Hariadi, Anton. 2012. Pemilihan Terapi Lini Kedua dan Ketiga Pada Kanker Paru. Tinjauan
Kepustakaan, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Supervisor: dr. Yani Jane
Sugiri, SpP(K)
Kanker paru merupakan jenis kanker terbanyak kedua di dunia dan merupakan
penyebab kematian terbanyak dari semua jenis kanker. Di Amerika Serikat, diperkirakan
terjadi 221.130 kasus baru dan 156.940 kematian setiap tahunnya. Kanker paru dibagi
menjadi 2 tipe utama yaitu Kanker Paru jenis Karsinoma Sel Kecil(KPKSK) dan Kanker Paru
jenis Karsinoma Bukan Sel Kecil(KPKBSK). KPKBSK, yang merupakan 85% dari semua
kasus kanker paru, dibagi lagi menjadi 3 tipe mayor, yaitu karsinoma sel skuamus,
adenocarcinoma, dan karsinoma sel besar. Muncul berbagai obat baru yang mentarget jalurjalur baru dalam patobiologi timbulnya kanker paru. Tinjauan kepustakaan ini bertujuan
untuk memahami indikasi dan penggunaan tiap jenis terapi lini kedua dan ketiga dari
KPKBSK. Docetaxel, pemetrexed, erlotinib dan gefitinib dapat diberikan sebagai kemoterapi
lini kedua dan lini ketiga. Sedangkan kombinasi kemoterapi platinum dan bevacizumab
dapat diberikan sebagai kemoterapi lini kedua pada pasien dengan jenis histologi
nonskuamus. Namun, kemoterapi lini kedua dan ketiga tetap memerlukan biaya yang tinggi
dan dapat menghambat pemberiannya.
Kata kunci: Kanker paru, kemoterapi, terapi target
ABSTRACT
Hariadi, Anton. 2012. Selecting Second Line and Third Line Chemotherapy in Lung Cancer.
Literature Review, Faculty of Medicine, Brawijaya University. Supervisor: dr. Yani
Jane Sugiri, SpP(K)
Lung cancer is the second most common type of cancer in the world, and is the
leading cause of cancer related death. In United States, it is estimated that there are
221.130 new cases and 156.940 death annually. Lung cancer can be divided into 2 main
types, Small Cell Lung Cancer(SCLC), and Non Small Cell Lung Cancer (NSCLC) which
makes up for 85% cases of lung cancer. NSCLC can be further divided into 3 major types,
squamous cell carcinoma, adenocarcinoma, and large cell carcinoma. Novell drugs has
been developed that can target new pathway in lung cancer pathogenesis. The main
objective of this literature review is to know the indication and how to use each of the second
and third line chemotherapy for NSCLC. Docetaxel, pemetrexed, erlotinib and gefitinib can
be used as a second and third line chemotherapy. While combination of platinum and
bevacizumab can be used as a second line chemotherapy in patient with nonsquamous lung
cancer. The high cost of second and third line chemotherapy could hinder their usage.
Keywords: Lung Cancer, Chemotherapy, Targetted Therapy
DAFTAR ISI
Abstrak........................................................................................................................ i
Abstract....................................................................................................................... ii
Daftar Isi..................................................................................................................... iii
Daftar Gambar............................................................................................................ v
Daftar Tabel................................................................................................................ vi
Daftar Singkatan........................................................................................................vii
BAB 1 Pendahuluan...................................................................................................1
1.1.
Latar Belakang..............................................................................................1
1.2.
Tujuan Penulisan...........................................................................................2
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1.
Gambar 2.2.
Gambar 2.3.
Gambar 2.4.
2012)
Alur tatalaksana KPKBSK Nonskuamus dengan status mutasi EGFR
Gambar 2.5.
Gambar 2.6.
Gambar 2.7.
Gambar 2.8.
Gambar 2.9.
Gambar 2.10.
Gambar 2.11.
Gambar 2.12.
Gambar 2.13.
Gambar 2.14.
Gambar 2.15.
2006)
Ilustrasi Kondisi Hipoksik dari Suatu Tumor (Folkman et al, 2005)
VEGF diekspresikan sepanjang siklus hidup tumor (Folkman et al,
Gambar 2.16.
Gambar 2.17.
Gambar 2.18.
2005)
Skematis dari kromosom 2p23 dan 2p21 dan FISH
Struktur Crizotinib
Dua strategi untuk menghambat jalur VEGF (Hicklin & Ellis, 2005)
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1.
DAFTAR SINGKATAN
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Kanker paru merupakan jenis kanker terbanyak kedua di dunia dan merupakan
penyebab kematian terbanyak dari semua jenis kanker. Di Amerika Serikat, diperkirakan
terjadi 221.130 kasus baru dan 156.940 kematian setiap tahunnya. Kanker paru merupakan
jenis kanker yang membutuhkan dana kesehatan terbanyak ke 3 di amerika serikat, setelah
kanker payudara, dan kanker kolorektal. Setiap tahunnya diperkirakan diperlukan dana
sebesar 12,2 milliar dollar untuk penatalaksanaan kanker paru di amerika serikat. Di
Indonesia, kanker paru menempati peringkat ke 6 kejadian rawat inap karena neoplasma.
Kanker paru yang dapat terjadi pada usia produktif dapat menyebabkan kerugian yang lebih
besar daripada yang diperkirakan. (Jemal et al, 2008) (Hartono et al, 2007)
Kanker paru dibagi menjadi 2 tipe utama yaitu Kanker Paru jenis Karsinoma Sel
Kecil(KPKSK) dan Kanker Paru jenis Karsinoma Bukan Sel Kecil(KPKBSK). KPKBSK, yang
merupakan 85% dari semua kasus kanker paru, dibagi lagi menjadi 3 tipe mayor, yaitu
karsinoma sel skuamus, adenocarcinoma, dan karsinoma sel besar. Saat ini, tidak ada
metode skrining yang efektif untuk KPKBSK, lebih dari separuh penderita KPKBSK
didiagnosa dengan metastase(stadium IV). Hal ini akhirnya menyebabkan tidak adanya
kemungkinan terapi bedah kuratif pada sebagian besar pasien. Pada pasien-pasien dengan
KPKBSK stadium lanjut, terapi berbasis platinum tetap merupakan pilihan utama
manajemen pada terapi lini pertama. Namun, walaupun terdapat perkembangan dalam
kemoterapi sitotoksik dan munculnya agen sitotoksik yang baru, prognosis untuk pasien
dengan KPKBSK tetaplah buruk. Angka kesintasan satu tahun pada pasien dengan kanker
paru stadium IV hanyalah 37%. (Yu LJ, 2011)
Pada tahun 1970an, beberapa agen kemoterapi seperti cyclophosphamide,
doxorubicin, adriamicin digunakan untuk penatalaksanaan Kanker paru. Namun, efek
samping supresi sumsum tulang, emesis, neurotoksisitas, nefrotoksisitas, kardiak toksisitas
dan response rate yang rendah (12-23%) menyebabkan agen-agen kemoterapi lama
tersebut ditinggalkan. Perkembangan kemoterapi dilanjutkan dengan penemuan agen
kemoterapi berbasis platinum. Platinum dapat memberikan response rate yang lebih tinggi
dibandingkan agen lain yaitu 60-80% pada pasien yang belum pernah diterapi. Sehingga
pemberian kemoterapi doublet platinum menjadi pilihan lini pertama untuk penatalaksanaan
KPKBSK. (Perry, 2008)
Pemahaman yang lebih mendalam dari onkologi molekuler telah membantu ilmuwan
mengidentifikasi beberapa target terapi yang potensial, dan usaha tersebut telah
menghasilkan beberapa terapi dengan target spesifik. Era terapi personal pada kanker paru
telah dimulai saat ditemukannya mutasi Epidermal Growth Factor Receptor pada exon 19
dan 21. Penggunaan terapi lini kedua untuk tatalaksana kanker paru memberikan hasil yang
lebih baik pada angka kesintasan dan kualitas hidup pasien. (NCCN, 2012)
Pada tahun 2007, fusi dari gen Echinoderm microtubule-associated protein-like 4
(EML4) dan gen anaplastic lymphoma kinase (ALK) ditemukan pada sebagian subset dari
penderita KPKBSK. Fusi dari gen ini mendorong pertumbuhan sel dan inhibisi apoptosis.
