Anda di halaman 1dari 13

WHISTLEBLOWING SYSTEM: Upaya Pengungkapan

Kecurangan dalam Perusahaan


Elfrida Friska S
Ekonomi Universitas Sriwijaya
ABSTRACT

I.Pendahuluan
Seiring dengan perkembangan dunia perekonomian dalam era globalisasi
membuat persaingan dunia bisnis semakin kompetitif dan kompleks. Keadaan ini
menuntut para manajemen perusahaan agar dapat mengelola perusahaannya
secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh
perusahaan. Disamping persaingan yang semakin ketat, masalah yang mungkin
dihadapi oleh perusahaan tidak hanya berasal dari faktor eksternal, namun tidak
sedikit masalah-masalah yang justru timbul disebabkan oleh faktor internal
perusahaan.
Pada dasaarnya pengendalian intern perusahaan didesain sebaik mungkin
supaya aktivitas perusahaan dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Salah satu
komponen pengendalian internal menurt COSO (Comitte of Sponsoring
Organization) adalah penaksiran risiko yang berarti identifikasi entitas dan
analisis terhadap risiko yang relevan untuk mencapai tujuannya, membentuk suatu
dasar untuk menentukan bagaimana risiko harus dikelola (SPAP, 2004).
Kecurangan (fraud) yang terjadi di lingkungan perusahaan masih sering terjadi
dan terkadang sulit diatasi. Kecurangan biasanya tidak hanya dilakukan oleh
karyawan pada tingkat bawah, tetapi juga dapat dilakukan oleh jajaran direksi
(top manajemen) baik secara individual ataupun secara bersama sama. Kesadaran
yang tinggi dari pegawai dapat berfungsi sebagai pencegah dan pendeteksi
kecurangan karena potensi pelaku penipuan menyadari bahwa mudah bagi
individu untuk melaporkan kecurigaan mereka. Suatu hasil kajian menujukkan

lebih banyak kecurangan terdeteksi melalui informasi dari sesama pegawai dari
pada yang ditemukan oleh auditor (Setianto dkk, 2008). Semua pegawai harus
merasa disadarkan bahwa teman sekerja atau teman diluar lingkungan kerjanya
ikut mengawasi (others are watching). Teman sekerjanya diberi kesempatan untuk
melaporkan adanya gejala kecurangan walaupun tanpa harus menyebut namanya
(anonymous).
Pada dasarnya, mendeteksi kecurangan dan evaluasi adalah salah satu
tugas dari seorang auditor internal tetapi semua pihak yang terlibat dalam
organisasi juga berperan dalam hal itu. Pengendalian intern juga harus terus
dilakukan perbaikan karena sistem dapat menjadi kurang sesuai yang disebabkan
perubahan kondisi operasi organisasi (Hartati, 1997). Seorang whistleblower
dinilai sebagai orang yang paling efektif yang mampu mendeteksi secara dini
segala hal yang berkaitan dengan indikasi kecurangan (fraud) dalam suatu
perusahaan. Sehingga memberikan peluang bagi perusahaan untuk secara lebih
awal melakukan langkah-langkah koreksi dan mitigasi yang diperlukan untuk
menganmankan asset, reputasi, dan risiko kerugian yang mnugkin timbul.
Salah satu bentuk pengendalian intern dalam mencegah atau mengungkap
tindak kecurangan dalam suatu perusahaan yaitu dengan diterapkannya
whistleblowing system. Adapun tujuan whistleblowing ini adalah untuk
menyediakan suatu panduan bagi organisasi yang ingin membangun, menerapkan
dan

mengelola

sutu

Sistem

Pelporan

Pelanggaran

atau

disebut

juga

Whistleblowing system. Panduan ini sifatnya generik, sehingga perusahaan bisa


mengembangkan sendiri sesuai kebutuhan dan keunikan perusahaan masingmasing. Diharapkan pedoman ini akan memberikan manfaat bagi peningkatan
pelaksanaan corporate governance di Indonesia. Selain itu melalaui sistem ini
diharapkan dapat meningkatkan tingkat partisipasi karyawan dalam melaporkan
pelanggaran.
Pada dasarnya, dalam sistem pelaporan dan perlindungan, ada kewajiban
yang harus dipenuhi oleh seorang whistleblower untuk memberi laporan atau
kesaksian dan mendapatkan perlindungan. Misalnya, hal yang diungkap oleh
whistleblower haruslah fakta dan bukan gosip atau isu semata. Motif seseorang

