Anda di halaman 1dari 2

SYAIR KEGELISAHAN

Oleh: Kais Abdullah Faqih


Npm: 1006692026

# Naliban, Kota Para Pujangga


Hujan di musim dingin membasahi sudut-sudut kota Naliban yang Agung.
Sebuah kota kecil yang seolah tak pernah tertidur walaupun rembulan telah singgah di
atap langitnya. Sebuah kota yang diagungkan-agungkan karena membesarkan para
pujangga dengan syair-syair menawan yang selalu terngiang di telinga para
penduduknya. Syair yang terdengar bahkan hingga ke setiap penjuru kota-kota lain
yang berada jauh dari Naliban. Mereka yang hidup di luarnya menyebut Naliban
sebagai kota para pujangga.
Pagi membawa kehangatan di sudut-sudut kota selepas malam yang dingin
oleh siraman hujan. Udara masih terasa lembab dengan butiran-butiran embun di atas
dedaunan pohon cedar dan kelopak bunga lily yang berseri. Naliban adalah kota para
pujangga dengan syair menawan dan keindahan alamnya yang memikat. Ada puluhan
pohon cedar yang tumbuh kokoh di sekitar kota, serta bunga lily yang tumbuh mekar
hampir di setiap pekarangan rumah, yang harumnya selalu dapat memikat siapa saja
yang melewatinya. Udara di Naliban selalu membawa keharuman tersendiri bagi para
pujangga dan penduduknya. Harum dari pohon-pohon cedar yang tumbuh perkasa
serta semerbak bunga lily di pekarangan hadir dalam syair-syair yang membangkitkan
semangat romantisme di hati para penikmatnya.
Sore hari di Naliban disambut oleh matahari senja di sela pohon cedar yang
kokoh. Langit senja kemerahan bagaikan lukisan dihiasi oleh kepak burung-burung
kembali menuju sarangnya. Alunan lembut bunyi dedaunan pohon cedar yang tertiup
semilir angin bagaikan sebuah harmoni yang merdu terdengar di telinga. Matahari
senja yang semakin tenggelam menyisakan siluet cahayanya di langit gelap dan lalu
digantikan oleh cahaya rembulan. Naliban sejenak dalam keheningannya, namun
syair-syair para pujangganya selalu menemani kota Naliban yang mulai terlelap.
~~ # ~~

# Syair Yang Gelisah


Para pujangga tengah terlelap dalam keheningan malam musim dingin
Naliban. Diantara mereka yang tenggelam dalam buaian mimpi di bawah langit
malam Naliban, tertinggal sebuah pena dengan goresan syair di atas kertas dari tangan
seorang pujangga yang masih terjaga. Seorang pujangga yang hatinya tengah
dihinggapi kegelisahan atas takdirnya sebagai seorang pria yang hanya berjalan di
atas kehidupannya sendiri. Seorang pria yang hatinya dipenuhi oleh pertanyaan
tentang kecemburuan pada mereka yang berjalan berpasangan dalam kehidupannya.
Dialah satu-satunya pujangga di Naliban yang selalu terjaga lebih lama dari pujangga
lainnya di keheningan malam Naliban. Seorang penyair yang mencuri waktu dari
keheningan malam untuk menuangkan kegelisahan hatinya menjadi sebuah syair atas
hidupnya, sebuah syair kegelisahan.
Aku cukup merasakan kesenangan hanya dari sebuah pena dan secarik kertas
yang ku buat menjadi syair-syair tentang kebahagiaan.
Betapa bahagianya menyaksikan dua pohon cedar yang tumbuh kokoh
berdampingan meskipun badai menerpa.
Dan kemudian aku hanyalah

seorang pujangga yang

menyaksikan

kebahagiaan dari dua pohon cedar yang tak terpisahkan.


Alangkah indahnya melihat seorang gadis tersipu oleh rayuan sang pria di
taman yang diharumi oleh ratusan bunga lily.
Lalu aku tersenyum dalam kegetiran hati seorang pria di hadapan pasangan
yang saling tersipu malu.
Akulah seorang penyair yang selalu menuliskan syair-syair tentang
kebahagiaan di atas kisah mereka yang saling mengasihi.
Tapi apakah mereka yang kutuliskan kisahnya melihat kisahku sebagai
seorang anak manusia yang hidup di dunia dan roda waktu yang sama dengan
mereka.
Waktu tak pernah bertanya ataupun menjawab ketika mereka yang hatinya
dipenuhi kegelisahan atas masa depannya terjaga dalam sunyi.
Sementara waktu terus berjalan, akulah sang pujangga, akulah sang penyair.
Dan inilah syair kegelisahan, syair atas kisah seorang pujangga yang
tenggelam dalam kegelisahan hidupnya.
~~ # ~~

Anda mungkin juga menyukai