Anda di halaman 1dari 17

dokterkwok

H.E.A.L (T.H)
1
6
Dec
Penyakit Parkinson (Parkinson Disease)
PENDAHULUAN

Parkinson Disease (PD) merupakan suatu kelainan neurologi yang bersifat kronik progresif,
ditandai dengan adanya kelainan dari segi fungsi motorik dan non-motorik dalam berbagai
derajat (kronik progresif movement disorder).(1,2) ecara neuropatologi Parkinson disease
ditandai oleh berkurangnya neuromelanin yang mengandung neuron dopaminergik di
substansia nigra pars kompakta, dengan terdapatnya eosinofil, intracytoplasmik, inklusi
protein, yang disebut sebagai Lewy bodies. Sel-sel yang masih ada akan tampak menciut
dan bervakuola.(2)
Dalam sejarah terdahulu, Parkinson disease (PD) didefinisikan sebagai kelainan neurologi
yang diyakini lebih mengenai fungsi motorik. Namun pada saat ini, sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, PD lebih dikaitkan pada terdapatnya defisit fungsi kognitif,
dimana demensia merupakan defisit kognitif yang paling sering dijumpai.(2)
Hingga saat ini diagnosis dari PD didasarkan pada kriteria klinik, karena belum adanya test
definitif dalam menegakkan diagnosis PD. Resting tremor, bradikinesia, rigidity, dan postural
instability secara umum merupakan tanda-tanda pokok dari PD dan merupakan suatu
disfungsi motorik.(1,2) Adanya tanda tanda spesifik tersebut diatas merupakan hal yang dapat
membedakan PD dengan parkinsonian disorder (parkinsonism).(1)
Kriteria klinik lain pada PD termasuk gejala motorik sekunder; seperti hypomimia, disartria,
disfagia, sialorhoea, mikrografia, shuffling gait, festination, freezing. distonia, glabela reflek.
Gejala non-motorik; disfungsi otonom, defisit kognitif dan neurobehavioral, gangguan tidur,
abnormalitas dari fungsi sensorik seperti anosmia, parestesia dan nyeri.(1, 2)
Ketiadaan resting tremor, sikap/cara berjalan yang terganggu, instabilitas postural, demensia,
halusinasi dan adanya gangguan fungsi otonom, oftalmoparesis, ataxia dan gejala atypical
lainnya, disertai respon terhadap levodopa yang tidak baik dan tidak memuaskan, memberi
kesan diagnosis lain diluar PD.(1)
Pengertian secara cermat, tepat dan luas dalam terhadap manifestasi klinis PD merupakan hal
yang mendasar dalam menegakkan diagnosis. Mutasi genetik atau variannya, abnormalitas

dalam neuroimaging dan tes lainnya merupakan biomarker potensial dalam mengembangkan
diagnosis dan mengidentifikasi resiko yang dialami pasien.(1)
Medikasi yang ada saat ini, hanya mengobati gejala yang timbul dan gagal untuk
menghentikan kematian sel-sel neuron dopaminergik. Halangan terbesar dalam
pengembangan terapi neuroprotektif adalah keterbatasan dalam memahami proses penyakit
yang berperan dalam kematian neuron dopaminergik. Sementara etiologi dari kematian
neuron dopaminergik masih sukar untuk dipahami. Kombinasi dari kerentanan genetic dan
faktor lingkungan, tampaknya memiliki peranan yang penting.(2)
SEJARAH

Pada tahun 1817, dalam tulisannya yang berupa buku kecil An essay on the shaking palsy,
James Parkinson untuk pertama kalinya mendeskripsikan gejala gejala klinik dari suatu
sindrom, yang pada nantinya sindrom tersebut dinamakan sesuai dengan namanya sendiri.
Pada saat itu dia berhasil mengidentifikasi 6 (enam) kasus, dimana 3 diantara kasus tersebut
diperiksa sendiri olehnya, dan 3 lainnya hanya melalui observasi di kota London. James
Parkinson sendiri menggunakan istilah paralisis agitans, yang oleh Charcot pada abad ke
19 menjulukinya sebagai maladie de Parkinson atau Parkinsons Disease (PD). Charcot
juga berhasil mengenali bentuk non-tremor dari PD dan secara benar mengemukakan bahwa
kelambanan gerakan harus dibedakan dari kelemahan atau pengurangan kekuatan otot.(1)
Lebih dari 100 tahun kemudian (1919), setelah deskripsi yang dikemukakan oleh Parkinson,
sebelum diketahui bahwa pasien dengan PD kehilangan sel-sel di substansia nigra, dan 140
tahun (1957) sebelum dopamine diketemukan sebagai putative neurotransmitter oleh
Carlsson dan koleganya di Lund, Swedia. Penemuan oleh Ehringer dan Hornykiewicz pada
tahun 1960 yang menyatakan bahwa konsentrasi dopamine menurun secara tajam di striatum
pasien dengan PD. Hal tersebut merintiskan jalan pada dilakukannya percobaan pertama
penggunaan levodopa pada pasien dengan PD. Penggunaan levodopa tersebut kemudian
mengantarkan Carlsson mendapatkan Nobel Prize in Medicine pada tahun 2000.(1)
Kemampuan levodopa secara injeksi dalam memperbaiki akinesia pada pasien dengan PD,
untuk pertama kali didemonstrasikan pada tahun 1961 kemudian diikuti oleh pengembangan
levodopa dalam bentuk oral di tahun tahun berikutnya. Baru-baru ini ditemukan
keterlibatan faktor mutasi genetik, akumulasi protein dan fosforilasi protein, peningkatan
stress oksidatif, disfungsi mitokondria, inflamasi dan mekanisme patogenik lainnya telah
berhasil diidentifikasi sebagai faktor kontribusi dalam kematian sel dopaminergik dan nondopaminergik dalam otak pasien dengan PD.(1)
EPIDEMIOLOGI

