FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
REFERAT
AGUSTUS 2014
REFERAT
GANGGUAN PSIKOSOMATIK PADA PASIEN PENYAKIT DALAM
( Endokrin, Gastrointestinal, dan Musculoskeletal )
Disusun Oleh:
Arhami Awal
10542018410
Pembimbing:
dr. Adnan Ibrahim, Sp.PD
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
PADA
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2014
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia, rahmat,kesehatan,
dan
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.
Makassar, Agustus 2014
Pembimbing
Mahasiswa
Arhami Awal
PENDAHULUAN
Hubungan antara psikis (jiwa) dan soma (badan) telah menjadi
perhatian para ahli dan para peneliti sejak dahulu. Keduanya (psikis dan
soma) saling terkait secara erat dan tidak bisa dipisahkan antara satu
dengan lainnya. Kedua aspek saling mempengaruhi yang selanjutnya
tercermin dengan jelas dalam ilmu kedokteran psikosomatik. 1
Di
masa
prasejarah
masyarakat
percaya
bahwa
penyakit
DEFINISI
Gangguan Psikosomatik adalah gangguan atau penyakit yang
ditandai oleh keluhan-keluhan psikis dan somatik yang dapat merupakan
kelainan fungsional suatu organ dengan atau tanpa gejala objektif dan
dapat pula bersamaan dengan kelainan organik atau struktural yang
berkaitan erat dengan stresor atau peristiwa psikososial tertentu.1
Keadaan psikis yang terganggu menyebabkan timbulnya gangguan
fisik, muncul sebagai gejala psikosomatik. Sebaliknya keadaan fisik juga
mempengaruhi keadaan psikis. Seseorang jika emosinya menumpuk dan
memuncak maka hal itu dapat menyebabkan terjadinya goncangan dan
kekacauan
dalam
dirinya.
Jika
faktor-faktor
yang
menyebabkan
Menurut
JC.
Heinroth
yang
dimaksud
dengan
gangguan
hipertensi,
penyakit
jantung
koroner,
arthritis
lain-lain.
gangguan fungsional dan struktural organik berada bersamaan oleh
sebab yang berbeda.1
Dalam kenyataannya, di klinik jarang sekali faktor psikis/emosi
tersebut
adalah
manifestasi
adanya
PATOMEKANISME
Patofisiologi timbulnya kelainan fisis yang berhubungan dengan
gangguan psikis/emosi belum seluruhnya dapat diterangkan namun sudah
terdapat banyak bukti dari hasil penelitian para ahli yang dapat dijadikan
pegangan. Gangguan psikis/konflik emosi yang menimbulkan gangguan
psikosomatik ternyata diikuti oleh perubahan-perubahan fisiologis dan
biokimia pada tubuh seseorang. Perubahan fisiologi ini berkaitan erat
dengan adanya gangguan pada sistem saraf autonom vegetatif, sistem
endokrin dan sistem imun.1
Patofisiologi gangguan psikosomatik dapat diterangkan melalui
beberapa teori sebagai berikut:
a. Gangguan Keseimbangan Saraf Autonom Vegetatif
Pada keadaan ini konflik emosi yang timbul diteruskan melalui
korteks serebri ke sistem limbik kemudian hipotalamus dan akhirnya
ke sistem saraf autonom vegetatif. Gejala klinis yang timbul dapat
berupa hipertoni parasimpatik, ataksi vegetatif yaitu bila koordinasi
antara simpatik dan parasimpatik sudah tidak ada lagi dan amfotoni
bila gejala hipertoni simpatik dan parasimpatik terjadi silih berganti.1
b. Gangguan Konduksi Impuls Melalui Neurotransmitter
Gangguan konduksi ini disebabkan adanya kelebihan atau kekurangan
neurotransmitter di presinaps atau adanya gangguan sensitivitas pada
reseptor-reseptor postsinaps. Beberapa neurotransmitter yang telah
diketahui berupa amin biogenik antara lain noradrenalin, dopamine,
dan serotonin.1
c. Hiperalgesia Alat Viseral
