Anda di halaman 1dari 49

ABSTRAK

Hariadi, Anton. 2012. Pemilihan Terapi Lini Kedua dan Ketiga Pada Kanker Paru. Tinjauan
Kepustakaan, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Supervisor: dr. Yani Jane
Sugiri, SpP(K)

Kanker paru merupakan jenis kanker terbanyak kedua di dunia dan merupakan
penyebab kematian terbanyak dari semua jenis kanker. Di Amerika Serikat, diperkirakan
terjadi 221.130 kasus baru dan 156.940 kematian setiap tahunnya. Kanker paru dibagi
menjadi 2 tipe utama yaitu Kanker Paru jenis Karsinoma Sel Kecil(KPKSK) dan Kanker Paru
jenis Karsinoma Bukan Sel Kecil(KPKBSK). KPKBSK, yang merupakan 85% dari semua
kasus kanker paru, dibagi lagi menjadi 3 tipe mayor, yaitu karsinoma sel skuamus,
adenocarcinoma, dan karsinoma sel besar. Muncul berbagai obat baru yang mentarget jalurjalur baru dalam patobiologi timbulnya kanker paru. Tinjauan kepustakaan ini bertujuan
untuk memahami indikasi dan penggunaan tiap jenis terapi lini kedua dan ketiga dari
KPKBSK. Docetaxel, pemetrexed, erlotinib dan gefitinib dapat diberikan sebagai kemoterapi
lini kedua dan lini ketiga. Sedangkan kombinasi kemoterapi platinum dan bevacizumab
dapat diberikan sebagai kemoterapi lini kedua pada pasien dengan jenis histologi
nonskuamus. Namun, kemoterapi lini kedua dan ketiga tetap memerlukan biaya yang tinggi
dan dapat menghambat pemberiannya.
Kata kunci: Kanker paru, kemoterapi, terapi target

ABSTRACT

Hariadi, Anton. 2012. Selecting Second Line and Third Line Chemotherapy in Lung Cancer.
Literature Review, Faculty of Medicine, Brawijaya University. Supervisor: dr. Yani
Jane Sugiri, SpP(K)

Lung cancer is the second most common type of cancer in the world, and is the
leading cause of cancer related death. In United States, it is estimated that there are
221.130 new cases and 156.940 death annually. Lung cancer can be divided into 2 main
types, Small Cell Lung Cancer(SCLC), and Non Small Cell Lung Cancer (NSCLC) which
makes up for 85% cases of lung cancer. NSCLC can be further divided into 3 major types,
squamous cell carcinoma, adenocarcinoma, and large cell carcinoma. Novell drugs has
been developed that can target new pathway in lung cancer pathogenesis. The main
objective of this literature review is to know the indication and how to use each of the second
and third line chemotherapy for NSCLC. Docetaxel, pemetrexed, erlotinib and gefitinib can
be used as a second and third line chemotherapy. While combination of platinum and
bevacizumab can be used as a second line chemotherapy in patient with nonsquamous lung
cancer. The high cost of second and third line chemotherapy could hinder their usage.
Keywords: Lung Cancer, Chemotherapy, Targetted Therapy

DAFTAR ISI

Abstrak........................................................................................................................ i
Abstract....................................................................................................................... ii
Daftar Isi..................................................................................................................... iii
Daftar Gambar............................................................................................................ v
Daftar Tabel................................................................................................................ vi
Daftar Singkatan........................................................................................................vii
BAB 1 Pendahuluan...................................................................................................1
1.1.

Latar Belakang..............................................................................................1

1.2.

Tujuan Penulisan...........................................................................................2

BAB 2 Kemoterapi Lini kedua dan Ketiga...................................................................4


2.1. Kinetika Seluler.................................................................................................6
2.2. Prinsip Kemoterapi...........................................................................................9
2.3. Panduan Terapi Pada KPKBSK......................................................................11
2.3.1. American Society of Clinical Oncology......................................................11
2.3.2. National Comprehensive Cancer Network................................................14
2.4. Resistensi Terhadap Kemoterapi....................................................................16
2.4.1. Kinetika Sel dan Resistensi......................................................................17
2.4.2. Resistensi Biokimia..................................................................................17
2.4.3. Resistensi Farmakologis..........................................................................18

2.5. Terapi Lini Kedua dan Ketiga..........................................................................18


2.5.1. Golongan Taxane.....................................................................................19
2.5.2. Pemetrexed..............................................................................................24
2.5.3. Gemcitabine.............................................................................................25
2.5.3. Terapi Target.............................................................................................27
BAB 3 Kesimpulan....................................................................................................38
BAB 4 Daftar Pustaka...............................................................................................40

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1.
Gambar 2.2.
Gambar 2.3.

Lima fase proliferasi sel (Hennequin, Giocanti dan Favaudon, 1995)


Fase pembelahan sel (Finkel, 2006)
Alur tatalaksana KPKBSK rekuren atau dengan metastase (NCCN,

Gambar 2.4.

2012)
Alur tatalaksana KPKBSK Nonskuamus dengan status mutasi EGFR

Gambar 2.5.
Gambar 2.6.
Gambar 2.7.
Gambar 2.8.
Gambar 2.9.

dan ALK negatif atau tidak diketahui (NCCN, 2012)


Alur tatalaksana KPKBSK skuamus (NCCN, 2012)
Alur kemoterapi lini kedua dan ketiga (NCCN, 2012)
Sitoskeleton dan mikrotubul (Devita, 2008)
Struktur molekul Paclitaxel dan Docetaxel (Devita, 2008)
Struktur kimia docetaxel dan mekanisme inaktivasi fosforilasi Bcl-2

Gambar 2.10.

(Hennequin, Giocanti dan Favaudon, 1995)


Struktur kimia pemetrexed dan penghambatan enzim yang terlibat

Gambar 2.11.
Gambar 2.12.
Gambar 2.13.

dalam sintesa pirimidin dan purin (Hanauske et al, 2001)


Struktur kimia dan mekanisme aksi gemcitabine (Meredith et al, 2008)
Inhibisi signal reseptor tyrosin kinase (Devita, 2008)
HER1/EGFR yang Terfosforilasi pada KPKBSK (Sonnweber, et al.,

Gambar 2.14.
Gambar 2.15.

2006)
Ilustrasi Kondisi Hipoksik dari Suatu Tumor (Folkman et al, 2005)
VEGF diekspresikan sepanjang siklus hidup tumor (Folkman et al,

Gambar 2.16.
Gambar 2.17.
Gambar 2.18.

2005)
Skematis dari kromosom 2p23 dan 2p21 dan FISH
Struktur Crizotinib
Dua strategi untuk menghambat jalur VEGF (Hicklin & Ellis, 2005)

DAFTAR TABEL
Tabel 2.1.

Farmakologi Paclitaxel dan Docetaxel (Sessa et al, 2012)

DAFTAR SINGKATAN

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Kanker paru merupakan jenis kanker terbanyak kedua di dunia dan merupakan
penyebab kematian terbanyak dari semua jenis kanker. Di Amerika Serikat, diperkirakan
terjadi 221.130 kasus baru dan 156.940 kematian setiap tahunnya. Kanker paru merupakan
jenis kanker yang membutuhkan dana kesehatan terbanyak ke 3 di amerika serikat, setelah
kanker payudara, dan kanker kolorektal. Setiap tahunnya diperkirakan diperlukan dana
sebesar 12,2 milliar dollar untuk penatalaksanaan kanker paru di amerika serikat. Di
Indonesia, kanker paru menempati peringkat ke 6 kejadian rawat inap karena neoplasma.
Kanker paru yang dapat terjadi pada usia produktif dapat menyebabkan kerugian yang lebih
besar daripada yang diperkirakan. (Jemal et al, 2008) (Hartono et al, 2007)
Kanker paru dibagi menjadi 2 tipe utama yaitu Kanker Paru jenis Karsinoma Sel
Kecil(KPKSK) dan Kanker Paru jenis Karsinoma Bukan Sel Kecil(KPKBSK). KPKBSK, yang
merupakan 85% dari semua kasus kanker paru, dibagi lagi menjadi 3 tipe mayor, yaitu
karsinoma sel skuamus, adenocarcinoma, dan karsinoma sel besar. Saat ini, tidak ada
metode skrining yang efektif untuk KPKBSK, lebih dari separuh penderita KPKBSK
didiagnosa dengan metastase(stadium IV). Hal ini akhirnya menyebabkan tidak adanya
kemungkinan terapi bedah kuratif pada sebagian besar pasien. Pada pasien-pasien dengan
KPKBSK stadium lanjut, terapi berbasis platinum tetap merupakan pilihan utama
manajemen pada terapi lini pertama. Namun, walaupun terdapat perkembangan dalam

kemoterapi sitotoksik dan munculnya agen sitotoksik yang baru, prognosis untuk pasien
dengan KPKBSK tetaplah buruk. Angka kesintasan satu tahun pada pasien dengan kanker
paru stadium IV hanyalah 37%. (Yu LJ, 2011)
Pada tahun 1970an, beberapa agen kemoterapi seperti cyclophosphamide,
doxorubicin, adriamicin digunakan untuk penatalaksanaan Kanker paru. Namun, efek
samping supresi sumsum tulang, emesis, neurotoksisitas, nefrotoksisitas, kardiak toksisitas
dan response rate yang rendah (12-23%) menyebabkan agen-agen kemoterapi lama
tersebut ditinggalkan. Perkembangan kemoterapi dilanjutkan dengan penemuan agen
kemoterapi berbasis platinum. Platinum dapat memberikan response rate yang lebih tinggi
dibandingkan agen lain yaitu 60-80% pada pasien yang belum pernah diterapi. Sehingga
pemberian kemoterapi doublet platinum menjadi pilihan lini pertama untuk penatalaksanaan
KPKBSK. (Perry, 2008)
Pemahaman yang lebih mendalam dari onkologi molekuler telah membantu ilmuwan
mengidentifikasi beberapa target terapi yang potensial, dan usaha tersebut telah
menghasilkan beberapa terapi dengan target spesifik. Era terapi personal pada kanker paru
telah dimulai saat ditemukannya mutasi Epidermal Growth Factor Receptor pada exon 19
dan 21. Penggunaan terapi lini kedua untuk tatalaksana kanker paru memberikan hasil yang
lebih baik pada angka kesintasan dan kualitas hidup pasien. (NCCN, 2012)
Pada tahun 2007, fusi dari gen Echinoderm microtubule-associated protein-like 4
(EML4) dan gen anaplastic lymphoma kinase (ALK) ditemukan pada sebagian subset dari
penderita KPKBSK. Fusi dari gen ini mendorong pertumbuhan sel dan inhibisi apoptosis.
Diperkirakan 3%-5% penderita KPKBSK memiliki fusi gen ALK. Mutasi ini cenderung terjadi
pada pasien muda, penderita dengan KPKBSK lanjut, dan pada penderita yang tidak pernah
merokok atau mantan perokok ringan. (Sasaki et al, 2010)

1.2.