Parkinson disease tersebar luas diseluruh dunia, dapat mengenai seluruh ras, baik pria
maupun wanita dalam perbandingan yang hampir sama, dan kecenderungan penyakit pada
pria. Prevalensi meningkat secara tajam pada kisaran usia 65 hingga 90 tahun; kurang lebih
0,3% dari seluruh populasi dan 3% manusia dengan usia diatas 65 tahun terkena Parkinson

disease. 5-10% pasien PD, memiliki gejala pada usia kurang dari 40 tahun (varietas ini
diklasifikasikan sebagai young-onset Parkinsons disease atau PD yang terjadi pada usia
muda). Insidensi terendah terdapat pada populasi Asia dan kulit hitam Afrika. Sedangkan
insidensi tertinggi didapatkan pada kaum kulit putih. Kulit hitam Afrika memiliki insidensi
yang lebih rendah dibandingkan kulit hitam Amerika; meskipun demikian prevalensi
terdapatnya Lewy bodies dalam jaringan otak ras Nigeria, tampak sama dengan populasi ras
kulit putih Amerika. Pola ini memberikan kecenderungan bahwa perkembangan Parkinsons
disease adalah global dan menyeluruh, namun faktor lingkungan memiliki peranan penting
dalam menimbulkan penyakit ini.(3)
Secara umum lingkungan pedesaan -walaupun tidak selalu- memiliki keterkaitan tersendiri
terhadap peningkatan resiko terjadinya PD.Ada berbagai macam faktor yang mendukung hal
tersebut, seperti pemakaian herbisida atau pestisida dan paparan terhadap air sumur.(3)
ETIOLOGI dan PATOGENESIS

MUTASI PATOGENIK
Berbagai macam usaha telah dilakukan untuk mengungkap etiologi PD, sejak pertamakali
penyakit ini ditemukan di tahun 1817. Hingga saat ini, pengaruhfaktor herediter masih
merupakan kontroversi. Bagaimanapun, mutasi genetik menurut hukum Mendel dalam PD
menegaskan peranan genetik dalam perkembangan penyakit ini. Beberapa lokus genetik telah
dapat diidentifikasi, diantaranya PARK 1, 2, 6, 7 dan 8, dan lokus genetik tersebut memiliki
dasar pathogenesis penyakit.(3)
DISFUNGSI MITOKONDRIA dan KERUSAKAN OXIDATIVE
Banyak fakta yang menyatakan tentang keberadaan disfungsi mitokondria dan kerusakan
metabolism oksidatif dalam pathogenesis Parkinson disease. Keracunan MPTP (1 methyl, 4
phenyl, 12,3,6 tetrahydropyridine) dimana MPP+ sebagai toksik metabolitnya, pestisida dan
limbah industri ataupun racun lingkungan lainnya, menyebabkan inhibisi terhadap komplek I
(NADH-ubiquinone oxidoreduktase) rantai electron-transport mitokrondria, dan hal tersebut
memiliki peranan penting terhadap kegagalan dan kematian sel. Pada PD, terdapat penurunan
sebanyak 30-40% dalam aktivitas komplek I di substansia nigra pars kompakta. Seperti
halnya kelainan yang terjadi pada jaringan lain, kelainan di substansia nigra pars kompakta
ini menyebabkan adanya kegagalan produksi energi, sehingga mendorong terjadinya
apoptosis sel.(3)
Dalam keadaan normal, terdapat sebuah regulasi yang ketat dalam produksi dan pembuangan
beberapa oxidant yang dihasilkan dari metabolism sel neuron. Termasuk didalamnya
hydrogen peroksida, superoksida, radikal peroksida, nitric oxide, dan hidroksi radikal.
Molekul-molekul ini bereaksi dengan asam nukleat, protein, lemak dan molekul lainnya
sehingga terjadilah perubahan struktur molekul yang mengakibatkan kerusakan sel. Beberapa
fakta mengemukakan bahwa pada PD, terdapat kelebihan oksigen reaktif dan peningkatan
stress oksidatif.

Adanya peningkatan zat besi yang terdeteksi pada substansia nigra asien dengan PD
meyakinkan pentingnya peranan stress oksidatif dalam pathogenesis PD. Menariknya,
peningkatan zat besi dan berkurangnya aktivitas komplek I tidak ditemukan dalam otak
pasien dengan Lewy body disease, yang kemudian memberi kesan bahwa telah terjadi
perubahan sekunder lainnya dalam jaringan tersebut.(3)
Metabolime dopamine endogen ternyata juga menyebabkan peningkatan produksi racun yang
mempertinggi terjadinya stress oksidatif pada pasien dengan PD. Kemungkinan ini pada
akhirnya menimbulkan kecemasan tersendiri terhadap terapi dengan levodopa, yang pada
akhirnya levodopa ini akan dikonversi menjadi dopamine, yang pada mekanisme lebih lanjut
akan mempercepat kematian sel neuron dalam pars kompakta substansia nigra. Tentu saja,
argument ini merupakan salah satu penyebab penundaan pemakaian levodopa pada pasien
PD. Walaupun bukti nyata dari berbagai penelitian mengenai efek toksik levodopa masih
diperdebatkan dan obsevasi klinik terhadap manusia tanpa PD, namun diberi terapi dengan
levodopa, tidak menampakkan timbulnya toksisitas.(3)
Pengembangan percobaan penyakit Parkinson melalui penggunaan MPTP terhadap makhluk
primata menciptakan pandangan terbaru dalam suatu strategi terapi. Pada binatang percobaan
pada akhirnya berkembang suatu sindroma Parkinson tipikal, yang ditandai dengan hilangnya
sel dopaminergik di substansia nigra dan ditemukanny aktivitas spontan yang abnormal
(gerakan involunter abnormal) serta respon abnormal sensorimotor dari neuron di basal
ganglia. Dasar dari penelitian tersebut dihubungkan oleh adanya defisiensi dopamine yang
menyebabkan peningkatan aktivitas inhibisi terhadap -aminobutyric acid (GABA)penggunaannya (GABAergic) di nucleus basal ganglia, segment dalam globus pallidus, dan
pars retikulata substansia nigra. Peningkatan aksi dari 2 struktur terakhir di atas setidaknya
dapat dibangkitkan melalui 2 mekanisme; pengurangan inhibisi GABAergik secara langsung
berasal dari striatum (nucleus caudatus dan putamen) dan eksitasi yang berlebihan melalui
mekanisme tidak langsung, yang terdiri dari 2 hubungan neuron penghambat, pertama dari
striatum ke segmen externa globus pallidus dan kedua berasal dari segmen nucleus
subtalamicus. Nucleus subtalamicus membangkitkan segment internal globus pallidus dan
pars retikulata substansia nigra melalui neurotransmitter glutamate.(3)
PATOFISIOLOGI

