Anda di halaman 1dari 6

Eleonora Fidela T.

11/317948/SP/24830
Nikki Efi Pertiwi
11/317920/SP/24803
Novita Amalia Anggraeni
11/312382/SP/24539
Sekar Bestari
11/318036/SP/24891
Triyani
11/320034/SP/24937
FILSAFAT KOMUNIKASI
PESAN DALAM FILM
A.Pendahuluan
Film sebagai salah satu bentuk media fiksional merupakan
media yang bisa dibilang sangat populer di masyarakat. Film
bisa menjadi sarana sosialisasi, hiburan, dan bahkan
propaganda. Pesan di dalamnya pun bermacam-macam dan
pemaknaan atas pesan yang dibawa dalam film bisa juga
berbeda. Bagaimana suatu pesan dikonstruksi dalam sebuah
film, sesungguhnya sangatlah menarik. Bagaiman pembuat
film berusaha menyampaikan apa yang ingin disampaikannya
melalui audio visual yang disajikan, sangat menarik untuk
diteliti. Konstruksi pesan melalui bahasa maupun simbol, baik
secara tersurat atau tersirat, dapat juga dimaknai secara
berbeda oleh audiens, tergantung latar belakang sosial budaya
yang dimiliki.
Pesan dalam suatu media (dalam hal ini adalah film),
masuk ke dalam tradisi semiotik. Tradisi komunikasi ini fokus
terhadap makna yang dibentuk dari konstruksi pesan melalui
bahasa maupun simbol. Semiotik sendiri merupakan teori dari
produksi dan interpretasi makna.
Film Cin(t)a merupakan film yang kaya akan makna. Pesan
yang disampaikan melalui film ini dapat dimaknai secara
berbeda; setidaknya oleh 2 pihak, yaitu orang Islam dan
Kristen. Film ini berusaha menyampaikan kritik terhadap
pluralisme di Indonesia, yang sampai saat ini pun, masih
menjadi permasalahan yang sangat sensitif bagi beberapa
kalangan.
B.Pembahasan
Ontologi
Film Cin(T)a merupakan sebuah film Indonesia yang
disutradarai oleh Sammaria Simanjuntak dan dirilis tahun

2009. Berkisah mengenai seorang laki-laki bernama Cina


beretnis Cina Medan yang memeluk agama Kristen dengan
taat. Cina adalah seorang lelaki yang pintar, belum pernah
mengalami kegagalan dalam hidup, sehingga dia yakin bisa
mewujudkan impiannya hanya dengan modal iman. Cina
kemudian bertemu dengan Anisa yang beretnis Jawa dan
merupakan seorang Muslim yang rajin beribadah. Anisa
mahasiswi tingkat akhir yang kuliahnya terhambat karena
karirnya di dunia film.
Selanjutnya, Cina membantu Anisa untuk menyelesaikan
tugas akhirnya. Pertemuan yang intens, membuat Cina dan
Annisa semakin dekat. Mereka pun saling jatuh cinta.
Perbedaan yang ada di antara mereka menjadi dialog cinta
yang banyak menggugat banyak perkara tentang cinta,
Tuhan, agama, dan kehidupan nyata. Pada akhirnya, cinta
mereka tidak bisa bersatu karena memanggil Tuhan dengan
nama yang berbeda. Padahal Tuhan menciptakan perbedaan
bukan untuk dipersalahkan, tetapi untuk saling mengisi dan
menciptakan toleransi.
Dibuka dengan dengan format video wawancara pasangan
berbeda agama, film ini bisa jadi secara tegas ingin
menggiring penonton untuk mengetahui kenyataan bahwa
toleransi beragama masih eksis dan bisa berjalan di
Indonesia. Namun, seiring berjalannya film, pembuka dengan
format yang cukup menarik tersebut seperti tidak didukung
dengan narasi narasi yang dibangun. Tidak ada konflik yang
cukup terasa naik dan turunnya, kebanyakan dialog hanya
berputar pada kecintaan dua pasangan tokoh utama terhadap
masing masing tuhannya, masing-masing sukunya, dan
masing-masing identitas lainnya. Memang, suasana toleransi
terbangun dalam keadaan saling bahu membahu mengatasi
masalah kehidupan sehari-hari. Namun, begitu masuk pada
wilayah yang lebih serius yaitu menggagas jalinan cinta ke
jenjang yang lebih tinggi, toleransi kandas begitu saja, Tidak
ada sedikitpun gambaran usaha atau dialog yang
mempertegas pesan. Penonton seakan dibiarkan terhempas
begitu saja pada kenyataan klise bahwa sulit mengikat dua
agama dalam pernikahan. Bukan hanya dihempas, penonton