sebagai whistleblower dapat bermacam-macam, mulai dari motif itikad baik,


menyelamatkan lembaga/perusahaan, persaingan pribadi atau bahkan paersoalan
pribadi. Bagi pengembangan sistem ini yang terpenting adalah seseorang tersebut
melaporkan untuk mengungkap kejahatan atau pelanggaran yang terjadi di
perusahaannya bukan motifnya (Semendawai dkk, 2011). Whistleblowing system
yang efektif akan mendorong partisipasi masyarakat dan karyawan perusahaan
untuk lebih berani bertindak dalam mencegah terjadinya kecurangan dan korupsi
dengan melaporkannya ke pihak yang dapat menanginya. Ini berarti
whistleblowing system mampu untuk mengurangi budaya diam menuju ke arah
budaya kejujuran dan keterbukaan. (Semendawai dkk, 2010).
Di Indonesia, Kesadaran terhadap pentingnya sistem pelaporan dan
perlindungan terhadap whistleblower mulai meningkat. Beberapa lembaga, seperti
Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) yang terus mempromosikan
praktik-praktik tata kelola yangbaik (good governance) termasuk disektor swasta.
Perusahaan-perusahaan besar dan memiliki manajemen yang baik juga sudah
mulai menerapkan sistem pelaporan untuk menerima laporan dari karyawan atau
whistleblower. Negara sendiri telah mempersiapkan berbagai perangkat peraturan
perundang-undangan termasuk LPSK (Lembanga Perlindungan Saksi dan
Korban) untuk melakukan perlindungan tersebut. Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA) tersebut diterbitkan dengan mendasarkan pengaturan Pasal 10 UU No.
13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Adapun penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Titaheluw (2011) yang
berjudul Pengaruh Penerapan Sistem Whistleblowing Terhadap Pencegahan
Fraud pada studi kasus yang ditelitinya yaitu PT Telkom Tbk. Hasil penelitiannya
adalah bahwa sistem whistleblowing berpengaruh sighifikan terhadap pencegahan
fraud .
Penelitian Terdahulu
Ada beberapa hasil penelitian terdahulu yang menjelaskan mengenai
whistleblowing system seperti yang menjadi topik dalam makalah ini. Dalam

penelitian yang dilakukan oleh Titaheluw pada tahun 2011 mengenai penerapan
sistem whistleblowing terhadap pencegahan fraud menyimpulkan bahwa sistem
whistleblowing bukanlah satu-satunya cara yang dapat digunakan dalam
mencegah terjadinya fraud, terdapat pula faktor-faktor lain yang dapat mencegah
terjadinya fraud.
Penelitian yang dilakukan oleh Nurjaman (2011) mengenai pemberian
kompensasi

yang

sesuai

dalam

memunculkan

whistleblower

terhadap

pengungkapan kecurangan pada PT. PLN, menyimpulkan bahwa adanya pengaruh


antara kesesuaian kompensasi untuk memunculkan whistleblower terhadap
pengungkapan kecurangan yang signifikan.
Penelitian yang dilakukan oleh Rizki (2012) mengenai pemberian
kompensasi

yang

sesuai

dalam

memunculkan

whistleblower

terhadap

pengungkapan kecurangan pada AIA Group Financial Kanwil I, menyimpulkan


bahwa adanya pengaruh antara kesesuaian kompensasi untuk memunculkan
whistleblower terhadap pengungkapan kecurangan yang signifikan.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh, menyimpulkan bahwa terdapat
pengaruh efektivitas sistem whistleblowing terhadap upaya pengungkapan
kecurangan manajemen melalui pemberian motivasi dinyatakan positif, berarti
menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif antara efektivitas sistem
whistleblowing terhadap upaya peningkatan kecurangan manajemen. Melalui
pemberian motivasi, artinya apabila pemberian motivasi meningkat maka
efektivitas sistem whistleblowing akan meningkat lebih baik pula dan akan
meningkatkan upaya pengungkapan kecurangan manajemen.