Diperkirakan 3%-5% penderita KPKBSK memiliki fusi gen ALK. Mutasi ini cenderung terjadi
pada pasien muda, penderita dengan KPKBSK lanjut, dan pada penderita yang tidak pernah
merokok atau mantan perokok ringan. (Sasaki et al, 2010)
1.2.
Tujuan Penulisan
1. Merupakan karya tulis ilmiah dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS)
I Ilmu Penyakit Paru Universitas Brawijaya Malang.
2. Memahami indikasi dan penggunaan tiap jenis terapi lini kedua dan ketiga dari
KPKBSK.
3. Memahami mekanisme kerja terapi lini kedua dan ketiga yang telah tersedia
sebagai terapi KPKBSK.
10
BAB 2
KEMOTERAPI LINI KEDUA DAN KETIGA
Kanker paru adalah salah satu jenis penyakit paru yang memerlukan penanganan
dan tindakan yang cepat dan terarah. Penegakan diagnosis penyakit ini membutuhkan
ketrampilan dan sarana yang tidak sederhana dan memerlukan pendekatan multidisiplin
kedokteran. Penyakit ini membutuhkan kerja sama yang erat dan terpadu antara ahli paru
dengan ahli radiologi diagnostik, ahli patologi anatomi, ahli radiologi terapi dan ahli bedah
toraks, ahli rehabilitasi medik dan ahli-ahli lainnya (PDPI, 2011).
Pengobatan atau penatalaksaan penyakit ini sangat tergantung pada kecekatan ahli
paru untuk mendapatkan diagnosis pasti. Penemuan kanker paru pada stadium dini akan
sangat membantu penderita dan penegakan diagnosis dalam waktu yang lebih cepat
memungkinkan penderita memperoleh kualitas hidup yang lebih baik dalam perjalanan
penyakitnya, meskipun tidak dapat menyembuhkannya (PDPI, 2011).
Pilihan terapi harus dapat segera dilakukan, mengingat buruknya respon kanker paru
terhadap berbagai jenis pengobatan. Bahkan dalam beberapa kasus penderita kanker paru
membutuhkan penanganan sesegera mungkin meski diagnosis pasti belum dapat
ditegakkan (PDPI, 2011).
Kemoterapi adalah pemberian golongan obat-obatan tertentu dengan tujuan
menghambat pertumbuhan sel kanker dan bahkan dapat membunuh sel kanker. Obat itu
disebut sitostatika atau obat anti kanker (DeVita, 2008). Meskipun kemoterapi sedang diteliti
sebagai strategi terapi kanker tahap awal neoadjuvant dan adjuvant, beberapa kemajuan
telah dicapai dalam pengobatan penyakit kanker stadium lanjut yang terlokalisir (locally
advanced) dan stadium lanjut (advanced disease), hasil pengobatan KPKBSK belum
dianggap gagal. Harapan baru berasal dari peningkatan pengetahuan tentang biologi tumor
11
dan mekanisme oncogenesis beberapa potensial target baru yang direkomendasikan dalam
penelitian klinis untuk terapi kanker. Sejumlah besar penelitian preklinik in vivo dan in vitro
telah membuktikan, banyak molekul target dan jalur. Selanjutnya, beberapa agen target
telah diperkenalkan dalam uji klinis dan beberapa penelitian tahap III telah menghasilkan
hasil yang definitif (Gridelli et al, 2011).
Beberapa tahun terakhir, peranan kemoterapi sebagai terapi KPKBSK lebih jelas.
Beberapa kontroversi masih ada, terutama untuk penyakit stadium lanjut, meskipun
penggunaan kemoterapi kombinasi berbasis platinum telah dijadikan standar atau sudah
established. Sebuah meta analisis pada pasien KPKBSK dengan kemoterapi berbasis
cisplatin dibandingkan dengan BSC saja, menunjukkan kemoterapi dapat menurunkan risiko
kematian sebesar 27% dan meningkatkan 1-year survival rate sebesar 10%. Meta analisis
lain menyebutkan, respon kemoterapi kombinasi meningkat dua kali lipat dibandingkan
kemoterapi tunggal, sedangkan kelangsungan hidupnya pada 6 dan 12 bulan kemudian
meningkat masing-masing sebesar 10% dan 22%. Pencapaian peningkatan respon mungkin
memiliki efek paliatif yang baik, meskipun manfaat dalam hal kelangsungan hidup masih
rendah (Mller dan Guadagni, 2001).
Peranan kemoterapi untuk pengobatan KPKBSK stadium lanjut terus berkembang,
terutama mekanisme aksi obat yang inovatif dan toksisitasnya yang bisa ditekan. Meskipun
tidak ada bukti bahwa kemoterapi lini kedua dapat mempengaruhi kelangsungan hidup pada
pasien KPKBSK stadium lanjut atau pada penyakit yang berjalan secara progresif. Beberapa
syarat pengobatan kemoterapi lini kedua yaitu bila pasien dengan tampilan baik atau pasien
yang tidak merespon kemoterapi lini pertama (Mller dan Guadagni, 2001).
Pilihan obat untuk pasien KPKBSK stadium lanjut yang resisten atau refrakter
terhadap kemoterapi lini pertama sangat terbatas. Agen kemoterapi generasi terbaru untuk
terapi KPKBSK yang sebelumnya tidak bisa diobati antara lain karboplatin, paclitaxel,
docetaxel, vinorelbine, dan gemcitabine. Meskipun KPKBSK tetap relatif resisten terhadap
kemoterapi, fakta menunjukkan bahwa kemoterapi lini kedua dapat dipertimbangkan bila
12
tidak didapatkan perbaikan setelah pemberian terapi lini pertama (Mller dan Guadagni,
2001).
Skipper pada tahun 1960-an mengungkapkan prinsip-prinsip kemoterapi sebagai
berikut: 1. Sel kanker single dapat tumbuh sampai mencapai ukuran tumor letal, 2. Tumor
doubling time menurun dengan meningkatnya tumor burden pada stadium lanjut dari
pertumbuhan tumor, 3. Kebanyakan obat kemoterapi menunjukan log cell kill kinetics dan
peningkatan yang sama sebanding dengan dosis, 4. Tumor burden berbanding terbalik
dengan angka kesembuhan (DeVita, 2008).
2.1. Kinetika Seluler
Jika berbicara mengenai kemoterapi dan keganasan, maka perlu diperhatikan
mengenai proses pembelahan sel pada manusia, dimana dapat ditemukan adanya lima fase
proliferasi sel, baik pada sel normal maupun pada sel tumor. Fase-fase tersebut adalah
(DeVita, 2008):
Fase G0 (GAP 0) :
Fase istirahat, sel diprogram untuk melaksanakan fungsi-fungsi khusus.
Fase G1 (GAP 1) :
Merupakan interfase, terjadi sintesa protein dan RNA.
Fase S (Sintesa) :
Fase sintesa DNA.
