Anda di halaman 1dari 14

Nyeri dada: Sebuah Penilaian Klinis

Nyeri dada adalah salah satu keluhan utama yang paling sering dijumpai pada
kegawat daruratan. Saat pasien mengalami serangan akut dari nyeri dada, pencitraan
gambar dada sangat berharga, terutama pada saat stabilisasi inisial dari penyakit
jantung atau paru-paru yang mengancam nyawa. Pendekatan awal untuk
mengevaluasi nyeri dada dengan mengeksklusi penyebab yang mengancam nyawa
seperti diseksi aorta, emboli paru, pneumothorax, pneumomediastinum, pericarditis,
dan perforasi esophagus.
Evaluasi dari seorang pasien dengan nyeri dada atau sesak nafas yang berada
dalam keadaan tidak stabil berawal dengan survey kesehatan primer untuk
mengevaluasi jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi. Bersamaan dengan penilaian
yang cepat ini, dokter bagian kegawatdaruratan meminta gambar radiografi dari dada,
yang memberikan gambaran dari anatomi tentang dada. Gambaran pertama yang
diperoleh adalah gambaran dada secara anteroposterior, dengan menggunakan
radiografi portable atau peralatan yang biasa digunakan, tergantung pada keadaan
klinis pasien. Pembelajaran awal sangat berharga dalam memberikan informasi yang
dapat mengarahkan pada perawatan pasien.
Walaupun pada tahun-tahun belakangan ini kemajuan teknologi dapat
meningkatkan keakuratan dari diagnostik, anamnesa riwayat dengan teliti dan
pemeriksaan fisik tetap menjadi komponen yang paling penting dalam mengevaluasi
proses. Sangat penting untuk mendapatkan rincian tentang nyeri yang sebanyakbanyaknya, termasuk onset, lokasi, durasi, penjalaran, kualitas, eksaserbasi, dan faktor
yang dapat memperingan. Penggalian riwayat yang rinci penting untuk pemeriksaan
diagnostik dan mengatur keputusan yang lebih lanjut.
Sindrom Koroner Akut
Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah sebuah gambaran dari Iskemik Miokardial Akut
yang menjangkau Infark Miokardial Akut (IMA) dan Angina Tidak Stabil [36].
Kurang dari 25% dari pasien yang masuk rumah sakit dengan kecurigaan Sindrom
Koroner Akut masih memiliki diagnosis ini saat mereka keluar dari rumah sakit.

Riwayat dan Pemeriksaan fisik


Nyeri dada atau perasaan tidak nyaman adalah keluhan utama yang sering
dijumpai pada pasien yang memiliki Sindrom Koroner Akut [37]. Karakter dan
penjalaran dari nyeri sangat penting untuk diagnosis [38]. Nyeri biasanya
digambarkan seperti nyeri visceral dalam dan mungkin agak sulit untuk dilokalisasi
dengan regio dada yang lain [38]. Karakter dari nyeri sering dideskripsikan seperti
tertekan, dada merasa berat, sesak, tenggorokan yang merasa sempit, atau perasaan
sakit. Nyeri tidak di dipengaruhi oleh pernafasan ataupun pergerakkan. Dimulai
secara bertahap dan mencapai keparahan yang maksimal setelah 2 atau 3 menit, lalu
nyeri dapat bertahan selama beberapa menit atau lebih [38]. Pengerahan tenaga fisik
atau stress emosional dapat berhubungan dengan onset dari nyeri dan nyeri dapat
hilang dengan istirahat [36]. Penjalaran nyeri kea rah lengan atau leher meningkatkan
kemungkinan terjadinya Miokardial Infark Akut [38]. Pasien kemungkinan dapat
memiliki gejala seperti sesak nafas, mual, muntah, kelelahan yang hebat, kepeningan,
palpitasi, dan keringat yang berlebih [36].
Nyeri dada tidak muncul pada hampir 6.2 % dari pasien yang memiliki
Sindrom Koroner Akut dan 9.8% dari pasien yang memiliki Miokardial Infark Akut
[39]. Presentasi Atipikal sangat memungkinkan pada pasien dengan usia lanjut dan
yang memiliki diabetes, dimana terdapat perubahan pada kemampuan untuk
melokalisasi gejala [38], dan pada perempuan dan juga orang usia muda [36]. Gejala
atipikal termasuk nyeri epigastrium, gangguan pencernaan, nyeri dada seperti
tertusuk-tusuk, nyeri dada pleuritik, nyeri dada yang ditimbulkan saat palpasi, dan
kesulitan bernafas [36].
Faktor resiko penyakit jantung muncul saat penggalian riwayat. Faktor resiko
tradisional untuk Penyakit Arteri Koroner mencakup hipertensi, hiperkolestrol,
merokok, diabetes, penyakit pembuluh darah perifer, riwayat keluarga yang memiliki
Penyakit Arteri Koroner, riwayat personal dari Penyakit Arteri Koroner, jenis kelamin
laki-laki, dan peningkatan usia [36-38]. Ini semua adalah resiko jangka panjang untuk
Penyakit Arteri Koroner; Tidak adanya faktor resiko untuk Penyakit Arteri Koroner
tidak boleh digunakan untuk mengeksklusi diagnosis dari Sindrom Koroner Akut
[37,38].
Pada pemeriksaan fisik pasien yang memiliki kecurigaan Sindrom Koroner
Akut tidak terlalu bermakna kecuali untuk mengungkapkan diagnosis alternative [37].
Jadi, pemeriksaan fisik harus focus pada mengeksklusi diagnosis lainnya; identifikasi