Pengembangan percobaan penyakit Parkinson melalui penggunaan MPTP terhadap makhluk


primata menciptakan pandangan terbaru dalam suatu strategi terapi. Pada binatang percobaan
pada akhirnya berkembang suatu sindroma Parkinson tipikal, yang ditandai dengan hilangnya
sel dopaminergik di substansia nigra dan ditemukanny aktivitas spontan yang abnormal
(gerakan involunter abnormal) serta respon abnormal sensorimotor dari neuron di basal
ganglia. Dasar dari penelitian tersebut dihubungkan oleh adanya defisiensi dopamine yang
menyebabkan peningkatan aktivitas inhibisi terhadap -aminobutyric acid (GABA)penggunaannya (GABAergic) di nucleus basal ganglia, segment dalam globus pallidus, dan
pars retikulata substansia nigra. Peningkatan aksi dari 2 struktur terakhir di atas setidaknya
dapat dibangkitkan melalui 2 mekanisme; pengurangan inhibisi GABAergik secara langsung

berasal dari striatum (nucleus caudatus dan putamen) dan eksitasi yang berlebihan melalui
mekanisme tidak langsung, yang terdiri dari 2 hubungan neuron penghambat, pertama dari
striatum ke segmen externa globus pallidus dan kedua berasal dari segmen nucleus
subtalamicus. Nucleus subtalamicus membangkitkan segment internal globus pallidus dan
pars retikulata substansia nigra melalui neurotransmitter glutamate.(3)
Di striatum, output dari neuron GABAergik bekerja secara langsung pada segmen internal
globus pallidus dan pars retikulata substansia nigra yang didominasi oleh reseptor dopamine
D1. Sedangkan reseptor D2 dopamin lebih dominan pada output neuron GABAergik di
segmen external globus pallidus. Dopamine memiliki efek yang berbeda terhadap reseptorreseptor ini dan oleh karena itu, pada perangsangan neuron di daerah striatal, akan
membangkitkan reseptor D1 (sumber dari jalur langsung striatopallidal) dan menginhibisi
neuron dengan reseptor D2 (sumber dari jalur tidak langsung striatopallidal). Dalam keadaan
normal (non-defisiensi dopamine) terdapat keseimbangan aktivitas antara jalur langsung dan
jalur tidak langsung pada internal segmen globus pallidus dan pars retikulata substansia nigra.
Sedangkan pada defisiensi dopamine (misalnya pada keracunan MPTP dan penyakit
Parkinson) menyebabkan overaktifitas dalam jalur tidak langsung, dikarenakan peningkatan
glutamatergik ke dalam segmen internal globus pallidus dan pars retikulata substansia nigra
serta mengurangi aktivitas inhibisi terhadap jalur langsung GABAergik, bahkan lebih jauh
lagi, dapat meniadakan aktivitas inhibisi pada internal segmen globus pallidus dan pars
retikulata substansia nigra. Karena struktur ini menggunakan neurotransmitter GABA sebagai
inhibitor, maka kelebihan output dari basal ganglia akan menimbulkan peningkatan inhibisi,
lalu bahkan dapat mematikan nucleus dari thalamus dan batang otak yang menerima aliran
tersebut.(3)
Inhibisi yang berlebihan di thalamus menimbulkan supresi terhadap system motorik kortikal,
yang memungkinkan terjadinya akinesia, rigiditas dan tremor, sedangkan inhibisi terhadap
proyeksi desendens area lokomotor batang otak dapat menyebabkan abnormallitas gaya
berjalan dan postur tubuh. Study menggunakan positron-emission tomografi menunjukkan
kebalikan dari akinesia dengan obat-obatan dopaminergik yang dihubungkan dengan
peningkatan abnormal aktifitas dari area korteks motorik dan premotorik. Studi ini
menunjukkan bahwa dopamine dapat mengurangi kelebihan aliran inhibisi dari nucleus basal
ganglia. Tentu saja, terdapat pengurangan gejala dengan pemberian reseptor dopamin agonis
apomorphine (D1 dan D2) dalam dosis terapi Parkinson pada primata yang diberi MPTP dan
pasien penyakit Parkinson.(3)
DIAGNOSIS dan MANIFESTASI KLINIS

Hingga saat ini, terdapat beberapa skala penilaian untuk menilai dan mengevaluasi adanya
disfungsi motorik pada pasien penyakit Parkinson. Namun sebagian besar dari skala penilaian
tersebut, tidak memiliki hasil yang valid dan tidak sepenuhnya dapat dipercaya.(1)
Skala menurut Hoehn dan Yahr merupakan skala penilaian yang paling sering digunakan
untuk menggambarkan progresifitas penyakit. Skala ini mempunyai range mulai stadium 0
(tidak tampak tanda-tanda penyakit) hingga stadium 5 (tinggal di kursi roda wheelchair

