Anda di halaman 1dari 4

TINJAUAN PUSTAKA

Peritonitis Bakterial Spontan pada Anak


dengan Sindrom Nefrotik
Sudung O. Pardede, Henny Adriani Puspitasari
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas IndonesiaRS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia

ABSTRAK
Peritonitis bakterial spontan adalah salah satu infeksi yang dapat terjadi pada anak dengan sindrom nefrotik, serta meningkatkan mortalitas
dan morbiditas. Komplikasi ini biasanya terjadi pada 2 tahun pertama sejak gejala klinis muncul. Kerentanan terhadap infeksi berhubungan
dengan berbagai faktor. Organisme penyebab peritonitis bakterial spontan pada umumnya adalah bakteri Gram positif, terutama Streptococcus
pneumoniae, dan bakteri Gram negatif, terutama E. coli. Diagnosis peritonitis bakterial spontan didasarkan pada terdapatnya gejala inflamasi
peritoneum, cairan peritoneum yang keruh, jumlah sel cairan peritoneum >100 /L atau hitung neutrofil polimorfonuklear >50 sel/L,
disertai biakan cairan peritoneum positif, dan biakan darah positif. Pemberian antibiotik merupakan terapi utama peritonitis bakterial spontan.
Pencegahan adalah dengan mengobati sindrom nefrotik dengan adekuat dan imunisasi.
Kata kunci: peritonitis bakterial spontan, sindrom nefrotik, infeksi bakteri

ABSTRACT
Spontaneous bacterial peritonitis is serious infection in children with nephrotic syndrome, with high mortality and morbidity. This complication
occurs within 2 years after the first clinical manifestation. Susceptibility to bacterial infection is related to multiple predisposing factors, impaired
immunologic factors, mechanical factors (oedema and ascites), and immunosuppressive therapy. Gram-positive bacteria, mainly Streptococcus
pneumoniae, and Gram-negative bacteria, mainly E. coli, are the most common cause. Diagnosis is based on peritoneal inflammation sign, dark
peritoneal fluid with cell count >100 cells/L or polymorphonuclear cell count >50 cells/L, positive peritoneal fluid culture, and positive blood
culture. Antibiotic is the main treatment. Nephrotic syndrome management and immunization is recommended to prevent spontaneous
bacterial peritonitis. Sudung O. Pardede, Henny Adriani Puspitasari. Spontaneous Bacterial Peritonitis in Children with Nephrotic
Syndrome.
Key words: spontaneous bacterial peritonitis, nephrotic syndrome, bacterial infection

PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik merupakan penyakit ginjal
pada anak yang sering ditemukan, ditandai
dengan kumpulan gejala yang terdiri atas
proteinuria masif, hipoalbuminemia (<2,5 g/
dL), edema, dan hiperkolesterolemia. Sindrom
nefrotik dapat menyebabkan komplikasi
serius yang terdiri atas komplikasi akut dan
komplikasi jangka panjang. Komplikasi
akut yang sering terjadi adalah infeksi dan
tromboemboli,
sedangkan
komplikasi
jangka panjang dapat berupa hipertensi dan
penurunan fungsi ginjal atau gagal ginjal.1
Infeksi pada anak dengan sindrom nefrotik
Alamat korespondensi

biasanya timbul dalam 2 tahun pertama


sejak manifestasi klinis muncul. Sebelum
penggunaan steroid dan antibiotik, angka
kematian anak sindrom nefrotik mencapai
20% mayoritas disebabkan infeksi bakteri.1
Infeksi merupakan komplikasi yang paling
sering terjadi yaitu 83,8% dari semua
komplikasi sindrom nefrotik, terdiri atas infeksi
saluran nafas (28%), infeksi saluran kemih
(22,8%), peritonitis (15,8%), pneumonia (14%),
diare akut (10,5%), empiema (5,3%),2 dan
selulitis. Komplikasi ini biasanya terjadi pada
saat relaps.3-5 Diagnosis peritonitis bakterial
spontan (PBS) pada sindrom nefrotik sering
sulit ditegakkan karena gejala dan tanda