penyebab dari iskemik miokardial, seperti hipertensi tidak terkontrol atau penyakit
tiroid; dan mencari tanda-tanda dari ketidakstabilan hemodinamik [36]. Kewaspadaan
perlu diperhatikan saat mengkaitkan nyeri dada yang timbul saat pemeriksaan fisik
atau nyeri yang berasal dari penyebab musculoskeletal, karena 11% dari kasus nyeri
dada yang muncul sebagian dan penuh bisa dikaitkan dengan Sindrom Koroner Akut
[37]. Derajat dari bunyi paru rales yang didapatkan dari pemeriksaan berhubungan
dengan Sindrom Koroner Akut; Bagaimanapun bunyi jantung S3 gallop pada
auskultasi jantung adalah tidak spesifik [37].
Pope dan Colleagus [37] mendapati bahwa pasien yang memiliki diagnosis
akhir berupa Sindrom Koroner Akut lebih mungkin memiliki tekanan nadi yang
rendah dan tekanan darah tinggi daripada pasien yang memiliki diagnosis lain; Ini
kemungkinan berhubungan dengan kelebihan adrenergic atau kepatuhan yang lebih
rendah pada iskemik ventrikel kiri. Dokter butuh untuk mengetahui baseline dari
tanda-tanda vital pasien; biasanya, informasi ini tidak terdapat pada unit gawat
darurat, yang membatasi kegunaan dari penelitian ini [38]. Probabilitas dari
Miokardial Infark Akut meningkat jika pasien mengalami keringat yang berlebih dan
menurun jika laju pernafasan normal [37].
Pembelajaran Laboratorium
Karena miosit kehilangan integritas membran yang dapat merespon kepada
keadaan iskemik, ia melepaskan molekul-molekul ke dalam sirkulasi perifer [36].
Molekul-molekul ini, diketahui sebagai biomarker jantung, yang berguna dalam
diagnosis Miokardial infark Akut. Biomarker yang terdeteksi ini tidak membantu
dalam diagnosis angina tidak stabil, dimana menyumbang sekitar setengah dari total
kasus Sindrom Koroner Akut [38,40,41]. Biomarker jantung yang digunakan secara
meluas adalah Kreatinin Kinase (CK), Kreatinin Kinase Fraksi MB (CK-MB),
Mioglobin, Troponin Jantung I (cTnI), dan Troponin Jantung T (cTnT).
Creatinin Kinase dan Creatinin Kinase Fraksi MB
CK dan CK-MB adalah biomarker tidak spesifik yang dapat ditemukan pada
semua kasus kerusakan otot [36]. Sampai saat ini, CK-MB menjadi prinsip utama
penanda serum untuk kerusakan miosit jantung [36]. Sensitivitas dari konsentrasi
serum CK dan CK-MB untuk mendeteksi Iskemik meningkat seiring durasi gejala
dari pasien [38]. Pengukuran serial atau bersambung dari kedua biomarker

