Anda di halaman 1dari 16

Bab 4 Kelembagaan

Perkembangan Kelembagaan Pertanahan/Agraria dan Keterkaitannya dengan Penataan


Ruang

4.7
PERK EM BA NG AN KEL EM BAG AA N
P E R T A N A H A N / A G R A R IA D A N K E T E R K A I T A N N Y A
DENG AN PEN AT A AN RUA NG
Oleh: Tubagus Haedar Ali )

I. ORGANISASI PEMERINTAHAN DI BIDANG PERTANAHAN


1.1 Pendahuluan
Baik pada masa penjajahan maupun pada masa
kemerdekaan sampai diterbitkannya/diberlakukannya Undang
Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960
urusan pertanahan diselenggarakan mengikuti sistem yang
diterapkan pada jaman penjajahan/kolonial Belanda yang menganut
sistem dualisme, yaitu dua sistem yang berbeda dilaksanakan pada
waktu yang bersamaan dalam penyelenggaraan urusan pertanahan,
yaitu sistem untuk orang Belanda dan Timur asing, yang berbeda
dengan sistem untuk pribumi. UUPA yang salah satu tujuannya
adalah menerapkan unifikasi hukum pertanahan di Republik
Indonesia, telah mengakhiri dualisme tersebut.
Namun
kedudukan
organisasi
yang
menangani
pertanahan/agraria dalam susunan kabinet/pemerintahan, berbedabeda, mengalami pasang surut sesuai dengan nuansa politik yang
mempengaruhi penentu kebijakan nasional di jamannya, meskipun
tingkat urgensi pertanahan/agraria dalam masyarakat sepanjang
sejarah kemerdekaan selalu meningkat, selalu semakin strategis,
mulai dari awal sampai dengan sekarang.

Ka-PUSDATA Dep.PU (1978-1990), Direktur DTKTD Cipta Karya Dep.PU (1990-1994),


Asmen Agraria Bidang Tanah Perkotaan (1994-2000), Asmen Agraria Bidang Analisa
Sistem (1995-2000), Deputi Bidang Informasi BPN (2000-2002), Senior Advissor in
Information Technology, CIMSA Ig. AIE (2002-now).

Sejarah Penataan Ruang Indonesia


- Tubagus Haedar Ali -

IV.7-1

Bab 4 Kelembagaan
Perkembangan Kelembagaan Pertanahan/Agraria dan Keterkaitannya dengan Penataan
Ruang
1

1.2 Jaman Penjajahan

Masa kolonial Belanda (1870-1942). Sejak berlakunya


Agrarische Wet (1870) pemerintah kolonial Belanda menerbitkan
ordonansi (Staatblad 1823 No. 164) yang menetapkan
penyelenggaraan kadastral ditugaskan kepada Kadastral Dienst yang
pejabatnya diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur Jenderal. Pada
masa ini bagi orang Belanda dan timur asing urusan pertanahannya
yang meliputi surat keputusan hak atas tanah diterbitkan oleh Bupati,
Residen, dan/atau Gubernur, dan kadaster yang bersifat peta dan
2
informasi dikerjakan oleh Kehakiman , serta balik nama oleh
pengadilan, sedangkan bagi pribumi urusan pertanahannya cukup
3
dilaksanakan oleh administrasi desa/ kelurahan .
Masa Penjajahan Jepang (1942-1945). Kadastral Dienst
diganti namanya menjadi Jawatan Pendaftaran Tanah dan tetap di
bawah Departemen Kehakiman. Pada masa ini berlaku pelarangan
pemindahan hak atas benda tetap/tanah (Osamu Sierei No. 2 Tahun
1942), dan penguasaan tanah-tanah partikelir oleh Pemerintahan Dai
2
Nippon dihapus . Pada prinsipnya, urusan pertanahan dilaksanakan
seperti jaman kolonial Belanda.
1.3. Masa Kemerdekaan
Selama
masa
Kemerdekaan
(1945-2004)
urusan
pertanahan/agraria diselenggarakan oleh Kementrian/Departemen
Dalam Negeri selama 25 tahun, dan diselenggarakan oleh lembaga
pertanahan/agraria tersendiri selama 34 tahun yang meliputi
Kementeri/Kantor Menteri Negara Agraria selama 22 tahun, dan BPN
(LPND) selama 12 tahun.
Baik
pemerintahan
Presiden
Soekarno
maupun
pemerintahan Presiden Suharto pada awalnya menganggap bahwa
urusan pertanahan/agraria belum merupakan urusan strategis
sehingga cukup deiselenggarakan oleh suatu lembaga di bawah
Kementrian/Departemen, namun pada akhirnya kedua pemerintahan
tersebut sama-sama menyadari bahwa pertanahan/agraria
Badan Pertanahan Nasional, Dasawarsa Bhumibhakti Adhiguna, Jakarta, 29 Februari 1998.
Baru pada masa kemerdekaan, berdasarkan Keputusan Presiden nomor 190 tahun 1957
Jawatan Pendaftaran tanah ini dialihkan ke dalam tugas Kementrian Agraria.
3 Ir. Sutardja Soedradjat, Nara Sumber, 2003.
1
2

