FEBRUARI 2014
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
REFERAT:
GANGGUAN KONVERSI
LAPSUS:
GANGGUAN CAMPURAN ANXIETAS DAN DEPRESI
OLEH:
Ris Ryani Syahputri
C11111271
Pembimbing:
dr. Yazzit Mahri
Supervisor:
dr. Agus Japari, M.Kes., SpKJ
LEMBAR PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:
Nama / NIM : Ris Ryani Syahputri
C11111271
Mengetahui,
Supervisor
Pembimbing
BAB I
PENDAHULUAN
laboratorium yang sesuai dan tes diagnostic radiografi, tidak ada penjelasan
neurologis ada untuk gejala, atau temuan pemeriksaan tidak sesuai dengan keluhan.
Dengan kata lain, gejala gangguan medis organic atau gangguan dalam fungsi
neurologis yang normal tidak berkaitan dengan penyebab medis atau neurologis
organic.(2)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Definisi
Gangguan konversi (conversion disorders) menurut DSM-IV didefinisikan
sebagai suatu gangguan yang ditandai oleh adanya satu atau lebih gejala neurologis
(sebagai contohnya paralisis, kebutaan, dan parastesia) yang tidak dapat dijelaskan
oleh gangguan neurologis atau medis yang diketahui. Disamping itu diagnosis
mengharuskan bahwa faktor psikologis berhubungan dengan awal atau eksaserbasi
gejala. Adapun menurut PPDGJ III gangguan konversi atau disosiatif adalah adanya
kehilangan (sebagian atau seluruh) dari integrasi normal antara: ingatan masa lalu,
kesadaran akan identitas dan penghayatan segera (awareness of identity and
immediate sensations), dan kendali terhadap gerakan tubuh. (3,6)
2.2.
Epidemiologi
Gangguan konversi bukan merupakan gangguan psikiatri yang umum,
namun tidak jarang ditemukan. Suatu komunits melaporkan bahwa insiden tahunan
gangguan konversi adalah 22 per 100.000. Di antara populasi khusu, keberadaan
gangguan konversi bahkan dapat lebih tinggi dari itu bahkan mungkin membuat
gangguan konversi menjadi gangguan somatoform yang paling lazim ditemukan
pada beberapa populasi.(3)
Rasio perempuan banding laki-laki di antara pasien dewasa adalah
sedikinya 2:1 dan paling tinggi 10:1 pada anak bahkan terdapat predominasi yang
lebih tinggi pada anak perempuan. Laki-laki dengan penggunaan konversi biasanya
pernah mengalami kecelakaan kerja atau militer. Gangguan konversi dapat
memiliki awitan kapanpun dari masa kanak hingga usia tua, tetapi lazim pada masa
remaja dan dewasa muda. Data menunjukkan bahwa gangguan konversi adalah
gangguan yang paling lazim di antara populasi pedesaan, orang dengan sedikit
edukasi, orang dengan IQ rendah, orang dalam kelompok sosioekonomi rendah,
dan anggota militer yang telah terpajang situasi perang. Gangguan konversi lazim
dikaitkan dengan diagnosismkomorbid gangguan depresi berat, gangguan anxietas,
dan skizofrenia.(3,4)
2.3.
Etiologi
Faktor Psikoanalitik. Menurut teori psikoanalitik, gangguan konversi
disebabkan oleh represi konflik intrapsikis yang tidak disadari dan konversi
anxietas menjadi suatu gejala fisik. Konflik tersebut adalah antara impuls
berdasarkan insting (contohnya agresi atau seksualitas) dan larangan pengungkapan
ekspresi. Gejalanya memungkinkan ekspresi parsial keinginan atau dorongan
terlarang, tetapi menyamarkannya sehingga pasien dapat menghindari secara sadar
untuk menghadapi impuls yang tidak dapat diterima tersebut yaitu gejala gangguan
konversi memiliki hubungan simbolik dengan konflik yang tidak disadari. Gejala
gangguan konversi juga memungkinkn pasien menyampaikan bahwa mereka
membutuhkan perhatian atau perlakuan khusus. Gejala tersebut dapat berfungsi
sebagai cara nonverbal untuk mengendalikan atau memanipulasi orang lain.(3)
Factor Biologis. semakin banyak data yang mengaitkan fakor biologis dan
neuropsikologis di dalam timbulnya gejala gangguan konversi. Studi pencitraan
otak sebelumnya menemukan adanya hipometabolisme hemisfer dominan dan
hipermetabolisme hemisfer nondominan dan mengaitkan hubungan hemisfer yang
terganggu sebagai penyebab gangguan konversi. Gejalanya dapat disebabkan oleh
bangkitan korteks berlebihan yang mematikan lengkung umpan balik negative
antara korteks serebri dengan formasio retikularis batang otak. Selanjutnya,
peningkatan kadar keluaran kortikofugal menghambat kesadaran pasien akan
sensasi yang berkaitan dengan tubuh, yang pada sebagian pasien dengan gangguang
konversi dapat menjelaskan adanya defisit sensorik yang dapat diamati.(3)
2.4.
