Anda di halaman 1dari 19

Membangun Model Pemerintahan

Kampung Adat di Kabupaten Jayapura

Oktober
2014

Sebuah Pengkajian Cepat


Dokumen ini mendeskripsikan hasil kajian tentang model
pemerintahan kampung adat di Kabupaten Jayapura, Provinsi
Papua. Kajian dilakukan atas kerjasama Kemitraan melalui
Program Reform the Reformers Continuation dengan Koalisi CSO
Papua yang dikoordinir oleh Asosiasi Fasilitator Pemberdayaan
Pembangunan Partisipatif (AFP3).

ii

Membangun Model Pemerintahan Kampung Adat


di Kabupaten Jayapura

Dokumen ini mendeskripsikan hasil kajian tentang model pemerintahan kampung


adat di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Kajian dilakukan atas kerjasama
Kemitraan melalui Program Reform the Reformers Continuation dengan Koalisi
CSO Papua yang dikoordinir oleh Asosiasi Fasilitator Pemberdayaan
Pembangunan Partisipatif (AFP3).

Peneliti
Tim Riset dan Advokasi Koalisi CSO Papua
Asosiasi Fasilitator Pemberdayaan Pembangunan Partisipatif (AFP3) Papua
Perkumpulan Terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat
Papua (PPMA)
Universitas Cendrawasih

Reviewer
Tim CSO Engagement RTRC

Jayapura, Oktober 2014

1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu perubahan regulasi yang paling kuat membawa dampak secara
sistemik adalah Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah yang menandai
terjadinya big bang decentralization di Indonesia (Hofman & Kaiser, 2002).
Kerangka baru tersebut sekaligus menjadi jalur cepat bagi pembentukan daerah
otonom baru yang merupakan pemekaran dari unit pemerintahan yang telah ada
sebelumnya. Dalam rentang 10 tahun sejak 1999, jumlah daerah otonom di
Indonesia telah bertambah sebanyak 205 buah, yang terdiri dari 7 daerah otonom
provinsi, 164 daerah otonom kabupaten serta 34 daerah otonom kota. Dengan
demikian, penambahan ini telah menambah total jumlah daerah otonom di
Indonesia menjadi 524 daerah otonom yang terdiri dari 33 provinsi, 398
kabupaten, 93 kota, tidak termasuk 6 daerah administratif di Provinsi DKI Jakarta.
Besarnya hasrat masyarakat dan elit politik lokal untuk membentuk daerah
otonom baru terutama disebabkan oleh cakupan geografis yang terlalu luas,
ketertinggalan pembangunan, kurangnya fasilitas pelayanan publik, serta
kegagalan pengelolaan konflik komunal. Pemekaran dipandang sebagai cara
ampuh bagi daerah, yang selama ini merasa dipinggirkan dalam pembangunan,
untuk mendorong pembangunan di daerahnya. Setidaknya, dengan membentuk
daerah otonom baru akan ada aliran Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi
Khusus (DAK), membuka peluang kerja sebagai pegawai negeri, memunculkan
elit-elit politik baru yang akan duduk di DPRD, serta meningkatkan eksistensi
identitas lokal. Pada titik inilah, dalam banyak kasus, upaya pemekaran daerah
menjadi arena bagi para pemburu rente (rent-seeker) maupun para petualang
politik yang mengejar kepentingan sendiri dan kepentingan jangka pendek.
Terlepas dari besarnya dorongan kelompok-kelompok masyarakat,
terjadinya ledakan pemekaran juga dimungkinkan karena instrument regulasi yang
sangat lemah. Kelemahan pada desain regulasi antara lain ditandai dengan
longgarnya persyaratan yang ditetapkan untuk pembentukan daerah otonom.
Berbeda dengan era Orde Baru, terlepas dari kuatnya sentralisme, pembentukan
suatu daerah baru dulunya dipertimbangkan dengan sangat ketat dan butuh waktu
yang lama, sedangkan saat ini ketentuan pembentukan daerah otonom baru
cenderung sangat longgar. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000
tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan
Penggabungan Daerah, persyaratan teknis yang ditetapkan seperti jumlah
penduduk, cakupan wilayah, dan potensi ekonomi, masih sangat longgar.
Akibatnya banyak daerah otonom yang berpenduduk sangat sedikit, atau dengan
wilayah yang sempit, ataupun dengan potensi ekonomi terbatas. Daerah otonom
semacam itu akan sulit berkembang menjadi daerah otonom yang maju dan
mandiri, dimana pada ujungnya tentu akan menjadi beban Pemerintah Pusat.
Meskipun PP Nomor 129 Tahun 2000 sudah diganti dengan PP Nomor 78 Tahun
2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah

dengan syarat pembentukan daerah otonom yang lebih diperketat, tetapi syaratsyarat tersebut seringkali tidak dipenuhi.
Di samping akibat dari lemahnya regulasi, ledakan pembentukan DOB
juga disebabkan karena proses pemekaran menempatkan daerah dan aktor lokal
sebagai variabel utama. Dalam praktiknya pola regulasi semacam ini
memunculkan kecenderungan terjadinya politik uang, politik identitas dan free
rider dalam proses pemekaran yang pada akhirnya menjauhkan pemekaran dari
tujuan-tujuan normatifnya. Daerah dan elit lokal berusaha melakukan segala cara
untuk menunjukkan kuatnya dukungan masyarakat terhadap proses pemekaran,
termasuk membangkitkan semangat kedaerahan (primordialisme) dan semangat
etnis (ethno-politics). Di sisi lain ada pihak-pihak pemegang otoritas yang merasa
dipaksa untuk menyetujui atau memberi rekomendasi usulan proses pemekaran
atas nama aspirasi rakyat.
Mekanisme pemekaran yang didasarkan semata-mata pada prinsip bottom
up (dari bawah ke atas) ini menjadi problematik ketika pemekaran hanya menjadi
agenda daerah dan cenderung mengabaikan kepentingan strategis nasional. Tidak
bisa dipungkiri bahwa pemerintah Indonesia masih menghadapi banyak persoalan
pada lingkup nasional. Masalah-masalah tersebut antara lain disparitas
pembangunan ekonomi dan sosial, kerapuhan identitas ke-Indonesiaan, serta
rapuhnya sistem penjagaan kewilayahan aktif dari ancaman dan ganggunan pihak
luar. Kebijakan pemekaran daerah sesungguhnya dapat merupakan salah satu
alternatif untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut. Persoalan politik
domestik dan internasional di beberapa daerah perbatasan antar negara mungkin
akan dapat dihindari jika saja Pemerintah Pusat jauh-jauh hari telah menghadirkan
unit pemerintahan di sana. Oleh karena itu proses inisiasi kebijakan formal
seharusnya dapat juga dilakukan oleh Pemerintah Pusat demi menjaga
kepentingan strategis nasional.
Ledakan inginnya sebuah wilayah mengatur wilayahnya sendiri tidak
hanya sampai pada daerah dengan status daerah otonom, tetapi juga dilakukan
oleh wilayah yang cakupannya lebih kecil lagi. Undang-Undang No. 6 Tahun
2014 tentang Desa menunjukkan bahwa wilayah yang lebih kecil cakupan
administratifnya dari sebuah daerah otonom menginginkan diatur oleh aktor desa
yang ditempatkan sebagai variabel utama. Akan tetapi, persoalan kewenangan
penyelenggaraan pemerintahan pada tingkat di bawah daerah otonom sendiri
memiliki perbedaaan antara satu daerah dengan daerah lainnya, terutama daerah
otonom yang memiliki kekhususan dalam menyelenggarakan pemerintahan.
Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi yang memiliki kekhususan
dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan. Provinsi ini memiliki status
sebagai daerah otonomi khusus, selain Nangroe Aceh Darussalam, DKI Jakarta,
Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Provinsi Papua Barat. Dengan demikian,
daerah otonom dalam bentuk kabupaten dan kota di Provinsi Papua juga memiliki
kekhususan dalam menyelenggarakan pemerintahan. Hal ini berdampak pada

kekhususan bentuk dan sistem pemerintahan pada wilayah yang berada di bawah
kabupaten dan kota di Provinsi Papua. Salah satunya terdapat di Kabupaten
Jayapura.
Kabupaten Jayapura memiliki sistem pemerintahan kampung dengan dua
kategori yang memiliki ciri khas masing-masing, yakni sistem pemerintahan
kampung secara umum dan sistem pemerintahan kampung adat. Kekhususan
penyelenggaraan pemerintahan terjadi pada masyarakat yang berdiam di kampung
adat. Akan tetapi, beberapa permasalahan tidak dapat dipungkiri dalam sistem
pemerintahan kampung adat yang berlangsung di Kabupaten Jayapura.
Pertama, psikologis komunitas adat mengalami degredasi karena
minimnya ruang, waktu dan kesempatan untuk mengekspresikan dan
mengaktualisasikan kepercayaan dirinya atas nilai-nilai adat sebagai sebuah
indikator maupun pendekatan pembangunan melalui nilai-nilai kebudayaan yang
dimiliki masyarakat lokal.
Kedua, restorasi nilai-nilai adat (kebudayaan) yang selama ini telah,
sedang dan akan hilang karena difusi kebudayaan yang datang dari luar Papua.
Oleh karena itu maysarakat adat merindukan nilai-nilai adat yang relevan dengan
kehidupan beragama dan proses pembangunan serta sistem pemerintahan modern
yang ada saat ini.
Ketiga, pemetaan wilayah adat sudah dilakukan oleh masyarakat pemilik
hak ulayat adat yang difasilitasi oleh PPMA Papua, tetapi penataan dan
penglolaan serta analisis isi dan poten-potensi kekayaan alam dan nilai-nilai adat
yang diberikan oleh leluhurnya pada suatu hak ulayat adat belum dilakukan. Hak
ulayat adat tidak harus wilayah geografis dengan batas-batasnya, tetapi juga
menyangkut hak-hak dasar atau hak-hak asasi berupa alam, manusia dan nilainilai adat (kebudayaan) yang tidak kelihatan diberikan dan dimiliki sejak turuntemurun oleh leluhurnya di seantero ulayat adat yang dibatasi oleh simbol-simbol
alam.
Keempat, penataan nilai-nilai adat di setiap kampung adat perlu
didokumentasikan secara tertulis untuk generasi yang sekarang dan akan datang.
Karena orang Papua tidak memiliki budaya tulisan tetapi budaya lisan.
Dokumentasi terhadap nilai-nilai adat telah dilakukan secara tertulis maka hal ini
sebagai upaya dan bentuk pengelolaan, keberpihakan dan pelestarian terhadap
kearifan local di kampung tersebut.
Kelima, rekonsiliasi adat menjadi aspek yang urgen karena memperbaiki
hubungan yang harmonis antara manusia dengan leluhur, manusia dengan alam
dan manusia dengan manusia. Karena anggota manusia yang bertumbuh dan
berkembang saat ini tidak sesuai dengan nilai-nilai adat yang ditanamkan oleh
leluhur. Karena identitas dan jati diri atau harga diri seseorang sebagai anak anak
adat, anak buyakha, Moi dan Elseng diberikan oleh leluhurnya.
Dari permasalahan-permasalahan yang mencuat tersebut, maka kajian
mengenai membangun model pemerintahan kampung adat menjadi penting.

Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
Mengetahui model pemerintahan kampung adat Nendali, Waibron, dan
Elseng,
Menentukan indikator model pemerintahan kampung adat, dan
Menjelaskan model pemerintahan kampung adat pada Perda Kabupaten
Jayapura.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
efektivitas penyelenggaraan pemerintahan kampung adat, khususnya di
Kabupaten Jayapura.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi. Artinya melukiskan
atau mendiskripsikan nilai-nilai adat yang menjadi kebiasaan hidup kelompok
yang diteliti. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara kepada para
informan sebagai pelaku kebudayaan yang teridiri atas ondoafi, kepala kampung,
dan masyarakat umum yang diapandang mengetahui banyak tentang tema yang
dikaji. Wawancara dilakukan dengan cara merekam informasi yang disampaikan
oleh informan. Hasil wawancara diolah dan dianalisis dengan teknik analisis data
kualitatif. Data juga dikumpulkan dengan menggunakan studi kepustakaan dan
eksplorasi media sosial (internet) untuk menjastifikasi serta mendukung informasi
atau data informan.
Penelitian ini dilakukan di tiga kampung asli, yaitu Kampung Nendali,
Waibron, dan Elseng. Tiga kampung asli ini masing-masing memiliki kesamaan
dan perbedaan nilai adat istiadat atau kebudayaannya. Khususnya soal kesamaan
unsur nilai kebudayaan tertentu, Mansoben (1995) menjelaskan bahwa orang Irian
yang mengenal sistem kekuasaan politik yang bersifat pewarisan, yang dikenal
dengan istilah kepemimpinan ondoafi, secara teknik dapat dibedakan menurut 9
suku bangsa ialah orang Skou, orang Arso-Waris, orang Tobati, orang Ormu,
orang Sentani, orang Moi, orang Tabla (Tanah Merah), orang Nimboran dan
orang Muris (Demta), semua suku-suku bangsa ini terdapat di daerah timur laut
Irian Jaja.
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Kampung Nendali, Waibron, dan Elseng
Perbedaan unsur-unsur kebudayaan tiga kampung ini memperlihatkan
perbedaan karakter dan pola hidup antara satu kampung dengan kampung lainnya.

Pertama, tentang Kampung Nendali. Kampung Nendali adalah nama


sebuah kampung asli sebelum gereja dan pemerintah ada. Kampung Nendali
merupakan satu dari lima kampung asli yang dimiliki oleh suku bangsa Sentani.
Kampung Nendali persis berada di wilayah utara danau Sentani dan di tengah
kampung ini telah dibangun jalan Raya Abe-Sentani.
Kampung Nendali memiliki wilayah yang berbatasan dengan kampungkampung sekitarnya. Sebelah timur, Kampung Nendali berbatasan dengan
komunitas adat Kampung Asei. Sebelah barat berbatasan dengan komunitas adat
kampung Ifar Besar. Sebelah utara berbatasan dengan wilayah siklop di balik
gunung yang saat ini ditempati oleh penduduk ormuare (ormo).
Secara umum, Kampung Nendali memiliki 10 suku yang dibagi dalam 2
bagian yaitu masing-masing bagian terdiri dari lima suku besar. Lima suku besar
yang pertama kali mendiami di kampung Nendali yaitu klan wally dan Taime
(kakak-beradik) yang lebih dulu menempati kampung ini, kemudian menyusul
marga Ibo, Mallo dan Yoku yang masuk dalam tiga bagian marga kecil dari dua
marga besar Wally dan Taime.
Wally adalah moyang yang memimpin pasukan dari seberang menuju
Kampung Nendali, begitu juga Taime dengan moyang yang sama memimpin
pasukan dari seberang ke Kampung Nendali. Kemudian Ibo, Malo dan Yoku
dengan rombongan bersama moyangnya. Wally dengan moyangnya yang pertama
menduduki kampung ini maka seseorang memanggil Wally berarti sudah
memanggil moyang, begitu juga untuk Mallo, Ibo dan Taime.
Bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari saat ini pada
komunitas adat Kampung Nendali terdapat dua bahasa yaitu bahasa asli Sentani
dan Bahasa Indonesia.
Kedua, tentang Kampung Waibron. Kampung Waibron adalah sebuah
nama kampung asli jauh sebelum gereja dan pemerintah ada. Dalam perspektif
suku bangsa, Kampung Waibron merupakan salah satu kampung dari Sabron,
Dosai, Maribu, Depapre dan Kendate yang terdapat pada suku bangsa Moi. Dalam
administrasi dan hirarki pemerintahan modern, Waibron adalah salah satu
kampung bentukan pemerintahan modern yang batas wilayahnya dibuat tersendiri.
Karena itu dalam pemetaan wilayah pembangunan Kabupaten Jayapura, Kampung
Waibron bagian dari wilayah pembangunan dua.
Kampung Waibron adalah kampung yang berasal dari Maribu, tempatnya
di urat gunung atau bukit kecil (kambatib). Dari sinilah moyang dari Waybron
done berasal. Dari bukit kecil di kampung itulah moyang Kampung Waibron
berpindah ke tempat yang sekarang menjadi nama Waibron. Cerita tentang tempat
nenek moyang ini selalu disampaikan (diceritakan) kapada setiap generasi yang
ada sekarang.

Batas komunitas adat kampung Waibron bagian timur berbatasan dengan


komunitas adat Kampung Doyo, sebelah barat berbatasan dengan komunitas adat
kampung Maribu, sebelah utara berbatasan dengan wilayah tablasupa, Dormena,
Yowena, dobonsoro Utara dan Yagno, dan sebelah selatan berbatasan dengan
wilayah Kemtek Mranba. Bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari
saat ini pada komunitas adat kampung Waibron yaitu bahasa asli Moi-Waibron
dan Bahasa Indonesia
Ketiga, tentang Kampung Elseng. Kata Elseng berasal dari kataEl dan
Seng. El artinya anak dan Seng artinya bapak. Secara umum masyarakat adat
Elseng adalah masyarakat yang mendiami dataran Yagui Fay (Lembah Yagui)
mulai dari Mambramo sampai dengan Tami atau yang sering disebut wilayah adat
MAMTA. Jadi masyarakat adat Elseng berasal dari ANAK dengan BAPAK yang
berkembang manjadi Suku bangsa (komunitas Etnik). Suku bangsa Elseng dibagi
lagi menjadi sub suku masing-masing yaitu (1) Koya, (2) Kosu, (3) Semse, (4)
Pneymon, dan (5) Imeli. Lima sub suku ini berkembang menjadi 5 (lima) wilayah
Komunitas besar yang mendiami daerah MAMTA, masing-masing:

