari empat aspek diantaranya behavioristik, kognitif,
konstruktivisme, humanistik
3.2
Saran
Demikianlah penyusunan makalah ini saya buat. Penulis sadar bahwa dalam
penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dari harapan semua pihak. Akan
tetapi, dengan segala kekurangan dan keterbatasan makalah ini, mudah-mudahan dapat
bermanfaat dan menambah wawasan pengetahuan bagi yang membaca dan memahaminya.
Penulis mengharapkan agar pembaca sekalian harus membahas lagi dan termotivasi
untuk mengkaji lebih dalam tentang teori belajar dan implikasinya terhadap pembelajaran
kimia.
DAFTAR PUSTAKA
Arends, Richard I.2008. Learning to Teach. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
23
Dahar, R.W. 1988. Teori-teori Belajar. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Dirjen Dikti. Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.
Kauchak,Donald P dan Eggen, Paul D.2007. Educational psychology. Jakarta: Indeks
Mukminan. 1997. Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: P3G IKIP.
Suyanti, Retno Dwi. 2010. Strategi Pembelajaran Kimia. Yogyakarta: Graha Ilmu
Suwito,Vivien Anjadi .2012. Teori Belajar. http://vivienanjadi.blogspot.com/2012/05/teoribelajar.html. diakses pada tanggal 18 Oktober pukul 16:20 WIB
Herdy.
2010.
teori-teori
belajar
piaget,
bruner
dan
vygotsky.
http://herdy07.wordpress.com/2010/05/27/teori-teori-belajar-piaget-brunervygotsky/ diakses pada tannggal 18 Oktober pukul 16:34 WIB
24