Oktober
2014
ii
Peneliti
Tim Riset dan Advokasi Koalisi CSO Papua
Asosiasi Fasilitator Pemberdayaan Pembangunan Partisipatif (AFP3) Papua
Perkumpulan Terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat
Papua (PPMA)
Universitas Cendrawasih
Reviewer
Tim CSO Engagement RTRC
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu perubahan regulasi yang paling kuat membawa dampak secara
sistemik adalah Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah yang menandai
terjadinya big bang decentralization di Indonesia (Hofman & Kaiser, 2002).
Kerangka baru tersebut sekaligus menjadi jalur cepat bagi pembentukan daerah
otonom baru yang merupakan pemekaran dari unit pemerintahan yang telah ada
sebelumnya. Dalam rentang 10 tahun sejak 1999, jumlah daerah otonom di
Indonesia telah bertambah sebanyak 205 buah, yang terdiri dari 7 daerah otonom
provinsi, 164 daerah otonom kabupaten serta 34 daerah otonom kota. Dengan
demikian, penambahan ini telah menambah total jumlah daerah otonom di
Indonesia menjadi 524 daerah otonom yang terdiri dari 33 provinsi, 398
kabupaten, 93 kota, tidak termasuk 6 daerah administratif di Provinsi DKI Jakarta.
Besarnya hasrat masyarakat dan elit politik lokal untuk membentuk daerah
otonom baru terutama disebabkan oleh cakupan geografis yang terlalu luas,
ketertinggalan pembangunan, kurangnya fasilitas pelayanan publik, serta
kegagalan pengelolaan konflik komunal. Pemekaran dipandang sebagai cara
ampuh bagi daerah, yang selama ini merasa dipinggirkan dalam pembangunan,
untuk mendorong pembangunan di daerahnya. Setidaknya, dengan membentuk
daerah otonom baru akan ada aliran Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi
Khusus (DAK), membuka peluang kerja sebagai pegawai negeri, memunculkan
elit-elit politik baru yang akan duduk di DPRD, serta meningkatkan eksistensi
identitas lokal. Pada titik inilah, dalam banyak kasus, upaya pemekaran daerah
menjadi arena bagi para pemburu rente (rent-seeker) maupun para petualang
politik yang mengejar kepentingan sendiri dan kepentingan jangka pendek.
Terlepas dari besarnya dorongan kelompok-kelompok masyarakat,
terjadinya ledakan pemekaran juga dimungkinkan karena instrument regulasi yang
sangat lemah. Kelemahan pada desain regulasi antara lain ditandai dengan
longgarnya persyaratan yang ditetapkan untuk pembentukan daerah otonom.
Berbeda dengan era Orde Baru, terlepas dari kuatnya sentralisme, pembentukan
suatu daerah baru dulunya dipertimbangkan dengan sangat ketat dan butuh waktu
yang lama, sedangkan saat ini ketentuan pembentukan daerah otonom baru
cenderung sangat longgar. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000
tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan
Penggabungan Daerah, persyaratan teknis yang ditetapkan seperti jumlah
penduduk, cakupan wilayah, dan potensi ekonomi, masih sangat longgar.
Akibatnya banyak daerah otonom yang berpenduduk sangat sedikit, atau dengan
wilayah yang sempit, ataupun dengan potensi ekonomi terbatas. Daerah otonom
semacam itu akan sulit berkembang menjadi daerah otonom yang maju dan
mandiri, dimana pada ujungnya tentu akan menjadi beban Pemerintah Pusat.
Meskipun PP Nomor 129 Tahun 2000 sudah diganti dengan PP Nomor 78 Tahun
2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah
dengan syarat pembentukan daerah otonom yang lebih diperketat, tetapi syaratsyarat tersebut seringkali tidak dipenuhi.
Di samping akibat dari lemahnya regulasi, ledakan pembentukan DOB
juga disebabkan karena proses pemekaran menempatkan daerah dan aktor lokal
sebagai variabel utama. Dalam praktiknya pola regulasi semacam ini
memunculkan kecenderungan terjadinya politik uang, politik identitas dan free
rider dalam proses pemekaran yang pada akhirnya menjauhkan pemekaran dari
tujuan-tujuan normatifnya. Daerah dan elit lokal berusaha melakukan segala cara
untuk menunjukkan kuatnya dukungan masyarakat terhadap proses pemekaran,
termasuk membangkitkan semangat kedaerahan (primordialisme) dan semangat
etnis (ethno-politics). Di sisi lain ada pihak-pihak pemegang otoritas yang merasa
dipaksa untuk menyetujui atau memberi rekomendasi usulan proses pemekaran
atas nama aspirasi rakyat.
