Koma
Koma
KOMA
Oleh :
Yoppy Wijaya, S.Ked
00700056
Pembimbing :
Dr. Thomas J. S., Sp. S.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena rahmatNya
maka kami dapat menyelesaikan refrat yang berjudul Koma. Refrat ini kami buat
sebagai tugas dalam menjalankan kepaniteraan klinik di SMF Ilmu Penyakit Saraf
RSU-USD Gambiran Kediri.
Dalam kesempatan ini kami juga menyampaikan banyak terima kasih kepada
pembimbing kami Dr. Thomas, Sp.S yang sudah membimbing sejak awal hingga
selesainya refrat ini.
Kami menyadari bahwa refrat ini jauh dari sempurna, hal ini karena kurangnya
pengalaman dan pengetahuan kami. Untuk itu kami sangat berterima kasih bila
pembaca sudi memberikan kritik dan saran.
Akhir kata semoga refrat ini bermanfaat dan dapat menambah informasi dan
pengetahuan.
2007
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PATOFISIOLOGI
BAB III
ETIOLOGI
BAB IV
BAB V
BAB VI
KESIMPULAN
Ii
BAB I. PENDAHULUAN
Koma merupakan penurunan kesadaran yang paling rendah atau keadaan
unarousable unresponsiveness, yaitu keadaan dimana dengan semua
rangsangan, penderita tidak dapat dibangunkan 2,6.
Dalam bidang neurology, koma merupakan kegawat daruratan medik yang
paling sering ditemukan/dijumpai. Koma bukanlah suatu penyakit, melainkan
suatu keadaan klinik tertentu yang disebabkan oleh berbagai faktor serta
membutuhkan tindakan penanganan yang cepat dan tepat, dimana saja dan
kapan saja. Oleh karena itu pekerja di bidang medis sangat perlu untuk
memahami dan mengetahui setiap tindakan yang perlu dilakukan dalam
penangan koma 1,3,6.
Spesifik
Substansia retikularis
(lintasan spesifik)
Thalamus
(inti intralaminar)
Korteks
(area spesifik)
Respon spesifik
Non-spesifik
substansia retikularis
(Diffuse ascending reticular system)
Thalamus
(inti intralaminar)
Korteks
(seluruh bagian)
kewaspadaan/kesadaran
yaitu perasaan nyeri di kaki atau di wajah atau suatu penglihatan, penghiduan
atau suatu pendengaran tertentu.
Input yang bersifat non-spesifik adalah sebagian dari impuls aferen
spesifik yang disalurkan melalui lintasan aferen non-spesifik (lintasan ini lebih
dikenal sebagai diffuse ascending reticular system) yang terdiri dari
serangkaian neuron-neuron di substansia retikularis medulla spinalis dan
batang otak yang menyalurkan impuls aferen ke thalamus (inti intralaminar).
Inti intralaminar yang menerima impuls non-spesifik tersebut akan
menggalakkan
dan
memancarkan
impuls
yang
diterimanya
berfungsi
mengeluarkan
ion
Na
dari
dalam
sel
dan
- Anoksia iskemik.
- Anoksia anemik.
- Hipoksia atau iskemia difus akut.
- Gangguan metabolisme karbohidrat.
- Gangguan keseimbangan asam basa.
- Uremia.
- Koma hepatik
- Defisiensi vitamin B.
2. Koma diensefalik.
Koma akibat gangguan fungsi atau lesi struktural formation
retikularis di daerah mesensefalon dan diensefalon (pusat penggalak
kesadaran). Secara anatomik koma diensefalik dibagi menjadi 2
bagian utama yaitu koma akibat lesi supratentorial dan lesi
infratentorial.
Lesi supratentorial.
Proses desak ruang supratentorial, lama kelamaan mendesak
hemisferium kea rah foramen magnum, yang merupakan satu-satunya
jalan keluaruntuk suatu proses desak didalam ruang tertutup seperti
tengkorak. Karena itu batang otak bagian depan (diensefalon)
mengalami distorsi dan penekanan.
Saraf-saraf otak mengalami penarikan dan menjadi lumpuh dan
substansia retikularis mengalami gangguan. Oleh karena itu bangkitlah
kelumpuhan saraf otak yang disertai gangguan penurunan derajat
kesadaran. Kelumpuhan saraf otak okulomotorius dan
trokhlearismerupakan cirri bagi proses desak ruang supratentorial yang
sedang menurun ke fossa posterior serebri.
Yang dapat menyababkan lesi supratentorial antara lain; tumor
serebri, abses dan hematoma intrakranial.
Lesi infratentorial.
