Anda di halaman 1dari 19

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

REFERAT
AGUSTUS 2014

REFERAT
GANGGUAN PSIKOSOMATIK PADA PASIEN PENYAKIT DALAM
( Endokrin, Gastrointestinal, dan Musculoskeletal )

Disusun Oleh:
Arhami Awal
10542018410
Pembimbing:
dr. Adnan Ibrahim, Sp.PD
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
PADA
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2014
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia, rahmat,kesehatan,
dan

keselamatan kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan referat ini

dengan judul Gangguan Psikosomatik Pada Pasien Penyakit Dalam

Tugas ini ditulis sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan


Kepanitraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam.
Berbagai hambatan dialami dalam penyusunan tugas referat ini. Namun
berkat bantuan, saran, kritikan, dan motivasi dari pembimbing serta teman-teman
sehingga tugas ini dapat terselesaikan.
Secara khusus penulis sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang
mendalam kepada dr. Adnan Ibrahim, Sp.PD selaku pembimbing yang telah
banyak meluangkan waktu dengan tekun dan sabar dalam membimbing,
memberikan arahan dan koreksi selama proses penyusunan tugas ini hingga
selesai.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih memiliki kekurangan dan jauh
dari kesempurnaan, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun untuk menyempurnakan referat ini. Akhir kata, penulis berharap agar
referat ini dapat memberi manfaat kepada semua orang.

Makassar, Agustus 2014


LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:


Nama
: Arhami Awal
NIM
: 10542018410
Judul Referat : Gangguan Psikosomatik pada Pasien Penyakit Dalam

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.
Makassar, Agustus 2014
Pembimbing

Mahasiswa

dr. Adnan Ibrahim,Sp.PD

Arhami Awal

Gangguan Psikosomatik Pada Pasien Penyakit Dalam


( Adnan Ibrahim, Arhami Awal )
I.

PENDAHULUAN
Hubungan antara psikis (jiwa) dan soma (badan) telah menjadi
perhatian para ahli dan para peneliti sejak dahulu. Keduanya (psikis dan
soma) saling terkait secara erat dan tidak bisa dipisahkan antara satu
dengan lainnya. Kedua aspek saling mempengaruhi yang selanjutnya
tercermin dengan jelas dalam ilmu kedokteran psikosomatik. 1
Di

masa

prasejarah

masyarakat

percaya

bahwa

penyakit

disebabkan oleh kekuatan roh jahat/setan. Oleh karena itu pengobatannya


harus dilakukan dengan mantera-mantera. Di masa peradaban kuno
kemudian dipercaya bahwa pikiran memiliki kekuatan besar untuk

mempengaruhi badan, sehingga gangguan pada badan tidak bisa


disembuhkan tanpa mengobati kepalanya (pikiran).1
Pengertian sehat menurut UUNo. 23 tahun 1992 adalah keadaan
sejahtera dari badan, Jiwa dan sosial yang memungkinkan hidup produktif
secara sosial dan ekonomi. Psikis dan fisik sangat berkaitan erat dan tidak
bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Kedua aspek yang saling
mempengaruhi ini tercermin dalam ilmu kedokteran Psikosomatik. Dalam
perkembangannya tidak hanya aspek psikis dan fisik saja yang menjadi
titik perhatian, tetapi juga aspek spiritual dan lingkungan merupakan faktor
yang harus diperhatikan untuk mencapai keadaan kesehatan yang optimal.
Dalam pengertian kedokteran psikosomatik secara luas, aspek biopsiko-sosio-spiritual tersebut sangat perlu dipahami untuk melakukan
pendekatan dan pengobatan terhadap pasien secara holistic (menyeluruh)
dan ekliktik (rinci) yaitu pendekatan psikosomatik.1
II.

DEFINISI
Gangguan Psikosomatik adalah gangguan atau penyakit yang
ditandai oleh keluhan-keluhan psikis dan somatik yang dapat merupakan
kelainan fungsional suatu organ dengan atau tanpa gejala objektif dan
dapat pula bersamaan dengan kelainan organik atau struktural yang
berkaitan erat dengan stresor atau peristiwa psikososial tertentu.1
Keadaan psikis yang terganggu menyebabkan timbulnya gangguan
fisik, muncul sebagai gejala psikosomatik. Sebaliknya keadaan fisik juga
mempengaruhi keadaan psikis. Seseorang jika emosinya menumpuk dan
memuncak maka hal itu dapat menyebabkan terjadinya goncangan dan
kekacauan

dalam

dirinya.