Gejala Klinis
Gejala konvesi menunjukkan gangguan neurologi dari system sensorik atau
motorik yang paling umum : paresis, kelumpuhan, aphonia, kejang, kebutaan, dan
anestesi. Gangguan konversi mungkin paling sering disertai gangguan kepribadian
pasif-agresif, dependen, anti social, dan histrionic. Gejala gangguan depresif dan
anxietas sering dapat meneyrtai gejala gangguan konversi, dan pasien ini memiliki
rasio bunuh diri.
Gejala sensorik. Pada gangguan konversi, anesthesia dan paresthesia
adalah gejala yang lazim ditemukan, terutama pada ekstremitas. Semua modalitas
sensorik dapat terlibat dan distribusi gangguan biasanya tidak konsisten dengan
distribusi gangguan pada penyakit neurologis perifer maupun pusat. Gejala
gangguan konversi dapat melibatkan organ indera khusus dan dapat menimbulkan
tuli, buta, serta penglihatan trowongan (tunnel vision). Gejala ini dapat unilateral
atau bilateral, tetapi evaluasi neurologis menunjukkan jaras sensorik yang intak.
Gejala motorik. Gejala motorik meliputi gerakan abnormal, gangguan
berjalan, kelemahan, dan paralisis. Tremor ritmis yang kasar, gerakan koreiform,
tic, dan sentakan dapat ada. Gerakan tersebut umumnya memburuk ketika orang
memperhatikan mereka. Satu gangguan berjalan yang terlihat pada gangguan
konversi adalah astasia-abasia. Selain itu yang lazim ditemukan juga adalah
paralisis dan paresis yang mengenai satu, dua, atau keempat ekstremitas, walaupun
distribusi otot terkena yang tidak sesuai dengan jaras saraf. Reflex tetap normal
yaitu pasien tidak mengalami fasikulasi atau atrofi otot (kecuali setelah paralisis
konversi yang berlangsung lama), temuan elektromiografi normal.
Gejala kejang. Dimana kejang semu adalah gejala lain gangguan konversi.
Selama serangan, ditandai dengan keterlibatan otot-otot truncal dengan opistotonus
dan kepala atau badan berputar kea rah lateral. Semua ekstremitas mungkin
menunjukkan gerakan meronta-ronta, yang mungkin akan meningkatkan intensitas
jika pengekangan diterapkan. Sianosis jarang terjadi kecuali pasien dengan sengaja
menahan napas mereka. Klinisi dapat merasa sulit membedakan kejang semu
dengan kejang yang sesungguhnya hanya dengan pengamatan klinis saja. Lebih
jauh lagi, kira-kira sepertiga kejang semua pasien memiliki gangguan epileptic.
Menggigit lidah, inkontinensia urin, dan cedera stelah jatuh dapat terjadi jika pasien
memiliki pengetahuan medis tentang penyakit. Gejala ini berbeda dengan kejang
yang sebenarnya, dimana pseudoseizure terutama terjadi di hadapan orang lain dan
bukan ketika pasien sendirian atau tidur. Reflex pupil dan muntah tetap ada setelah
kejang semu dan konsentrasi prolactin psien tidak mengalami peningkatan setelah
kejang.
Menurut PPDGJ-III, gejala utama dari gangguan konversi adalah adanya
kehilangan (sebagian atau seluruh) dari integritas normal (dibawah kendali
kesadaran) antara :
Diagnosis
yang
mungkin
sangat
berbeda
dengan
kepribadian
pramorbidnya.
Gangguan konversi sementara terjadi pada masa kanak dan remaja
Gangguan Disosiatuf lainnya YDT
g. F44.9 Gangguan konversi YTT
2.7.
Komplikasi
2.8.
Mutilasi diri
Gangguan seksual
Alkoholisme
Depresi
Gangguan saat tidur,mimpi buruk, insomnia atau berjalan sambil tidur
Gangguan kecemasan
Gangguan makan
Sakit kepala berat
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dengan menggali kondisi fisik dan neurologiknya. Bila
tidak ditemukan kelainan fisik, perlu dijelaskan pada pasien dan dilakukan
pendekatan psikologik terhadap penanganan gejala-gejala yang ada. Penanganan
penyakit ini sebagai berikut:
Terapi obat. Terapi ini sangat baik untuk dijadikan penangan awal, walaupun
tidak ada obat yang spesifik dalam menangani gangguan konversi ini. Biasanya
pasien diberikan resep berupa anti-depresan dan obat anti-cemas untuk
membantu mengontrol gejala mental pada gangguan konversi ini.