Kajian Pustaka
Whistleblowing System
Dalam rangka melakukan pengawasan internal perusahaan, inisiatif ini
membuat sebuah whistleblowing system. Sistem ini disusun sebgaai salah satu
upaya unuk mencegah terjadinya pelanggaran dan kejahatan di internal
perusahaan. Sistem ini disediakan agar para karyawannya atau orang di luar
perusahaan dapat melaporkan kejahatan yang dilakukan di internal perusahaan.
Sistem ini disediakan agar para karyawannya atau orang di luar perusahaan dapat
melaporkan kejahatan yang dilakukan di internal perusahaan, pembuatan
whistleblowing ini mencegah kerugian yang diderita perusahaan, serta untuk
meyelamatkan usaha mereka. Sistem yang dibangun yang akan dibangun ini akan
memberikan

faat

bagi

penigkatan

pelaksanaan

corporate

governance

(Semendawai, 2011).
Whistleblowing system dapat digunakan oleh perusahaan manapun dalam
mengembangkan manual sistem pelaporan pelanggaran di masing-masing
perusahaan. Whistleblowing system menyediakan akses 24 jam -365 hari setahun
yang dilengkapi dengan interviewer yang handal, agar whistleblower dapat
melaporkan suatu pelanggaran atau tindak pidana, tentu diperlukan saluran
komunikasi langsung khusus kepada pemimpin eksekutif atau Dewan Komisaris.
Misalnya, melalui nomor telepon tertentu, hotline khusus, email, atau saluran
komunikasi yang lain. Saluran komunikasi itu tentu juga perlu disosialisasikan
kepada pekerja sehingga sistem pelaporan dapat diketahui dan berjalan lebih
efektif ( Semendawai dkk, 2011).
Menurut

Srividhya

dan

Shelly

(2012)

menjelaskan

mengenai

whistleblowing yaitu:
Whistleblowing is an increasingly common element of regulatory enforcement
programs. Whistleblowing is basically an act of alerting the higher ups and the
society about endanger. Whistleblowing may be internal or external. Internal
whistleblowing is to report to the boss/higher-up, while external whistleblowing is
to inform to mass media and society about such.

Whistleblowing merupakan salah satu elemen dalam program penegakan


peraturan. Pada dasarnya whistleblowing adalah tindakan yang memebahayakan.
Whistleblowing dapat berasal baik dari dalam ataupun dari luar. Whistleblowing
yang berasal dari luar adalah untuk menginformasikan kepada media masa dan
masyarakat tentang tindakan yang membahayakan.
Berdasarkan definisi diatas, maka whistleblowing itu sendiri (pengaduan
pelanggaran) merupakan sarana komunikasi bagi pihak internal perusahaan untuk
melaporkan perbuatan/perilaku/kejadian yang berhubungan dengan tindakan
fraud, pelanggaran terhadap hukum, peraturan peruhasahaan, kode etik, dan
benturan kepentingan yang dilakukan oleh pelaku di internal perusahaan. Tujuan
dari sistem pelaporan pelanggaran (whistleblowing system):
1.Sebagai sarana bagi pelapor untuk melaporkan tindakan fraud, pelanggaran
terhadap hukum, peraturan perusahaan, kode etik tanpa rasa takut atau kwatir
karena dijamin kerahasiannya
2. Agar fraud yang terjadi dapat dideteksi dan dicegah sedini mungkin.
Manfaat Whistleblowing
Menurut survey dari Institute of Busines Ethics (2007) menyimpulkan
bahwa satu dari empat karyawan mengetahui kejadian pelanggaran, tetapi lebih
dari separuh (52%) dari yang mengetahui kejadian pelanggaran tersebut tetap
diam dan tidak berbuat sesuatu.
Melalui whistleblowing system ini diharapkan dapat meningkatkan partisipasi
karyawan dalam melaporkan pelanggaran dan mengurangi keenggenan dan
budaya

diam

dari

karywan.

Beberapa

manfaat

dari

penyelenggaraan

whistleblowing system yang baik antara lain adalah:


1. Tersedianya cara penyampaian informasi penting dan kristis bagi perusahaan
kepada pihak yang harus segera menanganinya secara aman.
2.Timbulnya keengganan untuk melakukan pelanggaran, dengan semakin
meningkatnya kesediaan untuk melaporkan terjadinya pelanggaran, karena
kepercayaan terhadap sistem pelaporan yang efektif.