Jika

faktor-faktor

yang

menyebabkan

memuncaknya emosi itu secara berkepanjangan tidak dapat dihindari,


maka ia dipaksa untuk selalu berjuang menekan perasaannya. Perasaaan
tertekan, cemas, kesepian dan kebosanan yang berkepanjangan dapat
mempengaruhi kesehatan fisiknya.2

Menurut

JC.

Heinroth

yang

dimaksud

dengan

gangguan

psikosomatik ialah adanya gangguan psikis dan somatik yang menonjol


dan tumpang tindih. Berdasarkan pengertian dan kenyataan diatas dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan gangguan psikosomatik adalah
gangguan atau penyakit yang ditandai oleh keluhan-keluhan psikis dan
somatik yang dapat merupakan kelainan fungsional suatu organ dengan
ataupun tanpa gejala objektif dan dapat pula bersamaan dengan kelainan
organik/ struktural yang berkaitan dengan stressor atau peristiwa
psikososial tertentu.
Gangguan fungsional yang ditemukan bersamaan dengan gangguan
struktural organis dapat berhubungan sebagai berikut:
Gangguan fungsional yang lama dapat menyebabkan atau
mempengaruhi timbulnya gangguan struktural seperti asma
bronchial,

hipertensi,

penyakit

jantung

koroner,

arthritis

rheumatoid dan lain-lain


Gangguan atau kelainan struktural dapat menyebabkan gangguan
psikis dan menimbulkan gejala-gejala gangguan fungsional seperti
pada pasien penyakit jantung, penyakit kanker, gagal ginjal dan

lain-lain.
gangguan fungsional dan struktural organik berada bersamaan oleh
sebab yang berbeda.1
Dalam kenyataannya, di klinik jarang sekali faktor psikis/emosi

seperti frustasi, konflik, ketegangan dan sebagainya dikemukakan sebagai


keluhan utama oleh pasien. Justru keluhan keluhan fisis yang beraneka
ragam yang selalu ditonjolkan oleh pasien. Keluhan-keluhan yang
dirasakan pasien umumnya terletak di bidang penyakit dalam seperti
keluhan sitem kardiovaskuler, sistem pernapasan, saluran cerna, saluran
urogenital, dan sebagainya.
Keluhan-keluhan

tersebut

adalah

manifestasi

adanya

ketidakseimbangan sistem saraf otonom vegetatif, seperti sakit kepala,


pusing, serasa mabuk, cenderung untuk pingsan, banyak keringat, jantung

berdebar-debar, sesak napas, gangguan pada lambung, dan usus, diare,


anoreksia, kaki dan tangan dingin, kesemutan, merasa panas atau dingin
seluruh tubuh dan banyak lagi gejala lainnya.1
III.

PATOMEKANISME
Patofisiologi timbulnya kelainan fisis yang berhubungan dengan
gangguan psikis/emosi belum seluruhnya dapat diterangkan namun sudah
terdapat banyak bukti dari hasil penelitian para ahli yang dapat dijadikan
pegangan. Gangguan psikis/konflik emosi yang menimbulkan gangguan
psikosomatik ternyata diikuti oleh perubahan-perubahan fisiologis dan
biokimia pada tubuh seseorang. Perubahan fisiologi ini berkaitan erat
dengan adanya gangguan pada sistem saraf autonom vegetatif, sistem
endokrin dan sistem imun.1
Patofisiologi gangguan psikosomatik dapat diterangkan melalui
beberapa teori sebagai berikut:
a. Gangguan Keseimbangan Saraf Autonom Vegetatif
Pada keadaan ini konflik emosi yang timbul diteruskan melalui
korteks serebri ke sistem limbik kemudian hipotalamus dan akhirnya
ke sistem saraf autonom vegetatif. Gejala klinis yang timbul dapat
berupa hipertoni parasimpatik, ataksi vegetatif yaitu bila koordinasi
antara simpatik dan parasimpatik sudah tidak ada lagi dan amfotoni
bila gejala hipertoni simpatik dan parasimpatik terjadi silih berganti.1
b. Gangguan Konduksi Impuls Melalui Neurotransmitter
Gangguan konduksi ini disebabkan adanya kelebihan atau kekurangan
neurotransmitter di presinaps atau adanya gangguan sensitivitas pada
reseptor-reseptor postsinaps. Beberapa neurotransmitter yang telah
diketahui berupa amin biogenik antara lain noradrenalin, dopamine,
dan serotonin.1
c. Hiperalgesia Alat Viseral
Meyer dan Gebhart (1994) mengemukakan konsep dasar terjadinya
gangguan fungsional pada organ visceral yaitu adanya visceral
hyperalgesia. Keadaan ini mengakibatkan respon reflex yang
berlebihan pada beberapa bagian alat visceral tadi. Konsep ini telah

