Anda di halaman 1dari 115

JURNAL FISIKA DAN TERAPANNYA

VOLUME 1, NOMOR 3, AGUSTUS 2013

Penanggung Jawab
Prof.,Drs., Win Darmanto, M.Si,Ph.D.
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Airlangga, Indonesia

Dewan Redaksi (Editorial Board):


Ketua
: Drs. Siswanto, M.Si.
Wakil Ketua: Dr. Retna Apsari, M.Si.
Anggota
: Dr. Suryani Dyah Astuti, M.Si.
Mohammad Faried, ST.

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah yang Maha Esa, berkat rahmat dan hidayahNya
semata jurnal online edisi pertama ini dapat diterbitkan.
E-jurnal Fisika dan Terapannya ini merupakan media publikasi bagi sivitas di
lingkungan departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga. Selain
itu melalui media ini diharapkan dapat mencegah terjadinya praktek plagiasi dalam penelitian.
Pada edisi pertama ini, diterbitkan sepuluh makalah hasil penelitian mahasiswa dari program
studi S1 Fisika dan program studi Teknobiomedik, masing-masing memberikan sumbangan
lima makalah. Topik makalah dari prodi S1 Fisika meliputi bidang biofisika, fisika material,
fotonik dan komputasi, sedangkan topik makalah dari prodi teknobiomedik meliputi bidang
biomaterial dan instrumentasi medis . Hal ini sesuai dengan kelompok bidang keahlian (KBK)
yang dikembangkan pada kedua program studi tersebut.
Semoga jurnal ini dapat bermanfaat bagi pembaca semua.

Ketua Departemen Fisika


FST Universitas Airlangga

Drs. S i s w a n t o, M.Si.

Jurnal Fisika dan Terapannya


(Journal of Physics and Application)
Volume 1, Nomor 3,
AGUSTUS 2013

DAFTAR ISI
Aurista Miftahatul I
Siswanto
Dyah Hikmawati

Sintesis Membran Penyaring Logam Berat


1
Timbal (Pb) di Udara Berbasis Selulosa
Asetat dari Eceng Gondok (Eichhornia crassipes)

Hadi Suntaya
Samian
Supadi

Sensor Ketinggian Permukaan Oli Berbasis


Sensor Pergeseran Fiber Coupler

Nike Dwi G. D.
Suryani Dyah Astuti
Moh. Yasin

Potensi Induksi Medan Magnet Eksternal


21
Untuk Efektivitas Fotoinaktivasi Bakteri Patogen

Satya Bagus K.
Jan Ady
Djoni Izak R

Sintesis dan Karakterisasi Sifat Mekanik


28
Mortar Berbasis Material Komposit Silika Amorf
Dengan Variasi Penambahan Sekam Tebu

Siti Rochmah A.D.


Welina Ratnayanti K
Tri Anggono P

Analisis Perubahan Profil Potensial Titik


Akupunktur Penderita Diabetes Mellitus
Terhadap Paparan Laser Punktur

Yulanda Dwi Fajarwati


Wellina Ratnayanti K
Tri Anggono P.

Optimasi Model Elektrode Pada Sistem


53
Pengukuran Potensial Titik Akupunktur Secara
Non- Invasive Untuk Diagnosis Fungsional Organ

Fatimatul Karimah
Endah Purwanti
Adri Supardi

Implementasi Learning Vector Quantization


65
(LVQ) sebagai Alat Bantu Identifikasi Kelainan
Jantung Melalui Citra Elektrokardiogram

14

37

Nada Fitrieyatul Hikmah Rancang Bangun Syringe Pump Berbasis


74
Imam Sapuan
Mikrokontroler ATmega8535 Dilengkapi Detektor
Triwiyanto
Oklusi
Kristio Mordhoko
Rancang Bangun Sistem Optimasi Infus
Franky Chandra Satria A. Drop Rate
Pujiyanto
Windi Aprilyanti Putri
Siswanto
Prihartini Widiyanti

92

Sintesis Bahan Cetak Gigi Natrium Alginat


102
Dari Alga Coklat Sargassum sp. yang Berpotensi
Untuk Aplikasi Klinis

Sintesis Membran Penyaring Logam Berat Timbal (Pb) di Udara


Berbasis Selulosa Asetat dari Eceng Gondok (Eichhornia
crassipes)
Aurista Miftahatul I, Dyah Hikmawati, Siswanto
Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Airlangga, Surabaya

e-mail: aurista.ilmah@yahoo.com

ABSTRAK

Telah dilakukan sintesis membran selulosa asetat dari eceng gondok sebagai
penyaring logam berat timbal (Pb) di udara. Metode yang digunakan adalah dengan
pembuatan selulosa asetat dari eceng gondok kemudian dilanjutkan pembuatan membran
dengan pelarut aseton dan formamida lalu mengkontaminasikan membran ke gas buangan
kendaraan bermotor. Hasil untuk selulosa asetat dikarakterisasi menggunakan FT-IR,
sedangkan hasil dari pembuatan membran dikarakterisasi dengan uji mikrostruktur
dengan mikroskop cahaya binokuler dan uji emisi gas buang kendaraan bermotor. Hasil
analisis data FT-IR membuktikan terbentuknya selulosa diasetat dengan pita serapan khas
yaitu adanya gugus karbonil (C=O) pada bilangan gelombang 1749,12 cm-1. Membran
yang memiliki kemampuan dalam menyaring timbal yang paling baik adalah membran
dengan perbandingan selulosa asetat 16%, formamida 8%, aseton 76% dengan persentase
emisi PbCO3 terabsorbsi 0,714%. Uji mikrostruktur juga memberikan hasil dengan
perbandingan tersebut diperoleh kerapatan pori-pori dan ketebalan yang tinggi. Membran
dengan selulosa asetat 16% dan aseton 76% berpotensi dalam menyaring timbal di udara.

Kata kunci : selulosa asetat, membran, eceng gondok, timbal (Pb)

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

ABSTRACT

It had been synthesized a cellulose acetate membrane made from Eichhornia


crassipes that will be used as a filter of heavy metal Pb in the air. The methods used was
making cellulose acetate from Eichhornia crassipes and continued by making a
membrane from acetone solvent and formamide, and then contaminating the membrane to
motor vehicle exhaust gas. The result from cellulose acetate is characterized by using FTIR, and the result from membran is characterized by microstructural test with binocular
light microscope and emission test of motor vehicle exhaust gas. Result of FT-IR data
showed existence of cellulose diacetate which was indicated by typical absorbance band
such as carbonyl group (C=O) at wave number 1749,12 cm-1. Membrane that has the best
capability to filter Pb is membrane that has 16% composition of cellulose acetate, 8% of
formamide, and 76% of acetone with emission percentage of absorbance of PbCO 3
0,714%. Microstructural test gives the same result and obtained high pores density and
high thickness. Membrane with 16% cellulose acetate and 76% acetone is potential to
filter Pb in the air.

Keyword: cellulose acetate, membrane, Eichhornia crassipes, Pb

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

1. PENDAHULUAN
Eceng gondok (Eichhornia crassipes) adalah sejenis tumbuhan yang tumbuh di
air tawar dan beraliran tenang. Masyarakat banyak menggolongkan eceng gondok
kedalam tumbuhan air yang merugikan, eceng gondok umumnya dianggap sebagai gulma
perairan, sehingga perannya sebagai penyangga ekosistem perairan kurang diperhatikan.
Penelitian Suwondo, 2005 membuktikan bahwa eceng gondok memiliki potensi
sebagai tumbuhan air yang dapat menanggulangi pencemaran air dengan nilai
bioakumulasi yang tinggi, eceng gondok mempunyai potensi sebagai pembersih perairan
dari limbah logam dan menurunkan tingkat toksisitas bahan pencemar yang terdapat
dalam perairan yang tercemar oleh limbah. Komposisi kimia eceng gondok tergantung
pada kandungan unsur hara tempatnya tumbuh, dan sifat daya serap tanaman tersebut.
Eceng gondok mempunyai sifat-sifat yang baik antara lain dapat menyerap logam-logam
berat, senyawa sulfida, selain itu mengandung protein lebih dari 11,5% dan mengandung
selulosa yang lebih besar dari non selulosanya seperti lignin, abu, lemak, dan zat-zat lain
(Kriswiyanti, 2009).
Eceng gondok termasuk salah satu tumbuhan yang mempunyai kadar selulosa
tinggi yakni mencapai 72,63% (Lowel, 1991) yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan
penyerap. Selulosa sendiri merupakan polimer sederhana, membentuk ikatan kimia yang
memiliki permukaan rantai selulosa seragam dan membentuk lapisan berpori. Material
padatan berpori inilah yang menyerap bahan bahan di sekelilingnya, sehingga dapat
dimanfaatkan sebagai material penyerap bahan berbahaya bagi lingkungan.
Selulosa asetat merupakan polimer turunan dari selulosa yang mempunyai derajat
substitusi asetil yang tinggi dengan kelarutan yang rendah dalam pelarut tetapi
menghasilkan produk yang mempunyai karakter fisik yang sangat baik dan dapat
digunakan sebagai material industri makanan, filter rokok serta pemanfaatanya sebagai
membran logam berat dengan komposisi selulosa asetat, pelarut aseton, dan formamida.
Membran adalah sebuah penghalang selektif antara dua fasa, ditinjau dari bahannya
membran terdiri dari bahan alami dan bahan sintesis. Bahan dari alam misalnya pulp dan
kapas, sedangkan bahan sintesis dibuat dari bahan kimia misalnya polimer. Membran
selama ini berfungsi memisahkan material berdasarkan ukuran dan bentuk molekul,
menahan komponen dari umpan yang mempunyai ukuran yang lebih besar dari pori-pori
membran dan melewatkan komponen yang mempunyai ukuran lebih kecil. Mekanisme
filtrasi membran adalah dengan mengumpulkan partikulat dari berbagai macam material

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

keuntungan dari jenis filter ini adalah efisiensi pengumpulan yang baik, partikulat
terkumpul pada permukaan filter.
Pencemaran lingkungan terutama oleh logam berat telah menjadi masalah yang
perlu diperhatikan. Timbal (Pb) atau yang sering dikenal dengan timah hitam termasuk
salah satu jenis logam berat yang membuat udara tercemar. Manusia menghirup timbal
melalui udara, debu, air dan makanan. Salah satu penyebab kehadiran timbal adalah
kegiatan transportasi darat yang juga menghasilkan bahan pencemar seperti gas CO2,
NOx, hidrokarbon, SO2, dan Tetraethyl lead. Pb merupakan logam timah hitam yang
ditambahkan ke dalam bahan bakar berkualitas rendah untuk meningkatkan nilai oktan.
Pada saat ini cara mengatasi pencemaran udara bagi pengguna jalan raya adalah
cukup dengan penggunaan masker udara yang berbahan kain atau handuk. Masker untuk
melindungi debu atau partikel-partikel yang lebih besar yang masuk ke dalam pernafasan,
dapat terbuat dari kain atau bahan dengan ukuran pori-pori tertentu. Menurut Suryanta
(2009) perbedaan masker kain dengan handuk adalah handuk mempunyai pori yang besar
atau 100 dan masker kain mempunyai pori-pori kecil atau 10 sedangkan partikel debu
yang dapat masuk ke dalam pernafasan manusia adalah yang berukuran 0,1 m - 10 m dan
berada di udara sebagai suspenden particulate matter (partikulat melayang dengan ukuran
10 m). Oleh sebab itu penelitian tentang membran selulosa asetat dengan memanfaatkan
eceng gondok sebagai alat penyaring Pb di udara merupakan kajian yang menarik.

2. METODE PENELITIAN
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah batang eceng gondok, natrium
asetat (CH3COONa), asam asetat (CH3COOH), aquades, Ca(OH)2 , NaOH, asam asetat
glacial (CH3COOH), asetat anhidrida (CH3CO)2O, asam sulfat (H2SO4) pekat,
Formamida, aseton, NaOCl 5% (v/v).
2.1 Pembuatan Selulosa Asetat dari Eceng Gondok
Tahap pertama pada pembuatan pulp adalah eceng gondok dibersihkan dan
dikeringkan, proses pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air. Setelah eceng
gondok dikeringkan dan dipotong dalam ukuran 2 cm lalu direndam dalam akuades
selama 2 minggu sampai batang eceng gondok tersebut lunak dan serat-seratnya terpisah.
Serat eceng gondok tersebut dicuci sampai bersih dan dikeringkan di udara terbuka.
Tahap kedua adalah pembuatan larutan, NaOH ditimbang sebanyak 17,5 gram
kemudian dimasukkan dalam gelas beker 100 ml dan dilarutkan dengan akuades. Setelah
semua NaOH larut, dipindahkan ke labu ukur 100 ml secara kuantitatif, diencerkan

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

sampai tanda batas dengan akuades. Lalu 2,5 gram Ca(OH)2 ditimbang dan dimasukkan
dalam gelas beker 100 ml selanjutnya dilarutkan dengan akuades. Setelah semua
Ca(OH)2 larut, dipindahkan kelabu ukur 100 ml secara Serat eceng gondok sebanyak 20
gram ditambahkan Ca(OH)2 2,5% (b/v) 150 ml dan direndam selama 3 hari setelah itu
dicuci dengan akuades lalu dimasukkan kedalam labu alas bulat yang sebelumnya sudah
diisi dengan 300 ml larutan NaOH 17,5% (b/v), kemudian direfluks selama 4 jam
Hasil refluks yang berupa selulosa dicuci dengan air sampai bebas basa (netral)
Selanjutnya dihaluskan dan di cetak dalam lembaran tipis serta dikeringkan dengan oven
pada temperatur 60O C, penghitungan kadar selulosa dari eceng gondok dapat dinyatakan
oleh persamaan 2.1.

% =

( )
( )

100%..

(2.1)

10 gram pulp kering ditambahkan dengan 88 ml aquades dalam gelas beker yang
telah dipanaskan pada temperatur 600C, kemudian campuran diaduk sampai terbentuk
bubur. Bubur yang terbentuk didinginkan hingga mencapai suhu kamar, dan ditambahkan
sekitar 100 ml NaOCl 5 % (v/v) didiamkan selama 30 menit (pengadukan terus
dilakukan). Campuran dibilas dengan akuades, kemudian direndam dengan NaOH 2 %
(v/v) dan didiamkan selama 30 menit. Campuran dicuci dengan akuades sampai bebas
basa dan dikeringkan di udara terbuka seperti yang ditunjukkan pada (Denia, 2011).
Pulp serat eceng gondok sebanyak 10 g ditambahkan asam asetat glasial 24 ml
dan di-sheker pada suhu 40oC selama 1 jam. lalu ditambahkan campuran asam asetat
glacial 60 ml dan asam sulfat pekat 0,5 ml lalu di-sheker lagi selama 45 menit pada suhu
yang sama. Kemudian campuran didinginkan sampai mencapai suhu 18oC. lalu
ditambahkan asetat anhidrida yang sudah didinginkan sebanyak 27 ml selama 2 jam pada
suhu 40oC.
Tahap selanjutnya larutan asam asetat 67% (b/v), ditambahkan ke dalam
campuran sebanyak 30ml tetes demi tetes selama 3 jam pada suhu 40oC dan di-sheker.
Selanjutnya dihidrolisis 15 jam, Lalu campuran diendapkan dengan menambahkan
akuades tetes demi tetes dan diaduk sehingga diperoleh endapan yang berbentuk serbuk
seperti yang dapat dilihat pada Gambar 3.5. Endapan disaring dan dicuci sampai netral,
endapan dikeringkan dalam oven pada suhu 6070oC kemudian diayak dengan
menggunakan saringan mikro (Denia, 2011).

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

2.2 Pembuatan Membran Selulosa Asetat Dari Eceng Gondok


Tahap pembuatan membran selulosa asetat dari eceng gondok adalah diawali dengan
melakukan beberapa variasi komposisi .
Tabel 2.1 Komposisi Membran

Selulosa asetat dari eceng gondok setelah ditambah pelarut aseton kemudian
dimasukkan kedalam labu Erlenmeyer bertutup. Campuran tersebut diaduk dengan stirrer
selama 1 jam hingga larut sempurna. Setelah itu, formamida ditambahkan kedalam
campuran sambil terus diaduk selama 6 jam hingga larutan menjadi homogen
(wirawardani, 2009).
Prinsip pembuatan membran dengan menuangkan larutan dope ke atas pelat kaca.
Selanjutnya silinder stainless steel digerakkan ke bawah untuk membentuk lapisan tipis
dari larutan dope tersebut dan didiamkan selama semalam. Setelah itu membran dicuci
dengan air mengalir untuk menghilangkan kelebihan pelarut dan dipotong sesuai ukuran
sel filtrasinya (Gambar 2.1).

Gambar 2.1 Sampel hasil sintesis membran selulosa asetat dari eceng gondok

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

2.3 Karakterisasi Membran Selulosa Asetat


2.3.1 Karakterisasi Spektrofotometer IR
Spektroskopi FT-IR adalah Alat yang digunakan untuk mengukur serapan
Radiasi daerah inframerah pada berbagai panjang gelombang spektroskopi FT-IR
merupakan salah satu teknik identifikasi penentuan struktur. Secara kualitatif,
spectrometer FT-IR dapat digunakan untuk mengindentifikasi gugus fungsi yang ada
dalam struktur molekul yakni berupa munculnya puncak-puncak baru atau hilangnya
puncak-puncak tertentu. Data yang dihasilkan dari uji spectrum FT-IR adalah puncakpuncak spektrum karakteristik yang di gambarkan sebagai kurva transmitansi (%) dan
bilangan gelombang (cm -1) pada sampel yang diujikan yang kemudian akan dianalisis.
2.3.2 Uji Mikrostruktur
Mikroskop berfungsi untuk melihat benda-benda atau organisme yang berukuran
sangat kecil, sampel yang akan diteliti diletakkan di meja preparat kemudian mengatur
roda penggeser dan revolver (bagian dari mikroskop untuk memindahkan perbesaran
lensa dan memutar lensa objektif) kemudian mengatur fokus mikroskop pada sampel.
2.3.3 Uji Emisi Kendaraan Bermotor
Pengukuran emisi gas buang dilakukan pada sepeda motor Yamaha Fiz R dengan
menggunakan alat tecnotester tipe MOD 488. Pengukuran kuantitas emisi gas buang
dilakukan dengan rnemasukkan pipa penghisap tecnotester kedalam saluran gas buang
lalu diserap oleh tecnotester dan dihitung secara digital (otomatis), kadar emisi gas buang
dilihat dengan membandingkan kadar ernisi sebelum dan sesudah ditambahkan filter
(Ronaldo Rici, 2008).
Ukuran efektivitas filter dapat dinyatakan dengan persamaan 2
% Emisi Teradsorpsi = C1- C2 / C1 x 100%..(2.2)
Dengan C1 dan C2 adalah kadar emisi gas awal (sebelum perlakuan) dan gas setelah
perlakuan dengan filter.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Karakterisasi Spektrofotometer IR
Spektrometri FT-IR digunakan untuk mengidentifikasi gugus fungsi, hasil dari
penentuan gugus fungsi adalah dengan membandingkan spektrum FT-IR dari selulosa
eceng gondok pada Gambar 4.1 dengan selulosa asetat eceng gondok hasil sintesis pada
Gambar 4.2.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Gambar 3.1 Selulosa dari Batang Eceng gondok

Gambar 3.2 Selulosa asetat dari Batang Eceng gondok


Berdasarkan perbandingan FT-IR antara selulosa dengan selulosa asetat dari
eceng gondok dapat dilihat bahwa selulosa asetat hasil dari sintesis merupakan selulosa
diasetat. Pada spektrum selulosa diasetat muncul pita dengan panjang gelombang 19501600 cm-1 yang merupakan gugus fungsi C=O ester. Sedangkan pada selulosa tidak
terdapat pita pada bilangan gelombang tersebut, Hal ini ditunjukkan pada Tabel 4.1.
Tabel 3.1 Hasil uji FT-IR selulosa dan selulosa diasetat dari batang eceng gondok

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

3.2 Uji Mikrostruktur


Pengamatan struktur mikro umumnya yang diamati adalah bagian permukaan
sampel serta bentuk pori-pori sampel dan ketebalan sampel. Sampel yang diuji mikro
strukturnya dengan menggunakan mikroskop cahaya ini hanya dilakukan pada sampel A
dengan komposisi CA 8%, sampel C dengan komposisi CA 12%, dan sampel E dengan
komposisi CA 16%. Sampel tersebut diuji dengan perbesaran 10x10 menggunakan
mikroskop cahaya berjenis binokuler. Hasil pengamatan sangat bergantung pada cahaya
yang menembus sampel. Semakin tebal sampel yang diamati semakin sulit cahaya
menembus sampel.
Pada bagian (c) dari Gambar 3.3, sampel yang mempunyai pori-pori paling rapat
dan tebal adalah sampel E, yaitu pada komposisi CA 16%. Hal ini dibuktikan dengan
cahaya miroskop yang tidak dapat menembus bagian sampel karena terhalang oleh
kerapatan pori-pori sampel. Ketebalan dan kerapatan sampel E disebabkan CA (selulosa
asetat) berjenis selulosa diasetat yang digunakan lebih banyak, sehingga perbandingan
pelarutnya yaitu aseton semakin sedikit dan dapat mengakibatkan membran CA yang
dituangkan lebih tebal dan rapat.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

c
Gambar 3.3 Pori-pori permukaan membran selulosa diasetat (a) sampel A (b) Sampel C
(c) Sampel E
3.3 Hasil Uji Emisi Kendaraan Bermotor terhadap sampel
Uji emisi kendaraan bermotor dilakukan dengan meneliti sisa hasil pembakaran
bahan bakar di dalam mesin pembakaran kendaraan bermotor yang dikeluarkan melalui
sistem pembuangan mesin. Pengukuran kuantitas emisi gas buang dilakukan dengan
memasukkan pipa penghisap tecnotester ke dalam saluran gas buangan. Gas buang yang
berinteraksi diserap oleh tecnotester yang dapat menghitung secara otomatis.
Pb merupakan bahan pencemar yang ada pada gas buang, pada pembakaran bensin Pb
organik berubah bentuk menjadi Pb anorganik. Timbal (Pb) yang dikeluarkan sebagai gas
buang kendaraan bermotor merupakan partikel-partikel yang berukuran sekitar 0,01 m.
Partikel-partikel timbal ini akan bergabung satu sama lain membentuk ukuran yang lebih
besar, dan keluar sebagai gas buang atau mengendap pada knalpot. Berdasarkan
perhitungan persamaan (2.2) dapat diketahui bahwa pengukuran kadar timbal (Pb)
sebelum dan sesudah diberi membran selulosa asetat dapat dilihat pada Tabel 3.2 dan
dibuat grafik seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.4.
Tabel 3.2 Kadar timbal (Pb) sebelum dan sesudah diberi membran selulosa asetat

10

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

% emisi Pb terabsorbsi

% emisi Pb terabsorbsi
1

0.5
0
A

C
SAMPEL D

% emisi Pb

Gambar 3.4 Grafik persentase emisi Pb terabsorbsi


Timbal (Pb) telah lama digunakan sebagai tambahan bahan berupa TEL (Tetra
etil Lead) untuk meningkatkan nilai oktan bensin sehingga hanya ditemukan pada bahan
bakar bensin. Program pemerintah untuk mengunakan bensin tanpa timbal sudah
digalakkan, sehingga dalam mengukur konsentrasi kandungan timbal pada bahan bakar
mengalami sedikit kesulitan. Namun penggalakan tersebut belum seluruhnya dilakukan,
hal ini terbukti dengan masih adanya timbal pada bahan bakar meskipun konsentrasinya
sangat sedikit. Sampai tahun 2011,hasil pemantauan kadar Pb di kota Semarang
menunjukkan kadar tertinggi, yaitu sebesar 2,41 g/Nm. Di Indonesia, pada tahun 2005
ditargetkan bahwa bahan bakar tidak lagi menggunakan timbal, namun pada
kenyataannya sampai saat ini belum tuntas. Mundurnya program tersebut disebabkan oleh
adanya kolusi dari oknum dengan perusahaan Inggris, Innospec Ltd (produsen TEL) agar
Indonesia menunda penerapan bensin tanpa timbal (Gusnita, 2012).
Kerapatan pori-pori dari membran selulosa asetat berpengaruh terhadap hasil uji
emisi kendaraan bermotor. Sampel E yang mempunyai kerapatan paling tinggi mampu
menyaring Pb lebih banyak, sedangkan sampel A dengan kerapatan pori-pori paling
rendah mampu menyaring Pb lebih sedikit.

Selain menggunakan membran selulosa

asetat, hasil uji emisi juga dilakukan tanpa filter dan dengan menggunakan filter masker
biasa. Hal ini dapat ditunjukkan pada Gambar 3.5.

Hasil uji Emisi PbCO3


% vol

0.002

0
TF DF A B C
sampel

Gambar 3.5. Grafik Hasil Uji Emisi PbCO3

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

11

Selain menyaring Pb dalam senyawa PbCO3, membran selulosa asetat mampu


menyaring unsur atau senyawa lain seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.3. Pada tabel
tersebut juga ditampilkan emisi gas buang kendaraan bermotor tanpa filter dan dengan
menggunakan filter masker biasa.
Tabel 3.3 Hasil uji emisi gas buangan kendaraan bermotor

Berdasarkan hasil data-data tersebut dapat diketahui bahwa selulosa asetat tidak
hanya dapat menyaring logam berat berjenis timbal (Pb) di udara. Hal ini dibuktikan
dengan adanya unsur atau senyawa lain yang ikut tersaring dalam asap kendaraan
bermotor. Namun dari beberapa sampel yang dibuat, hanya konsentrasi tertentu yang
mampu mengurangi emisi lebih baik daripada filter masker biasa.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
a. Membran selulosa asetat pada komposisi 16% Ca dan 76% aseton mempunyai poripori yang paling rapat sehingga lebih efektif dalam menyerap Pb.
b. Sintesis membran selulosa asetat dari eceng gondok mampu mengurangi logam
berat Pb dalam senyawa PbCO3 pada uji emisi gas buangan kendaraan bermotor
dengan persentase emisi Pb terabsorbsi paling baik adalah 0,714% pada sampel
dengan komposisi selulosa asetat 16% dan 76% aseton.