3. Tersedianya mekanisme deteksi dini (early warning system) atas kemungkinan


terjadinya masalah akibat suatu pelanggaran.
4. Tersedianya kesempatan untuk menangani masalah pelanggaran secara internal
terlebih dahulu, sebelum meluas menjadi masalah pelanggaran yang bersifat
publik.
5. Mengurangi risiko yang dihadapi organisasi, akibat dari pelanggaran baik dari
segi keuangan, operasi, hukum, keselamatan, kerja dan reputasi.
6. Mengurangi biaya dalam menangani akibat dari terjadinya pelanggaran.
7.

Meningkatnya

reputasi

perusahaan

dimata

pemangku

kepentingan

(stakeholder), regulator dan masyarakat umum.


Memberikan masukan kepada perusahaan untuk melihat lebih jauh area kritikal
dan proses kerja yang memiliki kelemahan pengendalian internal, serta untuk
merancang tindakan perbaikan yang diperlukan.
Whistleblower
Whistleblower biasanya ditujukan kepada seseorang yang pertama kali
mengungkap atau melaporkan suatu tindak pidana atau tindakan yang dianggap
ilegal di tempatnya bekerja atau orang lain berada, kepada otoritas unternal
organisasi atau kepada publik seperti media massa atau lembaga pemantau publik
(Semendawai dkk, 2011). Menurut SEMA Nomor 4 Tahun 2011, whistleblower
diartikan sebagai pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu
dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Syarat
dari seorang whistleblower dalam konsep ini adalah memiliki informasi, bukti,
atau indikasi yang akurat mengenai terjadinya pelanggaran yang dilaporkannya
dan itikad baik serta bukan merupakan suatu keluhan pribadi atas suatu kebijakan
perusahaan tertentu ataupun didasari oleh kehendak buruk atau fitnah sehingga
informasi yang diungkap, dapat ditelusuri atau ditindaklanjuti. Whistleblower
sangat membantu perusahaan dan stakeholder dalam memberantas kecurangan
yang terjadi (Semendawai dkk, 2011). Sedangkan tindakan pekerja yang
memutuskan untuk melaporkan kepada media, kekuasaan internal maupun

eksternal tentang hal-hal yang tidak etis dan ilegal yang terjadi di lingkungan
kerjanya disebut whistleblowing (Semendawai dkk, 2011).
Perlindungan dan konteks Hukum Whistleblower di Indonesia
Whistleblower diatur dalam UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban serta kemudian diikuti dengan Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan terhadap Pelapor Tindak Pidana
(Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang bekerja sama (Justice collabolator). Surat
Edaran Mahakamah Agung RI tersebut diterbitkan dengan mendasarkan
pengaturan Pasal 10 UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban.
Menurut

Hertanto

(2009)

menjelaskan

mengenai

perlindungan

whistleblower sebagai berikut:


Pengaturan mengenai perlindungan whistleblower (pengungkap fakta/pelapor)
secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan saksi dan korban, Pasal 10 Ayat (1) menyebutkan bahwa Seorang
saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun
perdata atas laporan kesaksian yang akan sedang atau telah diberikan.
Aturan yang dimuat dalam Pasal 10 Ayat (1) UU No. 13 Tahun 2006 ini
menjadi ambigu dan bersifat kontradiktif terdapat pasal yang sama tidak dapat
dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim
dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
Menurut

Semendawai,

dkk

(2011)

menyatakan

bahwa

hak-hak

whistleblower yang juga seorang saksi (pelapor) telah diatur dalam UU No. 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Berikut ini adalah hak-hak
whistleblower:
1.Memperoleh perlindungan dan lembaga perlindungan saksi. Bahkan, keluarga