bound atau hanya bisa berbaring di tempat tidur dan memerlukan asisten untuk
beraktivitas). UPDRS (The Unified Parkinsons Disease Rating Scale) sejauh ini merupakan
skala terbaik yang dikembangkan penggunaannya untuk memperkirakan dan menilai
gangguan dan kecacatan yang mungkin timbul.(1)
Adapun gejala klinik yang sering timbul pada penyakit Parkinson, terdapat pada table 1 dan
akan didiskusikan kemudian.
Bradikinesia(1,5)
Bradikinesia berarti kelambanan dalam pergerakan dan merupakan manifestasi klinik
penyakit Parkinson yang karakteristik, meskipun bradikinesia juga dapat dijumpai pada
penyakit lain, termasuk depresi. Bradikinesia merupakan hal yang patognomonik, yang
menunjukkan kerusakan pada basal ganglia, yang meliputi kesulitan dalam merencanakan
dan menyelenggarakan gerakan, memulai gerakan dan kesulitan dalam melaksanakan
gerakan secara simultan. Manifestasi awal sering diawali dengan kelambanan dalam
melakukan aktifitas sehari-hari (ADL)dan perlambatan pergerakan serta respon time yang
menurun. Hal ini termasuk kesulitan dalam melakukan gerak motorik halus seperti membuka
kancing baju, dan menggunakan perkakas. Manifestasi lain bradikinesia adalah hilangnya
pergerakan dan langkah spontan, air liur yang menetes dikarenakan gangguan menelan,
monotonic dan hipofonik disartria, kehilangan ekspresi wajah (hipomimia) dan penurunan
kedipan mata, pengurangan ayunan tangan sehingga cara berjalan tidak lagi melenggang.
Bradikinesia merupakan gejala dari penyakit Parkinson yang paling mudah untuk dikenali,
dan mungkin terlihat jelas walaupun belum dilakukan pemeriksaan neurologis. Pada
bradikinesia juga dapat ditemukan gejala tambahan seperti gerakan cepat, berulang,
pergerakan tangan bergantian (ketukan jari, menggenggan-genggam tangan, pronasi-supinasi
tangan). Serta ketukan tumit tidak hanya lambat tetapi juga amplitudo yang melemah.
Seperti halnya yang tampak dalam gejala parkinsonian yang lain, bradikinesia bergantung
pada keadaan emosional pasien. Sebagai contoh, pasien yang sedang diam dan dalam
keadaan tidak tertekan mungkin akan dapat melakukan suatu pergerakan yang cepat seperti
menangkap bola (atau mungkin dapat berlari jika seseorang meneriakkan kebakaran).
Fenomena ini (kinesia paradoxica) menunjukkan bahwa pasien dengan penyakit Parkinson
memiliki fungsi motorik yang utuh dan tidak terganggu, namun memiliki kesulitan dalam
memulai gerakan tanpa pencetus dari luar, seperti suara keras, musik keras, atau isyarat visual
yang meminta penderita untuk melintasi rintangan.
Meskipun patofisiologi dari bradikinesia masih belum dapat digambarkan dengan baik, gejala
ini tetap menjadi gejala utama yang mengemukakan kaitan penyakit dengan tingkat defisiensi
dopamine. Hal ini didukung dengan dilakukannya observasi terhadap penurunan jumlah
neuron di substansia nigra pada pasien usia tua dengan gejala parkinsonism yang akhirnya di
diagnose sebagai penyakit Parkinson. Disamping itu, positron emission tomografi pada
pasien dengan penyakit Parkinson menunjukkan penurunan pengambilan F-fluorodopa di

striatum dan accumbens-caudate komplek yang proporsional (berbanding lurus) dengan


derajat keparahan bradikinesia.
Secara hipotesa dikatakan bahwa bradikinesia merupakan gangguan pada aktifitas normal
korteks motorik yang disebabkan karena penurunan dopamine. Studi fungsional
neuroimaging juga memperlihatkan adanya gangguan penerimaan pada sistem kortikal dan
subkortikal yang meregulasi parameter pergerakan (misalnya; kecepatan). Sebaliknya,
penerimaan dari berbagai area premotor seperti kontrol visuomotor meningkat. Secara
anatomi, defisit yang terjadi berlokasi di putamen dan globus pallidus, yang menyebabkan
penurunan produksi tenaga otot dalam permulaan gerakan. Analisis melalui elektromiografi
menunjukkan bahwa pasien dengan bradikinesia tidak dapat menyediakan tenaga yang cukup
untuk memulai suatu gerakan dan mempertahankan kecepatan gerakan tersebut. Karena
pasien dengan penyakit Parkinson memiliki penurunan dalam aktifitas elektromiografi, maka
mereka memerlukan pencetus agonis multipel untuk menyelesaikan serangkaianpergerakan.
Tremor (1,5)
Tremor saat istirahat Rest tremor merupakan gejala tersering dan mudah dikenali pada
penyakit Parkinson. Tremor bersifat unilateral, dengan frekuensi antara 4 sampai 6 Hz, dan
hampir selalu terdapat di extremitas distal. Tremor pada tangan digambarkan sebagai gerakan
supinasi-pronasi (pill-rolling) yang menyebar dari satu tangan ke tangan yang lain. Resting
tremor pada pasien penyakit Parkinson juga dapat mengenai bibir, dagu, rahang dan tungkai.
Namun,tidak seperti tremor pada umumnya, tremor pada penyakit Parkinson jarang mengenai
leher atau kepala dan suara. Karakteristik resting tremor adalah, tremor akan menghilang
ketika penderita melakukan gerakan, juga selama tidur. Beberapa pasien mengatakan adanya
internal tremor yang tidak dikaitkan dengan tremor yang terlihat. Tremor pada penyakit
Parkinson dapat dibedakan dengan tremor lain melalui beberapa kriteria (table 2).
Beberapa pasien dengan penyakit Parkinson memiliki riwayat tremor postural, yang dapat
diidentikkan dengan tremor essential, selama beberapa tahun atau dekade sebelum onset
parkinsonian tremor atau gejala lain penyakit Parkinson timbul.
Beberapa pasien penyakit Parkinson juga memiliki postural tremor yang dirasa lebih utama
dan lebih mengganggu dibandingkan resting tremor dan mungkin merupakan manifestasi
awal penyakit. Parkinson dengan adanya postural tremor (re-emergent tremor), berbeda
dari tremor essential dimana tremor menghilang setelah pasien membentangkan tangannya
dalam posisi horizontal. Karena re-emergent tremor terjadi dalam frekuensi yang sama
seperti halnya resting tremor, dan juga memiliki respon terhadap terapi dengan obat-obatan
dopaminergik, maka re-emergent tremor dapat dianggap sebagai varian dari resting tremor.
Ada beberapa petunjuk dalam mendiagnosa tremor essential pada pasien dengan penyakit
Parkinson. Termasuk didalamnya adalah anamnesa mengenai lamanya tremor terjadi, riwayat
keluarga dengan tremor, tremor pada region kepala dan suara, dan tremor yang tidak berhenti
dengan dilakukannya pembentangan kedua tangan di depan tubuh ke arah horizontal, ada