12

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

DAFTAR PUSTAKA
Denia, Pradita, 2011, Pengaruh Penambahan Selulosa Diasetat Dari Serat Nanas
Terhadap Sifat Mekanik (Edible Plastic) Berbasis Pati Tapioka, Skripsi, Jurusan
Fisika FMIPA Universitas Airlangga, Surabaya
Gusnita, dessy, 2012, pencemaran Logam Berat TImbal (Pb) di Udara Dan Upaya
Penghapusan Bensin Bertimbal, Berita Dirgantara Vol. 13 No. 3:95-101, Bidang
Komposisi atmosfer, LAPAN, Jakarta
Kriswiyanti, Enny, 2009, Kinetika Hidrolisis Selulosa Dari Eceng Gondok Dengan
Metode Arkenol Untuk Variable Perbandingan Berat Eceng Gondon dan Volume
Pemasakan, UNS, Solo
Lowel, 1991, Powder Surface and porosity. 3rd, London
Ronaldo, Rici., 2008, Zeolit Alam dan Chitosan sebagai Adsorben catalytzc converter
Monolitik untuk Pereduksi Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor, Skripsi,
Jurusan Teknologi Perikanan Institut pertanian Bogor, Bogor
Suwondo, 2005, Akumulasi Logam Cuprum (Cu) Dan Zincum (Zn) Di Perairan Sungai
Siak Dengan Menggunakan Bioakumulator Eceng Gondok (Eichhornia
Crassipes), Universitas Riau, Pekanbaru
Wirawardani, Agnes Diah, 2009, Aplikasi Membran Selulosa Diasetat Dari Ampas Tebu
(Saccharum Officinorum) Untuk Penjernihan Nira Tebu, Skripsi, jurusan Kimia
Universitas Airlangga, Surabaya.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

13

Sensor Ketinggian Permukaan Oli Berbasis Sensor Pergeseran


Fiber Coupler
Hadi Suntaya, Samian, Supadi
Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga Surabaya
Kampus C Unair Jl. Mulyorejo, Surabaya 60115

ABSTRAK
Terwujudnya aplikasi fiber coupler sebagai sensor pergeseran menginspirasi
pengembangan selanjutnya sebagai sensor ketinggian permukaan oli karena sifatnya yang
mudah serta dapat dimonitor jarak jauh. Dengan berbasis pada prinsip deteksi pergeseran
target yang bersifat reflektif, ketinggian permukaan oli dideteksi melalui mekanisme
tekanan hidrostatisnya terhadap membran yang berada di bagian bawah tangki oli.
Dengan menempelkan alumonium foil pada membran sehingga bersifat seperti cermin
yang dapat berubah bentuk, perubahan tekanan oli yang bergantung pada perubahan
ketinggian permukaannya akan merubah bentuk membran dari bentuk cermin datar ke
cembung atau sebaliknya. Perubahan bentuk membran tersebut akan memberikan
perubahan daya optis cahaya pantulan dari membran yang masuk ke kanal sensing fiber
coupler. Karena detektor optis digunakan untuk mendeteksi perubahan daya optis cahaya,
perubahan ketinggian permukaan oli akan terdeteksi melalui perubahan tegangan
keluaran detektor optis. Dengan menggunakan laser He-Ne (10 mW), fiber coupler,
silicon detector (Newport), mikrovoltmeter (Leybold), membran berbahan nitrile
polymer, tangki oli dengan tinggi 75 cm dan perangkat pendukung eksperimen lainnya,
konstruksi sensor menghasilkan deteksi ketinggian terkecil sebesar 0,5 cm.

Untuk

jangkauan, daerah linier serta sensitivitas sensor yang dihasilkan masing-masing sebesar
4 74 cm, 24 74 cm, dan 38.51 V/cm.
Kata kunci: fiber coupler, sensor pergeseran fiber coupler , sensor ketinggian permukaan
oli

14

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

1.

Pendahuluan
Deteksi ketinggian zat cair secara umum menggunakan prinsip kapasitif,

ultrasonik, gelombang mikro, inframerah, elektro-mekanik, radiometri dan optik. Aplikasi


dengan prinsip gelombang ultrasonik telah berhasil dikembangkan untuk mengukur
ketinggian air (Negara.dkk, 2009). Gelombang ultrasonik dipancarkan oleh transmitter
Tx, kemudian gelombang pantulan diterima receiver Rx dan diumpankan ke sistem upcounter. Selisih waktu tempuh penjalaran gelombang ultrasonik dari transmitter Tx
sampai dengan diterima kembali oleh receiver Rx berbanding lurus dengan ketinggian
air. Kemudian, teknik opto-fluidic dengan electronically controlled variable fokus lens
atau ECVFL juga berhasil dikembangkan (Reza.dkk, 2010). Deteksi dilakukan dengan
merekam profil spasial intensitas berkas cahaya berdaya rendah yang merupakan pantulan
dari permukaan cairan sebagai fokus lensa (ECVFL). Ketinggian cairan ditentukan
dengan cara membandingkan ukuran spot berkas dengan panjang fokus lensa pada tabel
ECVFL.
Untuk metode optic, penggunaan serat optic telah dikembangkan untuk mendeteksi
ketinggian zat cair dengan berbagai konfigurasinya. Penggunaan serat optic dengan
menggunakan serat optic serta probe berupa prisma (Hossein, 2004) maupun elemen
sensitive berbentuk kerucut (Pekka et al., 1997). Teknik yang lebih sederhana juga
berhasil dilakukan dengan mendeteksi rugi daya optis cahaya dalam serat optik yang
dipoles dan dilengkungkan sebagai sensor yang kontak secara langsung dengan zat cair
(Lomer et al., 2007). Disamping itu, deteksi ketinggian zat cair melalui pergeseran
panjang gelombang Bragg yang dihasilkan dari Fiber Bragg Grating (FBG) telah berhasil
dilakukan (Kyung-Rak et al., 2009). Teknik lain yang berhasil dikembangkan adalah
menggunakan dua buah serat optic sebagai pemancar dan penerima berkas cahaya melalui
sebuah lensa (C. Vazquez et al., 2004).
Penggunaan fiber coupler berhasil dikembangkan sebagai sensor ketinggian air
dengan prinsip hidrostatis. Perubahan ketinggian zat cair terdeteksi melalui perubahan
tekanan pada membrane yang terletak pada dinding bagian bawah tangki zat cair. Dalam
hal ini, membran difungsikan sebagai reflector. Fiber coupler, melalui salah satu kanal
keluarannya (kanal sensing) memancarkan sekaligus menerima cahaya pantulan dari
membrane tersebut. Dengan demikian ketinggian zat cair terdeteksi melalui perubahan
daya optis yang diterima oleh kanal sensing. Dalam makalah ini, metode tersebut
digunakan untuk mendeteksi ketinggian permukaan oli dengan mengganti membrane

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

15

yang sebelumnya berbahan latex dengan bahan nitrile polymer. Bahan nitrile polymer
tidak rusak ketika berinteraksi dengan oli dan bahan bakar lainnya.

2.

Desain dan Prinsip Kerja Sensor


Rancangan multimode fiber coupler sebagai sensor ketinggian zat cair berdasarkan

prinsip hidrostatis serta sensor pergeseran yang berbasis modulasi intensitas diperlihatkan
pada gambar berikut :

Gambar 1. Rancangan sensor level ketinggian


Pada gambar tersebut, berkas cahaya masukan dari laser (Pin) sebagian
dipancarkan melalui kanal sensing (Pe) menuju membran yang dilapisi bahan reflector
pada bagian tengahnya. Berkas cahaya pantulan dari membrane sebagian akan masuk
kembal ke kanal sensing sebagai berkas balik (Pb). Berkas balik tersebut kemudian
sebagian akan terkopel menuju ke kanal deteksi (Pd) dan terbaca oleh detector optis.
Besarnya daya optis berkas balik bergantung pada posisi membrane terhadap kanal
sensing. Di sisi lain, tekanan zat cair pada bagian bawah tangki akan mendorong
membrane menjadi lebih cembung, sehingga terjadi pergeseran permukaan pantul
membrane terhadap kanal sensing (z), dalam hal ini jika diameter pipa tempat membrane
berada jauh lebih kecil dari ketinggian zat cair, maka dapat diasumsikan bahwa tekanan
zat cair pada seluruh bagian membrane homogen. Kemudian, posisi permukaan
membrane tersebut akan menyebabkan perubahan daya optis berkas balik. Seperti
diketahui bahwa tekanan zat cair bagian bawah tangki dipengaruhi oleh ketinggian zat
cair. Dengan demikian ketinggian zat cair dapat dideteksi melalui perubahan daya optis
yang terbaca pada detector optis.

16

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

3.

Eksperimen
Susunan peralatan eksperimen diperlihatkan pada Gambar 2. Peralatan yang

digunakan terdiri dari laser He-Ne (Klasse DIN 58126, 632,8 nm, Uniphase) dengan daya
keluaran 30 mW, multimode fiber coupler, silicon detector (Newport), mikrometer posisi
beresolusi 5 m (Uniphase), mikrovoltmeter (Leybold), dan tangki air dari bahan gelas
berdiameter 5,7 cm dan tinggi 76 cm yang dilengkapi dengan skala (skala terkecil 1 mm).
Pada bagian dasar tangki terdapat pipa yang dilengkapi dengan membran dari bahan
nitrile polymer (tebal 80 m dan berdiamter 14,625 mm) serta keran yang berfungsi
untuk mengeluarkan zat cair dari tangki. Dibagian tengah membran direkatkan reflektor
dari bahan aluminium foil berdiameter 5 mm. Multimode Fiber coupler yang digunakan
berstruktur 2 x 2 dari bahan serat optik plastik berdiameter 1 mm (diameter core 960 m,
tebal cladding 20 m) dan panjang 50 cm. Nilai coupling ratio, directivity, dan exces loss
dari Multimode Fiber coupler yang digunakan masing-masing sebesar 0,25, 25 dB, dan
1,37 dB.
Sebelum melakukan pengambilan data, terlebih dahulu dilakukan setup alat seperti
gambar berikut

Gambar 2. Setup alat percobaan


Selanjutnya, mendekatkan mikrometer posisi berhimpit dengan membran, sehingga
diperoleh posisi awal mikrometer adalah 2,84 mm. Kemudian, menggeser mundur
mikrometer posisi hingga beberapa milimeter lalu mengisi tangki dengan zat cair yang
digunakan sampai dengan ketinggian 74 cm. Setelah itu, menggeser kembali mikrometer
posisi sampai berhimpit dengan membran, sehingga diperoleh posisi mikrometer setelah
membran bergeser akibat tekanan oli yakni 4,63 mm. Langkah berikutnya adalah
menggeser mundur mikrometer sejauh sejauh 0,27 mm, sehingga diperoleh posisi akhir
mikrometer sebesar 4,9 mm.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

17

4.

Hasil dan Pembahasan


Hasil dari penelitian aplikasi multimode fiber coupler sebagai sensor ketinggian

permukaan oli berbasis sensor pergeseran adalah berupa data tegangan keluaran detektor
sebagai fungsi ketinggian oli dapat dilihat pada Gambar 3. Hubungan linier antara
tegangan keluaran detektor terhadap ketinggian oli diperlihatkan oleh grafik pada Gambar
4. Rentang daerah linier yang dihasilkan nilainya 24 cm 74 cm.

Gambar 3. Grafik Tegangan Keluaran Detektor terhadap Perubahan Ketinggian

Tegangan keluaran detektor (V)

Permukaan Oli.
0.35

0.30

y = 0.385x + 0.004
R = 0.992

0.25

0.20

0.15

0.10
0.24 - 0.74 (m) cm
0.05

0.00
0.0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

Tinggi Oli (m)

Gambar 4. Grafik Hubungan linier Tegangan Keluaran Detektor terhadap Perubahan


Ketinggian Permukaan Oli.

18

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Dari grafik pada Gambar 3 menunjukkan rentang pengukuran ketinggian yang


dilakukan sebesar 4 cm 74 cm. Batas bawah yang terukur sebesar 4 cm dikarenakan
pada rentang pengukuran 0 cm 4 cm membrane tidak mengalami perubahan bentuk
(cembung) secara signifikan sebab tekanan pada ketinggian ini terlalu kecil sehingga
tegangan keluaran detector tidak mengalami perubahan. Sedangkan batas atas sebesar 74
cm dikarenakan tangki yang tersedia memiliki ketinggian tersebut.
Dari analisa data yang dilakukan didapatkan hasil plot tegangan keluaran terhadap
ketinggian oli pada ketinggian 24 cm 74 cm memiliki hubungan linier yang terbaik
yang ditunjukkan dengan nilai liniaritas (R2) mendekati 1. Rentang daerah linier yang
dihasilkan nilainya 24 cm 74 cm. Nilai tersebut menunjukkan daerah kerja sensor yang
dihasilkan. Sensisivitas sensor sebesar 38.51 (V/cm), hasil ini diperoleh dari nilai
kemiringan grafik pada Gambar 4. Parameter fiber coupler sebagai sensor ketinggian oli
hasil penelitian ini diperlihatkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Multimode Fiber Coupler sebagai Sistem Sensor

Ketinggian

Permukaan Oli.
Parameter
Resolusi (cm)
Rentang pengukuran (cm)

5.

Nilai
0,5
4 74

Daerah Linier (cm)

24 74

Sensitivitas (V/cm)

38.51

Kesimpulan
Dengan menggunakan prinsip hidrostatis, multimode fiber coupler dan membrane

nitrile polymer, dapat mendeteksi ketinggian oli secara kontinyu dengan rentang deteksi 4
cm 74 cm dan resolusi sebesar 0,5 cm. Metode yang telah dihasilkan tersebut sangat
memungkinkan dikembangkan sebagai sensor ketinggian oli.

6.

Daftar Pustaka

C. Vzquez, A.B. Gonzalo, S. Vargas, J. Montalvo, 2004, Multi-sensor System Using


Plastic Optical Fibers For Intrinsically Safe Level Measurements, Sensors and
Actuators, A 116: 2232.
Hossein Golnabi, 2004, Design and Operation of A Fiber Optic Sensor For Liquid Level
Detection, Optics and Lasers in Engineering, 41: 801812.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

19

Kyung-Rak Sohn, Joon-Hwan Shim, 2009, Liquid-Level Monitoring Sensor Systems


Using Fiber Bragg Grating Embedded In Cantilever, Sensors and Actuators, A 152:
248251.
Lomer, M., J. Arrue , C. Jauregui, P. Aiestaran, J. Zubia, J.M. Lopez-Higuera, 2007,
Lateral Polishing of Bends In Plastic Optical Fibres Applied to A Multipoint
Liquid-Level measurement sensor, Sensors and Actuators, A 137: 6873.
Negara, Anugrah P., Ashariyanto, Rudy, 2009, Aplikasi Gelombang Ultrasonik Untuk
Mengukur Level Ketinggian Air.
Pekka Raatikainen , Ivan Kassamakov , Roumen Kakanakov , Mauri Luukkala, 1997,
Fiber-Optic Liquid-Level Sensor, Sensors and Actuators, A 58: 9397.
Reza, S. A., N. A. Riza, 2010, Agile Lensing-Based Non-Contact Liquid Level Optical
Sensor For Extreme Environments, Optics Communications, 283: 33913397.

20

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Potensi Induksi Medan Magnet Eksternal untuk Efektivitas


Fotoinaktivasi Bakteri Patogen
Nike Dwi G. D. *, Suryani Dyah Astuti*, Moh. Yasin*
*Program Studi Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga

Email : grevika@gmail.com

Abstrak
Pengaruh medan magnet dalam sistem biologis mengakibatkan konversi keadaan
energi singlet ke triplet dengan interaksi hyperfine. Dengan menginduksikan kuat medan
magnet dalam fotoinaktivasi dapat mempercepat proses intersystem crossing sehingga
mampu menghasilkan banyak spesies oksigen reaktif. Untuk mengetahui potensi kuat
medan magnet dalam fotoinaktivasi dilakukan penyinaran cahaya biru dengan variasi
kuat medan magnet B<1mT yang dihasilkan oleh kumparan Helmholtz. Hasil
pengamatan
menunjukkan

diperoleh

berupa

data

penurunan

jumlah

koloni

bakteri

banyaknya produksi oksigen reaktif yang dihasilkan.

untuk

Hasil analisis

data menunjukkan adanya perbedaan bermakna dari koloni kontrol dengan koloni dari
masing-masing perlakuan dengan penurunan jumlah koloni semakin besar selaras dengan
bertambahnya kuat medan magnet.

Kata kunci: medan magnet, interaksi hyperfine, intersystem crossing, fotoinaktivasi,


spesies oksigen reaktif.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

21

PENDAHULUAN
Mengontrol

pertumbuhan

antibiotik, misal Methicillin

Resistant

koloni bakteri patogen yang resistan terhadap


Staphylococcus

aureus (MRSA) merupakan

tantangan besar dalam dunia medis. Fotoinaktivasi atau photodynamic inactivation


(PDI) telah

memberikan kemajuan pesat dalam pengobatan alternatif dan selektif

untuk terapi antimikroba. Fotoinaktivasi merupakan salah satu bagian dari terapi
fotodinamik yang menggunakan cahaya dan molekul photosensitizer mengalami proses
fotosensitasi untuk menghasilkan suatu radikal bebas yaitu spesies oksigen reaktif
yang berfungsi untuk menonaktifkan sel mikroba.
Keberhasilan terapi fotoinaktivasi ditandai oleh banyaknya spesies oksigen reaktif
yang dihasilkan dengan memenuhi pemilihan panjang gelombang dan dosis energi
yang sesuai dengan spektrum serap molekul photosensitizer (Papageorgiou et al, 2000).
Nitzan el al (2004) melaporkan sebagian besar molekul photosensitizer dapat diperoleh di
dalam sel bakteri, misal bakteri Gram (+) Staphylococcus aureus

yaitu

molekul

porphyrin endogen dengan jenis coproporphyrin III yang memiliki spektrum serap di
wilayah panjang gelombang cahaya biru. Penelitian ini pun diperkuat dengan hasil analisis
absorpsi

molekul

porphyrin

berada

di

wilayah cahaya biru dengan menggunakan

spektrum UV- tampak (Lan et al,2006). Lipovsky et al (2009) melaporkan hasil


fotoinaktivasi bakteri Staphylococccus aureus dengan penyinaran lampu halogen 415
nm dan rapat energi 120 J/cm2 selama 20 menit menghasilkan 90% penurunan koloni
bakteri. Disertasi Astuti (2011) melaporkan pula hasil penurunan jumlah koloni
sebesar 75% dengan penyinaran LED biru 430 nm dan dosis energi 75% dari rapat
energi 135 J/cm2.
Dalam mekanisme fotosensitasi terdapat fenomena fisis yaitu interaksi cahaya
dengan photosensitizer dalam proses fotofisika (Grossweiner, 2005). Proses fotofisika
terjadi di wilayah level elektron dari molekul photosensitizer dimana tiap molekul
memiliki elektron dengan spin berpasangan di level keadaan singlet. Pada saat penyinaran
cahaya, peristiwa pertama yang berlangsung adalah molekul menyerap foton cahaya.
Sebagian besar molekul organik yang menyerap cahaya ini akan naik ke keadaan eksitasi
tertentu, yaitu eksitasi singlet. Proses perubahan level energi ini disebut dengan internal
conversion

(ic).

Pada level keadaan

eksitasi singlet, molekul bersifat tidak stabil,

sehingga ada kemungkinan untuk kembali ke keadaan dasar. Ada pula kemungkinan dapat
bereksitasi ke level keadaan triplet. Proses ini disebut dengan intersystem crossing

22

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

(isc). Ciri dari terjadinya proses ini adalah pembalikan salah satu spin dari pasangan spin
elektron. Level keadaan eksitasi triplet bersifat reaktif, sehingga dapat berinteraksi dengan
molekul disekitarnya misal lipid atau oksigen, sehingga menghasilkan berbagai spesies
oksigen reaktif.
Namun, untuk proses isc tidak mudah, karena transisi level keadaan eksitasi
singlet ke level triplet dilarang. Bagaimanapun, level keadaan triplet sangat berperan
penting di dalam mekanisme fotosensitasi, karena hanya

di wilayah

ini,

berbagai

spesies oksigen reaktif dapat diperoleh. Untuk itu, dibutuhkan tambahan energi lain
seperti menginduksikan kuat medan magnet dalam proses fotosensitasi. Penelusuran
pengaruh medan magnet dalam sistem biologis telah diselidiki, salah satunya adalah efek
pasangan

radikal

bebas.

Pengaruh medan

magbet

dalam

sel

biologis

menyebabkan interaksi hyperfine sehingga spin elektron molekul

METODE
Penyinaran Cahaya Biru
Penyinaran cahaya biru diberikan oleh 200 LED biru 430 nm yang dipasang
pada sebuat papan dengan

luas

20cm20cm.

Dosis

penyinaran digunakan 75%

dari rapat energi 135 J/cm2 yang diatur oleh mikrokontroler tipe AVR 8535 dan jarak
penyinaran diatur 5 cm dari sampel.
Perlakuan Medan Magnet
Pemaparan induksi medan magnet

diberikan oleh

kumparan Helmholtz

(diameter dalam 15 cm, diameter luar 19 cm, jumlah lilitan 350) dengan pengaturan
Power Supply DC (Arus 6 Ampere, voltase 110 Volt dan frekuensi 50/60 Hz). Variasi
perlakuan medan magnet diberikan yaitu 0,12 mT; 0,15 mT; 0,2 mT; 0,24 mT yang
diukur menggunakan Teslameter analog LEYBOLD- HERAUS 530 7S.
Kultur Bakteri dan porphyrin
Bakteri Staphylococcus aureus diperoleh

dari laboratorium mikrobiologi

Fakultas Sains dan Teknologi Unair dalam agar miring. Metode yang digunakan dalam
penghitungan jumlah koloni adalah total plate counting (TPC) dengan nilai OD660nm
= 0,46 diukur dengan menggunakan spektroferometer dan

tahap

pengenceran=10-4

dari koloni bakteri. Media bakteri dalam pengenceran digunakan vortex selama 1 menit.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

23

Eksperimental
Persiapan set up alat ditunjukkan dalam
Gambar 1 dan diradiasi sinar-UV agar steril. Penyinaran dan induksi medan magnet
dipaparkan dalam sampel bakteri (cair) yang ditempatkan dalam cawan petri (diameter 6
cm) sebagai perlakuan dan sampel bakteri lain tanpa dilakukan penyinaran dan medan
magnet

sebagai

kontrol.

Penghitungan jumlah koloni bakteri dilakukan setelah

didiamkan selama 24 jam. Untuk memaksimalkan hasil data, selama perlakuan dilakukan
di tempat gelap dan dikondisikan pada suhu ruang.

Gambar 1. Set Up Eksperimen


Data

digambarkan

dalam grafik rerata penurunan jumlah koloni bakteri

terhadap masing- masing perlakuan kuat medan magnet. Data pengamatan dianalisis
menggunakan uji independent sample test untuk mengetahui perbedaan antara koloni
kontrol

dengan

koloni

masing-masing perlakuan. Standar signifikansi diatur

=0,05.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Dari

hasil

data

pengamatan,

diperoleh

penurunan

jumlah

koloni

selaras dengan bertambahnya kuat medan magnet (ditunjukkan Gambar 2).

Gambar 2. Grafik Penurunan koloni bakteri terhadap variasi kuat medan magnet

24

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Banyaknya penurunan jumlah koloni menunjukkan besar konsentrasi spesies


oksigen reaktif

yang

dihasilkan.

Spesies

oksigen

reaktif dalam fotosensitasi

diperoleh dari proses fotokimia dengan dua jalur yaitu jalur I adalah foto-oksidasi antara
molekul dalam sel atau jaringan dengan photosensitizer triplet meghasilkan oksigen
radikal sedangkan jalur II adalah interaksi transfer energi photosensitizer triplet dengan
molekul oksigen menghasilkan oksigen singlet (Grossweiner, 2005).

Tabel 1. Analisis Penurunan jumlah koloni

Perbedaan jumlah koloni antara kontrol dengan setiap perlakuan dilakukan


analisis statistik independent sample test menggunakan SPSS. Hasil data
terangkum

dalam

Tabel

I.

Hasil keluaran

data

menunjukkan

analisis
prosentase

penurunan untuk masing-masing perlakuan terdistribusi normal dan hasil Levenes test for
equality variances (uji homogenitas) menunjukkan untuk perlakuan 0,12 mT; 0,2 mT
dan 0,24 mT memiliki signifikasi (p)<0,05

menyatakan

bahwa

kelompok

varians

antara setiap perlakuan dan kontrol tidak sama besar sehingga keluaran independent
sample test ditunjukkan oleh Equel variances not assumed, sedangkan perlakuan 0,15
mT

memperoleh signifikan (p)>0,05 menunjukkan kelompok varian perlakuan dan

kontrol sama besar sehingga keluaran independent sample test ditunjukkan oleh Equel
variances assumed. Hasil keluaran independent sample test dari masing-masing
perlakuan memiliki signifikan yang sama yaitu (p)=0,000 lebih kecil dari 0,05 sehingga
diperoleh kesimpulan bahwa terdapat perbedaan bermakna pada setiap perlakuan yang
dilakukan.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

25

Pada Tabel 1 juga menunjukkan bahwa kombinasi penyinaran LED biru dosis
energi 75% dan induksi kuat medan magnet menghasilkan prosentase
jumlah

koloni

terbesar 80,72% dengan

medan

magnet

0,24 mT.

Dari

simpangan

baku

penurunan

2,424 pada perlakuan

hasil analisis diperoleh kesimpulan bahwa induksi

medan magnet dapat berpotensi membantu menurunkan jumlah koloni dalam terapi
fotoinaktivasi bakteri.
Penurunan koloni bakteri yang banyak ditunjukkan oleh banyaknya spesies
oksigen reaktif yang dihasilkan. Dalam hasil data yang diperoleh, menunjukkan
banyaknya penurunan jumlah koloni selaras dengan bertambahnya kuat medan magnet.
Pengaruh medan magnet dalam sistem bilogis dan kimia mendorong Interaksi hyperfine
sehingga menyebabkan konversi singlet ke triplet melalui pembagian beberapa tingkat
energi dari pengurangan dan penambahan energi dari medan magnet (Demtroder, 2010).
Konversi singlet ke triplet sebenarnya dilarang oleh aturan kaidah seleksi
namun akibat pengaruh medan magnet menyebabkan spin orbit coupling meningkat
sehingga terjadi pembagian energi. Interaksi hyperfine relevan terjadi pada kuat medan
magnet minimal 1-10 mT atau lebih besar dari ini (Engstrom, 2006). Namun terdapat
probabilitas induksi medan magnet dengan besar < 1mT dapat mengaplikasikan
mekanisme

spin

relaksasi

akibat

modulasi anisotropik interaksi hyperfine,

modulasi isotropik interaksi hyperfine dan modulasi interaksi spin- rotasi (Fedin et
al, 2003). Gnaydin-Sen et al (2011) melaporkan bahwa pengaruh medan magnet dapat
memperkecil celah tingkat energi singlet ke triplet dalam proses fotokimia. Jika celah
tingkat energi singlettriplet kecil memungkinkan lifetime intersystem crossing semakin
cepat sehingga semakin cepat menghasilkan spesies oksigen reaktif.