dibuktikan pada kasus-kasus non-cardiac chest pain, non-ulcer


dyspepsia dan irritable bowel syndrome.1
d. Gangguan Sistem Endokrin/Hormonal
Perubahan-perubahan fisiologi tubuh yang disebabkan adanya
stress dapat terjadi akibat gangguan sistem hormonal. Perubahan
tersebut terjadi melalui hypothalamic-pitutary-adrenal axis (jalur
hipotalamus-pituitari-adrenal). Hormone yang berperan pada jalur ini
antara lain: hormon pertumbuhan (growth hormone), prolactin, ACTH,
katekolamin.1
e. Perubahan dalam Sistem Imun
Perubahan tingkah laku dan stress selain dapat mengaktifkan
sistem endokrin melalui hypothalamus-pituitary axis (HPA) juga dapat
mempengaruhi imunitas seseorang sehingga mempermudah timbulnya
nfeksi dan penyakit neoplastik. Fungsi imun menjadi terganggu karena
sel-sel imunitas merupakan immunotransmitter mengalami berbagai
perubahan. 1
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi imunitas adalah sebagai
berikut:
Kualitas dan kuantitas stress yang timbul
Kamampuan individu dalam mengatasi suatu stress secara efektif
Kualitas dan kuantitas rangsang imunitas
Lamanya stress
Latar belakang lingkungan sosio-kultural pasien
Faktor pasien sendiri (umur, jenis kelamin, status gizi)1
IV.

DIAGNOSIS
Menegakkan diagnosis pasien dengan gangguan psikosomatik tidak
berbeda dengan menegakkan diagnosis penyakit lain pada umumnya yaitu
dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan laboratorium
atau pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan. Pada umumnya pasien
dengan gangguan psikosomatik datang ke dokter dengan keluhan
somatiknya. Jarang sekali keluhan psikis atau konfliknya dikeluhkan
secara spontan. Keluhan psikis yang menjadi stressornya baru akan
muncul setelah dilakukan anamnesis yang baik dan mendalam. Keluhan

somatisnya sangat beraneka ragam dan sering berpindah-pindah dari satu


sistem organ ke organ lain.1
Gangguan psikosomatik pada orang yang tidak stabil, dapat
disebabkan bukan saja oleh stress yang luar biasa, tetapi juga oleh
kejadian-kejadian dan keadaan sehari-hari, umpamanya rumah tangga
yang sibuk, terlalu banyak orang di dalam satu rumah, suami atau isteri
yang tidak dapat menyesuaikan diri atau tidak mengindahkan keinginan
satu sama lain.3
Untuk itu, penting ditanyakan beberapa pertanyaan berikut dalam
proses anamnesis:
- Faktor sosial dan ekonomi: kepuasan dalam pekerjaan; kesukaran
ekonomi; pekerjaan yang tidak tentu; hubungan dengan keluarga dan
-

orang lain; minatnya; pekerjaan yang terburu-buru; kurang terbiasa


Faktor perkawinan: perselisihan, perceraian, dan kekecewaan dalam

hubungan sexual; anak-anak yang nakal dan menyusahkan.