meningkatkan sensitivitas dan spesifitas apabila dilakukan sekitar 4 atau 9 jam [38].
Serial CK-MB memiliki sensitivitas sekitar 87% dan spesifitas sekitar 96% untuk
Miokardial Infark Akut [38]. Test serial ini harus dilakukan dalam waktu 4-9 jam.
Mioglobin
Serum mioglobin adalah biomarker tidak spesifik lainnya yang muncul di
sirkulasi perifer sekitar 1 sampai 2 jams setelah kerusakan otot [36]. Lagi-lagi,
sensitivitas dari pengukuran mioglobin dalam penegakkan diagnosis Miokardial
infark Akut meningkat seiring pengukuran serial [38,41]. Level serum mioglobin
tidak seharusnya digunakan untuk mengisolasi dalam penegakkan diagnosis dari
Sindrom Koroner Akut [36]; Bagaimanapun, ada beberapa bukti jika konsentrasi
normal myoglobin 2 jam setelah serangan dapat mengeksklusi Miokardial Infark Akut
[38,42].
Troponin
cTnI dan cTnT adalah biomarker spesifik untuk kerusakan miokardial dan
telah digantikan oleh CK-MB sebagai biomarker yang dipilih untuk Iskemik
Miokardial [36]. Biomarker ini tidak ditemukan pada darah orang yang sehat [36].
Seperti biomarker jantung lainnya, sensitivitas cTnI dan cTnT meningkat dengan
pengukuran serial dan dengan durasi dari gejalanya [38]. Peningkatan kadar cTnI dan
cTnT berhubungan dengan peningkatan mortalitas, bahkan ketika pemeriksaan EKG
tidak meyakinkan untuk Sindrom Koroner Akut dan konsentasi CK-MB normal
[36,42].
Elektrokardiografi
Elektrokardiografi adalah pemeriksaan yang aman, tidak mahal, dan mudah
dijumpai disamping tempat tidur, yang dapat menunjukkan standar dari perawatan
pasien yang memiliki Sindrom Koroner Akut. Ketika memungkinkan, EKG
seharusnya diperoleh saat pasien sedang bergejala [36]. Walaupun EKG sangat
sensitive untuk Miokardial Infark Akut, tetapi tidak sensitive dan spesifik untuk
Sindrom Koroner Akut pada umumnya[38]. Pope and Colleagues [37] mendapati
bahwa hampir 20% pasien dengan Miokardial Infark Akut dan 37% pasien dengan
diagnosis angina tidak stabil memiliki gambaran EKG normal. EKG seharusnya
diinterpretasikan dengan pertimbangan keadaan pasien. Jadi, pada pasien dengan

gambaran klinis yang konsisten dengan Sindrom Koroner Akut dan gambaran EKG
normal, probabilitas iskemik tidak berkurang secara substansial [38].
Ketidaknormalan pada ST-Segment dan T-Wave merupakan kelainan klasik
dari elektrokardiografi pada diagnosis dari Sindrom Koroner Akut [37,38]. Elevasi
dari Segmen ST mengindikasikan Iskemik Transmural [36], sedangkan depresi dari
segmen ST mengindikasikan Iskemik Subendokardial [38]. Gelombang Q adalah
diagnostic dari infark, tetapi dapat menunjukkan infark yang telah dialami
sebelumnya [38]. Dengan memperoleh hasil EKG terdahulu dapat membantu dalam
penentuan jika terdapat abnormalitas yang muncul secara akut.
Radiologi
Radiografi dada
Sebuah foto dada/thorax biasanya didapatkan saat pemeriksaan awal pada
pasien dengan Sindrom Koroner Akut. Pembelajaran gambaran ini digunakan untuk
mencari penyebab lain dari gejala pasien dan untuk menilai kontraindikasi pada terapi
heparin (contoh, diseksi aorta). Adanya edem paru, yang dapat mengindikasikan
Gagal Jantung Akut juga dievaluasi mengunakan foto thorax polos.
Echokardiografi
Untuk pasien dengan faktor resiko rendah untuk Sindrom Koroner Akut,
resting echokardiografi memiliki sensitivitas tinggi (93%), walaupun hanya memiliki
spesifitas sedang (66%) dalam penegakkan diagnosis untuk Miokardial Infark Akut
[43]. Echokardiografi tidak dapat membedakan antara kelainan akut dan kronik dan
membutuhkan teknisi dan penerjemah yang terampil, dimana biasanya sering
membatasi kegunaannya dalam keadaan akut [40]. Echokardiografi berguna dalam
memberikan informasi tentang status hemodinamik pasien dan dapat membantu untuk
mengidentifikasi penyebab lain dari penyakit seperti emboli paru dan pericarditis
[40].
Pencitraan Nuklir
Thallium-201 (201TI) dan Technetium-99m sestamibi (99mTc-sestamibi) adalah
radionukleotida yang biasa digunakan dalam pencitraan nuklir jantung. Test
noninvasive ini didasarkan pada isotope yang mendeteksi miokardium yang terkena