Fase G2 (GAP 2) :
Fase pre-mitosis, setelah sintesa DNA selesai, sintesa protein dan RNA
berlanjut dan menghasilkan prekursor mikrotubular dari mitosis.
Fase M (Mitosis) :
Fase pembelahan sel, setelah fase ini selesai, maka siklus akan berulang ke
awal.
13
Gambar 2.1. Lima fase proliferasi sel (Hennequin, Giocanti dan Favaudon, 1995).
Memastikan sel cukup besar dan apakah protein yang tepat untuk fase S
sudah tersedia, jika tidak, maka sel akan memasuki fase G0 sampai siap
untuk membelah
2)
3)
Memastikan mitosis telah komplit, jika ya, maka sel membelah, dan siklus sel
berulang
14
Tumor ganas bisa terdiri dari fraksi sel yang aktif berproliferasi sehingga memiliki
sensitifitas yang tinggi terhadap kemoterapi, bisa juga terdiri dari sel yang tidak berproliferasi
sehingga memiliki sensitifitas yang rendah terhadap kemoterapi. Mayoritas tumor solid
hanya mempunyai sedikit fraksi sel yang berproliferasi sehingga tumor solid tidak sensitif
terhadap kemoterapi. Pengetahuan kinetik selular dapat menuntun kita untuk menentukan
pemilihan obat anti kanker yang akan dipergunakan. Hal yang harus diperhatikan dalam
pemilihan pemakaian obat anti kanker adalah :
1. Jenis kanker.
2. Kemosensitivitas kanker.
3. Populasi sel kanker.
4. Persentase sel kanker yang terbunuh.
5. Siklus pertumbuhan kanker.
6. lmunitas tubuh.
Sensitivitas tumor terhadap obat anti kanker tidak konstan, tetapi pada umumnya sel
kanker tersebut dapat bersifat sensitif, responsif atau resisten sama sekali. Sel kanker di
dalam tumor adalah heterogen, yaitu terdiri dari bermacam-macam sel, walaupun asalnya
sama. Diketahui ada beberapa fraksi (DeVita, 2008):
Fraksi klonogen (clonogenic fraction) ialah fraksi sel yang dapat tumbuh.
15
Fraksi non klonogen (non clonogenic fraction) ialah fraksi sel yang tidak
mempunyai kemampuan tumbuh. Fraksi sel ini dapat dianggap sebagai sel yang
mati. Walaupun ia masih hidup tetapi tidak dapat tumbuh lagi.
Implikasi klinik dari fraksi sel yang tumbuh ini adalah (Airley, 2009):
Pada tumor yang besar atau yang pertumbuhannya lambat lebih baik memakai
16
Obat hanya bekerja pada sel yang berada dalam siklus pertumbuhan, tetapi
tidak pada sel yang tidak tumbuh (G 0). Toksisitas sel tergantung dari dosis obat
dan lama paparan (exposure).
c. Siklus pertumbuhan tertentu pada fase tertentu (Cell cycle phase spesific).
Obat bekerja hanya pada fase tertentu saja dalam siklus pertumbuhan sel.
Sel yang pertumbuhannya cepat lebih peka daripada yang pertumbuhannya
lambat, tetapi ada sel yang tidak peka terhadap obat walaupun dosisnya tinggi.
Untuk sel kanker golongan ini sebaiknya diberi obat anti kanker dalam waktu yang
pendek dan dengan dosis yang tinggi.
Penderita kanker yang telah bermanifestasi klinis, imunitasnya akan tertekan.
Diperkirakan kemampuan tubuh untuk mengatasi sel kanker terbatas sampai sejumlah 105
jumlah sel. Setelah jumlah sel kanker dapat diminimalkan sampai 105 diharapkan immunitas
tubuh akan mengambil alih untuk menghancurkan sisa sel kanker yang masih ada. Perlu
pula diperhatikan bahwa kemoterapi juga dapat menurunkan imunitas tubuh (DeVita, 2008).
Hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih obat adalah mengetahui efikasi dan
toksisiti obat yang akan digunakan. Masing-masing obat mempunyai keunggulan yang
berbeda. Faktor-faktor untuk menilai efikasi obat antara lain:
Respons objektif dan subjektif (response rate).
Masa bebas penyakit (time to progressive).
Masa tengah tahan hidup (median survival rate).
Angka tahan hidup 1 tahun (1-years survival).
Selain tergantung jenis histologis sel kanker, obat yang dipilih sebaiknya obat yang
mempunyai efek samping paling rendah. Pengobatan dengan dosis suboptimal tidak
memberikan hasil yang memuaskan sedangkan dosis yang berlebihan memberi efek toksik
yang lebih berat. Karena itu harus ditentukan dosis optimal. Pada umumnya dosis obat
ditentukan berdasarkan luas permukaan badan, yang dapat diperhitungkan dari tinggi dan
berat badan penderita. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah penggunaan lebih dari
satu jenis obat dalam paduan obat dengan mekanisme kerja yang berbeda. Penggunaan
17
obat baru (new agent atau second line drugs) dalam satu paduan obat memberikan efikasi
yang lebih baik, dan bahkan beberapa obat itu mulai diuji coba untuk menjadi obat lini
pertama (Jusuf, Syahruddin dan Hudoyo, 2010).
18
A5. Pemilihan cisplatin atau carboplatin dapat diterima; obat yang dapat
dikombinasikan dengan platinum termasuk obat sitotoksik generasi ketiga termasuk
docetaxel, gemcitabine, irinotecan, paclitaxel, pemetrexed dan vinorelbine; bukti mendukung
bahwa penggunaan kombinasi cisplatin menghasilkan response rate yang lebih tinggi
dibanding penggunaan carboplatin dan dapat memperbaiki angka kesintasan bila
dikombinasikan dengan agen generasi ketiga; carboplatin lebih sedikit menimbulkan
nausea, nefrotoksisitas, dan neurotoksisitas dibandingkan cisplatin tetapi dapat lebih mudah
menimbulkan trombositopenia.
A.6. Pada pasien dengan KPKBSK stadium IV, kemoterapi sitotoksik lini pertama
sebaiknya dihentikan pada progresi penyakit, atau setelah 4 siklus pada pasien dengan
penyakit yang stabil namun tidak respon terhadap terapi; Kombinasi dua obat sitotoksik
sebaiknya diberikan tidak lebih dari 6 siklus; pada pasien dengan stable disease atau stable
response setelah 4 siklus, terapi segera dengan alternatif: kemoterapi agen tunggal seperti
pemetrexed pada pasien dengan histologi nonskuamus, atau docetaxel atau erlotinib pada
pasien yang tidak terpilih dapat dipertimbangkan; limitasi dari data ini adalah bahwa
penghentian kemoterapi sitotoksik setelah menjalani siklus juga dapat diterima, dengan
inisiasi kemoterapi lini kedua pada progresi penyakit.
A7. Pada pasien yang tidak terpilih, erlotinib atau gefitinib sebaiknya tidak digunakan
dengan kombinasi kemoterapi sitotoksik sebagai terapi lini pertama; pada pasien yang tidak
terpilih, bukti-bukti tidak cukup untuk merekomendasi penggunaan erlotinib atau gefitinib
agen tunggal sebagai terapi lini pertama; penggunaan terapi lini pertama dari gefitinib dapat
direkomendasikan pada pasien dengan mutasi EGFR aktif; bila status mutasi EGFR negatif
atau tidak diketahui, kemoterapi sitotoksik lebih dipilih.