sistemik dapat tersamarkan oleh penggunaan


kortikosteroid.5
Makalah ini dibuat untuk meningkatkan
pemahaman
terhadap
kemungkinan
komplikasi PBS yang dapat terjadi pada
sindrom nefrotik pada anak, sehingga tata
laksananya adekuat.
DEFINISI
Peritonitis bakterial spontan atau peritonitis
primer adalah infeksi peritoneum oleh
bakteri yang berasal dari cairan asites tanpa
adanya penyebab intra-abdomen lain yang
nyata.5 Peritonitis karena sebab lain misalnya

email: suopard@yahoo.com

CDK-203/ vol. 40 no. 4, th. 2013

265

TINJAUAN PUSTAKA
komplikasi dialisis peritoneal tidak termasuk
dalam definisi ini.
Peritonitis bakterial spontan adalah salah satu
komplikasi infeksi yang sering terjadi dengan
tingkat morbiditas serta mortalitas tinggi.2-4
Insidens PBS diperkirakan berkisar antara
1,5% hingga 16% dan kematian diperkirakan
sebesar 1,5%.5
Etiologi
Streptococcus pneumoniae dan Escherichia
coli adalah organisme yang paling sering
menyebabkan peritonitis dan sepsis pada
sindrom nefrotik.2,4,6,23 Bakteri Gram positif
lain penyebab PBS antara lain Enterococcus,
Streptococcus group D, dan Streptococcus
viridans yang sensitif terhadap penisilin,
sedangkan bakteri Gram negatif yang
ditemukan adalah Enterobacter cloacae,
Klebsiella penumoniae, Acinetobacter baumanii,
Neisseria meningitidis, dan Salmonella group
B yang sensitif terhadap aminoglikosida dan
sefalosporin. Pada penelitian retrospektif di
RS Chang Gung tahun 1993-1997, didapatkan
10 episode sepsis dan 8 episode PBS dari 452
kasus rawat inap. Hasil biakan steril didapatkan
pada 4 kasus, sedangkan bakteri Gram positif
dan Gram negatif ditemukan pada masingmasing 7 kasus. 4
Faktor imunologi pada sindrom nefrotik
Anak dengan sindrom nefrotik mengalami
defek imunologis humoral dan selular yang
meningkatkan risiko infeksi. Defek selular
meliputi gangguan sintesis imunoglobulin
dengan hipogammaglobulinemia, penurunan
transformasi limfoblas, peningkatan aktivitas
sel T supresor, dan hipersensitivitas tipe
lambat yang buruk.1,9,10 Defek imunitas
humoral berperan penting dalam kondisi
imunosupresif pada anak sindrom nefrotik
karena terdapat kelainan sistem komplemen.
Kelainan tersebut meliputi depresi konsentrasi
serum faktor I dan B, gangguan pembentukan
komplemen C3b dan opsonisasi.11
Selain albumin yang rendah karena
albuminuria terjadi juga kehilangan protein
melalui urin seperti imunogloblin G (IgG),
faktor I, dan faktor B. Faktor I dan faktor B
berperan dalam jalur alternatif komplemen
yang membantu proses opsonisasi, fagositosis,
dan kekebalan, sehingga defisiensi faktor I
dan faktor B akan menurunkan kemampuan
opsonisasi dan membunuh bakteri.10,14