tidaknya rasa gemetar saat menulis dan memilin, juga adanya tremor yang bertambah dengan
konsumsi alcohol dan beta bloker.
Dalam perjalan penyakit Parkinson, keberadaan resting tremor bervariasi pada setiap pasien.
Dalam salah satu studi, Hughes dan koleganya melaporkan bahwa 69% pasien penyakit
Parkinson memiliki resting tremor saat onset penyakit dan 75% pasien penyakit Parkinson
baru memiliki tremor pada perjalanan penyakit. Tremor juga dilaporkan tidak dijumpai pada
9% pasien penyakit Parkinson tahap kronik. Sedangkan dilaporkan bahwa hanya 11% pasien
penyakit Parkinson yang sama sekali tidak memiliki tremor. Studi patologi klinik mengatakan
bahwa terjadi degenerasi pada neuron di daerah otak tengah, pada pasien penyakit Parkinson
dengan gejala tremor.
Rigidity(1,5)
Rigiditas ditandai dengan adanya peningkatan tahanan otot, biasanya disertai oleh adanya
cogwhell phenomenon yang secara khusus dihubungkan dengan adanya tremor, terdapat
melalui pergerakan pasif extremitas baik flexi, extensi atau rotasi sendi. Rigiditas dapat
terjadi di tubuh bagian proximal maupun bagian distal. Foments maneuver merupakan
manuver yang biasa digunakan untuk memeriksa adanya rigiditas. Keistimewaan manuver ini
dapat mendeteksi rigiditas yang masih ringan.
Rigiditas dapat disertai dengan nyeri, dan nyeri pada bahu adalah satu hal yang tersering yang
merupakan manifestasi dini penyakit Parkinson. Meskipun seringkali terjadi misdiagnosis,
sebagai arthritis, bursitis atau cedera pada otot-otot rotator cuff. Sebuah prospektif studi yang
dilakukan pada 6038 orang (usia rata-rata 68,5 tahun), dimana tidak terdapat demensia
ataupun gejalan Parkinsonism, ditemukan adanya kekakuan, tremor dan ketidakseimbangan
yang diasosiasikan dengan peningkatan resiko terjadinya penyakit Parkinson. Melalui
penelitian dengan kohort, dengan follow up selama 5,8 tahun, ditegakkan diagnosis 56 kasus
penyakit Parkinson.
Freezing(1,5)
Freezing yang juga berarti motor block, merupakan suatu bentuk akinesia (hilang pergerakan)
dan merupakan gejala disabilitas paling penting pada penyakit Parkinson. Meskipun freezing
merupakan gejala klinik yang khas, gejala ini tidak selalu terdapat pada pasien dengan PD.
Gejala ini lebih sering terdapat pada laki-laki dibandingkan pada wanita dan frekuensi lebih
sedikit pada pasien dengan gejala utama berupa tremor. Freezing paling sering mengenai
tungkai saat berjalan, tetapi lengan dan kelopak mata juga dapat terkena. Manifestasi klinik
dapat terjadi secara mendadak dan bersifat sementara (biasanya kurang dari 10 detik),
sehingga dapat terjadi kesulitan dalam berjalan. Dalam hal ini mungkin meliputi kesulitan
untuk memulai berjalan atau terjadi secara tiba-tiba saat sedang berjalan melintasi jalanan
yang padat dan ramai. Freezing merupakan sebab tersering terjadinya trauma.

Episode freezing tampak lebih parah pada fenomena OFF, yang managejala ini dapat
diredakan melalui terapi dengan levodopa. Faktor resiko berkembangnya freezing termasuk;
ada tidaknya rigiditas, bradikinesia, instabilitas postural dan lamanya pasien tersebut
mengidap penyakit Parkinson. Tremor yang terjadi saat onset penyakit, dihubungkan dengan
peningkatan resiko terjadinya freezing. Freezing yang terdapat terutama pada fenomena
ON, tidak selalu memberikan respon dengan pemberian obat-obat dopaminergik, tetapi
pasien dengan pemberian selefiline memiliki resiko yang lebih rendah. Penyuntikkan toksin
Botulinum, walaupun efektif untuk bermacam-macam gejala Parkinsonian, seperti tremor,
distonia dan sialorrhoea, namun secara konsisten masih belum efektif untuk terapi terhadap
freezing.
Abnormalitas Motorik Lainnya(1,5)
Pasien dengan penyakit Parkinson mungkin menunjukkan beberapa gejala motorik sekunder,
yang dapat berpengaruh terhadap kegiatan mereka saat di rumah, kantor, ataupun saat
mengendarai mobil. Karena kerusakan pada lobus frontal yang menghalangi terjadinya
mekanisme inhibisi, beberapa pasien menunjukkan adanya reflex primitive. Pada satu
penelitian pada pasien penyakit Parkinson, ditemukan 80,5%dari 41 pasien memiliki reflex
primitive glabella. Gejala ini cukup sensitive (83,3%) mengindikasikan adanya Parkinsonian,
namun tidak spesifik (47,5%) untuk penyakit Parkinson. Dalam penelitian ini juga didapatkan
peningkatan sebanyak 34,1% terhadap reflex palmomental. Gejala ini tidaklah sensitive
(33.3%) namun lebih spesifik (90%) dibandingkan reflex glabella. Namun begitu, refleksrefleks primitive ini tidak dapat dibedakan diantara 3 jenis kerusakan Parkinsonian (penyakit
Parkinson, PSP-progresif supranuclear palsy, MSA-multiple systems atrophy).
Gangguan pada bulbar ditandai oleh adanya disartria, hipofonia, disfagia dan sialorea, yang
dalam pengamatan terhadap pasien penyakit Parkinson, dirasa lebih mengganggu
dibandingkan gejal-gejala utamanya. Gejala-gejala ini disangkakan memiliki kaitan dengan
orofacial-laryngeal bradikinesia dan rigiditas. Kesulitan dalam berbicara pada pasien penyakit
Parkinson ditandai oleh monotonus, bicara yang lembut, kesulitan dalam menemukan katakata yang dikenal dengan tip-of-the-tongue phenomenon. Speech terapi seperti Lee
Silverman Voice Treatment, mempunyai penekanan dan upaya yang kuat dalam
meningkatkan volume dan kualitas berbicara, dan mungkin dapat meringankan gejala
disartria. Disfagia biasanya disebabkan oleh ketidakmampuan untuk memulai reflex menelan
atau disebabkan oleh pemanjangan pergerakan laring maupun esophagus. Disfagia sering kali
merupakan gejala subklinik, terutama pada fase awal perjalanan penyakit. Penyakit Parkinson
yang dikaitkan dengan adanya gejala air liur yang menetes merupakan manifestasi dari
adanya penurunan dalam fungsi menelan.
Beberapa kelainan dalam neuro-ophtalmological mungkin dapat dijumpai pada pasien dengan
penyakit Parkinson. Termasuk di dalamnya, frekuensi kedipan mata, iritasi permukaan ocular,
halusinasi visual, blepharospasm dan penurunan daya konvergensi. Derajat abnormalitas
dalam neuro-ophtalmological, dikaitkan dengan progresifitas penyakit. Terapi dengan obatobat dopaminergik, secara umum meningkatkan perubahan ini, namun dalam salah satu