seperti hanya disodori kenyataan yang semua orang juga


sudah tahu. Toh, kalaupun pesan yang ingin disampaikan
adalah toleransi tidak bisa dibawa terlalu jauh sampai keluar
dari batasan-batasan agama, suku maupun identitas lainnya,
hal tersebut juga tidak cukup jelas dibangun baik dengan
kehadiran pihak oposisi, atau simbol dan teks lain yang
mempertegas cerita. Seperti hanya situasi mengambang yang
diputuskan sepihak tanpa mempedulikan apa yang nantinya
akan ditangkap oleh penonton.
Pesan utama yang ingin disampaikan oleh film Cin(T)a bisa
jadi sesederhana ajakan untuk bertoleransi agama. Di
Indonesia, topik tersebut memang cukup sensitif tapi menarik
untuk dibahas. Apalagi jika topik tersebut menyangkut cinta
sepasang kekasih yang memiliki perbedaan agama, para
pecinta roman picisan yang terbentang dari sabang sampai
merauke akan berbondong-bondong menikmatinya. Tak ayal
jika pernikahan beda agama yang belum lumrah terjadi di
Indonesia menjadi salah satu daya tarik film ini sehingga
membuatnya cukup laris dan banyak diperbincangkan kancah
muda mudi Indonesia pada akhir tahun 2009 lalu. Bahkan,
film Cin(T)a cukup banyak mendapatkan tanggapan positif
terutama menyangkut masalah teknis. Pengambilan gambar
yang teliti dan direkam dengan banyak dof sempit, juga
banyaknya dialog cerdas yang cocok untuk dijadikan kutipan
menjadi salah satu daya jual di tengah gersangnya film-film
Indonesia, setidaknya film-film yang diproduksi di dalam
periode yang sama dengan film Cin(T)a. Namun, di luar
masalah teknis dan teks naskah yang tersusun apik dengan
kata kata indah, ada baiknya film juga memiliki narasi yang
jelas sehingga pesan dalam film dapat tersampaikan dengan
tepat.

Epistemologi

Narasi dalam film dibentuk oleh berbagai macam unsur


antara lain teks naskah dan gambar. Agar dapat
menyampaikan permasalahannya dengan tepat, pemilihan
unsur-unsur untuk membangun narasi tersebut harus dipilih
secara teliti, dengan kata lain, unsur-unsur tersebut tidak
secara tiba tiba ada, namun dibentuk dan dikembangkan oleh

sang pembuat. Tradisi komunikasi semiotika bisa digunakan


untuk menganalisis bagaimana film menyampaikan pesannya
melalui gambar dan teks sehingga membentuk subyektifitas
kolektif.
Film Cin(T)a mengandung beberapa unsur simbol-simbol
yang ikonik sehingga menarik untuk dibahas. Seperti
misalnya, semut yang tiba tiba muncul di dekat tokoh, bahkan
berjalan begitu di salah satu bagian tubuh tokoh. Semut yang
berjalan tadi seringkali dibarengi dengan narasi jangan
dibunuh, nanti jika sudah tidak ada yang manis dia (semut)
akan pergi sendiri. Namun, di saat-saat adegan yang rasanya
pahit, seperti pada adegan pernikahan yang didasarkan atas
perjodohan, pun semut tetap berjalan di bahu si tokoh. Semut
tersebut juga tidak digambarkan pergi. Apakah hal tersebut
mengindikasikan bahwa perjodohan adalah hal manis?
Padahal mimik wajah tokoh terlihat sedih. Kombinasi hal-hal
yang konotatif dan bersifat simbolis semacam itulah yang
nantinya bisa diterjemahkan bahkan dikoreksi dengan tradisi
semiotika sehingga bisa disajikan menjadi hidangan yang bisa
dinikmati bersama-sama.
Metz dalam bukunya yang berjudul Film Language1,
mengungkapkan bahwa sama seperti bahasa yang kita
ucapkan atau tulis, sinematografi juga memiliki grammar atau
tatanan bahasa yang membuatnya bisa bernilai universal.
Walaupun pada kenyataan yang ada, banyak sinematografi
yang tidak mempedulikan tatanan formal yang mengaturnya,
tetapi sebagai salah satu bentuk penyampaian pesan dan
makna tertentu pada khalayak, film sebaiknya bisa dipahami
secara kolektif. Untuk menciptakan keadaan yang demikian,
para ilmuwan di bidang semiotik telah merumuskan beberapa
hal termasuk tatanan simbol dan bahasa yang sudah
dipelajari selama tahunan bahwa hal tersebut berpengaruh
pada psikologi manusia atau penonton.
Menggunakan
semiotika, film cin(T)a akan dibahas secara keseluruhan mulai
dari penanda (signifier) konotatif dan denotatif yang ada di
dalamnya hingga detail secara teknis yang mempengaruhi
psikologi penonton.
1