A.8. Berdasarkan hasil dari studi randomisasi klinis fase III yang besar, komite
pembaharuan menyarankan penambahan bevacizumab(15mg/kg tiap 3 minggu pada
carboplatin/paclitaxel, kecuali pada pasien dengan tipe histologis karsinoma sel skuamus,
metastase otak, hemoptisis yang signifikan, fungsi organ yang tidak adekuat, status
performa ECOG >1, pemberian terapi antikoagulan, penyakit kardiovaskuler yang signifikan
19
secara klinis, atau hipertensi yang tidak terkontrol, bevacizumab dapat digunakan selama
dapat ditoleransi sampai terjadi progresi penyakit
A.9. Berdasarkan hasil dari studi randomisasi klinis fase III yang besar, klinisi dapat
mempertimbangkan penambahan cetuximab pada cisplatin/vinolrebine pada terapi lini
pertama pasien dengan EGFR-positif yang ditunjukkan dengan pemeriksaan
imunohistokimia. Cetuximab dapat dilanjutkan selama dapat ditoleransi sampai terjadi
progresi penyakit.
B. Kemoterapi lini kedua:
B.1. Docetaxel, erlotinib, gefitinib atau pemetrexed dapat diterima sebagai
kemoterapi lini kedua pada pasien dengan KPKBSK lanjut dengan status performa yang
cukup dimana penyakit mengalami progresi selama ataupun setelah pemberian kemoterapi
lini pertama.
B.2. Bukti-bukti tidak mendukung pemilihan kemoterapi lini kedua spesifik atau
kombinasi tertentu berdasarkan usia saja.
C. Kemoterapi lini ketiga:
C.1. Bila penyakit mengalami progresi pada saat diberikan kemoterapi lini kedua
atau setelah selesai kemoterapi lini kedua, terapi dengan erlotinib dapat direkomendasikan
sebagai kemoterapi lini ketiga untuk pasien dengan status performa 0-3 yang belum pernah
mendapat terapi erlotinib atau gefitinib
C.2. Belum ada data yang cukup untuk membuat rekomendasi mendukung atau
menentang penggunaan obat sitotoksik sebagai terapi lini ketiga; pasien dapat
mempertimbangkan pula terapi eksperimental, studi klinis, dan BSC.
D. Analisis molekuler:
D.1. Bukti-bukti belum mencukupi untuk merekomendasikan pemeriksaan rutin
marker molekular untuk memilih terapi sistemik pada pasien dengan KPKBSK dengan
metastase.
D.2. Untuk mendapat jaringan yang lebih cocok gambaran histologinya, dan untuk
penelitian, komite pembaharuan mendukung usaha untuk mendapat jaringan yang lebih
20
banyak daripada yang biasa dilakukan pada spesimen sitologi yang telah rutin dilakukan.
(ASCO,2011)
Gambar 2.3. Alur tatalaksana KPKBSK rekuren atau dengan metastase (NCCN, 2012)
Gambar 2.4. Alur tatalaksana KPKBSK Nonskuamus dengan status mutasi EGFR dan ALK negatif atau tidak
diketahui (NCCN, 2012)
21
22
Gambar 2.6. Alur kemoterapi lini kedua dan ketiga (NCCN, 2012)
Kemoterapi lini kedua diberikan bila terjadi progresi tumor walaupun dengan
pemberian kemoterapi lini pertama. Pemilihan kemoterapi lini kedua berdasarkan pada
status performa dari penderita. Pada pasien dengan status performa WHO 0-2 dapat
diberikan docetaxel, pemetrexed, erlotinib, atau kemoterapi platinum doublet ditambah
bevacizumab. Sedangkan pada status performa WHO 3-4 diberikan Erlotinib atau BSC
khusus pada karsinoma non skuamus.
Kemoterapi lini ketiga diberikan bila terjadi progresi tumor walaupun dengan
pemberian kemoterapi lini kedua. Pemilihan kemoterapi lini ketiga berdasarkan pada status
performa dari penderita. Penderita dengan status performa WHO 0-2 dapat diberikan
docetaxel, pemetrexed, atau erlotinib. Bila setelah pemberian kemoterapi ini terjadi progresi
maka dilakukan BSC saja. Sedangkan pada pasien dengan status performa WHO 3-4
dilakukan BSC saja.
resistensi alami, maupun dapatan. Resistensi alami adalah resistensi yang sejak awal
didapatkan, sedangkan resistensi dapatan adalah resistensi yang terjadi setelah pemberian
pengobatan dengan hasil yang baik sebelumnya. Ada 3 kategori resistensi: kinetik, biokimia,
dan farmakologi. (Skeel, 2011)
2.4.1. Kinetika Sel dan Resistensi
Resistensi Sel berdasarkan kinetika populasi sel berhubungan dengan spesifisitas
siklus dan fase, fraksi pertumbuhan dan implikasi dari faktor-faktor tersebut terhadap respon
terhadap agen spesifik, dan jadwal pemberian obat. Masalah umum yang terjadi pada tumor
pada manusia adalah sel-sel tersebut berada pada plato fase pertumbuhan dengan fraksi
pertumbuhan yang kecil. Faktor ini menyebabkan kebanyakan sel tidak sensitif terhadap
golongan antimetabolit dan relatif tidak responsif terhadap agen kemoterapi lainnya.
Strategi-strategi untuk melawan resistensi terhadap kinetika sel berupa:
1. Mengurangi beban tumor dengan pembedahan ataupun radioterapi
2. Menggunakan kombinasi obat dengan obat yang mempengaruhi populasi
istirahat (G0)
3. Mengatur jadwal pemberian obat untuk mensinkronisasi populasi sel dan
meningkatkan kematian sel
(Skeel, 2011)
2.4.2. Resistensi Biokimia
Resistensi dapat terjadi karena penyebab biokimia, termasuk ketidakmampuan dari
tumor untuk mengkonversi sebuah obat menjadi bentuk aktif, kemampuan tumor untuk
menginaktivasi obat, dan lokasi dari tumor di tempat dimana sulit dicapai obat. Mekanisme
resistensi sel dapat disebabkan karena penurunan uptake obat, peningkatan efluks,
perubahan struktur dari target intraseluler, mapun peningkatan kecepatan perbaikan DNA
yang rusak. (Skeel, 2011)
MDR, atau disebut juga sebagai pleiotropic drug resistance, adalah suatu fenomena
dimana pengobatan dengan satu agen menyebabkan resistensi tidak hanya terhadap obat
tersebut tapi juga resistensi terhadap kelas agen kemoterapi yang tidak berhubungan. MDR
umumnya disebabkan karena peningkatan mekanisme efluks obat yang tergantung energi
24
yang menyebabkan rendahnya konsentrasi obat intraseluler. Pada MDR dengan tipe ini,
overekspresi protein trasnspor membran P-glycoprotein umumnya didapatkan. Protein MDR
lain dapat juga ditemukan pada kanker paru. Pemberian kemoterapi kombinasi dapat
mengatasi resistensi biokimia dengan cara meningkatkan jumlah obat intraseluler yang aktif
sebagai akibat dari interaksi biokimia atau efek dari transpor obat melewati membran sel.
(Skeel, 2011)
Penggunaan agen kedua dapat juga mengatasi resistensi biokimia, cara lain adalah
dengan menggunakan sel punca pada sumsum tulang sehingga dapat diberikan dosis obat
yang lebih tinggi. (Skeel, 2011)
2.4.3. Resistensi Farmakologis
Resistensi terhadap kemoterapi dapat disebabkan oleh kurangnya suplai pembuluh
darah, penyerapan obat yang buruk, peningkatan ekskresi obat. (Skeel, 2011)
2.5. Terapi Lini Kedua dan Ketiga
Kemoterapi lini kedua adalah kemoterapi yang digunakan setelah tumor berkembang
atau progresif selama atau setelah pemberian regimen pertama, digunakan untuk penyakit
tahap lanjut (ASCO, 2011).