iskemik atau infark. Kedua pencitraan ini dapat mendeteksi perfusi yang abnormal
dalam waktu beberapa jam setelah episode simptomatik terakhir dari nyeri dada [36].
Hasil abnormal dari pembelajaran pencitraan perfusi miokardial yang dilakukan pada
pasien dalam keadaan rehat mengindikasikan resiko Miokard Infark Akut dan
kematian dan kebutuhan untuk revaskulerisasi, sedangkan gambaran normal pada saat
rehat mengindikasikan bahwa pasien memiliki resiko rendah terkena komplikasi dari
jantung [36]. Pencitraan

201

TI harus dilakukan dalam waktu 15 sampai 20 menit saat

injeksi, yang membatasi kegunaan dari modalitas saat latar waktu akut [40].
Pencitraan dengan menggunakan

99m

Tc Sestamibi sangat menguntungkan karena

pencitraan serial ini dapat dilakukan dan gerakan abnormal dari dinding ventrikel kiri
dapat dievaluasi dengan menggunakan pencitraan Gated Single Photon Emission CT
(SPECT) [36]. Pencitraan Nuklir jantung sangat bemanfaat pada pasien yang
memiliki resiko Sindrom Koroner Akut rendah sampai menengah dan pada pasien
yang tidak memilki perubahan pada gambaran EKG [43].
Emboli Paru
Emboli paru harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang merasakan nyeri
dada dan kesulitan dalam bernafas. Emboli paru adalah penyebab ketiga tersering dari
kematian akibat penyakit jantung pada orang-orang Amerika, terhitung 50.000100.000 kematian per tahun [44,45]. Hanya 30% dari Emboli paru yang dapat
didiagnosa sebelum kematian [46]. Adapun kurang dari 35% pasien dengan suspek
emboli paru biasanya terkena emboli paru [45,47-49]. Emboli paru adalah diagnosis
menantang yang harus digapai, kadang-kadang terlewatkan, dan sering kali dicari
tetapi tidak ditemukan.
Riwayat dan pemeriksaan fisik
Riwayat dan pemeriksaan fisik dikenal sensitif untuk emboli paru. Presentasi
klasik pada emboli paru ialah nyeri dada, kesulitan bernafas, dan hemoptysis;
bagaimanapun, triase ini muncul pada kurang dari 20% pasien [48]. Pasien yang
memiliki emboli paru yang signifikan mungkin tetap tidak bergejala apabila
penyumbatan dari sirkulasi paru kurang dari 50% [50].
Pembelajaran dari The Prospective Investigation of Pulmonary Embolism
Diagnosis (PIOPED) mendapati bahwa pada pasien yang didiagnosa dengan emboli

paru, biasa muncul dengan satu atau lebih dari faktor resiko [47]. Faktor resiko untuk
tromboembolisme vena terdapat pada kotak 2.
Gejala yang paling sering muncul pada emboli paru adalah kesulita bernafas
yang tidak dijelaskan yang muncul pada onset akut [48,51]. Kesulitan bernafas
muncul pada lebih dari 70% pasien yang didiagnosa dengan emboli paru [44].
Palpitasi, batuk, cemas, pusing, nyeri perut, nyeri punggung, fibrilasi atrial, dan
cegukan adalah gejala tidak spesifik [48,51]. Sinkop muncul pada 8% sampai 13%
dari pasien yang mengalami emboli paru [52].
Presentasi pasien dengan emboli paru tergantung pada derajat dari
penyumbatan pada sirkulasi paru, kecepatan dari akumulasi beban bekuan, dan
kesehatan dari pasien sendiri [50]. Tiga sindrom klinis telah dijabarkan pada pasien
dengan emboli paru: infark paru, dyspnea terisolasi, dan kolapsnya sirkulasi [48,53].
Tanda dan gejala dari emboli paru beragam tergantung menurut sindrom klinis yang
muncul. Untuk pasien yang memiliki infark paru, nyeri dada pleuritik, dan hemoptysis
gejala kemungkinan lebih menonjol [53]. Pasien dengan riwayat penyakit jantung,
seperti pasien lanjut usia, lebih memiliki kemungkinan untuk terkena infark paru [48].
Kotak 2: Faktor resiko untuk Emboli Paru
Faktor resiko hematologi yang diturunkan
Antithrombin III Deficiency
Factor V Leiden Mutation
Protein C and S Deficiency
Lupus Anticoagulant
Abnormalities in Fibrinolysis
Faktor resiko yang didapat
Usia tua
Merokok
Imobilisasi
Operasi
Malignansi
Trauma
Kontrasepsi oral/hormone replacement
Kehamilan
Kateter Vena Sentral
Obesitas
Miokardial Infark
Gagal jantung kongestif
Data dari Referensi [44,48,53]