Klesi-Kemtuk (Kemtuk Gresi bahasa Moderen)


Nambluong (Nimboran bahasa Moderen)
Sop-Tapu (Lereh-Tajah, Yapsi, Kaure bahasa Moderen)
Tepia-Vail ( Tanah Merah atau Pantai bahasa Moderen)
Swo-Wali (Sentani bahasa Moderen)

Jadi kalau berbicara Masyarakat Adat Elseng, berarti berbicara masyarakat


adat Mamta.
Secara geografis, Kampung Elseng sebelum timur berbatasan dengan Arso
Kota Distrik Skanto dan Abepura, sebelah barat berbatasan dengan Wilayah Mat
Demutru, sebelah utara berbatasan dengan Wilayah Adat Puyakha, dan sebelah
selatan berbatasan dengan Distrik Senggi, Molof Kali Sia-Sia dan Distrik Aurina.
Luas Wilayah Adat Elseng untuk sementara disesuaikan dari Pemerintahan
Distrik, diperkirakan seluas 21.080 km2.
Wilayah suku bangsa Elseng merupakan suatu wilayah adat yang
terlupakan dan sapertinya terlambat disentuh oleh perkembangan modern.
Wilayah ini berada di dua wilayah administrasi pemerintahan yaitu Kabupaten
Keerom dan Jayapura. Kabupaten Keerom di Distrik Skanto, Senggi dan Waris.
Sedangkan Kabupaten Jayapura distrik Kaure, Gresela, Kemtuk Gresi, Kemtuk
dan Sentani.

B. Model Pemerintahan Kampung Nendali


Hak dan kedudukan wilayah adat masyarakat kampung Nendali secara
umum dipimpin oleh seorang ondofolo saja. Di bawah satu ondofolo terdapat 10

(sepuluh) kepala suku, kemudian dari 10 (sepuluh) kepala suku atau biasa disebut
koselo besar ini juga dibagi 2 (dua) bagian besar yaitu 5 (lima) suku yang biasa
disebutkan dalam rumah atau (obee), dalam bahasa Sentani disebut imae yo,
dan 5 (lima) bagian lagi yang di luar rumah moe imea, meskipun dibagi dalam
dua bagian, namun masih tetap dalam satu tatanan adat kampung. Kemudian
dalam tatanan adat Nendali, sebutan Ondofolo adalah matahari atau dalam
bahasa Sentani disebut Ie WaWa. Artinya Ondofolo kampung Nendali adalah
ondofolo matahari, sehingga dalam tatanan hidup Ondofolo saling menghargai
dalam hal batas wilayah yang menjadi hak ulayat masyarakat, sehingga semua
dapat berjalan baik sesuai dengan aturan yang berlaku dalam kampung yang di
pimpin oleh seorang ondofolo.
Seorang Ondofolo dalam tatanan adat Sentani harus memiliki jiwa besar
dan sosok Ondofolo ini sudah dinilai dari jauh hari untuk diangkat sebagai
seorang Ondofolo, dan kalau dalam satu kampung tidak ada pengganti Ondofolo
yang tepat dalam penilaian masyarakat kampung, maka hak menjaga kampung
akan diberikan kepada abuafaa. Dalam pemerintahan adat kampung, seorang
Ondoafi harus memiliki seorang istri yang juga sudah dinilai dalam masyrakat
bahwa ia bisa menjadi istri Ondofolo, karena kriteria seorang istri Ondofolo harus
dari golongan yang tinggi dalam adat, agar supaya dapat menjadi penghormatan
bagi seorang Ondofolo dan dalam hal apa saja, rumah seorang Ondofolo tidak
pernah tertutup, karena setiap masyarakatnya akan masuk-keluar dengan leluasa,
mulai dari anak-anak sampai orang-orang tua. Status Ondofolo secara umum
adalah pelindung dan secara khusus adalah penolong masyarakatnya.
Kemudian dalam hal seorang Ondofolo memiliki istri lebih dari satu, hal
ini biasa dilihat dari tugas dan fungsinya. Apabila tugasnya banyak, maka ia juga
membutuhkan orang yang banyak, termasuk dalam keturunan. Apabila istri
pertama tidak dikaruniai anak, maka Ondoafi akan mengambil istrinya lagi, atau
misalkan istrinya telah meninggal dunia.
Kampung Nendali merupakan kampung asli, bagian dari suku bangsa
Sentani yang tidak dapat dipisahkan tiga lapisan kepemimpinan yang melekat
dalam seluruh aktifitas orang Sentani. Mansoben menyebutkan suku bangsa
sentani memiliki tiga lapisan suku bangsa. Tiga lapisan kepemimpinan yang
dimaksud adalah kepemimpinan khoselo imea ti tingkat klan, kepemimpinan yo
ondoafi di tingkat kampung dan hu ondoafi ti tingkat konfederasi. Untuk
memperjelas tiga lapisan kepemimpinan orang Sentani, dapat dilihat pada tiga
struktur di bawah ini:

Gambar 1. Struktur Organisasi Pemerintahan Sistem Ondoafi Tingkat Klen

Gambar 2. Struktur Organisasi Pemerintahan Sistem Ondoafi Tingkat Kampung

Gambar 3. Struktur Organisasi Pemerintahan Sistem Ondoafi Tingkat Konfederasi

C. Model Pemerintahan Kampung Waibron


Struktur komunitas masyarakat adat Waibron sebagai suatu kesatuan yang
memiliki unsur-unsur kebudayaan, telah lama dipimpin dan dikuasai secara
pemerintahan adat oleh suatu kepemimpinan tradisional yang dilengkapi dengan
struktur, peran dan kewenangan dalam mengatur segala isi dalam hak ulayat
adatnya. Secara etnografi belum banyak dipublikasikan mengenai struktur
kepemimpinan dan kewenangannya. Namun struktur yang dijelaskan di bawah ini
merupakan struktur pemerintahan adat Kampung Waibron.