Kemoterapi lini ke dua yang telah direkomendasikan docetaxel, pemetrexed,
bevacizumab, gefitinib dan erlotinib bisa diterima pasien NSCLC stadium lanjut dengan
tampilan (performance status) cukup selama penyakit itu berkembang saat atau setelah
terapi lini pertama berbasis platinum (NCCN, 2012). Bila terdapat progresi setelah
kemoterapi lini kedua, dapat diberikan kemoterapi lini ketiga dengan docetaxel, pemetrexed,
erlotinib. Selain mempertimbangkan regimen yang optimal, pedoman baku dalam
mengevaluasi jadwal pemberian kemoterapi lini kedua, yang sudah ada hanya docetaxel.
Pemilihan obat kemoterapi lini kedua tertentu atau kombinasi hanya berdasarkan usia, tidak
terbukti. Ada banyak kekurangan, dari penelitian yang menganggap bahwa orang usia lanjut
saja yang menerima terapi lini kedua. Bukti yang tersedia menunjukkan bahwa manfaat dan
toksisitas tidak dibedakan berdasarkan usia. (ASCO, 2011)
25
Paclitaxel merupakan bahan yang diisolasi dari batang pohon Taxus brevifolia.
Paclitaxel merupakan bahan alami dengan aktifitas antitumor. Paclitaxel dihasilkan dari
proses semisintetis dari Taxus baccata. Paclitaxel bekerja dengan cara meningkatkan
penyusunan tubulin dimer dan menstabilisasi mikrotubulus dengan menghambat
depolimerisasi. Stabilitas mikrotubulus ini menimbulkan inhibisi dari reorganisasi dari
jaringan mikrotubulus normal yang diperlukan pada pembelahan mitosis dari sel. Selain itu,
paclitaxel juga menyebabkan timbulnya susunan abnormal atau bundle dari mikrotubulus
sepanjang siklus sel. (Sessa et al, 2012)
Ketika paclitaxel pertama kali diperkenalkan pada awal tahun 1990, aktifitas
antikankernya cukup tinggi terutama pada kanker ovarium dan payudara. Pada awalnya
paclitaxel diberikan sebagai infus selama 24 jam karena diperkirakan akan mengurangi
frekuensi reaksi hipersensitivitas akut. Namun, dengan berjalannya waktu ditemukan bahwa
pemberian premedikasi dengan steroid dan antihistamin mampu mencegah terjadinya
hipersensitivitas tanpa menghiraukan lamanya pemberian infus obat. (Sessa et al, 2012)
26
Paclitaxel memiliki solubilitas dalam air yang rendah, karena itu paclitaxel
diformulasikan dengan menggunakan polyoxethylated castor oil(Cremophor EL) dan ethanol
50% sebagai vehikulum. Cremophor adalah konstituen utama yang bertanggungjawab
terhadap timbulnya reaksi hipersensitivitas. Hal inilah yang menyebabkan perlunya
premedikasi sebelum pemberian Paclitaxel. (Sessa et al, 2012)
2.5.1.2. Docetaxel
Docetaxel adalah analog semisintetik dari Paclitaxel yang lebih mudah larut dalam
air, dan bebas Cremophor. Docetaxel dihasilkan dari duri-duri Taxus baccata. Preparat
Docetaxel mengandung Tween 80 dan ethanol yang juga dapat menyebabkan toksisitas.
Docetaxel memiliki mekanisme kerja yang sama dengan paclitaxel.
27
Docetaxel bekerja dengan menyerang sel-sel kanker. Setiap sel dalam tubuh berisi
struktur pendukung (hampir seperti tulang kerangka) yang disebut jaringan mikrotubular.
Jika kerangka ini berubah atau rusak, sel tidak dapat tumbuh atau memperbanyak diri.
Docetaxel membuat struktur kerangka dalam sel kanker tidak wajar dan kaku, sehingga selsel ini tidak bisa tumbuh lagi (Medicinenet, 2011).
28
Gambar 2.9. Struktur kimia docetaxel dan mekanisme inaktivasi fosforilasi Bcl-2
(Hennequin, Giocanti dan Favaudon, 1995)
Docetaxel dimetabolisme oleh hati dan diekskresikan oleh ginjal minimal (<5%),
sehingga dapat diberikan kepada pasien dengan insufisiensi ginjal, tetapi penyesuaian dosis
diperlukan bagi pasien dengan gangguan hati. Docetaxel memiliki tingkat neuropati sensori
lebih tinggi dari pemetrexed dan erlotinib, dan dua agen yang terakhir lebih baik digunakan
pada pasien neuropati diabetes atau sisa efek neuropati karena terapi lini pertama. Pasien
yang memiliki hobi atau pekerjaan yang memerlukan jari atau ketangkasan tangan mungkin
lebih baik untuk menghindari komplikasi yang potensial (Stinchcombe dan Socinski, 2008).
Docetaxel memerlukan premedikasi dengan steroid dan beberapa pasien tidak bisa
mentoleransi premedikasi steroid, dengan komplikasi seperti hiperglikemia dan insomnia.
Jika seorang pasien tidak toleran terhadap steroid, erlotinib dapat menjadi agen yang dipilih
(Stinchcombe dan Socinski, 2008).
Efek samping docetaxel antara lain, penurunan sel darah putih. Biasanya, tidak ada
gejala yang spesifik terkait dengan efek samping kecuali akan muncul infeksi yang berulang.
Seperti banyak agen digunakan untuk mengobati kanker, docetaxel dapat menyebabkan
penurunan sementara jumlah sel darah putih (kondisi yang dikenal sebagai neutropenia)
dan dapat meningkatkan risiko infeksi. Namun, kebanyakan pasien yang menerima
docetaxel (Taxotere) tidak mengalami infeksi, bahkan ketika sel darah putih dalam jumlah
sangat rendah. Demam merupakan salah satu tanda yang paling umum dan tanda awal
suatu infeksi (Syrigos, Nutting dan Roussos, 2006).
Beberapa obat tidak boleh diberikan bersamaan karena dapat berinteraksi dengan
docetaxel. Interaksi dapat menyebabkan efek samping dan menyebabkan obat tidak bekerja
dengan baik. Perlu diperhatikan jika diberikan dengan siklosforin, terfenadine, ketokonazol,
eritromisin, dan troleandomycin karena ada potensi interaksi yang bermakna. Docetaxel
dapat menyebabkan gangguan janin bila diberikan pada wanita hamil. Jika docetaxel
digunakan selama kehamilan, atau jika pasien hamil saat menerima obat ini, pasien harus
tahu tentang potensi bahaya ke janin atau berpotensi mengalami keguguran. Wanita subur
yang harus mendapatkan pengobatan dengan docetaxel dianjurkan untuk menunda
kehamilan selama terapi. Tidak diketahui apakah docetaxel diekskresikan dalam air susu,
30
tetapi docetaxel berpotensi mempunyai efek samping yang serius bagi bayi. (Syrigos,
Nutting dan Roussos, 2006).
Walaupun kemoterapi KPKBSK stadium lanjut telah ada, harapan dari kemoterapi
tersebut tetap kecil. Dalam segi ekonomi, docetaxel dibandingkan dengan terapi paliatif
masih menjadi tanda tanya. Berdasarkan evaluasi ekonomi secara retrospektif dalam uji
coba docetaxel didapatkan hasil, biaya per life-year diperoleh dengan menggunakan
docetaxel yang direkomendasikan dosis 75 mg/ m2 sekitar US $ 20.000,-, hampir sama
dengan pengeluaran kemoterapi paliatif pada tumor solid lainnya (Syrigos, Nutting dan
Roussos, 2006).