penelitian dikemukakan bahwa tidak terdapat perbedaan dalam kelainan neuroophtalmological antara periode ON dan OFF pada pasien penyakit Parkinson. Abnormalitas
lain bidang neuro-ophtalmological termasuk apraxia dalam membuka mata, oculogyric crises
dan keterbatasan dalam memandang keatas.
Gangguan respirasi pada pasien dengan penyakit Parkinson dapat merupakan suatu kelainan
yang restriktif maupun obstruktif. Komplikasi ini sangat penting dikaitkan dengan morbiditas
dan mortalitas; pneumonia merupakan faktor prediksi dalam mortalitas pasien yang
membutuhkan perawatan dirumah. Gangguan respirasi bentuk obstruktif mungkin dikaitkan
dengan adanya rigiditas, arthrosis servikal atau pergerakan yang terbatas pada leher,
sedangkan gangguan respirasi bentuk restriktif mungkin dikaitkan dengan adanya rigiditas
pada dinding dada.
Gejala Non-motorik(1)
Disfungsi Otonom
Kegagalan fungsi otonom saat ini merupakan gejala klinik penyakit Parkinson, meskipun
secara tipikal sering dihubungkan dengan MSA. Gejalanya antara lain; hipotensi ortostastik,
disfungsi dalam sekresi keringat, disfungsi proses miksi dan disfungsi ereksi.
Abnormalitas Fungsi Kognitif dan Neurobehaviour
Gangguan neuropsikiatrik dapat mengganggu sama halnya seperti gejala motorik. Studi yang
dilakukan oleh Sydney Multicenter of Parkinson Disease menunjukkan bahwa 84% pasien
mengalami penurunan fungsi kognitif yang setelah diikuti selama 15 tahun, 48% diantaranya
memenuhi criteria diagnosis untuk demensia. Prospektif studi lainnya menunjukkan bahwa
pasien penyakit Parkinson memiliki resiko enam kali lipat lebih besar untuk terjadinya
demensia dikemudian hari. Penyakit Parkinson yang dihubungkan dengan terjadinya
demensia juga dihubungkan komorbiditas neuropsikiatri. Diantara 537 pasien, depresi
(58%), apatis (54%), anxietas (49%) dan halusinasi (44%) merupakan hal yang tersering
dilaporkan. Sehubungan dengan disfungsi afektif dan kognitif, banyak pasien dengan
penyakit Parkinson dilaporkan memiliki tingkah laku obsesif-kompulsif dan impulsive.
Gejala tingkah laku ini terkadang merupakan gejala hedonistic homeostatic dysregulation.
Disfungsi kognitif dan tingkah laku pada pasien penyakit Parkinson, belum dapat dimengerti
sepenuhnya.
Gangguan Tidur
Meskipun gangguan tidur (misalnya; tidur yang berlebihan, serangan tidur) untuk sebagian
besar dianggap berasal dari efek terapi farmakologis, beberapa klinikus saat ini percaya
bahwa hal ini merupakan satu bagian integral dari penyakit Parkinson. Hal ini didukung oleh
adanya suatu observasi yang menunjukkan adanya rapid eye movement (REM) dalam
gangguan tidur, yang terdapat setidaknya pada 1/3 (sepertiga) pasien dengan penyakit
Parkinson. Gangguan tidur REM, saat ini telah dianggap sebagai pre-parkinsonian state, yang

ditandai dengan peningkatan mimpi buruk; seperti bicara dalam tidur, berteriak, menyumpah,
memukul, menendang dan hal lainnya yang melibatkan aktifitas motorik. Insomnia, juga
terdapat (dengan prevalensi > 50%) dalam frekuensi yang berbeda-beda di setiap pasien.
Abnormalitas Sistem Sensorik
Gejala sensorik seperti disfungsi olfaktorik, nyeri, parestesi, akathisia, nyeri daerah mulut dan
nyeri pada regio genitalia merupakan gangguan terbanyak namun sekaligus sering tidak
dikenali sebagai gejala Parkinsonian. Dalam salah satu studi ditemukan bahwa disfungsi
system olfaktori (hiposmia) mungkin merupakan tanda dini dari penyakit Parkinson, hal ini
dikorelasikan dengan meningkatnya resiko sebanyak 10% terhadap terjadinya penyakit dalam
2 tahun kemudian. Telah didalilkan bahwa disfungsi olfaktori dihubungkan dengan hilangnya
neuron di area kortikomedial amigdala, atau hilangnya neuron dopaminergik di bulbus
olfaktorius.
DIAGNOSIS BANDING dan PEMERIKSAAN PENUNJANG(1)

Gangguan Parkinsonian dapat diklsifikasikan menjadi empat tipe: primary (idiopathic)


parkinsonism, secondary (acquired, symptomatic) parkinsonism, heredodegenerative
parkinsonism dan multiple system degeneration (parkinsonism plus syndromes). Beberapa
gejala klinik seperti tremor, gaya berjalan yang abnormal (seperti, freezing), instabilitas
postural, gejala-gejalapiramidal lain yang responsive dengan pemberian levodopa, dapat
digunakan sebagai pembeda penyakit Parkinson dengan gangguan parkinsonian lainnya.
Meskipun adanya perbedaan kepadatan reseptor dopamine postsinaptik pada pasien dengan
penyakit Parkinson atau gangguan atypical Parkinsonian lainnya telah dikemukakan sebagai
penjelasan terhadap lemahnya respon terhadap pengobatan dengan levodopa, hal ini bukan
merupakan satu-satunya penjelasan. Baru-baru ini positron emission tomografi menunjukkan
adanya preservasi relatif reseptor dopamine pada PSP, yang diduga memiliki peranan
terhadap penurunan respon terapi dengan levodopa. Lebih jauh lagi, pasien dengan MSA
pada awalnya memiliki respon yang sempurna, namun kemudian terjadi orofacial diskinesia
dan hilangnya kemanjuran antiparkinsonian terkait dengan pemberian levodopa. Meskipun
adanya perbaikan dengan levodopa diduga kuat sebagai penyakit Parkinson, namun tidak
berarti hal ini dapat sepenuhnya membedakan penyakit Parkinson dari penyakit parkinsonian
lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 77% pasien yang memiliki respon sempurna
terhadap terapi dengan levodopa, secara patologik merupakan pasien dengan penyakit
Parkinson. Injeksi subkutan apomorfin telah digunakan untuk membedakan penyakit
Parkinson dengan gangguan parkinsonian lainnya; namun bagaimanapun test ini tidaklah
lebih unggul dibandingkan uji levodopa dan memiliki kontribusi yang kecil dalam evaluasi
diagnostic.
Tehnik neuroimaging juga dapat berguna dalam mendiagnosis penyakit Parkinson. Seperti
MRI, [18F]-fluorodopa positron emission tomografi, [11C]-eaclopride imaging of dopamine D2
receptors dan single photon emission computed tomografi dari striatal dopamine re-uptake.
Satu penelitian mengungkapkan bahwa sonografi parenkim otak mungkin memiliki
spesifikasi yang tinggi dalam membedakan penyakit Parkinson dengan atypical

parkinsonism; walau bagaimanapun, hyperechogenicity yang abnormal dapat ditemukan


tidak hanya pada penyakit Parkinson, melainkan juga pada tremor essential.
Kriteria Diagnostik oleh UK Parkinsons Disease Society Brain Bank (1)