Gambar 4. Struktur Kepemimpinan Adat Kampung Waibron


Keterangan:
Posisi

Kembudase

Dotungkroy
Yasu

:
:

Parayaru

Asukeikum

Ndrangdum
Sroum

:
:

Arti Posisi Dan Kewenagan


Kepala suku yang diambil dari suku yang tertua untuk menjadi kepala
suku.
Anak anak sulung dari mata rumah.
Pesuruh ondoafi atau kepala suku yang bertugas membawa berita dari
kepala suku atau dalam masyarakat yasu sebagai penggerak masa.
Kepala perang atau panglima perang, di mana setiap kampung adat
harus ada kepala perangnya.
Pemimpin upacara adat untuk membuka lahan baru, membuat api,
menaruh bibit tanaman dan lain-laindll. Asukeikum berperan di bidang
ekonomi kampung suku.
Penyimpan harta dalam kampung adat, atau sebagai bendahara adat.
Berperan mempersiapkan makanan pada acara-acara dalam kampung.
Artinya Sroum ditunjuk sebagai pengatur dibagian konsumsi dalam
tradisi kampung adat.

10

Arem

Nyawo

Masimuci

Orang yang sangat khusus yang bertugas untuk memotong atau


membagi-bagi makanan saat di meja makan, misalnya ada daging yang
harus dibelah atau dipotong untuk dibagikan kepada orang-orang yang
akan makan.
Orang yang bertugas untuk menyiapkan makanan di dapuratau di
rumah ondoafi, jadi nyawo adalah orang yang slalu menyiapkan bekal
makanan dalam dapur ondoafi, setelah atau sesudah berburu.
Berparan untuk membela rakyat atau masyarakat.

Dalam susunan garis kesukuan, kampung Maribu memiliki dua suku yaitu
Suku Wantenei dan Suku Youngsena. Kemudian di bawah Waibron ada dua
kampung yaitu: Waibron Woy dan Waibron Bano. Bano artinya Bulan, dimana
moyang dari Bano keluar pada malam hari, yaitu dengan adanya cahaya dari
bulan. Sedangkan Woy artinya Matahari, dimana moyang Woy datang atau keluar
pada siang hari pada saat matahari bersinar. Kemudian untuk asal sukunya bahwa
Waibron Bano dan Waibron Woy, moyangnya berasal dari kampung Youngsu.
Asal usulnya yaitu pada zaman dulu para moyang mereka dipanggil dan
dikumpulkan untuk berperang. Dalam strategi perang ada suatu pelanggaran atau
kesalahan yang dibuat dan dilanggar kemudian terjadilah bencana yaitu berupa
lautan air dan sampai saat ini disebut kali biru yang berada pada kampung Brap,
yang mana dulu dijadikan tempat berkumpul moyang, kemudian setelah
terjadinya musibah dengan bencana air, maka lenyaplah semua orang atau
tenggelam dan yang selamat hanya seorang nenek dengan dua orang cucunya.
Brab artinya yang tertinggal, jadi yang menduduki Brab adalah nenek atau
perempuan yang tertinggal.
Waibron Woy terdapat tiga suku yaitu Samon Sabra atau disebut owari
(mata rumah Damai), Boy kawai dan Yeuw atau Yaung (asli). Sedangkan
Waibron Bano sendiri ada dua suku yaitu Suku Done (Duluan) dan Suku Siet
(mengikuti langkah). Done dalam bahasa asli disebut Duluan, yang pertama,
kemudian Siet disebut yang kedua atau mengikuti. Pengertiannya secara umum
adalah Done yang datang duluan sekali kemudian Siet berjalan mengikutinya dan
duduk di tempat yang dinamakan Kande. Tempat yang dimaksud di bukit
Kendate. Kemudian Yamdena-Nimboran, menempati di lahan kosong. Siet
mengikuti langkah kaki dari Done. Oleh sebab itu, Done disebut sebagai
pemegang ahli waris dan semua kewenangan adat ada di tangan Done. Dengan
demikian kewenangan Done diartikan dengan kedudukan kampung. Sedangkan
Siet di lahan yang kosong sehingga dalam berburu, Done mempunyai wewenang
yang tidak bisa dilanggar oleh suku Siet atau suku lain. Karena setiap mau
berburu atau mengerjakan sesuatu harus ada izin dari Done atau harus duduk
berunding dulu. Tetapi bila dilanggar maka hukumanya akan buruk. Dalam cara
berburu atau mencari makan, suku Siet hanya disuruh membawa anak panah dan
busur saja, sedangkan Done yang membawa pulang Hasil yang terbaik dari
buruan, misalnya babi yang terbesar.

11

D. Model Pemerintahan Kampung Elseng


Dalam model pemerintahan kampung Elseng dikenal orang Yaru. Yaru
artinya bahu atau dalam adat disebut bahwa saya punya orang kerja. Yarusarwa
berarti pelaksana pekerjaan saya, jadi orang Yaru tidak bisa menduduki kursi atau
tempat ondoafi. Pada zaman sekarang timbul sebutan ondoafi (atau ondo-ondo)
palsu karena adanya tempat atau kedudukan yang salah dan mengambil alih yang
salah dalam hal suku Yaru tadi. Sedangkan untuk seorang disebut ondoafi, dia
akan dikukuhkan dengan adat, tarian dan dipasangkan burung cendrawasih di
kepala lalu diangkat dan diberikan jabatan pemimpin. Prosesi pengukuhan atau
pelantikan ini dilakukan di depan semua suku yang ada. Agar dengan begitu
masyarakat umum menyaksikan upacara pelantikan seorang ondoafi. Oleh karena
itu, pelantikan ondoafi tidak bisa sembarang atau asal main tunjuk. Masa jabatan
ondoafi selesai jika meninggal dunia, lalu hak kekuasaan keondoafian diberikan
kepada anaknya atau orang yang telah ditunjuk dan disiapkan oleh adat. Karena
harus disadari bahwa kekuasaan ondofolo melebihi semua kuasa, memiliki mistik.
Artinya tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi di atas dia selain matahati (Tuhan),
yang pada zaman nenek moyang hingga kini dipandang dan disembah sebagai
dewa tertinggi masyarakat Elseng.