2.5.2. Pemetrexed
Pemetrexed adalah analog dari pyrrolopyrimidin dengan aktivitas pada fase S dari
siklus sel. Obat ini menghambat tiga enzim folate-dependent: DHFR, thymidylate synthase
(TS) dan glycinamide ribonucleotide formyl transferase(GARFT) yang diperlukan dalam
sintesa de novo dari nukleotida thymidine dan purin. Sehingga pada akhirnya pemberian
pemetrexed akan menghambat sintesa DNA dan RNA. Inhibisi thymidylate synthase(TS)
oleh pemetrexed relatif rendah, tetapi dapat meningkat 10-100 kali lipat dengan bentuk
poliglutamat dari pemetrexed. (Sessa et al, 2012)
Pemetrexed digunakan untuk terapi kanker paru non-skuamus dan mesothelioma,
biasanya dengan kombinasi cisplatin atau carboplatin. Resistensi terhadap pemetrexed
dapat disebabkan oleh:
Gambaran histologi merupakan hal penting dalam pemilihan pengobatan baik terapi
lini pertama dan lini kedua dengan pemetrexed, karena tingginya ekspresi timidilat sintase
(TS) pada karsinoma sel skuamosa dibandingkan adenokarsinoma. Analisis retrospektif dari
data penelitian fase III pemetrexed dibandingkan dengan docetaxel menunjukkan bahwa
31
pasien dengan sel skuamosa yang diobati dengan docetaxel memiliki angka kelangsungan
hidup secara statistik lebih baik dari pada yang diobati dengan pemetrexed. Sebaliknya
pasien dengan sel non skuamosa yang diterapi dengan pemetrexed secara statistik lebih
unggul dibandingkan dengan docetaxel (Hanna et al, 2004).
Gambar 2.10. Struktur kimia pemetrexed dan penghambatan enzim yang terlibat dalam
sintesa pirimidin dan purin (Hanauske et al, 2001)
2.5.3. Gemcitabine
Gemcitabin adalah analog dari deoxycytidine, dengan atom fluorine. Gemcitabin
diaktivasi oleh dCK melalui metabolite monophosphate dan triphosphate(dFdCTP).
Masuknya dFdCTP pada DNA menimbulkan terminasi rantai dan inhibisi dari fungsi sintesis
DNA. dFdCTP menghambat DNA polymerase , , dan , yang pada akhirnya akan
mengganggu proses sintesa, perbaikan dan perpanjangan rantai DNA. Gemcitabin juga
dapat masuk ke dalam RNA, metabolit dFdCDP menghambat enzim ribonucleotide
reductase, sehingga menyebabkan penurunan kadar dari deoxyribonucleotide yang
diperlukan untuk fungsi dan sintesa DNA. (Sessa et al, 2012)
32
Gambar 2.11. Struktur kimia dan mekanisme aksi gemcitabine (Meredith et al, 2008)
33
pada 50% kasus yang terjadi resistensi dapatan. Lokasi mutasi kedua yang dihubungkan
dengan resistensi dapatan terhadap Tyrosine Kinase Inhibitor adalah d761Y pada exon 19.
(NCCN, 2012)
gen EGFR atau jumlah reseptor-reseptor pada permukaan sel. Tipe-tipe pengujian genomik
meliputi; Fluorescence in situ hybridization (FISH) dan chromogenic in situ hybridization
(CISH), yang mengukur amplifikasi dari gen EGFR dengan mengkuantifikasi jumlah kopi dari
gen (Sholl, et al., 2007). Imunohistokimia, yang mengukur jumlah reseptor-reseptor yang
dimiliki sel dan kemudian mengkuantifikasi ekspresi berlebih dari reseptor (Kanematsu, et
al., 2003). Pengujian genomik juga dapat menilai keberadaan mutasi EGFR dan gen-gen
yang terkait, seperti KRAS (Shigematsu, et al., 2005).
Pengujian proteomik tidak hanya digunakan untuk menentukan keberadaan
protein-protein (seperti, reseptor HER1/EGFR dan ligan-ligannya), tetapi juga cara-cara
mereka berinteraksi satu sama lain (Wu, et al., 2006). Pengujian proteomik dapat
menunjukkan perubahan-perubahan yang terjadi pada HER1/EGFR ketika distimulasi dan
teraktivasi. Pengujian fosfo-EGFR digunakan untuk mengukur jumlah HER1/EGFR pada
permukaan sel yang telah difosforilasi, atau diaktivasi pada domain tyrosine kinase.
(Sonnweber, et al., 2006)
didapatkan pada erlotinib dan geftinib termasuk ruam akneiform, diare, dan kelelahan.
Timbulnya ruam-ruam dihubungkan dengan peningkatan angka kesintasan, hal ini
menunjukkan bahwa toksisitas dapat digunakan sebagai biomarker dari efikasi. Penyakit
paru interstisial juga dilaporkan berhubungan dengan pemberian EGFR TKI. Pemeriksaan
tes fungsi liver juga direkomendasikan karena hepatotoksisitas dari obat ini. Adanya
interaksi antara EGFR TKI dan H2-antagonis dan PPI bila diberikan bersamaan akan
menyebabkan turunnya paparan erlotinib sebanyak 50%. Karena itu, pemberian EGFR TKI
dan H2-antagonis dan PPI sebaiknya dipisahkan selama beberapa jam. (Sessa et al, 2012)
2.5.3.1.2. Gefitinib
Mekanisme kerja Gefitinib sama dengan erlotinib. Namun, bioavailabilitas relatif tidak
terpengaruh dengan pemberian makanan. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia memberi
rekomendasi penggunaan erlotinib (Tarceva 150 mg/ tablet) dan gefitinib (Iressa 250 mg/
tablet) sebagai berikut :
Pasien yang akan diterapi harus diketahui terlebih dahulu diagnosis pastinya
sitostatika.
Tampilan atau status performa tidak menjadi bahan pertimbangan.
Lama pemberian obat, diberikan sampai obat tidak memberi respon lagi.
(PDPI, 2011)
pertumbuhan yang cepat dan invasi. Akan tetapi, inflamasi dan aktivasi dari onkogen atau
hilangnya tumor suppressor dapat memicu timbulnya angiogenesis bahkan pada fase prehipoksik dan pre-invasif. (Sessa et al, 2012)
Pemicu angiogenesis adalah:
Gambar 2.14. Ilustrasi Kondisi Hipoksik dari Suatu Tumor: selsel yang paling dekat dengan pembuluh darah memiliki suplai
oksigen yang cukup, dimana suplai oksigen semakin berkurang
seiring dengan semakin jauhnya lokasi dari pembuluh darah.
Begitu suplai oksigen menurun, sel-sel menjadi hipoksia (area
berwarna ungu muda) dan kemudian nekrosis (area berwarna
abu-abu) (Folkman et al., 2005).
