Oleh:
Christine Notoningtiyas S, dr.
Pendamping:
Muhammad Fikri, dr.
Indah Budi Susilowati, dr.
disebabkan
oleh
keterlambatan
diagnosis
dan
penanganan
dini
ILUSTRASI KASUS
I. ANAMNESA
A. Identitas Penderita
Nama
: Ny. F
Umur
: 23 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Alamat
No RM
: 00047390
Tanggal Masuk
: 7 Februari 2014
Jam Masuk
: 21.30
HPMT
: 30-6-2014
HPL
: 07-4-2015
UK
: 31+5 minggu
B. Keluhan Utama
Nyeri kepala
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Datang seorang G2 P0 A1, 23 tahun, kiriman dari RS Dr Oen dengan
keterangan PEB, pasien merasa hamil 7 bulan lebih, gerakan janin masih
dirasakan, kenceng-kenceng teratur belum dirasakan, air kawah belum
dirasakan keluar, keluar lendir darah (-). Nyeri kepala (+), kejang (-), nyeri di
sekitar ulu hati (-), pandangan mata kabur (-), mual(-), muntah(-).
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat DM
: disangkal
Riwayat Asma
: disangkal
: disangkal
Riwayat Hipertensi
: disangkal
2
: disangkal
E. Riwayat Fertilitas
Belum dapat dinilai
F. Riwayat Obstetri
Buruk
G. Riwayat Ante Natal Care (ANC)
Teratur, di bidan dan puskesmas
H. Riwayat Haid
I.
Menarche
: 15 tahun
Lama menstruasi
: 7 hari
Siklus menstruasi
: 28 hari
Riwayat Perkawinan
Menikah 1 kali, 1 tahun dengan suami sekarang
J. Riwayat KB
Tidak menggunakan kontrasepsi
II. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status generalis
Tanggal 7 Februari 2015
Keadaan Umum : baik, compos mentis, gizi cukup
Tanda vital
T : 168/102 mmHg
Rr : 20 x/ menit
N : 98 x/ menit
S : 36,5 0C
SpO2 : 99%
Kepala : Mesocephal
Mata : Conjungtiva subnemis (+/+), Sclera Ikterik (-/-)
THT
mammae
hipertrofi
(+),
areola
mammae
hiperpigmentasi (+)
Cor
: Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Palpasi
Perkusi
: Sonor / sonor
Perkusi
Genital
Ekstremitas
akral dingin
-
Status Obstetri
Inspeksi
Kepala
: simetris, mesocephal
Mata
Thoraks
: Glandula
mammae
hipertrofi
(+),
areola
mammae
hiperpigmentasi (+)
Abdomen
Genetalia Eksterna
Palpasi
Abdomen
Pemeriksaan Leopold :
I
: Teraba tinggi fundus uteri setinggi tepi atas pusat, teraba bagian besar
dan lunak di fundus, kesan bokong
Auskultasi
DJJ (+) 12-12-12, reguler.
Pemeriksaan Dalam (VT) :
V/U tenang, dinding vagina dalam batas normal, portio lunak mencucu di
belakang, pembukaan (-),efficement 0%, kulit ketuban belum dapat dinilai,
preskep, bagian terbawah janin belum masuk panggul, penunjuk belum
dapat dinilai, air ketuban (-), lendir darah (-).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Protein
: +3
Reduksi
: (-)
Lab Darah
Hb
: 10,6 g/dl
Hct
: 31 %
AE
: 3,72. 106 /L
AL
: 13,07 /L
Albumin
: 3,66 g/dl
Total protein
: 7,06 g/dl
AT
: 207. 103 /L
Gol darah
:B
SGOT
: 42 u/l
HbsAg
: (-)
GDS
: 98 mg/dl
SGPT
: 16 u/l
Ureum
: 20 mg/dl
Kreatinin
: 0,5 mg/dl
III.KESIMPULAN
Seorang G2P0A1, 23 tahun, UK 31+5 minggu. T : 168/102 mmHg. Janin tunggal,
intra uteri, memanjang, presentasi kepala, punggung kanan, his (-), DJJ (+)
reguler. Kepala belum masuk panggul. Portio lunak mencucu di belakang,
pembukaan (-), kulit ketuban belum dapat dinilai, preskep, bagian terbawah janin
belum masuk panggul, penunjuk belum dapat dinilai, air ketuban (-), lendir darah
(-). Ekstrimitas inferior didapatkan oedema. Dari pemeriksaan laboratorium