Gambar 5. Struktur Organisasi Pemerintahan Adat Suku Elseng

12

Dalam rumah adat, atau tempat tinggal seorang ondofolo, perempuan atau
ibu-ibu tidak boleh naik ke tempat sacral tersebut. Tetapi anak laki-laki yang pada
usia 10 tahun boleh naik. Jika ada orang yang datang dari tempat yang jauh atau
ada orang yang memiliki masalah harus dilindungi oleh ondoafi dalam rumah
adat. Dengan demikian masyarakat tidak melihat orang yang dari dari jauh itu
sebagai musuh. Orang lain yang dimaksudkan disini adalah orang di luar suku
atau komunitas Elseng. Orang yang diterima oleh ondoafi dalam rumah adat ini
mendengarkan perihal atau cerita perjalanannya yang baik maupun yang buruk.
Dengan pola adat seperti ini dapat dikatakan bahwa rumah ondofolo atau rumah
adat adalah tempat keselamatan, perlindungan, perdamaian, pengampunan. Oleh
karena itu seorang ondofolo harus benar-benar dipilih dengan memiliki jiwa yang
besar, terbuka kepada masyarakat. Isterinya berhati besar dan mulia, yang bisa
mengimbangi kedudukan suaminya di mata masyarakat.
Kekuasaan seorang ondofi biasa diibaratkan dengan kekuasaan api dan air.
Jadi, setiap kata atau kalimat yang diucapkan ondoafi akan terwujud atau benarbenar terjadi. Kalau seorang ondoafi mengatan atau mengucapkan itu baik maka
yang terjadi baik. Begitupun sebaliknya yang terjadi buruk jika berkata buruk.
Oleh karena itu, seorang ondoafi tidak akan membunuh orang. Kewenangan
ondoafi hanya memberikan ijin apabila seseorang terbukti salah dan harus
dihukum mati.
Kampung Aip adalah kampung asli, marga aslinya kumtu. Sampai dengan
sekarang di kampung ini memiliki dua marga yaitu Duntru dan Warring. Dalam
aturan adat, Dantru adalah ondoafi karena pertama. Sedangkan Warring adalah
orang kedua. Karena itu secara adat diistilahkan Dantru menerangi warring (saya
terangi dia). Jika dianalogikan dengan pemerintahan, Dantru eksekutif dan
Warring legislatif. Struktur ini adalah struktur adat orang Elseng. Masing-masing
memiliki kewenangan, fungsi dan tugas. Sebelum pemerintah dan agam masuk di
daerah ini, struktur ada sudah ada. Artinya, setiap suku bangsa mengatur dirinya
sendiri sesuai dengan struktur adat kampung asli. Pemimpin dalam suatu suku
bangsa selalu mengatur masyarakat, memberikan kebebasan masyarakat serta hakhaknya untuk menikmati semua kekyaan alam yang ada di sekitarnya.
Fungsi, tugas dan kewenangan marga dalam suku bangsa Elseng adalah:
1. Srom sebagai fungsi ekonomi pembangunan;
2. Bemei sebagai fungsi bendahara harta adat (misalnya tomako batu);
3. Tegai sebagai fungsi juru bicara ondofolo. Setiap hal yang diputuskan oleh
ondofolo, maka Tegai melaksanakan fungsinya yaitu menyampaikan kepada
masyarakat tentang hal yang diputuskan oleh ondoafi.
4. Terangdegeng sebagai fungsi atau bagian eksekusi keputusan, atau
pelaksana hasil keputusan. Misalnya bila ada masalah atau orang yang
melanggar aturan adat akan diberikan sangsi atau dihukum mati oleh orang
ini (terangdegeng).

13

5. Blung adalah sebutan untuk masyarakat atau rakyat dalam struktur


organisasi adat.
6. Dungauduyau adalah sebutan untuk seksi-seksi atau bidang-bidang dalam
organisasi adat. Misalnya seksi konsumsi, seksi perang, seksi acara dan lainlain. Namun saat ini, hal-hal yang dijelaskan di atas telah hilang sehingga
kampung adat mulai buruk.
Zaman dahulu, di setiap rumah adat selalu diletakan lima batu (Dumutri)
besar dan datar, untuk dipakai sebagai tempat duduk dari lima orang yang ada
dalam organisasi adat yang mempunyai peranan penting. Hanya lima orang ini
yang boleh duduk mendengarkan apa yang disampaikan oleh ondofolo. Misalnya,
dalam hal upacara adat, perkawinan dan acara-acara yang akan dilangsungkan di
kampung, maka tidak sembarang orang yang bisa mendengarkan hal-hal ini.
E. Indikator Model Pemerintahan Kampung Adat
Membangun pemerintah kampung adat atau kampung asli sesungguhnya
tidak terlepas dari unsur nilai budaya yang diwariskan oleh leluhur atau diperoleh
melalui difusi kebudayaan atau ciptaan hasil kreativitas masyarakat yang telah
lama berlangsung cukup lama melalui suatu proses evolusi. Oleh karena itu,
indikator pemerintahan kampung adat atau kampung asli tidak dapat dipisahkan
dari substansi pemaknaan dan pengertiannya, namun tidak diterjemahkan sebagai
sesuatu yang berbeda. Indikator pemerintahan kampung adat atau kampung asli,
yaitu:
1. Memiliki luas batas wilayah geografis kampung asli yang dibatasi
dengan wilayah kampung komunitas lain.
2. Memiliki mitos yang sampai saat ini dihayati sebagai mitos penciptaan
atau mitos yang memiliki hubungan manusia dengan kepercayaan
terhadap sesuatu yang lebih tinggi.
3. Memiliki sejarah asal usul kampung yang memperlihatkan evolusi
penyebaran.
4. Memiliki sitem kepemimpinan, struktur kepemimpinan dan kewenangankewenangannya.
5. Memiliki warga yang dibuktikan dengan marga asli atau klan-klan dari
kampung asli tersebut.
6. Bahasa ibu atau bahasa kampung yang selalu digunakan setiap saat pada
berbagai aktivitas.
7. Memiliki hukum adat yang mengatur kehidupan bersama komunitas
kampung.
8. Memiliki alat-alat atau peralatan kebudayaan asli yang sampai saat ini
digunakan oleh warga kampung dalam berbagai aktivitas.