Mekanisme pemekaran yang didasarkan semata-mata pada prinsip bottom
up (dari bawah ke atas) ini menjadi problematik ketika pemekaran hanya menjadi
agenda daerah dan cenderung mengabaikan kepentingan strategis nasional. Tidak
bisa dipungkiri bahwa pemerintah Indonesia masih menghadapi banyak persoalan
pada lingkup nasional. Masalah-masalah tersebut antara lain disparitas
pembangunan ekonomi dan sosial, kerapuhan identitas ke-Indonesiaan, serta
rapuhnya sistem penjagaan kewilayahan aktif dari ancaman dan ganggunan pihak
luar. Kebijakan pemekaran daerah sesungguhnya dapat merupakan salah satu
alternatif untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut. Persoalan politik
domestik dan internasional di beberapa daerah perbatasan antar negara mungkin
akan dapat dihindari jika saja Pemerintah Pusat jauh-jauh hari telah menghadirkan
unit pemerintahan di sana. Oleh karena itu proses inisiasi kebijakan formal
seharusnya dapat juga dilakukan oleh Pemerintah Pusat demi menjaga
kepentingan strategis nasional.
Ledakan inginnya sebuah wilayah mengatur wilayahnya sendiri tidak
hanya sampai pada daerah dengan status daerah otonom, tetapi juga dilakukan
oleh wilayah yang cakupannya lebih kecil lagi. Undang-Undang No. 6 Tahun
2014 tentang Desa menunjukkan bahwa wilayah yang lebih kecil cakupan
administratifnya dari sebuah daerah otonom menginginkan diatur oleh aktor desa
yang ditempatkan sebagai variabel utama. Akan tetapi, persoalan kewenangan
penyelenggaraan pemerintahan pada tingkat di bawah daerah otonom sendiri
memiliki perbedaaan antara satu daerah dengan daerah lainnya, terutama daerah
otonom yang memiliki kekhususan dalam menyelenggarakan pemerintahan.
Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi yang memiliki kekhususan
dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan. Provinsi ini memiliki status
sebagai daerah otonomi khusus, selain Nangroe Aceh Darussalam, DKI Jakarta,
Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Provinsi Papua Barat. Dengan demikian,
daerah otonom dalam bentuk kabupaten dan kota di Provinsi Papua juga memiliki
kekhususan dalam menyelenggarakan pemerintahan. Hal ini berdampak pada
kekhususan bentuk dan sistem pemerintahan pada wilayah yang berada di bawah
kabupaten dan kota di Provinsi Papua. Salah satunya terdapat di Kabupaten
Jayapura.
Kabupaten Jayapura memiliki sistem pemerintahan kampung dengan dua
kategori yang memiliki ciri khas masing-masing, yakni sistem pemerintahan
kampung secara umum dan sistem pemerintahan kampung adat. Kekhususan
penyelenggaraan pemerintahan terjadi pada masyarakat yang berdiam di kampung
adat. Akan tetapi, beberapa permasalahan tidak dapat dipungkiri dalam sistem
pemerintahan kampung adat yang berlangsung di Kabupaten Jayapura.
Pertama, psikologis komunitas adat mengalami degredasi karena
minimnya ruang, waktu dan kesempatan untuk mengekspresikan dan
mengaktualisasikan kepercayaan dirinya atas nilai-nilai adat sebagai sebuah
indikator maupun pendekatan pembangunan melalui nilai-nilai kebudayaan yang
dimiliki masyarakat lokal.
Kedua, restorasi nilai-nilai adat (kebudayaan) yang selama ini telah,
sedang dan akan hilang karena difusi kebudayaan yang datang dari luar Papua.
Oleh karena itu maysarakat adat merindukan nilai-nilai adat yang relevan dengan
kehidupan beragama dan proses pembangunan serta sistem pemerintahan modern
yang ada saat ini.
