TINJAUAN PUSTAKA
II.1
Apotek
dipergunakan
sebagai
pedoman
bagi
tenaga
kefarmasian
dalam
pembuatan
dan
pengendalian
mutu
sediaaan
farmasi,
permintaan
bantuan
teknis
dari
Kepala
Dinas
Kesehatan
Kabupaten/Kota
setempat
dalam
waktu
12
hari
kerja
b.
c.
d.
Mempunyai surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang
mempunyai surat izin praktek,
e.
mudah di akses oleh masyarakat. Pada halaman terdapat papan petunjuk yang
dengan jelas tertulis kata Apotek.
b. Bangunan dan Kelengkapannya
Bangunan apotek harus mempunyai luas yang memadai sehingga dapat
menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi apotek. Persyaratan teknis
bangunan apotek setidaknya terdiri dari:
1. Ruang tunggu pasien.
2. Ruang peracikan dan penyerahan obat.
3. Ruang administrasi.
4. Ruang penyimpanan obat.
5. Ruang tempat pencucian alat.
6. Kamar kecil (WC).
Selain itu bangunan apotek harus dilengkapi dengan:
1. Sumber air yang memenuhi persyaratan kesehatan.
2. Penerangan yang cukup sehingga dapat menjamin pelaksanaan tugas dan
fungsi apotek.
3. Alat pemadam kebakaran minimal dua buah yang masih berfungsi dengan
baik.
4. Ventilasi dan sistem sanitasi yang memenuhi persyaratan hygiene lainnya.
5. Papan nama apotek, yang memuat nama apotek, nama APA, nomor Surat
Izin Apotek (SIA), alamat apotek dan nomor telpon apotek (bila ada).
c. Perlengkapan apotek
Perlengkapan yang harus tersedia di apotek adalah:
1.
5. Alat administrasi seperti blanko pesanan obat, faktur, kuitansi, kartu stok,
dan salinan resep.
6. Buku standar yang diwajibkan antara lain Farmakope Indonesia.
d. Tenaga Kerja atau Personalia Apotek
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2014
tentang tenaga kesehatan, dalam undang-undang tersebut tercantum bahwa Jenis
Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kefarmasian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e tentang tenaga kefarmasian terdiri
atas apoteker dan tenaga teknis kefarmasian. Berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian,
apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah
mengucapkan sumpah jabatan Apoteker. Tenaga teknis kefarmasian adalah tenaga
yang membantu apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri
atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga menengah
Farmasi atau Asisten Apoteker (3,7).
II.1.4 Pelayanan Apotek (6)
Pelayanan kefarmasian di apotek menurut keputusan Menkes RI No.
1332/Menkes/SK/X/2002 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin
Apotek, meliputi :
1. Apotek wajib melayani resep dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan
dokter hewan. Pelayanan resep ini sepenuhnya atas dasar tanggung jawab
Apoteker Pengelola Apotek, sesuai dengan keahlian profesinya yang
dilandasi pada kepentingan masyarakat.
2. Apotek wajib menyediakan, menyimpan, dan menyerahkan perbekalan
farmasi yang bermutu baik dan absah.
3. Apotek tidak diizinkan mengganti obat generik yang ditulis dalam resep
dengan obat bermerek dagang. Namun resep dengan obat bermerek
dagang atau obat paten dapat diganti dengan obat generik.
4. Apotek wajib memusnahkan perbekalan farmasi yang tidak memenuhi
syarat mengikuti ketentuan yang berlaku, dengan membuat berita acara.
Pemusnahan ini dilakukan dengan cara dibakar atau ditanam atau dengan
cara lain yang ditetapkan oleh Badan POM.
5. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang diresepkan, apoteker
wajib berkonsultasi dengan dokter penulis resep untuk pemilihan obat
yang lebih tepat.
6. Apoteker wajib memberikan informasi yang berkaitan dengan penggunaan
obat secara tepat, aman, dan rasional atas permintaan masyarakat.
7. Apabila apoteker menganggap bahwa dalam resep terdapat kekeliruan atau
penulisan resep yang tidak tepat, apoteker harus memberitahukan kepada
dokter penulis resep. Apabila atas pertimbangan tertentu dokter penulis
resep tetap pada pendiriannya, dokter wajib secara tertulis atau
membubuhkan tanda tangan yang lazim di atas resep.
8. Salinan resep harus ditandatangani oleh apoteker.
9. Resep harus dirahasiakan dan disimpan diapotek dengan baik dalam
jangka waktu 3 tahun.
10. Resep dan salinan resep hanya boleh diperlihatkan kepada dokter penulis
resep atau yang merawat penderita, penderita yang bersangkutan, petugas
kesehatan, atau petugas lain yang berwenang menurut perundangundangan yang berlaku.
11. Apoteker diperbolehkan menjual obat keras tanpa resep yang dinyatakan
sebagai Daftar Obat Wajib Apotek.
II.1.5 Pelayanan Resep (3)
Defenisi Resep Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 35
Tahun 2014, Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada
apoteker, baik dalam bentuk paper maupun electronik untuk menyediakan dan
menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku. Resep yang baik
merupakan resep yang ditulis dengan jelas dan dapat dibaca. Tulisan yang sukar
dibaca sangat rawan terhadap kesalahan yang berbahaya. Secara etika kertas resep
warna putih dengan ukuran minimal 11 x 17 cm.