Untuk pasien yang memiliki dispnea yang terisolasi, tingkat dispnea bervariasi
dengan tingkat infark paru[48]. Untuk pasien yang tidak memiliki riwayat penyakit
jantung koroner, tingkat keparahan emboli berkaitan dengan derajat hipoksemia dari
arteri [50]. Pasien yang memiliki kolaps pembuluh darah mungkin akan timbul
penurunan kesadaran, ketidakstabilan hemodinamik, atau timbulnya henti jantung
[53].
Tidak pemeriksaan fisik yang spesifik atau sensitif untuk emboli paru [53]. Tanda
yang paling bermakna pada emboli paru adalah takipnea dan takikardia [51];
bagaimanapun juga, tanda-tanda vital yang normal seharusnya tidak mencegah
seorang dokter untuk mencari tanda-tanda emboli paru [53]. Demam, mengi, rales,
pleural rub, suara paru yang nyaring pada bunyi S2 jantung, kuat angkat pada bilik
kanan, bunyi S4 pada jantung kanan, sianosis, dan adanya tanda-tanda phlebitis[45,
51, 53].
Sistem Penilaian Klinis
Sistem penilaian klinis dibuat untuk membantu dokter memperkirakan kemungkinan
emboli paru. Sistem penilaian klinis yang paling baik adalah Wells criteria untuk
memprediksikan emboli paru [Tabel 1]. Penilaian klinis ini menggabungkan penilaian
dari factor resiko, adanya tanda dan gejala, serta adanya kecurigaan alternatif
diagnosis dari para dokter [53].

Tabel 1: Wells criteria untuk menilai


kemungkinan emboli paru
Kriteria
Gejala / tanda klinis dari Deep
Thrombosis
Emboli Paru

lebih

dominan

Vein

Poin
3

disbanding 3

diagnosis lain
Laju nadi >100 kali per menit
1,5
Imobilisasi atau riwayat pembedahan dalam 1,5

min 4 minggu
Riwayat emboli

paru

atau

Deep

Thrombosis
Hemoptisis
Keganasan
Kemungkinan klinis dari emboli paru
Rendah
Sedang
Tinggi

Vein

1,5
1
1
Poin
<2
2-5
>6

Studi Laboratorium
Meskipun analisa gas darah arteri tersedia secara luas dan dapat diperoleh hasilnya
dengan cepat, pemeriksaan ini memiliki sensitivitas yang rendah untuk menegakkan
diagnosis atau meniadakan emboli paru [53, 55]. Pasien yang tidak memiliki penyakit
jantung paru mungkin memiliki PaO2 normal, PaCO2 normal, dan P(Aa)O2 normal
walaupun secara angiografi terbukti emboli paru [55]. D-dimer, prosuk pemecahan
fibrin, di temukan pada darah ketika plasmin beraksi pada fibrin clot. Sebagai marker
bekuan (clot) yang lisis, D-dimer ditemukan pada beberapa kondisi dimana terjadi
pembentukan atau pemecahan dari bekuan. D-dimer meningkat pada kasus yang
berhubungan dengan emboli paru, trauma, kanker, disseminated intravascukar
coagulation (DIC), infark miokard, sepsis, dan preeclampsia dan beberapa tindakan
pembedahan. Oleh karena itu, D-dimer lebih berguna untuk menyingkirkan emboli
paru dibandingkan mendiagnosiskannya [53, 55, 56, 58]. Wells dan rekan sejawatnya
[56] menyimpulkan bahwa pada pasien dengan keadaan klinis rendah kemungkinan
emboli paru yang menggunakan Wells criteria penilaian klinis dan D-dimer uji
negatif, emboli paru dapat disingkirkan tanpa memerlukan studi pencitraan [55].
EKG
Pada kebanyakan pasien dengan emboli paru menunjukkan EKG yang abnormal,
tetapi kelainan pada EKG ini tidak spesifik pada emboli paru [51]. EKG berguna
untuk menyingkirkan penyebab lain dari gejala-gejala pasien, seperti iskemik miokard
atau pericarditis. Karakteristik abnormal emboli paru pada EKG adalah bentuk
S1Q3T3; bagaimanapun juga, ini ditemukan pada kurang dari 20% dari EKG pasien
yang terbukti menderita emboli paru [53]. Inversi gelombang-T pada precordial leads
adalah yang paling sering ditemukan pada elektrocardiografik dan ada pada 68%
pasien dengan emboli paru [48]. Takikardia dan incomplete right bundle branch block