KESIMPULAN
Pemaparan induksi kuat medan magnet dalam fotoinaktivasi telah berpotensi
dalam menurunkan jumlah koloni bakteri dengan adanya perbedaan dari hasil pada setiap
perlakuan. Penelitian ini merupakan langkah awal dalam mencapai keberhasilan terapi
fotoinaktivasi. Diperlukan penelitian lanjut seperti optimasi kombinasi dosis energi cahaya
dan kuat medan magnet serta eksperimental in vivo untuk mengetahui pengaruh keduanya
dalam sel biologis dan penentuan dosismetri.

26

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

DAFTAR PUSTAKA
Ashkenzi H., Malik Z., Harth Y., Nitzan Y., 2003,Eradication of Propionibacterium
acnes by its endogenic porphyrin after illumination with high intensity blue light,
FEMS Imunol. Med. Micobiol 35 p. 684-688
Astuti, Suryani Dyah., 2010. POTENSI LIGHT EMITTING DIODE (LED) BIRU
UNTUK FOTOINAKTIVASI BAKTERI Staphylococcus

aureus

DENGAN

PORFIRIN ENDOGEN. Pascasarjana Universitas Airlangga


Demtroder, Wolfgang., 2010. Atom, Molecules and Photons: An Introduction to Atomic-,
Molecular- and Quantum Physics, Second Edition. Springer: New York.
Engstrm Stevan,.2006. Bioengineering and Biophysical Aspects of Electromagnetic
Fields Edited by Frank S . Barnes and Ben Greenebaum: Magnetic Field Effect
on Free Radical Reactions in Biology. Taylor & Francis Group.
Fedin M.V., Purtov P.A., Bagryansyakaya E.G., 2003. Spin relaxation of radical in
low and zero magnetic field. JOURNAL OF CHEMICAL PHYSICS Volume
118. DOI:10.1063/1.1523012 pp192-201
Grossweiner, L. I. 2005. The Science of Phototherapy: An Introduction. Springer:
USA.
Lan Minbo, Zhao Hongli, Yuan Huihui, Jiang Chengrui, Zuo Shaohua, Jiang Hui., 2007.
Absorption and EPR spektra of some phorphyrin

and

methalloporphyrin.

Doi:10.1016/j.dyepig.2006.02.018, pp.357-362
Nitzan Y., Divon M.S., Shporen E., Malik Z., 2004, ALA Induced Photodynamic Effect
on Gram Positive and Negative bacteria, Journal Photochem.&Photobiol., vol 3,
pp. 430-435
Papageorgiu, P. et al. 1999. Phototherapy with Blue (415nm) and Red (660nm) Light in
The Treatment of Acne Vulgaris, British Journal of Dermatology: 2000.
Gnaydin-Sen ., Fosso-Tande J., Chen P., White J. L.,
Tokumoto T., Lahti

P.M.,

McGill

S.,

Allen

Harrison

T.L., Cherian

J.,

R.J., Musfeldti J.L.,

2011. Manipulating equilibrium Singlet-Triplet in Organic Biradical material.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

27

Sintesis dan Karakterisasi Sifat Mekanik Mortar Berbasis


Material Komposit Silika Amorf dengan Variasi Penambahan
Sekam Tebu
Satya Bagus K, Jan Ady, Djoni Izak R
Program Studi S1 Fisika, Departemen Fisika, FST Universitas Airlangga, Surabaya
60115.

e-mail : satya-b-k-08@fst.unair.ac.id

Abstrak
Sekam tebu merupakan material alternatif pengganti semen yang mengandung
SiO 2 yang tinggi dan jumlahnya sangat melimpah. Pada penelitian ini silika amorf
telah diekstraksi dari ampas tebu

dengan

proses sintering pada suhu 500-600C.

Sekam yang dihasilkan kemudian dianalisis menggunakan XRD untuk mengidentifikasi


bentuk silika yang terjadi. Hasil uji XRD menunjukkan bentuk fase amorf pada sekam
tebu.

Sekam

tebu

ayak

ukuran

75

dan

tanpa

ayak

ditambahkan

0wt%,10wt%,15wt%,20wt% dari bahan pengikat utama. Penambahan silika amorf dalam


sekam tebu dapat memberikan pengaruh peningkatan kekuatan mortar. Silika dalam
jumlah tertentu dapat menggantikan semen dan berfungsi sebagai pengisi antara partikelpartikel semen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase maksimal penambahan
persentase sekam tebu ayak 10wt% dengan porositas mortar sebesar 27,34%, kuat tekan
sebesar 1,533x10-2

N/mm2, dan kuat impak sebesar 2,781x10-4 J/mm2 pada

penambahan persentase 20%.

Kata Kunci : Silika Amorf, Sintering, Porositas, Kuat Tekan, Impak.

28

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

PENDAHULUAN
Mortar adalah sebuah material yang tersusun dari bahan pengikat, agregat, dan
terkadang aditif. Mortar berbahan dasar mineral pengikat seperti kapur, semen atau
gypsum telah digunakan selama lebih dari 800

tahun

pada

konstruksi

bangunan.

Mortar ini sebagian besar digunakan untuk membaringkan batu dan bata dan untuk
mantel pada dinding. Sampai pada tahun 1950-an mortar berbahan dasar semen
diproduksi secara eksklusif dan diaplikasikan (Bayer dan Luth,2005). Portland
semen tipe I sekarang ini digunakan secara luas untuk mendirikan macam-macam
konstruksi karena memiliki kuat tekan yang tinggi. Akan tetapi, kuantitas semen yang
diperlukan untuk proyek konstruksi mengalami peningkatan, peningkatan sejumlah
material mentah dari alam dapat dihabiskan. Jika beberapa material mentah tersebut dapat
digantikan dengan material yang lebih murah untuk komposisi yang sama, maka
biaya produksi beton dapat dikurangi tanpa

mempengaruhi

kualitasnya

(Chusilp et

al,2009).Oleh karena itu perlu dilakukan terobosan baru dalam mencari material
alternatif untuk mengganti penggunaan semen sebagai bahan ikat utama, memiliki sifat
mekanik yang bagus baik kuat tekan maupun ketangguhan, serta memiliki porositas yang
baik pula.
Penelitian sebelumnya telah dilakukan pemanfaatan abu ampas tebu pada
pembuatan mortar menggunakan penambahan 0wt%, 3wt%, 6wt%, 9wt%,12wt%, dan
15wt% dari berat bahan pengikat utama (Sihotang, 2010). Dalam penelitian tersebut tidak
dicantumkan secara jelas bagaimana sekam tebunya apakah diayak atau tanpa diayak.
Hasilnya porositas mortar semakin menurun seiring dengan bertambahnya variasi
campuran sekam tebu. Penelitian lain yang menggunakan sekam tebu dilakukan oleh
Chusilp et al (2009). Sekam tebu ditambahkan 10wt%, 20wt%,30wt% dari berat
bahan pengikat dengan menggunakan mesin Ball mill dalam proses pencampuran dan
penghalusan sekam tebunya. Sehingga diperoleh ukuran partikel sekam tebu mencapai 45
m. Kuat tekan maksimal pada penambahan sekam tebu 20% dari berat bahan pengikat
utama.
Pada

makalah

ini

akan

dilakukan

variasi penambahan sekam tebu

0wt%, 10wt%, 15wt% dan 20wt% dengan melakukan uji fisis berupa uji porositas dan
uji mekanik meliputi uji kuat tekan dan uji impak.Penambahan persentase sekam tebu
tersebut diharapkan dapat memperbaiki sifat mekanik mortar normal tanpa penambahan
sekam tebu.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

29

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan dengan dua tahap yaitu:
a. Pembuatan sampel
Material pozzolan berupa ampas tebu ditumbuk sampai halus lalu diuji dengan
menggunakan XRD untuk memastikan bahwa sekam tebu tersebut mengandung silika
yang berbentuk amorf. Material bahan pengikat berupa semen Portland tipe-1, agregat
halus berupa pasir yang telah diayak hingga halus dan air PDAM ditimbang terlebih
dahulu. Komposisi perbandingannya 1 semen : 2,75 pasir : 0,5 air PDAM serta serbuk
silika amorf (SiO2) dari sekam tebu ayak dan tanpa ayak dengan persentase masingmasing berkisar 0wt%, 10wt%, 15wt%, 20wt% dari berat bahan pengikat utama.
Kemudian mortar dicetak dan dikeringkan selama 24 jam lalu direndam selama 27
hari di bak perendaman.

b. Pengujian sampel
Pengujian menggunakan uji fisis berupa uji porositas dan Uji mekanik meliputi uji
kuat tekan dan uji impak. bagan alur penelitian disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Bagan alur penelitian

30

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

HASIL DAN PEMBAHASAN


a. Uji XRD
Hasil uji XRD disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Grafik hasil uji XRD sampel pada suhu pembakaran 500 600 C
Berdasarkan Gambar 2, dapat diamati bahwa terdapat dua puncak yang tidak
teridentifikasi sehingga bentuk dari sekam tebu tersebut dinyatakan berbentuk amorf.
Puncak yang tidak teridentifikasi ini dikarenakan suhu sintering yang berkisar antara
500-600C. Bentuk SiO2

pada suhu pengabuan 500 dan 600o

C adalah rendah

dibandingkan dengan pada suhu pengabuan 700 dan 800o C, artinya pada daerah ini
fasa SiO2-amorf masih mendominasi bentuk SiO2

yang dihasilkan (Hanafi dan

Nandang, 2010). Puncak ini akan semakin tinggi ketika suhu pengabuan dinaikkan. Hal
ini sesuai dengan teori pertumbuhan kristal yang

akan naik dengan peningkatan

suhu pemanasan sampai terbentuknya kristal secara sempurna. Dengan demikian,


kenaikkan intensitas puncak SiO2 menandakan adanya pertumbuhan kristal.

b. Uji Porositas
Hasil uji porositas disajikan pada gambar 3

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

31

Gambar 3. Grafik perbandingan hasil uji porositas mortar dengan sekam tebu ayak dan
tanpa ayak
Berdasarkan Gambar 3 diatas dapat diamati bahwa pengaruh penambahan
persentase 10wt% sekam tebu tanpa ayak menghasilkan porositas rata rata sekitar
32,98% yang lebih besar daripada penambahan persentase 10wt% sekam tebu ayak, yaitu
rata rata sebesar 27,34%. Hal ini dikarenakan pengaruh ukuran dari sekam tebu tanpa
ayak yang ditambahkan. Menurut Chusilp et al (2009), sekam tebu asli memiliki partikel
yang permukaannya kasar dengan porositas yang tinggi (spongy) dan permukaan yang
luas.
Selain itu dapat diketahui bahwa pengaruh penambahan sekam tebu ayak dan
tanpa ayak dengan persentase 10wt%, 15wt%, 20wt% tidak menghasilkan porositas
mortar yang lebih baik dari mortar normal tanpa penambahan sekam tebu. Persentase
porositas mortar dengan penambahan persentase sekam tebu ayak dan tanpa ayak justru
menghasilkan porositas mortar yang besar. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor
diantaranya adalah homogenitas dari bahan pengikat utama (semen Portland), pasir, air
dan sekam tebu ayak yang kurang sewaktu pengadukan. Sewaktu pengadukan dilakukan
dengan menggunakan tangan tanpa bantuan mesin sehingga hasilnya kurang maksimal.
Sekam tebu ayak dengan ayakan ukuran 75 m sangat sulit bercampur secara homogen
dengan bahan pengikat utama (semen Portland), pasir dan air.
Faktor lain lain yang menyebabkan besarnya porositas mortar dengan
penambahan persentase sekam tebu ayak dan tanpa ayak adalah kurang padatnya
mortar sewaktu pencetakan. Hal ini sangat berpengaruh sehingga menyebabkan
terbentuknya ruang terbuka kosong di dalam mortar.

32

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Berdasarkan hasil analisis diatas dapat diamati bahwa pada penelitian ini
porositas mortar normal tanpa penambahan sekam tebu masih lebih baik atau lebih
rendah daripada porositas mortar dengan penambahan persentase sekam tebu baik ayak
maupun tanpa ayak.

c. Uji kuat tekan


Hasil uji kuat tekan disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Grafik perbandingan hasil uji kuat tekan mortar dengan sekam tebu ayak dan
tanpa ayak.
Pada

Gambar

dapat

diamati

bahwa

kuat tekan

mortar

dengan

penambahan persentase sekam tebu 10wt% ayak menghasilkan nilai kuat tekan sebesar
1,533x10-2 N/mm2. Nilai ini lebih besar dibandingkan dengan nilai kuat tekan mortar
dengan penambahan persentase sekam tebu 10wt% tanpa ayak, yaitu sebesar 0,6x10-2
N/mm2. Hal ini disebabkan karena pengaruh ukuran sekam tebu yang ditambahkan.
Menurut Chusilp et al (2009), sekam tebu dengan ukuran partikel yang kecil dapat
mengisi kekosongan ruang udara di dalam struktur beton.
Kuat tekan mortar dengan penambahan persentase sekam tebu ayak dan tanpa
tanpa ayak juga masih lebih rendah daripada kuat tekan mortar normal tanpa
penambahan sekam tebu. Mortar normal tanpa penambahan sekam tebu menghasilkan
kuat

tekan sekitar 2,5x10-2 N/mm2. Pengaruh tingginya nilai porositas mortar pada

sampel yang telah diuji porositas sebelumnya juga berpengaruh terhadap kuat tekan
mortar tersebut. Terjadi hubungan langsung antara nilai kekuatan tekan dengan nilai

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

33

porositas. Semakin tinggi angka pori dalam beton akan menyebabkan turunnya kekuatan
beton (Mulyono dalam Sitorus, 2009). Adanya celah atau ruang kosong yang berlebihan
menyebabkan kepadatan atau densitas dari mortar menjadi rendah.
Kuat tekan mortar dengan penambahan persentase sekam tebu ayak dan tanpa
tanpa ayak juga masih lebih rendah daripada kuat tekan mortar normal tanpa
penambahan sekam tebu. Mortar normal tanpa penambahan sekam tebu menghasilkan
kuat

tekan sekitar 2,5x10-2 N/mm2. Pengaruh tingginya nilai porositas mortar pada

sampel yang telah diuji porositas sebelumnya juga berpengaruh terhadap kuat tekan
mortar tersebut. Terjadi hubungan langsung antara nilai kekuatan tekan dengan nilai
porositas. Semakin tinggi angka pori dalam beton akan menyebabkan turunnya kekuatan
beton (Mulyono dalam Sitorus, 2009). Adanya celah atau ruang kosong yang berlebihan
menyebabkan kepadatan atau densitas dari mortar menjadi rendah.
Berdasarkan analisis diatas dapat diamati bahwa pada penelitian ini kuat
tekan mortar normal tanpa penambahan sekam tebu lebih tinggi daripada
kuat tekan mortar dengan penambahan persentase sekam tebu baik ayak maupun
tanpa ayak.

a. Uji impak
Hasil uji impak disajikan pada gambar 5.

Gambar 5. Grafik perbandingan hasil uji impak mortar dengan sekamtebu ayak dan tanpa
ayak
Berdasarkan Gambar 4.4 dapat diamati bahwa mortar
persentase

sekam

tebu 10wt% tanpa ayak

menghasilkan

dengan penambahan
nilai

impak

sebesar

2,197x10-4 J/mm2. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan nilai impak mortar

34

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

dengan penambahan persentase sekam tebu 10wt% ayak, yaitu sebesar 2,49x10-4
J/mm2. Hal ini dikarenakan pengaruh ukuran dari sekam tebu tanpa ayak yang
ditambahkan. Menurut Chusilp et al (2009), sekam tebu dengan ukuran partikel yang
kecil dapat mengisi kekosongan ruang udara di dalam struktur beton.
Nilai kekuatan impak mortar umumnya sangat rendah disebabkan oleh sifat
mortar yang rapuh. Nilai kekuatan impak mortar normal tanpa penambahan sekam
tebu sekitar 2,781x10-4

J/mm2. Nilai tersebut lebih besar dibandingkan dengan

nilai kekuatan impak mortar dengan penambahan 10wt% sekam tebu ayak yaitu sekitar
2,49x10-4 J/mm2, serta mortar dengan penambahan 10wt% sekam tebu tanpa ayak yaitu
sekitar 2,197x10-4 J/mm2.
Rendahnya nilai impak mortar dengan penambahan sekam tebu ayak dan tanpa
ayak ini diduga disebabkan oleh faktor yang sama dengan faktor penyebab rendahnya
nilai porositas yaitu faktor homogenitas dari bahan pengikat utama (semen Portland),
pasir, air dan sekam tebu ayak yang kurang sewaktu pengadukan. Sewaktu pengadukan
dilakukan dengan menggunakan tangan tanpa bantuan mesin sehingga hasilnya kurang
maksimal. Sekam tebu ayak dengan ayakan ukuran 75 m sangat sulit bercampur
secara homogen dengan bahan pengikat utama (semen Portland), pasir dan air.
Faktor lain lain yang diduga menyebabkan besarnya porositas mortar dengan
penambahan persentase sekam tebu ayak dan tanpa ayak adalah kurang padatnya mortar
sewaktu pencetakan. Hal ini sangat berpengaruh sehingga menyebabkan terbentuknya
ruang terbuka kosong di dalam mortar.
Berdasarkan analisis diatas dapat diamati bahwa pada penelitian ini kekuatan
impak mortar normal tanpa penambahan sekam tebu lebih besar daripada kekuatan impak
mortar dengan penambahan persentase sekam tebu baik ayak maupun tanpa ayak.

KESIMPULAN
Berdasarkan eksperimen, hasil dan pembahasan yang telah dilakukan dalam
penelitian Sintesis dan Karakterisasi Mortar Berbasis Material Komposit Silika
Amorf dengan Variasi Penambahan Sekam tebu, dapat diambil kesimpulan bahwa
hasil dari nilai kuat tekan dan nilai kekuatan impak diatas maka mortar berbasis material
komposit silika amorf dengan variasi penambahan sekam tebu belum memperbaiki sifat
mekanik dari mortar normal tanpa penambahan sekam tebu.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

35

DAFTAR PUSTAKA
Asmuni. 2001. Karakterisasi Pasir Kuarsa (SiO2) Dengan Metode XRD. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Medan.
Bayer, R., Lutz, H. 2005. Dry Mortars. Wiley-VCH Verlag GmbH &Co. KGaA.
Weinheim
Chusilp, N., Jaturapitakkul, C., Kiattikomol, K. 2009.Utilization of Bagasse Ash as
A Pozzolanic Material in Concrete.
Cindika, Afifa. 2008. Penggunaan High Strength Composite Dalam Pembuatan Beton.
Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Depok.
Cordeiro, G. C., Toledo Filho, R. D., Tavares, L. M., Fairbairn, E. M. R. 2008.
Pozzolanic Activity and Filler Effect of Sugar Cane Bagasse Ash in Portland
Cement and Lime Mortars.
Dvorkin,

L.,

Dvorkin,

O.

2006.

Basic

of

Concrete Science. Stroi-Beton. St-

Petersburg.
Ganesan, K., Rajagopal, K., Thangavel, K. 2007.Evaluation of Bagasse Ash as
Supplementary Cementitious Material.
Hanafi, A. S., dan Nandang, A. R. 2010. Studi Pengaruh Bentuk Silika dari Abu Ampas
Tebu terhadap Kekuatan Produk Keramik,
Hendra, M. S., Ginting, S. Pengendalian Bahan Komposit. 2002. Jurusan Teknik Kimia
Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Medan
Mulyati, S., Dahlan, D., Adril, E. 2011. Pengaruh Persen Massa Hasil Pembakaran
Serbuk Kayu dan Ampas Tebu Pada Mortar Terhadap Sifat Mekanik dan Sifat
Fisisnya. Laboratorium Material dan Strukstur Jurusan Fisika Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas. Padang.
Papayianni, I., Stefanidou, M. 2006. Strength Porosity Relationship in Lime Pozzolan
Mortars.
Pramono, Agus. 2010. Komposit Sebagai Tren Teknologi Masa Depan. Fakultas
Teknik Metalurgi & Material Universitas Ageng Tirtayasa. Banten.
Rahman, I., Sukmawati, R. 2010. Kajian Eksperimental Pengaruh Aspek Lekatan
Agregat Kasar Terhadap Mortar Pada Kuat Tekan Beton. Tugas Akhir Jurusan
Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Semarang.
Ratnasari, D., Hermanihadi, S., Indriyanto, W. 2009. Tugas Kimia Fisika Jurusan
Teknik

Kimia Fakultas

Teknik

Universitas

Sebelas

Maret Surakarta.

Surakarta.

36

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

ANALISIS PERUBAHAN PROFIL POTENSIAL TITIK


AKUPUNKTUR PENDERITA DIABETES MELLITUS
TERHADAP PAPARAN LASERPUNKTUR
Siti Rochmah Anggoro Dewi1, Welina Ratnayanti Kawitana1, Tri Anggono P 1.,
1

Program Studi S1 Fisika, Departemen Fisika, FST Universitas Airlangga,


Surabaya 60115.
Email : d_wi3_f4ny@yahoo.co.id

Abstrak
Pengukuran profil potensial titik akupunktur dilakukan pada titik Feishu,
Xinshu, Ganshu, Pishu, dan Shenshu pada testi sehat dan testi diabetes masingmasing terdiri dari 5 orang didapatkan dari obervasi data sekunder di Puskesmas
Mulyorejo, Surabaya. Profil potensial listrik dalam bentuk sinyal listrik diperoleh
dari hasil perekaman profil potensial listrik domain waktu. Perekaman dilakukan
selama 50 detik. Hasil perekaman profil potensial domain waktu tidak dapat
dibedakan secara nyata sehingga dilakukan pemrosesan sinyal dengan metode
analisis FFT (Fast Fourier Transform) dengan pencuplikan setiap bingkai data
dilakukan setiap 3,29 detik. Pemberian terapi dilakukan sebanyak 9 kali, pada
masing- masing terapi testi diabetes dipapari laserpunktur selama 500 detik dengan
energi 2,5 Joule dan daya 10 mW. Setelah pemberian terapi, testi diabetes
direkam kembali profil potensialnya sebagai keadaan setelah terapi dan hasilnya
akan dibandingkan dengan testi sehat. Berdasarkan hasil penelitian didapatakan
paparan dengan menggunakan laserpunktur memberikan perubahan profil potensial
titik akupunktur testi penderita diabetes mellitus secara statistik sama dengan profil
potensial testi sehat. Perubahan terjadi pada terapi dan titik akupunktur yang tidak
selalu sama pada tiap testi. Untuk testi A perubahan terjadi pada titik Pishu, titik
Shenshu dan titik Ganshu pada terapi ke-6. Untuk testi B perubahan terjadi pada titik
Pishu pada terapi ke-6 dan titik Xinshu pada terapi ke-9. Untuk testi C perubahan
terjadi pada titik Pishu dan titik Ganshu pada terapi ke-6. Untuk testi D perubahan
terjadi pada titik Ganshu pada terapi ke-6. Sedangkan untuk testi E perubahan tidak
terjadi. Karena perubahan terjadi pada sebagian besar testi, maka pemberian
laserpunktur ini dapat digunakan sebagai salah satu metode terapi bagi penderita
diabetes mellitus.
Kata Kunci : diabetes mellitus , laserpunktur, potensial listrik tubuh, Fast Fourier
Transform ( FFT).

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

37

PENDAHULUAN
Diabetes mellitus adalah suatu penyakit

gangguan

kesehatan

di mana kadar

gula dalam darah seseorang menjadi tinggi karena gula dalam darah tidak dapat
digunakan oleh tubuh. Setiap tahun jumlah penderita diabetes mellitus semakin
meningkat. Menurut laporan WHO, jumlah penderita DM di dunia pada tahun 1987
kurang

lebih

30

juta.

Menyusul kemudian, laporan WHO November 1993,

ternyata jumlah penderia DM di dunia meningkat tajam menjadi 100 juta lebih
dengan prevalensi sebesar 6%. Laporan terakhir oleh McCarty et al., 1994: jumlah
penderita DM tahun 1994 di dunia 110,4 juta, tahun 2000 meningkat kurang lebih 1,5
kali lipat menjadi kurang lebih 175,4 juta, tahun 2010 meningkat kurang lebih 2 kali
lipat menjadi kurang lebih 239,3 juta, dan hingga tahun 2020 diperkirakan menjadi
300 juta (Tjokroprawiro

dkk, 2007). Banyak cara yang dilakukan oleh penderita

diabetes mellitus untuk bisa sembuh

dari

penyakit

ini,

salah

satu pengobatan

yang banyak diminati adalah dengan melakukan terapi akupunktur.


Akupunktur merupakan teknik memasukkan atau memanipulasi jarum ke dalam "titik
akupunktur" tubuh. Dalam terapi akupunktur, prinsip kerja yang digunakan adalah
memanipulasi sifat biolistrik pada titik akupunktur. Adanya gangguan anatomis atau
fisiologis organ dalam yang diproyeksikan di titik akupunktur yang berhubungan dapat
dideteksi

dengan

mengukur

perubahan profil potensial listrik titik akupunkturnya

(Saputra, 2002). Saat ini pengobatan dengan menggunakan teknik akupunktur telah
banyak dikembangkan, salah satunya dengan penambahan laserpunktur. Alasan
menggunakan laser di sini mengingat bahwa laser tidak memiliki efek samping dan
cara kerja laser lebih efektif dibandingkan dengan listrik, yaitu penggunaan laser pada
terapi akupunktur secara non invasive, tidak menimbulkan nyeri,
lingkungan bersih, adalah

sangat

sesuai

untuk

tidak panas,

anak-anak, orang tua, dan orang

yang takut terhadap jarum (Fajarina, 2008).


Sebelumnya dilakukan juga penelitian
oleh Ria Fajarina (2008) yang memvariasi daya laserpunktur, pengulangan terapi dan
waktu paparan laserpunktur. Penelitian ini dilakukan

pada

mencit

dengan

menggunakan titik akupunktur pi-shu. Daya yang divariasikan 0 mW, 2 mW, 5 mW,
dan 10 mW. Untuk pengulangan terapinya divariasi mulai nol kali hingga lima kali
pemberian terapi. Waktu paparan yang digunakan 0 detik, 100 detik, 200 detik, dan
500 detik. Hasil yang didapatkan adalah daya optimasi 2 mW, pengulangan terapi
sebanyak lima kali dan waktu paparan laserpunktur 500 detik memiliki kemampuan

38

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

untuk meningkatkan sel beta yang normal pada pankreas dan mengurangi tipe kematian
sel berupa kariopiknosis, karioreksis, kariolisis melalui regenerasi dan recovery. Pada
jurnal ini dilakukan pemberian laserpunktur pada titik akupunktur pi-shu penderita
diabetes

mellitus

dengan mengukur profil potensial penderita sebelum dan

sesudah terapi lalu membandingkannya

dengan profil potensial orang sehat yang

dianalisis dengan menggunakan Fast Fourier Transform (FFT). Dengan dilakukannya


penelitian ini diharapkan pemberian laserpunktur

pada

titik akupunktur penderita

diabetes mellitus dapat digunakan sebagai terapi.