Ketiga, pemetaan wilayah adat sudah dilakukan oleh masyarakat pemilik
hak ulayat adat yang difasilitasi oleh PPMA Papua, tetapi penataan dan
penglolaan serta analisis isi dan poten-potensi kekayaan alam dan nilai-nilai adat
yang diberikan oleh leluhurnya pada suatu hak ulayat adat belum dilakukan. Hak
ulayat adat tidak harus wilayah geografis dengan batas-batasnya, tetapi juga
menyangkut hak-hak dasar atau hak-hak asasi berupa alam, manusia dan nilainilai adat (kebudayaan) yang tidak kelihatan diberikan dan dimiliki sejak turuntemurun oleh leluhurnya di seantero ulayat adat yang dibatasi oleh simbol-simbol
alam.
Keempat, penataan nilai-nilai adat di setiap kampung adat perlu
didokumentasikan secara tertulis untuk generasi yang sekarang dan akan datang.
Karena orang Papua tidak memiliki budaya tulisan tetapi budaya lisan.
Dokumentasi terhadap nilai-nilai adat telah dilakukan secara tertulis maka hal ini
sebagai upaya dan bentuk pengelolaan, keberpihakan dan pelestarian terhadap
kearifan local di kampung tersebut.
Kelima, rekonsiliasi adat menjadi aspek yang urgen karena memperbaiki
hubungan yang harmonis antara manusia dengan leluhur, manusia dengan alam
dan manusia dengan manusia. Karena anggota manusia yang bertumbuh dan
berkembang saat ini tidak sesuai dengan nilai-nilai adat yang ditanamkan oleh
leluhur. Karena identitas dan jati diri atau harga diri seseorang sebagai anak anak
adat, anak buyakha, Moi dan Elseng diberikan oleh leluhurnya.
Dari permasalahan-permasalahan yang mencuat tersebut, maka kajian
mengenai membangun model pemerintahan kampung adat menjadi penting.
Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
Mengetahui model pemerintahan kampung adat Nendali, Waibron, dan
Elseng,
Menentukan indikator model pemerintahan kampung adat, dan
Menjelaskan model pemerintahan kampung adat pada Perda Kabupaten
Jayapura.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
efektivitas penyelenggaraan pemerintahan kampung adat, khususnya di
Kabupaten Jayapura.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi. Artinya melukiskan
atau mendiskripsikan nilai-nilai adat yang menjadi kebiasaan hidup kelompok
yang diteliti. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara kepada para
informan sebagai pelaku kebudayaan yang teridiri atas ondoafi, kepala kampung,
dan masyarakat umum yang diapandang mengetahui banyak tentang tema yang
dikaji. Wawancara dilakukan dengan cara merekam informasi yang disampaikan
oleh informan. Hasil wawancara diolah dan dianalisis dengan teknik analisis data
kualitatif. Data juga dikumpulkan dengan menggunakan studi kepustakaan dan
eksplorasi media sosial (internet) untuk menjastifikasi serta mendukung informasi
atau data informan.
Penelitian ini dilakukan di tiga kampung asli, yaitu Kampung Nendali,
Waibron, dan Elseng. Tiga kampung asli ini masing-masing memiliki kesamaan
dan perbedaan nilai adat istiadat atau kebudayaannya. Khususnya soal kesamaan
unsur nilai kebudayaan tertentu, Mansoben (1995) menjelaskan bahwa orang Irian
yang mengenal sistem kekuasaan politik yang bersifat pewarisan, yang dikenal
dengan istilah kepemimpinan ondoafi, secara teknik dapat dibedakan menurut 9
suku bangsa ialah orang Skou, orang Arso-Waris, orang Tobati, orang Ormu,
orang Sentani, orang Moi, orang Tabla (Tanah Merah), orang Nimboran dan
orang Muris (Demta), semua suku-suku bangsa ini terdapat di daerah timur laut
Irian Jaja.
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Kampung Nendali, Waibron, dan Elseng
Perbedaan unsur-unsur kebudayaan tiga kampung ini memperlihatkan
perbedaan karakter dan pola hidup antara satu kampung dengan kampung lainnya.
(sepuluh) kepala suku, kemudian dari 10 (sepuluh) kepala suku atau biasa disebut
koselo besar ini juga dibagi 2 (dua) bagian besar yaitu 5 (lima) suku yang biasa
disebutkan dalam rumah atau (obee), dalam bahasa Sentani disebut imae yo,
dan 5 (lima) bagian lagi yang di luar rumah moe imea, meskipun dibagi dalam
dua bagian, namun masih tetap dalam satu tatanan adat kampung. Kemudian
dalam tatanan adat Nendali, sebutan Ondofolo adalah matahari atau dalam
bahasa Sentani disebut Ie WaWa. Artinya Ondofolo kampung Nendali adalah
ondofolo matahari, sehingga dalam tatanan hidup Ondofolo saling menghargai
dalam hal batas wilayah yang menjadi hak ulayat masyarakat, sehingga semua
dapat berjalan baik sesuai dengan aturan yang berlaku dalam kampung yang di
pimpin oleh seorang ondofolo.