juga sering ditemukan pada pasien penderita emboli paru dibandingkan dengan
diagnosis lainnya [45].
Pencitraan
Radiografi Thorax Sama dengan elektrocardiografi, radiografi thorax sering
ditemukan kelainan, tetapi tidak spesifik, dan mungkin mengindikasikan diagnosis
yang lain. PIOPED study menemukan radiografi yang paling sensitif untuk
menemukan atelectasis atau kelainan pada parenkim, dengan kesensitifan sebesar
68% [47%]. Kelainan lain yang mungkin ditemukan pada radiografi thorax termasuk
efusi pleura, infiltrate paru, mild elevation pada hemidiafragma, pembesaran pada
arteri pulmonalis, dan kardiomegali [51,53]. Penting untuk tidak menyingkirkan
diagnosis emboli paru berdasarkan bukti radiografi adanya pneumonia atau gagal
jantung kongesti, karena entitas ini mungkin bersamaan dengan adanya emboli paru
[48]. Tanda klasik dari relative oligemia (Westernmarks sign) dan wedge-shaped
opasitas pulmonary (Hampstons sign) jarang ditemukan [53].
Ventilation-perfusion scintigraphy sejarahnya, ventilation-perfusion(V/P) membaca
paru dengan cepat sebagai modalitas pencitraan yang dipilih pada saat awal pada
pasien yang dicurigai memiliki emboli paru. Hasil dari pembacaan secara cepat dari
V/Q diinterpretasikan bersama dengan pretest probabilitas

dari pasien [48, 53].

Kemungkinan tinggi V/Q scan pada pasien yang memiliki pretest probability yang
tinggi sekitar 85% - 90%, memiliki nilai prediktif positif emboli paru; nilai normal
dari V/Q scan pada pasien yang memiliki pretest probability rendah dapat
menyingkirkan diagnosis emboli paru [47, 59]. Pada umumnya, V/Q scan jatuh pada
kategori bukan untuk diagnostik, namun demikian, sangat terbatas kegunaanya dalam
modalitas pencitraan [45]. Pasien yang memiliki riwayat penyakit paru juga memiliki
ketidaknormalan pada baseline studies [48].
Multidetector CT angiography (MDCT-A) menjadi pilihan pembelajaran pertama
pada fase awal untuk diagnosis emboli paru, merupakan yang pertama karena mudah
didapat, cepat, dan tidak invasif. Sebagai perbandingan dengan V/Q scan, CT lebih
akurat [45] dan lebih menunjukkan penyebab lain dari gejala pasien jika emboli paru
tidak didapatkan. Terdapat beberapa pertanyaan mengenai kesensitifan CT untuk
emboli paru. Data yang telah dikumpulkan menunjukkan kesensitifan secara luas (53-

100%) dan kespesifikan (81-100%) [60]; tetapi, untuk emboli paru sentral,
kesensitifan CT meningkat sampai mencapai 94% [45]. Emboli subsegmental dan
pembuluh darah yang berjalan secara horizontal tidak tervisualisasi dengan baik pada
CT [48]. Kelemahan lain pada pencitraan CT termasuk penggunaan kontras yang
nephrotoxic dan paparan raadiasi; tambahan, studi memerlukan pasien yang
kooperatif, karena pergerakan dari artifak dapat mengurangi kualitas dari gambar
[45].
Magnetic Resonance Angiography (MRA) dapat digunakan untuk menvisualisasikan
emboli paru dan deep vein thrombosis (DVT) pada tungkai bawah dan memberikan
keuntungan memakai bahan kontras yang lebih aman, tidak invasif, dan tidak ada
radiasi secara ionizing[48, 53]. MRA terbatas penggunaannya karena biaya yang
mahal dan jarang ada. Sebagai tambahan, pencitraan MR memakan waktu dan hanya
mengizinkan akses yang terbatas pada pasien yang menjadi tidak stabil [48].
Pulmonary Angiography dipertimbangkan sebagai baku emas untuk diagnosis emboli
paru [47]. Seringnya, prosedur ini tidak langsung tersedia; memakai kontras
nephrotoxic; dan invasif, memakan waktu, dan mahal. Sebagai tambahan, pasien
harus di bawa dari emergency department, dan gambar jarang dapat menjelaskan
diagnosis lainnya [53].
Echocardiography Transthoracic echocardiography (TTE) merupakan tindakan yang
tidak