Sel radang dan sel sumsum tulang yang ditarik oleh tumor
Aktivasi dan overekspresi dari reseptor(contoh: EGFR, HER2, IGF-1R)
Aktivasi onkogen dan hilangnya gen tumor suppressor( contoh: RAS
menghambat thrombospondin 1 dan meningkatkan VEGF) (Sessa et al, 2012)
Tanpa suplai darah yang independen, tumor harus bergantung pada difusi untuk
mendapatkan oksigen dan nutrisi lainnya, dan umumnya tidak dapat tumbuh lebih dari 2
mm3. Kemudian, tumor yang sedang tumbuh tanpa vaskularisasi yang cukup akan memiliki
area-area hipoksia. Sebagai respon dari kondisi hipoksia, tumor akan mensekresi VEGF
38
untuk merekrut vaskularisasi baru, yang kemudian menyediakan suplai oksigen. (Folkman,
et al, 2005)
Pembuluh darah yang normal tersusun dari sel endotel yang erat dan sel mural(otot
polos pada pembuluh darah besar dan pericytes pada kapiler) yang baik. Sel endotel pada
tumor merupakan sel yang abnormal, tidak ada polaritas, adhesi antar sel, tidak terikat
dengan membran basal dan saling bertumpuk-tumpuk. Pembuluh darah pada tumor
memiliki rongga yang lebar, mudah bocor, dan sel kanker menjadi terekspos darah. (Sessa
et al, 2012)
Ligan VEGF menempel dan mengaktivasi reseptor VEGF. Bagian ekstraseluler dari
reseptor VEGF terdiri dari immunoglobulin-like domain, bagian transmembran, dan bagian
intraseluler dengan aktifitas tyrosine kinase. (Sessa et al, 2012)
Reseptor tyrosin kinase merupakan enzym yang menempel pada membran yang
mentransfer fosfat dari adenosin triphosphate ke protein target pada saat dimerisasi yang
diinduksi oleh ligan ekstraseluler. Reseptor tyrosin kinase mentransduksi sinyal-sinyal
ekstraseluler yang diperantarai ligan menuju ke dalam sitoplasma. (Sessa et al, 2012)
Terdapat 3 jenis isoform dari reseptor VEGF: VEGFR-1 (Flt-1), VEGFR-2 (KDR/Flk1), and VEGFR-3 (Flt-4), tetapi aktifitas biologis yang paling kuat dari VEGF dimediasi oleh
aktivasi dari VEGFR-2. Aktivasi dari reseptor ini pada akhirnya akan memicu kaskade
kejadian downstream yang berakibat timbulnya proliferasi, kesintasan, dan migrasi dari sel
endotel yang berperan dalam pertumbuhan pembuluh darah baru. (Sessa et al, 2012)
Ligan VEGF diketahui tetap ada sepanjang siklus hidup tumor (Gambar 2). Seiring
dengan perkembangan tumor, ligan VEGF mulai mengaktifasi jalur-jalur angiogenesis
sekunder, seperti basic fibroblast growth factor (bFGF), transforming growth factor beta
(TGF), placental growth factor (PLGF), dan platelet-derived endothelial cell growth factor
(PD-ECGF). Begitu jalur-jalur sekunder ini muncul, ligan VEGF tetap diekspresikan dan
berfungsi sebagai salah satu mediator angiogenesis yang penting (Folkman, et al., 2005).
39
Gambar 2.15. VEGF diekspresikan sepanjang siklus hidup tumor (Folkman et al, 2005).
40
Gambar 2.16. Skematis dari kromosom 2p23 dan 2p21 dan FISH
Inversi dari lengan kromosom 2p21 dan 2p23 menyebabkan fusi dari domain kinase
dari ALK(anaplastic lymphoma kinase) dan EML4 (echinoderm microtubule associated
protein like 4) ditemukan pada 5-7% dari kasus KPKBSK. Gen ALK dan EML4 berjarak 12
MB, inversi sederhana menyebabkan fusi dari kedua gen ini. (Patel, 2011)
Protein fusi dari EML4 dan ALK ini dapat menyebabkan promosi dari pertumbuhan
sel dan inhibisi apoptosis . Semua domain dari EML4 menyumbang terhadap kemampuan
onkogenic dari EML4-ALK. Mutasi ini umumnya terjadi pada pasien dengan usia muda,
dengan KPKBSK lanjut, dan pada pasien yang tidak pernah merokok atau perokok ringan.
(Patel, 2011)
41
2.5.3.1.1. Crizotinib
Crizotinib adalah penyekat MET dan ALK oral. Crizotinib telah disetujui
penggunaannya pada terapi KPKBSK dengan ALK positif, dimana crizotinib memberikan
respons rate 57% (84% bila termasuk stabilisasi penyakit). Crizotinib menyekat MET lebih
dibandingkan ALK, dan sekarang sedang diuji coba sebagai MET inhibitor pada beberapa
jenis keganasan termasuk KPKBSK dengan kombinasi erlotinib. (Sessa et al, 2012)
Crizotinib adalah penyekat kinase yang baru disetujui oleh FDA untuk terapi pasien
dengan KPKBSK lanjut atau metastase yang mengekspresikan gen Anaplastic Lymphoma
Kinase(ALK). Persetujuan FDA berdasarkan pada respons rate obyektif dari 2 studi
multisenter. Crizotinib menunjukkan respons rate 50% sampai 60% pada pasien yang
diikutkan studi ini. Pada studi-studi ini, pasien-pasien memiliki hasil yang jauh lebih baik
dibandingkan pada pasien-pasien sebelumnya. Crizotinib ditoleransi dengan baik, dengan
kurang dari 10% menghentikan pengobatan karena kejadian yang tidak diinginkan. Studi
klinis sedang berjalan untuk mengevaluasi pengaruh crizotinib pada angka kesintasan,
perannya pada terapi lini pertama, dan keamanan dan efikasinya pada keganasan yang lain.
Perkembangan dan percepatan persetujuan terapi target seperti crizotinib melambangkan
tonggak signifikan pada terapi kanker. (Sessa et al, 2012)
Crizotinib tersedia sebagai kapsul 250mg dan kapsul 200mg. Dosis rekomendasi dari
crizotinib adalah 250mg diberikan dua kali sehari dengan atau tanpa makanan sampai tidak
42
ada keuntungan nyata dari pemberian terapi. Crizotinib belum pernah diteliti
penggunaannya pada pasien dengan AST atau ALT lebih dari 2,5 kali batas atas normal.
(Sessa et al, 2012)
Seperti pada terapi target lainnya, crizotinib memerlukan biaya yang mahal.
Perkiraan biaya penggunaan perbulannya mencapai 9600 US $. Biaya yang mahal ini dapat
dibenarkan dengan menghindari biaya pemberian terapi lain yang tidak efektif untuk pasien
dengan ALK positif. Crizotinib hanya tersedia di farmasi tertentu. (Patel, 2011)
43
Seperti inhibitor tyrosin kinase EGFR, kejadian tidak diinginkan yang umum pada
monoklonal antibodi yang mentarget EGFR berupa toksisitas kulit, diare, dan stomatitis.
Ruam akneiformis dapat parah pada 15% pasien dan panduan terapi spesifiknya telah
dipublikasi. Kadar magnesium perlu dimonitor selama terapi dengan cetuximab dan
panitumumab. (Sessa et al, 2012)
2.5.4.3. Bevacizumab
Gambar 2.18. Dua Strategi untuk Menghambat Jalur VEGF (Hicklin & Ellis, 2005)
Bevacizumab adalah monoclonal Antibodi IgG1 terhadap ligan VEGF yang berasal
dari manusia. Bevacizumab berikatan dengan VEGF sehingga menghambat interaksinya
dengan receptor VEGF-1 dan VEGF-2. (Sessa et al, 2012)
44
BAB 3
KESIMPULAN
Kanker paru tetap merupakan masalah kesehatan yang besar. Prognosa pasien
dengan kanker paru masih tetap buruk. Namun dengan berkembangnya pengetahuan
mengenai patobiologi terjadinya kanker paru, pasien-pasien dengan kanker paru memiliki
harapan hidup yang lebih panjang. Muncul berbagai obat baru yang mentarget jalur-jalur
baru dalam patobiologi timbulnya kanker paru. Obat-obat ini dapat digunakan untuk terapi
kanker paru yang tidak respon ataupun progresif dengan pemberian kemoterapi lini
pertama.