didapatkan proteinuria +3, Hb : 10,6 g/dl, Hct : 31 %, AE : 3,72. 106 /L, AL:
13,07 /L, Albumin : 3,66 g/dl, SGOT: 42 u/l
IV. DIAGNOSIS
PEB pada G2 P0 A1 UK 31+5 minggu belum dalam persalinan
TERAPI
Konsul dr Bima, Sp.Og :
-
Infus RL 20 tpm
O2 3 liter/menit
A. Follow Up
Tanggal
7 Februari 2015
Perjalanan Penyakit
Instruksi
S: pusing (+), tidak bisa
1. Inf RL 20 tpm
TD: 168/102
tidur (+)
2. O2 3 liter/menit
N: 98x/menit
O:
3. Dexamethason Injeksi 1
RR: 20x/menit
t: 36,4 oC
1. Inf RL 20 tpm
Jm 12.00
muntah
(+)
2. O2 3 liter/menit
TD: 160/70
setelah
disuntik
N: 86x/menit
MgSO4
RR: 20x/menit
O:
t: 36,4 oC
terutama
obat
3. Dexamethason Injeksi 1
amp/12 jam
9 Februari 2015
S: -
TD: 160/90
O:
2. O2 3 liter/menit
N: 88x/menit
3. Dexamethason Injeksi 1
RR: 20x/menit
t: 36,6 oC
Lab tgl 9 Feb 2015
Urinalisa
Kejernihan
: +2
Reduksi
: (-)
amp/12 jam
4. inf
RL
500ml+drip
S: -
1. Inf RL 20 tpm
TD: 160/130
O:
2. O2 3 liter/menit
N: 88x/menit
3. inf
RR: 20x/menit
t: 36,6 oC
RL
500ml+drip
S: -
1. O2 3 liter/menit
TD: 160/110
O:
2. inf
N: 88x/menit
RR: 20x/menit
t: 36,6 oC
RL
500ml+drip
B. Diskusi
1. Diagnosis Awal pasien
Pasien merupakan rujukan RS Dr Oen Surakarta dengan keterangan PEB
usia kehamilan 31+5 minggu. Dari pemeriksaan fisik tekanan darah pasien
168/102 mmHg (sistolik 160 mmHg dan diastol 90 mmHg), pemeriksaan
laboratorium urinalisa proteinuria +3, gejala gangguan otak yakni nyeri kepala,
peningkatan SGOT (42 ug/dl) . Riwayat penyakit dahulu pasien mengaku tidak
memiliki riwayat hipertensi sebelum kehamilan. Melihat usia kehamilan pasien
diatas 20 minggu disertai gejala dan tanda tersebut pasien dapat di diagnosis
dengan preeklamsia berat. Dari anamnesa pasien tidak didapatkan gejala-gejala
impending eklamsia yang meliputi mata kabur, mual muntah, nyeri epigastrium,
nyeri kuadran kanan atas abdomen.
Pemeriksaan laboratorium tambahan pada kasus di atas untuk mencari
penegakan sindroma HELLP pada kasus preeklamsia karena diagnosis
ditegakkan berdasarkan hasil laboratorium, walaupun sampai saat ini belum ada
batasan yang tegas tentang nilai batas untuk masing-masing parameter.
Gambaran hemolisis merupakan gambaran yang spesifik pada sindroma HELLP.
10
patologik. Edema patologik yaitu edema nondependent pada muka dan tangan,
atau edema generalisata (anasarka) dan biasanya disertai kenaikan berat badan
yang cepat.
Pada pre eklampsia terjadi vasospasme menyeluruh pada hampir semua
organ tubuh termasuk pada sistem saraf pusat. Hal tersebut menyebabkan
peningkatan volume cairan intraseluler sel otak karena penurunan tekanan
osmotik koloid yang menyebabkan edema serebri sehingga dapat menimbulkan
gejala seperti kejang, nyeri kepala, vertigo, hiperrefleksi, dan buta kortical. Nyeri
kepala merupakan salah satu keadaan yang mengancam kearah eklamsia atau
disebut Impending Eklampsia
2. Penatalaksanaan PEB
11
dipertahankan
selama
mungkin
sambil
memberikan
terapi
medikamentosa. Diharapkan dapat dipertahankan sampai usia kehamilan seaterm mungkin. Pemberian terapi medikamentosa dalam hal ini meliputi mondok
rumahsakit, pemberian terapi intravena, dan pemberian antikejang Mg SO4
sebagai pencegahan dan terapi kejang. Pada pasien juga diberikan MgSO4.
