PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah tanah
adalah
masalah
yang sangat
menyentuh keadilan karena sifat tanah yang langka dan
terbatas, dan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia,
tidak selalu mudah untuk merancang suatu kebijakan
pertanahan yang dirasakan adil untuk semua pihak. Suatu
kebijakan yang memberikan kelonggaran yang lebih besar
kepada sebagian kecil masyarakat dapat
dibenarkan
apabila
diimbangi
dengan
kebijakan serupa
yang
1
ditujukan kepada kelompok lain yang lebih besar.
Di Indonesia pada saat ini sudah semakin maju peraturanperaturan yang mengatur tentang pertanahan, tetapi pada
kenyataannya masih ditemui masyarakat pedesaan atau
bisa dikatakan masyarakat adat yang belum mengerti
dengan peraturan-peraturan mengenai tanah yang berlaku
di Negara Republik Indonesia. Hal ini menyebabkan masih
banyaknya tanah yang belum terdaftar di Kantor
Pertanahan.
Minimnya bukti kepemilikan atas tanah menjadi salah
satu penyebab minimnya proses pendaftaran hak atas
tanah. Hal lain yang menjadi penyebab adalah minimnya
pula pengetahuan masyarakat akan arti pentingnya bukti
kepemilikan hak atas tanah. Proses pembuatan sertipikat itu
mereka harus memiliki surat-surat kelengkapan untuk tanah
yang mereka miliki. Tanah yang dimiliki masyarakat
pedesaan atau masyarakat adat itu dimiliki secara turun
temurun dari nenek moyang mereka, surat kepemilikan
tanah yang mereka miliki sangat minim sekali bahkan ada
yang tidak memiliki sama sekali.
Untuk memberikan suatu bentuk jaminan akan adanya
kepastian hukum atas kepemilikan tanah bagi seseorang
adalah dengan dilakukannya suatu pendaftaran hak atas
tanah yang tertuang dalam Pasal 19 Undang-undang Pokok
Agraria. Pendaftaran tanah bertujuan memberikan kepastian
akan hak atas tanah. Kepastian mengenai siapakah yang
memegang hak tersebut; dimanakah letak tanah yang
bersangkutan; hak apakah yang melekati tanah yang
1 Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan
Implementasi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005, hlm. 19.
10
Contoh petuk D
Masyarakat di Kabupaten Bangli banyak yang tidak
memiliki petuk D, hal ini salah satunya dikarenakan kurang
mengertinya masyarakat didaerah tersebut akan pentingnya
petuk D sebagai dasar dari pengusaan bidang tanah. Untuk
itu bagi masyarakat yang tidak memiliki petuk D sebagai
alas hak dalam pembuatan sertipikat, Kantor Pertanahan
Kabupaten
Bangli
mewajibkan
untuk
melengkapi
dokumen/berkas permohonan pensertipikatan tanah dengan
melampirkan Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang
11
Tanah (SPPF).
BAB IV
SURAT PERNYATAAN PENGUASAAN FISIK BIDANG TANAH
SEBAGAI ALAS HAK DI KABUPATEN BANGLI
12
1. bTeitnyraSPFgdku pcnembad(sitr)ok
2. aKugnrteliypkdsmobanhgikSPF
3. aTendrjyipsmultghakidSPF
AdapuenkhblirgSytPuasnkF(i)
eKhblani
-
DaptmenguriylhkwoKpaDesnrPmilthdgujawbksecrpntyagmkbudSntPer siF().
14
eKmalhn
-
SeringatdjyuPskF(Si)gand,hlerutbypcanmkd(sir)oteygbankhlirSutPeygasnkF()dprbiSueytPgasnkF()li.
Berdasknplji,tmughySernPaskFi(u)cpldergnbashktuipegnaobyh.HlidtegrcunmaSPyskFi()dhblenarutpkiygwdalmhnetupKDsLrlamkntoiyesudgpr,amnlhkweydtiapngruewldisa/HmkrpnebtguSayP sknFi().
15
16
BAB IV
UPAYA KANTOR PERTANAHAN UNTUK LEBIH MEMASTIKAN
KEBENARAN ALAS HAK
Meskipun Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami
perubanahan hingga keempat kalinya, namun sampai saat ini
tuntutan rakyat terhadap lahirnya undang-undang yang
mengatur hak milik atas tanah sebagai penjabaran UUD 1945,
belum terwujud. Dalam kaitannya dengan pembangunan dan
upaya gigih pemerintah untuk mendorong investasi, tanah selalu
disisihkan dari nilai-nilai tanah itu sendiri yang justru merupakan
sumber kehidupan manusia. Maraknya pencabutan hak atas
tanah yang tidak diiringi dengan ganti rugi yang layak, justru
menjadi sebab kemiskinan semakin banyak. Para spekulan tanah
selalu bergentayangan untuk memperoleh tanah yang semurahmurahnya serta menjualnya dengan harga yang tinggi. Persoalan
lainnya ketika pemilik tanah datang ke lembaga peradilan untuk
meminta keadilan dan kepastian kepemilikan tanah, justru
banyak para hakim yang cenderung berpihak kepada pihak yang
kuat atau pemerintah. Dalam pelaksanaan pembangunan,
pemerintahpun cenderung memihak pemilik modal atau investor.
Semuanya jelas merupakan bentuk ketidakadilan dan rakyat
merasa tidak ada lagi jaminan perlindungan hak milik atas
tanah.16
Berangkat dari pemikiran tersebut, demi terciptanya kepastian
hukum atas tanah diperlukan pembenahan-pembenahan serta
kebijakan yang memihak kepada rakyat. Upaya kantor
pertanahan untuk meminimalisir terjadinya konflik di kemudian
hari salah satunya dengan upaya lebih memastikan kebenaran
alas hak sebagai dasar pendaftaran tanah. Upaya-upaya tersebut
antara lain:
1. Memastikan kelengkapan berkas permohonan pendaftaran
tanah terutama kelengkapan alas hak yang digunakan
2. Pada saat pengukuran harus dipastikan aparat desa
mengetahui pengukuran tersebut yang menunjukkan surat
pernyataan yang dibuat benar-benar asli
3. Dengan dibuatkannya surat pemberitahuan pengukuran
yang ditujukan kepada kepala desa dan para penyanding
batas agar pada saat pengukuran semua pihak yang
16 Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika,
Jakarta, 2007, hlm. 5-6.
17
di
atas
dapat
ditarik
(SPPF) bermasalah
permohonan hak.
tidak
bisa
lolos
dalam
proses
DAFTAR PUSTAKA
Effendie, Bachtiar, 1993, Kumpulan Tulisan Tentang Hukum
Pertanahan, Bandung, Alumni.
Karjadi, M, 1979, Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (s. 1941,
no. 44) RIB (HLR), Bogor, Olitea.
Laksamana, Rofiq; Sitorus, Oloan, 2007. Materi Pokok MKK
73206/3 SKS/MODUL I-IX, Hukum Agraria, Yogyakarta, STPN
Press.
Santoso, Urip, 2010,
Jakarta,Kencana.
Atas
Tanah
dan
19
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara
aPeturnmihNo.24197gadrftTn
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang No. 51 Tahun
1960 Tentang : Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin Yang
Berhak Atau Kuasanya.
aPeturnMiNgA/KpBldahsonmr3uT1e97tgKalkPsnrmih2N4o.ut19e7agndPfT
20