Penatalaksaan KPKBSK stadium lanjut didasari oleh penentuan histologis terlebih
dahulu. Pada karsinoma nonskuamus disarankan pemeriksaan mutasi EGFR maupun ALK.
Bila mutasi EGFR positif dapat diberikan erlotinib maupun gefitinib sebagai terapi lini
pertama. Sedangkan bila ALK yang positif, pilihan kemoterapi lini pertama adalah Crizotinib.
Bila mutasi EGFR dan ALK positif atau tidak diketahui, diberikan kemoterapi platinum
doublet. Setelah pemberian kemoterapi lini pertama dilakukan evaluasi setiap 3 minggu dan
evaluasi radiologis setiap 6 minggu. Bila didapatkan progresi, kemoterapi diganti dengan
kemoterapi lini kedua. Sedangkan bila didapatkan respon dari tumor atau stable disease,
kemoterapi dilanjutkan sampai 4 siklus kemudian dilakukan evaluasi ulang. Pada pasien
yang memiliki respon komplit, parsial, atau stable disease dapat dilakukan kemoterapi
maintenans atau Best Supportive Care saja sampai didapatkan progresi pada evaluasi.
Kemoterapi dilanjutkan dengan kemoterapi lini kedua bila terjadi progresi penyakit.
Docetaxel, pemetrexed, erlotinib dan gefitinib dapat diberikan sebagai kemoterapi lini
kedua. Pemetrexed tidak direkomendasikan untuk jenis histologis karsinoma sel skuamus.
Docetaxel lebih disarankan sebagai kemoterapi lini kedua untuk jenis histologis karsinoma
45
sel skuamus ini. Pemberian erlotinib dan gefitinib dapat diberikan sebagai kemoterapi lini
kedua pada pasien-pasien dengan status mutasi EGFR yang tidak jelas dan refrakter
terhadap kemoterapi berbasis platinum. Sedangkan untuk kemoterapi platinum dan
bevacizumab dapat diberikan sebagai kemoterapi lini kedua pada pasien dengan jenis
histologis nonskuamus dengan pemberian golongan EGFR TKI inhibitor ataupun crizotinib
sebagai terapi lini pertamanya.
Perkembangan teknologi dan biologi molekuler memungkinkan kita untuk
mengetahui status genetika dari masing-masing penderita kanker paru. Dengan
diketahuinya status mutasi penderita kanker paru, dimungkinkan pula era personalized
medicine. Hal ini ditandai dengan timbulnya terapi target yang mampu memberikan hasil
yang lebih efektif dalam penatalaksanaan kanker paru pada penderita yang sesuai.
Pada masa depan, diharapkan ditemukan modalitas-modalitas terapi KPKBSK baru
seperti imunoterapi dan terapi gen. Walaupun modalitas-modalitas ini tidak masuk dalam
lingkup Tinjauan Kepustakaan ini, diharapkan perkembangan ilmu pengetahuan akan lebih
mampu menyibak patomekanisme timbulnya kanker paru dan memungkinkan untuk
ditemukannya obat yang lebih efektif untuk mengontrol kanker.
46
BAB 4
DAFTAR PUSTAKA
Airley R. (2009). Cancer Chemotheraphy Basic Science to the Clinic, John Wiley & Sons
Ltd., UK
American Society of Clinical Oncology (ASCO). (2011). 2011 Focused Update of 1009
American Society of Clinical Practice Guideline Update on Chemotherapy for Stage IV
Non-Small-Cell Lung Cancer.
DeVita, Vincent T. Lawrence, Theodore S. Rosenberg, Steven A. (2008). Devita, Hellman
and Rosenberg's Cancer: Principles & Practice of Oncology, 8th Ed. Lippincott Williams
dan Wilkins.
Di Maio M, Chiodini P, Georgoulias V, Hatzidaki D, Takeda K, Wachters FM, Gebbia V, Smit
EF, Morabito A, Gallo C, et al. (2009) Meta-analysis of single agent chemotherapy
compared with combination chemotherapy as second-line treatment of advanced nonsmall-cell lung cancer. J Clin Oncol 27(11):1836-43.
Favaretto AG, Pasello G, dan Magro C. (2009). Second and Third Line Treatment in
Advanced Non-small Cell Lung Cancer, Institution: Oncologia Medica II, Istituto
Oncologico Veneto IRCCS Address: Padova, 35128, Italy, Published on November 17,
2009.
Finkel R, Cubeddu LX, Clark MA. (2006). Pharmacology, Chapter 39 Anti Cancer Drugs,
Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia
Folkman, J., DeVita, V. T., Hellman, S. & Rosenberg, S. A. (2005). Cancer: Principles &
Practice of Oncology. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Gerber, H. P., Wu, X., Yu, L. & al, e. (2007). Mice Expressing a Humanized Form of VEGF-A
May Provide Insights into Safety and Efficacy of Anti-VEGF Antibodies. Proc Natl Acad
Sci USA, pp. 3478-3483.
Gridelli C, Maione P, Rossi A, Ferrara Ml, Bareschino Ma, Schettino C, Sacco Pc, Ciardiello
F. 2011. Potential Treatment Options After First-Line Chemotherapy for Advanced
NSCLC: Maintenance Treatment or Early Second-Line?. Division of Medical Oncology,
S.G. Moscati Hospital, Avellino, Italy; Division of Medical Oncology, Second University
of Naples, Naples, Italy.
47
Sessa C, Gianni L, Garassino M, Van Halteren H. (2012). Clinical Pharmacology of AntiCancer Agents. European Society for Medical Oncology.
Shigematsu, H. et al. (2005). Clinical and Biological Features Associated with Epidermal
Growth Factor Receptor Gene Mutations in Lung Cancers. J Natl Cancer Inst, pp. 339346.
Sholl, L. M. et al. (2007). Validation of Chromogenic In Situ Hybridization for Detection of
EGFR Copy Number Amplification in Nonsmall Cell Lung Carcinoma. Mod Pathol, pp.
1028-1035.
Skeel, Rolland T. (2011). Handbook of Cancer Chemotherapy. Lippincot and William 2011.
Sonnweber, B. et al. (2006). High Predictive Value of Epidermal Growth Factor Receptor
Phosphorylation but not of EGFRvill Mutation in Resected Stage I Non-Small-Cell
Lung Cancer (NSCLC). J Clin Pathol, pp. 255-259.
Stinchcombe, TE. Socinski, MA. (2008). Considerations for Second-Line Therapy of NonSmall Cell Lung Cancer, Lineberger Comprehensive Cancer Center, University of
North Carolina at Chapel Hill,Chapel Hill, North Carolina, USA, The Oncologist
2008;13(suppl 1):2836 www.TheOncologist.com.
Syrigos, KN. Nutting, CM. dan Roussos, C. (2006). Second Line Chemotherapy For Non
Small Cell Lung Carcinoma, Tumors of the Chest Biology, Diagnosis and Management.
Wu, S. L. et al. (2006). Dynamic Profiling of the Post-Translational Modifications and
Interaction Partners of Epidermal Growth Factor Receptor Signaling After
Yu LJ, Simmons C, Charles JV, Han D, Hogeveen S, Leighl N, Verma S. (2011). Impact of
New Chemotherapeutic and Targeted Agents on Survival in Stage IV Non-Small Cell
Lung Cancer. The Oncologist.
49