Faktor kesehatan: penyakit-penyakit yang menahun; pernah masuk
rumah sakit; pernah dioperasi; adiksi terhadap obat-obatan, tembakau,

dan lain-lain
Faktor psikologik: stress psikologik; keadaan jiwa waktu operasi;
status dalam keluarga.3
Untuk menentukan gangguan fungsional, maka anmnesa penting

sekali. Bila kita sudah menentukan bahwa penderita itu mempunyai


gangguan fungsional, maka selanjutnya kita harus menetapkan apakah
sebabnya itu gangguan psikogenik atau non-psikogenik. Apabila kita
sudah menduga bahwa hal itu merupakan gangguan psikogenik, sebaiknya
harus dicari juga korelasi antara gejala-gejala dan stress psikologik.3
Lewis

memberikan beberapa kriteria untuk diagnosa gangguan

psikomatik:
1. Gejala-gejala yang didapat mempunyai permulaan, akibat, manifestasi
dan jalannya yang sangat mencurigakan akan adanya gangguan
psikosomatik

2. Dengan pemeriksaan fisis dan laboratorium tidak didapati penyakit


organik yang dapat menyebabkan gejala-gejala (atau sebagian gejalgejala)
3. Adanya suatu stress atau konflik yang menyukarkan penderita
4. Reaksi penderita terhadap stress ini banyak hubungannya dengan
gejala-gejala yang dikeluhkannya, yaitubahwa gejala-gejala itu secara
psikosomatik merupakan manifestasi badaniah dari konflik atau
penyelesaian masalah yang tidak memuaskan
5. Terjadinya stress itu harus mempunyai korelasi antara waktu dan
timbulnya keluhan, bertambah beratnya atau/dan menahunnya
penyakit yang ada.3
Tidak semua kriteria harus ada, tetapi apabila terdapat beberapa
kriteria yang sesuai sudah merupakan indikasi kea rah gangguan
psikosomatik.1
V.

JENIS JENIS GANGGUAN PSIKOSOMATIK


Untuk klasifikasi jenis gangguan psikosomatik, maka jenis gangguan
dibagi menurut organ yang paling sering terkena, yaitu,gangguan endokrin,
gangguan gastrointestinal dan gangguan musculoskeletal.
a. Gangguan Endokrin
1. Kelainan Tiroid
Pasien tirotoksikosis umumnya datang dengan keluhan yang
dianggap bersifat psiksi belaka. Misalnya rasa cemas, mudah
marah, paranoid, rasa seperti leher tercekik atau terikat, rasa takut
tanpa sebab yang jelas, insomnia dengan mimpi buruk, dan gugup.
Keluhan ini sering diikuti dengan hiperaktivitas saraf otonom
seperti keringat banyak, mulut kering, pupil lebar, kulit pucat, nadi
cepat, dan sebagainya.5
Pengobatan ialah usaha untuk mengendalikan metabolism
dengan obat-obat dan bila perlu dioperasi. Transquilaizer dapat
sangat membantu. Psikoterapi perlu, terutama pada penderita

dengan

konflik

yang

mendalam

dan

yang

tidak

dapat

menyesuaikan diri.3
2. Diabetes Melitus
Diabetes Melitus adalah suatu kelompok penyakit meabolik
yang ditandai dengan adanya defek pada sekresi insulin, kerja
insulin, atau keduanya. Hipetglikemia kronik pada pasien diabetes
berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau
kegagalan berbagai organ seperti mata, ginjal, saraf, jantung, dan
pembuluh darah serta mempengaruhi kondisi psikis. Gangguan
psikis yang biasa terjadi pada penderita diabetes mellitus adalah
depresi. 6
Depresi terjadi akibat faktor psikologis dan psikososial yang
berhubungan dengan penyakit atau terapinya. Depresi pada
diabetes terjadi akibat meningkatnya tekanan pasien yang dialami
dari penyakitnya yang kronik. Hubungan ketidakmampuan
adaptasi dengan gejala depresi ditentukan oleh beberapa faktor,
yaitu:6
a. Pandangan terhadap penyakit yang diderita.
b. Dukungan sosial yang kurang baik
c. Coping strategy, mencegah pikiran untuk lari dari kenyataan
dan

adaptasi

psikologis

menjadi

lebih

baik

sehingga

mengurangi kemungkinan gejala depresi.


