Disusun oleh :
Nila Sari
09711133
Alisza Novrita S.
09711093
Nando Rosiarto A.
09711304
Pembimbing :
dr. Bambang A., Sp.An
KEPANITERAAN KLINIK
ILMU ANESTESI DAM REANIMASI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. SOEDONO MADIUN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2014
Abstrak
Pre-emptive analgesik bertujuan untuk mencegah sistem syaraf pusat dari
kondisi hiper-eksitasi yang berasal dari sensitasi pusat, dimana memberikan
respon yang berlebihan terhadap input aferen. Keterlibatan klinis yang lebih
efektif dalam manajemen nyeri, terlebih menurunkan nyeri pasca operasi dan
kebutuhan anti nyeri. Penelitian ini bertujuan untuk memeriksa adanya preemptive analgesik dan membandingkan efikasi pre-emptive analgesik pada
ketorolak i.m (NSAID) dibandingkan tramadol (opioid sintetik) untuk manajemen
nyeri post operasi pada operasi molar ketiga. Lima puluh pasien usia di bawah 16
25 tahun dengan asimptomatik, simetris, impaksi molar ketiga mandibula,
dikelompokkan menjadi 2 kelompok dan menjalani operasi molar ketiga dengan
anestesi lokal. Ketorolak 30 mg dan tramadol 50 mg digunakan dalam penelitian
ini, dengan sodium klorida 0.9% sebagai kelompok kontrol. Parameter penelitian
ini adalah skor intensitas nyeri untuk 12 jam setelah operasi, waktu pertama kali
menghilangkan rasa nyeri, jumlah pemberian analgesik selama 5 hari pasca
operasi dan penilaian efikasi operasi pasien tanpa nyeri. Secara statistik, data
disajikan berupa nilai mean dengan standart deviasi dan 95% confidence interval
(CI) [ p dikatakan dignifikan, p < 0.05] dengan kata lain applicable. Kejadian
adverse events seperti nyeri saat injeksi dalam penelitian, reaksi lokal, mual dan
muntah tercatat. Pasien pada kelompok penelitian memiliki performa lebih baik
dibandingkan kelompok kontrol dalam segala parameter; sedangkan antara
kelompok kontrol, biaya kelompok ketorolak lebih bagus dibandingkan tramadol.
Komplikasi dari obat-obatan tergolong sedang dan tidak membutuhkan intervensi
Pendahuluan
Pre-emptive analgesik didefinisikan sebagai terapi anti-nociceptive yang
mencegah timbulnya perubahan proses sentral input aferen dari kerusakan.
Dengan memberikan analgesik sebelumnya dari stimulus nyeri [menunjuk sebagai
pre-emptive analgesik], munculnya hipersensitisasi nyeri mungkin berkurang atau
tidak ada, sebagai hasil dari berkurangnya post stimulus nyeri.
Ketorolak [derivat dari pyrolo] ketika diberikan via intramuskular dipercaya untuk
memberikan pengaruh analgesik setara dengan diberikan pethidine 100 mg, dan
setidaknya sedikit lebih efikasi dari morfin.
Tramadol merupakan analog sintetik kodein dan menyebabkan aktivasi
antara opioid dan non-opioid sistem inhibisi nyeri. Efek komponen non-opioid
tramadol melalui inhibisi reuptake serotonin dan non-epineprin dan perubahan
penyimpanan serotonin dari saraf bagian akhir. Komponen opioid ini memiliki
afinitas untuk reseptor . Tramadol menyebabkan depresi pernapasan minimal dan
sedikit efek pada gastrointestinal dan sedikit berpotensi menyebabkan
ketergantungan atau penyalahgunaan.
Operasi pengangkatan molar ketiga merupakan suatu tindakan operasi
yang umum pada bedah mulut dan dilaporkan 18-40% semua kasus ekstrak molar
ketiga merupakan asimptomatik. Impaksi asimptomatik molar ketiga dilakukan
pembuangan sebagai pencegahan atau antisipasi terhadap komplikasi seperti
perubahan bentuk kistik, pericoronitis, lesi periodontal dari bagian distal
permukaan dan resorpsi akar molar kedua.
Untuk
membandingkan
efikasi
pre-emptive
analgesik
ketorolak
Metode Penelitian
Sumber Data
Pasien yang telah didaftarkan ke Departement of Oral, Maxillofacial &
Reconstructive Surgery of Bapuji Dental College & Hospital, Davangere, untuk
dilakukan operasi pengangkatan impaksi molar ketiga mandibula.
Metode Pengumpulan data
Setelah susunan penelitian disetujui oleh komite etik dari institusi lokal,
direkrut 50 pasien dari Januari 2007 samapai Agustus 2008, untuk dilakukan
operasi pengangkatan impaksi mandibul molar ketiga asimptomatik dengan
inform konsen.
Kriteria Inklusi
Lima puluh pasien dibawah ASA-1 dengan kelompok umur 16-25 tahun
yang memenuhi operasi pengangkatan impaksi molar ketiga mandibula
asimptomatik di poli rawat jalan.
Kriteria eksklusi
Pasien dengan riwayat nyeri, tanda infeksi atau masalah lain yang terkait
dalam minggu sebelum operasi dieksklusi, dan dihipotesiskan bahwa nyeri
menetap sebelum operasi sebagai hasil sensititasi sentral, kemudian membuat preemptive analgesia tidak efektif.
Rangkaian Perawatan Pasien
Pada awal penelitian, pasein diperiksa secara klinis dan radiografi untuk
melihat tanda-tanda infeksi. Klasifikasi Pell dan Gregory digunakan dan prosedur
operasi yang susah diprediksi berdasarkan indeks tingkat kesulitan Pedreson.