266

Penelitian Han dkk. (2009) mengenai status


antibodi pada pasien sindrom nefrotik
menunjukkan adanya korelasi antara
kadar albumin dengan kadar IgG. Pada
sindrom nefrotik, didapatkan proteinuria
selektif yang menyebabkan terjadinya
hipoalbuminemia. Keadaan ini kemudian
menyebabkan hipogammaglobulinemia, dan
hipogamaglobulinemia merupakan salah
satu faktor risiko terjadinya infeksi bakteri.11
Penelitian Matsell dan Wyatt (1993) terhadap
22 pasien sindrom nefrotik kelainan minimal
mendapatkan 7 subjek memiliki riwayat
peritonitis dan 15 subjek tanpa riwayat
peritonitis; subjek dengan peritonitis memiliki
peningkatan ekskresi protein I dan B melalui
urin serta penurunan kadar I dan B dalam
plasma, terutama saat relaps.10 Dilaporkan juga
bahwa penurunan kadar faktor B (proaktivator
C3) dan D yang merupakan komponen
jalur alternatif komplemen menyebabkan
penurunan kemampuan opsonisasi bakteri
berkapsul seperti Streptococcus pneumoniae.11
Patogenesis
Peritonitis primer adalah infeksi primer
intraabdominal yang tidak disertai adanya
lesi
intraabdominal.12
Pada
sindrom
nefrotik, terdapat faktor predisposisi yang
menyebabkan sindrom nefrotik rentan
terhadap infeksi. Faktor tersebut antara lain
disfungsi limfosit T, konsentrasi IgG plasma
yang rendah, berkurangnya protein yang
berperan pada jalur komplemen, defek
opsonisasi akibat rendahnya faktor I dan B,
pemberian obat imunosupresan, dan faktor
mekanik seperti edema dan asites.1 ,10,14 Selain
kelainan imunologis, pengobatan sindrom
nefrotik dengan steroid dosis tinggi maupun
imunosupresan lain seperti sitostatik juga
menyebabkan penderita sindrom nefrotik
rentan terhadap infeksi.
Terjadinya infeksi intraabdominal merupakan
resultan patogenisitas bakteri dan mekanisme
pertahanan tubuh pejamu yang dapat
mempengaruhi pertumbuhan, adherensi, atau
invasi bakteri. Beberapa mekanisme terjadinya
infeksi peritonitis pada sindrom nefrotik yaitu:
infeksi langsung dari traktus genitourinarius
(ascending infection), penyebaran melalui
pembuluh darah transdiafragmatikus, migrasi
transmural melalui dinding usus halus, dan
penyebaran secara hematogen melalui
mekanisme translokasi bakteri. Bakteri dari
usus halus bertranslokasi ke kelenjar limfa

mesenterium dan kemudian menyebar


secara hematogen.13 Bakteri memasuki kavum
peritoneum dan menemukan lingkungan
yang sesuai untuk berkembang biak sehingga
memudahkan timbulnya PBS. Asites atau cairan
lain yang ada di kavum peritoneum dapat
menghambat pertahanan tubuh pejamu.
Asites menyebabkan dilusi cairan kaya protein
yang menyebabkan reduksi opsonin, seperti
IgG, komplemen C3, atau mediator inflamasi
lainnya. Selain itu, fagositosis pada cairan
kurang efektif dibandingkan di permukaan
padat12.
Terjadinya
infeksi
peritonitis
dipengaruhi juga oleh meningkatnya jumlah
bakteri anaerob di jejunum, perubahan sawar
usus, dan faktor lain yang mempengaruhi
aliran darah.13
Prediktor
Beberapa manifestasi awal seperti kadar
albumin dan trombosit dapat digunakan
sebagai prediktor timbulnya PBS di kemudian
hari, karena berkaitan dengan meningkatnya
risiko infeksi. Penelitian di Amerika Serikat
tahun 2002, menunjukkan bahwa rata-rata PBS
muncul dalam waktu 1 tahun setelah diagnosis
sindrom nefrotik ditegakkan. Dilaporkan pula
bahwa kadar albumin serum kurang dari 1,5
g/dL pada awal diagnosis memiliki risiko 9,8
kali lebih tinggi untuk mengalami PBS (95%
CI 0,93; 472), dan jumlah trombosit yang lebih
dari 500,000 sel/L mengindikasikan risiko
PBS yang lebih rendah.(OR:0,12; 95% CI 0,002;
1,29).3
Diagnosis
Peritonitis dapat didiagnosis secara klinis dan
dipastikan dengan hasil biakan. Secara klinis,
PBS pada anak sindrom nefrotik ditandai
dengan gejala peritonitis antara lain demam
(95%), nyeri perut (98%) dan mual atau
muntah (71%). Pada pemeriksaan fisik anak
tampak kesakitan, nyeri tekan abdomen, dan
defans muskular. Selain itu dapat juga disertai
hipotensi, hipotermia, dan ileus paralitik,
Nyeri abdomen diperparah oleh gerakan,
konstipasi, abdominal bloating, mual, muntah,
nyeri kepala, dispnu, takipnu, dan dehidrasi.
Dapat terjadi komplikasi berupa terbentuknya
abses peritoneum, perlekatan peritoneum,
ileus paralitik, sepsis, dan syok septik.15 Perlu
waspada terhadap gejala klinis berupa nyeri
abdomen atau nyeri epigastrium karena
sering dianggap atau didiagnosis sebagai efek
samping prednison, padahal gejala tersebut
dapat merupakan gejala klinis PBS.