Pengobatan depresi dan diabetes dilakukan bersama-sama
dengan psikoterapi, psikoedukasi, psikofarmaka secara serentak.
Cognitive

Behavioral

Theraphy

(CBT)

sangat

bermanfaat

diberikan pada pasien depresi dengan diabetes mellitus dan


dikombinasikan dengan edukasi diabetes. Teknik CBT tersebut
adalah:6
a. Merubah perilaku dengan mengembalikan aktuvitas fisik dan
kehidupan sosial yang menyenangkan pasien.
b. Upaya pemecahan masalah atau stress yang dihadapi.

c. Teknik kognitif dengan mengidentifikasi adanya maldaptasi


dan menggantinya dengan pandangan yang akurat, adaptif dan
akurat.
Beberapa golongan obat antidepresan yang biasa diberikan
untuk penderita diabetes melitus adalah golongan SSRI (Selective
Serotonin Reuptake Inhibitor) dapat mengurangi resistensi insulin
sehingga gula darah dapat lebih terkontrol. Beberapa golongan
obat SSRI seperti fluoksetin memiliki efek menurunkan berat
badan sehingga baik diberikan pada penderita diabetes yang
gemuk. Efek samping yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan
terjadinya hipoglikemia, disfungsi seksual dan pasien yang disertai
gangguan ginjal.6
b. Gangguan Gastrointestinal
1. Dispepsia Fungsional
Merupakan perasaan tidak enak dan sakit pada daerah
epigastrium, sering disebabkan karena kelainan fungsi lambung:
sekresi asam lambung yang berlebihan, motilitas dan tonus yang
meninggi pada otot-otot dinding lambung.3 Legarde dan Spiro
(1984) mengatakan bahwa keluhan tidak enak pada perut bagian
atas yang bersifat intermitten sedangkan pada pemeriksaan tidak
didapatkan kelainan organis. Gejala-gejala yang sering dikeluhkan
pasien berupa rasa penuh pada ulu hati sesudah makan, kembung,
sering bersendawa, cepat kenyang, anoreksia, nausea, vomitus, rasa
terbakar pada daerah ulu hati dan regurgitasi.4
Peran faktor psikososial pada dispepsia fungsional sangat
penting karena dapat menyebabkan hal-hal di bawah ini:
- Menimbulkan perubahan fisiologi saluran cerna
- Perubahan penyesuaian terhadap gejala-gejala yang timbul
- Mempengaruhi karakter dan perjalanan penyakitnya
- Mempengaruhi prognosis
Rangsangan psikis/emosi sendiri secara fisiologi dapat
mempengaruhi lambung dengan dua cara:
- Jalur Neurogen: rangsangan konflik emosi pada korteks serebri
mempengaruhi kerja hipotalamus anterior dan selanjutnya ke
nucleus vagus, dan kemudian ke lambung

Jalur Neurohormonal: rangsangan pada korteks serebri


diteruskan ke hipotalamus anterior selanjutnya ke hipofisis
anterior yang mengeluarkan kortikotropin. Hormon ini
merangsang korteks adrenal dan kemudian menghasilkan
hormon adrenal yang selanjutnya merangsang produksi asam
lambung.4
Pengobatan melalui pendekatan psikosomatis yaitu dengan

memperhatikan aspek-aspek fisik, psikososial, dan lingkungan.


Terhadap keluhan-keluhan dispepsia dapat diberikan pengobatan
simptomatis seperti antasida, obat-obat H2 antagonis seperti
Cimetidin, ranitidine. Obat inhibitor pompa proton seperti
omeprazole, lansoprazole. Yang tidak kalah pentingnya ialah
melakukan psikoterapi dengan beberapa edukasi dan saran agar
dapat mengatasi atau mengurangi stress dan konflik psikososial.4
2. Konstipasi Psikogenik
Buang air besar biasanya terjadi setelah timbul rangsangan di
hipotalamus yang diteruskan ke kolon dan sfingter ani melalui
susunan saraf autonom. Pada waktu tertentu kemungkinan
rangsangan tersebut tidak timbul. Hal ini dapat terjadi pada
seseorang yang sedang murung, kecewa, putus asa, dan gangguan
jiwa lain. Pasien sering mempunyai keluhan tidak dapat atau
mengalami kesulitan buang air besar. Akibat kelainan tersebut,
rangsangan di hipotalamus ikut menurun sampai tidak ada,
sehingga rangsangan di usus besar pun sangat berkurang. Bila
berlangsung terus-menerus akan terjadi atoni kolon dan konstipasi
kronik yang selanjutnya disebut konstipasi psikogenik. 5
Pengelolaan
pasien
konstipasi
psikogenik