METODOLOGI PENELITIAN
Perangkat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya: alat pengukur kadar
gula darah, laser He-Ne dengan panjang gelombang 632,8 nm dan daya 10 mW,
perangkat keras IWX/214, komputer dengan perangkat lunak

IWORX Labscribe,

elektrode, probe dan kabel penghubung, serta pasta elektrolit yang berfungsi
menghilangkan gelembung- gelembung udara yang terdapat antara permukaan

kulit

dengan elektrode pada saat perekaman.

Gambar 1. Set up alat perekaman profil potensial


Adapun langkah-langkah untuk mendapatkan data pada penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Mengukur kadar gula darah semua testi.
2. Membagi testi menjadi dua kelompok, testi sehat ditandai dengan angka 1 5 dan
testi sakit ditandai dengan huruf A - E, berdasarkan

hasil pengukuran kadar

gula darah testi. Dimana testi yang memiliki kadar GDA 200mg/dl atau
kadar GDP 126mg/dl dikelompokkan sebagai testi sakit atau testi penderita
diabetes mellitus.
3. Memberi pasta elektrolit dan menempelkan elektrode pada titik Feishu testi
Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

39

4. Merekam profil potensial titik Feishu selama 50 detik.


5. Menyimpan gambar hasil keluaran pada layar komputer.
6. Mengulangi langkah 3 sampai 5 untuk titik Xinshu, titik Ganshu, titik Pishu dan
titik Shenshu untuk semua testi, baik testi sehat maupun testi sakit.
7. Membersihkan pasta elektrolit pada punggung testi.
8. Menyinari

titik

Pishu

dengan laserpunktur selama 500 detik, hanya dilakukan

pada testi sakit.


9. Mengulang langkah 3 sampai 5 untuk titik Feishu, titik Xinshu, titik Ganshu,
titik Pishu dan titik Shenshu sebagai keadaan setelah penyinaran dan hanya
dilakukan untuk testi sakit.
10. Mengulang langkah 3 sampai 10 untuk testi sakit sampai 9 kali terapi
11. Pada terapi terakhir atau setelah hari ke- 32 mengukur kembali kadar gula darah
testi diabetes mellitus.
Dan

untuk

melakukan

proses perekaman perlu dilakukan beberapa langkah

sebagai berikut:
1. Mengaktifkan

program

Labscribe dengan meng-klik shortcut Labscribe

2. pada desktop.
3. Menekan tombol on pada hardware iWorx 214 untuk menyalakan.
4. Klik Settings pada toolbar dan pilih EMG Grip-Strength.
5. Klik tools pada toolbar dan pilih find hardware, lalu klik ok.
6. Menempelkan

elektrode

pada titik akupunktur yang akan direkam profil

potensialnya yang sebelumnya telah diberi pasta elektrolit.


7. Memulai perekaman dengan meng-klik start.
8. Setelah 50 detik perekaman dihentikan dengan meng-klik stop.
9. Menyimpan hasil perekaman dalam document.
Data yang dihasilkan dari perekaman profil potensial dengan menggunakan bioamplifier (iworx Labscribe) sulit untuk dianalisis secara langsung, sehingga
dibutuhkan analisis Fast Fourier Transform (FFT). Setelah dianalisis dengan
menggunakan FFT data yang didapatkan dianalasis dengan menggunakan ANOVA
same

subject untuk mengetahui apakah ada perbedaan antara

profil

potensial

sebelum dan sesudah pemberian terapi untuk testi sakit dan uji t sampel bebas untuk
mengetahui apakah profil potensial setelah pemberian terapi sama dengan profil
potensial testi sehat.

40

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil perekaman profil potensial berupa

fungsi

waktu

yang

masih sulit

untuk dianalisis secara langsung, seperti ditunjukkan pada gambar 2. Oleh karena
itu

hasil

perekaman

menggunakan

profil

potensial tersebut perlu dianalisis lebih lanjut

Fast Fourier Transform (FFT) seperti yang nampak pada gambar 3.

Gambar 2. Hasil perekaman profil potensial sebagai fungsi waktu

Gambar 3. Hasil analisis FFT


Setelah
yang

dianalisis

awalnya

dengan menggunakan FFT, hasil perekaman profil potensial

sebagai

fungsi waktu ditransformasikan menjadi fungsi frekuensi

sesuai dengan persamaan 1.


(1)
dt
X(f) = x(t)e -i2n[t
Hasil analisis FFT ini digunakan untuk menghitung tingginya amplitudo
puncak setiap frekuensi yang muncul Perhitungan amplitudo puncak setiap frekuensi
ang muncul dilakukan secara manual dengan menggunakan cursor yang diarahkan
ada setiap frekuensi yang muncul, contoh dari gambar 3 nampak bahwa cursor pertama
berada pada frekuensi 1 HZ dengan puncak amplitudo sebesar 0,038 dan cursor
kedua berada pada frekuensi 100 Hz dengan amplitudo puncak sebesar 0,198.
Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

41

Perhitungan dilakukan dengan mengabaikan amplitudo puncak pada frekuensi 50 Hz


karena merupakan noise dari PLN.
Hasil perhitungan amplitudo puncak masing-masing frekuensi testi penderita
diabetes mellitus diuji beda dengan uji ANOVA Repeated Measure menggunakan
SPSS 13.0. Pengujian ini bertujuan untuk menunjukkan perbedaan antara profil
potensial testi penderita diabetes mellitus sebelum dan setelah diberi terapi dengan
laserpunktur. Jika pada pengujian ini didapatkan nilai p < 0,05 maka terdapat
perbedaan

yang

signifikan

pada

profil potensial testi penderita diabetes mellitus

pada terapi-terapi yang telah diberikan. Hasil

uji

ANOVA

Repeated

Measure

untuk masing-masing testi telah dirangkum pada tabel 1. Hasil uji ANOVA Repeated
Measure juga berupa grafik yang dapat menggambarkan kondisi profil potensial titik
akupunktur testi penderita diabetes mellitus pada setiap kali terapi. Grafik rata-rata
amplitudo puncak pada setiap kali terapi untuk titik Pishu masing- masing testi
penderita diabetes mellitus tersaji

pada

gambar

4. untuk

testi

A, gambar 5.

untuk testi B, gambar 6. untuk testi C, gambar 7. untuk testi D dan gambar 8.
untuk testi E.
Setelah dilakukan uji ANOVA Repeated Measure, untuk melihat apakah profil
potensial testi penderita diabetes mellitus

mengalami

perbaikan

seperti profil

potensial testi sehat perlu diuji lagi menggunakan uji t sampel bebas. Jika pada
pengujian ini didapatkan nilai p > 0,05 maka tidak terdapat perbedaan antara
profil potensial testi penderita diabetes mellitus setelah diberi terapi dengan profil
potensial testi sehat. Hasil dari uji t sampel bebas telah dirangkum pada tabel 2.

Gambar 4. Grafik rata-rata amplitudo terhadap masing-masing terapi pada titik


Pishu untuk testi A (terapi 1 pada grafik merupakan keadaan awal testi penderita
diabetes sebelum diberi terapi).

42

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Gambar 5. Grafik rata-rata amplitudo terhadap masing-masing terapi pada titik


Pishu untuk testi B (terapi 1 pada grafik merupakan keadaan awal testi penderita
diabetes sebelum diberi terapi).

Gambar 6. Grafik rata-rata amplitudo terhadap masing-masing terapi pada titik


Pishu untuk testi C (terapi 1 pada grafik merupakan keadaan awal testi penderita
diabetes sebelum diberi terapi).

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

43

Gambar 7. Grafik rata-rata amplitudo terhadap masing-masing terapi pada titik


Pishu untuk testi D (terapi 1 pada grafik merupakan keadaan awal testi penderita
diabetes sebelum diberi terapi).

Gambar 8. Grafik rata-rata amplitudo terhadap masing-masing terapi pada titik


Pishu untuk testi E (terapi 1 pada grafik merupakan keadaan awal testi penderita
diabetes sebelum diberi terapi).

44

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Tabel 1. Hasil uji ANOVA Repeated Measure


Testi

Titik
Pishu
Shenshu
Ganshu
Xinshu
Feishu
Pishu
Shenshu
Ganshu
Xinshu
Feishu
Pishu
Shenshu
Ganshu
Xinshu
Feishu
Pishu
Shenshu
Ganshu
Xinshu
Feishu
Pishu
Shenshu
Ganshu
Xinshu
Feishu

p
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000

Keterangan
Ada beda
Ada beda
Ada beda
Ada beda
Ada beda
Ada beda
Ada beda
Ada beda
Ada beda
Ada beda
Ada beda
Ada beda
Ada beda
Ada beda
Ada beda
Ada beda
Ada beda
Ada beda
Ada beda
Ada beda
Ada beda
Ada beda
Ada beda
Ada beda
Ada beda

Tabel 2. Hasil uji t sampel bebas


Testi

Setelah Terapi Ke-

6
A
9

Titik

Keterangan

Pishu
Shenshu
Ganshu
Xinshu
Feishu

0,268
0,705
0,171
0,000
0,011

Tidak beda
Tidak beda
Tidak beda
Ada beda
Ada beda

Pishu
Shenshu
Ganshu
Xinshu
Feishu

0,000
0,000
0,000
0,000
0,000

Ada beda
Ada beda
Ada beda
Ada beda
Ada beda

Pishu
Shenshu
Ganshu
Xinshu
Feishu

0,738
0,000
0,000
0,000
0,048

Tidak beda
Ada beda
Ada beda
Ada beda
Ada beda

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

45

3
E

Pishu
Shenshu
Ganshu
Xinshu
Feishu

0,000
0,000
0,000
0,120
0,006

Ada beda
Ada beda
Ada beda
Tidak beda
Ada beda

Pishu
Shenshu
Ganshu
Xinshu
Feishu

0,764
0,000
0,079
0,000
0,000

Tidak beda
Ada beda
Tidak beda
Ada beda
Ada beda

Pishu
Shenshu
Ganshu
Xinshu
Feishu

0,000
0,001
0,000
0,000
0,000

Ada beda
Ada beda
Ada beda
Ada beda
Ada beda

Pishu
Shenshu
Ganshu
Xinshu
Feishu

0,014
0,003
0,135
0,000
0,006

Ada beda
Ada beda
Tidak beda
Ada beda
Ada beda

Pishu
Shenshu
Ganshu
Xinshu
Feishu

0,000
0,003
0,000
0,000
0,006

Ada beda
Ada beda
Ada beda
Ada beda
Ada beda

Pishu
Shenshu
Ganshu
Xinshu
Feishu

0,000
0,003
0,000
0,000
0,006

Ada beda
Ada beda
Ada beda
Ada beda
Ada beda

Pishu
Shenshu
Ganshu
Xinshu
Feishu

0,000
0,003
0,000
0,000
0,006

Ada beda
Ada beda
Ada beda
Ada beda
Ada beda

Laserpunktur yang digunakan untuk terapi dalam penelitian ini adalah laser HeNe berdaya 10 mW. Laserpunktur ini tergolong laser berdaya rendah. Terdapat dua
macam laser yang biasa digunakan dalam bidang kedokteran, yang pertama adalah laser
berdaya tinggi. Laser berdaya tinggi ini biasanya digunakan untuk memotong jaringan.
Yang kedua adalah laser berdaya rendah, yaitu antara 1 mW sampai dengan 500 mW,
yang berfungsi untuk menstimulasi jaringan dan memperbaiki jaringan yang rusak.
Dengan daya 10 mW diperoleh energi per foton yang dikeluarkan oleh laser
adalah 1,96 eV, sehingga energi tersebut tidak mampu untuk mengionisasi molekul
yang ada di dalam tubuh.
Analisis perubahan dimulai dengan menganalisis profil potensial titik Pishu
karena pemaparan dengan laserpunktur dilakukan pada titik Pishu. Setelah itu analisis
perubahan dilanjutkan pada profil potensial titik lainya, yaitu titik Shenshu, titik Ganshu,
titik Xinshu, dan titik Feishu. Pemberian rangsangan

pada titik akupunktur akan

dirambatkan melalui jalur komunikasi meridian. Untuk selanjutnya rangsangan akan


menimbulkan pengaruh pada sirkulasi energi yang ada, sehingga akan timbul efek

46

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

pengobatan, terutama pada organ yang berhubungan langsung dengan titik akupunktur
yang dirangsang (Gellman dalam Abdurachmah, 2005), dalam penelitian ini adalah titik
Pishu. Rangsang pada titik Pishu akan diteruskan menuju titik akupunktur lainnya,
terutama sepanjang meridian yang sama, dalam penelitian ini adalah meridian kandung
kemih (Bladder).
Foton yang berasal dari laser akan diserap oleh titik Pishu sehingga
menyebabkan membran sel mengalami depolarisasi. Membran yang menyerap energi
mengalami penurunan potensial sehingga ada aliran ion natrium masuk ke dalam sel
dan ion kalium keluar sel. Pada saat membran dalam keadaan potensial ambang,
membran sel dalam kondisi tidak stabil, maka akan kembali ke posisi dasar dalam
waktu yang sangat cepat (10 -15 sekon) dengan memancarkan radiasi ke lingkungan
yang biasa disebut dengan hiperpolarisasi dan repolarisasi. Foton yang dipancarkan
akan diserap oleh sel tetangga yang memiliki frekuensi sama. Demikian seterusnya
sehingga membentuk suatu tempat kedudukan sejumlah sel yang memiliki energi
kuantum sama. Tempat kedudukan sejumlah sel tersebut yang disebut meridian,
sedangkan energi chi adalah energi kuantum yang mengalir dari sel

ke

sel

yang

mempunyai frekuensi radiasi sama (Wirya dalam Abdurachman,2005).


Dari hasil penelitian terlihat bahwa terdapat perubahan profil potensial testi
penderita diabetes mellitus sama dengan profil

potensial

testi

sehat,

namun

perubahan tidak selalu terjadi pada terapi terakhir atau terapi ke-9. Jika dibuat suatu
grafik maka akan nampak naik turunya rata-rata amplitudo pada masing-masing
terapi seperti terlihat pada gambar 4. sampai 8. Perubahan juga tidak terjadi
pada semua testi dan pada semua titik. Perubahan profil potensial untuk testi A terjadi
pada titik Shenshu, titik Pishu, dan titik Ganshu yang terjadi setelah terapi ke-6.
Untuk testi B perubahan profil potensialterjadi pada titik Pishu saat setelah terapi
ke-6 dan titik Xinshu saat setelah terapi ke-9. Pada testi C perubahan profil potensial
terjadi pada titik Pishu dan titik Ganshu setelah terapi ke-6. Perubahan profil potensial
untuk testi D hanya terjadi pada titik Ganshu saat setelah terapi ke-6. Sedangkan untuk
testi E tidak terdapat perubahan profil potensial menurut hasil uji statistik.
Profil potensial titik Pishu testi penderita diabetes mellitus yang mengalami
perubahan seperti profil potensial titik Pishu testi sehat merupakan efek dari
pemberian paparan laserpunktur. Dalam teknik akupunktur, titik akupunktur Pishu
dinyatakan sebagai sumber chi dari organ pankreas (Yanfu, dkk dalam Abdurachman,
2005). Dari titik akupunktur

tersebut,

gelombang

yangsesuai, dirambatkan

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

47

menuju

organ pankreas

melalui

jalur

komunikasi meridian

(Wirya

dalam

Abdurachman,2005). Sesampainya di pankreas, gelombang tersebut diolah sebagai


informasi untuk membangun kerjasama di tingkat antar sel (Kim dan Hebrok dalam
Abdurachman, 2005), subseluler maupun pada

tingkat

inti,

untuk

mengatasi

gangguan. Informasi tersebut antara lain diterjemahakan ke dalam bentuk reaksi


molekuler, sehingga organ yang bersangkutan dapat melakukan beberapa tahapan
mekanisme perbaikan (Oschman dalam

Abdurachman,

2005),

sehingga dapat

mengembalikan deformitas profil potensial organ.


Perubahan profil potensial testi penderita diabetes mellitus sama dengan profil
potensial testi sehat terjadi pada terapi yang berbeda-beda untuk masing- masing
testi. Pada testi A, testi C dan testi D perubahan terjadi pada terapi ke-6. Sedangkan
pada testi B, perubahan juga terjadi pada terapi ke-9. Ini dapat disebabkan oleh tiga
hal, yaitu:
a) Kondisi fisik testi yang berbeda-beda.
Kondisi fisik yang dimaksud diantaranya adalah warna kulit testi, semakin gelap warna
kulit testi maka penyerapan cahaya laser oleh kulit testi juga semakin besar. Selain itu,
tingkat kegemukan testi juga ikut berpengaruh, semakin gemuk testi maka tingkat
penyerapan cahaya laser akan semakin kecil.
b) Penyinaran dengan laserpunktur yang
dilakukan tidak tepat pada titik Pishu. Saat melakukan terapi, penulis tidak tepat
menentukan letak titik Pishu yang akan diberi paparan laserpunktur, sehingga
waktu untuk cahaya laser dapat sampai ke sel guna melakukan perbaikan sel lebih
lama.
c) Adanya faktor pengendali yang tidak dapat dikendalikan oleh penulis.
Faktor pengendali yang tidak dapat dikendalikan oleh penulis, diantaranya adalah pola
hidup testi yang berbeda- beda dan tingkat stress yang dialamimasing-masing testi
juga berbeda- beda.
Bila ditinjau dari teori yang telah ada, perubahan profil potensial terutama akan
terjadi pada titik akupunktur yang diberi rangsangan, dalam penelitian ini berupa
cahaya laser. Setelah itu perubahan juga dapat dialami oleh titik akupunktur lain
utamanya yang berada pada satu meridian yang sama. Kesesuain teori tersebut terjadi
pada testi A, testi B dan Testi C. Namun untuk perubahan profil potensial di titik
akupunktur selain titik Pishu yang diberi rangsangan, tidak selalu terjadi pada empat
titik akupunktur lainnya. Seperti pada testi A, selain titik Pishu, perubahan juga

48

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

terjadi pada titik Shenshu dan titik Ganshu sedangkan untuk titik Xinshu dan titik
Feishu tidak terjadi perubahan. Untuk testi B selain titik Pishu, perubahan juga terjadi
pada titik Xinshu, pada terap ke-9. Sedangkan untuk testi C selain pada titik Pishu,
perubahan profil potensial juga ditunjukkan pada titik Ganshu. Hal tersebut dapat
disebabkan oleh:
a) Yang

tidak

mengalami

perubahan profil potensial adalah titik Shenshu

dapat disebabkan karena titik ini berkaitan

dengan

organ

ginjal.

Jika testi pada

penelitian ini rajin mengkonsumsi obat, maka secara kedokteran konvensional obat
dapat membawa dampak buruk pada ginjal.
b) Yang

tidak

mengalami

perubahan

profil potensial adalah titik Xinshu dapat disebabkan karena titik ini berkaitan
dengan organ jantung. Jika testi pada penelitian ini memiliki gejala hipertensi dan
testi

berada

pada keadaan stress maka membuat hipertensinya semakin parah

sehingga berdampak buruk pada jantung.


c)

Yang

tidak

mengalami

perubahan profil potensial adalah titik Ganshu

dapat disebabkan karena titik ini berkaitan dengan organ hati. Jika testi pada penelitian
ini memiliki pola hidup yang buruk terutama dalam hal mengkonsumsi makanan maka
bisa berdampak buruk pada hati karena hati terus

bekerja

keras

untuk

menjaga

kadar gula darah.


d) Yang

tidak

mengalami

perubahan profil potensial adalah titik Feishu

dapat disebabkan karena titik ini berkaitan dengan organ paru. Jika testi pada
penelitian

ini

telah

lama mengidap diabetes, maka besar kemungkinan

terjadi

komplikasi diabetes mellitus seperti Tuberkolosis. Saat terapi dapat dimungkinkan kadar
gula darah bisa turun namun untuk komplikasinya belum tentu dapat membaik pula.
Untuk testi B sebelumnya telah terjadi perubahan di titik Pishu tepatnya pada
terapi ke-6, namun pada terapi ke-9 perubahan justru terjadi pada titik Xinshu.
Sedangkan untuk testi D tidak pernah terjadi perubahan pada titik Pishu, perubahan
justru terjadi pada titik Ganshu pada terapi ke-6. Hal ini dapat dijelaskan sebagai
berikut, untuk testi B dimungkinkan setelah menjalani terapi ke6 testi mulai lepas kontrol dalam menjaga pola makan karena testi merasakan
kondisi yang lebih baik dari kondisi awal, seperti intensitas buang air kecil menjadi
berkurang, sehingga testi yang awalnya menjaga pola makan menjadi lepas kontrol yang
dapat menyebabkan kadar gula testi meningkat dan gambaran profil potensial titik Pishu
pun secara statistik tidak mengalami perubahan. Sedangkan untuk testi
Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

dapat

49

dimungkinkan saat melakukan terapi, penulis tidak tepat meletakkan laserpunktur pada
titik Pishu. Karena letak titik Pishu dan titik Ganshu yang

berdekatan,

bisa saja

laserpunktur yang diberikan oleh penulis justru malah cenderung menuju titik Ganshu,
sehingga profil potensial yang mengalami perubahan pada titik Ganshu.
Kondisi lain ditunjukkan oleh testi E. Testi E sama sekali tidak menunjukkan
perubahan profil potensial di titik manapun dan pada terapi keberapun. Hal ini
dimungkinkan dapat disebabkan oleh dua hal, yang pertama terapi yang dilakukan belum
mencapai

titik optimum,

sehingga secara statistik tidak terdapat perubahan profil

potensial pada testi E. Yang kedua dimungkinkan adanaya faktor pengendali yang tidak
dapat dikendalikan oleh penulis seperti yang telah dijelaskan sebelumnya yang bersifat
lebih dominan sehingga pemberian laserpunktur tidak dapat merubah profil potensial
titik akupunktur testi E. Namun, dari keseluruhan hasil penelitian yang didapatkan
laserpunktur dapat menyebabkan perubahan profil potensial testi penderita diabetes
mellitus, meskipun masih terdapat faktor-faktor kendali yang seharusnya dikendalikan
seperti mengadakan rawat inap untuk semua testi penderita diabetes mellitus dan
melakukan

tes laboraturium

untuk testi sehat untuk mengetahui apakah testi

tersebut benar-benar organnya dalam keadaan yang masih baik. Semua

cara

pengendalian itu masih belum dapat dilakukan oleh penulis, sehingga sekiranya
diperlukan penelitian dengan melakukan pengendalian seperti tersebut di atas.

KESIMPULAN
Berdasarkan

hasil penelitian

dapat disimpulkan bahwa:

1. Pemberian paparan laserpunktur pada titik Pishu testi penderita diabetes mellitus
menyebabkan perubahan profil potensial titik akupunktur testi penderita diabetes
mellitus.
2. Perubahan

profil

potensial

titik akupunktur penderita diabetes mellitus

menunjukkan perbaikan secara kualitatif pada kondisi testi penderita diabetes


mellitus. Namun, perubahan yang terjadi pada setiap testi berbeda- beda,
bergantung pada ketepatan menentukan letak titik Pishu yang diberi

paparan

laserpunktur, kondisi fisik dan mental testi, serta pola hidup testi.

50

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman,
Fungsi

2005,

Pengaruh

sel Pankreas

Laser pada Titik Pishu terhadap Jumlah dan

Tikus Putih Galur Wistar (Rattus norvegicus) yang

Telah Diinjeksi Streptozotocin, Disertasi Program Pascasarjana Universitas


Airlangga, Surabaya.
Ackermen, E, 1998, Ilmu Biofisika, Airlangga University Press, Surabaya, Alih bahasa
oleh Redjani dan Abdul Basir.
Ashari, dan Santosa, B. P., 2005, Analisis Statistik dengan Microsoft Excell & SPSS,
Andi, Yogyakarta.
Cameron, J.R, 2006, Fisika Tubuh Manusia, Edisi ke-2, Alih Bahasa Brahm U, CV
EGC Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
Chasanah, A., U., 2008, Analisis Korelasi Paparan Laserpunktur terhadap Perbaikan
Fungsi Limpa sebagai Organ Pengendali Pasokan Insulin, Skripsi, Departemen
Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga, Surabaya.
Cromwell L., Arditi M. Weibel F.J., Pfeiffer E.A, Steele B., Labok J., 1976,
Medical Instrumentation for
Health Care, Prentice Hall Inc). Fajarina,
Pengulangan

Terapi,

R.,

2008,

Optimasi

Daya,

dan Waktu

Paparan Laserpunktur pada Mencit untuk Normalisasi Sel Beta Pankreas sebagai
Pemasok Insulin, Skripsi, Departemen

Fisika Fakultas Sains dan

Teknologi

Universitas Airlangga, Surabaya.


Fisher,

R. A., 1925, Statistical Methods for Research Workers, Edinburgh: Oliver

and Boyd.
Gabriel, J. F, 1996, Fisika Kedokteran, EGC, Fisika Universitas Udayana, Bali.
Guyton & Hall, 1997, Bahan Ajar Fisiologi Kedokteran (Textbook of Medical
Physiology), Diterjemahkan oleh

Irawati

Setiawan,

Edisi

1,Penerbit Buku

Kedokteran EGC, Jakarta.


Hidayat, T.,

dan

Itadah,

N.,

2011, Panduan Lengkap Menguasai SPSS 19.0

untuk Mengolah Data Statistik Penelitian, Media Kita, Jakarta.


Hobbie, R. K. and Roth, B. J., 2007, Intermediate Physics For Medicine and
th

Biology, 4 Edition, Springer Science+Bussines Media, New York


http://te.ugm.ac.id/~risanuri/isyaratsystem/ paperDFTkeFFT.pdf, 18 Desember 2011.
http://www.iworx.com/content/?id=24, 21 Desember 2011.
http://www.compassionatedragon.com/ac_shu.html, 11 September 2012.
Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

51

Kurniawan, A., 2009, Belajar Mudah SPSS untuk Pemula, Mediakon, Yogyakarta.
Maschede, D., 2004, Optics, Light andLasers, WILEY-VCH Verlag GmbH & Co.
K GaA, Weinheim.
Niemz, M. H., 2004, Laser-Tissue Interactions,

Third,

Enlarged Edition, Springer

Berlin Heidelberg, New York.