Barbiturat kerja sedang dan singkat, seperti
tiopental, dan
natrium amobarbital diberikan secara intravena dan
Benzodiazepine seperti lorazepam 0,5-1 mg tab (bersama dengan saran bahwa
gejala cenderung dikirim pada satu jam atau lebih) dapat berguna untuk
memulihkan ingatannya yang hilang.
Amobarbital atau lorazepam parental
Pengobatan terpilih untuk fugue disosiatif adalah psikoterapi psikodinamika
suportif-ekspresif.
Hipnosis menciptakan keadaan relaksasi yang dalam dan tenang dalam pikiran.
Saat terhipnotis, pasien dapat berkonsentrasi lebih intensif dan spesifik. Karena
pasien lebih terbuka terhadap sugesti saat pasien terhipnotis. Ada beberapa
konsentrasi yang menyatakan bahwa bisa saja ahli hipnotis akan menanamkan
memori yang salah dalam mensugesti.
Psikoterapi adalah penanganan primer terhadap gangguan konversi ini. Bentuk
kelakuan yang negatif dan tidak sehat dan menggantikannya dengan yang
positif dan sehat, dan semua tergantung dari ide dalam pikiran untuk
mendeterminasikan apa yang menjadi perilaku pemeriksa.
2.9.
Prognosis
Umumnya prognosisnya baik. Faktor yang terkait dengan prognosis yang
2.10.
Pencegahan
Anak- anak yang secara fisik, emosional dan seksual mengalami gangguan,
sangat beresiko tinggi mengalami gangguan mental yang dalam hal ini adalah
gangguan konversi. Jika terjadi hal yang demikian, maka bersegeralah mengobati
secara sugesti, agar penangan tidak berupa obat anti depresan ataupun obat anti
stress, karena diketahui bahwa jika menanamkan sugesti yang baik terhadap usia
belia, maka nantinya akan didapatkan hasil yang maksimal, dengan penangan yang
minimal.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Secara umum gangguan konversi (dissociative disorders) bisa didefinisikan
sebagai adanya kehilangan ( sebagian atau seluruh) dari integrasi normal (dibawah
kendali sadar) meliputi ingatan masa lalu, kesadaran identitas dan penginderaan
segera (awareness of identity and immediate sensations) serta kontrol terhadap
gerak tubuh.
Gangguan konversi bukanlah penyakit yang umum ditemukan dalam
masyarakat. Dalam beberapa studi, mayoritas dari kasus gangguan konversi ini
mengenai wanita 90% atau lebih, Gangguan konversi bisa terkena oleh orang di
belahan dunia manapun, walaupun struktur dari gejalanya bervariasi.
Ada beberapa penggolongan dalam gangguan konversi, antara lain adalah
Amnesia Disosiatif, Fugue Disosiatif, Stupor Disosiatif, Gangguan Trans dan
Kesurupan, Gangguan Motorik Disosiatif, Konvulsi disosiatif dan juga Anestesia
dan Kehilangan Sensorik Disosiatif.
Penatalaksanaan dengan menggali kondisi fisik dan neurologiknya. Terapi
obat. sangat baik untuk dijadikan penangan awal, walaupun tidak ada obat yang
spesifik dalam menangani gangguan konversi ini. Biasanya pasien diberikan resep
berupa anti-depresan dan obat anti-cemas untuk membantu mengontrol gejala
mental pada gangguan konversi ini. Bila tidak ditemukan kelainan fisik, perlu
DAFTAR PUSTAKA
1. Maramis, W.F. Gangguan Disosiatif (Konversi). Ilmu Kedokteran jiwa.
Surabaya: Airlangga University Press
2. Marshall SA, Bienenfeid D., et all. Conversion Disorder. Medscape
Reference. http:/emedicine.medscape.com/article/287464overview#showall. Updated at Jun 26, 2013.
3. Sadock, B. J., & Sadock, V. A. (2007). Kaplan & Sadocks Synopsis of
Psychiatry Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York.
Lippincot William&Wilkins
4. Jerald Kay, Tasman Allan. Convertion Disorder. Essential of Psychiatry.
Library of Congress Cataloging-in-Publication Data. New York; 2006
5. Loewenstein, Richard J. Share, Mackay MD. Convertion Disorder. Review
of General Psychiatry, 5th edition by Vishal
6. Maslim, Rusdi. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas
dari PPDGJ III, Jakarta; 2001
7. Rubin, Eugene H. Zorumski, Charles F. Convertion Disorder, Adult
Psychiatry, second edition. Blackwell Publishing; 2005
8. Tasman, Allan. First, B Michael. Convertion Disorder, Clinical Guide to the
Diagnosis and Treatment of Mental Disorder. New York. Wiley; 2006