Tujuan Penulisan

1. Merupakan karya tulis ilmiah dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS)
I Ilmu Penyakit Paru Universitas Brawijaya Malang.
2. Memahami indikasi dan penggunaan tiap jenis terapi lini kedua dan ketiga dari
KPKBSK.
3. Memahami mekanisme kerja terapi lini kedua dan ketiga yang telah tersedia
sebagai terapi KPKBSK.

10

BAB 2
KEMOTERAPI LINI KEDUA DAN KETIGA

Kanker paru adalah salah satu jenis penyakit paru yang memerlukan penanganan
dan tindakan yang cepat dan terarah. Penegakan diagnosis penyakit ini membutuhkan
ketrampilan dan sarana yang tidak sederhana dan memerlukan pendekatan multidisiplin
kedokteran. Penyakit ini membutuhkan kerja sama yang erat dan terpadu antara ahli paru
dengan ahli radiologi diagnostik, ahli patologi anatomi, ahli radiologi terapi dan ahli bedah
toraks, ahli rehabilitasi medik dan ahli-ahli lainnya (PDPI, 2011).
Pengobatan atau penatalaksaan penyakit ini sangat tergantung pada kecekatan ahli
paru untuk mendapatkan diagnosis pasti. Penemuan kanker paru pada stadium dini akan
sangat membantu penderita dan penegakan diagnosis dalam waktu yang lebih cepat
memungkinkan penderita memperoleh kualitas hidup yang lebih baik dalam perjalanan
penyakitnya, meskipun tidak dapat menyembuhkannya (PDPI, 2011).
Pilihan terapi harus dapat segera dilakukan, mengingat buruknya respon kanker paru
terhadap berbagai jenis pengobatan. Bahkan dalam beberapa kasus penderita kanker paru
membutuhkan penanganan sesegera mungkin meski diagnosis pasti belum dapat
ditegakkan (PDPI, 2011).
Kemoterapi adalah pemberian golongan obat-obatan tertentu dengan tujuan
menghambat pertumbuhan sel kanker dan bahkan dapat membunuh sel kanker. Obat itu
disebut sitostatika atau obat anti kanker (DeVita, 2008). Meskipun kemoterapi sedang diteliti
sebagai strategi terapi kanker tahap awal neoadjuvant dan adjuvant, beberapa kemajuan
telah dicapai dalam pengobatan penyakit kanker stadium lanjut yang terlokalisir (locally
advanced) dan stadium lanjut (advanced disease), hasil pengobatan KPKBSK belum
dianggap gagal. Harapan baru berasal dari peningkatan pengetahuan tentang biologi tumor

11

dan mekanisme oncogenesis beberapa potensial target baru yang direkomendasikan dalam
penelitian klinis untuk terapi kanker. Sejumlah besar penelitian preklinik in vivo dan in vitro
telah membuktikan, banyak molekul target dan jalur. Selanjutnya, beberapa agen target
telah diperkenalkan dalam uji klinis dan beberapa penelitian tahap III telah menghasilkan
hasil yang definitif (Gridelli et al, 2011).
Beberapa tahun terakhir, peranan kemoterapi sebagai terapi KPKBSK lebih jelas.
Beberapa kontroversi masih ada, terutama untuk penyakit stadium lanjut, meskipun
penggunaan kemoterapi kombinasi berbasis platinum telah dijadikan standar atau sudah
established. Sebuah meta analisis pada pasien KPKBSK dengan kemoterapi berbasis
cisplatin dibandingkan dengan BSC saja, menunjukkan kemoterapi dapat menurunkan risiko
kematian sebesar 27% dan meningkatkan 1-year survival rate sebesar 10%. Meta analisis
lain menyebutkan, respon kemoterapi kombinasi meningkat dua kali lipat dibandingkan
kemoterapi tunggal, sedangkan kelangsungan hidupnya pada 6 dan 12 bulan kemudian
meningkat masing-masing sebesar 10% dan 22%. Pencapaian peningkatan respon mungkin
memiliki efek paliatif yang baik, meskipun manfaat dalam hal kelangsungan hidup masih
rendah (Mller dan Guadagni, 2001).
Peranan kemoterapi untuk pengobatan KPKBSK stadium lanjut terus berkembang,
terutama mekanisme aksi obat yang inovatif dan toksisitasnya yang bisa ditekan. Meskipun
tidak ada bukti bahwa kemoterapi lini kedua dapat mempengaruhi kelangsungan hidup pada
pasien KPKBSK stadium lanjut atau pada penyakit yang berjalan secara progresif. Beberapa
syarat pengobatan kemoterapi lini kedua yaitu bila pasien dengan tampilan baik atau pasien
yang tidak merespon kemoterapi lini pertama (Mller dan Guadagni, 2001).
Pilihan obat untuk pasien KPKBSK stadium lanjut yang resisten atau refrakter
terhadap kemoterapi lini pertama sangat terbatas. Agen kemoterapi generasi terbaru untuk
terapi KPKBSK yang sebelumnya tidak bisa diobati antara lain karboplatin, paclitaxel,
docetaxel, vinorelbine, dan gemcitabine. Meskipun KPKBSK tetap relatif resisten terhadap
kemoterapi, fakta menunjukkan bahwa kemoterapi lini kedua dapat dipertimbangkan bila

12

tidak didapatkan perbaikan setelah pemberian terapi lini pertama (Mller dan Guadagni,
2001).
Skipper pada tahun 1960-an mengungkapkan prinsip-prinsip kemoterapi sebagai
berikut: 1. Sel kanker single dapat tumbuh sampai mencapai ukuran tumor letal, 2. Tumor
doubling time menurun dengan meningkatnya tumor burden pada stadium lanjut dari
pertumbuhan tumor, 3. Kebanyakan obat kemoterapi menunjukan log cell kill kinetics dan
peningkatan yang sama sebanding dengan dosis, 4. Tumor burden berbanding terbalik
dengan angka kesembuhan (DeVita, 2008).
2.1. Kinetika Seluler
Jika berbicara mengenai kemoterapi dan keganasan, maka perlu diperhatikan
mengenai proses pembelahan sel pada manusia, dimana dapat ditemukan adanya lima fase
proliferasi sel, baik pada sel normal maupun pada sel tumor. Fase-fase tersebut adalah
(DeVita, 2008):

Fase G0 (GAP 0) :
Fase istirahat, sel diprogram untuk melaksanakan fungsi-fungsi khusus.

Fase G1 (GAP 1) :
Merupakan interfase, terjadi sintesa protein dan RNA.

Fase S (Sintesa) :
Fase sintesa DNA.

Fase G2 (GAP 2) :
Fase pre-mitosis, setelah sintesa DNA selesai, sintesa protein dan RNA
berlanjut dan menghasilkan prekursor mikrotubular dari mitosis.

Fase M (Mitosis) :
Fase pembelahan sel, setelah fase ini selesai, maka siklus akan berulang ke
awal.

13

Gambar 2.1. Lima fase proliferasi sel (Hennequin, Giocanti dan Favaudon, 1995).

Siklus sel memiliki 3 checkpoints (Finkel, 2006)


1)

Checkpoint G1 (cell growth checkpoint), pada akhir G1

Muncul rangsangan sintesa DNA

Memastikan sel cukup besar dan apakah protein yang tepat untuk fase S
sudah tersedia, jika tidak, maka sel akan memasuki fase G0 sampai siap
untuk membelah

2)

Checkpoint DNA synthesis, selama fase S

Memastikan replikasi DNA sudah selesai

Memunculkan rangsangan untuk melanjutkan ke mitosis (M)

3)

Checkpoint spindle assembly (Mitosis checkpoint), selama fase M

Memastikan pembentukan spindel

Memunculkan rangsangan untuk perlekatan kromatid pada spindel

Memastikan mitosis telah komplit, jika ya, maka sel membelah, dan siklus sel
berulang

14

Gambar 2.2. Fase pembelahan sel (Finkel, 2006)

Tumor ganas bisa terdiri dari fraksi sel yang aktif berproliferasi sehingga memiliki
sensitifitas yang tinggi terhadap kemoterapi, bisa juga terdiri dari sel yang tidak berproliferasi
sehingga memiliki sensitifitas yang rendah terhadap kemoterapi. Mayoritas tumor solid
hanya mempunyai sedikit fraksi sel yang berproliferasi sehingga tumor solid tidak sensitif
terhadap kemoterapi. Pengetahuan kinetik selular dapat menuntun kita untuk menentukan
pemilihan obat anti kanker yang akan dipergunakan. Hal yang harus diperhatikan dalam
pemilihan pemakaian obat anti kanker adalah :
1. Jenis kanker.
2. Kemosensitivitas kanker.
3. Populasi sel kanker.
4. Persentase sel kanker yang terbunuh.
5. Siklus pertumbuhan kanker.
6. lmunitas tubuh.
Sensitivitas tumor terhadap obat anti kanker tidak konstan, tetapi pada umumnya sel
kanker tersebut dapat bersifat sensitif, responsif atau resisten sama sekali. Sel kanker di
dalam tumor adalah heterogen, yaitu terdiri dari bermacam-macam sel, walaupun asalnya
sama. Diketahui ada beberapa fraksi (DeVita, 2008):

Fraksi klonogen (clonogenic fraction) ialah fraksi sel yang dapat tumbuh.

15

Fraksi non klonogen (non clonogenic fraction) ialah fraksi sel yang tidak
mempunyai kemampuan tumbuh. Fraksi sel ini dapat dianggap sebagai sel yang
mati. Walaupun ia masih hidup tetapi tidak dapat tumbuh lagi.