Rosmalasari,

V., 2007, Optimasi

Dosis dan Pola Terapi Laserpunktur terhadap

Penurunan Kadar Gula Darah Mencit, Departemen Fisika Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Airlangga, Surabaya.
Saptatinovi, 2005, Efektifitas Laserpunktur pada Terapi Penurunan Kadar Gula Darah,
Skripsi FMIPA Unair, Surabaya.
Saputra, K., 2002, Akpunktur Klinik, Airlangga University Press, Surabaya.
Sirohi, R. S., 1985, A Course of Experiments with He-Ne Laser, Wiley Eastern
Limited, New Delhi.
Sobel, M. L., 1987, Light, The University of Chicago, USA.
Suhariningsih,

1999,

Profil

Tegangan Listrik Titik akupunktur sebagai Indikator

Kelainan Fungsional Organ,

Disertasi

Program Pascasarjana

Universitas Airlangga, Surabaya.


Suhariningsih, 2004, Kajian Biofisika tentang Keamanan dan Efektifitas Terapi
Akupunktur, Universitas Airlangga, Surabaya.
Sukanta, P. O., 2001, Akupresur dan Minuman

untuk

Mengatasi Gangguan

Pencernaan, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.


Tjokroprawiro, A., dkk, 2007, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Airlangga University
Press, Surabaya.
Tobing, A.,

2008,

Care

Your

Self: Diabetes Mellitus,

Penebar

Plus,

Jakarta.
Widjaya, Dr. Witjahyakarta, Sp.S, 2012, EEG dan EMG: Teknik Pemeriksaan Syaraf,
RS Pondok Indah Group, Jakarta.
Wijayanto, Y. Nur. dan Hastuti, D., 2006, Rangkaian Bioamplifier untuk Mendeteksi
Sifat Elektris Otot, Jurnal Elektronika No. 2 Juli- Desember 2006, Volume 6.

52

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Optimasi Model Elektrode Pada Sistem Pengukuran Potensial


Titik Akupunktur Secara Non- Invasive Untuk Diagnosis
Fungsional Organ
Yulanda Dwi Fajarwati,Welina Ratnayanti, Tri Anggono P.

Laboratorium Biofisika, Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas


Airlangga, Surabaya 60115

Email: yulanda.d.fajarwati@gmail.com

Abstract
This study aim to make an electrode as a substitute for standard ECG electrodes.
The electrodes were made from pieces of aluminum and innovation did in 2 ways, the
diameter and the addition of a magnetic field. Data retrieval is done by recording the
acupuncture points PC 6 (Neiguan) associated with the heart. Recording done using
software and data generated IWORX/214 data such as voltage function of time. Potential
profile patterned recording ECG results because it is the acupuncture point of
pericardial heart. ECG pattern was observed amplitude of frequency appears. The
success rate of the electrode measured ability raises the maximum amplitude in the
frequency appears. The results of the analysis stated there are several dominant
frequencies that arise from the potential profile recording acupuncture points, the
frequency of 0-2 Hz and 50 Hz. The best electrode for detecting the frequency of 0-2 Hz
is the electrode with a diameter of 2.8 cm with a value of amplitude A = (1 0.16).
While the electrode is best to minimize the noise frequency is 50 Hz electrode with a
diameter of 2.8 cm and with the addition of 1 to the value of the magnetic plate
amplitude A = (0.03 0.01). Based on the results obtained, the electrodes have been
made in this study can replace the standard electrode because it can detect the
electrical potential profile in acupuncture point PC 6 quite well when compared to the
standard ECG electrodes manufactured

Keyword : Electrode, Voltage, Frequency, Amplitude, ECG

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

53

PENDAHULUAN
Elektrokardiogram atau EKG merupakan alat yang digunakan untuk merekam
aktivitas listrik sel otot jantung. Elektrokardiogram menggunakan elektroda sebagai
transduser. Elektrode yang digunakan pada ECG untuk merekam aktivitas jantung pada
umumnya bersifat disposable. Elektrode disposable memiliki keunggulan yaitu ketika
digunakan gerakan pasien tidak

begitu mempengaruhi pola sinyal listrik jantung karena

elektrode disposable dapat menempel dengan kuat pada permukaan kulit oleh adanya
perekat. Elektrode disposable memiliki kekurangan yaitu hanya dapat digunakan untuk
sekali pakai sehingga pasien yang membutuhkan perekaman aktivitas jantung harus
mengeluarkan biaya ekstra untuk membeli dan mengganti elektrode setiap kali
perekaman. Pada penelitian ini, peneliti akan membuat suatu inovasi berupa elektroda
baru yang kedepannya diharapkan dapat digunakan sebagai elektroda alternatif elektrode
standart yang bersifat disposable. Penelitian ini menggunakan konsep keping
aluminium yang divariasi diameter dan ditambahkan keping magnet. Elektroda dengan
beberapa variasi kemudian digunakan untuk perekaman aktivitas listrik jantung. Hasil
perekaman aktivitas listrik jantung menggunakan elektrode yang telah dibuat pada
penelitian ini kemudian dibandingkan dengan hasil perekaman aktivitas listrik jantung
menggunakan elektrode standart. Perbandingan dilakukan untuk mengetahui apakah
elektrode yang telah dibuat pada penelitian ini berhasil menggantikan elektrode standart.
Pada penelitian sebelumnya (Erawati, 2003) telah diamati perbedaan profil
potensial listik titik akupunktur hati untuk organ hati. Hasil penelitian menunjukkan
adanya perbedaan profil potensial listrik titik akupunktur hati untuk penderita hepatitis
kronik dan sirosis hati melalui grafik fungsi frekuensi. Telah diteliti juga sebelumnya oleh
dosen biofisika Universitas Airlangga Surabaya tentang pengukuran tegangan dan
frekuensi

dengan

menggunakan

elektrostimulator.

Dari

pengukuran

tersebut

elektrostimulator dapat digunakan untuk mengetahui respon sel syaraf dan otot terhadap
rangsangan (stimulasi) listrik yang diberikan, terutama untuk mendapatkan gambaran
mengenai mekanisme

terjadinya

potensial

aksi

pada sel-sel tertentu. Selain itu

elektrostimulator sering digunakan dalam bidang fisioterapi untuk perbaikan dan


pemulihan keseimbangan biopotensial. Penelitian tersebut pada saat ini digunakan untuk
mata kuliah fisika eksperimental mahasiswa S1Fisika Unair Surabaya.
Pada penelitian ini akan dilakukan perekaman profil potensial listrik pada titik
akupunktur PC 6 (Neiguan), titik yang berkaitan dengan organ jantung. Pemilihan titik
akupunktur didasari oleh sifatnya yang memiliki hambatan rendah dan posisinya yang
54

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

sangat mudah dijangkau. Pemilihan titik

akupunktur

berdasarkan

sifatnya

diharapkan memberikan kemudahan elektroda untuk merekam profil potensial listrik


jantung secara optimal. Dari pernyataan tersebut, ditawarkan penelitian tentang bentuk
elektroda yang tidak merusak jaringan kulit tubuh (non-invasive), yaitu dengan
menggunakan elektroda tempel saja yang ditempelkan di titik akupunktur. Pada
penelitian ini akan ditambahkan variasi diameter elektrode dan variasi penambahan
magnet, dengan asumsi medan magnet dapat memperkuat

potensial

listrik.

Profil

potensial listrik yang dihasilkan selanjutnya dianalisis untuk indikator kelainan fungsi
organ (jantung).

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat observasional komparatif.
Pengambilan vounteer dilakukan secara random. Adapun variabel penelitian :
1. Variabel bebas: diameter elektrode, penambahan magnet pada elektrode.
2. Variabel

terikat:

amplitudo

frekuensi detak jantung di titik akupuntur PC 6

(Neiguan).
3. Variabel

terkendali:

lama

waktu pengambilan data (45 detik), pencuplikan data

(6 detik).

Adapun alur permbuatan elektrode:

Gambar 1. Alur Pembuatan Elektrode

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

55

Gambar 2. Elektrode EKG dan Elektrode Penelitian


Masing masing volunteer direkam profil potensial listriknya dengan melakukan
pemasangan elektrode untuk perekaman biopotensial pada titik akupunktur Neiguan (PC
6) yang berhubungan dengan organ jantung.

Gambar 3. Titik Akupunktur Neiguan


Alat perekam biopotensial yang digunakan bekerja dengan prinsip perekaman
biopotensial dengan ECG. Perekaman biopotensial menggunakan prinsip ECG
(Electrocardiograph). ECG atau EKG merupakan pemeriksaan sel otot jantung
(Widjaja, 2012). Sinyal ECG mempunyai bentuk pola gelombang P, kompleks QRS, dan
gelombang T. Sinyal ECG mempunyai rentang frekuensi yang lebar antara 60-80 Hz
untuk tiap menit.
Sinyal dideteksi pada dua sisi dari elektrode positif dan negatif yang dipasang,
rangkaian elektrik mendapatkan beda tegangan antara kedua sisi kemudian dikuatkan
beda tegangannya. Sebagai hasilnya, sinyal manapun yang common pada kedua sisi
akan dihilangkan, dan sinyal yang berbeda pada kedua sisi akan memiliki differensial
yang

kemudian

dikuatkan. Sinyal yang munculnya jauh dari organ yang dideteksi

akan tampak sebagai sinyal biasa, dimana sinyal yang berada disekitar area akan
berbeda pada konfigurasi ini (Carlo dan Deluca, 2000).
Sinyal yang diperoleh rentan terhadap gangguan (noise). Hal tersebut
dikarenakan, elektrode yang digunakan merupakan elektrode non-invasif sehingga sangat
56

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

mudah terjadi gangguan yang berasal dari adanya gangguan inheren komponen
elektronik, ketidakstabilan sinyal yang bersifat inheren karena elektrode bersifat
sensitive

terhadap

gerakan volunteer, ketidakstabilan penempatan selama masa

perekaman. Pada perangkat Iworx, sinyal yang dikeluarkan merupakan hasil dari
penguatan sinyal yang dilakukan 1000x dari sinyal bioelektrik masukan.
Setting alat yang digunakan adalah :

Gambar 4. Setting Alat


Tahap-tahap perekaman biopotensial organ menggunakan perangkat ini adalah :
1. Arus

bioelektrik

organ

dikeluarkan melalui titik akupunktur kemudian diterima

elektrode non-invasive ditempatkan kemudian mengalir ke bioamplifier.


2. Sinyal yang dihasilkan tubuh sangat kecil berorde mikrovolt, sehingga dilakukan
penguatan pada bioamplifier sebesar 1000 kali agar sinyal dapat terlihat pada layar
komputer pada program Labscribe.
Tampilan sinyal dari perekaman biopotensial dapat ditunjukkan pada gambar 5

Gambar 5. Tampilan Sinyal Perekaman Biopotensial Pada Titik Akupuntur.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

57

Sinyal hasil perekaman merupakan gelombang yang dipancarkan dari aktivitas


organ yang dapat dipresentasikan oleh fungsi gelombang :

dengan :
(t) :

fungsi

gelombang

sebagai

fungsi waktu

Ai : Amplitudo
: frekuensi penyusun gelombang
t : waktu penjalaran
Deret

Fourier

memperlihatkan bahwa semua fungsi periodik dapat

diekspresikan sebagai suatu kombinasi dari suku - suku pembentuknya. Fourier


menunjukan bahwa sebuah fungsi dengan periode T dapat diperlihatkan dengan deret
trigonometri dengan bentuk :

dengan=2/T adalah frekuensi perulanga fungsi (rad/s).


Untuk fungsi genap, koefisien Fourier dalam deret Fourier dapat dihitung
dengan persamaan :

Deret Fourier memiliki beberapa sifat

yang penting, yaitu

frekuensi dari

bentuk sinus dan cosinus pertama adalah suatu fungsi frekuensi, dan kenaikan frekuensi
antara pembentuk-pembentuknya kenaikan n yang sebanding dengan fungsi frekuensi.
Periode pembentuk sinus dan cosinus pertama adalah sebuah fungsi, dan setiap
pembentuk dalam deret tersebut memperlihatkan sebuah bilangan bulat dari gelombang
sinus dan cosinus yang sesuai dengan periode fungsi tersebut.
Suatu fungsi f(t) dengan variasi waktu dapat ditulis sebagai sebuah persamaan
dengan parameter waktu. Fungsi tersebut juga digambarkan dalam bentuk grafik terhadap

58

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

waktu. Deret Fourier menawarkan sebuah representasi alternative untuk fungsi dalam
domain frekuensi. Meskipun penggambaran fungsi terhadap waktu sebuah histogram
yang dapatdiperbaiki dengan sumbu x sebagai frekuensi dan sumbu y sebagai amplitude
tiap frekuensi. Bentuk tersebut merupakan representasi domain frekuensi. Dengan
menggunakan identitas Euler,

deret Fourier dapat ditulis dalam bentuk kompleks sebagai berikut :

Dalam kelistrikan, deret Fourier dapat memperlihatkan suatu tegangan periodik.


Jika kita mengingat sebuah integral merupakan sebuah batas dari penjumlahan, deret
Fourier berubah menjadi integral Fourier. Fourier yang telah ditransformasi dapat
digunakan untuk memperlihatkan fungsi non periodic menjadi fungsi periodik dengan
periode menuju tak hingga, contohnya satu pulsa tegangan tidak berulang.
Deret Fourier hanya berlaku untuk sinyal periodik. Sedangkan transformasi
Fourier digunakan untuk sinyal aperiodik yang dianggap sebagai sinyal periodik orde tak
hingga. Jika sinyal aperiodik dianggap sebagai sinyal periodik orde tak hingga maka
periodenya diperbesar menuju tak hingga, sehingga spectrum sinyal menjadi spektrum
kontinyu. Dengan demikian penjumlahan pada deret Fourier berubah menjadi integral
dengan variabel kontinyu , bentuknya menjadi :

Gambar 5 menunjukkan contoh sinyal sebagai fungsi waktu yang sulit


dideskripsikan bentuk deret Fourier atau fungsi waktunya (sebelah kiri). Sumbu ordinat
menyatakan tegangan sebagai fungsi waktu f(t) dan sumbu absis sebagai waktu t.
Amplitudo pada tegangan fungsi waktu bergantung pada koefisien Fourier (a0, an, dan
bn), sedangkan yang mempengaruhi rapat dan renggangnya sinyal adalah frekuensifrekuensi () penyusun sinyal tersebut. Setelah dilakukan transformasi Fourier, diperoleh

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

59

kurva berubah pada sumbu absis merupakan frekuensi (), sedangkan sumbu ordinat
merupakan Amplitudo yang ternormalisasi sebagai fungsi frekuensi F().
Fast Fourier Transform merupakan suatu bentuk analisis data dengan
memanfaatkan operasi matematika yang digunakan dalam pemrosesan sinyal untuk
mengubah data dari domain waktu kontinyu menjadi domain frekuensi dengan cepat.
Konvolusi pada transformasi Fourier menunjukkan bahwa

,
Teorema Parseval secara fisis menunjukkan hubungan antara rata-rata dari kuadrat f(t)
dan koefisien Fourier (a0, an, dan bn) seperti pada persamaan berikut:

Dalam analisis sinyal ini, perangkat lunak yang digunakan adalah program
Labscribe. Pada tampilan terdapat nilai T2-T1 merupakan fasilitas untuk memudahkan
membaca rentang skala yang memiliki satuan format hh:mm:ss. Display time
menunjukkan kurun waktu perekaman. Setelah hasil perekaman ditampilkan, selanjutnya
mengklik icon analisis FFT pada program Labscribe, yaitu fungsi analisis yang mengubah
sinyal profil potensial listrik domain waktu ke domain frekuensi. Hasil yang muncul
adalah pulsa-pulsa yang menunjukkan frekuensi (sumbu-x) dari fungsi gelombang pada
sinyal listrik hasil perekaman yaitu 0-2 Hz dan 50 Hz dengan masing-masing amplitudo
mulai dari 0 sampai 1 (sumbu-y). Data diolah dengan mencuplik pada rentang waktu
yang sama, yaitu 6 sekon kemudian klik menu FFT lalu menempatkan 2 kursor sampai
mendapatkan beberapa nilai frekuensi dan amplitudonya.
Pada penelitian dilakukan variasi elektrode agar dapat diketahui elektrode yang
paling optimal untuk perekaman profil potensial listrik. Variasi yang digunakan yaitu

60

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Tabel 1. Variasi Elektrode


No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Variasi yang Dilakukan


Elektrode 1 tanpa magnet
Elektrode 1 + magnet 1
Elektrode 1 + magnet 2
Elektrode 2 tanpa magnet
Elektrode 2 + magnet 1
Elektrode 2 + magnet 2
Elektrode 3 tanpa magnet
Elektrode 3 + magnet 1
Elektrode 3 + magnet 2

Simbol
E1TM
E1M1
E1M2
E2TM
E2M1
E2M2
E3TM
E3M1
E3M2

Dimana elektroda 1 mewakili elektrode dengan diameter 2,3 cm. Elektrode 2


mewakili elektrode dengan diameter 2,5 cm. Elektrode 3 mewakili elektrode dengan
diameter 2,8 cm. Magnet 1 mewakili magnet dengan kuat medan 1,69mG. Magnet 2
mewakili magnet dengan kuat medan 3,4 mG.
Dari penelitian yang telah dilakukan dihasilkan amplitude berbeda untuk tiap
frekuensi yang muncul untuk setiap variasi elektrode. Hasil penelitian dibuat dalam
bentuk tabel berikut.
Tabel 2. Rerata Amplitude pada rentang frekuensi 0-2 Hz
Elektrode

Amplitudo

Standart

0,54 0,1

E1 TM

0,946 0,15

E1 M1

0,996 0,16

E1 TM
M2
E2

0,984 1 0,16
0,16

E2 M1

1 0,16

E2 TM
M2
E3

1 0,16

E3 M1

1 0,16

E3 M2
1 0,16 50 Hz
Tabel
3. Rerata Amplitudo pada rentang frekuensi
elektrode
Standart

Amplitudo
0,42 0,09

1 TM
1 M1
1 M2

0,23 0,05
0,3 0,06
0,21 0,05

2 TM
2 M1
2 M2

0,16 0,04
0,14 0,03
0,06 0,01

3 TM
3 M1
3 M2

0,03 0,01
0,03 0,01
0,11 0,02

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

61

Dari hasil yang diperoleh pengaruh variasi diameter terlihat pada tabel yaitu pada
frekuensi 0-2 Hz amplitude maksimal ditunjukkan oleh elektrode diameter 2 serta
diameter 3 dengan nilai 1 0,16. Dari hasil yang diperoleh bisa disimpulkan bahwa
variasi diameter tidak mengubah pola grafik fungsi frekuensi, namun mempengaruhi
amplitudo/puncak frekuensi. Nilai maksimal ditunjukkan pada elektrode dengan diameter
yang lebih besar karena semakin besar diameter maka distribusi muatan cairan elektrolit
akan membentuk potensial yang lebih besar sehingga dapat merepresentasikan pola
potensial listrik yang lebih baik. Pada frekuensi noise 50 Hz amplitude minimal
ditunjukkan oleh elektrode dengan diameter 3 dengan nilai 0,03 0,01. Hal ini
menunjukkan bahwa elektrode dengan diameter yang lebih besar dapat memperkecil
noise karena potensial elektrode permukaan yang diberikan akan semakin besar untuk
merepresentasikan aktivitas listrik jantung yang lebih baik sehingga dapat meminimalisir
munculnya potensial noise.
Variasi penambahan magnet tidak terlalu menimbulkan pengaruh pada hasil
perekaman profil potensial. Dari hasil tersebut bisa disimpulkan penambahan medan
magnet tidak menimbulkan pengaruh terhadap nilai amplitude dari pola-pola grafik
fungsi frekuensi. Hal ini dikarenakan medan magnet yang diberikan pada penelitian ini
tidak cukup kuat untuk memperbesar potensial elektrode permukaan. Namun medan
magnet pada dasarnya dapat mempercepat terjadinya polarisasi muatan pada cairan
elektrolit sehingga terbentuk potensial listrik yang semakin besar. Potensial listrik yang
semakin besar akan merepresentasikan aktivitas listrik jantung dengan lebih baik pada
ECG. Sedangkan untuk frekuensi noise 50 Hz amplitudo minimal ditunjukkan oleh
elektroda dengan penambahan 1 magnet dengan nilai 0,03 0,005. Ada sedikit
kecenderungan semakin besar penambahan medan magnet maka semakin kecil amplitude
dari frekuensi noise. Sehingga penambahan medan magnet juga memiliki tujuan untuk
memperkecil noise yang muncul. Ketidakpengaruhan yang signifikan pada elektrode
dengan penambahan medan magnet terhadap amplitude pada frekuensi yang muncul
dapat disebabkan kuat medan magnet yang terlalu lemah, yaitu sekitar 1,69 miligauss.
Jika dibandingkan nilai amplitude pada masing-masing variasi elektrode dengan
nilai amplitudo yang dihasilkan elektrode standart, maka dapat disimpulkan elektrode
baru yang telah dibuat memiliki amplitude yang tidak berbeda jauh dengan amplitude
yang dihasilkan elektrode standart ECG yang bersifat disposable sehingga elektrode yang
telah dibuat pada penelitian ini dapat digunakan sebagai pengganti elektrode standart.

62

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Tabel 4. Perbandingan Amplitudo elektrode Hasil Penelitian Terhadap Elektrode Standart


Frek. Yang Muncul
(Hz)
0-2
50

Amplitudoyang dihasilkan
elektrode standart
0,54 0,1
0,42 0,09

Amplitudo yang dihasilkan


elektrode Penelitian
1 0,16
0,03 0,01

Namun pola hasil perekaman menggunakan elektrode yang telah dibuat masih
terganggu oleh gerakan volunteer karena elektrode hanya ditempelkan dan diikatkan di
pergelangan tangan menggunakan pita, berbeda dengan elektrode standart yang sudah
dilengkapi perekat sehingga elektrode dapat menempel dengan kuat dan tidak terganggu
dengan gerakan volunteer. Dari hasil yang diperoleh diharapkan untuk kedepannya
elektrode yang telah dibuat dapat digunakan sebagai pengganti elektrode standart, dengan
berbagai penyempurnaan.

KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa elektrode yang telah dibuat
dapat digunakan untuk mengganti elektrode standart karena hasil perekaman potensial
listrik menggunakan elektrode penelitian menunjukkan pola yang sama dan dapat
memunculkan nilai frekuensi yang sama dengan hasil perekaman potensial listrik namun
memiliki nilai amplitudo yang berbeda. Pengaruh diameter terhadap profil potensial
listrik titik akupunktur terlihat pada amplitude dari frekuensi yang muncul. Untuk
frekuensi 0-2 Hz amplitudo maksimal ditunjukkan oleh elektrode dengan diameter 2,5 cm
dan 2,8 cm dengan nilai A = 1 0,16. Untuk frekuensi 50 Hz amplitude minimal
ditunjukkan oleh elektrode dengan diameter 2,8 cm dengan nilai amplitude A =0,03
0,01. Dapat disimpulkan bahwa semakin besar diameter maka amplitudo akan semakin
tinggi dan menghasilkan noise minimal. Hal ini disebabkan distribusi muatan yang
dihasilkan dengan diameter lebih besar menyebabkan potensial listrik yang lebih tinggi
sehingga dapat merepresentasikan pola potensial listrik jantung yang lebih baik.
Pengaruh medan magnet terhadap profil potensial listrik titik akupunktur tidak
terlihat pada amplitude dari frekuensifrekuensi yang muncul. Pada frekuensi 0-2 Hz
amplitudo maksimal ditunjukkan oleh semua variasi dengan nilai A = 1 0,16. Untuk
frekuensi 50 Hz amplitude minimal ditunjukkan oleh elektrode dengan penambahan 1
lempeng magnet dengan nilai A = 0,03 0,005. Dapat disimpulkan penambahan lempeng
magnet dapat mempercepat terjadinya polarisasi muatan pada cairan elektrolit sehingga
menimbulkan potensial listrik yang lebih besar dan dapat mempresentasikan profil
potensial yang lebih baik.
Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

63

DAFTAR PUSTAKA
Aminatun, Izak, 2002. Bahan Ajar Fisika Zat Padat, Fisika Universitas Airlangga,
Surabaya
Aston, R, 1990, Principles of Biomedical Instrumentation and Measurement,
Merrill Publishing Company, New York.
Boas, Mary L., 1983, Mathematical Methods in the Physical Sciences Second Edition,
John Wiley & Son,Inc, Canada
Erawati, P., Astuti, S. D., dan Prijo, T. A. dkk, 2003, Analisis Profil Potensial Untuk
Kelainan Fungsional Organ, Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, Surabaya.
Gabriel, J. F, 1996, Fisika Kedokteran,EGC, Fisika Universitas Udayana, Bali
Griffiths, D. J., 1999, Introduction to Electrodynamics, 3rd Edition, Prentice-Hall, Inc.,
New Jersey
Hall, Guyton A., 1997, Bahan Ajar Fisiologi Kedokteran (Textbook of Medical
Physiology), Diterjemahkan oleh Irawati Setiawan, Edisi 1, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta
Haqque,P. A. Aditta, 2012, Analisis Profil Potensial Listrik Pada Titik Akupunktur untuk
Diagnosis Penyakit Diabetes Mellitus, Fisika Universitas Airlangga, Surabaya
Hobbie, R. K. and Roth, B. J., 2007, Intermediate Physics For Medicine and Biology, 4th
Edition, Springer Science+Bussines Media, New York.
Labscribe Data Acquisition Software Manual.iWorx/ CB Sciences, Inc, Washington.
http://www.iworx.com.
Martini, H., Frederic and Nath, L., Judi,2012, Fundamentals of Anatomy and Physiology,
Ninth Edition.Sansome St, San Francisco
Saputra, Kosnadi and Idayanti, Agustin, 2005, Akupuntur Dasar, Airlangga University
Press, Surabaya.
Sinatra, L., francy, 2010, Understanding the Interaction Between Blood Flow an an
Applied Magnetic Field,University of South Florida, Florida.
Suhariningsih, 1999, desertasi, Profil Tegangan Listrik Titik Akupunktur Sebagai
Indikator Kelainan Fungsi Organ, Program Pasca Sarjana Unair, Surabaya.
Tipler, Paul, 2001, Fisika Untuk Sains dan Teknik, Edisi 3, Erlangga, Jakarta.
Petujuk Praktikum Fisika Eksperimental (Biofisika)
Venturin, Dott., Andrea, 2002, Magnetotherapy Theory and Practical Applications,
University of Padua, Italy.