Sejarah Penataan Ruang Indonesia


- Tubagus Haedar Ali -

IV.7-2

Bab 4 Kelembagaan
Perkembangan Kelembagaan Pertanahan/Agraria dan Keterkaitannya dengan Penataan
Ruang

merupakan urusan strategis sehingga ditangani oleh satu


Kementrian/Departemen, bahkan pada akhir pemerintahan Presiden
Suharto pertanahan/agraria ditangani oleh dua unit organisasi yang
tangguh yaitu BPN untuk urusan pelayanan kepada masyarakat dan
Kantor Menteri Negara Agraria untuk urusan yang bersifat arahan.
Pemerintahan Presiden Habibie melanjutkan kebijakan pertanahan/
agraria yang telah diselenggarakan oleh Presiden Suharto.
Meskipun urusan pertanahan/agraria semakin hari semakin
strategis dan selalu meningkat kompleksitasnya, namun baik
pemerintahan Presiden Abdurachman Wahid maupun pemerintahan
Presiden Megawati sampai sekarang mengangap urusan
pertanahan/agraria cukup ditangani oleh LPND cq BPN, semacam
organisasi pertanahan/agraria pada Kabinet Pembangunan IV dan
Kabinet Pembangunan IV pada pemerintahan Presiden Suharto.
Selain itu, dengan diberlakukannya Undang No. 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah (UU Otonomi) mengakibatkan
timbulnya friksi antara kekuatan politik yang menghendaki penerapan
otonomi daerah sekaligus (drastis) dengan kekuatan politik yang
menghendaki penerapan otonomi daerah secara bertahap. Hal ini
berdampak pada tarik ulurnya pembagian wewenang dan tanggung
jawab antara pemerintah dan pemerintah daerah, terutama
pemerintah daerah kabupaten dan kota, dan berdampak pada
gunjang-ganjingnya bentuk organisasi pemerintah terutama LPND,
termasuk BPN. Hal tersebut mengakibatkan, pada tahun-tahun
terakhir ini, BPN kurang dapat mengembangkan kreativitasnya
secara maksimal dalam mencapai visi dan melaksanakan misi yang
diembannya.
Dengan dibentuknya Kabinet Presiden Abdurrachman
Wahid pada tahun 1999, maka dengan serta merta Lembaga Menteri
Negara Agraria dibubarkan yang dapat diartikan sebagai
memperlemah kemampuan institusi pertanahan/agraria, dan yang
kemudian dilanjutkan pada masa pemerintahan Presiden Megawati,
dengan menerbitkan berbagai Keputusan Presiden (Keppres) dan
keputusan lainnya mengenai dan/atau yang berpengaruh pada
penyelenggaraan pertanahan/agraria, yang tujuannya untuk
penyempurnaan melalui perubahan tugas pokok dan misi, serta
susunan organisasi LPND dan/atau BPN.

Sejarah Penataan Ruang Indonesia


- Tubagus Haedar Ali -

IV.7-3

Bab 4 Kelembagaan
Perkembangan Kelembagaan Pertanahan/Agraria dan Keterkaitannya dengan Penataan
Ruang

Di samping organisasi pertanahan/agraria diciutkan, juga


pada pemerintahan dua presiden terakhir ini terjadi tarik ulur antara
dua
kekuatan
politik
dalam
hal
penerapan
otonomi
pertanahan/agraria yang satu menghendaki dilakukan sekaligus dan
lainnya dilakukan bertahap, yang berdampak pada gunjangganjingnya dan perubahan Keppres terutama yang berkaitan dengan
tugas, wewenang, dan tanggung jawab, serta organisasi
pertanahan/agraria. Hal ini pada gilirannya mengakibatkan, pada
tahun-tahun terakhir ini, BPN selaku pengemban tugas di bidang
pertanahan/agraria, tidak dapat mengembangkan kreasinya secara
penuh dalam rangka mencapai visi dan melaksanakan misinya.