Implikasi klinik dari fraksi sel yang tumbuh ini adalah (Airley, 2009):

Pada tumor yang besar atau yang pertumbuhannya lambat lebih baik memakai

obat yang cycle non specific


Pada tumor yang kecil atau yang pertumbuhannya cepat lebih baik memakai
obat yang cyclecell specific atau phase specific

2.2. Prinsip Kemoterapi


Obat anti kanker jarang dapat membunuh seluruh sel kanker sekaligus, demikian
pula dalam satu tumor tidak semua sel kanker peka terhadap obat anti kanker. Bila pada
pertumbuhan kanker sel itu bertambah secara logaritmik, maka sel yang mati juga secara
logaritmik. Jumlah sel kanker yang mati karena obat anti kanker adalah konstan secara
proporsional atau persentase tanpa memandang banyaknya sel kanker yang ada, dari
minimum 0% sel sampai maksimum 99,99% sel. Hipotesa ini disebut sebagai log cell kill
hyphotesis. Berdasarkan hipotesa ini, pengobatan kanker perlu diberikan beberapa kali,
sampai jumlah sel kanker yang masih hidup minimal. Diharapkan sel kanker yang masih
tersisa akan dimatikan oleh immunitas tubuh (DeVita, 2008).
Kerja obat anti kanker dibagi menjadi 3 yaitu (DeVita, 2008):
a. Semua siklus (Cell Cycle non specific).
Obat anti kanker jenis ini dapat bekerja pada semua siklus sel, baik dalam
siklus pertumbuhan sel atau tidak. Pada umumnya sel yang pertumbuhannya cepat
lebih sensitif terhadap obat daripada yang lambat.
b. Siklus pertumbuhan tertentu semua fase (Cell Cycle non phase spesifik).

16

Obat hanya bekerja pada sel yang berada dalam siklus pertumbuhan, tetapi
tidak pada sel yang tidak tumbuh (G 0). Toksisitas sel tergantung dari dosis obat
dan lama paparan (exposure).
c. Siklus pertumbuhan tertentu pada fase tertentu (Cell cycle phase spesific).
Obat bekerja hanya pada fase tertentu saja dalam siklus pertumbuhan sel.
Sel yang pertumbuhannya cepat lebih peka daripada yang pertumbuhannya
lambat, tetapi ada sel yang tidak peka terhadap obat walaupun dosisnya tinggi.
Untuk sel kanker golongan ini sebaiknya diberi obat anti kanker dalam waktu yang
pendek dan dengan dosis yang tinggi.
Penderita kanker yang telah bermanifestasi klinis, imunitasnya akan tertekan.
Diperkirakan kemampuan tubuh untuk mengatasi sel kanker terbatas sampai sejumlah 105
jumlah sel. Setelah jumlah sel kanker dapat diminimalkan sampai 105 diharapkan immunitas
tubuh akan mengambil alih untuk menghancurkan sisa sel kanker yang masih ada. Perlu
pula diperhatikan bahwa kemoterapi juga dapat menurunkan imunitas tubuh (DeVita, 2008).
Hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih obat adalah mengetahui efikasi dan
toksisiti obat yang akan digunakan. Masing-masing obat mempunyai keunggulan yang
berbeda. Faktor-faktor untuk menilai efikasi obat antara lain:
Respons objektif dan subjektif (response rate).
Masa bebas penyakit (time to progressive).
Masa tengah tahan hidup (median survival rate).
Angka tahan hidup 1 tahun (1-years survival).
Selain tergantung jenis histologis sel kanker, obat yang dipilih sebaiknya obat yang
mempunyai efek samping paling rendah. Pengobatan dengan dosis suboptimal tidak
memberikan hasil yang memuaskan sedangkan dosis yang berlebihan memberi efek toksik
yang lebih berat. Karena itu harus ditentukan dosis optimal. Pada umumnya dosis obat
ditentukan berdasarkan luas permukaan badan, yang dapat diperhitungkan dari tinggi dan
berat badan penderita. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah penggunaan lebih dari
satu jenis obat dalam paduan obat dengan mekanisme kerja yang berbeda. Penggunaan
17

obat baru (new agent atau second line drugs) dalam satu paduan obat memberikan efikasi
yang lebih baik, dan bahkan beberapa obat itu mulai diuji coba untuk menjadi obat lini
pertama (Jusuf, Syahruddin dan Hudoyo, 2010).

2.3. Panduan Terapi Pada KPKBSK


Terdapat dua panduan utama sebagai panduan untuk penatalaksanaan dari Kanker
Paru Karsinoma Bukan Sel Kecil. American Society of Clinical Oncology mempublikasikan
panduan terapi lini pertama, kedua, serta ketiga untuk KPKBSK sejak tahun 2009 dengan
pembaharuan terakhir tahun 2011. Panduan lainnya adalah panduan yang diterbitkan dari
National Comprehensive Cancer Network.

2.3.1. American Society of Clinical Oncology


A. Kemoterapi lini pertama:
A1. Bukti-bukti mendukung penggunaan kemoterapi pada pasien dengan KPKBSK
stadium IV dengan ECOG/Zubrod status performa 0,1, dan mungkin 2
A.2. Pada pasien dengan status performa 0 atau 1, bukti mendukung penggunaan
kombinasi dua obat sitotoksik untuk terapi lini pertama; kombinasi platinum diutamakan
dibandingkan kombinasi nonplatinum karena lebih superior dalam respons rate. Kemoterapi
kombinasi nonplatinum dapat diberikan pada pasien dengan kontraindikasi terhadap terapi
platinum
A.3. Data-data yang tersedia mendukung penggunaan kemoterapi agen tunggal
pada pasien dengan status performa 2; tidak ada data yang cukup untuk rekomendasi
mendukung atau menolak penggunaan dua kombinasi obat sitotoksik pada pasien dengan
status performa 2.
A4. Bukti tidak mendukung pemilihan jenis kemoterapi lini pertama atau jenis
kombinasi berdasarkan umur saja

18

A5. Pemilihan cisplatin atau carboplatin dapat diterima; obat yang dapat
dikombinasikan dengan platinum termasuk obat sitotoksik generasi ketiga termasuk
docetaxel, gemcitabine, irinotecan, paclitaxel, pemetrexed dan vinorelbine; bukti mendukung
bahwa penggunaan kombinasi cisplatin menghasilkan response rate yang lebih tinggi
dibanding penggunaan carboplatin dan dapat memperbaiki angka kesintasan bila
dikombinasikan dengan agen generasi ketiga; carboplatin lebih sedikit menimbulkan
nausea, nefrotoksisitas, dan neurotoksisitas dibandingkan cisplatin tetapi dapat lebih mudah
menimbulkan trombositopenia.
A.6. Pada pasien dengan KPKBSK stadium IV, kemoterapi sitotoksik lini pertama
sebaiknya dihentikan pada progresi penyakit, atau setelah 4 siklus pada pasien dengan
penyakit yang stabil namun tidak respon terhadap terapi; Kombinasi dua obat sitotoksik
sebaiknya diberikan tidak lebih dari 6 siklus; pada pasien dengan stable disease atau stable
response setelah 4 siklus, terapi segera dengan alternatif: kemoterapi agen tunggal seperti
pemetrexed pada pasien dengan histologi nonskuamus, atau docetaxel atau erlotinib pada
pasien yang tidak terpilih dapat dipertimbangkan; limitasi dari data ini adalah bahwa
penghentian kemoterapi sitotoksik setelah menjalani siklus juga dapat diterima, dengan
inisiasi kemoterapi lini kedua pada progresi penyakit.
A7. Pada pasien yang tidak terpilih, erlotinib atau gefitinib sebaiknya tidak digunakan
dengan kombinasi kemoterapi sitotoksik sebagai terapi lini pertama; pada pasien yang tidak
terpilih, bukti-bukti tidak cukup untuk merekomendasi penggunaan erlotinib atau gefitinib
agen tunggal sebagai terapi lini pertama; penggunaan terapi lini pertama dari gefitinib dapat
direkomendasikan pada pasien dengan mutasi EGFR aktif; bila status mutasi EGFR negatif
atau tidak diketahui, kemoterapi sitotoksik lebih dipilih.
A.8. Berdasarkan hasil dari studi randomisasi klinis fase III yang besar, komite
pembaharuan menyarankan penambahan bevacizumab(15mg/kg tiap 3 minggu pada
carboplatin/paclitaxel, kecuali pada pasien dengan tipe histologis karsinoma sel skuamus,
metastase otak, hemoptisis yang signifikan, fungsi organ yang tidak adekuat, status
performa ECOG >1, pemberian terapi antikoagulan, penyakit kardiovaskuler yang signifikan
19

secara klinis, atau hipertensi yang tidak terkontrol, bevacizumab dapat digunakan selama
dapat ditoleransi sampai terjadi progresi penyakit
A.9. Berdasarkan hasil dari studi randomisasi klinis fase III yang besar, klinisi dapat
mempertimbangkan penambahan cetuximab pada cisplatin/vinolrebine pada terapi lini
pertama pasien dengan EGFR-positif yang ditunjukkan dengan pemeriksaan
imunohistokimia. Cetuximab dapat dilanjutkan selama dapat ditoleransi sampai terjadi
progresi penyakit.
B. Kemoterapi lini kedua:
B.1. Docetaxel, erlotinib, gefitinib atau pemetrexed dapat diterima sebagai
kemoterapi lini kedua pada pasien dengan KPKBSK lanjut dengan status performa yang
cukup dimana penyakit mengalami progresi selama ataupun setelah pemberian kemoterapi
lini pertama.
B.2. Bukti-bukti tidak mendukung pemilihan kemoterapi lini kedua spesifik atau
kombinasi tertentu berdasarkan usia saja.
C. Kemoterapi lini ketiga:
C.1. Bila penyakit mengalami progresi pada saat diberikan kemoterapi lini kedua
atau setelah selesai kemoterapi lini kedua, terapi dengan erlotinib dapat direkomendasikan
sebagai kemoterapi lini ketiga untuk pasien dengan status performa 0-3 yang belum pernah
mendapat terapi erlotinib atau gefitinib
C.2. Belum ada data yang cukup untuk membuat rekomendasi mendukung atau
menentang penggunaan obat sitotoksik sebagai terapi lini ketiga; pasien dapat
mempertimbangkan pula terapi eksperimental, studi klinis, dan BSC.
D. Analisis molekuler:
D.1. Bukti-bukti belum mencukupi untuk merekomendasikan pemeriksaan rutin
marker molekular untuk memilih terapi sistemik pada pasien dengan KPKBSK dengan
metastase.
D.2. Untuk mendapat jaringan yang lebih cocok gambaran histologinya, dan untuk
penelitian, komite pembaharuan mendukung usaha untuk mendapat jaringan yang lebih
20

banyak daripada yang biasa dilakukan pada spesimen sitologi yang telah rutin dilakukan.
(ASCO,2011)