64

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Implementasi Learning Vector Quantization (LVQ) sebagai Alat


Bantu Identifikasi Kelainan Jantung Melalui Citra
Elektrokardiogram
Fatimatul Karimah1, Endah Purwanti 2, Adri Supardi3
1,2,3

Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga

Email : karimahfatimatul@gmail.com

ABSTRACT
Heart disease is one of the most deathly disease in the world. One of the way to
detect this disease is by reading the graph output of electrocardiograph (ECG) signal.
But, to read ECG signal isnt easy and need an expert people to read that. To help read
the ECG signal in this research has been design a software based on artificial neural
networks by Learning Vector Quantization method (LVQ) as a tool for identification of
cardiac abnormalities. Input of the software is a digital image of an electrocardiogram.
The electrocardiogram image, process by the method of digital image processing (preprocessing, segmentation, morphology, and image feature extraction) obtained images of
the electrocardiogram graph ordinate represents the heart's electrical potential. The output
of the software is divided into three classes, namely the condition of normal heart,
coronary and atrial fibrillation. The maximum accuracy of this software is about 96%
with learning rate 0.1 and 0.5 of learning rate reduction.

Key words: LVQ, Electrocardiogram, Image Processing.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

65

ABSTRAK
Penyakit jantung adalah penyakit yang menyebabkan angka kematian yang tinggi
di dunia. Salah satu cara pendeteksian penyakit jantung dapat dilakukan dengan
pembacaan sinyal Electrocardiograph (ECG). Namun, pembacaan perekaman ECG
(elektrokardiogram) ini cukup sulit karena memerlukan keahlian khusus. Untuk
membantu pembacaan elektrokardiogram maka, pada penelitian ini dilakukan
perancangan perangkat lunak berbasis jaringan saraf tiruan dengan metode Learning
Vector Quantization (LVQ) sebagai alat bantu identifikasi kelainan jantung. Input
perangkat lunak ini adalah citra digital elektrokardiogram. Citra elektrokardiogram
tersebut diolah menggunakan metode pengolahan citra (pre-processing, segmentasi,
morfologi citra

dan ekstraksi fitur) sehingga diperoleh ordinat

grafik citra

elektrokardiogram yang merepresentasikan potensial listrik jantung. Output dari


perangkat lunak ini dibagi menjadi tiga kelas yaitu, kondisi jantung normal, koroner dan
fibrilasi atrium. Tingkat akurasi maksimal perangkat lunak ini adalah sebesar

96%

dengan parameter optimal LVQ yaitu, laju pembelajaran 0,1 dan pengurangan laju
pembelajaran 0,5.

Kata kunci : LVQ, Elektrokardiogram, Pengolahan Citra.

66

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

PENDAHULUAN
Berdasarkan data yang dikemukakan World Heart Federation (WHF), penyakit
jantung mencapai 29,1 persen atau sebanyak 17,1 juta pasien setiap tahunnya meninggal
diseluruh dunia. Faktor risiko penyakit jantung adalah kebiasaan merokok, stress,
kurang olah raga, diabetes, obesitas, hipertensi serta hiperlipidemia atau kelebihan
lemak dalam darah, keturunan, usia, dan jenis kelamin.
Pendeteksian penyakit jantung ini dilakukan dengan melakukan perekaman
aktifitas listrik jantung menggunakan alat elektrokardiograf (ECG). Hasil perekaman
ECG ini berupa grafik waktu terhadap tegangan yang disebut elektrokardiogram.
Pembacaan elektrokardiogram ini

dilakukan oleh seorang dokter.

Pembacaan

elektrokardiogram ini tidak mudah, karena diperlukan keahlian khusus dan pengalaman.
Selain itu kesalahan yang terjadi dalam pembacaan elektrokardiogram juga tidak lepas
dari faktor human error. Maka dalam penelitian ini dikembangkan suatu metode jaringan
saraf untuk mengidentifikasi beberapa kelainan jantung.
Jaringan saraf tiruan merupakan model komputasi yang meniru cara kerja otak
manusia. Jaringan saraf ini menerima masukan berupa data numerik dari struktur objek
yang mengalami proses pengolahan citra yaitu, grayscalling, pencerahan, segmentasi,
morfologi citra dan ekstraksi fitur. Metode jaringan saraf yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Learning Vector Quantization (LVQ). Metode ini dipilih karena
algoritma yang digunakan sederhana, cepat dan mempunyai keakuratan yang tinggi untuk
mendeteksi kelainan jantung.

Learning Vector Quantization (LVQ)


Learning Vector Quantization (LVQ) adalah metode pembelajaran lapisan
kompetitif yang terawasi. Suatu lapisan kompetitif akan belajar secara otomatis untuk
melakukan klasifikasi terhadap vektor input yang diberikan. Jika ada dua vektor yang
mempunyai jarak berdekatan maka akan dikelompokkan menjadi satu kelas yang sama.
(kusumadewi, 2003)

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

67

Gambar 1. Arsitektur LVQ


Algoritma LVQ adalah sebagai berikut:
1. Tetapkan :
Bobot (w), maksimum epoh (maxEpoh), learning rate (), pengurangan learning rate
(Dec), minimal learning rate (Min).
2. Masukan :
Input : x(i,j)
Target : Tk
3. Tetapkan kondisi awal :
Epoh = 0;
Error = 1;
4. Kerjakan jika :
(epoh <= maxEpoh ) atau ( >= eps)
a. Epoh = Epoh + 1;
b. Kerjakan untuk i = 1 sampai n
i. Tentukan j sedemikian hingga || x wj || minimum (sebut sebagai Cj)
ii. Perbaiki wj dengan ketentuan:
T = Cj maka :
wj(baru)=wj(lama) + (x-wj(lama))
T Cj maka:
wj(baru)=wj(lama) - (x-wj(lama))
c. Kurangi nilai

68

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

METODE PENELITIAN
Studi literatur dilakukan dengan mengkaji tentang kelainan pada jantung,
mempelajari diagnosa penyakit jantung terhadap hasil pemeriksaan ECG, mempelajari
metode pengolahan citra ECG dan mempelajari algoritma LVQ untuk pendeteksian
kelainan jatung. Studi literatur ini dilakukan dengan mengumpulkan jurnal dan buku
mengenai informasi terkait, selain itu juga dilakukan konsultasi dengan dokter.
Persiapan data pada penelitian ini dimulai dengan data ECG yang didapat dari Rumah
Sakit diubah dalam bentuk digital menggunakan scanner. Setelah didapatkan data ECG
dalam bentuk digital, proses persiapan data ini dilanjutkan dengan pemotongan citra.
Citra yang ada dipotong sehingga menjadi citra sepanjang 157 pixel, berdasarkan data
yang didapatkan pada penelitian ini dengan panjang citra 157 pixel cukup untuk
mendapatkan citra ECG sepanjang 1 siklus.
Setelah dilakukan persiapan data, citra tersebut lalu melalui metode pengolahan citra
sehingga didapatkan informasi yang penting pada data tersebut, selain untuk menghemat
waktu dalam proses pelatihan jaringan hal ini dilakukan juga untuk meningkatkan
keakurasian perangkat lunak.
Hasil dari pengolahan citra yang dilakukan dijadikan sebagai masukan perangkat
lunak yang kemudian akan dilakukan proses pelatihan dan pengujian untuk mendapatkan
hasil tingkat akurasi dari perangkat lunak yang dirancang.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pada proses pelatihan digunakan 72 data elektrokardigram yang telah di potong
dengan ukuran sepanjang 157 pixel. Data pelatihan itu kemudian dibagi menjadi tiga
kelas yaitu, kondisi jantung normal, koroner dan fibrilasi atrial. Sebelum memulai proses
pelatihan citra elektrokardiogram terlebih dahulu dilakukan proses pengolahan citra pada
citra tersebut. Proses pengolahan citra yang dilakukan adalah pre-processing, segmentasi,
morfologi citra dan ekstraksi fitur.

Gambar 2. Citra Elektrokardiogram Asli

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

69

Pada proses pre-processing dilakukan proses grayscalling dan pencerahan pada


citra. Setelah itu dilakukan segmentasi pada citra dengan menggunakan metode
thresholding, Proses ini bertujuan untuk memisahkan citra dengan background. Hasil dari
proses segmentasi ini pola gambar terlihat terputus pada beberapa titik seperti pada
Gambar 3. Untuk menghubungkan kembali titik- titik yang terputus pada citra dilakukan
operasi morfologi sederhana yaitu, dilasi dan erosi. Dilasi berguna untuk menambahkan
pixel pada batas antar objek dari citra digital. Sedangkan erosi untuk menipiskan citra
digital kembali seperti bentuk citra aslinya. Proses yang terakhir adalah ekstraksi fitur,
ekstraksi fitur yang digunakan adalah mencari nilai ordinat dari pola sinyal
elektrokardiogram setelah didapatkan nilai ordinat yang diinginkan kemudian ditentukan
titik awal sebagai garis isoelektrik yang potensialnya bernilai nol (0) jika ada titik yang
berada diatas garis isoelektrik maka akan bernilai positif dan jika berada dibawah garis
isoelektrik maka akan bernilai negatif. Nilai- nilai yang didapatkan pada proses ekstraksi
fitur ini adalah sebagai representasi potensial listrik jantung.
Nilai representasi dari citra jantung yang didapatkan pada proses pengolahan citra
ini kemudian dijadikan input bagi program jaringan LVQ. Langkah awal yang dilakukan
pada proses pelatihan adalah menentukan bobot awal dari data pelatihan yang tersedia.
Dari 72 data dipilih tiga data sebagai bobot awal yang mewakili masing- masing kelas.

Gambar 3. Hasil Pengolahan Citra


Data yang digunakan sebagai bobot awal tidak digunakan lagi sebagai masukan
pada pelatihan. Data masukan pelatihan jaringan LVQ ini ada 69 data yang terdiri dari 43
data jantung normal, 23 data jantung koroner dan 6 data jantung fibrilasi atrium.
Tujuan dari proses pelatihan ini adaalah mendapatkan tingkat akurasi maksimal
dari jaringan LVQ dari serangkaian percobaan mengubah nilai parameter laju

70

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

pembelajaran dan pengurangan laju pembelajaran. Setelah didapatkan tingkat akurasi


maksimal pada pelatihan maka langkah selanjutnya adalah melakukan proses pengujian.
Proses pengujian dilakukan terhadap 25 data yang tidak pernah disertakan dalam
pelatihan. Data pengujian yang digunakan terdiri dari 13 data jantung normal, 5 data
jantung koroner dan 7 data fibrilasi atrial.Hasil dari percobaan yang telah dilakukan dapat
dilihat pada Tabel I.
TABEL I Tingkat Akurasi Data Pengujian Terhadap Perubahan Parameter
Dec

Tingkat Akurasi
(%)

0,01

0,1

0,25

0,5

0,75

0,1

96%

0,01

96%

0,001

92%

0,1

92%

0,01

92%

0,001

56%

0,1

88%

0,01

84%

0,001

52%

0,1

96%

0,01

76%

0,001

52%

0,1

92%

0,01

64%

0,001

52%

Dari beberapa perubahan parameter yang digunakan pada proses pelatihan


didapatkan nilai parameter optimal pada laju pembelajaran 0,1 dan pengurangan lajhu
pembelajaran 0,5. Berdasarkan dari parameter yang optimal dari proses pelatihan pada
proses pengujian (dapat dilihat pada Tabel I) pun didapatkan Tingkat akurasi yang cukup
tinggi sebesar 96%.
Dapat dilihat pada Tabel II terjadi kesalahan pengidentifikasian pada data ke-17
yang seharusnya merupakan data jantung koroner namun diidentifikasi oleh perangkat
lunak sebagai atrial fibrilasi.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

71

TABEL III Tingkat Akurasi Data Pengujian


Data ke-

Target

Hasil

Keterangan

Normal

Normal

Cocok

Normal

Normal

Cocok

Normal

Normal

Cocok

Normal

Normal

Cocok

Normal

Normal

Cocok

Normal

Normal

Cocok

Normal

Normal

Cocok

Normal

Normal

Cocok

Normal

Normal

Cocok

10

Normal

Normal

Cocok

11

Normal

Normal

Cocok

12

Normal

Normal

Cocok

13

Normal

Normal

Cocok

14

Koroner

Koroner

Cocok

15

Koroner

Koroner

Cocok

16

Koroner

Koroner

Cocok

17

Koroner

18

Koroner

Koroner

Cocok

19

Fibrilasi atrium

Fibrilasi atrium

Cocok

20

Fibrilasi atrium

Fibrilasi atrium

Cocok

21

Fibrilasi atrium

Fibrilasi atrium

Cocok

22

Fibrilasi atrium

Fibrilasi atrium

Cocok

23

Fibrilasi atrium

Fibrilasi atrium

Cocok

24

Fibrilasi atrium

Fibrilasi atrium

Cocok

25

Fibrilasi atrium

Fibrilasi atrium

Cocok

FibrilasiAtrium Tidak cocok

Tampilan antar muka perangkat lunak yang dibangun pada penelitian ini dapat
dilihat pada Gambar 4, pada tampilan program ini ada tombol browse untuk memilih file
citra yang ingin diidentifikasi, tombol pengolahan citra untuk melakukan proses
pengolahan citra pada citra yang dipilih, selain itu juga ada tombol Identifikasi untuk
mengidentifikasi kelainan pada citra yang dipilih. Hasil identifikasi perangkat lunak ini
ditampilkan dalam bentuk teks.

72

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Gambar 4. Tampilan Proses Pengujian

KESIMPULAN
1. Pada penelitian ini diperoleh parameter optimal jaringan LVQ yaitu, laju pembelajaran
sebesar 0,1 dan pengurangan laju pembelajaran 0,5.
2. Tingkat akurasi maksimal dari pengujian terhadap 25 data uji sebesar 96% untuk laju
pembelajaran sebesar 0,1 dan pengurangan laju pembelajaran sebesar 0,5.

DAFTAR PUSTAKA
Endarko, et al. 2006. Aplikasi Pengolahan Citra Elektrokardiograf dan Jaringan Saraf
Tiruan untuk Identifikasi Penyakit Jantung Koroner. Jurnal Fisika dan
Aplikasinya. Surabaya.
Gao Qi, George. 2003. Computerized Detection and Classification of Five Cardiac
Condition, Auckland university of technology, new Zealand
Kusumadewi, Sri. 2004. Membangun Jaringan Syaraf Tiruan Menggunakan Matlab dan
Excellink. Graha Ilmu, edisi 1. Jogjakarta
Pratanu, sunoto. 1999. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, FK UI. Jilid 1 edisi ke3.(halaman 88-934). Jakarta.
Pratt, William K. 2007. Digital Image Processing. John Wiley and Sons, Hoboken, New
Jersey.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

73

Rancang Bangun Syringe Pump Berbasis Mikrokontroler


ATmega8535 Dilengkapi Detektor Oklusi
Nada Fitrieyatul Hikmah1, Imam Sapuan1 dan Triwiyanto2
1 Program Studi Teknobiomedik, Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Airlangga, Surabaya 60115
2

Program Studi Teknik Elektromedik, Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan


Surabaya 60115

Email : nada_fasola@yahoo.com

Abstract
A research has been made to design a syringe pump tool equipped with an
occlusion detector as well as a load cell as the sensor. Syringe pump equipped with a
menu of drug volume and flow rate for injection that makes it easier for nurses to control
drug, and is equipped with a circuit for detecting the occurrence of occlusion. The
operation of syringe pump is driven by motor, so that nurses only need to determine the
drug volume dosage that will be given to the patients in the range of 1 ml to 50 ml and
flow rate in the range of 1 ml/hour to 50 ml/hour. Syringe pump that has been created, is
equipped with buzzer that is used as an alarm informing nearly empty and occlusion
stages, and final drug fluid volume has been injected. This device has a high degree of
accuracy in injecting drug fluid volume, while the flow rate variable have an accuracy
rate of 98.92% and precision rate of 99,88%. In the occlusion detector system, a load cell
sensor was used, and was able to detect the occurrence of occlusion at a pressure of 100
mmHg with an accuracy rate of 91.60%.

Keywords : syringe pump, occlusion, volume, flow rate, load cell

74

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Abstrak
Telah berhasil dibuat syringe pump yang dilengkapi dengan detektor oklusi
dengan load cell sebagai sensor. Syringe pump yang berhasil dibuat dilengkapi dengan
menu volume obat dan flow rate untuk injeksi sehingga memudahkan perawat dalam
mengontrol obat, serta dilengkapi dengan rangkaian untuk mendeteksi terjadinya oklusi.
Cara pengoperasian syringe pump ini sudah digerakkan oleh motor, sehingga perawat
hanya menentukan dosis volume obat dengan rentang 1 ml hingga 50 ml dan flow rate
dengan rentang 1 ml/jam hingga 50 ml/jam yang perlu diberikan kepada pasien.
Syringe pump yang telah dibuat dilengkapi dengan buzzer yang digunakan sebagai
alarm nearly empty, oklusi, dan volume akhir cairan obat yang diinjeksikan. Alat ini
mempunyai tingkat keakuratan yang tinggi dalam menginjeksikan volume cairan obat,
sedangkan untuk variabel flow rate mempunyai tingkat akurasi sebesar 98,92% dan
tingkat presisi 99,88%. Pada sistem detektor oklusi menggunakan sensor load cell
mendeteksi terjadinya oklusi pada tekanan 100 mmHg dengan tingkat akurasi sebesar
91,60%.

Kata kunci : syringe pump, oklusi, volume, flow rate, load cell

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

75

I. PENDAHULUAN
Rumah sakit merupakan sistem yang sangat kompleks sehingga sulit
untuk mengontrol setiap pasien. Bagi pasien yang membutuhkan pengobatan ekstra dan
intensif, maka diperlukan suatu alat yang dapat mengontrol dosis volume penggunaan
obat dan flow rate obat yang akan diinjeksikan. Flow rate adalah banyaknya fluida
yang mengalir per satuan waktu. Alat medis yang dapat melakukan injeksi secara
otomatis adalah syringe pump. Dalam hal ini, perawat hanya memberi input pada alat
berupa volume obat yang dibutuhkan serta flow rate yang dibutuhkan pasien.
Pada beberapa kasus pasien seperti hipertensi menjelang operasi, penyakit jantung,
dan penyakit saraf, pemberian cairan obat harus dilakukan secara intensif yaitu volume
cairan obat harus tepat dengan flow rate konstan. Pada pasien kondisi kritis diperlukan
adanya perawatan intensif agar tidak terjadi ketidakseimbangan cairan pada tubuh
(Royan, 2007). Cairan obat dimasukkan ke dalam tubuh pasien melalui injeksi
intravenous untuk durasi waktu yang lama dengan flow rate disesuaikan dengan tingkat
yang tepat sehingga diperlukan jarum suntik yang dapat diprogram secara otomatis.
Syringe pump merupakan alat medis yang difungsikan untuk melakukan injeksi cairan
obat secara terus-menerus dengan tujuan terapeutik maupun diagnostik (Saidi et al.,
2010).
Sistem syringe pump dirancang dengan mekanisme pergerakan motor
(Kobayashi,2006). Pergerakan motor akan menyebabkan ulir maju sehingga mendorong
plunger (pendorong suntikan) dan proses injeksi mulai terjadi. Secara keseluruhan, sistem
syringe pump terdiri dari plunger, sebuah motor, mekanisme pompa, pengontrol
mekanisme pompa, dan alarm (Wang, 2010). Mekanisme pompa menggunakan gaya
yang mendorong plunger sehingga cairan obat pada selang terdorong menuju pembuluh
darah pasien.
Masalah yang sering timbul saat penggunaan syringe pump adalah oklusi
(penyumbatan) selama mekanisme pompa. Penggunaan syringe pump yang dipasang
secara berkelanjutan dapat menyebabkan terjadinya oklusi yang menyebabkan cairan obat
yang masuk ke dalam tubuh tidak mengalir secara konstan dan terbentuk tekanan
besar pada syringe dan aliran cairan (Wang, 2010) yang jika dibiarkan akan terjadi
pembengkakan. Oklusi dipengaruhi oleh sifat darah pasien yaitu mudahnya terjadi
koagulasi (penggumpalan), selang yang terjepit, dan adanya penggumpalan darah di
jarum menuju pembuluh darah pasien. Meninjau dari hal tersebut, maka dirancang
syringe pump dilengkapi dengan mekanisme alarm deteksi oklusi.
76

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Peralatan medis termasuk syringe pump yang terdapat di rumah sakit merupakan
produk impor. Oleh karena itu, penulis telah menghasilkan syringe pump produk lokal
yang harapannya

dapat

dikembangkan

oleh

produsen

instrumentasi

medis

di

Indonesia yaitu syringe pump dilengkapi dengan alarm sebagai indikasi adanya oklusi
dan nearly empty volume obat pada sistem tersebut. Alarm nearly empty merupakan
indikasi untuk mendeteksi volume akhir obat yang diinjeksikan syringe pump. Penelitian
yang telah berhasil dikembangkan adalah pembuatan syringe pump berbasis
mikrokontroler ATmega8535 dilengkapi dengan detektor oklusi dan nearly empty.

II. METODE PENELITIAN


A. Sistem Kerja Alat
Syringe pump yang telah dibuat bekerja dengan suatu sistem kerja yang telah
diuraikan dengan diagram blok. Adapun diagram blok syringe pump ditunjukkan
pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram blok syringe pump


Pada diagram blok syringe pump menggambarkan sistem syringe pump secara
keseluruhan dan hubungan antara rangkaian pendukung dengan rangkaian minimum
sistem mikrokontroler. Pemberian angka pada diagram blok syringe pump tersebut
dimaksudkan untuk mengetahui prioritas kerja pada rangkaian penyusun syringe pump.
Adapun penjelasan mengenai diagram blok syringe pump pada Gambar 1 yaitu :
Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

77

1. Push button untuk menentukan jumlah obat yang akan diinjeksikan pada pasien
dengan rentang volume dari 1 ml hingga 50 ml serta untuk menentukan flow rate proses
penginjeksian obat dengan laju 1 ml/jam hingga 50 ml/jam.
2. LCD digunakan sebagai tampilan volume (ml) dan flow rate (ml/jam) penginjeksian
obat.
3. Saat proses injeksi dimulai, driver motor berfungsi untuk menguatkan arus kendali
dari mikrokontroler ke motor stepper.
4. Mikrokontroler akan menggerakkan motor stepper dengan driver motor sesuai dengan
masukan volume dan flow rate.
5. Optocoupler mendeteksi putaran motor stepper untuk mengetahui jumlah cairan obat
yang telah diinjeksi. Selama mekanisme pompa berjalan, sensor nearly empty mendeteksi
volume akhir obat yang diinjeksikan dan sensor oklusi mendeteksi adanya penyumbatan
selama proses injeksi.
6. Jumlah count yang telah dideteksi oleh optocoupler dikirim ke mikrokontroler untuk
dibandingkan dengan input volume. Selama proses ini, sensor nearlu empty dan
sensor oklusi mengirimkan data bit hasil ADC ke mikrokontroler untuk diproses adanya
indikasi error.
7. Mikrokontroler mengolah data-data bit yang diterima dari sensor optocoupler, nearly
empty, dan oklusi. Alarm akan berbunyi jika nilai counter yang dideteksi optocoupler
sama dengan input volume, sensor

nearly empty mendeteksi volume akhir cairan

obat, atau sensor oklusi mendeteksi adanya penyumbatan tekanan di pembuluh darah
yang nilainya telah ditentukan.

B. Rancangan Hardware
1. Rangkaian catu daya
Catu daya yang digunakan pada alat syringe pump ini adalah 5V. Rangkaian catu
daya terdiri dari trafo 12V/2A, regulator 7805 untuk menstabilkan tegangan menjadi 5V,
regulator 7812, regulator 7912, diode 1N4002, kapasitor, resistor, dan LED.
2. Rangkaian minimum sistem ATmega8535
Fungsi mikrokontroler adalah sebagai otak dari suatu alat sehingga mampu
menjalankan proses yang telah diprogram. Pada rangkaian mikrokontroler membutuhkan
rangkaian RESET yang berfungsi untuk membuat mikrokontroler memulai kembali
pembacaan program. Hal tersebut dibutuhkan pada saat mikrokontroler mengalami
gangguan dalam mengeksekusi program.
78

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

3. Rangkaian driver motor L298


Pin VCC dan GND pada driver motor L298 dihubungkan dengan VCC dan
ground pada power supply yang mengalirkan tegangan masukan sebesar 5V. Pin
current sensing pada driver motor L298 dihubungkan ke ground. Pin enable pada driver
motor dihubungkan ke tegangan 5V untuk menjalankan motor.
4. Rangkaian LCD
LCD difungsikan untuk menampilkan tulisan berupa angka atau huruf. Pada
rancang bangun alat syringe pump ini LCD digunakan untuk menampilkan jumlah
volume cairan obat dan flow rate, serta dapat menampilkan sisa volume pada
suntikan ketika proses injeksi sedang berlangsung.
5. Rangkaian alarm
Alarm pada alat syringe pump digunakan sebagai penanda tiga keadaan.
Pertama untuk identifikasi nearly empty yaitu ketika volume cairan obat dalam suntikan
mendekati habis, kedua untuk identifikasi terjadinya oklusi, ketiga untuk identifikasi
volume cairan obat telah habis diinjeksikan.
6. Rangkaian sensor nearly empty
Indikasi untuk mendeteksi volume cairan obat mendekati habis digunakan sensor
nearly empty. Nilai hambatan pada sensor nearly empty akan berubah seiring dengan
gerak translasi dari plunger alat suntik.
7. Rangkaian penghitung count
Rangkaian penghitung count berfungsi mendeteksi putaran motor setepper untuk
mengetahui jumlah cairan obat yang telah diinjeksikan. Rangkaian penghitung count juga
berfungsi sebagai sistem deteksi gerakan motor berdasarkan putaran dari piringan sensor.
8. Rangkaian deteksi oklusi
Rangkaian deteksi oklusi pada penelitian ini dilengkapi dengan instrumentation
amplifier. Keluaran tegangan dari sensor oklusi memiliki orde kecil yaitu kisaran milivolt
sehingga diperlukan penguatan dengan menggunakan rangkaian instrumentation
amplifier yang konfigurasinya telah terdapat pada IC AD620. Hasil penguatan tegangan
dari rangkaian instrumentation

amplifier

ditentukan

berdasarkan

besarnya

nilai

resistor R1 yang dihubungkan pada pin 1 dan 8 (pin RG, Resistor Gain) dari IC AD620.
Rangkaian deteksi oklusi ini dilengkapi dengan rangkaian low pass filter untuk
menghilangkan noise yang akan timbul dari sensor oklusi yang digunakan.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

79

C. Rancangan Software
Syringe pump dihidupkan dengan menekan tombol ON, kemudian memasukkan
data jumlah volume obat yang akan diinjeksikan kepada pasien, lalu memasukkan
setting flow rate. Jumlah volume obat antara 1 ml sampai 50 ml. Flow rate penginjeksian
obat antara 1 ml/jam sampai 50 ml/jam. Motor stepper lalu berjalan sesuai dengan input
data volume dan flow rate. Selama motor stepper berjalan, sensor deteksi oklusi
mendeteksi adanya penyumbatan. Jika oklusi mencapai nilai yang ditentukan maka
motor stepper akan berhenti dan mikrokontroler akan membunyikan alarm. Reset alarm
dilakukan sehingga motor stepper kembali bekerja.
Jika tidak terjadi oklusi atau oklusi belum mencapai nilai yang ditentukan, maka
counter pada mikrokontroler akan mendeteksi volume cairan obat yang tersisa. Jika
volume cairan obat belum mencapai nilai nearly empty atau belum habis, maka motor
stepper akan terus berjalan. Namun, jika volume cairan obat telah mencapai nilai
nearly empty atau volume cairan obat telah habis, maka motor stepper akan berhenti
berjalan dan alarm akan berbunyi. Diagram alir software syringe pump ditunjukkan pada
Gambar 2.