Seorang Ondofolo dalam tatanan adat Sentani harus memiliki jiwa besar
dan sosok Ondofolo ini sudah dinilai dari jauh hari untuk diangkat sebagai
seorang Ondofolo, dan kalau dalam satu kampung tidak ada pengganti Ondofolo
yang tepat dalam penilaian masyarakat kampung, maka hak menjaga kampung
akan diberikan kepada abuafaa. Dalam pemerintahan adat kampung, seorang
Ondoafi harus memiliki seorang istri yang juga sudah dinilai dalam masyrakat
bahwa ia bisa menjadi istri Ondofolo, karena kriteria seorang istri Ondofolo harus
dari golongan yang tinggi dalam adat, agar supaya dapat menjadi penghormatan
bagi seorang Ondofolo dan dalam hal apa saja, rumah seorang Ondofolo tidak
pernah tertutup, karena setiap masyarakatnya akan masuk-keluar dengan leluasa,
mulai dari anak-anak sampai orang-orang tua. Status Ondofolo secara umum
adalah pelindung dan secara khusus adalah penolong masyarakatnya.
Kemudian dalam hal seorang Ondofolo memiliki istri lebih dari satu, hal
ini biasa dilihat dari tugas dan fungsinya. Apabila tugasnya banyak, maka ia juga
membutuhkan orang yang banyak, termasuk dalam keturunan. Apabila istri
pertama tidak dikaruniai anak, maka Ondoafi akan mengambil istrinya lagi, atau
misalkan istrinya telah meninggal dunia.
Kampung Nendali merupakan kampung asli, bagian dari suku bangsa
Sentani yang tidak dapat dipisahkan tiga lapisan kepemimpinan yang melekat
dalam seluruh aktifitas orang Sentani. Mansoben menyebutkan suku bangsa
sentani memiliki tiga lapisan suku bangsa. Tiga lapisan kepemimpinan yang
dimaksud adalah kepemimpinan khoselo imea ti tingkat klan, kepemimpinan yo
ondoafi di tingkat kampung dan hu ondoafi ti tingkat konfederasi. Untuk
memperjelas tiga lapisan kepemimpinan orang Sentani, dapat dilihat pada tiga
struktur di bawah ini:
Kembudase
Dotungkroy
Yasu
:
:
Parayaru
Asukeikum
Ndrangdum
Sroum
:
:
10
Arem
Nyawo
Masimuci
Dalam susunan garis kesukuan, kampung Maribu memiliki dua suku yaitu
Suku Wantenei dan Suku Youngsena. Kemudian di bawah Waibron ada dua
kampung yaitu: Waibron Woy dan Waibron Bano. Bano artinya Bulan, dimana
moyang dari Bano keluar pada malam hari, yaitu dengan adanya cahaya dari
bulan. Sedangkan Woy artinya Matahari, dimana moyang Woy datang atau keluar
pada siang hari pada saat matahari bersinar. Kemudian untuk asal sukunya bahwa
Waibron Bano dan Waibron Woy, moyangnya berasal dari kampung Youngsu.
Asal usulnya yaitu pada zaman dulu para moyang mereka dipanggil dan
dikumpulkan untuk berperang. Dalam strategi perang ada suatu pelanggaran atau
kesalahan yang dibuat dan dilanggar kemudian terjadilah bencana yaitu berupa
lautan air dan sampai saat ini disebut kali biru yang berada pada kampung Brap,
yang mana dulu dijadikan tempat berkumpul moyang, kemudian setelah
terjadinya musibah dengan bencana air, maka lenyaplah semua orang atau
tenggelam dan yang selamat hanya seorang nenek dengan dua orang cucunya.
Brab artinya yang tertinggal, jadi yang menduduki Brab adalah nenek atau
perempuan yang tertinggal.