2.3.2. National Comprehensive Cancer Network

Gambar 2.3. Alur tatalaksana KPKBSK rekuren atau dengan metastase (NCCN, 2012)

Gambar 2.4. Alur tatalaksana KPKBSK Nonskuamus dengan status mutasi EGFR dan ALK negatif atau tidak
diketahui (NCCN, 2012)

21

Gambar 2.5. Alur tatalaksana KPKBSK skuamus (NCCN, 2012)

NCCN tahun 2012 merekomendasikan pemberian kemoterapi lini pertama


berdasarkan perbedaan histologis, skuamus atau non skuamus. Pada penderita karsinoma
nonskuamus, disarankan pemeriksaan status mutasi EGFR dan ALK. Bila status
pemeriksaan EGFR dan ALK negatif atau tidak diketahui, maka dapat diberikan kemoterapi
doublet, bevacizumab + kemoterapi, cisplatin/pemetrexed, atau
cetuximab/vinolrebine/cisplatin bila status performa WHO 0-2. Bila EGFR positif dapat
diberikan erlotinib sebagai kemoterapi lini pertama atau ditambahkan erlotinib pada regimen
kemoterapi yang sedang diberikan, sedangkan bila ALK positif maka diberikan crizotinib.
Pada karsinoma skuamus, dapat diberikan kemoterapi doublet, atau
cetuximab/vinolrebine/cisplatin bila status performa WHO 0-2. Bila penderita memiliki status
performa WHO 3-4 tidak disarankan pemberian kemoterapi tetapi hanya dilakukan BSC
saja.

22

Gambar 2.6. Alur kemoterapi lini kedua dan ketiga (NCCN, 2012)

Kemoterapi lini kedua diberikan bila terjadi progresi tumor walaupun dengan
pemberian kemoterapi lini pertama. Pemilihan kemoterapi lini kedua berdasarkan pada
status performa dari penderita. Pada pasien dengan status performa WHO 0-2 dapat
diberikan docetaxel, pemetrexed, erlotinib, atau kemoterapi platinum doublet ditambah
bevacizumab. Sedangkan pada status performa WHO 3-4 diberikan Erlotinib atau BSC
khusus pada karsinoma non skuamus.
Kemoterapi lini ketiga diberikan bila terjadi progresi tumor walaupun dengan
pemberian kemoterapi lini kedua. Pemilihan kemoterapi lini ketiga berdasarkan pada status
performa dari penderita. Penderita dengan status performa WHO 0-2 dapat diberikan
docetaxel, pemetrexed, atau erlotinib. Bila setelah pemberian kemoterapi ini terjadi progresi
maka dilakukan BSC saja. Sedangkan pada pasien dengan status performa WHO 3-4
dilakukan BSC saja.

2.4. Resistensi Terhadap Kemoterapi


Resistensi terhadap kemoterapi merupakan kombinasi dari karakteristik obat, tumor
dan host yang menyebabkan obat tidak efektif dalam mengontrol tumor tanpa menyebabkan
toksisitas berlebih. Resistensi tumor terhadap obat berhubungan dengan selektivitas obat
tersebut terhadap tumor. Resistensi terhadap agen kemoterapi dapat digolongkan menjadi
23

resistensi alami, maupun dapatan. Resistensi alami adalah resistensi yang sejak awal
didapatkan, sedangkan resistensi dapatan adalah resistensi yang terjadi setelah pemberian
pengobatan dengan hasil yang baik sebelumnya. Ada 3 kategori resistensi: kinetik, biokimia,
dan farmakologi. (Skeel, 2011)
2.4.1. Kinetika Sel dan Resistensi
Resistensi Sel berdasarkan kinetika populasi sel berhubungan dengan spesifisitas
siklus dan fase, fraksi pertumbuhan dan implikasi dari faktor-faktor tersebut terhadap respon
terhadap agen spesifik, dan jadwal pemberian obat. Masalah umum yang terjadi pada tumor
pada manusia adalah sel-sel tersebut berada pada plato fase pertumbuhan dengan fraksi
pertumbuhan yang kecil. Faktor ini menyebabkan kebanyakan sel tidak sensitif terhadap
golongan antimetabolit dan relatif tidak responsif terhadap agen kemoterapi lainnya.
Strategi-strategi untuk melawan resistensi terhadap kinetika sel berupa:
1. Mengurangi beban tumor dengan pembedahan ataupun radioterapi
2. Menggunakan kombinasi obat dengan obat yang mempengaruhi populasi
istirahat (G0)
3. Mengatur jadwal pemberian obat untuk mensinkronisasi populasi sel dan
meningkatkan kematian sel
(Skeel, 2011)
2.4.2. Resistensi Biokimia
Resistensi dapat terjadi karena penyebab biokimia, termasuk ketidakmampuan dari
tumor untuk mengkonversi sebuah obat menjadi bentuk aktif, kemampuan tumor untuk
menginaktivasi obat, dan lokasi dari tumor di tempat dimana sulit dicapai obat. Mekanisme
resistensi sel dapat disebabkan karena penurunan uptake obat, peningkatan efluks,
perubahan struktur dari target intraseluler, mapun peningkatan kecepatan perbaikan DNA
yang rusak. (Skeel, 2011)
MDR, atau disebut juga sebagai pleiotropic drug resistance, adalah suatu fenomena
dimana pengobatan dengan satu agen menyebabkan resistensi tidak hanya terhadap obat
tersebut tapi juga resistensi terhadap kelas agen kemoterapi yang tidak berhubungan. MDR
umumnya disebabkan karena peningkatan mekanisme efluks obat yang tergantung energi
24

yang menyebabkan rendahnya konsentrasi obat intraseluler. Pada MDR dengan tipe ini,
overekspresi protein trasnspor membran P-glycoprotein umumnya didapatkan. Protein MDR
lain dapat juga ditemukan pada kanker paru. Pemberian kemoterapi kombinasi dapat
mengatasi resistensi biokimia dengan cara meningkatkan jumlah obat intraseluler yang aktif
sebagai akibat dari interaksi biokimia atau efek dari transpor obat melewati membran sel.
(Skeel, 2011)
Penggunaan agen kedua dapat juga mengatasi resistensi biokimia, cara lain adalah
dengan menggunakan sel punca pada sumsum tulang sehingga dapat diberikan dosis obat
yang lebih tinggi. (Skeel, 2011)
2.4.3. Resistensi Farmakologis
Resistensi terhadap kemoterapi dapat disebabkan oleh kurangnya suplai pembuluh
darah, penyerapan obat yang buruk, peningkatan ekskresi obat. (Skeel, 2011)
2.5. Terapi Lini Kedua dan Ketiga
Kemoterapi lini kedua adalah kemoterapi yang digunakan setelah tumor berkembang
atau progresif selama atau setelah pemberian regimen pertama, digunakan untuk penyakit
tahap lanjut (ASCO, 2011).
Kemoterapi lini ke dua yang telah direkomendasikan docetaxel, pemetrexed,
bevacizumab, gefitinib dan erlotinib bisa diterima pasien NSCLC stadium lanjut dengan
tampilan (performance status) cukup selama penyakit itu berkembang saat atau setelah
terapi lini pertama berbasis platinum (NCCN, 2012). Bila terdapat progresi setelah
kemoterapi lini kedua, dapat diberikan kemoterapi lini ketiga dengan docetaxel, pemetrexed,
erlotinib. Selain mempertimbangkan regimen yang optimal, pedoman baku dalam
mengevaluasi jadwal pemberian kemoterapi lini kedua, yang sudah ada hanya docetaxel.
Pemilihan obat kemoterapi lini kedua tertentu atau kombinasi hanya berdasarkan usia, tidak
terbukti. Ada banyak kekurangan, dari penelitian yang menganggap bahwa orang usia lanjut
saja yang menerima terapi lini kedua. Bukti yang tersedia menunjukkan bahwa manfaat dan
toksisitas tidak dibedakan berdasarkan usia. (ASCO, 2011)

25

2.5.1. Golongan Taxane


2.5.1.1. Paclitaxel

Gambar 2.7. Sitoskeleton dan mikrotubul (Devita, 2008)

Paclitaxel merupakan bahan yang diisolasi dari batang pohon Taxus brevifolia.
Paclitaxel merupakan bahan alami dengan aktifitas antitumor. Paclitaxel dihasilkan dari
proses semisintetis dari Taxus baccata. Paclitaxel bekerja dengan cara meningkatkan
penyusunan tubulin dimer dan menstabilisasi mikrotubulus dengan menghambat
depolimerisasi. Stabilitas mikrotubulus ini menimbulkan inhibisi dari reorganisasi dari
jaringan mikrotubulus normal yang diperlukan pada pembelahan mitosis dari sel. Selain itu,
paclitaxel juga menyebabkan timbulnya susunan abnormal atau bundle dari mikrotubulus
sepanjang siklus sel. (Sessa et al, 2012)
Ketika paclitaxel pertama kali diperkenalkan pada awal tahun 1990, aktifitas
antikankernya cukup tinggi terutama pada kanker ovarium dan payudara. Pada awalnya
paclitaxel diberikan sebagai infus selama 24 jam karena diperkirakan akan mengurangi
frekuensi reaksi hipersensitivitas akut. Namun, dengan berjalannya waktu ditemukan bahwa
pemberian premedikasi dengan steroid dan antihistamin mampu mencegah terjadinya
hipersensitivitas tanpa menghiraukan lamanya pemberian infus obat. (Sessa et al, 2012)

26

Paclitaxel memiliki solubilitas dalam air yang rendah, karena itu paclitaxel
diformulasikan dengan menggunakan polyoxethylated castor oil(Cremophor EL) dan ethanol
50% sebagai vehikulum. Cremophor adalah konstituen utama yang bertanggungjawab
terhadap timbulnya reaksi hipersensitivitas. Hal inilah yang menyebabkan perlunya
premedikasi sebelum pemberian Paclitaxel. (Sessa et al, 2012)

2.5.1.2. Docetaxel

Gambar 2.8. Struktur molekul Paclitaxel dan Docetaxel (Devita, 2008)

Docetaxel adalah analog semisintetik dari Paclitaxel yang lebih mudah larut dalam
air, dan bebas Cremophor. Docetaxel dihasilkan dari duri-duri Taxus baccata. Preparat
Docetaxel mengandung Tween 80 dan ethanol yang juga dapat menyebabkan toksisitas.
Docetaxel memiliki mekanisme kerja yang sama dengan paclitaxel.