whistleblower pun bisa memperoleh perlindungan. Bentuk perlindungan pun


bermacam-macam. Misalnya, mendapat identitas baru, tempat kediaman baru

yang aman (safe house), pelayanan psikologis, dan biaya hidup selama masa
perlindungan.
2.Memberikan keterangan atau kesaksian mengenai suatu pelanggaran atau
kejahatan yang diketahui dengan bebas, tanpa rasa takut atau terancam.
3.Mendapatkan informasi mengenai tindaklanjut atau perkembangan penanganan
Lembaga Perlindungan Saksi terhadap pelanggaran atau kejahatan yang telah
diungkap.
4.Mendapatkan balas jasa atau reward dari negara atau kesaksian yang telah
diungkap karena kesaksian mampu membongkar suatu kejahatan yang lebih besar.
Jenis-jenis Whistleblowing
Menurut hertanto (2009) whistleblowing dikategorikan menjadi dua jenis
sebagai berikut:
a. Whistleblowing internal
b. Whistleblowing eksternal
Dari kedua jenis whistleblowing diatas, dapat disimpulkan bahwa
whistleblowing internal terjadi ketika seorang karyawan mengetahui kecurangan
yang dilakukan karyawan kemudian melaporkan kecurangan tersebut kepada
pihak internal yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi. Sedangkan
whistleblower eksternal terjadi ketika seorang karyawan mengetahu kecurangan
yang dilakukan oleh perusahaan lalu membocorkannya kepada masyarakat karena
kecurangan itu akan merugikan masyarakat sehingga dapat dikatakan sebagai
tindakan kewarganegaraan yang baik.
Kriteria Whistleblower
Menurut Semendawai, dkk (2011) seorang whistleblower harus memenuhi
dua kriteria mendasar, yaitu :
1.Kriteria pertama, whistleblower menyampaikan atau mengungkapkan laporan

kepada otoritas yang berwenang. Dengan mengungkapkan kepada otoritas yang


berwenang diharapkan dugaan suatu kejahatan dapat diungkapkan dan terbongkar.

2.Kriteria kedua, seorang whistleblower orang dalam, yaitu orang yang

mengungkapkan dugaan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi di tempatnya


bekerja atau ia berada. Karena skandal kejahatan selalu terorganisir, maka seorang
whistleblower kadang merupakan bagian dari pelaku kejahatan sendiri.
Pengertian Kecurangan (Fraud)
Pada

umumnya

kecurangan

dapat

berupa

pencurian

(theft),

penyembunyian (concealment), dan pengalihan (convertion) barang curian


kedalam bentuk lain. Menurut Kurt, et al. (2009) pengertian kecurangan (fraud)
adalah sebagai berikut :
Fraud is any intentional act or omission designed to deceive others, resulting in
the victim suffering a loss and/or the perpetrator achieving a gain.
Maksud kecurangan dari kutipan tersebut adalah setiap tindakan yang disengaja
atau kelalaian yang dirancang untuk menipu orang lain, sehingga korban
menderita kerugian dan/atau pelaku mendapat keuntungan.
Menurut The Institute of Interm Auditor yang dikutip oleh Karni (2000)
pengertian kecurangan adalah sebagai berikut :
Kecenderungan mencakup suatu ketidakberesan dan tindak ilegal yang
bercirikan penipuan yang disengaja yang dapat dilakukan untuk dimanfaatkan
atau kerugian organisasi oleh orang diluar atau didalam organisasi.
Dari beberapa definisi diatas, maka dapat disimpulkan kecurangan ialah
suatu penyimpangan atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan secara
sengaja untuk tujuan tertentu. Menipu atau memberikan yang keliru untuk
keuntungan pribadi atau kelompok secara tidak fair, baik secara langsung maupun
tidak langsung merugikan pihak lain.

Faktor Terjadi Kecurangan (Fraud)

Menurut SAS 99 (AU316) yang dikutip oleh Arens, et al. (2008) terdapat
tiga faktor seseorang melakukan kecurangan yang dikenal sebagai fraud triangel,
yaitu:
1.Pressure (tekanan)

Tekanan ekonomi merupakan salah satu faktor yang mendorong seorang berani
melakukan tindak kecurangan . Hal ini terjadi biasanya dikarenakan jaminan
kesehjateraan yang ditawarkan perusahaan atau organisasi tempat dia bekerja
kurang atau pola hidup sederhana sehingga si pelaku terus-menerus merasa
kekurangan. Namun tekanan juga dapat berasal dari lingkungan tempatnya
bekerja, seperti lingkungan kerja yang tidak menyenangkan, karyawan merasa
tidak diperlakukan secara adil, adanya proses penerimaan pegawai yang tidak fair.
2.Oppotunity (kesempatan)

Merupakan faktor yang sepenuhnya berasal dari luar individu, yakni berasal dari
organisasi sebagai korban perbuatan kecurangan. Kesempatan melakukan
kecurangan selalu ada pada setiap kedudukan. Dengan kedudukan yang dimiliki,
si pelaku merasa memiliki kesempatan untuk mengambil keuntungan. Ditambah
lagi dengan sistem pengendalian internal dari organisasi yang kurang memadai.
3.Rationalization (rasionalisasi)