Pemberian MgSO4 sebagai antikejang karena MgSO4 mampu menurunkan kadar
asetilkolin dan menghambat transmisi neuromuscular dengan menjadi kompetitif
inhibitor ion kalsium.
Pada pasien ini segera diberikan Dexamethasone rescue, yaitu pemberian
double strength dexamethasone. Dexamethasone diberikan 10 mg iv tiap 12 jam
selama dua hari. Kegunaan dari pemberian double strength dexamethasone ini
meningkatkan pematangan paru janin.
Dalam observasi selanjutnya, dimonitoring gejala impending eklamsia setiap
harinya, pengukuran proteinuria, tekanan darah. Ternyata tidak didapatkan
perbaikan keadaan ibu. Hal tersebut ditunjukkan dengan tekanan darah yang
belum mencapi target setelah 6 jam dan 24 jam setelah pemberian
medikamentosa, serta ditemukan keluhan nyeri kepala, mual dan muntah
walaupun proteinuria mengalami perbaikan (++).
3. Pemberian Antihipertensi
Pada pasien ini tekanan darah saat datang adalah 168/102, kemudian
diberikan nifedipin 3x 10 mg sebagai terapi hipertensi pada kehamilannya. Pada
literatur, tekanan darah harus diturunkan secara bertahap yaitu penurunan awal
25% dari tekanan sistolik dan tekanan darah diturunkan hingga mencapai < 160/
105 atau MAP < 125. Nifedipin merupakan antihipertensi pada pre eklampsia lini
12
pertama dengan dosis 10-20 mg per oral, diulang setelah 30 menit dengan dosis
maksimal 120mg/24 jam. Nifedipin tidak boleh diberikan sublingual karena efek
vasodilatasi sangat cepat sehingga hanya boleh diberikan per oral.
Pada hipertensi kronis kehamilan, metildopa merupakan antihipertensi lini
pertama dengan dosis awal 3x 500 mg dosis maksimal 3 gram/ 24 jam. Lini
selanjutnya adalah antihipertensi dari golongan Calsium Canal Blocker seperti
nifedipin dengan dosis bervariasi antara 30- 90 mg/ hari.
Setelah mendapat kombinasi terapi nifedipin dan metildopa, pada pasien
tidak terjadi
setelah terapi didapatkan tekanan darah 150/90 mmHg dan pada evaluasi 24 jam
setelah terapi didapatkan tekanan darah 160/70 mmHg.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi dan Klasifikasi Preeklampsia Berat
13
dapat berkembang dari preeklampsia yang ringan sampai preeklampsia yang berat
(George, 2007).
Preeklampsia berat ialah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik 160
mmHg dan tekanan darah diastolik 110 mmHg disertai proteinuria 5 g/ 24 jam
atau kualitatif 4+. Sedangkan pasien yang sebelumnya mengalami preeclampsia
kemudian disertai kejang dinamakan eklampsia (Angsar, 2008). Penggolongan
preeclampsia
menjadi
preeclampsia
ringan
dan
preeclampsia
berat
dapat
menyesatkan karena preeclampsia ringan dalam waktu yang relative singkat dapat
berkembang menjadi preeclampsia berat (Cunningham, et al, 2007).
Preeklampsia berat dibagi menjadi:
a) Preeklampsia berat tanpa impending eclampsia
b) Preeklampsia berat dengan impending eclampsia.
Disebut impending eclampsia bila preeklampsia berat disertai gejala-gejala subjektif
berupa :
Muntah-muntah
Nyeri epigastrium karena regangan selaput hati oleh haemorrhagia atau oedema,
atau sakit karena perubahan pada lambung
Gangguan penglihatan: penglihatan menjadi kabur sampai terkadang buta.
Hal ini disebabkan karena vasospasm, oedema atau ablation retinae. Perubahan
perubahan ini dapat dilihat dengan ophtalmoskop (Angsar, 2008).
2.2 Faktor Resiko Preeklampsia Berat
Primigravida, primipaternitas
14
Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil (Angsar,
2008)
Resiko preeclampsia meningkat dari 4.3 % pada ibu hamil dengan BMI kurang
dari 19,8 kg/m2 hingga 13,3% pada ibu hamil dengan BMI lebih dari 35 kg/m2
Walaupun merokok selama hamil berkaitan dengan dampak negative pada kehamilan
secara umum, namun merokok berkaitan dengan menurunnya resiko hipertensi
kehamilan. Plasenta previa telah dilaporkan menurunkan resiko hipertensi dalam
kehamilan (Cunningham, et al, 2007).