27

Tabel 2.1. Farmakologi Paclitaxel dan Docetaxel (Sessa et al, 2012)

Docetaxel bekerja dengan menyerang sel-sel kanker. Setiap sel dalam tubuh berisi
struktur pendukung (hampir seperti tulang kerangka) yang disebut jaringan mikrotubular.
Jika kerangka ini berubah atau rusak, sel tidak dapat tumbuh atau memperbanyak diri.
Docetaxel membuat struktur kerangka dalam sel kanker tidak wajar dan kaku, sehingga selsel ini tidak bisa tumbuh lagi (Medicinenet, 2011).
28

Selain mempengaruhi struktur mikrotubulus, docetaxel juga bekerja dengan


mengganggu 3 fase siklus hidup sel. Hal ini menyebabkan penahanan siklus sel di fase S
(sintesis), fase G2 (growth 2), dan fase M (mitosis). Pada fase S, DNA menggandakan diri.
Pada fase G2, sel tumbuh lebih lanjut dan siap untuk membagi diri pada fase M. Dengan
adanya intervensi pada 3 fase siklus sel ini, docetaxel menyebabkan sel tidak mampu untuk
maju ke tahap berikutnya, sehingga memicu terjadinya apoptosis (Medicinenet, 2011).
Cara ketiga docetaxel inisiasi apoptosis yaitu menginduksi phosphorylasi Bcl-2.
Dalam sel kanker, Bcl-2 yang berlebih mencegah apoptosis. Docetaxel menyebabkan
inaktivasi phosphorylasi Bcl-2 dan memungkinkan terjadi kematian sel (Medicinenet, 2011).

Gambar 2.9. Struktur kimia docetaxel dan mekanisme inaktivasi fosforilasi Bcl-2
(Hennequin, Giocanti dan Favaudon, 1995)

Docetaxel berbentuk cairan konsentrat untuk injeksi intravena. Sebelum diberikan


memerlukan cairan pengencer. Obat ini disimpan dalam suhu 2-8C dan diletakkan didalam
paket tertutup untuk melindungi dari cahaya terang (Medicinenet, 2011).
Pasien yang mendapatkan docetaxel 100 mg/ m2 setiap 3 minggu, menunjukkkan
angka keberhasilan sebesar 14-24%, median survival time 7 bulan dan 1-year survival rate
sebesar 25-44% (Syrigos, Nutting dan Roussos, 2006). Setiap pemberian memerlukan
waktu sekitar 1 jam. Gambaran toksisitasnya lebih baik bila docetaxel diberikan mingguan
dibandingkan dengan pemberian tiga mingguan, yang telah ditunjukkan dalam uji coba TAX
320 dan dikonfirmasi dalam beberapa uji klinis secara acak dan dua meta-analisis lainnya
tanpa perbedaan yang signifikan pada kelangsungan hidup (Di Maio et al, 2009).
29

Docetaxel dimetabolisme oleh hati dan diekskresikan oleh ginjal minimal (<5%),
sehingga dapat diberikan kepada pasien dengan insufisiensi ginjal, tetapi penyesuaian dosis
diperlukan bagi pasien dengan gangguan hati. Docetaxel memiliki tingkat neuropati sensori
lebih tinggi dari pemetrexed dan erlotinib, dan dua agen yang terakhir lebih baik digunakan
pada pasien neuropati diabetes atau sisa efek neuropati karena terapi lini pertama. Pasien
yang memiliki hobi atau pekerjaan yang memerlukan jari atau ketangkasan tangan mungkin
lebih baik untuk menghindari komplikasi yang potensial (Stinchcombe dan Socinski, 2008).
Docetaxel memerlukan premedikasi dengan steroid dan beberapa pasien tidak bisa
mentoleransi premedikasi steroid, dengan komplikasi seperti hiperglikemia dan insomnia.
Jika seorang pasien tidak toleran terhadap steroid, erlotinib dapat menjadi agen yang dipilih
(Stinchcombe dan Socinski, 2008).
Efek samping docetaxel antara lain, penurunan sel darah putih. Biasanya, tidak ada
gejala yang spesifik terkait dengan efek samping kecuali akan muncul infeksi yang berulang.
Seperti banyak agen digunakan untuk mengobati kanker, docetaxel dapat menyebabkan
penurunan sementara jumlah sel darah putih (kondisi yang dikenal sebagai neutropenia)
dan dapat meningkatkan risiko infeksi. Namun, kebanyakan pasien yang menerima
docetaxel (Taxotere) tidak mengalami infeksi, bahkan ketika sel darah putih dalam jumlah
sangat rendah. Demam merupakan salah satu tanda yang paling umum dan tanda awal
suatu infeksi (Syrigos, Nutting dan Roussos, 2006).
Beberapa obat tidak boleh diberikan bersamaan karena dapat berinteraksi dengan
docetaxel. Interaksi dapat menyebabkan efek samping dan menyebabkan obat tidak bekerja
dengan baik. Perlu diperhatikan jika diberikan dengan siklosforin, terfenadine, ketokonazol,
eritromisin, dan troleandomycin karena ada potensi interaksi yang bermakna. Docetaxel
dapat menyebabkan gangguan janin bila diberikan pada wanita hamil. Jika docetaxel
digunakan selama kehamilan, atau jika pasien hamil saat menerima obat ini, pasien harus
tahu tentang potensi bahaya ke janin atau berpotensi mengalami keguguran. Wanita subur
yang harus mendapatkan pengobatan dengan docetaxel dianjurkan untuk menunda
kehamilan selama terapi. Tidak diketahui apakah docetaxel diekskresikan dalam air susu,
30

tetapi docetaxel berpotensi mempunyai efek samping yang serius bagi bayi. (Syrigos,
Nutting dan Roussos, 2006).
Walaupun kemoterapi KPKBSK stadium lanjut telah ada, harapan dari kemoterapi
tersebut tetap kecil. Dalam segi ekonomi, docetaxel dibandingkan dengan terapi paliatif
masih menjadi tanda tanya. Berdasarkan evaluasi ekonomi secara retrospektif dalam uji
coba docetaxel didapatkan hasil, biaya per life-year diperoleh dengan menggunakan
docetaxel yang direkomendasikan dosis 75 mg/ m2 sekitar US $ 20.000,-, hampir sama
dengan pengeluaran kemoterapi paliatif pada tumor solid lainnya (Syrigos, Nutting dan
Roussos, 2006).

2.5.2. Pemetrexed
Pemetrexed adalah analog dari pyrrolopyrimidin dengan aktivitas pada fase S dari
siklus sel. Obat ini menghambat tiga enzim folate-dependent: DHFR, thymidylate synthase
(TS) dan glycinamide ribonucleotide formyl transferase(GARFT) yang diperlukan dalam
sintesa de novo dari nukleotida thymidine dan purin. Sehingga pada akhirnya pemberian
pemetrexed akan menghambat sintesa DNA dan RNA. Inhibisi thymidylate synthase(TS)
oleh pemetrexed relatif rendah, tetapi dapat meningkat 10-100 kali lipat dengan bentuk
poliglutamat dari pemetrexed. (Sessa et al, 2012)
Pemetrexed digunakan untuk terapi kanker paru non-skuamus dan mesothelioma,
biasanya dengan kombinasi cisplatin atau carboplatin. Resistensi terhadap pemetrexed
dapat disebabkan oleh:

Peningkatan ekspresi enzim target, thymidylate synthase


Gangguan affinitas terhadap thymidylate synthase
Penurunan transport obat ke dalam sel
Penurunan reaksi poliglutamylasi dari pemetrexed (Sessa et al, 2012)

Gambaran histologi merupakan hal penting dalam pemilihan pengobatan baik terapi
lini pertama dan lini kedua dengan pemetrexed, karena tingginya ekspresi timidilat sintase
(TS) pada karsinoma sel skuamosa dibandingkan adenokarsinoma. Analisis retrospektif dari
data penelitian fase III pemetrexed dibandingkan dengan docetaxel menunjukkan bahwa
31

pasien dengan sel skuamosa yang diobati dengan docetaxel memiliki angka kelangsungan
hidup secara statistik lebih baik dari pada yang diobati dengan pemetrexed. Sebaliknya
pasien dengan sel non skuamosa yang diterapi dengan pemetrexed secara statistik lebih
unggul dibandingkan dengan docetaxel (Hanna et al, 2004).

Gambar 2.10. Struktur kimia pemetrexed dan penghambatan enzim yang terlibat dalam
sintesa pirimidin dan purin (Hanauske et al, 2001)

2.5.3. Gemcitabine
Gemcitabin adalah analog dari deoxycytidine, dengan atom fluorine. Gemcitabin
diaktivasi oleh dCK melalui metabolite monophosphate dan triphosphate(dFdCTP).
Masuknya dFdCTP pada DNA menimbulkan terminasi rantai dan inhibisi dari fungsi sintesis
DNA. dFdCTP menghambat DNA polymerase , , dan , yang pada akhirnya akan
mengganggu proses sintesa, perbaikan dan perpanjangan rantai DNA. Gemcitabin juga
dapat masuk ke dalam RNA, metabolit dFdCDP menghambat enzim ribonucleotide
reductase, sehingga menyebabkan penurunan kadar dari deoxyribonucleotide yang
diperlukan untuk fungsi dan sintesa DNA. (Sessa et al, 2012)

32

Gambar 2.11. Struktur kimia dan mekanisme aksi gemcitabine (Meredith et al, 2008)

Gemcitabine digunakan untuk pengobatan KPKBSK, biasanya dengan kombinasi


cisplatin. Gemcitabine juga digunakan untuk terapi kanker pankreas, kandung kemih, dan
ovarium. Mekanisme resistensi yang diketahui adalah:

Penurunan ekspresi dari dCK


Penurunan transpor nukleosida obat ke dalam sel
Peningkatan ekspresi dari ribonucleotide reductase (Sessa et al, 2012)