10
b.
c.
2. Kesesuaian farmasetik :
a.
bentuk dan kekuatan sediaan;
b.
stabilitas; dan
c.kompatibilitas (ketercampuran obat).
3. Pertimbangan klinis :
a. ketepatan indikasi dan dosis obat;
b. aturan, cara dan lama penggunaan obat;
c. duplikasi dan/atau polifarmasi;
d. reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping obat, manifestasi
klinis lain);
e. kontra indikasi; dan
f. interaksi.
Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka
Apoteker harus menghubungi dokter penulis Resep.
II.1.6 Dispensing obat (3)
Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi
Obat. Setelah melakukan pengkajian Resep dilakukan hal sebagai berikut:
1. Menyiapkan Obat sesuai dengan permintaan Resep:
a. menghitung kebutuhan jumlah Obat sesuai dengan Resep;
b. mengambil Obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan
memperhatikan nama Obat, tanggal kadaluwarsa dan keadaan fisik Obat.
2. Melakukan peracikan obat bila diperlukan
3. Memberikan etiket sekurang kurangnya meliputi :
a. warna putih untuk Obat dalam/oral;
11
12
13
6. Pemilik sarana apotek terbukti terlibat dalam pelanggaran perundangundangan di bidang obat.
7. Apotek tidak lagi memenuhi persyaratan mengenai tempat, perlengkapan
termasuk sediaan farmasi dan perbekalan lainnya yang merupakan milik
sendiri atau milik pihak lain, sarana dan kegiatan pelayanan apotek.
Kepala Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten sebelum melakukan pencabutan,
berkoordinasi dengan Kepala Balai POM setempat.
II.2 Penggolongan Obat
Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan
patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,
pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia (8).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Rl Nomor 917/Menkes/Per/X/1993
yang kini telah diperbaiki dengan Peraturan Menteri Kesehatan Rl Nomor
949/Menkes/Per/VI/2000, penggolongan obat ini terdiri dari (9):
a. Obat Bebas (10)
Obat bebas adalah obat yang dapat dijual bebas kepada umum tanpa resep
dokter, tidak termasuk narkotika, psikotropika, obat keras,obat bebas terbatas dan
sudah terdaftar di Depkes RI.
Penandaan untuk obat bebas diatur berdasarkan Surat Keputusan Menkes
RI Nomor 2380/A/SK/VI/1983. Tanda khusus untuk obat bebas yaitu lingkaran
bulat berwarna hijau dengan garis tepi warna hitam, seperti terlihat pada gambar
berikut :
14
15
16
Rokok dan serbuk untuk penyakit bengek digunakan dengan cara dibakar
yang mengandung scopolamin
P No. 5
1. Amonia 10 % ke bawah
2. Sulfanilamidum steril dalam bugkusan tidak lebih dari 5 mg bungkusnya
P No. 6
Suppositoria.
c. Obat Keras (11)
Obat keras atau obat daftar G menurut bahasa Belanda G singkatan dari
Gevaarlijk artinya berbahaya maksudnya obat dalam golongan ini berbahaya
jika pemakaiannya tidak berdasarkan resep dokter. Contohnya : amoksisilin, dan
asam mefenamat.
Untuk penandaan obat keras mengacu kepada Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No. 2396/A/SK/VIII/1986 tentang tanda khusus
Obat Keras daftar G adalah Lingkaran bulat berwarna merah dengan garis tepi
berwarna hitam dengan huruf K yang menyentuh garis tepi, seperti
yang terlihat pada gambar berikut :
17
18
alamiah atau sintesis bukan narkotika yang bersifat psikoaktif melalui pengaruh
selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan aktivitas mental
dan perilaku.
19
mekationa,
psilosibina,
rolisiklidina,
tenamfetamina
dan
tenoksilidina.
2. Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan
dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh
psikotropika golongan II adalah amfetamina, deksafetamina, fenetilina,
fenmetrazina, metamfetamina, metakualon, sekobarbital, zipepprol.
3. Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan
dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Contoh psikotropika golongan III adalah amobarbital, buprenofrina,
butalbital, flunitrazepam, pentazosina, pentobarbital dan siklobarbital.
4. Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan
dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Contoh
psikotropika
golongan
IV
adalah
allobarbita,
alprazolam,
20
21
Pemesanan narkotika
Undang-Undang Nomor 9 tahun 1976 menyatakan bahwa Menteri
Kesehatan
memberikan
izin
kepada
apotek
untuk
membeli,
meracik,
22
23
Penyerahan Psikotropika
Obat golongan psikotropika diserahkan oleh apotek, hanya dapat
dilakukan kepada apotek lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan dan
dokter kepada pengguna/pasien berdasarkan resep dokter
d. Pelaporan Psikotropika
Apotek wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan yang
berhubungan dengan psikotropika dan melaporkan pemakaiannya setiap bulan
kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Kepala Balai
Besar POM setempat dan 1 salinan untuk arsip apotek.
24