Step 1
Bradikinesia
Setidaknya 1 dari criteria di bawah ini :
Rigiditas
Resting tremor 4-6 Hz
Instabilitas postural yang tidak disebabkan oleh gangguan primer visual, vestibular, cerebellar
ataupun gangguan proprioseptif
Step 2
Singkirkan penyebab lain Parkinsonism
Step 3
Setidaknya tiga dari faktor pendukung di bawah ini :
Onset unilateral
Resting tremor
Kerusakan progresif
Asimetris primer persisten sejak onset
Respon sempurna (70-100%) dengan levodopa
Chorea (diskinesia) berat diakibatkan penggunaan levodopa
Respons terhadap levodopa dalam 5 tahun atau lebih
Terdapat gejala klinis selama 10 tahun atau lebih
Kriteria Diagnostik Berdasar National Institute of Neurological Disorders
and Stroke (NINDS) (1)

Group A (Gejala khas penyakit Parkinson)

Resting tremor
Bradikinesia
Rigiditas
Onset asimetris
Group B (Kriteria diagnosis alternative)
Manifestasi klinis yang tidak biasa di awal penyakit
Instabilitas postural dalam 3 tahun pertama setelah timbulnya gejala
Freezing fenomena dalam 3 tahun pertama
Halusinasi yang tidak terkait dengan pengobatan dalam 3 tahun pertama
Demensia yang mendahului gejala motorik atau terdapat pada tahun pertama
Supranuclear gaze palsy
Disautomonia simptomatik yang tidak terkait medikasi
Adanya kondisi yang dapat menimbulkan gejala parkinsonism (lesi otak fokal atau
penggunaan obat-obatab neuroleptika dalam 6 bulan terakhir)
Kriteria definitive penyakit Parkinson

Seluruh kriteria yang menunjang Parkinson telah dijumpai


Konfirmasi histopatologi saat dilakukannya otopsi
Kriteria probable penyakit Parkinson

Ditemukan setidaknya 3 dari 4 kriteria grup A


Tidak terdapat salah satu criteria dalam grup B
Respons terhadap levodopa ataupun dopamine agonis yang lamban
Kriteria possible penyakit Parkinson

Setidaknya 2 dari 4 kriteria grup A dijumpai


Tidak terdapat salah satu criteria dalam grup B

Respons terhadap levodopa ataupun dopamine agonis yang sangat lamban


PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan Non-Farmakologis
Dukungan dan edukasi merupakan hal sangat kritis saat seorang pasien didiagnosia sebagai
penderita penyakit Parkinson. Pasien harus mengerti bahwa penyakit Parkinson merupakan
penyakit kronik progresif, dengan tingkat progresifitas yang berbeda-beda pada setiap orang,
dan telah banyak pendekatan yang dilakukan untuk memperingan gejala. Adanya group
pendukung yang berisikan pasien penderita Parkinson tahap lanjut, akan lebih membantu
penderita yang baru saja didiagnosa sebagai penderita penyakit Parkinson. Pasien harus
diberikan nasehat mengenai latihan, termasul stretching, strengthening, fitness
kardiovaskular, dan latihan keseimbangan, walaupun hanya dalam waktu singkat. Studi
jangka pendek menyatakan bahwa hal ini dapat meningkatkan kemampuan penderita dalam
melakukan aktifitas sehari-hari, kecepatan berjalan dan keseimbangan.(5)
Penatalaksanaan Farmakologis
Dengan ditegakkannya diagnosis penyakit Parkinson, tidaklah semata-mata memulai terapi
dengan pemberian obat-obatan. Terapi farmakologis dibenarkan jika pasien telah merasa
terganggu dengan gejala-gejala yang ada, atau jika mulai timbul kecacatan; keinginan dan
pilihan pasien merupakan hal yang mendasar dalam membuat keputusan untuk dimulainya
terapi farmakologis.(5)
Jika pasien membutuhkan terapi untuk mengatasi gejala motorik, maka obat paling tepat yang
digunakan untuk memulai terapi adalah levodopa, agonis dopamine, antikolinergik,
amantadine dan selektif monoamine oxidase B (MAO-B) inhibitors. Kecuali untuk
dilakukannya perbandingan pada individu dengan pemakaian agonis dopamine dan levodopa,
dalam hal ini tidak terdapat perbedaan yang kuat mengenai keunggulan 2 obat tersebut,
namun pengalaman secara klinik menunjukkan bahwa obat-obat dopaminergik lebih poten
dibandingkan antikolinergik, amantadine dan selektif monoamine oxidase B (MAO-B)
inhibitors. Dengan adanya alasan inilah obat-obat dopaminergik digunakan sebagai terapi
inisial. Guidelines dari the American Academy of Neurology dan evidence-based menurut
Movement Disorder Society menyatakan bahwa terapi inisial dengan menggunakan
levodopa atau agonis dopamine, memiliki alasan yang dapat diterima.(5)
Levodopa
Levodopa merupakan precursor dopamine, diyakini merupakan obat antiparkinsonian yang
paling efektif. Dalam percobaan yang membandingkan efektifitas levodopa dan agonis
domain, yang dilakukan secara random, menunjukkan peningkatan ADL dan motorik
sebanyak 40-50% dengan penggunaan levodopa. Levodopa dalam penggunaannya
dikombinasikan dengan peripheral decarboxylase inhibitor seperti carbidopa, untuk
mengurangi terjadinya dekarboksilasi levodopa, sebelum mencapai otak. Tersedia dalam