33

2.5.3. Terapi Target


Pengetahuan tentang onkologi molekuler sekarang ini telah meningkat secara
signifikan, mendukung adanya jalur sinyal utama yang mendorong transformasi sel ganas.
Pemahaman tentang sel biologi tumor telah berkembang, beberapa molekul target KPKBSK
telah diidentifikasi dan sejumlah agen biologis baru telah dikembangkan. Penggolongan
dengan agen ini sulit, karena saling tumpang tindih. Tulisan ini, tidak membahas
hubungannya dengan vaksin dan terapi gen. Terapi target digolongkan sebagai berikut:
epidermal growth factor receptor (EGFR), inhibitor angiogenesis, inhibitor sinyal transduksi,
induser apoptosis, dan jalur inhibitor eicosanoid. Dua terapi target utama telah dieksplorasi
dalam beberapa pasien yaitu jalur inhibisi EGFR dan inhibitor angiogenesis. (Favaretto,
Pasello dan Magro, 2009).
EGFR secara normal dapat ditemukan pada permukaan dari sel epitel dan seringkali
mengalami overekspresi pada berbagai macam keganasan pada manusia. Adanya mutasi
yang menimbulkan aktivasi EGFR merupakan penanda biologis penting dalam penentuan
pemilihan terapi pada pasien dengan kanker paru. Didapatkan asosiasi yang signifikan
antara mutasi EGFR(khususnya delesi exon 19, mutasi exon 21, dan exon 18) dan respon
terhadap pemberian Tyrosin Kinase Inhibitor(TKI). Mutasi EGFR dan KRAS dapat ditemukan
bersama-sama pada satu penderita kanker paru. Mutasi KRAS dihubungkan degnan
resistensi intrinsik terhadap TKI, dan penentuan ada tidaknya mutasi KRAS dapat
membantu pemilihan kandidat yang diberikan terapi TKI.(NCCN, 2012)
Prevalensi dari mutasi EGFR pada adenocarcinoma adalah 10% pada negaranegara barat dan sampai mencapai 50% pada penduduk asia. Dengan frekuensi mutasi
EGFR yang lebih tinggi pada penderita wanita, tidak merokok dan kanker non-mucinous.
Mutasi KRAS paling sering didapatkan pada non-Asia, perokok dan pada adenocarcinoma
mucinous. (NCCN, 2012).
Resistensi dapatan dari mutasi EGFR dapat terjadi pada 50% pasien setelah
pemberian Tyrosine Kinase Inhibitor. Patogenesa yang mendasari adalah adanya mutasi titik
sekunder yang terjadi pada exon 20 yaitu T790M. Prevalensi mutasi sekunder ini terjadi
34

pada 50% kasus yang terjadi resistensi dapatan. Lokasi mutasi kedua yang dihubungkan
dengan resistensi dapatan terhadap Tyrosine Kinase Inhibitor adalah d761Y pada exon 19.
(NCCN, 2012)

Gambar 2.12. Inhibisi signal reseptor tyrosin kinase (Devita, 2008)

Deteksi dan Evaluasi HER1/EGFR

Gambar 2.13. HER1/EGFR yang Terfosforilasi pada KPKBSK


(Sonnweber, et al., 2006)

Ekspresi HER1/EGFR dapat dideteksi dengan berbagai cara, termasuk


pengujian genomik dan proteomik. Pengujian genomik mengkuantifikasi jumlah kopi dari
35

gen EGFR atau jumlah reseptor-reseptor pada permukaan sel. Tipe-tipe pengujian genomik
meliputi; Fluorescence in situ hybridization (FISH) dan chromogenic in situ hybridization
(CISH), yang mengukur amplifikasi dari gen EGFR dengan mengkuantifikasi jumlah kopi dari
gen (Sholl, et al., 2007). Imunohistokimia, yang mengukur jumlah reseptor-reseptor yang
dimiliki sel dan kemudian mengkuantifikasi ekspresi berlebih dari reseptor (Kanematsu, et
al., 2003). Pengujian genomik juga dapat menilai keberadaan mutasi EGFR dan gen-gen
yang terkait, seperti KRAS (Shigematsu, et al., 2005).
Pengujian proteomik tidak hanya digunakan untuk menentukan keberadaan
protein-protein (seperti, reseptor HER1/EGFR dan ligan-ligannya), tetapi juga cara-cara
mereka berinteraksi satu sama lain (Wu, et al., 2006). Pengujian proteomik dapat
menunjukkan perubahan-perubahan yang terjadi pada HER1/EGFR ketika distimulasi dan
teraktivasi. Pengujian fosfo-EGFR digunakan untuk mengukur jumlah HER1/EGFR pada
permukaan sel yang telah difosforilasi, atau diaktivasi pada domain tyrosine kinase.
(Sonnweber, et al., 2006)

2.5.3.1. Endothelial Growth Factor Receptor Inhibitor


2.5.3.1.1. Erlotinib
Erlotinib bekerja dengan menempel secara reversibel pada tempat ATP pada EGFR,
sehingga akan menghambat autofosforilasi dan kaskade signal downstream. Pada
KPKBSK, mutasi EGFR terutama delesi dari exon 19 dan exon 21- menunjukkan
ketergantungan sel tumor terhadap signal dari EGFR dan dapat digunakan sebagai prediktor
respons terhadap Tyrosine Kinase Inhibitor dari EGFR yang reversibel. Mutasi tersebut
hanya terjadi pada 10-20% pasien dengan KPKBSK, terutama pada pasien dengan
adenocarcinoma yang tidak merokok, dan jarang didapatkan pada pasien dengan tipe tumor
yang lain. Pentingnya nilai prediktif dari seleksi pasien ini telah dibuktikan dari berbagai
penelitian dengan KPKBSK stadium lanjut dengan terapi lini pertama. Pemberian agen
tunggal dari erlotinib telah memberikan efikasi yang bagus pada pasien KPKBSK yang
refrakter terhadap kemoterapi, tanpa melihat status mutasi EGFRnya. Toksisitas yang umum
36

didapatkan pada erlotinib dan geftinib termasuk ruam akneiform, diare, dan kelelahan.
Timbulnya ruam-ruam dihubungkan dengan peningkatan angka kesintasan, hal ini
menunjukkan bahwa toksisitas dapat digunakan sebagai biomarker dari efikasi. Penyakit
paru interstisial juga dilaporkan berhubungan dengan pemberian EGFR TKI. Pemeriksaan
tes fungsi liver juga direkomendasikan karena hepatotoksisitas dari obat ini. Adanya
interaksi antara EGFR TKI dan H2-antagonis dan PPI bila diberikan bersamaan akan
menyebabkan turunnya paparan erlotinib sebanyak 50%. Karena itu, pemberian EGFR TKI
dan H2-antagonis dan PPI sebaiknya dipisahkan selama beberapa jam. (Sessa et al, 2012)
2.5.3.1.2. Gefitinib
Mekanisme kerja Gefitinib sama dengan erlotinib. Namun, bioavailabilitas relatif tidak
terpengaruh dengan pemberian makanan. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia memberi
rekomendasi penggunaan erlotinib (Tarceva 150 mg/ tablet) dan gefitinib (Iressa 250 mg/
tablet) sebagai berikut :

Pasien yang akan diterapi harus diketahui terlebih dahulu diagnosis pastinya

berdasarkan histopatologi atau sitologi sebagai KPKBSK.


Pasien dengan KPKBSK stadium III atau IV atau yang inoperable.
Pengobatan terapi target diberikan setelah mendapat terapi modalitas

sebelumnya baik dengan kemoterapi atau kemoradioterapi.


Pengobatan lini pertama diperbolehkan bila pasien menolak atau tidak

memenuhi syarat diberikan terapi modalitas lain sebelumnya.


Tidak diperlukan syarat khusus seperti syarat-syarat penggunaan obat-obat

sitostatika.
Tampilan atau status performa tidak menjadi bahan pertimbangan.
Lama pemberian obat, diberikan sampai obat tidak memberi respon lagi.
(PDPI, 2011)

2.5.3.2. Vascular Endothelial Growth Factor Inhibitor


Kebanyakan tumor solid pada manusia diawali dengan fase avaskuler, ketika
diameter tumor telah mencapai 1-2mm, hipoksia tumor menjadi pemicu utama dari
angiogenesis. Hal ini didorong terutama oleh VEGF, pada akhirnya akan terjadi
37

pertumbuhan yang cepat dan invasi. Akan tetapi, inflamasi dan aktivasi dari onkogen atau
hilangnya tumor suppressor dapat memicu timbulnya angiogenesis bahkan pada fase prehipoksik dan pre-invasif. (Sessa et al, 2012)
Pemicu angiogenesis adalah:

Hipoksia( contoh: hypoxia dependent transcription factor (HIF)-1 menimbulkan


upregulasi VEGF, platelet-derived growth factor(PDGF), Nitric Oxide Synthase)

Gambar 2.14. Ilustrasi Kondisi Hipoksik dari Suatu Tumor: selsel yang paling dekat dengan pembuluh darah memiliki suplai
oksigen yang cukup, dimana suplai oksigen semakin berkurang
seiring dengan semakin jauhnya lokasi dari pembuluh darah.
Begitu suplai oksigen menurun, sel-sel menjadi hipoksia (area
berwarna ungu muda) dan kemudian nekrosis (area berwarna
abu-abu) (Folkman et al., 2005).