Waibron Woy terdapat tiga suku yaitu Samon Sabra atau disebut owari
(mata rumah Damai), Boy kawai dan Yeuw atau Yaung (asli). Sedangkan
Waibron Bano sendiri ada dua suku yaitu Suku Done (Duluan) dan Suku Siet
(mengikuti langkah). Done dalam bahasa asli disebut Duluan, yang pertama,
kemudian Siet disebut yang kedua atau mengikuti. Pengertiannya secara umum
adalah Done yang datang duluan sekali kemudian Siet berjalan mengikutinya dan
duduk di tempat yang dinamakan Kande. Tempat yang dimaksud di bukit
Kendate. Kemudian Yamdena-Nimboran, menempati di lahan kosong. Siet
mengikuti langkah kaki dari Done. Oleh sebab itu, Done disebut sebagai
pemegang ahli waris dan semua kewenangan adat ada di tangan Done. Dengan
demikian kewenangan Done diartikan dengan kedudukan kampung. Sedangkan
Siet di lahan yang kosong sehingga dalam berburu, Done mempunyai wewenang
yang tidak bisa dilanggar oleh suku Siet atau suku lain. Karena setiap mau
berburu atau mengerjakan sesuatu harus ada izin dari Done atau harus duduk
berunding dulu. Tetapi bila dilanggar maka hukumanya akan buruk. Dalam cara
berburu atau mencari makan, suku Siet hanya disuruh membawa anak panah dan
busur saja, sedangkan Done yang membawa pulang Hasil yang terbaik dari
buruan, misalnya babi yang terbesar.
11
12
Dalam rumah adat, atau tempat tinggal seorang ondofolo, perempuan atau
ibu-ibu tidak boleh naik ke tempat sacral tersebut. Tetapi anak laki-laki yang pada
usia 10 tahun boleh naik. Jika ada orang yang datang dari tempat yang jauh atau
ada orang yang memiliki masalah harus dilindungi oleh ondoafi dalam rumah
adat. Dengan demikian masyarakat tidak melihat orang yang dari dari jauh itu
sebagai musuh. Orang lain yang dimaksudkan disini adalah orang di luar suku
atau komunitas Elseng. Orang yang diterima oleh ondoafi dalam rumah adat ini
mendengarkan perihal atau cerita perjalanannya yang baik maupun yang buruk.
Dengan pola adat seperti ini dapat dikatakan bahwa rumah ondofolo atau rumah
adat adalah tempat keselamatan, perlindungan, perdamaian, pengampunan. Oleh
karena itu seorang ondofolo harus benar-benar dipilih dengan memiliki jiwa yang
besar, terbuka kepada masyarakat. Isterinya berhati besar dan mulia, yang bisa
mengimbangi kedudukan suaminya di mata masyarakat.
Kekuasaan seorang ondofi biasa diibaratkan dengan kekuasaan api dan air.
Jadi, setiap kata atau kalimat yang diucapkan ondoafi akan terwujud atau benarbenar terjadi. Kalau seorang ondoafi mengatan atau mengucapkan itu baik maka
yang terjadi baik. Begitupun sebaliknya yang terjadi buruk jika berkata buruk.
Oleh karena itu, seorang ondoafi tidak akan membunuh orang. Kewenangan
ondoafi hanya memberikan ijin apabila seseorang terbukti salah dan harus
dihukum mati.
Kampung Aip adalah kampung asli, marga aslinya kumtu. Sampai dengan
sekarang di kampung ini memiliki dua marga yaitu Duntru dan Warring. Dalam
aturan adat, Dantru adalah ondoafi karena pertama. Sedangkan Warring adalah
orang kedua. Karena itu secara adat diistilahkan Dantru menerangi warring (saya
terangi dia). Jika dianalogikan dengan pemerintahan, Dantru eksekutif dan
Warring legislatif. Struktur ini adalah struktur adat orang Elseng. Masing-masing
memiliki kewenangan, fungsi dan tugas. Sebelum pemerintah dan agam masuk di
daerah ini, struktur ada sudah ada. Artinya, setiap suku bangsa mengatur dirinya
sendiri sesuai dengan struktur adat kampung asli. Pemimpin dalam suatu suku
bangsa selalu mengatur masyarakat, memberikan kebebasan masyarakat serta hakhaknya untuk menikmati semua kekyaan alam yang ada di sekitarnya.
Fungsi, tugas dan kewenangan marga dalam suku bangsa Elseng adalah:
1. Srom sebagai fungsi ekonomi pembangunan;
2. Bemei sebagai fungsi bendahara harta adat (misalnya tomako batu);
3. Tegai sebagai fungsi juru bicara ondofolo. Setiap hal yang diputuskan oleh
ondofolo, maka Tegai melaksanakan fungsinya yaitu menyampaikan kepada
masyarakat tentang hal yang diputuskan oleh ondoafi.
