I.Pendahuluan
Seiring dengan perkembangan dunia perekonomian dalam era globalisasi
membuat persaingan dunia bisnis semakin kompetitif dan kompleks. Keadaan ini
menuntut para manajemen perusahaan agar dapat mengelola perusahaannya
secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh
perusahaan. Disamping persaingan yang semakin ketat, masalah yang mungkin
dihadapi oleh perusahaan tidak hanya berasal dari faktor eksternal, namun tidak
sedikit masalah-masalah yang justru timbul disebabkan oleh faktor internal
perusahaan.
Pada dasaarnya pengendalian intern perusahaan didesain sebaik mungkin
supaya aktivitas perusahaan dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Salah satu
komponen pengendalian internal menurt COSO (Comitte of Sponsoring
Organization) adalah penaksiran risiko yang berarti identifikasi entitas dan
analisis terhadap risiko yang relevan untuk mencapai tujuannya, membentuk suatu
dasar untuk menentukan bagaimana risiko harus dikelola (SPAP, 2004).
Kecurangan (fraud) yang terjadi di lingkungan perusahaan masih sering terjadi
dan terkadang sulit diatasi. Kecurangan biasanya tidak hanya dilakukan oleh
karyawan pada tingkat bawah, tetapi juga dapat dilakukan oleh jajaran direksi
(top manajemen) baik secara individual ataupun secara bersama sama. Kesadaran
yang tinggi dari pegawai dapat berfungsi sebagai pencegah dan pendeteksi
kecurangan karena potensi pelaku penipuan menyadari bahwa mudah bagi
individu untuk melaporkan kecurigaan mereka. Suatu hasil kajian menujukkan
lebih banyak kecurangan terdeteksi melalui informasi dari sesama pegawai dari
pada yang ditemukan oleh auditor (Setianto dkk, 2008). Semua pegawai harus
merasa disadarkan bahwa teman sekerja atau teman diluar lingkungan kerjanya
ikut mengawasi (others are watching). Teman sekerjanya diberi kesempatan untuk
melaporkan adanya gejala kecurangan walaupun tanpa harus menyebut namanya
(anonymous).
Pada dasarnya, mendeteksi kecurangan dan evaluasi adalah salah satu
tugas dari seorang auditor internal tetapi semua pihak yang terlibat dalam
organisasi juga berperan dalam hal itu. Pengendalian intern juga harus terus
dilakukan perbaikan karena sistem dapat menjadi kurang sesuai yang disebabkan
perubahan kondisi operasi organisasi (Hartati, 1997). Seorang whistleblower
dinilai sebagai orang yang paling efektif yang mampu mendeteksi secara dini
segala hal yang berkaitan dengan indikasi kecurangan (fraud) dalam suatu
perusahaan. Sehingga memberikan peluang bagi perusahaan untuk secara lebih
awal melakukan langkah-langkah koreksi dan mitigasi yang diperlukan untuk
menganmankan asset, reputasi, dan risiko kerugian yang mnugkin timbul.
Salah satu bentuk pengendalian intern dalam mencegah atau mengungkap
tindak kecurangan dalam suatu perusahaan yaitu dengan diterapkannya
whistleblowing system. Adapun tujuan whistleblowing ini adalah untuk
menyediakan suatu panduan bagi organisasi yang ingin membangun, menerapkan
dan
mengelola
sutu
Sistem
Pelporan
Pelanggaran
atau
disebut
juga
penelitian yang dilakukan oleh Titaheluw pada tahun 2011 mengenai penerapan
sistem whistleblowing terhadap pencegahan fraud menyimpulkan bahwa sistem
whistleblowing bukanlah satu-satunya cara yang dapat digunakan dalam
mencegah terjadinya fraud, terdapat pula faktor-faktor lain yang dapat mencegah
terjadinya fraud.
Penelitian yang dilakukan oleh Nurjaman (2011) mengenai pemberian
kompensasi
yang
sesuai
dalam
memunculkan
whistleblower
terhadap
yang
sesuai
dalam
memunculkan
whistleblower
terhadap
Kajian Pustaka
Whistleblowing System
Dalam rangka melakukan pengawasan internal perusahaan, inisiatif ini
membuat sebuah whistleblowing system. Sistem ini disusun sebgaai salah satu
upaya unuk mencegah terjadinya pelanggaran dan kejahatan di internal
perusahaan. Sistem ini disediakan agar para karyawannya atau orang di luar
perusahaan dapat melaporkan kejahatan yang dilakukan di internal perusahaan.
Sistem ini disediakan agar para karyawannya atau orang di luar perusahaan dapat
melaporkan kejahatan yang dilakukan di internal perusahaan, pembuatan
whistleblowing ini mencegah kerugian yang diderita perusahaan, serta untuk
meyelamatkan usaha mereka. Sistem yang dibangun yang akan dibangun ini akan
memberikan
faat
bagi
penigkatan
pelaksanaan
corporate
governance
(Semendawai, 2011).
Whistleblowing system dapat digunakan oleh perusahaan manapun dalam
mengembangkan manual sistem pelaporan pelanggaran di masing-masing
perusahaan. Whistleblowing system menyediakan akses 24 jam -365 hari setahun
yang dilengkapi dengan interviewer yang handal, agar whistleblower dapat
melaporkan suatu pelanggaran atau tindak pidana, tentu diperlukan saluran
komunikasi langsung khusus kepada pemimpin eksekutif atau Dewan Komisaris.
Misalnya, melalui nomor telepon tertentu, hotline khusus, email, atau saluran
komunikasi yang lain. Saluran komunikasi itu tentu juga perlu disosialisasikan
kepada pekerja sehingga sistem pelaporan dapat diketahui dan berjalan lebih
efektif ( Semendawai dkk, 2011).