80

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Gambar 2. Diagram alir software syringe pump

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

81

D. Tahap Pengujian
Pada tahap ini dilakukan pengujian mekanik, hardware, dan software.
Untuk pengujian hardware syringe pump dilakukan pada setiap rangkaian pendukung
syringe pump. Setelah hardware, dan software selesai dikerjakan, langkah berikutnya
dilakukan uji kinerja alat meliputi uji linieritas, kalibrasi motor stepper, pengujian
volume, pengujian flow rate, dan pengujian tekanan.
1. Uji linieritas sensor nealr empty dan sensor oklusi dilakukan untuk mengetahui
kinerja sensor nearly empty berdasarkan perubahan resistansi terhadap volume cairan obat
dan kinerja sensor oklusi berdasarkan perubahan tekanan terhadap tegangan.
2. Kalibrasi motor stepper dilakukan untuk mengetahui jumlah count atau cacahan yang
dicacah oleh mikrokontroler dalam menghasilkan injeksi volume sebesar 1 ml.
Jumlah count ini didapatkan dari putaran piringan optocoupler. Alat yang diperlukan
untuk pengujian ini yaitu stopwatch dan gelas ukur 10 ml. Stopwatch yang digunakan
memiliki skala terkecil 0,01 sekon, sedangkan gelas ukur yang digunakan memiliki
skala terkecil 0,2 ml. Volume 1 ml diperoleh berdasarkan analisis perbandingan gear
(roda gigi) yang digunakan dalam sistem mekanik alat syringe pump. Nilai kecepatan
rpm motor dibandingkan dengan kecepatan rpm gear yang bersinggungan sehingga akan
diketahui jumlah count yang diperlukan untuk menghasilkan 1 ml.
3. Pengujian volume adalah pengujian yang dilakukan untuk mengetahui ketepatan
penginjeksian volume cairan obat. Pengujian ini diperlukan gelas ukur 10 ml dengan
skala terkecil 0,2 ml.
4. Pengujian flow rate bertujuan untuk mengetahui ketepatan laju alat syringe pump
dalam menginjeksikan cairan obat. Nilai flow rate (ml/jam) diperoleh dari hasil perhingan
volume (ml) dengan waktu (jam). Alat yang diperlukan untuk pengujian ini yaitu
stopwatch dengan skala terkecil 0,01 sekon dan gelas ukur 10 ml dengan skala terkecil
0,2 ml.
5. Pengujian tekanan bertujuan untuk mengetahui tegangan keluaran dari rangkaian
deteksi oklusi terhadap tekanan yang dikondisikan pada nilai-nilai tertentu. Alat yang
diperlukan untuk pengujian ini yaitu tensimeter dengan skala terkecil 2 mmHg dan
tabung pemodelan pembuluh darah intravena. Pengujian tekanan dengan tabung
pemodelan intravena ditunjukkan pada Gambar 3.

82

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Gambar 3. Pengujian tekanan dengan tabung pemodelan intravena

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Analisis Mekanik
Perangkat mekanik sangat berpengaruh terhadap keberhasilan dibuatnya alat
syringe pump. Perangkat mekanik yang sesuai akan mendukung hardware dan software
sehingga alat syringe pump sesuai dengan yang diharapkan. Pada penelitian ini,
digunakan perangkat mekanik dari syringe pump merek Terumo TE-331.

Gambar 4. Perangkat mekanik alat syringe pump

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

83

B. Hasil Hardware
1. Rangkaian catu daya
Rangkaian catu daya yang telah dibuat mampu menghasilkan tegangan keluaran
stabil +5,06 V dan -5,06 V. Pada rangkaian catu daya menggunakan trafo step down
dengan tegangan primer 220 V dan arus 2 A. Arus yang digunakan 2 A karena
dibutuhkan untuk suplai arus motor agar dapat bekerja. Pada rangkaian catu daya
ini menghasilkan daya sebesar 10,12 watt.
2. Rangkaian main board
Rangkaian main board alat syringe pump merupakan gabungan dari beberapa
rangkaian penyusun alat syringe pump yang terdiri dari rangkaian driver motor L298,
LCD, alarm, deteksi nearly empty, penghitung count, dan minimum sistem AVR
ATmega8535. Rangkaian main board ditunjukkan pada Gambar 5

Gambar 5. Rangkaian main board alat syringe pump


Keterangan :
A = Rangkaian penghitung count
B = Rangkaian minimum sistem
C = Rangkaian alarm
D = Rangkaian LCD
E = Rangkaian driver motor
3. Rangkaian keseluruhan syringe pump
Berdasarkan hardware yang telah berhasil dibuat, maka tersusunlah perangkat
syringe pump yang terdiri dari mekanik, rangkaian catu daya, minimum sistem
ATmega8535, driver motor L298, LCD, alarm, deteksi nearly empty, penghitung
count, dan deteksi oklusi yang ditunjukkan pada Gambar 6.

84

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Gambar 6. Hasil syringe pump secara keseluruhan

C. Hasil Pengujian Alat dan Analisis Data


1. Uji Linieritas
1.1 Uji Linieritas Sensor Deteksi Nearly Empty
Nilai hambatan pada sensor deteksi nearly empty akan berubah seiring dengan
gerak translasi dari plunger alat suntik. Hubungan linieritas antara hambatan sensor
nearly empty dengan volume cairan obat yang diinjeksikan ditunjukkan pada Gambar 7.

Gambar 7. Hubungan linieritas volume dengan resistansi sensor nearly empty

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

85

Berdasarkan Gambar 7 dapat dilihat bahwa semakin mendekati volume habis


pada alat suntik, maka nilai resistansi sensor nearly empty semakin besar. Sebaliknya,
semakin jauh dari nilai volume nearly empty, maka nilai hambatan keluaran dari sensor
nearly empty semakin kecil.
1.2 Uji Linieritas Sensor Deteksi Oklusi
Sensor oklusi digunakan untuk mendeteksi terjadinya penyumbatan pembuluh
darah pada tekanan 100 mmHg. Pada Gambar 8 menunjukkan hubungan linieritas sensor
deteksi oklusi.

Gambar 8. Hubungan linieritas tegangan keluaran sensor oklusi dengan tekanan


Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa semakin tinggi nilai tekanan
yang terukur, maka nilai tegangan keluaran sensor oklusi semakin besar.
2. Kalibrasi motor stepper
Kalibrasi motor stepper dilakukan untuk mengetahui jumlah count yang diperoleh
dari putaran piringan optocoupler dalam menghasilkan injeksi volume sebesar 1 ml.
Volume 1 ml diperoleh dari perhitungan pergeseran feed screw yang sama dengan
pergeseran alat suntik. Pergeseran feed screw untuk volume 1 ml ini diperoleh
berdasarkan analisis perbandingan gear (roda gigi) yang digunakan dalam sistem
mekanik alat syringe pump.
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh volume 1 ml sama dengan pergeseran feed
screw sebesar 1,413 mm. Volume 1 ml sebanding dengan banyaknya gerak step
motor stepper sebesar 848 step. Data ini dimasukkan ke program counter agar
menghasilkan nilai volume sesuai dengan volume input.

86

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

3. Hasil Pengujian Volume


Setelah dilakukan kalibrasi motor stepper diperoleh bahwa untuk menghasilkan
volume sebesar 1 ml dibutuhkan 848 step dari motor stepper. Selanjutnya
dilakukan pengujian volume dari alat syringe pump untuk mengetahui ketepatan alat
syringe pump dalam menginjeksikan volume cairan obat. Hasil dari pengujian ini
dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Grafik linieritas volume


Berdasarkan Gambar 9 terlihat bahwa variabel volume alat syringe pump
memiliki tingkat akurasi 100% dengan ketelitian gelas ukur 0,2 ml.
4. Hasil Pengujian Flow Rate
Pengujian flow rate bertujuan untuk mengetahui ketepatan alat syringe pump
dalam menginjeksikan cairan obat sesuai dengan laju alir yang diinginkan. Nilai hasil
pengujian flow rate (ml/jam) diperoleh dari hasil bagi antara pengukuran volume
(ml) dan waktu terukur (jam) selama proses injeksi. Pada pengujian ini menggunakan
variasi nilai input flow rate untuk proses injeksi dengan volume input tetap 1 ml.
Hasil dari pengujian flow rate dapat dilihat pada Gambar 10.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

87

Gambar 10. Grafik linieritas flow rate


Pada Gambar 10 diperoleh persamaan linearitas y = 1,028x 0,41. Oleh
karena persamaan tersebut kurang linear (y1), maka dihitung nilai tingkat akurasi flow
rate. Tingkat ketepatan (akurasi) syringe pump dalam menentukan nilai flow rate dihitung
melalui persamaan :

Ketepatan alat = 100% - persentase kesalahan


= 100% - 1,08%
= 98,92%

Jadi, tingkat akurasi variabel flow rate pada alat syringe pump adalah sebesar
98,92% dan tingkat presisi 99,88%. Adanya persentase error pada variabel flow rate
disebabkan oleh berbagai faktor antara lain pengukuran waktu manual yang tidak tepat
dan pergesekan yang terjadi antara gear penyusun mekanik syringe pump.
5. Hasil Pengujian Tekanan
Pengujian tekanan bertujuan untuk mengetahui tegangan keluaran dari sensor
load cell pada tekanan 100 mmHg. Selanjutnya dilakukan pengujian tekanan dari
alat syringe pump untuk mengetahui ketepatan alat syringe pump dalam mendeteksi
tekanan 100 mmHg. Hasil dari pengujiannya dapat dilihat pada Tabel 1.

88

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

TABEL 1 Hasil Pengujian pada Tekanan 100 mmHg


No. Tekanan terukur (mmHg) Kesalahan (%)
1. 106
6,00
2. 100
0,00
3. 84
16,00
4. 104
4,00
5. 88
12,00
6. 89
11,00
7. 91
9,00
8. 90
10,00
9. 87
13,00
10 97
3,00
Rata-rata kesalahan :
8,40
Tingkat ketepatan (akurasi) syringe pump dalam menentukan nilai tekanan dihitung
melalui persamaan :

Ketepatan alat = 100% - persentase kesalahan


= 100% - 8,40%
= 91,60%

Jadi, tingkat akurasi variabel tekanan pada alat syringe pump adalah sebesar
91,60% dengan persentase kesalahan 8,40%. Permasalahan yang terjadi pada deteksi
tekanan dengan load cell adalah nilai tegangan yang selalu berubah pada parameter nilai
tekanan yang sama walaupun nilai tegangannya cenderung mengalami kenaikan dari
tekanan rendah hingga tekanan
mekanik

dimana

load

cell

tinggi.

Hal

ini

disebabkan

karena

pengaruh

akan mengalami vibrasi pada saat syringe pump

dihidupkan. Vibrasi ini berasal dari motor stepper yang bekerja.


Semakin besar nilai tekanan, maka tegangan yang terukur semakin meningkat.
Namun, hasil tegangan keluaran sensor load cell selalu berubah pada uji yang
berbeda dengan parameter nilai tekanan yang sama. Hasil tegangan keluaran load cell
tidak akan presisi dengan nilai parameter beban atau tekanan yang sama jika sistem
mekaniknya terdapat vibrasi yang mempengaruhi mekanik load cell (DS Europe srl,
1998).

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

89

IV. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang dilakukan dalam penelitian
ini dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Syringe pump berbasis mikrokontroler ATmega8535 telah dibuat dan dapat bekerja
dengan baik. Syringe pump ini dapat menginjeksikan cairan obat dengan tingkat
keakuratan yang tinggi pada volume mulai dari 1 ml hingga 50 ml dan pada flow rate1
ml/jam hingga 50 ml/jam. Tingkat akurasi variabel flow rate pada alat syringe
pump adalah sebesar 98,92% dengan nilai presisi 99,88%.
2. Syringe pump yang telah dibuat belum mampu secara spesifik mendeteksi terjadinya
oklusi pada nilai tekanan 100 mmHg diakibatkan karena adanya vibrasi pada load
cell. Rata-rata persentase kesalahan sebesar 8,40% dengan tingkat akurasi sebesar
91,60% untuk tekanan.

DAFTAR PUSTAKA
Basuki, H.S., 2002, Timbangan Berbasis Microcontroller MCS 51 dengan Digital Display
7 Segmen, Jurnal Elektronika dan Komunikasi, 2(3): 35-39
Butterfield, B., 2010, Monitoring and Detection of IV Line Occlusion, CareFusion,
San Diego, CA
Carr, J.J. dan Brown, J.M., 1981, Introduction to Biomedical Equipment Technology,
Prentice Hall
Dickenson, J.E., 1983, Syringe Pumps, Brit J Hosp Med : 187191
Deutsman, A.D., Michels, W.J., dan Wilson, J.E., 1975, Mahine Design Theory and
Practice, Coller Macmillan International, Macmillan Publishing Co.Inc
DS Europe srl, 1998, Instructions For The Installation and The Use of The Load Cell,
Milano, Italy
Graham, F. dan Clark, D., 2005, The Syringe Driver and The Subcutaneous Route
in Palliative Care : The Inventor, The History and The Implications, Journal of
Pain and Symptom Management, 29(1): 32-40
Heryanto,

M.A.

dan

Adi

P,

W.,

2008,

Pemrograman

Bahasa

untuk

J-1047,

Jorgensen

Mikrokontroler ATmega8535, Penerbit ANDI, Yogyakarta


Jorgensen

Laboratories,

2004,

Automated Syringe Pump

Laboratories, Inc., Loveland


Kobayashi, S., 2006, Syringe Pump, United States Patent Application Publication, Pub.
No.: US 2006/0079833 A1
90

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Pitowarno, E., 2006, Robotika: Desain, Kontrol, dan Kecerdasan Buatan, Penerbit ANDI,
Yogyakarta
Purwanto, D., 2010, Rancang Bangun Load Cell Sebagai Sensor Gaya Pada Sistem Uji,
Balai Besar Teknologi Kekuatan Struktur - BPPT
Royan, Siswono, H., 2007, Pump Syringe, Undergraduate Program Gunadarma
University
Saidi, I., Ouni, L.E., dan Benrejeb, M., 2010, Design of an Electrical Syringe Pump Using
a Linear Tubular Step Actuator, International Journal of Sciences and Techniques
of Automatic control & computer engineering, 4: 1388-1401
Sugriwan, I., Muntini, M.S., dan Pramono, Y.H., 2010, Desain dan Karakterisasi Load
Cell Tipe CZL601 Sebagai Sensor Massa Untuk Mengukur Derajat Layu Pada
Pengolahan Teh Hitam, Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya
Sularso dan Kyokatsu, S., 1983, Dasar Perencanaan dan Pemilihan Elemen Mesin,
Pradnya Paramita, Jakarta
Suryono, 2008, Rancang Bangun Sensor Pergeseran Tanah Digital, Jurnal Berkala
Fisika,4(11): 147-152
Sutrisno, 1986, Elektronika : Teori Dasar dan Penerapannya , Jilid 1, Penerbit
ITB, Bandung
Tipler, P.A., 1991, Physics for Scientists and Engineers, Third Edition, Worth Publisher,
Inc.
Wang, Y., Liu, C., Ng, H., 2010, Occlusion Detection System, United States
Patent Application Publication, Pub. No.: US 2010/0214110 A1Weir, M.R.,
2005, Hypertension, Versa Press, United States of America
Wright, S., 2003, Oral History, Hospice History Project, IOELC, Lancaster University,
UK
http://www.alldatasheet.com

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

91

RANCANG BANGUN SISTEM OPTIMASI INFUS DROP RATE


Kristio Mordhoko1, Franky Chandra Satria Arisgraha2, Pujiyanto3

Program Studi S1 Teknobiomedik Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga

Email : macdoko@yahoo.com

ABSTRACT
The used of infusion at various hospitals in Indonesia on average still using the
conventional method. This method had the risk of problems such as clogging after
installation. The Design of Optimization System for Drop Rate Infusion had been created,
by these problems which had a display system and better accuracy than conventional
methods. These systems had been monitored the number of drops per minute / infusion
rate and infusion drop rate control according to the setting point is set manually. These
system consisted of a sensor system consisting of a photodiode and a laser pointer,
ATMega 16 microcontroller, display systems and mechanical systems was governed by a
servo motor. This tool had 95,6% of minimum degree of accuracy and not consisted a
segnificaly different to the result of noon or night experiment.

Key word :drop rate infus, photodiode, microcontroller ATMEGA 16, servo motors.

92

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Abstrak
Penggunaan infus di berbagai rumah sakit di indonesia rata-rata masih
menggunakan metode konvensional, dimana tetesan infus dievaluasi secara manual, yaitu
dengan cara mengestimasi jumlah tetesan infus dibandingkan dengan waktu dengan
menggunakan jam atau stopwatch. Metode tersebut memiliki resiko terjadinya masalah
seperti terjadinya penyumbatan setelah pemasangan, dimana tekanan intravena naik
secara tiba-tiba

atau kehabisan cairan saat tetesan infus mulai mengecil (jumlah

tetesannya sedikit) yang akan berbahaya bagi pasien jika tidak segera ditangani. Alat
pengendalian drop rate infus otomatis ini berguna dalam memonitoring jumlah tetesan
infus per menit/rate infus dan mengontrol laju tetesan infus sesuai dengan set point yang
dikendalikan secara manual. Sistem ini disusun dengan menggunakan sistem sensor yang
terdiri dari fotodioda dan laser pointer, mikrokontroler ATMEGA 16, sistem display dan
sistem mekanik yang dikendalikan dengan menggunakan motor servo. Tingkat error
tertinggi alat ini sebesar 4,4% dan mudah dalam pengoperasiannya.

Kata kunci : Drop rate infus, Fotodioda, Mikrokontroler ATMEGA 16, Motor Servo.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

93

PENDAHULUAN
Kandungan air pada tubuh seseorang adalah 70% dari berat tubuh bebas lemak.
Air tubuh total dari seseorang normal terdiri dari cairan ekstraseluler dan cairan
intraseluler. Perubahan konsentrasi, volume, dan susunan partikel

kedua cairan ini

merupakan salah satu patokan diagnosa klinis dan pengobatan beberapa penyakit yang
mengganggu keseimbangan cairan tubuh (Vanatta, et al 2010). Pemberian cairan infus
intravena (intravenous fluids infuson) ke dalam tubuh dengan sebuah jarum melalui
pembuluh vena yang digunakan untuk mengganti cairan tubuh. Pemberian cairan infus
merupakan hal yang mutlak dilakukan selama pasien tersebut menjalani perawatan.
Dalam penggunaan infus secara manual untuk mengetahui jumlah tetesan yang akan
diberikan kepada pasien, perawat harus menghitung tetesannya sambil melihat jam tangan
selama satu menit. Metode tersebut memiliki resiko terjadinya masalah seperti terjadinya
penyumbatan setelah pemasangan, dimana tekanan intravena naik secara tiba-tiba atau
kehabisan cairan saat tetesan infus mulai mengecil (jumlah tetesannya sedikit) yang akan
berbahaya bagi pasien jika tidak segera ditangani.

DASAR TEORI
Cairan Intravena
Terapi intravena adalah tindakan yang dilakukan dengan cara memasukkan
cairan, elektrolit, obat intravena dan nutrisi ke dalam tubuh melalui intravena. Tindakan
ini sering merupakan tindakan life saving seperti pada kehilangan cairan yang banyak
atau dehidrasi. Pemilihan pemasangan terapi intravena didasarkan pada beberapa faktor,
yaitu tujuan dan lamanya terapi, diagnosa pasien, usia, riwayat kesehatan dan kondisi
vena pasien. Set cairan infus terdiri dari 1 botol cairan infus lengkap dengan selang infus,
klem infus, dan jarum infus.

PROSEDUR PENELITIAN
Prosedur proses ini dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu, persiapan desain
diagram blok alat, perancangan hardware, perancangan software. Diagram blok alat
dijelaskan pada Gambar 1.

94

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Gambar 1 Diagram Blok Sistem


Laser pointer dan fotodioda akan menjadi 2 elemen primer dalam pendeteksian
drop rate infus. Sensor ini diletakkan pada tabung infus. Sistem sensor ini dilengkapi
dengan laser pointer sebagai masukan dan fotodioda sebagai detektor sinar dari laser
pointer.

Gambar 2 Sistem dan Rangkaian Sensor


Ketika ada cairan infus yang menetes maka pada penerima sinyal sensor akan
mendeteksi adanya perubahan intensitas cahaya. Komparator berfungsi sebagai
pembanding tegangan saat terjadi tetesan atau tidak dan Komparator berfungsi sebagai
pemberi logika 1 dan 0 pada input mikrokontroler.

Gambar 3.Rangkaian Komparator


Perubahan sinyal tersebut akan mengakifkan counter pada mikrokontroler yang
akan melakukan proses penghitungan rate infus dengan menggunakan 2 tetesan sampel
Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

95

infus. Jika rate tersebut sama dengan set point masukan maka mikrokonroler tidak akan
memberikan sinyal PWM ke motor, jika rate infus tidak sama dengan set point maka
mikrokontroler akan memberikan sinyal PWM ke motor servo yang akan digunakan
dalam memutar sistem mekanik hingga rate infus sama atau mendekati nilai setting pada
rate infus.

Gambar 3 Sistem Mekanik


Pembuatan perangkat lunak pada sistem ini berdasarkan pada diagram blok pada
Gambar 4.

Gambar 4 Diagram Alir Pembuatan Software

96

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Sistem ini bekerja saat diberi set point awal yang merupakan nilai dari drop rate
yang akan digunakan. Setelah mengatur nilai set point, mikrokontroler akan bekerja
menghitung internal timer mikrokontroler hingga terjadi tetesan. Setelah terjadi tetesan,
tetesan tersebut akan digunakan dalam mengaktifkan ICP1 (Input Capture Pin Timer 1)
yang akan melakukan proses interupsi Input Capture Event yang bekerja pada saat
perubahan logika 1 menjadi logika 0. Jika nilai drop rate melebihi nilai set point, maka
motor pada sistem mekanik alat akan bergerak berlawanan jarum jam dengan tujuan
melonggarkan selang infus. Sebaliknya jika nilai drop rate dibawah nilai set point maka
motor pada sistem mekanik alat akan bergerak searah jarum jam dengan tujuan menekan
selang. Seluruh hasil pembacaan rate akan ditampilkan di LCD dan selama itu LED sign
akan bekerja memberikan status sistem.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Pada penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil pengujian data hasil counter
internal clock mikrokontroler dengan berbagai variasi dari rate infus yang terdeteksi dapat
dilihat pada Tabel 1
TABEL 1Hasil penentuan timer internal mikrokontroler agar menghasilkan drop rate
yang diinginkan
No.
1
2
3
4
5
6
7

Rate Infus
(Tetes/Menit)
19,6
26,5
32,8
45,6
58,5
64,7
71,7

Timer / Counter
(Mikro Sekon)
3081
2257
1827
1315
1024
927
836

Timer mikrokontroler yang berorde mikro sekon dapat dikonversikan ke dalam


detik dan dihitung dengan persamaan :
=

600000

Berdasarkan penelitian yang dilakukan sistem mekanik klem infus otomatis


terdiri dari satu buah motor servo GWS S03N STD , sebuah penampang mekanik (tempat
mekanik), dan roller menggunakan material arcylic dapat bekerja sesuai yang diharapkan
yakni menjepit dan mengedurkan selang infus. Tetapi masih terdapat beberapa kesalahan
fabrikasi diantaranya kurangnya diameter alat yang seharusnya 3cm, menjadi hanya 2,20
0,005cm. Kesalahan-kesalahan fabrikasi dapat dilihat pada gambar 5.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

97

Gambar 5. Mekanik klem infus hasil fabrikasi


Kesalahan fabrikasi ini menyebabkan beberapa gangguan pada sistem Karena
berbeda diameter tingkap lingkar dan kurang meratanya permukaan menyebabkan
perbedaan penekanan pada sisi yang kurang sehingga menyebabkan perubahan tetesan
yang tidak stabil.
Pengujian alat dilakukan pada siang dan malam hari dengan 7 set point yang
berbeda. Pengujian ini berlangsung selama 5 jam dengan 5 percobaan dengan inteval
waktu percobaan yang sama yakni 1 menit dengan hasil yang diperlihatkan pada Tabel 2
dan Tabel 3.
TABEL 2 Hasil pengamatan kerja alat pada saat percobaan siang hari
No.
1
2
3
4
5
6
7

Setting yang
rata-rata
rata-rata
dikehendaki permbacaan alat pembacaan manual
(Tetes/menit) (tetes/menit)
(tetes/menit)
30
29,5
28
35
36,54
35,6
40
41,08
41
45
45,6
45,6
50
51,06
51,8
55
55,48
55,8
60
60,28
60,4

TABEL 3 Hasil pengamatan kerja alat pada saat percobaan malam hari
No.
1
2
3
4
5
6
7

98

Setting yang
rata-rata
rata-rata
dikehendaki pembacaan alat pembacaan manual
(Tetes/menit) (tetes/menit)
(tetes/menit)
30
30,9
30,8
35
35,2
35,2
40
40,3
41,0
45
45,7
46,0
50
48,0
49,2
55
55,4
55,6
60
59,8
60,0

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Pada Tabel 2 dan 3 terlihat bahwa perbedaan antara kedua variabel antara ratarata pembacaan alat dengan rerata pengamatan langsung terhadap tetesan infus yang
terjadi tidak terlalu signifikan..
Untuk pengujian perhitungan kebenaran tetes per menit yang terdeteksi sensor,
dilakukan dengan mencari persen error dan standar deviasi. Tiap-tiap nilai dari berbagai
setting point diolah dan dicari nilai rata-ratanya. Sehingga pada Tabel 4 dan Tabel 5
diperlihatkan hasil pengolahan tingkat error hasil pembacaan alat dan tingkat akurasi alat
ini.
TABEL 4 Hasil pengolahan data pada masing-masing setting point untuk data siang hari

Setting yang
STDEV STDEV
No. dikehendaki
alat
manual
(Tetes/menit)
1
2
3
4
5
6
7

30
35
40
45
50
55
60

0
1,29538
1,19666
0
0,70569
0,55857
0,93381
rata-rata

0,70711
1,14018
0,70711
0,89443
1,78885
0,83666
1,14018

error
Alat

akurasi

1,66667
4,4
2,7
1,33333
2,12
0,87273
0,46667
1,94

98,333
95,6
97,3
98,667
97,88
99,127
99,533
98,06

TABEL 5 Hasil pengolahan data pada masing-masing setting point untuk data malam hari

No.
1
2
3
4
5
6
7

Setting
STDEV STDEV error
yang
alat
manual alat
dikehenda
ki
30
0,98387 0,83666 3,1333
35
0,68775 0,83666 0,6857
40
1,27593 0,70711 0,65
45
0,95394 1,58114 1,5556
50
0,08944 0,83666 4,08
55
1,35647 1,14018 0,7273
60
2,12791 1,58114
0,4
rata-rata
1,6046

akurasi
96,867
99,314
99,35
98,444
95,92
99,273
99,6
98,395

Telihat pada Tabel 4 untuk data pada waktu siang hari, Rata-rata pengukuran
pada 2 keadaan waktu yang berbeda menunjukkan persentase error tertinggi sebesar
4,4%. Sedangkan pada Tabel 5 untuk data pada malam hari menunjukkan presentase
error tertinggi sebesar 3,13. Terlihat bahwa Tabel 4 dan Tabel 5 memiliki nilai error
tertinggi sebesar 4,4%, sehingga alat ini dapat dikatakan lebih akurat dari sistem

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

99

konvensional.
Uji lain yang dilakukan berupa uji beda-t antara keadaan pengukuran dengan
setting point. Perlakuan pertama yakni sistem diteliti pada malam hari dan Perlakuan
kedua diteliti pada siang hari dengan hasil :

Pada Uji normalitas memperlihatkan hasil segnifikansi sebesar 0,200 (>=0,05),


sehingga dapat dikatakan bahwa data terdistribusi normal. Setelah diuji normalitas hasil,
dilakukan uji homogenitas data. pada Uji homogenitas didapatkan hasil segnifikansi
sebesar 0,914 (>=0,05) sehingga dapat dikatakan data sampel berasal dari populasi yang
memiliki variansi yang sama
Untuk uji dua sampel, dilakukan uji Levenes Test untuk mengetahui apakah
asumsi kedua variance sama besar terpenuhi atau tidak terpenuhi. Dari hasil tersebut
didapat segnifikansi sebesar 0,917 (>=0,05), sehingga H0 diterima. Dapat ditarik

100

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

kesimpulan bahwa keadaan pengukuran siang hari menunjukkan kesamaan hasil


pembacaan drop rate pada pengukuran yang dilakukan pada malam hari. Lebih lanjut
dapat disimpulkan bahwa alat yang telah dirancang dan dibangun memiliki kesamaan
hasil pembacaan drop rate infus yang relatif sama pada waktu dan keadaan intensitas
cahaya yang berbeda.