II. PERTANAHAN DALAM UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN


DAERAH (OTONOMI)
Untuk menjamin agar tanah dimanfaatkan bagi sebesarbesar kemakmuran rakyat secara berkeadilan dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia diperlukan pembagian wewenang yang
tegas terinci, efektif dan efisien. Dengan mempertimbangkan aspekaspek normatif ketatanegaraan, hukum, teknis (penatagunaan tanah,
penguasaan dan pemilikan tanah, sengketa pertanahan, pendaftaran
tanah, hukum ekonomi, prasarana dan sarana manajemen
pertanahan, wewenang tersebut dibagikan di antara dan diberikan
kepada BPN Pusat, Kantor Wilayah BPN Propinsi, Kantor
4
Pertanahan Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Pada saat ini telah diberlakukan Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah (otonomi) yang
merombak secara drastis bukan saja Sistem Administrasi
Pemerintahan tetapi juga Siatem Administrasi Negara. Untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan
otonomi kiranya perlu mempertimbangkan hal-hal berikut ini.
2.1. Hukum Pertanahan
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan
Daerah (otonomi) menetapkan bahwa:

Peradilan tidak diotonomikan (pasal 7);

Prof.Ir. Lutfi I. Nasoetion MSc.PhD.

Sejarah Penataan Ruang Indonesia


- Tubagus Haedar Ali -

IV.7-4

Bab 4 Kelembagaan
Perkembangan Kelembagaan Pertanahan/Agraria dan Keterkaitannya dengan Penataan
Ruang

Pertanahan diotonomikan (pasal 11);

Dari berbagai definisi tetang peradilan dan hukum, kiranya


dapat disimpulkan bahwa peradilan dan hukum merupakan dua hal
sebagai dua sisi dari satu mata uang, dan oleh karena itu bila
peradilan tidak diotonomikan (Pasal 7) maka hukum juga tidak
diotonomikan termasuk hukum pertanahan, dan oleh karena itu
hukum pertanahan tidak diotonomikan, dan dalam hal ini termasuk
pula pengukuran dan pemetaan kadaster yang adalah pengukuran
dan pemetaan tanah (cadastral geodetic engineering) yang
berkekuatan hukum, juga tidak diotonomikan.
Sehubungan dengan Pasal 11 yang menyatakan bahwa
pertanahan diotonomi-kan mengandung pengertian bahwa kegiatan
pertanahan yang diotomikan adalah kegiatan pelayanan pertanahan
yang tidak termasuk Hukum Pertanahan sebagai-mana ditafsirkan
dari Pasal 7.
2.2. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Penyelenggaraan
Otonomi
Prinsip Sistem Jaringan. Bila dalam suatu wilayah yang
meliputi lebih dari satu Kabupaten/Kota berlaku satu sistem jaringan
(contoh jaringan jalan tol, wilayah aliran sungai, jaringan pipa air
minum, jaringan titik-titik referensi kadstral) maka sistem jaringan
tersebut tidak dapat dipenggal-penggal berdasarkan wilayah
administrasi pemerintahan Kabupaten/Kota.
Prinsip Skala Ekonomi. Dalam Ilmu Ekonomi dikenal
Break Even Point Prinsiple, yaitu prinsip yang menyatakan bahwa
ada tingkat kuantitas produksi tertentu yang merupakan titik impas,
sehingga bila kuantitas produksi kurang dari kuantitas titik impas
akan merugi, dan bila kuantitas produksi lebih dari kuantitas titik
impas akan menguntungkan.
Contoh: Bila setiap Kabupaten/Kota mempunyai pabrik mobil milik
perusahaan daerah masing-masing kan merugikan daerah yang
bersangkutan, dan bila mendirikan sekolah taman kanak-kanak di
setiap RW (Rukun Warga) akan bermanfaat.

Sejarah Penataan Ruang Indonesia


- Tubagus Haedar Ali -

IV.7-5

Bab 4 Kelembagaan
Perkembangan Kelembagaan Pertanahan/Agraria dan Keterkaitannya dengan Penataan
Ruang

Prinsip Sistem Wilayah Komplementer. Sesuai kondisi


wilayahnya, maka suatu Kabupaten/Kota mempunyai keunggulan
ekonomi yang berbeda macamnya satu dengan lainnya.
Memaksakan upaya di bidang yang tidak diunggulkan akan
membawa kerugian, sebaliknya hanya berupaya di bidang yang
diunggulkan memerlukan sistem ekspor dan impor antar wilayah
yang memerlukan solusi kompromi yang harus mempunyai kekuatan
politik (political power).
Prinsip Tingkatan Manajemen dan Administrasi
Pemerintahan. Dalam tingkatan administrasi pemerintahan dikenal
tiga tingkatan yaitu Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota, dan dalam
manajemen (pemerintahan) dikenal tingkatan strategis, taktis dan
operasional.
Kombinasi dari dua dimensi yang masing-masing berisi tiga
unsur memberikan enam alternatif permasalahan di masyarakat.
Dalam model ini otonomi hanya dapat menyelesaikan satu dari enam
alternatif permasalahan di masyarakat.
Bila hampir semua tingkatan manajemen dan pemerintahan
diotonomikan yaitu tingkatan manajemen strategis, taktis, dan
operasional, serta hampir semua wewenang pusat dan propinsi juga
diserahkan kepada Kabupaten/Kota, dapat dipastikan bahwa hampir
semua alternatif permasalahan di masyarakat tidak dapat
diselesaikan oleh sistem otonomi.