CDK-203/ vol. 40 no. 4, th. 2013

TINJAUAN PUSTAKA
Secara klinis, diagnosis peritonitis ditegakkan
jika terdapat tanda peritonitis seperti nyeri
abdomen, demam, mual, dan muntah. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan defans muskular
(85%). Hasil laboratorium menunjukkan
leukositosis dengan rerata jumlah leukosit
perifer 21.500/L (median 21.400/L, kisaran
7.100 44.800/L) dengan persentase netrofil
83%. Kondisi tersebut biasanya ditemukan
bersamaan dengan edema dan asites.15
Diagnosis definitif peritonitis membutuhkan
biakan cairan peritoneum. Cairan peritoneum
yang diperoleh dengan pungsi asites tampak
keruh dan pada pemeriksaan laboratorium
menunjukkan uji Rivalta positip, jumlah lekosit
dan kadar protein meningkat. Pada cairan
asites perlu diperiksa dengan pulasan Gram.
Pada banyak kasus PBS, parasentesis diagnostik
sering tidak dapat dilakukan sehingga pasien
diterapi dengan antibiotik empiris tanpa
pemeriksaan cairan peritoneum.5
Diagnosis PBS pada sindrom nefrotik sering
sulit ditegakkan karena gejala dan tanda
sistemik dapat tersamarkan oleh penggunaan
kortikosteroid. Diagnosis peritonitis ditegakkan
jika terdapat gejala klinis peritonitis disertai
satu atau lebih hasil pemeriksaan penunjang,
yaitu: 1. cairan peritoneum berwarna keruh
atau jumlah sel cairan peritoneum >100 sel/
L atau jumlah sel netrofil polimorfonuklear
(PMN) >50 sel/L. 2. Terdapat bakteri dalam
cairan peritoneum ditandai dengan pewarnaan
Gram atau biakan cairan peritoneum positif
atau tes counter-immuno-electrophoreses yang
positif untuk antigen bakteri dari cairan asites;
dan 3. biakan darah positif.15
TATA LAKSANA
Tata laksana non-operatif merupakan terapi
utama pada PBS, terdiri atas pemberian
antibiotik dan terapi suportif. Antibiotik
spektrum luas digunakan pada terapi awal
kemudian disesuaikan menjadi spektrum
yang lebih sempit berdasarkan hasil biakan.
Terapi antibiotik awal merupakan terapi
empiris berdasarkan organisme yang sering
menyebabkan PBS. Terapi empiris yang
biasa diberikan adalah kombinasi golongan
penisilin dan aminoglikosida intravena selama
2 minggu, kemudian disesuaikan dengan hasil