2.3 Etiologi Preeklampsia Berat
Wanita yang terpapar oleh vili korionik dalam jumlah besar, seperti pada
kehamilan kembar atau kehamilan mola.
Wanita dengan predisposisi genetic ada yang pernah menderita hipertensi selama
kehamilan.
Vili korionik yang dapat mencetuskan preeclampsia tidak harus berada di
dalam rahim. Sedangkan ada atau tidaknya janin bukanlah suatu syarat untuk
terjadinya preeklampsia. Namun demikian, terlepas dari etiologinya, kaskade
peristiwa yang mengarah ke sindrom preeklampsia ditandai dengan sejumlah
kelainan yang mengakibatkan kerusakan endotel vaskular dengan vasospasme,
transudasi plasma, dan sequelae iskemik dan trombotik. Menurut Sibai (2003),
penyebab potensial saat ini masuk akal adalah sebagai berikut:
1. Invasi trofoblas abnormal pada pembuluh darah rahim.
15
2.4
2.4.1 Vasospasme
Konsep
vasospasme
diajukan
oleh
Volhard
(1918)
berdasarkan
16
utuh
memiliki
sifat
antikoagulan,
dan
sel
endotel
Penelitian
menunjukkan
bahwa
serum
dari
wanita
dengan
17
Tekanan darah sistolik 160 mmHg dan tekanan darah diastolic 110 mmHg.
Tekanan darah tidak turun meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan
sudah menjalani tirah baring.
Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma, dan
pandangan kabur.
Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat
teregangnya kapsula Glisson oleh karena nekrosis hepatoseluler, iskemia, dan
edema).
Trombositopenia (<100.000/mm3)
Sindrom HELLP.
2.7 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan preeklampsia adalah sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
18
dipertahankan
selama
mungkin
sambil
memberi
terapi
medikamentosa
Aktif, agresif: bila umur kehamilan > 37 minggu, artinya kehamilan diakhiri
setelah mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi.
2.7.1 Penanganan di Puskesmas
Mengingat terbatasnya fasilitas yang tersedia di Puskesmas, secara
prinsip pasien dengan PEB dan eklampsia harus dirujuk ke tempat pelayanan
kesehatan dengan fasilitas yang lebih lengkap. Persiapan yang perlu dilakukan
dalam merujuk pasien PEB atau eklampsia adalah sebagai berikut :
1. Pada pasien PEB/Eklampsia sebelum berangkat, pasang infus RD 5,
berikan SM 20 % 4 g iv pelan-pelan selama 5 menit, bila timbul kejang
ulangan berikan SM 20 % 2 g iv pelan-pelan. Bila tidak tersedia berikan
injeksi diazepam 10 mg iv secara pelan-pelan selama 2 menit, bila timbul
kejang ulangan ulangi dosis yang sama.
2. Untuk pasien dengan eklampsia diberikan dosis rumatan setelah initial
dose di atas dengan cara : injeksi SM 40 % masing-masing 5 g im pada
glutea kiri dan kanan bergantian, atau drip diazepam 40 mg dalam 500 c
RD 5 28 tetes per menit.
3. Pasang Oksigen dengan kanul nasal atau sungkup.
4. Menyiapkan surat rujukan berisi riwayat penyakit dan obat-obat yang
sudah diberikan.
5. Menyiapkan partus kit dan sudip lidah.
6. Menyiapkan obat-obatan : injeksi SM 20 %, injeksi diazepam, cairan
infuse, dan tabung oksigen.
7. Antasid untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang
dapat mencegah terjadinya aspirasi isi lambung yang sangat asam.
2.7.2 Penanganan di rumah sakit
19
Pencegahan Kejang
yaitu :
: dosis awal
Maintenance dose
: dosis rumatan
Maintenance dose
-
selama 5 menit
tts/m
1. SM rumatan diberikan sampai
24 jam pada perawatan
konservatif dan 24 jam setelah
persalinan pada perawatan aktif
Syarat pemberian SM :
- Reflex patella harus positif
- Respiration rate > 16 /m
- Produksi urine dalam 4 jam 100cc
- Tersedia calcium glukonas 10 %
Antidotum :
Bila timbul gejala intoksikasi SM dapat diberikan injeksi Calcium
gluconas 10 %, iv pelan-pelan dalam waktu 3 menit
Bila refrakter terhadap SM dapat diberikan preparat berikut :
1. Sodium thiopental 100 mg iv
2. Diazepam 10 mg iv
3. Sodium amobarbital 250 mg iv
4. Phenytoin dengan dosis :
- Dosis awal 100 mg iv
20
b.
c.