lebih

menitikberatkan pada psikoterapi. Perlu pendekatan psikomatik


dengan memperdulikan faktor-faktor psikis sebagai penyebabnya. 5
3. Diare Psikogenik
Seseorang yang sedang mengalami ketegangan jiwa, sedang
emosi, atau sedang dalam keadaan stress , hidupnya tidak teratur.

Keadaan demikian akan menyebabkan terangsangnya hipotalamus


terus-menerus secara tidak teratur. Rangsangan di hipotalamus ini
akan diteruskan ke susunan saraf autonom. Susunan saraf yang
berulang kali terangsang ini akan menyebabkan timbulnya
hiperperistaltik kolon, sehingga bolus makanan terlalu cepat
dikeluarkan karena hiperperistaltik tersebut, reabsorpsi air di kolon
terganggu, dan timbullah diare. Bila terjadi berulang kali, timbul
diare kronik. Keadaan demikian disebut diare psikogenik kronik. 5
Sifat diare psikogenik pada umumnya memperlihatkan sering
buang air besar yang bersifat lembek, hampir tidak pernah bersifat
cair, jarang disertai lender dan darah, dan tidak pernah disertai
demam. Diare yang timbul biasanya berlangsung beberapa hari,
selama masih ada gangguan psikis. 5
4. Obesitas
Pada obesitas yang hebat sering didapati faktor psikologik.
Tidak dapat diterangkan secara memuaskan dengan teori: efisiensi
otot-otot yang tinggi, respiratory quotient yang rendah, specific
dynamic action dari makanan atau penyimpanan yang abnormal
oleh orang gemuk itu. 3
Faktor psikologik, mulai dari ketegangan yang ringan smapai
dengan suatu nerosa yang hebat dapat menyebabkan makan
berlebihan. Kadang-kadang orang yang merasa tidak bahagia
mencari kesenangan dalam makanan. Mungkin bila ia mengalami
banyak kekecewaan dalam pekerjaan atau kehidupan seksual,
makanan bukan saja daoat merupakan pembelaan atau hiburan,
tetapi juga dapat merupakan substitusi. 3
Pengobatan ialah meyakinkan penderita bahwa berat badan itu
perlu diturunkan, mengatur tabiat makanan, diet yang pantas, dan
psikoterapi bila terdapat konflik; dapat juga diberikan obat-obat
untuk menekan nafsu makan beserta vitamin supaya tidak
kekurangan bila makan berkurang. 3
c. Gangguan Muskuloskeletal

Arthritis rheumatoid adalah penyakit inflamasi kronik dengan


pathogenesis autoimun dan etiologi yang multikompleks. Berbagai
faktor yang dapat berperan penting seperti immunogenetik, kelamin,
umur dan stress. Hubungan stress dengan AR masih belum jelas,
meskipun pada berbagai penelitian terdapat perkembangan bahwa
faktor stressor lingkungan, psikologis, dan biologis menjadi faktor
predisposisi.7
Sebelum timbulnya penyakit AR, pasien menunjukkan ciri-ciri
psikodinaik dan kepribadian yang khas, yaitu:
- Ketelitian yang berlebihan, perfeksionisme, kepatuhan, dengan
-

kecenderungan menekan semua dorongan agresi dan permusuhan.