Desain Penelitian
Pasien yang terpilih dibagi menjadi 2 kelompok sebagai kelompok
penelitian 1 (grup 1) dan kelompok kontrol (grup 2). Masing-masing pasien
kelompok penelitian dengan impaksi mandibula molar ketiga asimptomatik
dilakukan operasi molar ketiga dengan anestesi lokal (2% lignocaine dengan
1:80000 adrenaline) dengan dua keadaan yang berbeda dimana satu sisi dicuci
dalam kurun waktu minimal 2 minggu dan menerima ketorolak 30 mg dan disisi
lain ada yang menerima tramadol 50 mg 20 menit sebelum insisi. Sodium
khlorida 0.9% digunakan sebagai kelompok kontrol. Post-operatif, pemberian
analgesik oral dan antiemetik termasuk Tablet Biozobid plus (potassium
diklofenak 50 mg / paracetamol 500 mg / serratiopeptidase 10 mg) dan tab Ondem
(ondansentron 4 mg) berturut-turut.
Desain Follow-up
Penilaian nyeri pasca operasi dilaksanakan saat hari pertama pada
1,3,5,8,12 jam menggunakan skala numerik dengan nilai 0 = tidak nyeri samapa
10 = sangat nyeri. Kategori skala numerik untuk nyeri [0] tidak nyeri, [1-3] nyeri
sedang, [4-6] nyeri moderate, [7-10] nyeri hebat. Waktu untuk pertama kali
pertolongan rasa nyeri, jumlah konsumsi analgesik selama 5 hari post operasi dan
penilaian pasien secara umum setelah operasi telah dicatat. Insiden adverse event
seperti nyeri saat injeksi obat penelitian, reaksi lokal, mual dan muntah telah
dicatat.
Analisis Statistik
Secara statistik, data disajikan dalam bentuk nilai mean dengan deviasi
standart dan 95% CI untuk yang dapat diterapkan. Perbedaan skor intensitas nyeri
dan jumlah konsumsi analgesik selama 5 hari pasca operasi dianalisis dengan
menggunakan Wilcoxons signed rank test. Waktu untuk pertama kali pertolongan
rasa nyeri dan durasi operasi disajikan menggunakan paired t test sementara
penilaian pasien secara umum setelah operasi dievaluasi menggunakan x2 test.
tramadol. Pada 12 jam, perbedaannya tidak bermakna secara signifikan [p > 0.05]
(tabel 3) (Wilcoxons rank test). Kelompok plasebo dibandingkan dengan pasien
kelompok perlakuan (ketorolak dan tramadol) dan pada 1,3,5,8, 12 jam. Kedua
kelompok perlakuan memberi hasil yang lebih baik dibandingkan dengan
kelompok plasebo dalam hal pereda nyeri, meskipun pada 8 dan 12 jam hasil p
value tidak bermakna secara signifikan (tabel 3) (Wilcoxons rank test/MannWhitney U test).
dibawah 1 pada kelompok tramadol. Lima puluh dua persen pasien pada
kelompok kontrol mendapatkan penilaian cukup, sementara pada kelompok
perlakuan sebanyak 3 yang mendapat ketorolak (12%) dan 18 yang mendapat
tramadol (72%) mendapatkan penilaian cukup (tabel 5) (x2 test).
Adverse effects seperti mual, muntah, nyeri dan reaksi lokal pada tempat
injeksi terdokumentasi. Satu pasien pada kelompok perlakuan, ketika diterapi
dengan ketorolak merasakan nyeri hebat pada tempat injeksi dan mengkonsumsi
penghilang nyeri, begitu pula dengan 4 pasien yang mendapatkan tramadol
merasakan mual dan mengkonsumsi antiemetik. Tidak ada pasien yang memiliki
reaksi lokal pada tempat injeksi pada kelompok perlakuan dan tidak ada kejadian
muntah yang dilaporkan.
Diskusi
Cedera pada jaringan menyebabkan respon berlebihan dan rangsangan
yang berbahaya pada kedua dasar perifer, dengan mengurangi ambang terminal
aferen saraf nociceptive dan pada tingkat yang lebih sentral, dengan meningkatkan
rangsangan neuron urutan kedua di sumsum tulang belakang. Berdasarkan
pengamatan tersebut, konsep analgesia pre-emptive telah berkembang. Dengan
pemberian analgesik sebelum stimulus nyeri, perkembangan nyeri hipersensitisasi
dapat dikurangi atau dihapuskan, sehingga mengakibatkan sedikit rasa sakit pasca
operasi.
Penelitian ini telah menyatakan bahwa rasa sakit yang ada sebelum operasi
mungkin sudah mencapai sensitisasi sentral, sehingga membuat analgesia preemptive tidak efektif. Oleh karena itu impaksi mandibula
molar ketiga
karena sifat dari rasa sakit setelah bedah gigi molar ketiga. Patogenesis sakit gigi
dan nyeri bedah umum berbeda. Sakit gigi yang sebagian besar inflamasi lebih
baik dikelola dengan NSAID dibandingkan dengan opioid.
Kesimpulannya, hasil penelitian kami menunjukkan bahwa ketorolak
intramuskuler pra operasi dan tramadol lebih baik daripada plasebo, sehingga
menandakan kemungkinan adanya analgesia preemptif dan bila dibandingkan
dengan masing-masing ketorolak lebih baik daripada tramadol untuk manajemen
rasa sakit pasca operasi mandibula gigi molar ketiga.