Diuretikum
Tidak diberikan secara rutin karena menimbulkan efek :
Memperberat hipovolemia
Meningkatkan hemokonsentrasi
Edema paru
2.
3.
Edema anasarka
Berdasarkan sikap terhadap kehamilan, perawatan pada pasien PEB
Perawatan konservatif
1.
Tujuan :
2.
Indikasi :
Kehamilan < 37 minggu tanpa disertai tanda dan gejala impending
eklampsia
3.
21
Antihipertensi
Diberikan sesuai protokol untuk PER.
5.
injeksi
glukokortikoid,
dapat
diberikan
preparat
Cara perawatan :
Mengukur protein urin pada saat MRS dan tiap 2 hari sesudahnya
Bila pasien telah terbebas dari kriteria PEB dan telah masuk
kriteria PER, pasien tetap dirawat selama 2 3 hari baru
diperbolehkan rawat jalan. Kunjungan rawat jalan dilakukan 1
minggu sekali setelah KRS.
7.
Terminasi kehamilan
b.
Perawatan aktif
1.
2.
Indikasi :
(i). Indikasi Ibu :
Kegagalan terapi medikamentosa :
-
22
4.
Terminasi kehamilan :
Bila tidak ada indikasi obstetrik untuk persalinan perabdominam,
mode of delivery pilihan adalah pervaginam dengan ketentuan sebagai
berikut :
(i) Pasien belum inpartu
Dilakukan induksi persalinan bila skor pelvik 8. Bila skor
pelvik < 8 bisa dilakukan ripening dengan menggunakan
misoprostol 25 g intravaginal tiap 6 jam. Induksi persalinan
harus sudah mencapai kala II sejak dimulainya induksi, bila
tidak maka dianggap induksi persalinan gagal dan terminasi
kehamilan dilakukan dengan operasi sesar.
Indikasi operasi sesar :
- Indikasi obstetrik untuk operasi sesar
- Induksi persalinan gagal
- Terjadi maternal distress
- Terjadi fetal compromised
23
Perdarahan Intrakranial
Thrombosis vena sentral
Hipertensi ensephalopati
Edema cerebri
Edema retina
Macular atau retinal detachment
Kebutaan cortex
b. Gastrointestinal-hepatik:
Subcapsular hematoma hepar
Ruptur kapsul hepar
Ascites
c. Ginjal :
d. Hematologik:
DIC
Trombositopenia
e. Kardiopulmonal:
Edema paru
Arrest napas
Cardiac arrest
24
Iskemia miokardium
(Angsar, 2008)
2.8.2
Penyulit Janin
a. PJT
b. Solusio plasenta
c. IUFD
d. Kematian neonatal
e. Prematuritas
f. Cerebral palsy (Prasetyorini, 2009)
DAFTAR PUSTAKA
Angsar, 2008. Hipertensi dalam Kehamilan dalam Buku Ilmu Kebidanan Edisi
keempat halaman 534-559, editor: Saifudin, Abdul Bari, Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Cunningham FG, Mac Donald PC, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hankins GD et
al. 2001, Hypertension Disorders in Pregnancy. Williams Obstetrics. 21th ed.
London: Prentice-Hall International, 2001: 567-618.
Dekker GA, Sibai BM, Etiology and Pathogenesis of Preeclampsia: Current
Concepts. Am J Obstet Gynecol 1998; 179: 1359-1375.
Handaya, 2001. Penanganan preeklampsia/eklampsia. Jakarta: Prosiding Seminar
Konsep Mutakhir Preeklampsia.
25
Isler CM, Rinehart BK, Terrone DA, Martin RW, Magann EF, Martin JN. Maternal
Mortality with HELPP (Hemolysis, Elevated Liver Enzymes, And Low
Platelets) Syndrome. Am J Obstet Gynecol 1999; 181: 924-928.
Prasetyorini, N, 2009. Penanganan Preeklampsia dan Eklampsia. Seminar POGI
Cabang Malang. Divisi Kedokteran Feto Maternal - FKUB/RSSA Malang
Roberts JM, Redman CWG. Preeclampsia: More Than Pregnancy-induced
Hypertension. Lancet 1993; 341: 1447-1454.
Roberts JM, Taylor RN, Musci TJ, Rodgers GM, Hubel CA, McLaughlin.
Preeclampsia: An Endothelial Cell Disorder. Am J Obstet Gynecol 1989; 161:
1200-1204.
Wang Y, Alexander JS. Placental Pathophysiology in Preclampsia. Pathophysiology
2000; 6: 261-270.
26