III. PENATAGUNAAN T ANAH


5

3.1. Normatif

Untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam


arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam
masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat,
adil dan makmur, maka bumi air dan ruang angkasa (BARA),
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada
tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat, yang memberi wewenang kepada Negara

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria


(UUPA).

Sejarah Penataan Ruang Indonesia


- Tubagus Haedar Ali -

IV.7-6

Bab 4 Kelembagaan
Perkembangan Kelembagaan Pertanahan/Agraria dan Keterkaitannya dengan Penataan
Ruang

untuk :
a.

mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,


persediaan dan pemeliharaan BARA tersebut;

b.

menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara


orang-orang dengan BARA;

c.

menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara


orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai
BARA.

Pelaksanaan hak menguasai dari Negara tersebut dapat


dikuasakan kepada Pemerintah Daerah dan masyarakat-masyarakat
hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Penatagunaan tanah merupakan salah satu bentuk
pelaksanaan
wewenang
mengatur
dan menyelenggarakan
peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan BARA,
khususnya muka bumi yang disebut tanah. Sebagaimana telah
diuraikan di atas, penatagunaan tanah merupakan sub sistem dari
penataan ruang, walaupun secara formal istilah penatagunaan tanah
dikenal lebih dahulu dari istilah penataan ruang. Karena itu
kelembagaan yang berkaitan dengan penataan ruang dalam lembaga
pertanahan adalah yang menangani penatagunaan tanah.
Berkaitan dengan penyelenggaraan penatagunaan tanah,
UUPA mengarahkan bahwa berdasarkan Peraturan Daerah yang
berlaku setelah mendapat pengesahan yang mengenai Daerah
Tingkat I dari Presiden, Daerah Tingkat II dari Gubernur yang
bersangkutan dan Daerah Tingkat III dari Bupati/Walikota yang
bersangkutan, Pemerintah Daerah membuat suatu rencana umum
mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan BARA untuk:
a.

keperluan Negara;

b.

keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya,


sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;

c.

keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat,


kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan;

d.

keperluan

memperkembangkan

Sejarah Penataan Ruang Indonesia


- Tubagus Haedar Ali -

produksi

sosial,

pertanian,
IV.7-7

Bab 4 Kelembagaan
Perkembangan Kelembagaan Pertanahan/Agraria dan Keterkaitannya dengan Penataan
Ruang

peternakan dan perikan-an serta kegiatan lainnya yang


sejalan dengan itu;
e.

keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan


pertambangan.

yang selanjutnya, berdasarkan rencana umum tersebut dan


mengingat peraturan-peraturan yang bersangkutan, Pemerintah
Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan BARA
untuk daerahnya.
Kiranya dapat disimpulkan bahwa UUPA menetapkan
bahwa penatagunaan tanah merupakan kewajiban untuk memenuhi
secara seimbang kebutuhan masyarakat atas tanah yang titik berat
pelaksanaannya
merupakan
tanggung
jawab
Pemerintah
Kabupaten/Kota, dan penatagunaan tanah dapat diartikan sebagai
pemanfaatan tanah secara seimbang dengan menghormati hak-hak
atas tanah yang berfungsi sosial sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku.
3.2. Organisasi Penatagunaan Tanah
Dengan adanya tugas, wewenang, dan tanggung jawab di
bidang penatagunaan tanah maka dengan sendirinya perlu dibentuk
organisasi yang mengembannya.
Meskipun UUPA belum lahir, namun pada 1957 telah
6
dibentuk institusi penatagunaan tanah di lingkungan Kementrian
Dalam Negeri, yang kemudian bernama Kantor/Lembaga Perancang
Tata Bumi.
Pada tanggal 30 Juli 1953 dalam susunan Kabinet AliWongso-Arifin dibentuk Kementrian Negara Agraria. Namun alih
tugas dan wewenang Agraria dari Menteri Dalam Negeri kepada
Menteri Negara Agraria baru dilaksanakan pada tahun 1958
berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1958. Mengenai hal ini,
belum diperoleh penjelasan. Selanjutnya pada tahun 1964
berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1964
ditetapkan tugas, susunan, dan pimpinan Kementrian Agraria, di

Ir. Sutardja Sudradjat, Nara Sumber, Jakarta 2003.