Meyer dan Gebhart (1994) mengemukakan konsep dasar terjadinya
gangguan fungsional pada organ visceral yaitu adanya visceral
hyperalgesia. Keadaan ini mengakibatkan respon reflex yang
berlebihan pada beberapa bagian alat visceral tadi. Konsep ini telah
DIAGNOSIS
Menegakkan diagnosis pasien dengan gangguan psikosomatik tidak
berbeda dengan menegakkan diagnosis penyakit lain pada umumnya yaitu
dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan laboratorium
atau pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan. Pada umumnya pasien
dengan gangguan psikosomatik datang ke dokter dengan keluhan
somatiknya. Jarang sekali keluhan psikis atau konfliknya dikeluhkan
secara spontan. Keluhan psikis yang menjadi stressornya baru akan
muncul setelah dilakukan anamnesis yang baik dan mendalam. Keluhan
dan lain-lain
Faktor psikologik: stress psikologik; keadaan jiwa waktu operasi;
status dalam keluarga.3
Untuk menentukan gangguan fungsional, maka anmnesa penting
psikomatik:
1. Gejala-gejala yang didapat mempunyai permulaan, akibat, manifestasi
dan jalannya yang sangat mencurigakan akan adanya gangguan
psikosomatik
dengan
konflik
yang
mendalam
dan
yang
tidak
dapat
menyesuaikan diri.3
2. Diabetes Melitus
Diabetes Melitus adalah suatu kelompok penyakit meabolik
yang ditandai dengan adanya defek pada sekresi insulin, kerja
insulin, atau keduanya. Hipetglikemia kronik pada pasien diabetes
berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau
kegagalan berbagai organ seperti mata, ginjal, saraf, jantung, dan
pembuluh darah serta mempengaruhi kondisi psikis. Gangguan
psikis yang biasa terjadi pada penderita diabetes mellitus adalah
depresi. 6
Depresi terjadi akibat faktor psikologis dan psikososial yang
berhubungan dengan penyakit atau terapinya. Depresi pada
diabetes terjadi akibat meningkatnya tekanan pasien yang dialami
dari penyakitnya yang kronik. Hubungan ketidakmampuan
adaptasi dengan gejala depresi ditentukan oleh beberapa faktor,
yaitu:6
a. Pandangan terhadap penyakit yang diderita.
b. Dukungan sosial yang kurang baik
c. Coping strategy, mencegah pikiran untuk lari dari kenyataan
dan
adaptasi
psikologis
menjadi
lebih
baik
sehingga
Behavioral
Theraphy
(CBT)
sangat
bermanfaat
lebih
depresif.
Kebutuhan aktivitas badaniah seperti olahraga, kerja di rumah dan
berkebun sebagai penyaluran agresi.3,7
Kepribadian,
stressor
psikologis,
ancaman
terserang
AR,
VI.
PENATALAKSANAAN
Di Amerika Serikat 1/3 penderita yang datang berobat pada dokter
umum tidak mempunyai gangguan organik, 1/3 yang lain mempunyai
gangguan organik tetapi keluhannya berlebihan.3
Dengan kesabaran dan simpati banyak penderita dengan gangguan
psikosomatik dapat ditolong. Kita dapat menerangkan kepada penderita
tidak dapat sesuatu dalam tubuhnya yang rusak atau yang kurang, tidak
terdapat infeksi dan kanker, hanya anggota tubuhnya bekerja tidak teratur.
Untuk menerangkan bagaimana emosi dapat mengganggu tubuh dapat
diambil contoh sehari-hari seperti orang yang malu mukanya akan menjadi
merah, orang yang takut menjadi
bergemetar dan pucat. Dapat dipakai perumpamaan menurut pendidikan
dan pengetahuan penderita.3
Setelah dibuat diagnosis gangguan psikosomatis, terdapat 3 fase terapi
yaitu: 3
Fase 1 : ialah fase pemeriksaan dan pemberian ketenangan, penderita dan
dokter bersama-sama berusaha dan saling membantu melalui anamnesis
yang baik, pemeriksaan fisik yang teliti dan tes laboratorium bila perlu.