invasif

dan

dapat

dilakukan

pada

kamar

pasien.

Penemuan

pada

echocardiography yang curiga emboli paru adalah right-sided trombus, dilatasi bilik
kanan, arteri pulmonalis, atau inferior vena cava; penurunan fungsi dari bilik kanan;
hilangnya kontraktilitas dari bilik kanan, regurgitasi tricuspid; dan pergerakan
abnormal dari dinding septum [53]. Transesophageal echocardiography (TEE) lebih
invasif biasanya memerlukan sedasi tetapi lebih sensitif dibandingkan dengan
TTE untuk menditeksi adanya gangguan hemodinamik [51, 53].
Ultrasound

pencitraan ultrasound pada tungkai bawah untuk menditeksi DVT

memiliki kegunaan yang paling baik untuk pasien yang memiliki tanda dan gejala dari
DVT dan emboli paru [45]. Tes ini sebaiknya tidak digunakan sebagai modalitaas

pencitraan awal untuk pasien suspek akut emboli paru [45], tetapi lebih berguna untuk
tes tambahan untuk menditeksi sumber dari emboli parunya.

Perikarditis
Perikarditis adalah radang pada perikardium, kantung jaringan ikat yang mengelilingi
jantung dan pembuluh darah besar [61, 62]. Banyak penyebab dari perikarditis
termasuk collagen vascular disease, renal insufficiency, keganasan, infeksi virus,
tuberkulosis, dan infeksi bakteri [63]. Pada banyak kasus, penyebab pastinya masih
tidak diketahui [63, 64]. Diagnosis dari pericarditis dicurigai pada pasien yang nyeri
dada, adanya pericardial rub pada pemeriksaan fisik, dan perubahan pada
karakteristik EKG [65].
Riwayat dan Pemeriksaan Fisik
Hanya dengan riwayat saja, perikarditis sulit untuk dibedakan dengan iskemik
miokard, karena pasien mengeluhkan nyeri dada retrosternal dengan pola radiasi yang
hamper sama dengan iskemik miokard [65, 66]. Klasiknya, perikarditis timbul dengan
lokasi nyeri yang retrosternal, tapi pasien mengeluhkan nyeri diberbagai tempat pada
dada [66]. Nyeri yang dirasakan terkadang dideskripsikan seperti tajam atau ditusuktusuk [61]. Komponen pleuritik dari nyeri yang timbul, termasuk nyeri pada saat
inspirasi, bertambah parah dengan posisi supine, dan mereda dengan posisi tegak atau
duduk mengarah ke depan, merupakan karakteristik yang sering ditemukan [61, 65].
Onset dari nyeri mendadak dan progresif dari jam ke hari [61, 65].
Demam atau gejala prodomal lain yang tidak spesifik dapat dipikirkan etiologi
perikarditis akibat infeksi [65, 67]. Riwayat medis gagal ginjal, keganasan yang telah
diketahui, collagen vascular disease, atau penyakit tiroid dapat membantu diagnosis,
karena penyakit-penyakit ini merupakan penyebab yang sering menjadi penyebab
perikarditis [61].
Pericardial friction rub merupakan patognomonik untuk perikarditis, dan 100%
spesifik untuk penyakit ini [65, 66]. Pericardial friction rub dapat muncul dan hilang
dengan waktu; oleh sebab itu, pasien sebaiknya diperiksa berulang [61, 66]. Rub
paling baik didengar pada kiri bawah batas sternal dengan pasien yang leaning
forward pada akhir ekspirasi [5.6, 61]. Umumnya, rub di deskripsikan seperti serak,
retak, kasar, dan dengan nada tinggi. Klasiknya, ini adalah trifasik, tapi dapat bifasik