Sejarah Penataan Ruang Indonesia


- Tubagus Haedar Ali -

IV.7-8

Bab 4 Kelembagaan
Perkembangan Kelembagaan Pertanahan/Agraria dan Keterkaitannya dengan Penataan
Ruang

mana di dalamnya terdapat Direktorat Land use di tingkat pusat dan


Kantor Inspeksi Land use di tingkat daerah.
Setelah 12 tahun Kementrian Agraria berkiprah,
berdasarkan pertimbangan efisiensi, pada tahun 1965 kementrian
tersebut dirubah statusnya menjadi Direktorat Jenderal Agraria di
lingkungan Kementrian Dalam Negeri, yang diikuti dengan penyatuan
instansi agraria di daerah pada tahun 1972. Penatagunaan tanah
menjadi tugas, wewenang dan tanggung jawab Direktorat Tataguna
Tanah.
Instansi
agraria
di
daerah
secara
operasional
bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota dalam kedudukannya
sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, sedangkan secara teknisadministratif bertanggungjawab kepada Menteri Dalam Negeri.
Untuk mengantisipasi beban urusan pertanahan/agraria
yang berkembang dan semakin kompleks, pada tahun 1988
Direktorat Jenderal Agraria ditingkatkan statusnya menjadi LPND
dengan nama Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang
bertanggungjawab langsung kepada Presiden namun secara
administratif berada di lingkungan Sekretariat Negara, berdasarkan
Kepres 26/88. Dalam organisasi ini, penatagunaan tanah merupakan
tugas, wewenang dan tanggungjawab Deputi Bidang Pengaturan dan
Penguasaan Tanah, dan berdasarkan Keputusan Kepala BPN Nomor
1 Tahun 1989 dibentuk Kantor Wilayah BPN Propinsi, dan Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kotamadya, yang keduanya merupakan
instansi vertikal dan bertanggungjawab kepada Kepala BPN sebagai
perwujudan azas dekonsentrasi sesuaqi Undang-undang 5/74
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.
Menteri Negara Agraria dibentuk pada tahun 1993
berdasarkan Kepres 96/M/93 yang tugas wewenang dan tanggung
jawabnya ditetapkan dalam Kepres 44/93 yang berkaitan dengan
arahan urusan pertanahan/agraria, yang berbeda dengan BPN yang
tugas, wewenang dan tanggung jawabnya pada pelayanan
pertanahan/agraria. Dalam lembaga Menteri Negara Agraria terdapat
dua asisten menteri yang antara lain tugas, wewenang dan tanggung
jawabnya berkaitan dengan penatagunaan tanah yaitu Asisten
Menteri Negara Agraria Bidang Tanah Perkotaan, dan Asisten
Menteri Negara Agraria Bidang Tanah Perdesaan dan Pedalaman.
Dengan adanya lembaga Menteri Negara Agraria/Kepala BPN
dengan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat. KMNA/BPN (Kantor
Menteri Negara Agraria dan Badan Pertanahan Nasional) merupakan
Sejarah Penataan Ruang Indonesia
- Tubagus Haedar Ali -

IV.7-9

Bab 4 Kelembagaan
Perkembangan Kelembagaan Pertanahan/Agraria dan Keterkaitannya dengan Penataan
Ruang

organisasi terkuat bidang pertanahan/agraria yang pernah ada di


republik ini.
Dengan terbentuknya kabinet Presiden Abdurachman
Wahid pada tahun 1999 maka secara serta merta, Menteri Negara
Agraria dihapus, dan BPN dipimpin oleh seorang Kepala BPN yang
dirangkap Menteri Dalam Negeri (Ex Officio). Dan di era kabinet
Presiden Megawati pada 2001, kepala BPN dijabat oleh seseorang
yang diangkat tersendiri, tidak dirangkap oleh Menteri Dalam Negeri
yang kaitannya dengan BPN hanya menteri yang mengkoordinasi
BPN saja. Pada kedua versi BPN ini tataguna tanah dan pengaturan
penguasaan tanah menjadi tugas, wewenang, dan tanggungjawab
Deputi Bidang Tatalaksana Pertanahan.