14

9. Memiliki upacara adat yang sering berulang-ulang dilaksanakan oleh


warga kampung.
10. Memiliki tempat-tempat sakral yang dipercayai sebagai asal usul marga
atau klan tertentu.
11. Nama dan pemaknaan bahasa asli yang digunakan atau dikenakan pada
berbagai obyek tertentu atau tempatumum seperti nama Distrik,
kampung, gedung, jalan raya, obyek wisata dan lain sebagainya di
kampung tersebut.
12. Memiliki potensi sumber daya alam (SDA), sumber daya Manusia
(SDM) dan kekhasan atau keunikan yang dapat membedakan kampung
adat yang satu dengan kampung adat yang lain.
F. Model Pemerintahan Kampung Adat dalam Perda
Pertama, kampung adat diberikan karakteristik sebagai kampung yang
beranggotakan masyarakat adat dari wilayah yang dihuni, masih memberlakukan
aturan-aturan adat bagi anggotanya, memiliki pola kepemimpinan menurut sistem
kepemimpinan yang dianut dalam struktur masyarakat adat, memiliki kesatuan
geneologis, memiliki kesatuan territorial dam/atau kesatuan geneologis territorial,
memiliki hak-hak ulayat tradisional, dan memiliki peradilan adat.
Kedua, kampung adat memiliki keanggotaan masyarakat yang berasal dari
suku-suku asli yang mendiami wilayah Kabupaten Jayapura maupun orang Papua
lainnya yang telah hidup bersama-sama. Penduduk bukan orang asli tidak dapat
mempunyai hak milik atas tanah pada wilayah kampung adat. Penduduk orang
asli papua yang hendak bertempat tinggal dan menjadi anggota masyarakat
kampung adat harus mendapat persetujuan Kepala Kampung Adat, Kepala Klen,
dan anggota masyarakat adat. Penerimaan penduduk luar diputuskan melalui
musyawarah bersama antar masyarakat kampung adat.
Ketiga, terkait dengan pembentukan kampung adat, kampung adat
dibentuk atas prakarsa masyarakat adat dengan memperhatikan struktur
masyarakat adat, kesatuan nilai-nilai adat yang dianut, dan hak-hak setiap suku
atau klen. Prakarsa pembentukan kampung adat tersebut harus disampaikan
kepada pemerintah daerah. Pemerintah daerah wajib melakukan pengkajian guna
menentukan kelayakan pembentukan kampung adat. Kelayakan pembentukan
kampung adat tersebut harus memenuhi (1) jumlah penduduk, (2) jumlah kepada
keluarga, (3) kepastian keluasan wilayah dan hak-hak tradisional masyarakat adat,
(4) memiliki kesatuan geneologis, dan (5) memiliki potensi ekonomi.
Keempat, bentuk pemerintahan pada kampung adat sesuai sistem
kepemimpinan adat yang dianut oleh masing-masing masyarakat adat di wilayah
kabupaten Jayapura sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui. Sistem
ondoafian atau keoktiman yang berlaku di Kabupaten Jayapura adalah Ondofolo
untuk wilayah Sentani, Ondewafi untuk wilayah Tepra dan Yokari, Tube untuk
wilayah Ormu, Done untuk wilayah Moi, Mrar Matawun, Matawun Pan dan Mran

15

Tamsu untuk wilayah Jouw wari dan Tarpi, Dugeno atau Kikeno atau disebut juga
Dugu untuk wilayah Gresi dan Kemtuk, Iram untuk wilayah Namblong, dan
Oktim untuk wilayah Orya, Elseng, Sause, Kaureh, Nakasai, Kapaouri, dan
Kosare.
Dalam sistem pemerintahannya, pemerintahan kampung adat terdiri atas
ondoafi atau sebutan lain yang dianut oleh masyarakat adat yang berkedudukan
sebagai kepala kampung adat. Ondoafi dibantu oleh seorang anggota masyarakat
adat yang berkedudkan sebagai sekretaris kampung adat. Untuk membantu
pelaksanaan tugas sebagai Kepala Kampung Adat, ondoafi mengangkat
fungsionaris adat menurut struktur yang dianut masyarakat adat dalam sistem
kepemimpinan keondoafian dan keoktiman. Sekretaris kampung adat berperan
membantu pelaksanaan kepala kampung adat. Sekretaris kampung adat tidak
berstatus sebagai PNS. Pemerintahan kampung adat yang terdiri dari Kepala
Kampung Adat, Sekretaris Kampung Adat dan fungsionaris pemerintahan
kampung adat berasal dari sistem kepemimpinan keondoafian yang dipilih secara
demokratis melalui musyawarah masyarakat adat.
Kelima, Pemerintah Kampung Adat memiliki peran sebagai pelindung,
pensejahtera, dan pelestari masyarakat adat dalam lingkungan hidup masyarakat
adat. Perannya meliputi:
1. Menjaga ketertiban, ketentraman, dan keamanan masyarakat dalam
hubungan antara masyarakat sendiri maupun dalam hubungan masyarakat
dengan lingkunagnnya.
2. Memlihara dan melestarikan adat istiadat yang hidup dalam masyarakat bagi
pembangunan daerah.
3. Melindungi hak-hak bersama masyarakat adat dan hak-hak perorangan
warga masyarakat adat.
4. Melindungi dan mengembangkan kebudayaan masyarakat adat dalam usaha
melestarikan kebudayaan daerah.
5. Membina dan mengembangkan nilai-nilai adat.
6. Menyelesaikan sengketa-sengketa adat.
7. Mengusahakan perdamaian di lingkungan masyarakat adat serta masyarakat
adat dengan pihak lain.
8. Membantu pemerintah dan pemda dalam melaksanakan pembangunan
daerah.
9. Bersama pemda menyelesaikan konflik.
10. Bersama masyarakat melakukan kegiatan pembangunan.
11. Mememlihara dan mengoptimalkan potensi sumber daya alam yang berada
di wilayah kampung untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap
memperhatikan keberlanjutan lingkungan.
Adapun hak dan kewajiban kampung adat dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.