Menurut
Srividhya
dan
Shelly
(2012)
menjelaskan
mengenai
whistleblowing yaitu:
Whistleblowing is an increasingly common element of regulatory enforcement
programs. Whistleblowing is basically an act of alerting the higher ups and the
society about endanger. Whistleblowing may be internal or external. Internal
whistleblowing is to report to the boss/higher-up, while external whistleblowing is
to inform to mass media and society about such.
diam
dari
karywan.
Beberapa
manfaat
dari
penyelenggaraan
Meningkatnya
reputasi
perusahaan
dimata
pemangku
kepentingan
eksternal tentang hal-hal yang tidak etis dan ilegal yang terjadi di lingkungan
kerjanya disebut whistleblowing (Semendawai dkk, 2011).
Perlindungan dan konteks Hukum Whistleblower di Indonesia
Whistleblower diatur dalam UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban serta kemudian diikuti dengan Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan terhadap Pelapor Tindak Pidana
(Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang bekerja sama (Justice collabolator). Surat
Edaran Mahakamah Agung RI tersebut diterbitkan dengan mendasarkan
pengaturan Pasal 10 UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban.
Menurut
Hertanto
(2009)
menjelaskan
mengenai
perlindungan
Semendawai,
dkk
(2011)
menyatakan
bahwa
hak-hak
whistleblower yang juga seorang saksi (pelapor) telah diatur dalam UU No. 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Berikut ini adalah hak-hak
whistleblower:
1.Memperoleh perlindungan dan lembaga perlindungan saksi. Bahkan, keluarga
yang aman (safe house), pelayanan psikologis, dan biaya hidup selama masa
perlindungan.
2.Memberikan keterangan atau kesaksian mengenai suatu pelanggaran atau
kejahatan yang diketahui dengan bebas, tanpa rasa takut atau terancam.
3.Mendapatkan informasi mengenai tindaklanjut atau perkembangan penanganan
Lembaga Perlindungan Saksi terhadap pelanggaran atau kejahatan yang telah
diungkap.
4.Mendapatkan balas jasa atau reward dari negara atau kesaksian yang telah
diungkap karena kesaksian mampu membongkar suatu kejahatan yang lebih besar.
Jenis-jenis Whistleblowing
Menurut hertanto (2009) whistleblowing dikategorikan menjadi dua jenis
sebagai berikut:
a. Whistleblowing internal
b. Whistleblowing eksternal
Dari kedua jenis whistleblowing diatas, dapat disimpulkan bahwa
whistleblowing internal terjadi ketika seorang karyawan mengetahui kecurangan
yang dilakukan karyawan kemudian melaporkan kecurangan tersebut kepada
pihak internal yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi. Sedangkan
whistleblower eksternal terjadi ketika seorang karyawan mengetahu kecurangan
yang dilakukan oleh perusahaan lalu membocorkannya kepada masyarakat karena
kecurangan itu akan merugikan masyarakat sehingga dapat dikatakan sebagai
tindakan kewarganegaraan yang baik.
Kriteria Whistleblower
Menurut Semendawai, dkk (2011) seorang whistleblower harus memenuhi
dua kriteria mendasar, yaitu :
1.Kriteria pertama, whistleblower menyampaikan atau mengungkapkan laporan
umumnya
kecurangan
dapat
berupa
pencurian
(theft),
Menurut SAS 99 (AU316) yang dikutip oleh Arens, et al. (2008) terdapat
tiga faktor seseorang melakukan kecurangan yang dikenal sebagai fraud triangel,
yaitu:
1.Pressure (tekanan)
Tekanan ekonomi merupakan salah satu faktor yang mendorong seorang berani
melakukan tindak kecurangan . Hal ini terjadi biasanya dikarenakan jaminan
kesehjateraan yang ditawarkan perusahaan atau organisasi tempat dia bekerja
kurang atau pola hidup sederhana sehingga si pelaku terus-menerus merasa
kekurangan. Namun tekanan juga dapat berasal dari lingkungan tempatnya
bekerja, seperti lingkungan kerja yang tidak menyenangkan, karyawan merasa
tidak diperlakukan secara adil, adanya proses penerimaan pegawai yang tidak fair.
2.Oppotunity (kesempatan)
Merupakan faktor yang sepenuhnya berasal dari luar individu, yakni berasal dari
organisasi sebagai korban perbuatan kecurangan. Kesempatan melakukan
kecurangan selalu ada pada setiap kedudukan. Dengan kedudukan yang dimiliki,
si pelaku merasa memiliki kesempatan untuk mengambil keuntungan. Ditambah
lagi dengan sistem pengendalian internal dari organisasi yang kurang memadai.
3.Rationalization (rasionalisasi)
Sipelaku merasa memiliki alasan yang kuat yang menjadi dasar untuk
membenarkan apa yang dia lakukan. Serta mempengaruhi pihak lain untuk
menyetujui apa yang dia lakukan. Bentuk-bentuk indikasi kecurangan dapat
timbul yang diakibatkan lemahnya atau tidak memadainya pengendalian intern
perusahaan seperti yang diungkapkan oleh Karni (2000), menyatakan pendapatnya
tentang faktor pendorong atau indikasi terjadinya kecurangan sebagai berikut :
1. Lemahnya pengendalian internalwhistleblowing
2. Tekanan keuangan terhadap seseorang
3. Tekanan nonfinancial
4.Indikasi lain
Pembahasan
Pada
umumnya,
whistleblower
akan
melaporkan
kejahatan