IV. KETERKAITAN PENATAAN RUANG DENGAN PENATAGUNAAN


TANAH
Penataan ruang hadir secara formal sejak tahun 1992 ketika
diberlakukannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang
Penataan Ruang. Produk penataan ruang adalah rencana dan
pelaksanaan tata ruang, serta pengendalian pelaksanaan tata ruang
yang isinya meliputi penetapan kawasan lindung dan budidaya,
pemanfaatan kawasan budidaya oleh sektor-sektor unggulan, pusatpusat permukiman perkotaan dan perdesaan, sistem jaringan
transportasi, sistem prasarana lainnya (non-transportasi), dan
program sektor prioritas, serta program kawasan strategis.
Tampak di sini bahwa dalam hal pemanfaatan permukaan
tanah ada kesamaan antara penataan ruang dengan penatagunaan
tanah berdasarkan UUPA (32 tahun sebelum Undang-undang
Penataan Ruang) sebagai mana diuraikan di atas, namun cakupan
pertimbangan fisik pemanfaatan tanah, penataan ruang lebih luas
dari pada penatagunaan tanah, dan hal ini sesuai ketetapan undangundang penataan ruang yang menyatakan bahwa penatagunaan
tanah, penatagunaan air, dan semacamnya merupakan subsistem
dari penataan ruang.
Undang-undang Penataan Ruang menetapkan tiga
tingkatan rencana tata ruang yaitu Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional ditetapkan berdasarkan Keppres diperbaharui setiap 15
tahun, Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi ditetapkan
berdasarkan Peraturan Daerah diperbaharui setiap 10 tahun, dan
Sejarah Penataan Ruang Indonesia
- Tubagus Haedar Ali -

IV.7-10

Bab 4 Kelembagaan
Perkembangan Kelembagaan Pertanahan/Agraria dan Keterkaitannya dengan Penataan
Ruang

Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan


berdasarkan Peraturan Daerah diperbaharui setiap 5 tahun.
Tingkatan-tingkatan tersebut berlaku pula untuk Tataguna Tanah,
tetapi penyelenggaraanya berbeda yaitu dalam hal rencana tata
ruang diotonomikan, sedangkan dalam hal rencana Tataguna Tanah
didekonsentrasikan.
Dalam hal pemanfaatan fisik tanah, pada penataan ruang
lebih
menekankan
pertimbangan
aspek-aspek
7
Poleksosbudhankamnas ,
namun
berbeda
halnya
pada
penatagunaan tanah yang lebih menekankan aspek-aspek legalitas
dan kepemilikan hak atas tanah.
Dalam penyusunan penataan ruang, instansi berbagai
sektor (termasuk sektor pertanahan) menyiapkan masukannya
masing-masing untuk diolah secara terintegrasi dan holistik menjadi
sebuah rencana tata ruang. Rencana tata ruang tersebut tidak akan
mampu menampung seratus persen masukan aspirasi masingmasing sektor, dan oleh karena itu bila rencana tata ruang tersebut
telah mempunyai status hukum maka masing-masing sektor
menterjemahkannya menjadi dalam bentuk aspirasi sektornya
masing-masing yang berbeda dengan aspirasi semula sebagai
masukan, dan selanjutnya dijadikan acuan bagi pembangunan sektor
dan program sektor terkait. Baik penyusunan rencana tata ruang,
maupun penyusunan rencana tata guna tanah melalui proses
bertingkat disektornya masing-masing secara iteratif yaitu bottom8
up dan top-down
Sehubungan dengan Keterkaitan Penataan Ruang dengan
Penatagunaan Tanah, dijumpai kasus-kasus sebagai berikut :
Efektifitas Penataan Ruang. Ada beberapa hal teknis
rasional yang menyebabkan suatu penataan ruang tidak efektif yaitu:

Karena berbagai hal customer penataan ruang tidak mampu


dan/atau tidak mau mentaati rencana tata ruang, meskipun
perbuatan tidak mentaati baik tidak mampu maupun tidak mau
tersebut adalah perbuatan yang melanggar hukum;

Poleksosbudhankamnas adalah singkatan dari Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya, serta
Pertahan-an dan Keamanan Nasional.
Prof. DR.Ir. Nad Darga Talkur Putra, sebagai Nara Sumber, Jakarta, 1995.

Sejarah Penataan Ruang Indonesia


- Tubagus Haedar Ali -

IV.7-11

Bab 4 Kelembagaan
Perkembangan Kelembagaan Pertanahan/Agraria dan Keterkaitannya dengan Penataan
Ruang

Sebahagian atau semua dari satu atau lebih sumberdaya


manajemen penataan ruang (waktu, dana, tenaga kerja, alat,
bahan, dan informasi) kurang memadai baik dari segi kuantitas
maupun kualitas, atau bahkan tidak tersedia sama sekali;

Tanah yang digunakan dalam penataan ruang tidak dikuasai


secara fisik dan tidak dimiliki secara hukum oleh pelaku
penataan ruang. Sebagai contoh pada kasus para
pengembang yang menguasai secara fisik dan memiliki secara
hukum tanah yang akan digunakannya, mereka dapat
membangunan fisik di kawasan tanah miliknya secara efektif
seabagaimana telah direncanakan;

Karena berbagai sebab penyelenggaraan penataan ruang


bertentangan
dengan
peraturan
perundang-undangan
pertanahan.