Kesimpulan
Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang dilakukan dalam penelitian ini
dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Alat yang dibuat lebih mudah penggunaannya dibanding asistem konvensional.
Sistem display dan pemilihan menu pada alat ini lebih baik dan lebih mudah
pengamatannya sehingga dapat dikatakan sistem ini dapat bekerja dengan baik
2. Sistem Optimasi Infus Drop Rate yang telah dibuat dan diuji coba telah
menunjukkan hasil yang akurat dengan rata-rata pengukuran menunjukkan
persentase error maksimal sebesar 4,4% Sehingga alat ini dapat dikatakan lebih
akurat dari sistem konvensional.

Daftar Pustaka
Cameron,John.R dkk.2006.Fisika Tubuh Manusia.
Davidovits, Paul.2008. Physics in Biology

EGC : Jakarta

and Medicine. Elsevier,

Academic

Press ;Amsterdam
Handaya,Yuda.2010.Infus Cairan

Intravena (Macam-macam

Online].

Tersedia:http://www.docstoc

CAIRAN-

INTRAVENA. Diakses 19

cairan Infus)

.com/docs/80493963/INFUSNovember

2011pukul

21.55WIB
S,Wasito.2006.Vademekum Elektronika : Edisi Kedua. Gramedia Pustaka

Utama :

Jakarta.
Andrianto, Heri. 2008. Pemrograman

Mikrokontroler

AVR ATMEGA 16

Menggunakan Bahasa C (Code Vision AVR).Informatika : Bandung.


Putra,Indra.P..2011. Sistem Kontrol dan Monitoring Infus
DIII Otomasi Sistem

Multi Bed. Surabaya :

Instrumentasi Universitas Airlagga

Vanatta, John.C dan Fogelman, Morris.J.2010 .Buku Saku

Moyer Keseimbangan

Cairan dan Elektrolit. Binarupa Aksara Publisher :Tangerang.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

101

Sintesis Bahan Cetak Gigi Natrium Alginat dari Alga Coklat


Sargassum sp. yang Berpotensi Untuk Aplikasi Klinis
Windi Aprilyanti Putri1) Siswanto2) Prihartini Widiyanti2)
1)

Program Studi S1 Teknobiomedik angkatan 2008, Departemen Fisika, Fakultas Sains

dan Teknologi, Universitas Airlangga. 2)Staf Pengajar Program Studi Teknobiomedik,


Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga.

ABSTRACT

This study outlines the synthesis of sodium alginate dental impression material
that was extracted from brown algae Sargassum sp. with five variations of trisodium
phosphate as its retarder. The aim of adding a retarder material was to obtain longer
hardening or setting time than that of a commercial product which is 4 minutes. The
tests performed were FTIR, porosity and setting time. The FTIR test result showed that
the sample extracted from brown algae Sargassum sp. was found to be sodium alginate
with the emergence of (OH), (C=O), (C-O), and (O-Na) absorbance. The result of this
study showed that caracteristics of sodium alginat dental impression material which has
6.42% porosity. Formula of sodium alginate dental impression material is far from
commercial product but with 1% trisodium phosphate, sodium alginate dental impression
material was a potential prosetase for clinical application with 6 minutes and 29 seconds
setting time.
Keywords: Sargassum sp., sodium alginate, dental impression materials.

102

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

ABSTRAK

Penelitian ini mengkaji sintesis bahan cetak gigi natrium alginat yang diekstrak
dari alga coklat Sargassum sp. dengan lima variasi bahan pemerlambat trinatrium fosfat.
Tujuan penambahan bahan pemerlambat adalah untuk mendapatkan waktu pengerasan
atau setting time 4 menit. Pengujian yang dilakukan meliputi FTIR, porositas, dan
setting time. Hasil FTIR membuktikan sampel yang diekstrak dari alga coklat
Sargassum sp. merupakan natrium alginat dengan munculnya serapan (O-H), (C=O),
(C-O), dan (O-Na). Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan cetak gigi natrium
alginat memiliki karakteristik porositas sebesar 6,42%. Formula bahan cetak gigi yang
dihasilkan masih jauh dari produk komersil namun dengan penambahan bahan
pemerlambat trinatrium fosfat 1% bahan cetak yang dihasilkan berpotensi untuk
aplikasi bahan cetak gigi dengan lama waktu setting 6 menit 29 detik.

Kata kunci : Sargassum sp., natrium alginat, bahan cetak gigi.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

103

PENDAHULUAN
Bahan cetak gigi tiruan yang digunakan dalam bidang Kedokteran Gigi adalah
alginat. Alginat dipilih karena keakuratannya dalam reproduksi gigi tiruan, kenyamanan
pasien, serta pencampuran dan modifikasi yang mudah dengan peralatan yang
sederhana (Anusavice, 2004).
Bahan cetak alginat adalah suatu bahan cetak golongan hidrokoloid bersifat
elastis yang irreversible. Hidrokoloid irreversible berarti bahwa setelah alginat
dicampur dengan suatu zat dan terjadi reaksi kimia, maka alginat tidak dapat kembali ke
bentuk semula. Komponen utama bahan cetak hidrokoloid irreversible adalah natrium
alginat. Apabila natrium alginat dicampur dengan air maka akan terbentuk sol dan
sebagai pereaksi dapat ditambahkan kalsium sulfat. Tanah diatom dan silika gel
ditambahkan sebagai bahan pengisi yang berfungsi untuk menambah kekuatan,
kekerasan,

mempengaruhi waktu pengerasan, dan sifat fisis gel alginat. Bahan

pemercepat dan pemerlambat diperlukan untuk mengatur waktu pengerasan Kalium


sulfat ditambahkan sebagai bahan pemercepat. Natrium atau trinatrium fosfat berfungsi
sebagai bahan pemerlambat (Situngkir, 2008). PEG (Polyethylene Glikol) ditambahkan
untuk melapisi bubuk bahan cetak agar tidak mengepul seperti debu.
Pada keadaan klinis, waktu pengerasan bahan cetak alginat cenderung terlalu
cepat (3-4 menit) sehingga para dokter gigi melakukan modifikasi rasio air terhadap
bubuk bahan cetak. Modifikasi tersebut mempengaruhi sifat gel dan kekuatan cetakan
terhadap robekan. Oleh karena itu, waktu pengerasan lebih baik diatur oleh jumlah
bahan pemerlambat yang tepat saat sintesis bahan cetak (Anusavice, 2003).
Prosentase bahan cetak gigi yang tepat menghasilkan cetakan yang akurat.
Keakuratan bahan cetak gigi didukung oleh waktu pengerasan yang dipengaruhi oleh
prosentase bahan pemerlambat trinatrium fosfat yang ditambahkan. Prosentase
trinatrium fosfat pada bahan komersil adalah sebesar 2%. Semakin banyak bahan
pemerlambat trinatrium fosfat yang ditambahkan, semakin memperpanjang waktu
pengerasan bahan cetak.
Situngkir (2008) telah melakukan penelitian mengenai adanya pengaruh bahan
pemerlambat yaitu trinatrium fosfat dan kalium oksalat terhadap bahan cetak alginat.
Bahan cetak yang menggunakan trinatrium fosfat 0,3 gram menghasilkan permukaan
yang lebih rata, homogen, dan memiliki temperatur penguraian tertinggi yaitu 550C.
Namun penelitian yang dilakukan oleh Situngkir (2008) tidak menambahkan bahan

104

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

pengisi dan pemercepat seperti pada bahan cetak yang diproduksi pabrik. Penelitian
juga tidak difokuskan pada waktu pengerasan akibat adanya bahan pemerlambat.
Ketersediaan alginat pada penelitian sebelumnya didapatkan dari luar negeri
(import). Alginat merupakan suatu bahan yang terkandung dalam alga coklat. Salah satu
alga coklat yang melimpah di perairan Indonesia dengan nilai yang ekonomis adalah
Sargassum sp. Sargassum sp. mempunyai potensi untuk dapat dikembangkan dan
dimanfaatkan sebagai penghasil natrium alginat yang merupakan bahan baku
pembuatan bahan cetak gigi alginat. Penelitian mengenai pemanfaatan dan ekstraksi
natrium alginat dari rumput laut Sargassum sp. di Indonesia telah banyak dilakukan.
Namun belum dimanfaatkan dan diproduksi langsung sebagai bahan cetak gigi.
Oleh karena itu, penelitian mengenai pemanfaatan sumber daya alam lokal
Sargassum sp. sebagai bahan cetak gigi penting dilakukan. Penelitian mengenai waktu
pengerasan penting dilakukan untuk menjawab kebutuhan klinis agar kinerja dokter gigi
lebih efisien. Maka pada penelitian ini, dilakukan sintesis bahan cetak gigi natrium
alginat dari alga coklat Sargassum sp. dengan variasi prosentase bahan pemerlambat
trinatrium fosfat untuk mendapatkan waktu pengerasan yang optimum (4 menit).
Dilakukan pengujian yang sesuai dengan aplikasi klinis meliputi porositas dan setting
time.

BAHAN DAN METODE


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Sargassum sp., aquades, air,
HCl 5%, Na2CO3 4%, NaOCl 12%, NaOH 10%, isopropanol (IPA), kalsium sulfat,
silika gel, kalium sulfat, PEG, tanah diatoma, dan trinatrium fosfat.
Pembuatan sampel dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua yaitu, ekstraksi
natrium alginat dan sintesis bahan cetak gigi. Alga coklat Sargassum sp. diperoleh dari
Selat Madura diekstraksi menjadi natrium alginat. Alga coklat Sargassum sp. yang
sudah kering direndam dengan larutan HCl 1% dalam beaker glass selama 1 jam.
Setelah 1 jam perendaman dalam larutan asam, alga coklat dicuci sampai bersih.
Ditambahkan Na2CO3 4 % dalam beaker glass dan dipanaskan dengan suhu 60C
selama 2 jam. Alga coklat kemudian diencerkan dengan aquades dan dierasi selama
30 menit. Setelah dierasi, alga coklat disaring. Hasil saringan kemudian dipucatkan
(bleaching) dengan menambahkan larutan NaOCl 12 % sambil diaduk hingga merata.
Ditambahkan HCl 5% sampai pH 2-3 sehingga filtratnya menjadi asam alginat. Tahap
selanjutnya yaitu disaring untuk mendapatkan asam alginat berupa gumpalan busa.

Jurnal Fisika dan Terapannya | No. 1, Vol. 3, Agustus 2013

105

Gumpalan busa dicuci dengan air agar tidak membawa residu-residu asam yang
berbahaya dan ditambahkan NaOH 10% hingga pH 9. Asam alginat yang telah
dikonversi menjadi natrium alginat ditambah IPA (99%) dengan perbandingan 1:2 (IPA
: asam alginat). Natrium alginat yang telah terpisah disaring dan dikeringkan. Hasil
ekstraksi tersebut berupa bubuk natrium alginat dan diolah menjadi bahan cetak natrium
alginat.
Pembuatan bahan cetak gigi

natrium alginat

dilakukan dengan cara

mencampurkan semua bahan dengan menggunakan mortar. Bahan penyusun bahan


cetak gigi natrium alginat terdiri dari natrium alginat 19%, kalsium sulfat 40%, kalium
sulfat 15%, tanah diatom 4%, silika gel 15%, dan PEG 7%. Sampel bahan cetak dibuat
dengan lima variasi prosentase trinatrium fosfat yaitu 1% (sampel A), 2% (sampel B),
3% (sampel C), 4% (sampel D), dan 5% (sampel E). Pengujian sampel meliputi FTIR,
porositas, dan setting time.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tahap ekstraksi natrium alginat dari Sargassum sp. mengacu pada metode
ekstraksi dalam penelitian oleh Juniarto (2006) dan Rasyid (2010) yang dimodifikasi.
Proses pengeringan menggunakan freeze drying untuk mendapatkan natrium alginat
yang mudah dihaluskan. Bubuk natrium alginat berwarna krem, tidak berbau, dan larut
dalam air membentuk larutan yang kental. Hasil tersebut sesuai dengan Persyaratan
Farmakope 1974 dalam Tomitro 1997. Bubuk natrium alginat diuji menggunakan FTIR
untuk mengetahui hasil ekstraksi natrium alginat yang terbentuk.
Spektrum FTIR natrium alginat (C6H7O6Na)n hasil penelitian ini ditunjukkan
oleh puncak-puncak serapan pada frequensi 3465,4, 1658,48, 1413,57, dan 1026,91cm1

. Menurut PAVIA et al. (1979)

puncak serapan 3.500 cm-1 - 3200 cm-1 adalah

spesifik untuk kelompok hidroksil (O-H), puncak serapan 1600 cm-1 1680 cm-1
untuk kelompok karbonil (C=O) dan puncak serapan antara 1000 1300 cm-1 untuk
kelompok karboksil (CO). Sedangkan natrium dalam isomer alginat terletak pada
puncak serapan 1614 cm-1 dan 1431 cm-1 (SOARES et al. 2004). Berdasarkan puncak
yang terbentuk menunjukkan bahwa bubuk yang dihasilkan dari ekstraksi alga coklat
Sargassum sp. adalah bubuk natrium alginat.

106

Jurnal Fisika dan Terapannya | No. 1, Vol. 3, Agustus 2013

Gambar 1. Spektrum infra merah natrium alginat.


Formula bahan cetak yang dapat mengeras diperoleh setelah 22 kali percobaan
formula yang didapatkan dengan cara menambah dan mengurangi prosentase kalsium
sulfat sebagai agen pengeras dan komposisi lain. Formula tersebut adalah sebagai
berikut : natrium alginat 19%, kalsium sulfat 40%, kalium sulfat 15%, silika gel 15%,
tanah diatom 4%, dan PEG 7%. Setelah mendapatkan formula terbaik, ditambahkan
retarder atau bahan pemerlambat berupa trinatrium fosfat dengan variasi 1%, 2%, 3%,
4%, dan 5%. Bubuk bahan cetak berwarna coklat muda dan tidak berbau seperti pada
Gambar 2.

Gambar 2. Bahan cetak gigi natrium alginat


Bahan cetak dengan 4% trinatrium fosfat (sampel D) dan bahan cetak dengan 5%
trinatrium fosfat (sampel E) yang menunjukkan nilai porositas yang lebih kecil
dibanding sampel yang lain (data pengukuran porositas dapat dilihat pada Lampiran 5).

Jurnal Fisika dan Terapannya | No. 1, Vol. 3, Agustus 2013

107

Hal tersebut dapat disebabkan bahan penyusun bahan cetak sudah tercampur lebih rata
dan lebih halus. Hal tersebut bisa terjadi karena pada proses pencampuran formula
bahan cetak yang menggunakan mortar dilakukan secara manual sehingga tekanan yang
diberikan bisa berbeda meskipun waktu yang digunakan sama pada semua sampel.
Selain itu, teknik pencampuran bubuk bahan cetak dengan air juga
mempengaruhi kualitas bahan cetak. Pada pengujian ini digunakan spatula dari plastik
yang kurang lentur, sehingga pengadukan kurang maksimal dan mempengaruhi hasil
cetakan. Pengadukan yang baik menghasilkan campuran yang halus (Sitinjak, 2001).
Hasil cetakan seperti tidak rata dan mudah sekali retak. Mudahnya bahan mengalami
retak menunjukkan porositas bahan yang besar. Hal tersebut menimbulkan poros yang
terbentuk lebih besar bila dibandingkan dengan kontrol.

Sampel yang nilai porositasnya semakin kecil dan mendekati nilai porositas
kontrol menunjukkan nilai uji porositas yang lebih baik.

Bahan cetak dengan

penambahan 4% trinatrium fosfat (sampel D) dan bahan cetak dengan penambahan 5%


trinatrium fosfat (sampel E) dengan persen porositas yang paling mendekati persen
porositas kontrol yaitu 3,61 % dan 3,98 % merupakan sampel yang terbaik pada uji
porositas.
Waktu pengerasan berperan penting untuk membantu kinerja dokter gigi lebih
efisien dan berperan pada faktor kenyamanan pasien. Dengan waktu 4 menit 30 detik
terkadang dokter gigi harus bekerja ekstra agar bahan cetak mengeras tepat pada
waktunya. Untuk memperlama waktu pengerasan biasanya digunakan air panas atau
dengan menambah jumlah air saat pencampuran. Modifikasi tersebut mempengaruhi
hasil cetakan. Sedangkan faktor kenyamanan pasien juga harus dipertimbangkan, agar

108

Jurnal Fisika dan Terapannya | No. 1, Vol. 3, Agustus 2013

pasien tidak mengangah terlalu lama. Oleh karena itu, meskipun bahan cetak natrium
alginat yang disintesis melebihi ketentuan ADA No. 18 tahun 1969 tetapi berdasarkan
ketentuan ADA tahun 1974 (dalam Huzaini, 1996) waktu pengerasan sekurangnya atau
sama dengan 20 menit maka bahan cetak natrium alginat dapat dikatakan sesuai dengan
ketentuan.

Akan

tetapi,

karena

faktor

kenyamanan

pasien

yang

penting

untuk

dipertimbangkan maka formula terbaik dari hasil pengujian ini adalah sampel dengan
waktu pengerasan yang optimum (4 menit). Maka bahan cetak dengan penambahan
1% trinatrium fosfat (sampel A) merupakan sampel terbaik pada pengujian waktu
pengerasan ini dengan waktu pengerasan paling cepat.

KESIMPULAN
Bahan cetak natrium alginat yang dihasilkan memiliki karakteristik porositas
sebesar 6,42%. Penambahan 1% trinatrium fosfat menghasilkan bahan cetak dengan
lama setting time 6 menit 29 detik yang berada pada rentang waktu pengerasan untuk
aplikasi klinis. Formula bahan cetak gigi natrium alginat dari Sargassum sp. yang
ditemukan masih jauh dari produk komersil yang ada.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Prihartini Widiyanti,drg.,M.Kes.
atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk terlibat langsung dalam Riset
Unggulan PT tahun 2012 dan rekan-rekan Biomaterial Teknobiomedik atas bantuan
dan kerjasamanya selama penelitian berlangsung.

Jurnal Fisika dan Terapannya | No. 1, Vol. 3, Agustus 2013

109

DAFTAR PUSTAKA
American Dental Association Specification No. 18 for Alginate Impression Material,
May 1969.
Anggadiredja, Jana T. dkk. 2010. Rumput Laut. Jakarta: Penebar Swadaya.
Anusavice,J.K., 2004. Philiphs : Buku Ajar Ilmu Bahan Kedokteran Gigi, alih bahasa :
Johan Arif Budiman dan Susi Purwoko. Penerbit Buku Kedokteran (EGC),
Jakarta.
Histifarina, D., D. Musaddad., E. Murtiningsih. 2004. Teknik Pengeringan dalam Oven
Untuk Irisan Wortel Kering Bermutu. J. Hort 14(2):107-112. Balai Penelitian
Tanaman Sayuran.
Hudianto, Fredi. 2011. Karakteristik Amalgam Gigi High Copper Tipe Single
Compotition Alloy dan Tipe Blended Alloy Secara In Vivo. Skripsi Fakultas
Sains dan Teknologi Universitas Airlangga Surabaya.
Huzaini, Muchammad Luthfi.dkk. 1996. Getah Pelepah Pohon Salak Sebagai Alternatif
Substansi Dasar Bahan Cetak di Bidang Kedokteran Gigi. Buletin Penalaran
Mahasiswa UGM. Vol. 2 No. 3. Halaman 76-81.
Junianto. 2006. Rendemen dan Kualitas Algin Hasil Ekstraksi Alga (Sargassum sp.) dari
Pantai Selatan daerah Cidaun Barat. Jurnal Bionatura, Vol.8,No.2,Juli 2006 :
152-160.
Meizarini, Asti. 2005. Sitotoksisitas Bahan Restorasi Cyanoacrylate Pada Variasi
Perbandingan Powder Dan Liquid Menggunakan MTT Assay. Maj. Ked. Gigi.
(Dent. J.), Vol. 38. No. 1 Januari 2005: 2024.
Mour,Meenakshi. 2010. Advances in Porous Biomaterials for Dental and Orthopaedic
Applications. Materials 2010, 3, 2947-2974. ISSN 1996-1944.Mushollaeni,
Wahyu. 2010. Karakteristik Ekstrak Alginat dari Rumput Laut Coklat Sebagai
Alternatif Penghasil Alginat di Indonesia.Jurnal Saintek Vol.7.No. 1 Juni 2010:
31-36.
Nirwana, Intan, Helal Soekartono. 2005. Sitotoksisitas resin akrilik hybrid setelah
penambahan glass fiber dengan metode berbeda. Maj. Ked. Gigi. (Dent. J.), Vol.
38. No. 2 AprilJuni 2005: 5659.
Noerdin, Ali, Bambang Irawan, Mirna Febriani, 2003. Pemanfaatan Pati Ubi Kayu
(Manihot Utilisma) Sebagai Campuran Bahan Cetak Gigi Alginat. Makara,
Kesehatan, Vol. 7, No. 2.
PAVIA, D.L., G.M. LAMPMAN and G.S. Jr. KRIZ 1979. Introduction to spectroscopy:

110

Jurnal Fisika dan Terapannya | No. 1, Vol. 3, Agustus 2013

A Guide for student of organic chemistry. Saunders college Publishing. West


Washington Square Philadelpia, PA 19105: 80 pp.
Poncomulyo, Taurino. 2006. Budi Daya dan Pengolahan Rumput Laut. Jakarta:
AgroMedia Pustaka.
Rasyid, Abdullah. 2001. Potensi Sargassum Asal Kepulauan Spermonde Sebagai Bahan
Baku Alginat. Widyariset, Vol. 2.
Rasyid, Abdullah. 2005. Beberapa Catatan Tentang Alginat. Oseana, Volume XXX,
Nomor 1, halaman 9-14. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI.
Rasyid, Abdullah. 2009. Perbandingan Kualitas Natrium Alginat Beberapa Jenis Alga
Coklat . Pusat Penelitian Oseanografi LIPI.
Rasyid, Abdullah. 2010. Ekstraksi Natrium Alginat Dari Alga Coklat Sargassum
echinocarphum. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI.
Rehm. Bernd H.A. 2009. Alginates: Biology and Applications. Microbiology
Monographs. London New York : Springer Dordrecht Heidelberg.
S.H.S. Saniour, dkk. 2011. Effect of composition of alginate impression material on
recovery from deformation. Journal of American Science, 2011;7(9).
Sitinjak, Lisbet Masniati. 2001. Keakuratan Hasil Cetakan Alginat Dalam Pembuatan
Gigi Tiruan. Skipsi Universitas Sumatera Utara.
Situngkir, Janner. 2008. Pembuatan dan Karakterisasi Fisikokimia Bahan Cetak Gigi
Palsu Kalsium Alginat. Tesis Universitas Sumatera Utara.
SOARES, J. P., J. E. SANTOS, G. O. CHIERICE and E. T. G. CAVALHEIRO 2004.
Thermal behavior of alginic acid and its natrium salt. Ecl, Sao Paulo, 29(2): 5763.
Sugiawan, Wawan. 2000. Teknik Pengawetan Bakteri, Khamir DanKapang Dengan
Metode Pengering-Bekuan (Freeze Drying). Temu Teknik Fungsional non
Peneliti. Balai Penelitian Veteriner.
Syahrul. 2005. Penggunaan Fikokoloid Ekstraksi Rumput Laut Sebagai Substansi Gelatin
Pada Es Krim. Tesis Institut Pertanian Bogor.
Tomitro, F.X.,dkk. 1997. Pemanfaatan Daun Cyclea Barbata Sebagai Alternatif Substansi
Dasar Bahan Cetak Di Bidang Kedokteran Gigi. Buletin Penalaran Mahasiswa
UGM, Vol. 3 No. 1. Halaman 19-22.
Yulianto, Kresno. 2007. Pengaruh Konsentrasi Natrium Hidroksida Terhadap Viskositas
Natrium Alginat Yang Diekstrak Dari

Sargassum Duplicatum J.G. Agardh

(Phaeophyta). Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (2007) 33: 295 306.

Jurnal Fisika dan Terapannya | No. 1, Vol. 3, Agustus 2013

111

Anda mungkin juga menyukai