bentuk immediate-release dan controlled-release. Carbidopa plus levodopa dikombinasikan


dengan catechol O-methyltransferase inhibitor, entacapone, merupakan satu preparat lain,
yang di produksi untuk menciptakan suatu prolong aksi, dengan mencegah terjadinya
metilasi.(5)
Banyak alasan yang mendasari terjadinya kegagalan terapi dengan menggunakan levodopa,
termasuk di dalamnya; penggunaan yang tidak sesuai index respons seperti tremor, dosis
yang tidak adekuat, durasi terapi yang tidak adekuat, dan interaksi obat (mis; penggunaan
levodopa bersamaan dengan metoclopramide, atau risperidone). Percobaan dengan levodopa
harus digunakan selama 3 bulan, dengan peningkatan dosis bertahap, setidaknya 1000 mg per
hari (bentuk immediate-release) atau sampai dosis limitasi yang menampakkan efek
merugikan sebelum pasien tidak memiliki respon lagi terhadap pengobatan dengan levodopa.
Karena kegagalan terapi terhadap dosis terapi levodopa hanya dicapai sebanyak kurang dari
10% pasien yang secara patologi terbukti menderita penyakit Parkinson, maka kegagalan
yang timbul diduga merupakan suatu kemungkinan dari adanya kerusakan lain yang
mengindikasikan tidak adanya terapi farmakologis ataupun terapi pembedahan yang
menguntungkan.(5)
Agonis Dopamin
Meskipun agonis dopamine kurang efektif dibandingkan dengan levodopa, obat-obatan ini
merupakan obat first-line alternative dalam terapi penyakit Parkinson. Bermacam-macam
agonis dopamine memiliki efektifitas yang hampir mirip. Salah satu keuntungan yang
potensial dari obat ini dibandingkan dengan levodopa ialah rendahnya resiko untuk terjadinya
diskinesia dan fluktuasi fungsi motorik sebagai efek terapi, dalam 1 hingga 5 tahun
pengobatan, khususnya pada pasien yang mendapatkan agonis dopamine sebagai pengobatan
tunggal. Namun bagaimanapun, sering dibutuhkan penggunaan kombinasi dari agonis
dopamine dan levodopa selama beberapa tahun setelah diagnosis ditegakkan, untuk
mengontrol gejala-gejala lanjutan. Agonis dopamine dihindari pemakaiannya pada pasien
dengan demensia, karena kecenderungan obat ini dalam menimbulkan halusinasi.(5)
Obat-obat agonis dopamine yang lama dikenal, seperti bromokriptine dan pergolide,
merupakan derivate ergot yang jarang menimbulkan fibrosis retroperitoneal, pleural dan
pericardial. Baru-baru ini dilaporkan mengenai hubungan antara penggunaan pergolide
dengan terjadinya penebalan dan disfungsi katup-katup jantung. Hasil echocardiografi pada
pasien dengan penggunaan pergolide jangka panjang menunjukkan adanya penyakit restriktif
valvular dengan resiko 2 sampai 4 kali lipat lebih besar dibandingkan pasien penyakit
Parkinson yang tidak mendapat terapi dengan pergolide. Dengan adanya peristiwa ini, agonis
dopamine tidak diberikan yang berasal dari derivate ergot; seperti pramipexole dan
ropinirole.(5)
Obat-obatan Lainnya

Secara umum, antikolinergik tidak digunakan sebagai pengobatan dalam penyakit Parkinson,
dikarenakan efeknya yang merugikan. Namun begitu, obat-obatan golongan ini kadang
ditambahkan jika gejala tremor dirasa sangat mengganggu dan tidak responsive dengan
pengobatan lain, meskipun sesungguhnya, fakta di lapangan menunjukkan kekurang-efektifan
obat ini dalam mengurangi tremor. Obat golongan antikolinergik merupakan kontraindikasi
pada pasien dengan demensia dan biasanya dihindari penggunaannya pada pasien yang
berusia lebih dari 70 tahun. MAO inhibitor dan amantadine memiliki beberapa efek yang
merugikan dan membutuhkan peningkatan titrasi sedikit demi sedikit untuk mencapai dosis
terapetik. Namun Karen efek dari obat-obatan ini cenderung lemah, maka obat ini tidak
digunakan sebagai obat tunggal dalam pengobatan.(5)
Terapi Pembedahan
Thalamotomy dan thalamic stimulationdeep brains timulation (DBS) dengan implantasi
elektodadapat merupakan terapi yang mujarab dalam mengatasi tremor pada penyakit
Parkinson, ketika sudah tidak ada lagi respon dengan pengobatan non-surgikal. Pallidotomy,
pallidal deep brain stimulation dapat mengatasi gejala-gejala penyakit Parkinson pada pasien
yang responnya terhadap medikasi antiparkinsonism mengalami komplikasi dengan adanya
fluktuasi fungsi motorik yang memburuk dan diskinesia. Karena indikasi dari terapi surgical
pada tahap dini penyakit tidak ditemui dank arena tindakan yang cukup beresiko serta
membutuhkan biaya yang mahal, maka terapi pembedahan ini tidak mempunyai peran pada
awal penyakit Parkinson.(5)
Terapi Neuroprotektif
Saat ini, belum ditemukan bukti yang mendukung bahwa pemberian neuroprotektif sebagai
terapi memiliki efektifitas. Namun begitu, percobaan klinik menyatakan bahwa selektif
MAO-B inhibitor, agonis dopamine dan coenzyme Q10 mungkin dapat memperlambat
progresivitas penyakit. Masih banyak data yang dibutuhkan untuk menjelaskan efektifitas
neuroprotektif dalam terapi penyakit Parkinson.(5)
Daftar Pustaka
1. Jankovic J. Parkinsons disease: clinical featutes and diagnosis. J Neurol Neurosurg
Psychiatry 2008; 79:368-376.
2. Thomas B, Beal Flint M. Parkinsons disease. Human Molecular Genetics, 2007, Vol. 16,
Review Issue 2.
3.Siderowf A, Stern M. Update on Parkinson Disease. Annals of Internal Medicine,
2003;vol.138: 651-9
4.Lang AE, Lozano AM. Parkinson Disease. The New England Journal of Medicine, 2000.
Vol.339:1130-43

5. Nutt John G, Wooten G. Frederick. Diagnosis and Initial Management of Parkinsons


Disease. The New England Journal of Medicine, 2005;353:1021-7.

Anda mungkin juga menyukai