Larangan Merubah Fungsi Tanah Beririgasi Teknis.


Dengan alasan untuk melindungi investasi di bidang prasarana irigasi
yang telah ditanamkan oleh pemerintah, diterbitkan keputusan
presiden yang melarang alih fungsi tanah yang berigasi teknis.
Penataan ruang yang merencanakan alih fungsi tersebut akan gagal
demi hukum.
Tanah Hak Berasal dari Redis. Tanah obyek land reform
yang telah diredistribusikan kepada keluarga tani yang memenuhi
persyaratan, dengan pola beli cicil dan disubsidi bridging finance
oleh pemerintah, dilarang diperjualbelikan selama jangka waktu
tertentu, 20 tahun sejak akad beli-cicil. Penataan ruang yang
merencanakan tanah semacam ini melalui pengalihan hak atas tanah
dalam kurun waktu 20 tahun tersebut akan gagal demi hukum.
Rumah Susun di Atas Tanah yang Bukan Hak Pakai.
Hanya unit-unit rumah susun yang dibangun di atas tanah hak pakai
yang boleh dijual kepada warganegara/orang asing. Penataan ruang
yang merencanakan menjual unit-unit apartemen yang dibangun di
atas tanah yang bukan hak pakai kepada orang asing, hak guna
bangunan umpamanya, akan gagal demi hukum.
Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dan Strata Title.
Dalam promosi penjualan rumah susun, ditawarkan unit apartemen
dengan strata title. Strata title adalah sejenis hak atas unit rumah
apartemen di negara anglo saxon di Eropa atau di Australia.
Sejarah Penataan Ruang Indonesia
- Tubagus Haedar Ali -

IV.7-12

Bab 4 Kelembagaan
Perkembangan Kelembagaan Pertanahan/Agraria dan Keterkaitannya dengan Penataan
Ruang

Terminologi hukum asing ini berbahaya bila kemudian terjadi


perselisihan, karena mengandung pasal-pasal yang pengertiannya
tidak sama dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia yaitu Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
Kebijakan Harga Hanah. Kebijakan harga jual-beli bagi
pengadaan tanah ditetapkan dan disepakati oleh pemilik yang akan
melepaskan hak atas tanah dan calon pembeli yang akan menerima
hak atas tanah yang dicapai dengan cara musyawarah untuk mufakat
tanpa paksaan.
Kebijakan ini sukar dilaksanakan karena dalam proses jualbeli tanah sampai tingkat tertentu terjadi pemaksaan-pemaksaan baik
secara halus maupun secara terang-terangan yang sukar dibuktikan
secara hukum dan bila terbukti sanksinya pun hanya berdasarkan
hukum perdata atau hukum pidana.
Dalam keadaan dead lock, Presiden RI berwenang untuk mencabut
hak atas tanah tersebut bila memenuhi persyaratan pencabutan hak
atas tanah sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundangundangan terkait.
Penggantian yang Layak. Undang-undang Penataan
Ruang menetapkan bahwa bila dengan adanya rencana tata ruang,
pemilik tanah yang telah memperoleh ijin dengan itikad baik
menderita kerugian, maka pemilik tanah tersebut berhak memperoleh
penggantian yang layak.
Ketentuan ini memerlukan peraturan perundang-undangan yang lebih
rinci karena akan dapat menyelesaikan berbagai masalah praktis
dalam perubahan hak atas tanah, dan bahkan bila ada ketentuan
rinci dimaksud bersifat mengurangi hak seseorang maka ketentuan
tersebut harus berbentuk sebuah undang-undang.
Penggusuran dan Pengusiran. Penggusuran/pengusiran
atas warga dari tanah yang dikuasainya yang menurut hukum
pertanahan pengusaan mereka atas tanah bersebut adalah
penguasaan tanah secara liar (illegal occupancy) dan sebahagian
dari mereka telah membeli tanah terkait dari pihak yang ternyata
tidak berhak atas tanah tersebut.