Film Language: A Semiotics of the Cinema (hal. 79)

Aksiologi

Secara aksiologis kegunaan film dititikberatkan sebagai


sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan
yang sudah menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan
peristiwa, musik, drama, dan sajian teknis lainnya kepada
masyarakat umum. Film memberikan peluang bagi semua
kalangan untuk mempelajari budaya melalui visualisasi yang
disuguhkan.
Film merupakan mass media culture yakni penggambaran
budaya sebagaimana adanya seperti yang terdapat dalam
berbagai
media
massa
kontemporer,
baik
tentang
penggolongan elit, awam, orang terkenal ataupun budaya asli
masyarakat. Pesan utama yang ingin disampaikan oleh film
Cin(T)a bisa jadi sesederhana ajakan untuk bertoleransi
agama. Ketika dalam film tersebut ada penggolongan dua ras
dan agama.

Objek Material dan Objek Formal

Objek material merupakan sesuatu yang dijadikan sasaran


pemikiran, diselidiki, atau yang dipelajari. Objek material atau
subject matter dapat berupa hal konkrit maupun abstrak.
Sedangkan objek formal adalah cara memandang atau
mempelajari objek material. Misalnya, objek material
dipandang menggunakan objek formal psikologi, biologi,
hukum, dan sebagainya. Dalam pembahasan kali ini, objek
material adalah jelas pesan dalam film, khususnya film Cin(t)a
dan objek formalnya adalah penggunaan semiotika dalam
menuangkan pesan yang ingin disampaikan dalam film.
Penggunaan semiotika dirasa cukup sesuai dengan film
Cin(T)a yang sangat kuat pada skrip. Demikian juga karena
pesan dalam film ini dilihat dari sudut pandang komunikasi.
C.Penutup
Film Cin(t)a merupakan salah satu jenis pesan dalam media
fiksional. Film mampu mempengaruhi dan membentuk budaya
atau kehidupan masyarakat sehari-hari. Dalam hal ini berarti
film
dianggap
sebagai
medium
sempurna
untuk
mengekspresikan realitas kehidupan yang bebas dari konflikkonflik ideologis. Film dapat memberdayakan persepsi

generasi muda dan meningkatkan rasa ketertarikannya akan


nilai-nilai sosial dan nilai-nilai luhur dari suatu budaya. Serta
film merupakan suatu bentuk seni yang sangat representatif
karena ia menyajikan betuk-bentuk dan gambaran-gambaran
yang sangat mirip dengan bentuk dalam kehidupan
sebenarnya. Efektivitas penerimaan pesan yang terkandung
dalam film oleh khalayak umum tentu saja dipengaruhi
oleh frame of reference dan frame of experience, namun
kelebihan dari media film yakni penyajian strukturisasi kreatif
yang merupakan cerminan dari kehidupan nyata membuat
khalayak umum ikut terbawa dalam arus cerita dan
membuatnya merasa memiliki kesamaan frame, sehingga
penyampaian pesan akan mudah ditangkap dan dipahami.
Sehingga
komunikator
(pembuat
film)
mampu
mengkomunikasikan pesan dalam sebuah film kepada
komunikan (penonton)
sehingga komunikan mampu
mengintrepetasikan dan menerima pesan dalam film cin(t)a
dengan baik. Pesan utama yang ingin disampaikan oleh film
Cin(T)a bisa jadi sesederhana ajakan untuk bertoleransi
agama.
Daftar Pustaka
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. 2001. Filsafat Ilmu:
Sebagai
Dasar
Pengembangan
Ilmu
Pengetahuan.
Yogyakarta: Liberty.
http://www.utwente.nl/cw/theorieenoverzicht/Theory
%20clusters/Public%20Relations,%20Advertising,
%20Marketing%20and%20Consumer
%20Behavior/Semiotic_Theories/ diakses 25 Mei 2014.

Anda mungkin juga menyukai