CDK-203/ vol. 40 no. 4, th. 2013

biakan dan uji resistensi Amoksisilin diberikan


dengan dosis 50 mg/kgBB/hari dibagi 3
dosis dan golongan aminoglikosida, antara
lain amikasin dengan dosis 15 mg/kgBB/hari
atau gentamisin dengan dosis 3-5 mg/kgBB/
hari dibagi 2 dosis. Bila dicurigai terdapat
infeksi pneumococcus yang resisten, dapat
diberikan penisilin dosis tinggi. Dapat juga
diberikan antibiotik golongan sefalosporin,
seperti sefotaksim dengan dosis 75-100 mg/
kgbb/hari, seftriakson 75-100 mg/kgBB/
hari, atau seftazidim 50-100 mg/kgBB/hari
Antibiotik golongan vankomisin (30-40 mg/
kgBB/hari), kloramfenikol (75-100 mg/kgBB/
hari), dan imipenem (50 mg/kgBB/hari) efektif
digunakan untuk infeksi oleh Streptococcus
pneumoniae resisten penisilin.7,8,15
Perlu diperhatikan kebutuhan cairan
dan elektrolit serta kalori karena pasien
sering mual muntah dan demam tinggi
yang menyebabkan asupan cairan dan
kalori berkurang dan pengeluaran cairan
dan elektrolit meningkat. Selain itu, perlu
diperhatikan terapi suportif lainnya. Jika
perlu, dapat diberikan terapi simtomatik.
Pemberian obat spasmolitik tidak dianjurkan
dan malah dapat merupakan indikasi kontra.
Pada sindrom nefrotik dengan keadaan
infeksi berat seperti PBS, pemberian steroid
atau prednison perlu dihentikan sementara
atau dosisnya dikurangi atau di-taper-off, dan
dilanjutkan lagi setelah infeksi teratasi.
Beberapa kepustakaan melaporkan kejadian
infeksi pneumococcus resisten penisilin
pada kasus PBS, bahkan angka kejadiannya
meningkat di beberapa daerah. Peningkatan
frekuensi infeksi pneumokokus resisten
penisilin ini mempengaruhi dosis terapi. Pada
tahun 1996, di Amerika Serikat dilaporkan
kasus peritonitis oleh kuman pneumokokus
resisten penisilin. Berdasarkan kasus tersebut
direkomendasikan penggunaan penisilin dan
sefalosporin dosis tinggi untuk infeksi selain
meningitis pada Streptococcus pneumoniae
yang intermediet berdasarkan hasil biakan.7,8
Perlu diwaspadai penggunaan antibiotik
spektrum luas dapat meningkatkan angka
resistensi dan mendorong pertumbuhan
jamur serta organisme patogen lain yang

akan memperparah keadaan pasien.5


Pencegahan
Pencegahan utama PBS adalah tata laksana
sindrom nefrotik yang adekuat dengan
steroid maupun obat imunosupresif lainnya.
Asites perlu ditanggulangi dengan pemberian
diuretik dan albumin bila diperlukan.6
Pemberian golongan penisilin profilaksis
digunakan pada beberapa kasus secara
sporadis. Laporan yang mendukung
penggunaan penisilin profilaksis ini belum
banyak dan belum ada penelitian acak
terkontrol. Penggunaan penisilin profilaksis
ini didasarkan pada pasien dengan penyakit
sel sabit yang memiliki kemiripan dengan
sindrom nefrotik dalam hal risiko infeksi. Pada
pasien penyakit sel sabit, kemoprofilaksis
dilaporkan dapat menurunkan insidens
pnemonia bakterialis, terutama pada anak
berusia kurang dari 5 tahun. 6
Upaya lain mencegah PBS adalah imunisasi;
yang direkomendasikan adalah terhadap
Streptococcus pneumoniae. Imunisasi telah
menunjukkan hasil yang efektif pada anak
dengan sindrom nefrotik sensitif steroid
dan tidak mendapatkan terapi steroid pada
saat imunisasi.6 Di Amerika Serikat, Advisory
Committee on Immunization Practices
merekomendasikan vaksinasi pneumokokus
pada anak berumur 2-5 tahun dengan
komorbiditas tertentu, termasuk untuk
sindrom nefrotik.16
SIMPULAN
Anak dengan sindrom nefrotik memiliki kerentanan imunologis terhadap infeksi. Infeksi
bakterial yang paling sering terjadi adalah
peritonitis bakterial spontan. Peritonitis primer
ini dapat disebabkan oleh bakteri Gram positif
terutama Streptococcus pneumoniae dan
bakteri Gram negatif. PBS pada anak dengan
sindrom nefrotik ditandai dengan demam,
muscular defense, dan leukositosis yang terjadi
pada kondisi edema dan asites. Tata laksana
utamanya adalah pemberian antibiotik,
sedangkan pencegahan dilakukan dengan
mengontrol kondisi nefrotik, mencegah asites,
dan imunisasi.