Ciri mesokistis-depresif dengan tendensi pengorbanan diri, sifat
menolong yang berlebihan, bermoral tinggi dan cenderung

depresif.
Kebutuhan aktivitas badaniah seperti olahraga, kerja di rumah dan
berkebun sebagai penyaluran agresi.3,7
Kepribadian,

stressor

psikologis,

ancaman

terserang

AR,

kemampuan menanggulangi nyeri dan menanggulagi ketidakmampuan


serta dukungan sosial telah terbukti berhubungan dengan derajat nyeri,
disabilitas dn aktivitas penyakit AR. Faktor psikososial seperti stress
psikologis, penyesuaian, depresi, keyakinan dalam kemampuan
menanggulangi penyakit dan dukungan sosial berperan pada keadaan
sakit dengan mempengaruhi pelepasan hormone stress, yang
selanjutnya berpengaruh pada mekanisme dalam tubuh termasuk
kerentanan dan kekambuhan penyakit AR.7

VI.

PENATALAKSANAAN
Di Amerika Serikat 1/3 penderita yang datang berobat pada dokter
umum tidak mempunyai gangguan organik, 1/3 yang lain mempunyai
gangguan organik tetapi keluhannya berlebihan.3
Dengan kesabaran dan simpati banyak penderita dengan gangguan
psikosomatik dapat ditolong. Kita dapat menerangkan kepada penderita

tidak dapat sesuatu dalam tubuhnya yang rusak atau yang kurang, tidak
terdapat infeksi dan kanker, hanya anggota tubuhnya bekerja tidak teratur.
Untuk menerangkan bagaimana emosi dapat mengganggu tubuh dapat
diambil contoh sehari-hari seperti orang yang malu mukanya akan menjadi
merah, orang yang takut menjadi
bergemetar dan pucat. Dapat dipakai perumpamaan menurut pendidikan
dan pengetahuan penderita.3
Setelah dibuat diagnosis gangguan psikosomatis, terdapat 3 fase terapi
yaitu: 3
Fase 1 : ialah fase pemeriksaan dan pemberian ketenangan, penderita dan
dokter bersama-sama berusaha dan saling membantu melalui anamnesis
yang baik, pemeriksaan fisik yang teliti dan tes laboratorium bila perlu.
Diusahakan membuktikan bahwa tidak terdapat penyakit organik dan
dijelaskan kepada penderita tentang mekanisme fisiologik serta keterangan
tentang gejala-gejala. Berikan kesempatan kepada penderita untuk
bertanya.
Fase 2 : merupakan fase pendidikan, fase ini dokter lebih banyak bicara.
Untuk

memberi

keterangan

tentang

keluhan,

meyakinkan

serta

menenangkan pasien, dapat dikatakan antara lain :

Bahwa gejala-gejalanya benar ada, dapat dimengerti kalau ia mengeluh


dan menderita

Bahwa gejala-gejalanya sering terdapat juga pada orang lain yang


sudah kita obati

Bahwa tidak ada kanker atau penyakit berbahaya lain

Bahwa gejala-gejala itu timbul karena ketegangan sehari-hari dan


gangguan emosional

Bahwa gejala itu tidak akan segera hilang, diperlukan beberapa waktu,
tetapi akan hilang atau

berkurang bila diobati dengan baik

Bahwa kita semua mengalami ketegangan, kekecewaan, godaan dan


kecemasan

Bahwa kelelahan fisik atau jiwa dapat mengurangi daya tahan tubuh
sehingga timbul gejala

Bahwa kita apabila terlalu terburu-buru akan timbul ketegangan jiwa

Bahwa tubuh kita bereaksi terhadap ketegangan yang terlalu berat.


Sering gejala merupakan pekerjaan alat tubuh yang bekerja berlebihan

Bahwa ini akan lebih baik bila pasien mengerti akan penyebab gejala.

Fase 3 : ialah fase keinsafan intelektual dan emosional. Pada fase ini
pasien yang lebih banyak bicara. Terjadi pengakuan, katarsis dan
wawancara psikiatrik. Hal ini harus berjalan sangat pribadi, rahasia, tanpa
sering terganggu dan dalam suasana penuh kepercayaaan dan pengertian.
Dokter menjelaskan saja agar pembicaraan berjalan dengan baik, tidak
terlalu menyimpang dari pokok pembicaraan. Terdapat 3 golongan
senyawa psikofarmaka3
1. Obat tidur (hipnotik)
Diberikan dalam jangka waktu pendek 2-4 minggu. Obat yang
dianjurkan adalah senyawa benzodiazepine berkhasiat pendek seperti
nitrazepam, flurazepam, dan triazolam. Pada insomnia dengan
kegelisahan dapat diberikan senyawa fenotiazin seperti tioridazin,
prometazin.3,9
2. Obat penenang minor dan mayor