Sel radang dan sel sumsum tulang yang ditarik oleh tumor
Aktivasi dan overekspresi dari reseptor(contoh: EGFR, HER2, IGF-1R)
Aktivasi onkogen dan hilangnya gen tumor suppressor( contoh: RAS
menghambat thrombospondin 1 dan meningkatkan VEGF) (Sessa et al, 2012)

Tanpa suplai darah yang independen, tumor harus bergantung pada difusi untuk
mendapatkan oksigen dan nutrisi lainnya, dan umumnya tidak dapat tumbuh lebih dari 2
mm3. Kemudian, tumor yang sedang tumbuh tanpa vaskularisasi yang cukup akan memiliki
area-area hipoksia. Sebagai respon dari kondisi hipoksia, tumor akan mensekresi VEGF

38

untuk merekrut vaskularisasi baru, yang kemudian menyediakan suplai oksigen. (Folkman,
et al, 2005)
Pembuluh darah yang normal tersusun dari sel endotel yang erat dan sel mural(otot
polos pada pembuluh darah besar dan pericytes pada kapiler) yang baik. Sel endotel pada
tumor merupakan sel yang abnormal, tidak ada polaritas, adhesi antar sel, tidak terikat
dengan membran basal dan saling bertumpuk-tumpuk. Pembuluh darah pada tumor
memiliki rongga yang lebar, mudah bocor, dan sel kanker menjadi terekspos darah. (Sessa
et al, 2012)
Ligan VEGF menempel dan mengaktivasi reseptor VEGF. Bagian ekstraseluler dari
reseptor VEGF terdiri dari immunoglobulin-like domain, bagian transmembran, dan bagian
intraseluler dengan aktifitas tyrosine kinase. (Sessa et al, 2012)
Reseptor tyrosin kinase merupakan enzym yang menempel pada membran yang
mentransfer fosfat dari adenosin triphosphate ke protein target pada saat dimerisasi yang
diinduksi oleh ligan ekstraseluler. Reseptor tyrosin kinase mentransduksi sinyal-sinyal
ekstraseluler yang diperantarai ligan menuju ke dalam sitoplasma. (Sessa et al, 2012)
Terdapat 3 jenis isoform dari reseptor VEGF: VEGFR-1 (Flt-1), VEGFR-2 (KDR/Flk1), and VEGFR-3 (Flt-4), tetapi aktifitas biologis yang paling kuat dari VEGF dimediasi oleh
aktivasi dari VEGFR-2. Aktivasi dari reseptor ini pada akhirnya akan memicu kaskade
kejadian downstream yang berakibat timbulnya proliferasi, kesintasan, dan migrasi dari sel
endotel yang berperan dalam pertumbuhan pembuluh darah baru. (Sessa et al, 2012)
Ligan VEGF diketahui tetap ada sepanjang siklus hidup tumor (Gambar 2). Seiring
dengan perkembangan tumor, ligan VEGF mulai mengaktifasi jalur-jalur angiogenesis
sekunder, seperti basic fibroblast growth factor (bFGF), transforming growth factor beta
(TGF), placental growth factor (PLGF), dan platelet-derived endothelial cell growth factor
(PD-ECGF). Begitu jalur-jalur sekunder ini muncul, ligan VEGF tetap diekspresikan dan
berfungsi sebagai salah satu mediator angiogenesis yang penting (Folkman, et al., 2005).

39

Gambar 2.15. VEGF diekspresikan sepanjang siklus hidup tumor (Folkman et al, 2005).

Observasi yang membuktikan bahwa beberapa tumor sangat bergantung pada


VEGF diawal perkembangannya dan secara kontinyu bergantung pada VEGF sepanjang
siklus hidupnya terefleksi dalam penelitian preklinis terhadap inhibitor VEGF. Pada
penelitian-penelitian lainnya, inhibisi VEGF telah terbukti memberikan efek antitumor yang
signifikan bila diberikan sepanjang perkembangan tumor (Gerber, 2007) Akhirnya, walaupun
jumlah VEGF yang diproduksi dan dilepaskan dapat berubah sebagai respon akibat stimulus
tertentu didalam lingkungan tumor, VEGF dianggap sebagai protein yang secara genetik
stabil yang berarti relatif kebal terhadap mutasi. Stabilitas genetik ini membuat keberlanjutan
dalam menargetkan ligan VEGF sebagai suatu strategi antitumor yang rasional. (Hicklin dan
Ellis, 2005)
Hipersekresi dari VEGF, yang didapatkan pada kanker, menyebabkan migrasi dan
proliferasi sel endotel, distorsi vaskuler, peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan
peningkatan tekanan cairan interstisial, serta modulasi dari sistem imun yang biasa
didapatkan pada tumor. (Sessa et al, 2012)
Toksisitas paling umum dari terapi antiangiogenesis adalah hipertensi, dimana
kejadiannya tergantung dari dosis yang diberikan dan memiliki patogenesa yang belum
jelas. Terdapat beberapa teori menyangkut pelepasan Nitric Oxide, gangguan ginjal, dan
teori mirip dengan pre-eclampsia. Kejadian tak diinginkan lain dari terapi antiangiogenesis

40

adalah kejadian tromboemboli(terutama arterial), perdarahan, perforasi usus, kelelahan,


anoreksia, diare, ruam, mucositis dan peningkatan resiko terjadinya gagal jantung kongestif.
(Sessa et al, 2012)
2.5.3.1. Anaplastic Lymphoma Kinase (ALK) inhibitor

Gambar 2.16. Skematis dari kromosom 2p23 dan 2p21 dan FISH

Inversi dari lengan kromosom 2p21 dan 2p23 menyebabkan fusi dari domain kinase
dari ALK(anaplastic lymphoma kinase) dan EML4 (echinoderm microtubule associated
protein like 4) ditemukan pada 5-7% dari kasus KPKBSK. Gen ALK dan EML4 berjarak 12
MB, inversi sederhana menyebabkan fusi dari kedua gen ini. (Patel, 2011)
Protein fusi dari EML4 dan ALK ini dapat menyebabkan promosi dari pertumbuhan
sel dan inhibisi apoptosis . Semua domain dari EML4 menyumbang terhadap kemampuan
onkogenic dari EML4-ALK. Mutasi ini umumnya terjadi pada pasien dengan usia muda,
dengan KPKBSK lanjut, dan pada pasien yang tidak pernah merokok atau perokok ringan.
(Patel, 2011)

41

2.5.3.1.1. Crizotinib

Gambar 2.17. Struktur crizotinib

Crizotinib adalah penyekat MET dan ALK oral. Crizotinib telah disetujui
penggunaannya pada terapi KPKBSK dengan ALK positif, dimana crizotinib memberikan
respons rate 57% (84% bila termasuk stabilisasi penyakit). Crizotinib menyekat MET lebih
dibandingkan ALK, dan sekarang sedang diuji coba sebagai MET inhibitor pada beberapa
jenis keganasan termasuk KPKBSK dengan kombinasi erlotinib. (Sessa et al, 2012)
Crizotinib adalah penyekat kinase yang baru disetujui oleh FDA untuk terapi pasien
dengan KPKBSK lanjut atau metastase yang mengekspresikan gen Anaplastic Lymphoma
Kinase(ALK). Persetujuan FDA berdasarkan pada respons rate obyektif dari 2 studi
multisenter. Crizotinib menunjukkan respons rate 50% sampai 60% pada pasien yang
diikutkan studi ini. Pada studi-studi ini, pasien-pasien memiliki hasil yang jauh lebih baik
dibandingkan pada pasien-pasien sebelumnya. Crizotinib ditoleransi dengan baik, dengan
kurang dari 10% menghentikan pengobatan karena kejadian yang tidak diinginkan. Studi
klinis sedang berjalan untuk mengevaluasi pengaruh crizotinib pada angka kesintasan,
perannya pada terapi lini pertama, dan keamanan dan efikasinya pada keganasan yang lain.
Perkembangan dan percepatan persetujuan terapi target seperti crizotinib melambangkan
tonggak signifikan pada terapi kanker. (Sessa et al, 2012)
Crizotinib tersedia sebagai kapsul 250mg dan kapsul 200mg. Dosis rekomendasi dari
crizotinib adalah 250mg diberikan dua kali sehari dengan atau tanpa makanan sampai tidak
42

ada keuntungan nyata dari pemberian terapi. Crizotinib belum pernah diteliti
penggunaannya pada pasien dengan AST atau ALT lebih dari 2,5 kali batas atas normal.
(Sessa et al, 2012)
Seperti pada terapi target lainnya, crizotinib memerlukan biaya yang mahal.
Perkiraan biaya penggunaan perbulannya mencapai 9600 US $. Biaya yang mahal ini dapat
dibenarkan dengan menghindari biaya pemberian terapi lain yang tidak efektif untuk pasien
dengan ALK positif. Crizotinib hanya tersedia di farmasi tertentu. (Patel, 2011)

2.5.4. Agen Bioaktif


2.5.4.1. Cetuximab
Cetuximab adalah chimeric dari monoclonal Antibodi IgG1 yang mengikat domain
ekstraseluler dari EGFR, sehingga dapat memblokade transduksi sinyal. Cetuximab juga
menginduksi sitotoksisitas sel yang bergantung antibodi(ADCC). Cetuximab telah disetujui
untuk penggunaan pada metastase kanker kolorektal yang resisten terhadap irinotecan dan
juga sebagai terapi lini pertama dengan kombinasi kemoterapi irinotecan atau oxaliplatin,
dan keunggulannya terbatas pada pasien dengan tumor KRAS wild-type. Pada karsinoma
sel skuamus kepala dan leher, cetuximab telah disetujui sebagai terapi kuratif untuk penyakit
lanjut dengan kombinasi radioterapi sebagai alternatif dari kemoradioterapi dan pada kasus
kambuh dengan atau tanpa kemoterapi platinum-based. (Sessa et al, 2012)
2.5.4.2. Panitumumab
Panitumumab adalah monoclonal Antibodi IgG2 yang berasal dari manusia dengan
afinitas yang lebih tinggi terhadap EGFR dibanding cetuximab dan menimbulkan reaksi
hipersensitivitas yang lebih jarang karena tidak mengandung sekuens tikus. Panitumumab
tidak memediasi ADCC. Penelitian besar yang terandomisasi mengkonfirmasi keuntungan
dari menambahkan agen ini terhadap progression-free survival(PFS) pada lini pertama dan
lini kedua pada tumor KRAS wild-type. Panitumumab merupakan alternatif yang baik bagi
pasien yang mengalami reaksi infus yang parah terhadap cetuximab. (Sessa et al, 2012)

43

Seperti inhibitor tyrosin kinase EGFR, kejadian tidak diinginkan yang umum pada
monoklonal antibodi yang mentarget EGFR berupa toksisitas kulit, diare, dan stomatitis.
Ruam akneiformis dapat parah pada 15% pasien dan panduan terapi spesifiknya telah
dipublikasi. Kadar magnesium perlu dimonitor selama terapi dengan cetuximab dan
panitumumab. (Sessa et al, 2012)
2.5.4.3. Bevacizumab

Gambar 2.18. Dua Strategi untuk Menghambat Jalur VEGF (Hicklin & Ellis, 2005)

Bevacizumab adalah monoclonal Antibodi IgG1 terhadap ligan VEGF yang berasal
dari manusia. Bevacizumab berikatan dengan VEGF sehingga menghambat interaksinya
dengan receptor VEGF-1 dan VEGF-2. (Sessa et al, 2012)