atau monofasik [62, 65]. Stereotip trifasik rub sesuai dengan pergerakan jantung saat
bilik sistol, pengisian bilik diastol, dan kontraksi serambi yang muncul pada sebagian
pasien [69].
Studi Laboratorium
Studi laboratorium didapatkan untuk menyngkirkan penyebab lain dari nyeri dada dan
unutk menegakkan kemungkinan penyebab dari perikarditis. Marker radang, seperti
leukositosis, peningkatan C-reaktive protein, dan peningkatan laju endap darah,
biasanya ditemukan pada pasien yang memiliki akut perikarditis [61]. Elektolit
plasma sebaiknya dihitung, dan evaluasi fungsi ginjal [65].
Pasien dengan tanda-tanda klinis sebaiknya diarahkan untuk pemeriksaan tambahan,
yang mungkin termasuk kultur darah, tes tuberkulin, antinuclear antibodies,
rheumatoid factor, tes fungsi tiroid, swab viral tenggorok, dan spesifik serologi virus
dan bacteri [=63, 65, 68].
Pericardiocentesis dapat dipertimbangkan pada pasien yang memiliki tamponade atau
suspek keganasan atau perikarditis purulent [63, 65]. Rutin pericardiocentesis untuk
diagnostik murni tidak direkomendasikan [70].
Level biomarker jantung mungkin dapat tidak normal pada pasien yang menderita
perikarditis. Secara spesifik, level cTnI meningkat pada lebih dari 30% pasien yang
menderita akut perikarditis [71, 73]. Laki-laki dan pasien yang lebih muda lebih
mungkin memiliki cTnI level yang meningkat [71]. Peningkatan cTnI hanya dapat
dilihat pada pasien yang memiliki elevasi ST segment pada EKG dan
mengindikasikan adanya kerusakan pada sel miokard [72]; akan tetapi, level cTnI
tidak mengindikasikan prognosis yang buruk [71, 72]. Serum CK dan CK-MB level
juga mungkin meningkat [61].

Electrocardiography
Peningkatan menyeluruh dari ST segment pada precordial dan lead-lead kaki
berasosiasi dengan depresi PR segment merupakan klasik Electrocardiographic yang
mengindiaksikan

ackut

perikarditis

[74].

Secara

historis,

kelainan

electrocardiography pada akut perikarditis telah dikatakan berkembang dari waktu ke


waktu, dengan empat tahapan yang berbeda [75, 78]. Pada tahapan pertama, ST

elevasi menyeluruh, dengan depresi PR segment. Tahapan ke dua didapatkan ST dan


PR segment yang normal, dimana pada tahapan ke tiga dikarakteristikan dengan
gelombang-T inversi yang menyebar luas. EKG akan kembali normal pada tahapan ke
empat. Dengan pengecualian perikarditis purulent, jika pasien di berikan perawatan
segera, hanya terlihat kelainan pada tahap pertama [66]. Elevasi ST segment yang
menyeluruh dari perikarditis dapat dibedakan dari iskemik miokard dengan tidak
adanya depresi ST yang resiprokal [7] dan bentuk concave dari elevasi ST segment
[61]. Adanya cardiac tamponade dikarakteristikan dengan EKG voltase rendah
dengan electrical alternans [77].
Radiography
Studi radiologi mungkin dapat menyingkirkan penyebab lain dari nyeri dada.
Radiografi thorax untuk perikarditis ditujukan terutama pada evaluasi dari
mediastinum dan paru untuk kemungkinan penyebab dari radang [61]. Kardiomegali
mungkin dapat terlihat saat akumulasi efusi lebih dari 250 mL [61, 65, 67, 69].
Pencitraan CT dan MR
Pencitraan CT dan MR dapat digunakan untuk gambar perikardium dan jarak
pericardial tapi umumnya digunakan untuk menyingkirkan penyebab lain dari nyeri
dada atau sesak napas. Pencitraan CT dan MR membuktikan adanya penebalan
perikardium yang mengindikasikan adanya peradangan, dan memvisualisasikan efusi
pericardial untuk mendukung diagnosis perikarditis. [79, 80].
Echocardiography
Terkadang, TTE digunakan untuk pasien yang suspek perikarditis. Adanya efusi dapat
membantu mengkonfirmasi diagnosis [61]. Tanda-tanda dari tamponade pada
echocardiogram mengindikasikan perlunya dilakukan pericardiocentesis.

Anda mungkin juga menyukai