Ada 2 macam proses patologik dalam ruang infratentorial (fossa
kranii posterior). Pertama, proses diluar batang otak atau serebelum
yang mendesak system retikularis. Kedua, proses didalam batang otak
yang secara langsung mendesak dan merusak system retikularis
batang otak.
Proses yang timbul berupa (i).penekanan langsung terhadap
tegmentum mesensefalon (formasio retikularis). (ii) herniasi serebellum
dan batang otak ke rostral melewati tentorium serebelli yang kemudian
menekan formation retikularis di mesensefalon. (iii) herniasi tonsiloserebellum ke bawah melalui foramen magnum dan sekaligus
menekan medulla oblongata. Secara klinis, ketiga proses tadi sukar
dibedakan. Biasanya berbauran dan tidak ada tahapan yang khas.
Penyebab lesi infratentorial biasanya GPDO di batang otak atau
serebelum, neoplasma, abses, atau edema otak.
intracranial.
Biasanya
dengan
gejala
TIK
meningkat
1. Anamnesa.
Karena penderita terganggu kesadarannya, maka harus diambil
heteroanamnesis dari orang yang menemukan penderita atau mengetahui
kejadiannya. Hal yang harus diperhatikan antara lain:
- Penyakit penderita sebelum koma.
- Keluhan penderita sebelum tidak sdar
- Obat yang digunakan.
- Apa ada sisa obat, muntahan, darah, dsb didekat penderita saat ia ditemukan
tidak sadar.
- Apakah koma terjadi secara mendadak atau perlahan?. Gejala apa saja yang
nampak oleh orang-orang disekitarnya?.
- Apakah ada trauma sebelumnya
- Apakah penderita mengalami inkontinensia urin dan feses.
2. Pemeriksaan intern/fisik.
a. Tanda-tanda vital.
b. Bau nafas penderita (amoniak, aseton, alcohol, dll)
c. Kulit ; turgor (dehidrasi), warna (sianosis - intoksikasi CO, obat-obatan),
bekas
injeksi (morfin), luka-luka karena trauma.
d. Selaput mukosa mulut (adanya darah atau bekas minum racun).
10
e. Kepala;
posterior).
3. Pemeriksaan neurologis.
a. Pemeriksaan kesadaran; digunakan Glasgow Coma Scale (GCS).
b. Pemeriksaan untuk menetapkan letak proses / lesi.
*) Observasi umum.
Perhatikan
gerakan
menguap,
menelan,
mengunyah,
*) Pola pernafasan.
disebabkan
gangguan
di
tegmentum
(antara
11
poenghentian
ekspirasi
selama
beberapa
saat.
dengan
perubahan
posisi
(dolls
eye
maneuver
12
*) Refleks sefalik
okulo-sefalik negative).
13
Secara garis besarnya, pemeriksaan untuk menentukan letak lesi dapat dilihat pada kolom dibawah ini, dimana masing-masing lesi memiliki
gejala tertentu / gejala yang khas secara klinis 1,2,3,4,7.
Hemisfer
Breathing
(pernapasan)
Reaktivitas dan
ukuran pupil
Diencefalon
Midbrain
(mesensefalon)
Cheyne stokes
Cheyne stokes
Kussmaul
Deviation
conjugee
Refleks cahaya
normal
normal
Pupil dilatasi
4-5mm
Unreaktif
Pons
Kussmaul / apneustik
Medulla
oblongata
Ataksik
Okulo-auditorik
refleks
()
()
Okulo-vestibular
refleks
()
()
Refleks kornea
()
()
Refleks muntah
Sikap tubuh
()
Decorticated
rigidity
Withdrawal /
decorticate
Decerebrate
rigidity
Decerebrate rigidity
()
14
Paralisis (kelumpuhan)
Refleks
tendinei
(otot)
bila
traktus
piramidalis
15
Pemeriksaan khusus ;
o
Keganasan sitologi
TB pengecatan ziehl-nelson
16
Gambaran klinik.
Dipandang dari penampilan klinik, penderita koma dapat bersikap tenang seakan
akan tidur pulas atau bersikap gelisah, banyak gerak, dan/atau berteriak.
Manifestasi klinik penurunan kesadaran bervariasi, bergantung pada penyakit
yang mendasarinya atau komplikasi yang muncul setelah terjadinya penurunan
kesadaran..
Gejala klinik yang dapat menyertai koma antara lain; demam, gelisah, kejang,
muntah, retensi lendir atau sputum di tenggorokkan, retensi atau inkontinensia urin,
hipertensi, hipotensi, takikardi, bradikardi, takipnea, dispnea, edema fokal atau
anasarka, ikterus, sianosis, pucat, perdarahan subkutis, dan sebagainya.