267

TINJAUAN PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
1.

Eddy A, Symons JM. Nephrotic syndrome in children. Lancet. 2003; 362:629-39.

2.

Alwadhi RK, Mathew JL, Rath B. Clinical profile of children with nephrotic syndrome not on glucocorticoid therapy, but presenting with infection. J Pediatr Child Health. 2004;40:28-32.

3.

Uncu N, Bulbul M, Yildiz N, Noyan A, Kosan C, Kavukcu S, dkk.. Primary peritonitis in children with nephrotic syndrome: results of a 5-year multicenter study. Eur J Pediatr. 2010;169:73-6.

4.

Tain Y, Lin G, Cher T. Microbiological spectrum of septicemia and peritonitis in nephrotic children. Pediatr Nephrol. 1999;13:835-7.

5.

Hingorani SR, Weiss NS, Watkins SL. Predictors of peritonitis in children with nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol. 2002;17:678-82.

6.

Mcintyre P, Craig JC. Prevention of serious bacterial infection in children with nephrotic syndrome. J Pediatr Child Health. 1998;34:314-7.

7.

Ilyas M , Roy S, Abbasi S, Leggiadro RJ, English K, Wyatt RJ. Serious infections due to penicillin-resistant Streptococcus pneumoniae in two children with nephrotic syndrome. Pediatr
Nephrol. 1996;10:639-41.

8.

Waisman DC, Tyrell GJ, Kellner JD, Garg S, Marrie TJ. Pneumococcal peritonitis: still with us and likely to increase in importance. Can J Infect Dis Med Microbiol. 2010;21:e23-7.

9.

Gbadegesin R, Smoyer WE. Nephrotic syndrome. Dalam: Geary DE, Schaefer F., penyunting; Comprehensive Pediatric Nephrology. Philadelphia: Mosby Elsevier. 2008.hal. 215-8.

10. Matsell DG, Wyatt RJ. The role of I and B in peritonitis associated with the nephrotic syndrome of childhood. Ped Res. 1993;34:84-8.
11. Han J, Lee K, Hwang J, Koh D, Lee J. Antibody status in children with steroid-sensitive nephrotic syndrome. Yonsei Med J. 2009;51:239-43.
12. Farthmann EH, Schoffel U. Epidemiology and pathophysiology of intraabdominal infections (IAI). Infection. 1998;26:329-34.
13. Clark JH, Fitzgerald JF, Kleiman MB. Spontaneous bacterial peritonitis. J Pediatr. 1984;104:495-500.
14. Patiroglu T, Melikoglu A, Dusunsel R. Serum levels of C3 and factors I and B in minimal change disease. Acta Paediatr Jpn. 1998;40:333-6.
15. Gorensek MJ, Lebel MH, Nelson JD. Peritonitis in children with nephrotic syndrome. Pediatrics. 1988;81:849-56.
16. Advisory Committee on Immunization Practices. Preventing pneumococcal among infants and young children. Recommendations on the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP). MMWR Recomm Rep. 2000;49(RR-9):1-35.

268

CDK-203/ vol. 40 no. 4, th. 2013

Anda mungkin juga menyukai