44

BAB 3
KESIMPULAN

Kanker paru tetap merupakan masalah kesehatan yang besar. Prognosa pasien
dengan kanker paru masih tetap buruk. Namun dengan berkembangnya pengetahuan
mengenai patobiologi terjadinya kanker paru, pasien-pasien dengan kanker paru memiliki
harapan hidup yang lebih panjang. Muncul berbagai obat baru yang mentarget jalur-jalur
baru dalam patobiologi timbulnya kanker paru. Obat-obat ini dapat digunakan untuk terapi
kanker paru yang tidak respon ataupun progresif dengan pemberian kemoterapi lini
pertama.
Penatalaksaan KPKBSK stadium lanjut didasari oleh penentuan histologis terlebih
dahulu. Pada karsinoma nonskuamus disarankan pemeriksaan mutasi EGFR maupun ALK.
Bila mutasi EGFR positif dapat diberikan erlotinib maupun gefitinib sebagai terapi lini
pertama. Sedangkan bila ALK yang positif, pilihan kemoterapi lini pertama adalah Crizotinib.
Bila mutasi EGFR dan ALK positif atau tidak diketahui, diberikan kemoterapi platinum
doublet. Setelah pemberian kemoterapi lini pertama dilakukan evaluasi setiap 3 minggu dan
evaluasi radiologis setiap 6 minggu. Bila didapatkan progresi, kemoterapi diganti dengan
kemoterapi lini kedua. Sedangkan bila didapatkan respon dari tumor atau stable disease,
kemoterapi dilanjutkan sampai 4 siklus kemudian dilakukan evaluasi ulang. Pada pasien
yang memiliki respon komplit, parsial, atau stable disease dapat dilakukan kemoterapi
maintenans atau Best Supportive Care saja sampai didapatkan progresi pada evaluasi.
Kemoterapi dilanjutkan dengan kemoterapi lini kedua bila terjadi progresi penyakit.
Docetaxel, pemetrexed, erlotinib dan gefitinib dapat diberikan sebagai kemoterapi lini
kedua. Pemetrexed tidak direkomendasikan untuk jenis histologis karsinoma sel skuamus.
Docetaxel lebih disarankan sebagai kemoterapi lini kedua untuk jenis histologis karsinoma

45

sel skuamus ini. Pemberian erlotinib dan gefitinib dapat diberikan sebagai kemoterapi lini
kedua pada pasien-pasien dengan status mutasi EGFR yang tidak jelas dan refrakter
terhadap kemoterapi berbasis platinum. Sedangkan untuk kemoterapi platinum dan
bevacizumab dapat diberikan sebagai kemoterapi lini kedua pada pasien dengan jenis
histologis nonskuamus dengan pemberian golongan EGFR TKI inhibitor ataupun crizotinib
sebagai terapi lini pertamanya.
Perkembangan teknologi dan biologi molekuler memungkinkan kita untuk
mengetahui status genetika dari masing-masing penderita kanker paru. Dengan
diketahuinya status mutasi penderita kanker paru, dimungkinkan pula era personalized
medicine. Hal ini ditandai dengan timbulnya terapi target yang mampu memberikan hasil
yang lebih efektif dalam penatalaksanaan kanker paru pada penderita yang sesuai.
Pada masa depan, diharapkan ditemukan modalitas-modalitas terapi KPKBSK baru
seperti imunoterapi dan terapi gen. Walaupun modalitas-modalitas ini tidak masuk dalam
lingkup Tinjauan Kepustakaan ini, diharapkan perkembangan ilmu pengetahuan akan lebih
mampu menyibak patomekanisme timbulnya kanker paru dan memungkinkan untuk
ditemukannya obat yang lebih efektif untuk mengontrol kanker.

46

BAB 4
DAFTAR PUSTAKA

Airley R. (2009). Cancer Chemotheraphy Basic Science to the Clinic, John Wiley & Sons
Ltd., UK
American Society of Clinical Oncology (ASCO). (2011). 2011 Focused Update of 1009
American Society of Clinical Practice Guideline Update on Chemotherapy for Stage IV
Non-Small-Cell Lung Cancer.
DeVita, Vincent T. Lawrence, Theodore S. Rosenberg, Steven A. (2008). Devita, Hellman
and Rosenberg's Cancer: Principles & Practice of Oncology, 8th Ed. Lippincott Williams
dan Wilkins.
Di Maio M, Chiodini P, Georgoulias V, Hatzidaki D, Takeda K, Wachters FM, Gebbia V, Smit
EF, Morabito A, Gallo C, et al. (2009) Meta-analysis of single agent chemotherapy
compared with combination chemotherapy as second-line treatment of advanced nonsmall-cell lung cancer. J Clin Oncol 27(11):1836-43.
Favaretto AG, Pasello G, dan Magro C. (2009). Second and Third Line Treatment in
Advanced Non-small Cell Lung Cancer, Institution: Oncologia Medica II, Istituto
Oncologico Veneto IRCCS Address: Padova, 35128, Italy, Published on November 17,
2009.
Finkel R, Cubeddu LX, Clark MA. (2006). Pharmacology, Chapter 39 Anti Cancer Drugs,
Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia
Folkman, J., DeVita, V. T., Hellman, S. & Rosenberg, S. A. (2005). Cancer: Principles &
Practice of Oncology. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Gerber, H. P., Wu, X., Yu, L. & al, e. (2007). Mice Expressing a Humanized Form of VEGF-A
May Provide Insights into Safety and Efficacy of Anti-VEGF Antibodies. Proc Natl Acad
Sci USA, pp. 3478-3483.
Gridelli C, Maione P, Rossi A, Ferrara Ml, Bareschino Ma, Schettino C, Sacco Pc, Ciardiello
F. 2011. Potential Treatment Options After First-Line Chemotherapy for Advanced
NSCLC: Maintenance Treatment or Early Second-Line?. Division of Medical Oncology,
S.G. Moscati Hospital, Avellino, Italy; Division of Medical Oncology, Second University
of Naples, Naples, Italy.

47

Hanauske, Ar. Chen, V. Paoletti, P. Niyikiza, C. (2001). Pemetrexed Disodium: A Novel


Antifolate Clinically Active Against Multiple Solid Tumors, Eli Lilly and Company,
Indianapolis, Indiana, USA, The Oncologist 2001;6:363-373.
Hanna N, Shepherd FA, Fossella FV, Pereira JR, De Marinis F, von Pawel J, Gatzemeier U,
Tsao TC, Pless M, Muller T, et al. (2004). Randomized phase III trial of pemetrexed
versus docetaxel in patients with non-small-cell lung cancer previously treated with
chemotherapy. J Clin Oncol 22:1589-97.
Hartono, Bambang et al. (2007). Profil Kesehatan Indonesia 2006. Depkes Indonesia.
Hicklin, D. J. & Ellis, L. M. (2005). Role of the Vascular Endothelial Growth Factor Pathway
in Tumor Growth and Angiogenesis. Journal of Clinical Oncology, pp. 1011-1027.
http://www.medicinenet.com/docetaxel/article.htm
Jemal A, Siegel R, Ward E, Hao Y, Xu J, Murray T, Thun MJ. (2008). Cancer statistics. CA
Cancer J Clin 2008; 58: 7196.
Jusuf A, Syahruddin E dan Hudoyo A. (2010). Kemoterapi Kanker Paru, Departemen
Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia RS Persahabatan, Jakarta.
Kanematsu, T. et al. (2003). Phosphorlation, But Not Overexpression, of Epidermal Growth
Factor Receptor is Associated with Poor Prognosis of Non-Small Cell Lung Cancer
Patients. Oncol Res, pp. 289-298.
Meredith A. Morgan, Leslie A. Parsels, Jonathan Maybaum, et al. (2008). Molecularly
Targeted Therapy: A Review Improving Gemcitabine-Mediated Radiosensitization Using,
Clin Cancer Res 2008;14:6744-6750. Published online November 3, 2008.
Mller, H. Guadagni, S. (2001). Regional plus systemic chemotherapy An effective
treatment in recurrent Non Small Cell Lung Cancer. Dept. of Oncologic Surgery, Carl
von Hess - Hospital, Hammelburg, Germany.
National Comprehensive Cancer Network(NCCN). (2012) Non Small Cell Lung Cancer.
Patel, Kejal. (2011) Crizotinib: A novel, targeted gene therapy for the treatment of non-smallcell lung cancer. Formulary Journal.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2011) Kanker Paru Jenis Karsinoma Bukan Sel Kecil.
Pedoman Nasional untuk Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia.
Perry, Michael C. (2008). The Chemotherapy Source Book, 4th Edition. Chapter 33.
Lippincott Williams & Wilkins.
Sasaki T, Rodig SJ, Chirieac LR, Janne PA. (2010) The biology and treatment of EMIA-ALK
non-small cell lung cancer. EurJ Cancer;46:1773-1780
48

Sessa C, Gianni L, Garassino M, Van Halteren H. (2012). Clinical Pharmacology of AntiCancer Agents. European Society for Medical Oncology.
Shigematsu, H. et al. (2005). Clinical and Biological Features Associated with Epidermal
Growth Factor Receptor Gene Mutations in Lung Cancers. J Natl Cancer Inst, pp. 339346.
Sholl, L. M. et al. (2007). Validation of Chromogenic In Situ Hybridization for Detection of
EGFR Copy Number Amplification in Nonsmall Cell Lung Carcinoma. Mod Pathol, pp.
1028-1035.
Skeel, Rolland T. (2011). Handbook of Cancer Chemotherapy. Lippincot and William 2011.
Sonnweber, B. et al. (2006). High Predictive Value of Epidermal Growth Factor Receptor
Phosphorylation but not of EGFRvill Mutation in Resected Stage I Non-Small-Cell
Lung Cancer (NSCLC). J Clin Pathol, pp. 255-259.
Stinchcombe, TE. Socinski, MA. (2008). Considerations for Second-Line Therapy of NonSmall Cell Lung Cancer, Lineberger Comprehensive Cancer Center, University of
North Carolina at Chapel Hill,Chapel Hill, North Carolina, USA, The Oncologist
2008;13(suppl 1):2836 www.TheOncologist.com.
Syrigos, KN. Nutting, CM. dan Roussos, C. (2006). Second Line Chemotherapy For Non
Small Cell Lung Carcinoma, Tumors of the Chest Biology, Diagnosis and Management.
Wu, S. L. et al. (2006). Dynamic Profiling of the Post-Translational Modifications and
Interaction Partners of Epidermal Growth Factor Receptor Signaling After
Yu LJ, Simmons C, Charles JV, Han D, Hogeveen S, Leighl N, Verma S. (2011). Impact of
New Chemotherapeutic and Targeted Agents on Survival in Stage IV Non-Small Cell
Lung Cancer. The Oncologist.

49

Anda mungkin juga menyukai