Diusahakan membuktikan bahwa tidak terdapat penyakit organik dan
dijelaskan kepada penderita tentang mekanisme fisiologik serta keterangan
tentang gejala-gejala. Berikan kesempatan kepada penderita untuk
bertanya.
Fase 2 : merupakan fase pendidikan, fase ini dokter lebih banyak bicara.
Untuk
memberi
keterangan
tentang
keluhan,
meyakinkan
serta
Bahwa gejala itu tidak akan segera hilang, diperlukan beberapa waktu,
tetapi akan hilang atau
Bahwa kelelahan fisik atau jiwa dapat mengurangi daya tahan tubuh
sehingga timbul gejala
Bahwa ini akan lebih baik bila pasien mengerti akan penyebab gejala.
Fase 3 : ialah fase keinsafan intelektual dan emosional. Pada fase ini
pasien yang lebih banyak bicara. Terjadi pengakuan, katarsis dan
wawancara psikiatrik. Hal ini harus berjalan sangat pribadi, rahasia, tanpa
sering terganggu dan dalam suasana penuh kepercayaaan dan pengertian.
Dokter menjelaskan saja agar pembicaraan berjalan dengan baik, tidak
terlalu menyimpang dari pokok pembicaraan. Terdapat 3 golongan
senyawa psikofarmaka3
1. Obat tidur (hipnotik)
Diberikan dalam jangka waktu pendek 2-4 minggu. Obat yang
dianjurkan adalah senyawa benzodiazepine berkhasiat pendek seperti
nitrazepam, flurazepam, dan triazolam. Pada insomnia dengan
kegelisahan dapat diberikan senyawa fenotiazin seperti tioridazin,
prometazin.3,9
2. Obat penenang minor dan mayor
VII.
fluoksetin, fluvoksamin
SSRE (Selective Serotonin Reuptake Enhancer): Tianeptin
SNRI (Serotonin Nor Epinephrin Reuptake Inhibitor): Venlafaksin
RIMA (Reversible Inhibitory Monoamine Oxidose type A):
Moklobemid
NaSSA (Nor-adrenalin ang Serotonin Anti Depressant): Mitrazapin
Atipik: Trazodon, Nefazodon9
KESIMPULAN
Tujuan terapi haruslah mengerti motivasi dan mekanisme gangguan fungsi dan
untuk membantu pasien mengerti sifat penyakitnya.
Tilikan tersebut harus menghasilkan pola perilaku yang berubah dan lebih sehat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mudjaddid, E. Shatri, Hamzah. Gangguan Psikosomatik: Gambaran Umum
dan Patofisiologinya. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI.
Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006.
2. Bongli. (2008). Psikosomatis Pada Manusia Modern. Diakses dari
http://one.indoskripsi.com.
3. Maramis, W.F. Gangguan Psikosomatik. Dalam Catatan Ilmu Kedokteran
Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press.
4. Elvira, Sylvia D., Hadisukanto, Gitayanti. Faktor Psikologik Yang
Mempengaruhi Kondisi Medis (d/h Gangguan Psikosomatik). Dalam Buku
Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.2010.p287-93
5. Mudjaddid, E. Dispepsia Fungsional. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p906
6. Mudjaddid, E. Aspek Psikosomatik pada Asma Brokhial. Dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006.
p922-3
7. Djokomoeljanto, R. Psikosomatik Pada Kelainan Tirod. Dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006.
p937-8
8. Mudjaddid, E. Putranto, Rudi. Aspek Pikosomatik Pasien Diabetes Melitus.
Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat
Penerbitan FKUI. 2006. p939-40
9. Budihalim, S. Sukatman, D. Mudjaddid, E. Gangguan Psikosomatik Saluran
Kemih. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat
Penerbitan FKUI. 2006. p953