Sejarah Penataan Ruang Indonesia


- Tubagus Haedar Ali -

IV.7-13

Bab 4 Kelembagaan
Perkembangan Kelembagaan Pertanahan/Agraria dan Keterkaitannya dengan Penataan
Ruang

Penggusuran dan pengusiran yang tidak manusiawi ini tidak akan


terjadi bila si pemilik hak atas tanah memelihara tanahnya sehingga
mutunya dipertahankan dan kalau mungkin mutunya ditingkatkan,
serta melindungi tanahnya dari penyerobotan oleh pihak yang tidak
berhak, sebagaimana telah ditetapkan dalam peraturan perundangundangan yang berlaku.
Bila yang dikuasai tanpa hak tersebut adalah tanah negara, yaitu
tanah yang tidak di-claim oleh pihak manapun sebagai miliknya,
maka tanah tersebut secara praktis disebut tanah garapan dan
menurut peraturan perundang-undangan penggarap mempunyai
prioritas tertinggi untuk memperoleh hak atas tanah garapannya
melalui proses yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
9

Land
Consolidation
dan
Guided
Land
Development. Konsolidasi tanah (Land consolidation - L/C) adalah
pengaturan kembali tata letak bidang tanah (kapling) yang berada di
satu hamparan sedemikian rupa sehingga bahagian terbesar setiap
bidang tanah lokasinya tetap, dan setiap bidang tanah mempunyai
akses terhadap prasarana dan sarana lingkungan permukiman dan
utilitas umum, serta luas bidang tanah berkurang secara proporsional
karena digunakan untuk tanah bagi prasarana dan sarana lingkungan
permukiman.
Dalam sistem L/C ini, tidak dapat dihindari bahwa ada bahagian
tanah dari satu bidang tanah diserahkan kepada pihak lain, dan ada
bahagian bidang tanah diterima oleh satu bidang tanah dari pihak
lain. Dari hukum pertanahan ini berarti bahwa terjadi peralihan hak
atas tanah dari satu bahagian atau lebih di sejumlah bidang tanah,
dan peralihan hak atas tanah ini merupakan tugas, wewenang dan
tanggungjawab BPN. Meskipun pada umumnya penerapan L/C ini
menguntungkan bagi para pemilik tanah, namun masih perlu
disempurnakan karena:

Perlu memperhitungkan adanya bidang tanah yang sudah


mempunyai akses terhadap prasarana dan sarana lingkungan
permukiman sebelum dan sesudah L/C, meskipun sesudah
adanya L/C mutunya lebih baik;

Tubagus Haedar Ali, Land Consolidation in Indonesia, Presented in Habitat II


Conference, Istanbul, Turkey, 1996.

Sejarah Penataan Ruang Indonesia


- Tubagus Haedar Ali -

IV.7-14

Bab 4 Kelembagaan
Perkembangan Kelembagaan Pertanahan/Agraria dan Keterkaitannya dengan Penataan
Ruang

Perlu adanya penyelesaian yang adil bagi bidang tanah yang


ukurannya relatif kecil;

Perlu koordinasi dengan fihak lain agar prasarana dan sarana


lingkungan permukiman dibangun segera setelah redesign dan
pekerjaan pengkaplingan selesai dilaksanakan oleh BPN;

Perlu ditetapkan boleh tidaknya perubahan jumlah bidang tanah


antara sebelum dengan sesudah L/C diselenggarakan, karena
ada hal ini dimanfaatkan oleh pengembang nakal karena dapat
memberikan keuntungan komersial;

Perlu dipikirkan kemungkinan L/C yang didanai oleh swadaya


masyarakat pemilik tanah.

Guided Land Development (GLD) adalah pengarahan


pembangunan kawasan dengan membangun jaringan primer dan
sekunder prasarana dan sarana lingkungan permukiman di satu
hamparan yang diselenggarakan oleh pemerintah sedangkan
pembangunan jaringan tersier dan kuarternya menjadi tanggung
jawab penghuni. Mengingat tidak adanya peralihan hak atas tanah,
maka GLD dapat dilaksanakan oleh pihak pemerintah dan atau
swasta yang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Pengadaan tanah bagi jaringan primer dan sekunder
tersebut diperoleh dangan cara jual-beli tanah terkait.

V. PENUTUP
Kaitan antara penataan ruang dengan penatagunaan tanah
sangat erat satu dengan lainnya saling mempengaruhi yang samasama berkekuatan hukum dalam kerangka meningkatkan
kesejahteraan dan melindungi masyarakat.
Agar tidak terjadi rencana yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, umpamanya rencana
penataan ruang yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan pertanahan, dan umpamanya instansi pertanahan yang
dianggap menghambat penataan ruang, kiranya instansi yang
bertanggungjawab di bidang penataan ruang dan di bidang
penatagunaan tanah, serta instansi lainnya yang terkait, melakukan
komunikasi dan kerjasama yang lebih erat melalui suatu siklus iterasi
yang dipercepat.

Sejarah Penataan Ruang Indonesia


- Tubagus Haedar Ali -

IV.7-15

Bab 4 Kelembagaan
Perkembangan Kelembagaan Pertanahan/Agraria dan Keterkaitannya dengan Penataan
Ruang

Sejarah Penataan Ruang Indonesia


- Tubagus Haedar Ali -

IV.7-16

Anda mungkin juga menyukai