16

Tabel 1. Hak dan Kewajiban Kampung Adat Menurut Perda


Hak Kampung Adat
1 Melaksanankan aturan-aturan adat yang diakui dan dihormatinya dalam pergaulan hidup
masyarakat adat
2 Menyelenggarakan peradilan adat
3 Menegakkan aturan-aturan adat di wilyaha pemerintahan kampung adat melalui peradilan
adat
4 Memperolah pelayanan pemerintahan dan pembangunan dari pemerintah daerah
5 Memperoleh perlindungan dari pemerintah daerah melalui peraturan daerah atas
pelaksanaan hak-hak masyarakat adat
6 Memperoleh anggaran dari pemerintah dan pemerintah daerah yang diperuntukkan bagi
pembangunan kampung adat dan pencapaian kesejahteraan masyarakat
Kewajiban Kampung Adat
1 Menjaga dan melestarikan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat bagi
pencapaian kesejahteraan masyarakat adat
2 Melestarikan kearifan lokal yang bertujuan mendukung penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan daerah
3 Mendukung penyelenggaraan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah
kabupaten, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah
4 Mengelola keuangan kampung secara bertanggung jawab
5 Memelihara hasil pembangunan yang dikerjakan oleh masyarakat dan pemerintah daerah di
kampung

Keenam, dalam menyelenggarakan pemerintahan, kampung adat


mendapatkan anggaran dari (a) pendapatan asli kampung, (b) ADK yang
dialokasikan sesuai kemampuan keuangan daerah yang bersumber dari dana
perimbangan yang menjadi bagian kabupaten, (c) bantuan keuangan dari
pemerintah daerah yang besumber dari dana otonomi khusus yang menjadi bagian
kabupaten, (d) bantuan keuangan dari pemerintah provinsi, bantuan keuangan dari
pemerintah pusat, dan (d) hibah dari pihak ketiga yang tidak mengikat.
Ketujuh, peradilan adat yang berlaku dalam masyarakat adat diakui
keberadaannya sepanjang masih ada. Peradilan adat adalah peradilan perdamaian
di lingkungan masyarakat hukum adat. Setiap anggota masyarakat adat yang
melanggar norma-norma adat, diadili oleh peradilan adat. Setiap orang yang
bukan anggota persekutuan masyarakat yang melanggar norma-norma adat yang
berlaku pada wilayah kampung adat, diadili oleh peradilan adat.
Kedelapan, terkait hak dan kewajiban masyarakat adat dalam
pembangunan. Hak masyarakat adat dalam pembangunan diantaranya:
Memperoleh pelayanan pembangunan guna meningkatkan taraf hidupnya.
Memperoleh informasi mengenai program dan kegiatan pembangunan yang
dilakukan oleh pemerintah kampung adat, kabupaten, provinsi, dan pusat.
Memperoleh informasi mengenai anggaran pembangunan kampung yang
bersumber dari APBD.
Ikut serta dalam musrenbang distrik, kabupaten, dan rencana pembangunan
lainnya.
Adapun kewajiban masyarakat adat dalam pembangunan diantaranya:

17

Memelihara pembangunan yang dilaksanakan dengan dana pemberdayaan


kampung maupun dari dana yang bersumber dari APBD kabupaten,
Provinsi, APBN, serta pihak lain.
Mengelola keuangan kampung secara bertanggung jawab.
Melakukan pertanggungjawaban atas penggunaan dana pemberdayaan
kampung.
Membantu pemerintah dan pemerintah daerah dalam pelaksanaan program
pembangunan kepada masyarakat.
Melestarikan nilai kearifan lokal sebagai pendukung pelaksanaan
pembangunan di wilayah kampung.

KESIMPULAN
Penjelasan mengenai model pemerintahan kampung adat di Nandeli,
Waibron, dan Elseng menunjukkan bahwa kampung-kampung tersebut memiliki
ciri khusus dalam menyelenggarakan pemerintahan. Model pemerintahan yang
berlaku di Nandeli, Waibron, dan Elseng juga memberikan gambaran bahwa
diperlukan kebijakan yang dapat mengakomodir sistem pemerintahan yang sudah
lama berlangsung.
Dengan hasil penelitian yang mengakomodir kondisi empiris dan studi
literature, maka terdapat indikator-indikator model pemerintahan kampung
seperti yang sudah dijelaskanyang dapat menjadi penambahan khzanah
keilmuan bagi pemangku kepentingan dalam menentukan status kampung sebagai
sebuah kampung adat.
Upaya membangun model pemerintahan kampung adat telah memasuki
ranah politik dengan ditetapkannya Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura
Tentang Kampung. Oleh karena itu, perlu proses partisipasi masyarakat yang
berkelanjutan dalam mengawal kebijakan tersebut, sehingga setelah ditetapkan
dapat efektif diimplementasikan sesuai kearifan lokal.

Anda mungkin juga menyukai