Pada lesi intrakranial dapat terjadi hemiplegia, defisit nervi kranialis, kaku kuduk,
deviasi mata, perubahan diameter pupil, edema papil.
Pada trauma kapitis dapat terjadi braile hematoma, hematoma belakang telinga
(battle sign), perdarahan telinga dan hidung, dan likorea.
Koma kortikal bihemisferik disebut juga koma metabolik, dimana pada
koma jenis ini terdapat penyakit primer yang mendasari (penyakit non-saraf) timbulnya
koma. Gejala klinisnya : organic brain syndrome dan gangguan neurologist
yang bilateral.
Koma diensefalik timbul akibat gangguan fungsi atau lesi struktur
formation retikularis (batang otak) akibat proses desak ruang. Gejala klinisnya :
semua manifestasi gangguan neurologik menunjukkan ciri lateralisasi seperti
hemiparese, anisokor, dll 1,3,4,7.
17
2.
dipertahankan
semaksimal
mungkin,
karena
Bila
penderita
kejang
sebaiknya
diberikan
5.
18
Pemberian
obat
antiagregasi
trombosit
dan
antikoagulan.
Penatalaksanaan secara lebih detil mengenai gangguan sirkulasi
dapat dibaca pada tulisan-tulisan lain mengenai CVA.
2. Ensefalomeningitis.
Meningitis purulenta antibiotic
Meningitis tuberkulosa dipakai kombinasi INH, rifampisin,
kanamisin, dan pirazinamide.
3. Metabolisme.
Koma karena gangguan metabolime harus diobati penyakit
primernya. Penatalaksanaannya terletak di bagian penyakit dalam.
4. Elektrolit dan endokrin.
Bagian penyakit dalam. Kalium selain menyebabkan gangguan
saraf juga dapat menyebabkan gangguan jantung.
19
5. Neoplasm.
Dilakukan oleh ahli bedah saraf.
6. Intoksikasi penderita koma karena intoksikasi diberikan
activator metabolic dan diuresis paksa untuk mengeluarkan
penyabab intoksikasi. Bila memungkinkan berikan antidotnya.
7. Epilepsi 8.
o Secara umum, pengobatan dilakukan bila terdapat minimum 2 x
bangkitan dalam setahun. Tegakkan diagnosis, jelaskan kepada
keluarga penderita seputar tujuan pengobatan dan efek
samping.
o Sesuaikan jenis obat dengan jenis serangan epilepsy yang di
jumpai, sebaiknya MONOTERAPI.
o Mulailah dengan dosis rendah yang dinaikkan bertahap sampai
tercapai dosis efektif.
o Bila perlu penggantian obat, obat pertama diturunkan secara
bertahap dan naikkan obat kedua bertahap.
o Jika serangan tetap tidak terkontrol meskipun sudah mendapat
monoterapi / terapi optimal, sebaiknya rujuk ke spesialis saraf.
o Pada status epileptikus :
Prognosis.
Prognosis jelek bila didapatkan gejala-gejala seperti di bawah ini lebih dari 3 hari:
1. Adanya gangguan fungsi batang otak, seperti dolls eye phenomenon
negative, refleks kornea negative, refleks muntah negative.
2. Pupil lebar tanpa adanya refleks cahaya.
3. GCS yang rendah (1-1-1).
20
21
1. Harsono (ed.) 2005 buku ajar Neurologis klinis, cetakan ketiga. Penerbit
Gajah Mada University Press.
2. Prof. Dr. dr. B. Chandra, Neurologi Klinik, Kepala Bagian Ilmu Penyakit
Saraf FK.Unair / RSUD Dr. Soetomo Surabaya,.
3. Priguna Sidharta, M. D., Ph. D. , Tata Pemeriksaan Klinis Dalam
Neurologi, Dian Rakyat.
4. Sidharta, Priguna, dan Mardjono, Mahar 2004 Neurologis Klinis Dasar.
Penerbit Dian Rakyat.
5. J.G.Chusid, Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional.
Diterjemahkan oleh dr. Andri Hartono, Gadjah Mada University press,
cetakan ke empat 1993.
6. Prof.DR.dr. S.M. Lumbantobing (ed. 2005) Neurologi Klinik, pemeriksaan
fisik dan mental, cetakan ketujuh. Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
7. Rifat Naghmi, BSo, MD, Coma: quick evaluation and management
8. Dr. Manfaluthi, SpS, Dr. Nizar Yamani, SpS, Dr. Lina Soertidewi, SpS,
dan kawan-kawan PERPEI (Perhimpunan Penanggulangan Epilepsi
Indonesia) cabang jakarta, Buku Panduan / Modul Penanggulangan
Epilepsi Mudah Aman & Sederhana (EMAS), tahun 2004, PERPEI.
22