Sipelaku merasa memiliki alasan yang kuat yang menjadi dasar untuk
membenarkan apa yang dia lakukan. Serta mempengaruhi pihak lain untuk
menyetujui apa yang dia lakukan. Bentuk-bentuk indikasi kecurangan dapat
timbul yang diakibatkan lemahnya atau tidak memadainya pengendalian intern
perusahaan seperti yang diungkapkan oleh Karni (2000), menyatakan pendapatnya
tentang faktor pendorong atau indikasi terjadinya kecurangan sebagai berikut :
1. Lemahnya pengendalian internalwhistleblowing
2. Tekanan keuangan terhadap seseorang
3. Tekanan nonfinancial
4.Indikasi lain

Pembahasan

Whistleblowing system Pengungkapan Kecurangan dalam Perusahaan


Salah satu bentuk pengendalian internal dalam mencegah atau
mengungkap tindak kecurangan dalam suatu perusahaan yaitu dengan
diterapkannya whistleblowing system mengenai Good Corporate Governance
(GCG). Whistleblowing system dapat digunakan oleh perusahaan manapun untuk
mengembangkan manual sistem pelaporan pelanggaran di masing-masing
perusahaan.

Pada

umumnya,

whistleblower

akan

melaporkan

kejahatan

dilingkungannya kepada otoritas internal terlebih dahulu. Namun seorang


whistleblower tidak berhenti melaporkan kejahatan kepada otoritas internal saja
tetapi dapat melaporkan kejahatan kepada otoritas yang lebih tinggi, semisal
langsung ke dewan direksi, komisaris, kepala kantor, atau kepada otoritas publik
di luar organisasi yang berwenang serta media massa. (Semendawai dkk, 2011).
Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (2008) salah satu
manfaat dari penyelenggaraan whistleblowing system yang baik adalah timbulnya
keengganan untuk melakukan pelanggaran, dengan semakin meningkatnya
kesediaan untuk melaporkan terjadinya pelanggaran, karena kepercayaan terhadap
sistem pelaporan yang efektif. Sedangkan menurut Setianto, dkk (2008) untuk
mencegah fraud triangel karena terkait dengan pengendalian intern perusahaan,
maka tindakan yang harus dilakukan dengan cara :
a. Menerapakan pengendalian intern yang baik, good control environment, good
accounting system, good control procedure.
b. Menekan timbulnya kolusi dengan sistem vacation, job transfer (tour of duty)
atau cuti.
c. Mengingatkan pihak luar (vendor dan contractor) untuk mewaspadai kickback
dan macam-macam pemberian, bahwa perusahaan mempunyai right to audit.
d. Memantau terus menerus pelaksanaan tugas pegawai.
e. Menciptakan whistleblowing system: pedoman untuk pegawai atau orang lain
untuk dapat mengadukan adanya gejala kecurangan.
f. Memberikan hukuman yang setimpal bagi pelaku.
g. Melaksanakan proactive fraud auditing.

Menurut COSO (The Comittee of Sponsoring Organizations of The


Treadway Commission) dalam salah satu komponen struktur pengendalian intern
yang harus dilaksanakan, yaitu: aktivitas pengendalian (control activities/control
procedures). Di dalam aktivitas pengendalian terdapat lima prosedur yang harus
ada yaitu: pemisahan tugas, sistem otoritas, penegcekan independen, pengamanan
fisik, dokumentasi dan pencatatan. Dan di dalam pengecekan independen, semua
pegawai dapat menyadari bahwa akan selalu ada orang lain yang mengecek dan
memantau pekerjaannya (Setianto dkk, 2008). Sistem ini dapat dilakukan melalui:
a. Pemberian libur secara periodik.
b. Rotasi atau tour of duty secara periodik.
c. Pemeriksaan fisik secara rutin.
d. Review oleh Supervisor.
e. Informasi dari sesama pegawai (employe hotline) melalui whistleblowing
system.
f. Pemeriksaan oleh auditor internal maupun eksternal.
Dengan adanya penerapan whistleblowing system di suatu perusahaan yang
merupakan wadah bagi seorang whistleblower dalam mencegah atau mengungkap
kecurangan yang terjadi di dalam perusahaan. Penerapan whistleblowing system
merupakan salah satu bentuk dari pengendalian internal perusahaan dalam
meminimalisir dan menekan risiko yang mungkin terjadi.

Anda mungkin juga menyukai