Obat penenang minor


Diazepam merupakan obat yang efektif yang dapat digunakan pada
anxietas,agitasi, spasme otot, delirium, epilepsi. Benzodiazepine
hanya diberikan pada anxietas hebat maksimal 2 bulan sebelum
dicoba dihentikan secara perlahan (tapering off) untuk menghindari
toleransi dan adiksi.3,8

Obat penenang mayor


Yang paling sering digunakan adalah senyawa fenotiazin dan
butirofenon seperti clorpromazin, tioridazin dan haloperidol.

Diberikan hanya pada kasus gejala agitasi , kegelisahan yang


berlebihan, agresi dan kegaduhan.3,8
3. Antidepresan
Yang biasa digunakan adalah senyawa trisiklik dan tetrasiklik seperti
amitriptilin, imipramin, mianserin dan maprotilin yang dimulai dengan
dosis kecil yang kemudian ditingkatkan. Saat ini, golongan trisiklik
sudah jarang digunakan karena efek samping yang banyak akibat kerja
anti kolinergiknya. Antidepresan baru dengan efek samping yang
minimal adalah golongan:
- SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor): sertalin, paroksetin,

VII.

fluoksetin, fluvoksamin
SSRE (Selective Serotonin Reuptake Enhancer): Tianeptin
SNRI (Serotonin Nor Epinephrin Reuptake Inhibitor): Venlafaksin
RIMA (Reversible Inhibitory Monoamine Oxidose type A):

Moklobemid
NaSSA (Nor-adrenalin ang Serotonin Anti Depressant): Mitrazapin
Atipik: Trazodon, Nefazodon9

KESIMPULAN

Gangguan psikosomatik merupakan gangguan yang melibatkan antara pikiran dan


tubuh. Hal ini berarti bahwa adanya faktor psikologis yang mempengaruhi kondisi
medis.

Komponen emosional memainkan peranan penting pada gangguan psikosomatik.

Manifestasi penyakit fisik juga sering diturunkan dan kepribadian seseorang.

Gangguan psikosomatik dapat rnelibatkan berbagai sistem organ di dalam tubuh


sehingga memerlukan penanganan secara terintegrasi dari ahli medis dan ahli
psikiatri.

Pengobatan gangguan psikosomatik dari sudut pandang psikiatrik adalah tugas


yang sulit.

Tujuan terapi haruslah mengerti motivasi dan mekanisme gangguan fungsi dan
untuk membantu pasien mengerti sifat penyakitnya.

Tilikan tersebut harus menghasilkan pola perilaku yang berubah dan lebih sehat.

DAFTAR PUSTAKA
1. Mudjaddid, E. Shatri, Hamzah. Gangguan Psikosomatik: Gambaran Umum
dan Patofisiologinya. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI.
Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006.
2. Bongli. (2008). Psikosomatis Pada Manusia Modern. Diakses dari
http://one.indoskripsi.com.
3. Maramis, W.F. Gangguan Psikosomatik. Dalam Catatan Ilmu Kedokteran
Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press.
4. Elvira, Sylvia D., Hadisukanto, Gitayanti. Faktor Psikologik Yang
Mempengaruhi Kondisi Medis (d/h Gangguan Psikosomatik). Dalam Buku
Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.2010.p287-93
5. Mudjaddid, E. Dispepsia Fungsional. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p906
6. Mudjaddid, E. Aspek Psikosomatik pada Asma Brokhial. Dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006.
p922-3
7. Djokomoeljanto, R. Psikosomatik Pada Kelainan Tirod. Dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006.
p937-8
8. Mudjaddid, E. Putranto, Rudi. Aspek Pikosomatik Pasien Diabetes Melitus.
Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat
Penerbitan FKUI. 2006. p939-40
9. Budihalim, S. Sukatman, D. Mudjaddid, E. Gangguan Psikosomatik Saluran
Kemih. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat
Penerbitan FKUI. 2006. p953

Anda mungkin juga menyukai