4. Terangdegeng sebagai fungsi atau bagian eksekusi keputusan, atau
pelaksana hasil keputusan. Misalnya bila ada masalah atau orang yang
melanggar aturan adat akan diberikan sangsi atau dihukum mati oleh orang
ini (terangdegeng).
13
14
15
Tamsu untuk wilayah Jouw wari dan Tarpi, Dugeno atau Kikeno atau disebut juga
Dugu untuk wilayah Gresi dan Kemtuk, Iram untuk wilayah Namblong, dan
Oktim untuk wilayah Orya, Elseng, Sause, Kaureh, Nakasai, Kapaouri, dan
Kosare.
Dalam sistem pemerintahannya, pemerintahan kampung adat terdiri atas
ondoafi atau sebutan lain yang dianut oleh masyarakat adat yang berkedudukan
sebagai kepala kampung adat. Ondoafi dibantu oleh seorang anggota masyarakat
adat yang berkedudkan sebagai sekretaris kampung adat. Untuk membantu
pelaksanaan tugas sebagai Kepala Kampung Adat, ondoafi mengangkat
fungsionaris adat menurut struktur yang dianut masyarakat adat dalam sistem
kepemimpinan keondoafian dan keoktiman. Sekretaris kampung adat berperan
membantu pelaksanaan kepala kampung adat. Sekretaris kampung adat tidak
berstatus sebagai PNS. Pemerintahan kampung adat yang terdiri dari Kepala
Kampung Adat, Sekretaris Kampung Adat dan fungsionaris pemerintahan
kampung adat berasal dari sistem kepemimpinan keondoafian yang dipilih secara
demokratis melalui musyawarah masyarakat adat.
Kelima, Pemerintah Kampung Adat memiliki peran sebagai pelindung,
pensejahtera, dan pelestari masyarakat adat dalam lingkungan hidup masyarakat
adat. Perannya meliputi:
1. Menjaga ketertiban, ketentraman, dan keamanan masyarakat dalam
hubungan antara masyarakat sendiri maupun dalam hubungan masyarakat
dengan lingkunagnnya.
2. Memlihara dan melestarikan adat istiadat yang hidup dalam masyarakat bagi
pembangunan daerah.
3. Melindungi hak-hak bersama masyarakat adat dan hak-hak perorangan
warga masyarakat adat.
4. Melindungi dan mengembangkan kebudayaan masyarakat adat dalam usaha
melestarikan kebudayaan daerah.
5. Membina dan mengembangkan nilai-nilai adat.
6. Menyelesaikan sengketa-sengketa adat.
7. Mengusahakan perdamaian di lingkungan masyarakat adat serta masyarakat
adat dengan pihak lain.
8. Membantu pemerintah dan pemda dalam melaksanakan pembangunan
daerah.
9. Bersama pemda menyelesaikan konflik.
10. Bersama masyarakat melakukan kegiatan pembangunan.
11. Mememlihara dan mengoptimalkan potensi sumber daya alam yang berada
di wilayah kampung untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap
memperhatikan keberlanjutan lingkungan.
Adapun hak dan kewajiban kampung adat dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
16
17
KESIMPULAN
Penjelasan mengenai model pemerintahan kampung adat di Nandeli,
Waibron, dan Elseng menunjukkan bahwa kampung-kampung tersebut memiliki
ciri khusus dalam menyelenggarakan pemerintahan. Model pemerintahan yang
berlaku di Nandeli, Waibron, dan Elseng juga memberikan gambaran bahwa
diperlukan kebijakan yang dapat mengakomodir sistem pemerintahan yang sudah
lama berlangsung.
Dengan hasil penelitian yang mengakomodir kondisi empiris dan studi
literature, maka terdapat indikator-indikator model pemerintahan kampung
seperti yang sudah dijelaskanyang dapat menjadi penambahan khzanah
keilmuan bagi pemangku kepentingan dalam menentukan status kampung sebagai
sebuah kampung adat.
Upaya membangun model pemerintahan kampung adat telah memasuki
ranah politik dengan ditetapkannya Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura
Tentang Kampung. Oleh karena itu, perlu proses partisipasi masyarakat yang
berkelanjutan dalam mengawal kebijakan tersebut, sehingga setelah ditetapkan
dapat efektif diimplementasikan sesuai kearifan lokal.